Anda di halaman 1dari 26

1

PRESENTASI KASUS POLI


SKABIES

Pembimbing:
dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp. KK

oleh :
M. Helrino Fajar
G4A015110

SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


RSUD PROF DR MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2017
2

LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS POLI


SKABIES

Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat kepaniteraan klinik di SMF Ilmu


Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

oleh :
M.Helrino Fajar
G4A015110

Telah disetujui dan dipresentasikan


pada April 2017

Pembimbing

dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp. KK


3

DAFTAR ISI

Halaman
BAB I LAPORAN KASUS............................................................................... 4
A. Identitas Pasien................................................................................... 4
B. Anamnesis.......................................................................................... 4
C. Pemeriksaan fisik................................................................................ 5
D. Pemeriksaan Penunjang..................................................................... 7
E. Resume................................................................................................ 7
F. Diagnosis Kerja.................................................................................. 7
G. Diagnosis Banding.............................................................................. 7
H. Pemeriksaan anjuran........................................................................... 8
I. Penatalaksanaan.................................................................................. 8
J. Prognosis............................................................................................ 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................ 10
A. Definisi............................................................................................... 10
B. Epidemiologi...................................................................................... 10
C. Etiologi............................................................................................... 10
D. Patogenesis......................................................................................... 14
D. Gejala Klinis....................................................................................... 14
F. Penegakan Diagnosis.......................................................................... 17
G. Diagnosis Banding.............................................................................. 20
H. Penatalaksanaan.................................................................................. 21
I. Prognosis............................................................................................ 23
BAB III PEMBAHASAN....................................................................................
24
BAB IV KESIMPULAN..................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 27
4

I. LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 44 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Kedungbanteng RT 1 RW 3
No. CM : 00293742

B. Anamnesis
1. Keluhan utama: Gatal di seluruh tubuh
2. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke Poli Kulit RSMS dengan keluhan gatal diseluruh tubuh
sejak dua minggu yang lalu. Awalnya bintil berwarna merah, terdapat sedikit
pada sela-sela jari tangan, namun semakin lama, semakin banyak hingga ke
ketiak, area perut, selangkangan, pantat hingga kaki. Keluhan gatal
dirasakan terus menerus, namun dirasa paling berat saat malam hari
sehingga mengganggu tidur pasien. Pasien seringkali menggaruk daerah
yang gatal di tangan, kaki, perut, punggung bawah, paha maupun pantatnya,
kemudian bintil merah menjadi keabuan cenderung kehitaman. Riwayat
digigit serangga disangkal.
3. Riwayat Penyakit Dahulu:
a. Riwayat keluhan yang sama sebelumnya disangkal
b. Riwayat kontak dengan penderita keluhan yang serupa diakui yaitu
anaknya
c. Riwayat alergi obat, debu, dan cuaca dingin disangkal
d. Riwayat demam sebelumnya disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga:
a. Riwayat keluhan yang sama pada anggota keluarga yang lain diakui yaitu
anak pasien
b. Riwayat alergi obat, makanan, debu, dan cuaca dingin pada anggota
keluarga lain disangkal
c. Riwayat demam pada anggota keluarga disangkal
5. Riwayat Sosial Ekonomi:
5

Pasien tinggal di rumah dengan suami dan tiga orang anaknya. Pasien tidur
bersama anaknya yang paling kecil dalam satu kamar. Pasien sering
menggunakan handuk yang sama dengan anaknya.

C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum : Baik
2. Kesadaran : Compos Mentis/ E4M6V5
3. Tanda vital
TD : 120/70 mmHg
Nadi : 86 x/menit, lemah
RR : 20 x/menit
Suhu : 36.9 C
4. Antropometri
Tinggi badan : 158 cm
Berat badan : 72 kg
5. Status Generalis :
Kepala : Mesochepal, rambut hitam, distribusi merata
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Simetris, deviasi septum (-), sekret (-), discharge (-/-)
Telinga : Bentuk daun telinga normal, sekret (-)
Mulut : Mukosa bibir dan mulut basah, pucat (-), sianosis (-)
Tenggorokan : T1 T1 tenang , tidak hiperemis
Thorax : Simetris, retraksi (-)
Jantung : BJ I II reguler, murmur (-), Gallop (-)
Paru : SD vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-)
Abdomen : Supel, datar, BU (+) normal, hepar/lien ttb
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), sianosis (-)
6. Status Dermatologis
Lokasi : tangan, ketiak, perut, punggung, pantat, kaki
Efloresensi : papul miliar, lentikular, kanalikuli ekskoriasi dan krusta
dengan daerah hiperpigmentasi di sekitarnya, multipel, generalisata
6

A
C

Gambar 1.1. Ujud kelainan kulit berupa papul miliar, lentikular, kanalikuli
ekskoriasi dan krusta dengan daerah hiperpigmentasi di sekitarnya, multipel,
generalisata (Sumber: Dokumentasi pribadi).

D. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang pada pasien tersebut.

