Kasus
Seorang laki-laki berusia 25 tahun dirawat di ruang bedah orthopedi (BO) dengan
keluhan nyeri hebat skala 7 pada paha sebelah kiri dan kaki kanan. Riwayat apsien
mengalami kecelakaan lalu lintas 6 jam yang lalu. Hasil pengkajian tampak bengkak
pada daerah paha kiri dan pada kaki kanan terdapat luka ribek pada tibia diameter 6 cm,
tampak tonjolam tulang. Status neurovascular pada kedua kaki nadi distal fraktur (+)
parastesi dan paralisis (-), tekanan darah 100/70, frekuensi nadi 100 x /menit, frekuensi
napas 22 x/menit, suhu 38oC. Pemeriksaan laboratorium: Hb 10,2. Ht 31%, Eritrosit
3,72, Leukosit 11.000. X-ray: fraktur obliq pada 1/3 bagian distal femur sinistra dan
fraktur cruris segmental pada 1/3 media dekstra. Terapi: ketorolac 2x1, ranitidine 2x1,
dan cefazoline 2x1 gram IV. Direncanakan pada kaki kanan dipasang skeletal traksi dan
pemasangan external fixation pada tibia.
4. External fixation
Merupakan salah satu jenis fiksasi yang digunakan pada pasien fraktur. Fiksasi ini
masuk ke dalam salah satu teknik penatalaksanaan pasien fraktur, yaitu reduksi.
Eksternal fiksasi dilakukan dengan cara memasang sekrup atau paku di dalam tulang
lalu menyambungkannya dengan plat yang berada di bagian luar tulang. Tujuan dari
eksternal fiksasi ini adalah agar tulang yang patah dapat kembali pada posisi
anatomis.
5. Parestesi
Parestesi adalah kehilangan sensasi. Hal ini disebabkan adanya cidera pada saraf
terutama di bagian dendrit (tempat penerima rangsang).
6. Cefazoline
1
Salah satu jenis obat antibiotik golongan sefalosporin yang digunakan untuk
mencegah infeksi. Digunakan sebelum dan sesudah operasi (Mc Evoy, 2004).
7. Ketorolac
Merupakan jenis obat analgesik yang termasuk ke dalam golongan obat NSAID (Non-
Steroid Anti Inflamation Drugs). Obat ini dapat menangani nyeri sedang hingga berat,
namun tidak untuk penggunaan jangka panjang (Mc Evoy, 2004).
Kasus yang terjadi pada pasien adalah fraktur. Fraktur yang dialami pun ada 2 macam,
yaitu fraktur tibia dan fraktur femur. Kemungkinan masalah yang akan muncul adalah:
1. Apa yang menjadi penyebab, manifestasi klinis dan komplikasi dari fraktur?
2. Bagaimana bisa terjadi fraktur?
3. Penatalaksanaan medis seperti apa yang baik untuk fraktur? Apakah
penatalaksanaan yang cocok untuk kasus di atas?
4. Apa yang menjadi peran perawat dalam penatalaksanaan medis di atas?
5. Bagaimana asuhan keperawatan untuk pasien dengan kasus di atas?
Di dalam kasus telah disebutkan beberapa hasil pemeriksaan dan data pendukung untuk
menganalisa masalah dan melakukan pengangkatan diagnosa keperawatan. Kasus
menyebutkan klien mengalami kecelakaan lalu lintas 6 jam yang lalu sebelum dilarikan
dan akhirnya dirawat di rumah sakit. Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab terbanyak
dari fraktur (Noor, 2012). Pada kondisi ini, terjadi benturan yang sangat keras melebihi
kekuatan menahan tulang sehingga tulang mengalami patah (fraktur).
Gejala yang muncul pada klien adalah sebagai berikut: klien mengeluh merasakan
nyeri, bahkan nyeri hebat dengan skala 7. Klien juga mengalami deformitas atau
perubahan bentuk ekstremitas dilihat dari adanya bengkak dan penonjolan tulang.
Terdapat juga luka robek yang berada di sekitar tibia sebesar 6 cm. Jika dibiarkan,
perdarahan yang berasal dari luka terbuka akan menyebabkan syok hipovolemik. Syok
hipovolemik yang tidak tertangani dapat menimbulkan kematian. Selain itu, luka robek
tersebut beresiko menimbulkan infeksi.
Maka dari itu, dilakukan traksi skeletal dan fiksasi eksternal. Kedua hal tersebut
memiliki tujuan mengimobilisasi ekstremitas bawah klien agar tidak menambah parah
cidera dan mengembalikan posisi tulang yang patah ke posisi anatomisnya semula.
Pengkajian seluruh tubuh yang berfokus pada sistem muskuloskeletal akan menjadi
sangat penting bagi pasien sebelum dilakukan tindakan dan inilah yang menjadi fokus
perawat. Selain itu perawatan selama penggunaan traksi dan fiksasi juga menjadi sangat
penting.
2
Faktor predisposisi Faktor presipitasi
(Keadaan patologis) (Kecelakaan)
Terbuka Tertutup
Masalah 1. Nyeri
Keperawatan 2. Resiko syok
Hipovolemik
3. Hambatan
mobilitas fisik
4. Resiko infeksi
Diagnosa 5. Resiko konstipasi
Keperawatan
Intervensi
3
VI. Learning Objective
VII. Pembahasan
2. Faktor Resiko
a. Cedera dan benturan seperti pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir
mendadak, kontraksi otot ekstrim.
b. Letih, karena otot tidak dapat mengabsorbsi energi seperti berjalan kaki terlalu
jauh.
c. Kelemahan tulang akibat penyakit kanker atau osteoporosis pada fraktur
patologis.
4
3. Patofisiologi
Sumber:http://medscape.net/pathophysiology-patogenesis-fracture.html
5
4. Manifestasi Klinis
Ada berbagai macam gejala yang timbul pada pasien fraktur, namun yang
paling sering muncul adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan
ekstremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna (Smeltzer & Bare,
2001).
5. Komplikasi
Ada berbagai macam komplikasi yang timbul pada pasien fraktur (Smeltzer &
Bare, 2001). Berdasarkan waktu timbulnya, terbagi menjadi 2, yaitu :
a. Komplikasi Awal
i. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma dapat ditandai dengan tidak adanya nadi,
CRT menurun, sianosis pada bagian distal, hematoma melebar, dan dingin
pada ekstremitas yang disebabkan oleh tindakan darurat splinting, perubahan
posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
ii. Sindrom kompartemen.
Merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang
saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Hal ini disebabkan oleh
edema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah, atau
karena tekanan dari luar seperti gips dan pembebatan yang terlalu kuat.
iii. Fat Embolism Syndrome (FES).
6
Adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang
panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow
kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan kadar oksigen dalam darah
menjadi rendah. Ditandai dengan gangguan pernafasan, tahikardi, hipertensi,
tachypnea, dan demam.
iv. Infeksi.
Sistem pertahanan tubuh akan rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma ortopedi, infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam.
Hal ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tetapi dapat juga karena
penggunaan bahan lain dalam pembedahan, seperti pin (ORIF & OREF) dan
plat.
v. Nekrosis Avaskular.
Terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu sehingga
menyebabkan nekosis tulang.
vi. Syok.
Terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas
kapiler sehingga menyebabkan oksigenasi menurun.
b. Komplikasi Lama
i. Delayed Union.
Merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang
dibutuhkan tulang untuk menyambung. Hal ini terjadi karena suplai darah ke
tulang menurun.
ii. Non-union.
Merupakan fraktur yang tidak sembuh antara 6-8 bulan dan tidak
didapatkan konsolidasi sehingga terdapat pseudoartrosis (sendi palsu).
Pseudoartrosis dapat terjadi tanpa infeksi, tetapi dapat juga terjadi bersama-
sama infeksi.
iii. Mal-union.
Merupakan keadaan ketika fraktur menyembuh pada saatnya, tetapi terdapat
deformitas yang berbentuk angulasi, varus/valgus, rotasi, pemendekan, atau
union secara menyilang, misalnya pada fraktur tibia-fibula.
Menurut Noor tahun 2012, proses penyembuhan fraktur terdiri dari 4 tahap,
yaitu:
7
a. Inflamasi
b. Proliferasi Sel
c. Pembentukan Kalus
Pertumbuhan jaringan terus berlanjut, begitu juga dengan tulang rawan, hingga
mencapai sisi lain dari fraktur. Fragmen patahan akan dihubungkan oleh jaringan
ikat fibrus. Perlu waktu 3 sampai 4 bulan untuk menggabungkan fragmen tulang.
Setelah itu dilanjutkan dengan proses penumpukkan mineral, agar tulang semakin
kuat.
d. Remodeling
Tahap akhir dari perbaikan tulang. Tahap ini meliputi pengambilan jaringan
mati dan reorganisasi oleh osteoklast. Osteoklast akan dihasilkan untuk
menghancurkan kalus yang perannya telah selesai. Perlu waktu berbulan-bulan
hingga bertahun-tahun untuk menyelesaikan tahap remodeling ini bergantung pada
jenis fraktur dan usia pasien.
a. Usia penderita.
Waktu penyembuhan tulang anak-anak jauh lebih cepat dari pad orang dewasa.
Hal ini di sebabkan karena aktivitas proses osteogenesis pada periosteum dan
endoesteum serta proses pembentukan tulang pada bayi sangat aktif. Apabila usia
bertambah proses tersebut semakin berkurang.
8
c. Pergeseran awal fraktur.
Pada fraktur yang periosteumnya tidak bergeser penyembuhannya dua kali
lebih cepat di bandingkan dengan fraktur yang bergeser.
f. Waktu imobilisasi.
Bila imobilisasi tidak di lakukan sesuai waktu penyembuhan sebelum terjadi
union, kemungkinan akan terjadi non-union sangat besar.
h. Nutrisi
Asupan protein yang banyak akan mendukung proses penyembuhan fraktur.
Begitu juga dengan vitamin D. Vitamin D adalah vitamin yang membantu
penyerapan kalsium di usus halus. Ketika konsumsi vitamin D baik, maka kalsium
yang merupakan mineral utama penyusun tulang akan mudah diserap dan bisa
masuk ke tulang sesuai jumlah yang dibutuhkan.
7. Klasifikasi
b. Tipe II
Laserasi kulit melebihi 1cm tetapi tidak ada kerusakan jaringan yang hebat
atau avulsi kulit. terdapat kerusakan yang sedang dari jaringan dengan sedikit
kontaminasi fraktur.
c. Tipe III
9
Terdapat kerusakan yang hebat dari jaringan lunak termasuk otot, kulit dan
struktur neurovaskuler dengan kontaminasi yang hebat. tipe ini biasanya di
sebabkan oleh karena trauma dengan kecepatan tinggi. Tipe 3 di bagi dalam 3
subtipe:
i. Tipe III A
Jaringan lunak cukup menutup tulang yang patah walaupun terdapat laserasi
yang hebat ataupun adanya flap. fraktur bersifat segmental atau komunitif
yang hebat
ii. Tipe III B
Fraktur di sertai dengan trauma yang hebat dengan kerusakan dan
kehilangan jaringan, terdapat pendorongan periost, tulang terbuka,
kontaminasi yang hebatserta fraktur komunitif yang hebat.
iii. Tipe III C
Fraktur terbuka yang disertai dengan kerusakan arteri yang memerlukan
perbaikan tanpa memperhatikan tingkat kerusakan jaringan lunak.