E. Resume
Pasien datang ke Poli Kulit RSMS dengan keluhan gatal diseluruh tubuh
sejak dua minggu yang lalu. Awalnya bintil berwarna merah, terdapat sedikit
pada sela-sela jari tangan, namun semakin lama, semakin banyak hingga ke
ketiak, area perut, selangkangan, pantat hingga kaki. Keluhan gatal dirasakan
terus menerus, namun dirasa paling berat saat malam hari sehingga
mengganggu tidur pasien. Pasien seringkali menggaruk daerah yang gatal di
tangan, kaki, perut, punggung bawah, paha maupun pantatnya, kemudian
bintil merah menjadi keabuan cenderung kehitaman. Riwayat digigit serangga
disangkal.
Pasien mangaku bahwa anaknya memiliki keluhan serupa. Pasien tinggal
di rumah dengan suami dan tiga orang anaknya. Pasien tidur bersama anaknya
yang paling kecil dalam satu kamar. Pasien sering menggunakan handuk yang
sama dengan anaknya.
Pada pemeriksaan status dermatologi didapatkan lesi berupa papul miliar,
lentikular ekskoriasi dan krusta dengan daerah hiperpigmentasi di sekitarnya,
multipel, generalisata. Lesi didapatkan di tangan, ketiak, perut, punggung
bawah, pantat dan kaki.
7

F. Diagnosis Kerja
Skabies

G. Diagnosis Banding
1. Prurigo hebra
2. Gigitan serangga
3. Pedikulosis corporis

H. Pemeriksaan Anjuran
1 Kerokan kulit: papul atau terowongan yang utuh ditetesi dengan minyak
mineral atau KOH 10%, lalu dilakukan kerokan kulit dengan mengangkat
papul atau atap terowongan menggunakan scalpel steril nomor 15. Kerokan
diletakkan pada kaca objek, diberi minyak mineral atau minyak emersi,
diberi kaca penutup, lalu diperiksa di bawah mikroskop pembesaran 20x
atau 100x dapat dilihat tungau, telur, atau fecal pellet.
2 Mengambil tungau dengan jarum: Bila menemukan terowongan, jarum
suntik yang runcing ditusukkan ke dalam terowongan yang utuh (pada titik
yang gelap, kecuali pada orang kulit hitam pada titik yang putih),
digerakkan secara tangensial ke ujung lainnya, kemudian dikeluarkan.
Tungau akan memegang ujung jarum dan dapat diangkat keluar. Tungau
terlihat pada ujung jarum sebagai parasit yang sangat kecil dan transparan.
3 Tes tinta Burowi (Burrow ink test): Papul skabies dilapisi dengan tinta cina,
dibiarkan 20-30 menit, kemudian dihapus dengan kapas alkohol, maka jejak
terowongan akan terlihat sebagai garis gelap yang karakteristik, berbelok-
belok, karena akumulasi tinta di dalam terowongan. Tes ini tidak sakit dan
dapat dikerjakan pada anak dan pada penderita yang non-kooperatif.

I. Penatalaksanaan
1. Edukasi
a. Penjelasan mengenai penyakit, meliputi penyebab, cara penularan,
pengobatan, pencegahan, dan komplikasi.
b. Menghindari kontak langsung dengan penderita (berjabat tangan,
berpelukan, tidur bersama) dan mencegah penggunaan barang-barang
secara bersama-sama.
c. Mandi dengan air hangat dan keringkan badan.
8

d. Pengobatan topikal yang diberikan, dioleskan di seluruh kulit, kecuali


wajah, sebaiknya dilakukan pada malam hari sebelum tidur.
e. Pakaian, handuk dan barang-barang lainnya yang pernah digunakan oleh
penderita harus diisolasi dan dicuci dengan air panas.
f. Pakaian dan barang-barang yang berbahan kain dianjurkan untuk
disetrika sebelum digunakan.
g. Sprai penderita harus sering diganti dengan yang baru maksimal tiga hari
sekali.
h. Benda-benda yang tidak dapat dicuci dengan air (bantal, guling, selimut)
disarankan dimasukkan ke dalam kantung plastik selama tujuh hari,
selanjutnya dicuci kering atau dijemur di bawah sinar matahari sambil
dibolak balik minimal dua puluh menit sekali.
i. Setiap anggota keluarga serumah sebaiknya mendapatkan pengobatan
yang sama dan ikut menjaga kebersihan.
2. Medikamentosa
a. Sistemik
1) Per oral loratadine 1x10 mg
b. Topikal
1) Permetrin (scabimite) krim 5 %, dioleskan ke permukaan kulit seluruh
tubuh kecuali wajah setelah mandi sore, didiamkan selama 10 jam
kemudian dibilas bersih (mandi). Pemakaian hanya 1 kali dalam
seminggu.

J. Prognosis
Quo ad vitam : Ad bonam
Quo ad fungtionam : Ad bonam
Quo ad sanationam : Ad bonam
Quo ad kosmetikum : Ad bonam
9

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh investasi dan
sensitisasi terhadap ektoparasit Sarcoptes scabei var. hominis dan produknya.
Nama lain skabies adalah the itch, kudis, budukan dan gatal agogo. Transmisi
skabies terjadi akibat transfer tungau betina fertil melalui kontak kulit secara
langsung yang bersifat prolong (sekitar 5 menit) dengan orang yang telah
terinfeksi skabies (English et al,, 2009; Oakley, 2012; Handoko, 2013).