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Bone X-Ray
Bagi anak-anak, umumnya merasa takut dengan peralatan yang besar dan
asing serta ia merasa terisolasi dari orang tuanya, pastikan pada bagian
radiology kemungkinan orang tua dapat mendampiringi anaknya pada saat
prosedur.
10
Informasikan pada klien, prosedur ini tidak menyebabkan rasa nyeri, tetapi
mungkin merasa kurang nyaman terhadap papan pemeriksaan yang keras
dan dingin.
Lindungi testis, ovarium, perut ibu hamil dengan pelindung khusus terhadap
radiasi selama prosedur.
b. CT-Scan
MRI merupakan teknik scaning diagnostik yang non infasiv dan menggunakan
medan magnet. Pemeriksaan ini dapat memberikan informasi tentang tulang,
sendi , kartilago, ligament dan tendon. Klien dengan keluhan nyeri leher dan
pinggang dapat diketahui dengan MRI untuk melihat kemungkinan adanya
herniasi.
Kelebihan dari MRI adalah klien tidak terpapar oleh ion-ion radiasi. MRI
penting dalam pengkajian untuk mengetahui perbaikan dari suatu pembedahan
11
ortopedik.
Hal yang perlu diperhatikan perawat pada pemeriksaan MRI ini adalah :
Tidak ada pembatasan input baik makan maupun minum sebelum tindakan
Jelaskan tujuan dan gambaran tindakan, seperti klien akan dibaringkan di
medan magnet, kemudian dimasukkan dalam sebuah tabung.
Anjurkan klien melepas semua bahan metal seperti : ikat pinggang, arloji,
kartu kredit, karena ini akan mempengaruhi hasil scaning dan medan
magnet dapat merusak fungsi benda-benda tersebut.
12
d. Angiografi
e. Atroskopi
Dapat digunakan untuk mengetahui adanya robekan pada kapsul sendi atau
ligament penyangga lutut, bahu, tumit, pinggul, dan pergelangan tangan.
Pemeriksaan ini merupakan tindakan endoskopi yang memungkinkan pandangan
langsung ke dalam ruang sendi.
Infeksi (tindakan ini harus dilakukan dengan steril dan di kamar operasi).
Tromboplebitis yang dapat disebabkan oleh karena immobilisasi yang lama.
Rupture sinovial.
13
Pada umumnya tindakkan ini menggunakan anestesi spinal atau general
anestesi. Khususnya apabila pembedahan pada lutut diperlukan.
Sebelum pemeriksaan pada lutut, rambut halus sekitar 6 inci di bawah dan
di atas lutut harus dibersihkan.
Klien ditempatkan pada meja operasi dengan posisi supinasi. Kaki klien
ditinggikan kemudian dibalut dengan pembalut elastis dari ibu jari sampai
ke paha bagian bawah guna meminimalkan vaskularisasi ke bagian distal.
Pembalut elastis dilepas lalu segera buat incici kecil di lutut, kemudian alat
atroskopi dimasukkan di sela persendian lutut untuk melihat keadaan di
dalam sendi lutut tersebut.
Kontraindikasi atroskopi:
a. Pemeriksaan Hemologi
i. Hemoglobin
14
otot yang lebih banyak. Nilai normal hemoglobin pada laki-laki adalah 13
18 mg/ dL sedangkan wanita adalah 12-16 mg/dL.
ii. Hematokrit
iii. Eritrosit
Nilai normal eritrosit pria dan wanita berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh
total kepemilikan otot dalam tubuh. Pria cenderung memiliki lebih banyak otot
sehingga membutuhkan suplai oksigen yang dibawa oleh eritrosit lebih
banyak. Nilai normal pada pria adalah 4,4 - 5,6 x 106 sel/mm 3 sedangkan pada
wanita 3,8-5,0 x 106 sel/mm3 . Pada kasus di atas, jumlah eritrosit pasien
menurun. Hal ini disebabkan oleh perdarahan yang diakibatkan oleh luka
terbuka.
iv. Leukosit
Nilai normal untuk leukosit adalah 4300 10.800/ mm3. Pada pasien
dalam kasus di atas nilai leukositnya mengalami peningkatan. Hal ini
dikarenakan pasien memiliki luka terbuka yang akan mengaktifkan
mekanisme inflamasi sehingga meningkatkan jumlah leukosit.
b. Pemeriksaan Serologi
ii. Albumin
15
Merupakan salah satu protein yang berguna sebagai pengatur tekanan
onkotik koloid. Nilai normalnya adalah 3,5 5,0 g%. Pada orang yang
mengalami perdarahan, albuminnya akan turun.
9. Penatalaksanaan
b. Reduksi tertutup
Dilakukan dengan menggunakan traksi atau gips.
Traksi
Traksi adalah pemasangan gaya tarikan ke bagian tubuh (Smeltzer
&Bare, 2001). Traksi digunakan untuk :
- meminimalkan spasme otot
- untuk mereduksi, mensejajarkan, dan mengimobilisasi fraktur
- untuk mengurangi deformitas
16
- untuk menambah ruangan diantara kedua permukaan patahan
tulang (Smeltzer &Bare, 2001)
- Traksi Kulit
Traksi kulit terjadi akibat beban menarik tali, spon karet, atau
bahan kanvas yang diletakkan ke kulit. Beratnya beban yang dipasang
sangat terbatas; tidak boleh melebihi toleransi kulit. (Smeltzer &Bare,
2001).Traksi pelvis umumnya 4,5 sampai 9 kg, tergantung berat badan
pasien.
Traksi ini digunakan untuk mengontrol spasme kulit dan
memberikan imobilisasi. Komplikasi Traksi Kulit adalah kerusakan
kulit atau iritasi kulit, tekanan pada saraf perifer, dan kerusakan
sirkulasi
Pengkajian Traksi Kulit:
o Sebelum pemasangan inspeksi adanya abrasi dan gangguan
peredaran darah.
o Kaji tingkat ansietas pasien dan respon psikologis pasien
terhadap traksi.
o Pada lansia, kaji sensitif dan kerapuhan kulit
o Rabaan dan gerakan harus dikaji dengan teratur
o Kaji denyut perifer dan warna, pengisian kapiler, dan suhu
jari tangan atau jari kaki harus dikaji.
o Kaji adanya nyeri tekan pada betis dan adanya tanda Homan
positif yang merupakan tanda adanya trrombosis vena dalam
17
o Ajarkan pasien latihan tangan dan kaki dan anjurkan untuk
melakukan aktifitas tersebut setiap jam.
- Traksi Skeletal
18
sehingga dapat dicegah terjadinya footdrop (plantar fleksi),
rotasi ke dalam (inversi).
o Kaki pasien harus disangga dalam posisi netral dengan alat
otropedi.
o Bila digunakan bingkai traksi, perlu dipasang pegangan di
atas tempat tidur agar pasien mudah berpegangan.
o Bila pasien tak diperbolehkan memiringkan badan, perawat
harus melakukan usaha khusus untuk memberikan perawatan
punggung dan menjaga tempat tidur tetap kering dan bebas
dari remah dan lipatan.
o Bila pasien tak mampu tak dapat menaikkan dirinya sendiri
dari tempat tidur, perawat dapat menekan kasur ke bawah
dengan satu tangan untuk membebaskan tekanan di
punggung dan penonjolan tulang dan memindahkan
perpindahan berat badan.
o Tempat penusukan pin harus diperhatikan. Daerah tersebut
harus dijaga tetap bersih. Terjadinya kerak harus dicegah.
o Ajarkan latihan-latihan yang berguna untuk menjaga
kekuatan dan tonus otot dan memperbaiki peredaran darah.
Latihannya yaitu menarik pegangan di atas tempat tidur,
fleksi dan ekstensi kaki, dan latihan rentang gerak dan
menahan beban bagi sendi yang sehat.
o Bila pemeriksaan sinar-X telah menunjukkan adanya kalus,
traksi skeletal perlu dihentikan.
o Pasang gips atau bidai untuk melindungi tulang yang sedang
menyembuh.
Gips
Alat imobilisasi ekternal yang kaku yang di cetak sesuai kontur
tubuh di mana gips dipasang. Tujuan pemakaian gips untuk
mengimobilisasi bagian tubuh dalam posisi tertentu dan memberikan
tekanan yang merata pada jaringan lunak yang terletak didalamnya.
(Smeltzer & Bare,2001).
Jenis jenis Gips:
- Gips lengan pendek, memanjang dari bawah siku sampai
lipatan telapak tangan.
- Gips lengan panjang, memanjang dari setinggi lipatan ketiak
sampai di sebelah proksimal lipatan telapak tangan. Siku biasanya
dalam posisi tegak lurus.
- Gips tungkai pendek, memanjang dari bawah lutut sampai
dasar jari kaki (dalam posisi tegak lurus).
- Gips tungkai panjang, memanjangdari perbatasan sepertiga atas
dan tengah paha sampai dasar jari kaki, lutut harus sedikit fleksi.
- Gips berjalan, gips tungkai panjang atau pendek yang dibuat
lebih kuat. Bisa disertai telapak untuk berjalan.
19
- Gips tubuh, melingkar di batang tubuh.
- Gips spika, melibatkan sebagian batang tubuh dan satu atau dua
ekstermitas (gips spika tunggal atau ganda).
- Gips spika bahu, jaket tubuh yang melingkari batang tubuh dan
bahu dan siku.
- Gips spika pinggul, melingkari batang tubuh dan satu
ekstremitas bawah; dapat gips spika tunggal atau ganda (Smeltzer
& Bare,2001).
- Pengkajian
Kesehatan umum pasien, tanda dan gejala yang ada, status
emosional, pemahaman mengenai perlunya gips, dan kondisi
bagian tubuh yang harus diimobilisasi dengan gips.
Pengkajian fisik bagian tubuh yang harus diimobilisasi harus
melibatkan pengkajian status neurovaskuler, derajat dan lokasi
pembengkakan, memar dan adanya abrasi kulit.
- Intervensi keperawatan
o Memahami program pengobatan
Sebelum pemasangan gips pasien diberikan informasi
mengenai masalah patologik, penatalaksanaan yang
diberikan serta memungkinkan partisipasi pasien secara aktif
dan patuh pada pengobatan, diberitahukan mengenai apa
yang akan dirasakan selama pemasangan gips dan tidak
dapat digerakkan selama gips masih terpasang.
o Meredakan nyeri
20
Nyeri dapat merupakan petunjuk adanya komplikasi,
kerusakan kulit karena tekanan pada jaringan atau tonjolan
tulang, atau sindrom kompartemen yang berkaitan dengan
gangguan peredaran darah. Supaya tidak menyebabkan
cekungan pada gips.
Meninggikan bagian yang sakit, pemberian kompres
dingin bila perlu, dan pemberian analgetik dosis normal
Perhitungkan nyeri yang di rasakan pasien karena
berpotensial masalah karena ulkus akibatnya tekanan atau
gangguan perfusi jaringan.