B. Epidemiologi
Skabies ditemukan hampir di semua negara dengan prevalensi
bervariasi. Prevalensi skabies di negara berkembang sekitar 6-27% populasi
umum dan cenderung tinggi pada anak-anak dan remaja. Daerah endemik
skabies adalah di daerah tropis dan subtropis seperti Afrika, Mesir, Amerika
Tengah, Amerika Selatan, Amerika Utara, Australia, Kepulauan Karibia, India,
dan Asia Tenggara. Diperkirakan bahwa terdapat lebih dari 300 juta orang di
seluruh dunia terjangkit tungau scabies (Harahap, 2000; Binic et al., 2010).
Studi epidemiologi memperlihatkan bahwa prevalensi skabies cenderung
tinggi pada anak-anak serta remaja dan tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin,
ras, umur, ataupun kondisi sosial ekonomi. Faktor primer yang berkontribusi
adalah kemiskinan dan kondisi hidup di daerah yang padat, sehingga penyakit
ini lebih sering di daerah perkotaan. Terdapat bukti menunjukkan insiden
kejadian berpengaruh terhadap musim di mana kasus skabies lebih banyak
didiagnosis pada musim dingin dibandingkan musim panas (Binic et al., 2010).

C. Etiologi
Penyakit scabies merupakan infestasi tungau yang dinamakan Acarus
scabiei dan Sarcoptes scabiei varian hominis. Pada manusia disebut Sarcoptes
scabiei varian hominis. Tungau ini khusus menyerang dan menjalani siklus
hidupnya dalam lapisan tanduk kulit manusia. Selain itu terdapat S. scabiei
yang lain, yakni varian animalis. Sarcoptes scabiei varian animalis menyerang
hewan seperti anjing, kucing, lembu, kelinci, ayam, itik, kambing, macan,
beruang dan monyet. Sarcoptes scabiei varian hewan ini dapat menyerang
10

manusia yang pekerjaannya berhubungan erat dengan hewan tersebut di atas,


misalnya peternak, gembala, dll (Binic et al., 2010).

janta
n

betin
a
Gambar 2.1. Tungau skabies jantan dan betina (English et al., 2009)

Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Arachnida
Ordo : Ackarima
Family : Sarcoptes
Genus : Sarcoptes scabiei varian hominis
Secara morfologik tungau ini berukuran kecil, berbentuk oval,
punggungnya cembung dan bagian perutnya rata. Tungau ini translusen,
berwarna putih kotor dan tidak bermata. Ukuran betina berkisar antara 330-450
mikron x 250-350 mikron, sedangkan jantan lebih kecil, yakni 200-240 mikron
x 150-200 mikron. Bentuk dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang kaki di
depan yang berakhir dengan penghisap kecil di bagian ujungnya sebagai alat
untuk melekat dan 2 pasang kaki kedua pada betina berakhir dengan rambut
(satae), sedangkan pada yang jantan pasangan kaki ketiga berakhir dengan
rambut dan keempat berakhir dengan alat perekat (Burns, 2004; Djuanda et
al., 2009).
Tungau skabies tidak dapat terbang namun dapat berpindah secara cepat
saat kontak kulit dengan penderita. Tungau ini dapat merayap dengan
kecepatan 2,5 cm sampai 1 inch per menit pada permukaan kulit. Belum ada
studi mengenai waktu kontak minimal untuk dapat terjangkit penyakit skabies
namun dikatakan jika ada riwayat kontak dengan penderita, maka terjadi
peningkatan resiko tertular penyakit skabies. Skabies dapat ditularkan melalui
kontak langsung maupun kontak tidak langsung. Penularan melalui kontak
11

langsung (skin-to-skin) menjelaskan mengapa penyakit ini sering menular ke


seluruh anggota keluarga. Penularan secara tidak langsung dapat melalui
penggunaan bersama pakaian, handuk, maupun tempat tidur. Bahkan dapat
pula ditularkan melalui hubungan seksual antar penderita dengan orang sakit,
namun skabies bukan manifestasi utama dari penyakit menular seksual (Hicks
dan Elston, 2009).
Penyebab utama gejala-gejala pada skabies ini ialah Sarcoptes scabiei
betina. Tungau betina yang mengandung, membuat terowongan pada lapisan
tanduk kulit dan meletakkan telur di dalamnya. Setelah kopulasi yang terjadi di
atas kulit, tungau jantan akan mati, kadang-kadang masih dapat hidup beberapa
hari dalam terowongan yang digali oleh yang betina. Tungau betina yang telah
dibuahi, menggali terowongan dalam stratum korneum, dengan kecepatan 2-3
milimeter sehari dan sambil meletakkan telurnya 2 atau 4 butir sehari sampai
mencapai jumlah 40 atau 50. Bentuk betina yang dibuahi ini dapat hidup
sebulan lamanya. Telur akan menetas, biasanya dalam waktu 3-5 hari dan
menjadi larva yang mempunyai 3 pasang kaki. Larva ini dapat tinggal dalam
terowongan pendek yang digalinya (moulting pouches), tetapi dapat juga ke
luar. Setelah 2-3 hari larva akan menjadi nimfa yang mempunyai 2 bentuk,
jantan dan betina dengan 4 pasang kaki (Burns, 2004; Hicks dan Elston, 2009).
Seluruh siklus hidup tungau ini memerlukan waktu antara 8-12 hari tetapi
ada juga yang menyebutkan selama 8-17 hari. Studi lain menunjukkan bahwa
lamanya siklus hidup dari telur sampai dewasa untuk tungau jantan biasanya
sekitar 10 hari dan untuk tungau betina bisa sampai 30 hari. Tungau skabies ini
umumnya hidup pada suhu yang lembab dan pada suhu kamar (21C dengan
kelembapan relatif 40-80%) tungau masih dapat hidup di luar tubuh hospes
selama 24-36 jam (Burns, 2004; Hicks dan Elston, 2009).
12

Gambar 2.2. Siklus Hidup Tungau Skabies.

Sarcoptes scabiei varian hominis betina, melakukan seleksi bagian-


bagian tubuh mana yang akan diserang, yaitu bagian-bagian yang kulitnya tipis
dan lembab, seperti di lipatan-lipatan kulit pada orang dewasa, sekitar
payudara, area sekitar pusar, dan penis. Pada bayi karena seluruh kulitnya tipis,
pada telapak tangan, kaki. Wajah dan kulit kepala juga dapat diserang. Tungau
biasanya memakan jaringan dan kelenjar limfe yang disekresi dibawah kulit.
Selama makan, mereka menggali terowongan pada stratum korneum dengan
arah horizontal. Beberapa studi menunjukkan tungau skabies khususnya yang
betina dewasa secara selektif menarik beberapa lipid yang terdapat pada kulit
manusia, di antaranya asam lemak jenuh odd-chain-length (misalnya pentanoic
dan lauric) dan tak jenuh (misalnya oleic dan linoleic) serta kolesterol dan
tipalmitin. Hal tersebut menunjukkan bahwa beberapa lipid yang terdapat pada
kulit manusia dan beberapa mamalia dapat mempengaruhi baik insiden infeksi
maupun distribusi terowongan tungau di tubuh. Tungau dewasa meletakkan
13

baik telur maupun kotoran pada terowongan dan analog dengan tungau debu,
enzim pencernaan pada kotoran adalah antigen yang penting untuk
menimbulkan respons imun terhadap tungau skabies (Murtiastutik, 2005).

D. Patogenesis

Reaksi alergi yang sensitif terhadap tungau dan produknya


memperlihatkan peran yang penting dalam perkembangan lesi dan terhadap
timbulnya gatal. Masuknya S. scabiei ke dalam epidermis tidak segera
memberikan gejala pruritus. Rasa gatal timbul 1 bulan setelah infestasi primer
serta adanya infestasi kedua sebagai manifestasi respons imun terhadap tungau
maupun sekret yang dihasilkan terowongan di bawah kulit. Sarcoptes scabiei
melepaskan substansi sebagai respon hubungan antara tungau dengan
keratinosit dan sel-sel Langerhans ketika melakukan penetrasi ke dalam kulit
(Hicks dan Elston, 2009).

Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan keterlibatan reaksi


hipersensitivitas tipe IV dan tipe I. Pada reaksi tipe I, pertemuan antigen tungau
dengan Imunoglobulin E pada sel mast yang berlangsung di epidermis
menyebabkan degranulasi sel-sel mast. Sehingga terjadi peningkatan antibodi
IgE. Keterlibatan reaksi hipersensitivitas tipe IV akan memperlihatkan gejala
sekitar 10-30 hari setelah sensitisasi tungau dan akan memproduksi papul-
papul dan nodul inflamasi yang dapat terlihat dari perubahan histologik dan
jumlah sel limfosit T banyak pada infiltrat kutaneus. Kelainan kulit yang
menyerupai dermatitis tersebut sering terjadi lebih luas dibandingkan lokasi
tungau dengan efloresensi dapat berupa papul, nodul, vesikel, urtika, dan
lainnya. Di samping lesi yang disebabkan oleh Sarcoptes scabiei secara
langsung, dapat pula terjadi lesi-lesi akibat garukan penderita sendiri. Akibat
garukan yang dilakukan oleh pasien dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta
hingga terjadinya infeksi sekunder (Hicks dan Elston, 2009).

E. Gejala Klinis
14

Penderita skabies selalu merasa gatal, terutama pada malam hari.


Predileksi biasanya pada sela jari tangan, pergelangan tangan, ketiak, sekitar
pusat, paha bagian dalam, genitalia pria, areola mammae wanita, perut bagian
bawah dan bokong. Pada bayi sering pada kepala, telapak tangan, dan kaki
(Siregar, 2005).
Gejala klinis didasarkan pada jenis skabies yang diderita (English et al.,
2009):
1. Skabies tipikal
Pasien dengan skabies tipikal biasanya hanya memiliki 10-15 tungau
betina hidup pada tubuh dalam waktu tertentu. Hanya sekitar 2 atau 3
tungau, lebih sering tidak ada tungau yang ditemukan dari kerokan kulit.
Pruritus hebat, memberat saat malam hari dan lesi papular dengan atau
tanpa kanalikuli ditemukan pada kulit pasien. Lesi dan pruritus muncul
sebagai reaksi hipersensitivitas lambat yang dimediasi sistem imun terhadap
tungau, telur, dan material fekal tungau. Area tubuh yang umumnya terkena
adalah pergelangan tangan, sela jari, lipat siku, ketiak, sekitar payudara dan
genital, pinggang, perut bawah, serta bokong.