Nyeri yang tak reda harus segera laporkan kepada dokter,
untuk mencegah kemungkinan terjadi nekrosis dan
paralisis
- Peningkatan mobilitas.
Setiap sendi yang ta diimobilisasi harus dilatih dan digerakkan
sesuai kisaran geraknya untuk mempertahankan fungsinya.bila
pasien dipasang gips pada tungkai, perlu dilakukan latihan pada
jari-jari kaki.
- Mencapai perawatan diri maksimal.
Perawat harus membantu pasein dalam mengidentifikasi bidang
di mana perawatan dirinya kurang dan mengembangkan strategi
untuk membantu pasien sebaik mungkin mencapai kemandirian
nya dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.
- Penyembuhan abrasi kulit.
Abrasi kulit harut dirawat terlebih dahulu agar cepat sembuh.
Kulit harus dicuci dengan seksama lalu batutan steril digunakan
untuk menutupi kulit yang cidera. Bila luka kulit sangat ekstensif,
dapat dipilih alternative lain (mis.fiksator ekternal).
- Mempertahankan perfusi jaringan yang adekuat.
Perawat harus memantau ektremitas yang terkena mengenai
adanya nyeri, pembengkakan, perubahan warna (pucat dau
kebiruan), parestesia (kesemutan dan kebas), denyut yang menurun
atau hilang, paralisis dan dingin. Jari tangan atau kaki ektremitas
yang di pasang gips harus dikaji dan dibandingkan dengan
ektremitas sebelahnya. Temuan normal meliputi ketidaknyamanan,
warna merah muda, hangat bila diraba, respon pengisian kapiler
cepat, kemampuan menggerakkan jari tangan dan kaki dan
perabaan normal. Pasien di dorong untuk menggerakkan jari
tangan dan kaki setiap jam agar merangsang peredaran darah.
(Smeltzer & Bare,2001).
21
ii. Reduksi terbuka
Dilakukan dengan pemasangan fiksasi internal dan eksternal melalui
prosedur operasi. Reduksi terbuka dilakukan ketika reduksi tertutup gagal.
Fiksasi eksternal
Fiksasi eksternal digunakan untuk mengobati fraktur terbuka
dengan kerusakan jaringan lunak. Alat ini dapat memberikan dukungan
yang stabil untuk fraktur comminuted ( hancur atau remuk) sementara
jaringan lunak yang hancur dapat ditangani dengan aktif.
Garis fraktur direduksi, disejajarkan dan diimobilisasi dengan
sejumlah pin yang dimasukkan ke dalam fragmen tulang. Pin yang
telah terpasang dijaga tetap dalam posisinya yang dikaitkan pada
kerangkanya. Fiksator ini memberikan kenyamanan bagi pasien,
mobilisasi awal, dan latihan awal untuk sendi di sekitarnya. Komplikasi
karena disuse dan imobilisasi dapat diminimalkan.
Sebelum pemasangan perlu mempersiapkan pasien secara
psikologis karena alat ini sangat mengerikan dan terlihat asing bagi
pasien. Harus diyakinkan bahwa ketidaknyamanan karena alat ini
sangat ringan dan bahwa imobilisasi awal dapat diantisipasi untuk
menambah penerimaan alat ini, begitu juga keterlibatan pasien pada
perawatan terhadap fiksator ini.
Perawatan fiksasi eksternal:
- Status neurovaskular ekstremitas dipantau tiap 2 jam.
- Tiap tempat pemasangan pin dikaji mengenai adanya
kemerahan, keluarnya cairan, nyeri tekan, nyeri, dan longgarnya
pin.
- Perawatan pin untuk mencegah infeksi lubang pin harus
dilakukan secara rutin. Tidak boleh ada kerak pada pin, fiksator
harus dijaga kebersihannya.
- Latihan isometrik dan aktif dianjurkan dalam batas kerusakan
jaringan bisa menahan.
- Pembatasan pembebanan berat badan diberikan untuk
meminimalkan pelonggaran pin ketika terjadi tekanan antara
interface pin dan tulang (Smeltzer and Bare, 2001).
Fiksasi interna
Fiksasi interna biasanya dipasang beberapa hari setelah cedera.
Alat nail intrameduler atau nail interloking, plat, dan sekrup dapat
memberikan fiksasi interna yang memadai, yang memungkinkan
mobilisasi awal. Gerakan otot aktif sangat penting untuk eningkatkan
asupan darah dan potensial elektris pada tempat fraktur, yang akan
mempercepat penyembuhan.
Alat fiksasi interna biasanya diambil setelah penyatuan tulang
telah terjadi, namun pada kebanyakan pasien alat tersebut tidak
diangkat sampai menimbulkan gejala. Nyeri dan penurunan fungsi
merupakan indikator utama telah terjadinya masalah. Masalah tersebut
22
meliputi kegagalan mekanis (pemasangan dan stabilisasi yang tidak
memadai); kagagalan material (alat yang cacat atau rusak); berkaratnya
alat, menyebabkan inflamasi lokal; respon alergi terhadap campuran
logam yang dipergunakan; dan remodeling osteoporotik di sekitar alat
fiksasi (stres yang dibutuhkan untuk memperkuat tulang direndam oleh
alat tersebut, mengakibatkan osteoporosis disuse). Bila alat diangkat,
tulang perlu dilindungi dari frakturkembali sehubungan dengan
osteoporosis, struktur tulang yang terganggu dan trauma. Remodelling
tulang akan mengembalikan kekuatan struktur tulang. (Smeltzer and
Bare, 2001)
c. Retention
Dengan melakukan imobilisasi fraktur. Tujuannya mencegah pergeseran
fragmen dan mencegah pergerakan yang dapat mengancam union atau
penyatuan. Untuk mempertahankan reduksi (ektrimitas yang mengalami
fraktur) bisa juga menggunakan traksi. Traksi merupakan salah satu
pengobatan dengan cara menarik/tarikan pada bagian tulang-tulang sebagai
kekuatan dngan kontrol dan tahanan beban keduanya untuk menyokong tulang
dengan tujuan mencegah deformitas, mengurangi fraktur dan dislokasi,
mempertahankan ligamen tubuh, mengurangi spasme otot, mengurangi nyeri,
dan mempertahankan anatomi tubuh.