Gambar 2.3 Lesi pada skabies tipikal (English et al., 2009).

2. Skabies atipikal
Apabila diagnosis dan pengobatan ditunda, skabies dapat memiliki
penampakan tidak umum atau atipikal, dengan infestasi ratusan hingga
ribuan tungau. Penampakan klinis skabies atipikal sering didapatkan pada
orang-orang di suatu institusi atau pasien dengan kondisi supresi imun
akibat penyakit lain atau terapi obat tertentu. Lesi kulit berupa
hiperkeratotik luas dengan pembentukan krusta atau skuama dan sering
15

disebut skabies krustosa atau skabies Norwegia. Skabies jenis ini sangat
infeksius karena ribuan tungau terdapat pada krusta tebal yang mudah lepas
dari kulit. Rasa gatal yang dialami biasanya bersifat minimal (English et al.,
2009; Shimose dan Silvia, 2013).
Infant scabies pada anak menunjukkan adanya keterlibatan telapak
tangan dan kaki, leher, wajah serta kulit kepala. Skabies pada lansia, lesi
lebih banyak di batang tubuh. Skabies incognito terjadi pada pemakaian
steroid yang tidak tepat. Scabies in very clean menunjukkan jumlah lesi
yang sedikit, terjadi pada mereka yang mandi setiap hari, rasa gatal bersifat
minimal. Animal scabies, skabies yang ditularkan oleh binatang. Nodular
scabies, tungau masuk lapisan kulit lebih dalam pada beberapa daerah
tubuh, terutama pada genitalia pria, lipatan inguinal membentuk brownish
itchy deep seated nodules. Sexually transmitted scabies, muncul akibat
kontak seksual. Scabies bullosa, erupsi vesicular dan bulosa muncul pada
anak dengan skabies. Scabies ide and pompholyx, bentuk parah dari skabies,
kulit menunjukkan respon alergi terhadap tungau dan produk eksretnya
bermanifestasi sebagai erupsi vesikular sepanjang jari tangan dan kaki
(English et al., 2009; Shimose dan Silvia, 2013).

Gambar 2.4 Lesi pada skabies atipikal (English et al., 2009)

F. Penegakan Diagnosis
16

Penegakan diagnosis dapat dilakukan dari anamnesis dan pemeriksaan


fisik. Berdasarkan anamnesis, diagnosis skabies dapat ditetapkan dengan
terpenuhinya 2 dari 4 tanda kardinal sebagai berikut (Handoko, 2013):
1. Pruritus nokturnal, yaitu gatal pada malam hari yang disebabkan karena
aktivitas tungau lebih tinggi pada suhu pada suhu lembab dan panas.
2. Penyakit menyerang manusia secara kelompok, misalnya pada sebuah
keluarga atau pada perkampungan dengan padat penduduk. Dapat terjadi
gejala hiposensitisasi, yaitu seluruh anggota keluarga terkena. Walaupun
mengalami infestasi tungau, tetapi tidak memberikan gejala. Penderita ini
bersifat sebagai pembawa.
3. Ditemukannya terowongan (kanalikulus) pada tempat predileksi yang
berwarna putih atau keabuan, berbentuk garis lurus atau berbelok, rata-rata
sepanjang 1 cm, pada ujung terowongan ditemukan papul atau vesikel yang
merupakan hasil dari pergerakan tungau di dalam stratum korneum. Jika
timbul infeksi sekunder, ruam kulit menjadi polimorf (pustul, ekskoriasi,
dan lain-lain).
4. Menemukan tungau dari terowongan pada pemeriksaan mikroskopis.

Gambar 2.6 Predileksi skabies

Pada pemeriksaan fisik, ditemukan lesi kulit berupa terowongan


(kanalikuli) berwarna putih atau abu-abu dengan panjang rata-rata 1 cm. Ujung
terowongan terdapat papul, vesikel, dan bila terjadi infeksi sekunder, maka
akan terbentuk pustul, ekskoriasi, dsb. Pada anak-anak, lesi lebih sering berupa
17

vesikel disertai infeksi sekunder akibat garukan sehingga lesi menjadi


bernanah.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan tungau dari lesi.
Beberapa cara dapat dilakukan untuk menemukan tungau sebagai berikut:
a. Kerokan kulit
Papul atau terowongan yang utuh ditetesi dengan minyak mineral atau
KOH 10%, lalu dilakukan kerokan kulit dengan mengangkat papul atau atap
terowongan menggunakan scalpel steril nomor 15. Kerokan diletakkan pada
kaca objek, diberi minyak mineral atau minyak imersi, diberi kaca penutup,
lalu diperiksa di bawah mikroskop pembesaran 20X atau 100X dapat dilihat
tungau, telur, atau fecal pellet.

Gambar 2.7 Sarcoptes scabiei dewasa dilihat dengan mikroskop (English et al.,
2009).

b. Mengambil tungau dengan jarum


Bila menemukan terowongan, jarum suntik yang runcing ditusukkan
ke dalam terowongan yang utuh (pada titik yang gelap, kecuali pada orang
kulit hitam pada titik yang putih), digerakkan secara tangensial ke ujung
lainnya, kemudian dikeluarkan. Tungau akan memegang ujung jarum dan
dapat diangkat keluar. Tungau terlihat pada ujung jarum sebagai parasit
yang sangat kecil dan transparan.

c. Membuat biopsi irisan (epidermal shave biopsy)


18

Menemukan terowongan atau papul yang dicurigai antara ibu jari dan
jari telunjuk, dengan menjepit lesi menggunakan ibu jari dan telunjuk,
puncak lesi diiris dengan scalpel steril nomor 15 dilakukan sejajar dengan
permukaan kulit. Biopsi dilakukan sangat superfisial sehingga tidak terjadi
perdarahan dan tidak perlu anestesi. Spesimen diletakkan pada gelas objek
lalu ditetesi minyak mineral dan diperiksa dengan mikroskop. Dapat pula
diperiksa dilakukan pewarnaan HE pada sediaan.

Gambar 2.8 Sarcoptes scabiei dalam epidermis (panah) dengan


pewarnaan HE (Walton dan Bart, 2007)

d. Kuretase terowongan
Kuretase superfisial mengikuti sumbu panjang terowongan atau
puncak papula kemudian kerokan diperiksa dengan mikroskop, setelah
diletakkan di gelas objek dan ditetesi minyak mineral.
e. Tes tinta Burowi (Burrow ink test)
Papul skabies dilapisi dengan tinta cina, dibiarkan 20-30 menit,
kemudian dihapus dengan kapas alkohol, maka jejak terowongan akan
terlihat sebagai garis gelap yang karakteristik, berbelok-belok, karena
akumulasi tinta di dalam terowongan. Tes ini tidak sakit dan dapat
dikerjakan pada anak dan pada penderita yang non-kooperatif.
Dari berbagai cara pemeriksaan di atas, kerokan kulit merupakan cara
yang paling mudah dilakukan dan memberikan hasil yang paling memuaskan.
Mengambil tungau dengan jarum memerlukan keterampilan khusus dan jarang
berhasil karena biasanya terowongan sulit diidentifikasi dan letak tungau sulit
diketahui. Tes tinta Burowi dan uji tetrasiklin jarang memberikan hasil positif
19

karena biasanya penderita datang pada keadaan lanjut dan sudah terjadi infeksi
sekunder sehingga terowongan tertutup oleh krusta dan tidak dapat dimasuki
tinta atau salep (Amiruddin, 2003).
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar berhasil melakukan
pemeriksaan kerokan kulit, antara lain sebagai berikut (Amiruddin, 2003).
1 Kerokan harus dilakukan pada lesi yang utuh (papul, terowongan) dan tidak
dilakukan pada tempat dengan lesi yang tidak spesifik.
2 Sebaiknya lesi yang akan dikerok diolesi terlebih dahulu dengan minyak
mineral agar tungau dan produknya tidak larut, sehingga dapat menemukan
tungau dalam keadaan hidup dan utuh.
3 Kerokan dilakukan pada lesi di daerah predileksi.
4 Kerokan harus dilakukan di superfisial karena tungau terdapat dalam
stratum korneum dan menghindari terjadinya perdarahan.

G. Diagnosis Banding
Skabies sering disebut sebagai the great imitator karena dapat
menyerupai banyak penyakit kulit lain dengan keluhan gatal. Beberapa
diagnosis banding diantaranya prurigo, pedkulosis korporis, gigitan serangga,
creeping eruption, dan apabila telah terjadi infeksi sekunder dapat didiagnosis
banding dengan pioderma seperti impetigo.
a. Prurigo Hebra
Prurigo hebra didahului dengan gigitan serangga, selanjutnya timbul
urtikaria papular. Kemudia timbul rasa gatal dan bersifat kronik, akibatnya
kulit menjadi hitam dan menebal. Lokasi di ekstensor ekstremitas, dahi dan
abdomen (Siregar, 2005).
20

Gambar 2.10 Prurigo Hebra (Aisyah et al, 2001)

b. Gigitan serangga
Kelainan kulit akibat gigitan atau tusukan serangga yang disebabkan
reaksi terhadap toksin atau alergen yang dikeluarkan artropoda penyerang.
Setelah digigit serangga timbul edema pada kulit, disusul jaringan nekrosis
setempat. Penderita mengeluh gatal dan nyeri pada tempat gigitan. Gejala
sistemik dapat berupa demam, rasa tak enak, muntah-muntah, pusing sampi
syok. Lokalisasi dapat di mana saja di seluruh tubuh (Siregar, 2005).
c. Pedikulosis korporis
Penyakit kulit yang disebabkan oleh pediculus humanus var. Corporis.
Akibat gigitan tuma, timbul papula-papula dan karena digrauk akan tampak
bekas-bekas garukan. Lokalisasi di daerah pinggang, ketiak dan inguinal.
Lesi yang muncul berupa papula-papula miliar disertai bekas garukan yang
menyeluruh (Siregar, 2005).