d. Rehabilitation
Mengembalikan aktiftas fungsional seoptimal mungkin. Pada pasien dengan
fraktur terutama fraktur tulang panjang akan mengalami tirah baring yang
cukup lama bergantung pada jenis frakturnya. Maka dari itu, pasien yang
sudah mendapat izin melakukan latihan harus segera dilakukan ambulasi dini.
Menggunakan alat bantu gerak seperti walker dan crutch. Selain itu, pada
tingkat selanjutnya dapat dilakukan weight bearing exercise.
23
menyebabkan perdarahan, ACE inhibitor dapat menyebabkan semakin tingginya
resiko gagal ginjal, diuretik dapat berkurang efeknya (ISFI, 2008).
b. Ranitidin
Ranitidin merupakan antagonis histamin reseptor H2 (antagonis H2)
menghambat kerja histamin pada semua reseptor H2 yang penggunaan klinisnya
ialah menghambat sekresi asam lambung, dengan menghambat secara kompetitif
ikatan histamin dengan seseptor H2, zat ini mengurangi konsentrasi cAMP
intraseluler sehingga sekresi asam lambung juga dihambat (Mycek, 2001).
c. Paracetamol
Paracetamol merupakan metabolit fanacetin yang berkhasiat sebagai analgetik
dan antipiretik tanpa memengaruhi SSP atau menurunkan kesadaran serta tidak
menyebabkan ketagihan.Daya antipiretik parasetamol didasakan pada rangsangan
pusat penghantar kalor di hipotalamus, menimbulkan vasodilatasi perifer (di kulit)
sehingga terjadi pengeluaran panas yang disertai banyak keringat (Tjay, 2007).
Parasetamol diindikasikan untuk pengobatan demam (selesma, pilek), dan nyeri
ringan hingga sedang. Parasetamol tidak diberikan kepada pasien yang mengalami
kerusakan fungsi hati dan ginjal serta dengan ketergantungan akohol (ISFI, 2008).
Efek samping yang timbul akibat penggunaan parasetamol antara lain, reaksi
hipersensitifitas, ruam kulit dan kelainan darah, kerusakan hati. Dalam keadaan
overdosis, mual, muntah dan anoreksia.
d. Cefadoxril
Cefadroxil adalah antibiotik sefalosporin generasi pertama yang memiliki
aktivitas bakterisidal yang luas dengan cara menghambat sintesis dinding sel, dan
mempunyai masa kerja yang panjang. Cefadroxil diindikasikan untuk mengobati
infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang sensitif terhadap cefadroxil antara lain:
infeksi saluran pernafasan bawah (pneumonia), infeksi kulit dan struktur kulit,
infeksi tulang dan sendi, infeksi intraabdominal (Mc Evoy, 2004).
A. Biodata/Identitas Pasien
Nama : Tn. X
Usia : 25 tahun
Jenis kelamin : Pria
B. Pengkajian
1) Keluhan utama: nyeri hebat (skala 7) di paha kiri dan kaki kanan
2) Riwayat penyakit saat ini
P: Klien mengalami kecelakaan lalu lintas 6 jam yang lalu, trauma pada paha dan kaki
Q: Klien mengalami nyeri sangat hebat, biasanya bersifat menusuk
R: Nyeri di paha kiri dan kaki kanan
S: Skala 7 (nyeri hebat)
T: Selama evakuasi klien dari KLL hingga sampai RS (6 jam)
3) Riwayat penyakit dahulu: -
Penyakit seperti TBC tulang, kanker tulang dapat menyebabkan fraktur patologis sehingga
tulang sulit menyambung. Diabetes juga memiliki andil dalam proses penyembuhan fraktur
yang lama.
4) Riwayat keluarga: -
24
Osteoporosis dan kanker tulang yang terjadi di beberapa generasi dapat menjadi faktor
predisposisi terjadinya fraktur.
5) Pengkajian psiko-sosio-spiritual: -
Yang perlu dikaji adalah emosi klien terhadap sakit yang diderita, peran klien dalam
keluarga dan masyarakat, respon terhadap pernyakit dan pengaruhnya dalam hidup klien,
dan harapan klien.
C. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum: n/a (klien tidak bisa berjalan karena kedua kakinya mengalami fraktur)
2) Pemeriksaan tanda-tanda vital:
HR: 100x/menit RR: 22x/menit TD:100/70 mmHg T: 38oC
3) Pemeriksaan fisik
a. Sistem Pernapasan
Tidak ada perubahan. Taktil fremitus seimbang, tidak ada suara tambahan, tidak ada
nyeri tekan di dada. RR sedikit meningkat.
b. Sistem Kardiovaskular
Tidak ada iktus jantung, nadi meningkat, suara S1 dan S2 normal, ada perdarahan pada
luka robek di tibia, konjungtiva anemis karena kehilangan darah, nadi distal (+)
c. Sistem Persarafan dan Persepsi Sensori
i. Tingkat kesadaran
Kesadaran klien compos mentis dengan wajah mengerang menahan nyeri.
ii. Fungsi serebri
Tidak ada perubahan fungsi serebri. Yang perlu dikaji: penampilan dan tingkah laku.
iii. Pemeriksaan saraf kranial
- Saraf I: tidak ada kelainan penciuman
- Saraf II: ketajaman penglihatan dalam batas normal
- Saraf III, IV, VI: tidak ada gangguan mengangkat kelopak mata dan pupil isokor
- Saraf V: tidak mengalami paralisis otot wajah.