H. Penatalaksanaan
1. Konseling dan edukasi
Edukasi yang dapat diberikan bertujuan untuk memberi pemahaman
bersama agar upaya eradikasi skabies dapat tercapai. Salah satu bentuk
edukasi yang diberikan adalah mengenai perbaikan higienitas diri dan
lingkungan seperti (Handoko, 2013):
a. Tidak menggunakan peralatan pribadi secara bersama-sama dan alas tidur
diganti bila ternyata pernah digunakan oleh penderita skabies.
b. Menghindari kontak langsung dengan penderita skabies.
c. Membersihkan semua benda yang berpotensi menjadi tempat penyebaran
penyakit.
Edukasi lain adalah mengenai pengobatan skabies yang memiliki
prinsip mengobati seluruh anggota keluarga, termasuk penderita yang
hiposensitisasi serta penggunaan masing-masing obat (Handoko, 2013).
2. Obat topikal
Obat topikal yang umum diberikan kepada pasien skabies antara lain
(Leone, 2007; Handoko, 2013):
a. Belerang endap (sulfur presipitatum) dengan kadar 4-20% dalam bentuk
salep atau krim. Preparat ini tidak efektif terhadap stadium telur, maka
penggunaannya tidak boleh kurang dari 3 hari. Kekurangan lain adalah
berbau dan mengotori pakaian dan kadang menimbulkan iritasi. Sediaan
21

ini dapat dipakai pada bayi berumur kurang dari 2 tahun. Bila kontak
dengan jaringan hidup, preparat ini akan membentuk hidrogen sulfida
dan asam pentationida (CH2S5O6) yang bersifat germisida dan fungisida.
b. Emulsi benzil-benzoat 20-25% efektif terhadap semua stadium, diberikan
setiap malam selama 3 hari. Obat ini sulit diperoleh, sering menyebabkan
iritasi, dan kadang makin gatal setelah dipakai. Benzil benzoate bersifat
neurotoksik pada tungau skabies, efektif untuk semua stadium.
Kontraindikasi obat ini yaitu wanita hamil dan menyusui, bayi, dan anak-
anak kurang dari 2 tahun.
c. Gama benzena heksa klorida (gameksan) 1% dalam bentuk krim atau
losion, efektif terhadap semua stadium, mudah digunakan, dan jarang
menimbulkan iritasi. Obat ini tidak dianjurkan untuk ibu hamil dan anak
di bawah 6 tahun karena toksis terhadap susunan saraf pusat. Pemberian
cukup sekali, kecuali jika masih ada gejala pemberian diulang seminggu
kemudian. Obat ini diserap masuk ke mukosa paru-paru, mukosa usus,
dan selaput lendir, kemudian ke seluruh bagian tubuh tungau dengan
konsentrasi tinggi pada jaringan yang kaya lipid dan kulit yang
menyebabkan eksitasi, konvulsi, dan kematian tungau.
d. Krotamiton 10% dalam krim atau losion, mempunyai dua efek sebagai
antiskabies dan antipruritus. Krotamiton 10% dalam krim atau losion,
tidak mempunyai efek sistemik dan aman digunakan pada wanita hamil,
bayi, dan anak kecil
e. Permetrin 5% dalam sediaan krim, kurang toksik dibandingkan
gameksan, efektivitas sama dengan gameksan, aplikasi hanya satu kali
dan dihapus dalam waktu 10 jam. Bila belum sembuh dapat diulang
setelah seminggu. Tidak dianjurkan untuk bayi di bawah 2 bulan.
Permetrin bekerja dengan cara mengganggu polarisasi dinding sel
melalui ikatan dengan natrium sehingga menghambat repolarisasi
dinding sel dan akhirnya terjadi paralisis parasite. Obat ini ditoleransi
dengan baik, diserap minimal oleh kulit, tidak diabsorbsi sistemik,
dimetabolisasi dengan cepat, serta dikeluarkan kembali melalui keringat
dan sebum. Oleh karena itu, obat ini merupakan terapi pilihan lini
pertama rekomendasi CDC untuk terapi tungau tubuh. Penggunaan obat
22

ini biasanya pada sediaan krim dengan kadar 1% untuk terapi tungau
pada kepala dan kadar 5% untuk terapi tungau tubuh.

2. Prognosis
Prognosis skabies baik apabila memperhatikan pemilihan dan cara
pemakaian obat, syarat pengobatan, dan menghilangkan faktor predisposisi
(higiene). Penyakit skabies dapat diberantas dengan melakukan
penatalaksanaan terhadap lingkungan (Handoko, 2013).

III. PEMBAHASAN

Pasien Ny S, mengeluhkan gatal diseluruh tubuh sejak dua minggu yang lalu.
Awalnya bintil berwarna merah, terdapat sedikit pada sela-sela jari tangan, namun
semakin lama, semakin banyak hingga ke ketiak, area perut, selangkangan, pantat
hingga kaki. Keluhan gatal dirasakan terus menerus, namun dirasa paling berat
saat malam hari sehingga mengganggu tidur pasien. Pasien seringkali menggaruk
daerah yang gatal di tangan, kaki, perut, punggung bawah, paha maupun
pantatnya, kemudian bintil merah menjadi keabuan cenderung kehitaman.
Riwayat digigit serangga disangkal. Berdasarkan keluhan tersebut, diagnosis yang
mungkin adalah skabies, yakni memenuhi tanda kardinal pruritus nokturna. Tidak
adanya riwayat digigit serangga, menyingkirkan diagnosis prurigo hebra dan
gigitan serangga.
Pasien tinggal di rumah dengan suami dan tiga orang anaknya. Pasien tidur
bersama anaknya yang paling kecil dalam satu kamar. Pasien seringkali
menggunakan handuk secara bergantian dengan anaknya. Anaknya juga mengeluh
hal serupa. Hal ini menunjukkan tanda kardinal kedua yakni community infection.
23

Kriteria diagnosis skabies sudah bisa ditegakkan karena terpenuhinya 2 dari 4


tanda kardinal.
Pada pemeriksaan status dermatologi didapatkan lesi berupa papul miliar,
lentikular ekskoriasi dan krusta dengan daerah hiperpigmentasi di sekitarnya,
multipel, generalisata. Lesi didapatkan di tangan, ketiak, perut, punggung bawah,
pantat, paha dan kaki. Status dermatologis tersebut memenuhi gambaran khas
skabies yaitu papula miliar-lentikular, kanalikulus miliar disertai ekskoriasi
(scratch mark) yang berlokasi pada sela-sela jari tangan, pergelangan tangan,
ketiak, sekitar pusat, paha bagian dalam dan bokong, susunan diskret.
Pasien ini mendapatkan terapi loratadine 10 mg dan skabisid topikal berupa
krim permetrin 5% dioleskan pada malam hari dan digunakan seminggu 1 kali,
obat topikal ini efektif pada semua stadium skabies dan toksisitasnya rendah. Hal
terpenting dalam penatalaksanaan skabies adalah pemberantasan tuntas. Untuk itu
diupayakan anggota keluarga yang memiliki gejala sama dengan pasien maupun
keluarga yang sehari-hari tinggal bersama pasien juga diobati. Upaya preventif
lain yang dapat dilakukan yaitu menjaga kebersihan individu dan lingkungan.
24

IV. KESIMPULAN

1. Pasien seorang perempuan berusia 44 tahun mengeluh gatal pada seluruh


badan terutama sela-sela jari dan daerah lipatan sejak dua minggu yang lalu.
2. Pada pemeriksaan status dermatologi didapatkan lesi berupa papul miliar,
lentikular ekskoriasi dan krusta dengan daerah hiperpigmentasi di sekitarnya,
multipel, generalisata. Lesi didapatkan di tangan, perut, punggung bawah,
pantat dan kaki.
3. Terapi secara medikamentosa yaitu dengan pemberian obat sistemik
(loratadin), dan obat topikal (krim permetrin 5%). Sedangkan terapi secara
non-medikamentosa yaitu menjaga kebersihan individu dan lingkungan.
4. Dengan memperhatikan pemilihan dan cara pemakaian obat, serta syarat
pengobatan dan menghilangkan faktor prediposisi (antara lain higiene), maka
penyakit ini dapat diberantas dan memberikan prognosis yang baik.
25

DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, Siti, Achmad Tjarta, Santoso Comain, Unandar Budimulja, Adhi Djuanda,
Endang.S. Roostini, Meny Hartati. 2001. The immunohistopathological
features of prurigo Hebra. Vol 10 (1).

Amiruddin MD. 2003. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi ke-1. Makassar:
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Binic I, Aleksandar J, Dragan J, Milanka L. Crusted (Norwegian) Scabies


Following Systemic And Topikal Corticosteroid Therapy. 2010. J Korean
Med Sci.

Burns DA. 2004. Diseases Caused by Arthropods and Other Noxious Animals. In:
Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rooks Textbook of Dermatology.
USA: Blackwell publishing.

English, LTanya, Dawn Terashita Gastelum, Patricia Marquez, Lorraine Sisneros,


Rachel Civen, Juliet Bugante, Kelly Ivie, Paula Marin, Laurene Mascol dan
David Dassey. 2009. Scabies Prevention and Control Guidelines Acute and
Sub-Acute Care Facilities. Los Angeles: Los Angeles Country Department
of Public Health Acute Communicable Disease Control Program.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2000. Buku Pedoman


Penatalaksanaan Program. Jakarta: Depkes RI.

Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, dll. 2009. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin,
edisi ke-5, cetakan ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
26

Handoko, Ronny P. 2013. Skabies. Dalam: Adhi, Dhjuanda, Mochtar Hamzah,


dan Siti Aisah (Eds). Lmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: FK UI.

Hicks MI and Elston DM. 2009. Scabies. Dermatologic Therapy.

Harahap, M. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hippokrates.

Leone P. 2007. Scabies and Pediculosis: An Update of Treatment Regiments and


General Review. Oxford Journals.

Murtiastutik D. 2005. Buku Ajar Infeksi Menular Seksual Edisi ke-1. Surabaya:
Airlangga University Press.

Oakley, Amanda. 2012. Scabies: Diagnosis and Management. Hamilton: BPJ.

Shimose, Luis dan L. Silvia Munoz-Price. 2013. Diagnosis, Prevention, and


Treatment of Scabies. Current Infectious Disease Reports . Vol 15 (5):
426-431.

Siregar, R.S. 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta: EGC.

Walton, Shelley F dan Bart J. Currie. 2007. Problems in Diagnosing Scabies, a


Global Disease in Human and Animal Populations. Clin Microbiol Rev. Vol
20 (2): 268279.

Anda mungkin juga menyukai