- Saraf VII: persepsi pengecapan normal, wajah simetris
- Saraf VIII: tidak ada tuli konduktif/sensori
- Saraf IX dan X: kemampuan menelan baik
- Saraf XI: tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius
- Saraf XII: lidah simetris
iv. Sistem sensorik
Ada nyeri akibat fraktur, parestesi dan paralisis (-)
d. Sistem Genitourinaria
Tidak ada perubahan. Yang perlu dikaji: lesi di sekitar genitourinaria, priapismus
(ereksi), bau feses dan miksi. Hal tersebut tanda cidera tulang spina.
e. Sistem Pencernaan
Tidak ada perubahan. Yang harus dikaji: bentuk, lesi di 4 region, turgor, hepar dan limfe,
suara perkusi timpani, dan bising usus.
f. Sistem Integumen
Terdapat bengkak pada paha kiri dan luka terbuka sebesar 6 cm pada kaki kanan. Ada
eritema.
g. Sistem Muskuloskeletal
i. Look: terdapat deformitas pada femur kiri dan tibia kanan, perdarahan pada tibia
kanan, jaringan lunak yang membengkak.
ii. Listen: doppler signal (ABI)
iii. Feel: adanya krepitasi, skin flaps (-), pulse (+)
iv. Move: nyeri saat pergerakan
25
4) Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan laboratorium
Hb: 10,2, Ht: 31%, Eritrosit: 3,72, Leukosit: 11000 Pasien mengalami
kehilangan darah yang cukup banyak dan ada infeksi (ditandai dengan jumlah
leukosit san suhu yang tinggi).
b. Pemeriksaan radiologis
X-ray: Fraktur obliq 1/3 distal femur sinistra dan fraktur cruris segmental 1/3
media dekstra.
D. Analisis Data
26
Port de entry
Resti Infeksi
4. Data subjektif : Fraktur terbuka dan tertutup Resiko syok
Data Objektif:
hipovolemik
Yang terkena di daerah
spongebone
Fraktur terbuka dan tertutup
Banyak pembuluh darah
Kerusakan pembuluh darah
> darah yang keluar
Resti syok hipovolemik
5. Data subjektif : Hambatan mobilitas fisik Resiko konstipasi
Data Objektif:
Tirah baring yang lama
Motilitas usus menurun
Bising usus menurun
Resti konstipasi
E. Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri akut berhubungan dengan pergeseran fragmen tulang, kompresi saraf, cidera
neuromuskular, dan cidera jaringan lunak ditandai dengan spasme otot, luka terbuka,
tonjolan tulang.
2) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan diskontinuitas tulang, nyeri sekunder akibat
pergeseran fragmen tulang dan pemasangan fiksasi eksternal dan traksi skeletal.
3) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan port de entree luka terbuka di tibia dekstra
ditandai dengan luka robek sepanjang 6 cm, nilai leukosit lebih dari normal (11000), suhu
febris (38o C).
4) Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan perdarahan yang terjadi terus menerus.
5) Resiko konstipasi berhubungan dengan imobilisasi tubuh dan peruabahan rutinitas harian,
sekunder akibat fraktur tulang femur dan cruris.
27
F. Intervensi Keperawatan
28
analgesik opioid (morfin) sehingga membuat klien bertambah
c. Pemasangan traksi skeletal
nyeri.
d. Pemasangan fiksasi eksternal
4. Memberikan suasana yang tenang
8. Evaluasi TTV dan skala nyeri
dapat mengurangi respons
psikologis dan memberikan
istirahat yang tidak hanya
mengurangi nyeri tetapi juga
mempercepat proses penyembuhan.
Massage diketahuo menghambat
perjalanan impuls nyeri. Impuls
nyeri (saraf C, kecil dan lambat
menghantar impuls) akan diblok
oleh impuls yang didapat melalui
massage (saraf A, besar dan cepat
menghantar impuls)
5. Distraksi dengan teknik pereda
nyeri non farmakologi dan non
invasif seperti melakukan hobi
klien, napas dalam, akan
mengalihkan perhatian klien pada
hal-hal yang menyenangkan.
6. Istirahat akan merelaksasi semua
jaringan sehingga mengurangi
nyeri. Selain itu, istirahat akan
mempercepat pernyembuhan.
29
7. Kolaborasi:
a. Ketorolac adalah obat golongan
NSAID yang dapat mengurangi
nyeri akut tingkat moderate
hingga severe. Obat ini hanya
bisa digunakan tidak lebih dari
5 hari karena hanya cocok
untuk nyeri akut jangka pendek.
Obat ini dapat menghambat
sintesis prostaglandin (mediator
kimia nyeri) di bagian perifer
namun juga mengikis lambung
dengan mekanisme peningkatan
permeabilitas mukosa lambung
sehingga dapat mengabsorpsi
asam lambung dari lumen ke
mukosa yang berakibat melukai
dinding lambung. Maka dari
itu, penggunaan obat ini harus
berbarengan dengan ranitidine
untuk menjaga keutuhan
mukosa lambung.
b. Analgesik opioid bisa menjadi
pilihan antinyeri selain
30
ketorolac, namun obat
analgesik macam ini (contoh:
morfin, kodein) berkerja di
sistem saraf pusat sehingga
memiliki pengaruh sistemik dan
menimbulkan adiksi dan
toleransi.
c. Traksi memiliki tujuan untuk
mengembalikan posisi tulang
pada kesejajaran anatomis
sekaligus imobilisasi. Dengan
melakukan traksi nyeri dapat
berkurang karena adanya proses
imobilisasi.
d. Pemasangan fiksasi internal
atau eksternal juga memiliki
tujuan reduksi (mengembalikan
fragmen tulang ke posisi
anatomis) sehingga akan
mengimobilisasi tulang dan
mengurangi rasa nyeri.
8. Melihat keefektifan tindakan yang
telah dilakukan.
2. Hambatan mobilitas fisik Setelah mendapat tindakan 1. Kaji TTV dan kekuatan otot 1. TTV menggambarkan keadaan
berhubungan dengan selama masa perawatan, sebelum dan sesudah aktivitas umum. Pengkajian TTV dan
31
diskontinuitas tulang, nyeri klien dapat melaksanakan 2. Kaji kemampuan mobilisasi kekuatan otot sebelum aktivitas
sekunder akibat pergeseran aktivitas fisik sesuai 3. Ajarkan klien untuk sedikit demi dilakukan agar dapat menentukan
fragmen tulang dan dengan kemampuannya, sedikit menggerakkan ekstremitas program latihan yang
pemasangan fiksasi eksternal dengan kriteria hasil: yang tidak sakit (gerakkan aktif) memungkinkan untuk klien.
dan traksi skeletal. a. TTV normal sebelum 4. Bantu klien melakukan latihan Sesudah aktivitas perlu dicek
dan setelah aktivitas ROM kembali TTV dan kekuatan otot.
b. Mampu mengikuti
5. Sisipkan kegiatan istirahat di sela- Untuk melihat ada/tidaknya
program latihan
sela program latihan intoleransi aktivitas (TTV berubah
c. Tidak mengalami
6. Kolaborasi: secara drastis setelah aktivitas) dan
kontraktur sendi
d. Kekuatan otot a. Kolaborasi dengan fisioterapi meningkat/tidaknya kekuatan otot.
2. Dengan mengkaji kemampuan
bertambah untuk menyusun jadwal dan
mobilisasi klien, perawat dan
menu latihan fisik klien
fisioterapi dapat menentukan menu,
durasi, dan frekuensi yang tepat
untuk latihan fisik.
3. Untuk kasus ini, klien mengalami
fraktur femur sinistra dan cruris
dekstra, maka bagian ekstremitas
yang dapat melakukan gerakan aktif
adalah telapak kaki sinistra dan
ekstremitas atas. Gerakan aktif
sangat penting untuk
mempertahankan massa, tonus, dan
kekuatan otot sehingga ketika sudah
32
pulih, klien bisa langsung bergerak
seperti biasa.
4. Latihan ROM dilakukan untuk
mempertahankan fleksibilitas sendi.
Hal ini penting dilakukan agar tidak
menimbulkan kontraktur dan
kekakuan sendi ketika sudah pulih
nanti.
5. Latihan fisik yang dipaksakan tidak
akan berdampak baik dan
cenderung menciderai. Maka dari
itu, istirahat di sela-sela latihan
menjadi penting untuk klien
mengumpulkan tenaga dan
memeriksa keadaan umum klien,
apakah masih sanggup untuk
menjalankan latihan.
6. Dengan berkolaborasi, klien akan
memiliki jadwal latihan fisik, yang
berisi durasi, frekuensi, dan menu
latihan fisik yang disarankan.
Dengan begitu dapat
mempertahankan atau
meningkatkan massa, tonus, dan
kekuatan otot.
33
3. Resiko tinggi infeksi Setelah mendapat tindakan 1. Kaji TTV 1. TTV merupakan gambaran umum
2. Kaji dan pantau luka setiap hari
berhubungan dengan port de selama 3 x 24 jam pasca kondisi tubuh. Tanda-tanda infeksi
3. Minimalisir infeksi nosokomial
entree luka terbuka di tibia intervensi, infeksi tidak 4. Batasi kunjungan, ciptakan pun dapat kita temukan dari TTV.
dekstra ditandai dengan luka tejadi, dengan kriteria hasil: lingkungan yang tenang bagi Pada klien yang mengalami infeksi,
robek sepanjang 6 cm, nilai e. Tidak tanda-tanda pasien. HR, RR, suhu akan cenderung
5. Kolaborasi:
leukosit lebih dari normal infeksi tinggi. Cenderung mengalami
a. Pemberian antibiotik sesuai
f. TTV normal
(11000), suhu febris (38o C). febris.
g. Nilai leukosit dalam indikasi
2. Luka memiliki beberapa derajat dan
b. Pemeriksaan laboratorium
rentang normal
semakin tinggi derajaatnya maka
h. Tepian luka berwarna untuk melihat nilai leukosit
akan semakin mudah untuk terkena
kemerahan (kondisi dan komponennya.
infeksi. Luka perlu dikaji dan
baik)
dipantau karena beberapa aspek
pada luka mempengaruhi terjadinya
infeksi, seperti: kebersihan. Luka
yang kotor (baik oleh benda asing
atau pus) akan mudah infeksi. Kulit
disekitar luka yang kemerahan dan
panas juga merupakan tanda
infeksi. Luka yang infeksi bila
dibiarkan akan menyebabkan
nekrosis dan bila dibiarkan nekrosis
akan menyebar dan membuat organ
mati sehingga perlu dilakukan
amputasi jika tidak ingin menyebar
34
ke seluruh tubuh.
3. Infeksi nosokomial adalah infeksi
yang terjadi karena penggunaan
alat-alat medis yang tidak terjaga
kesterilannya. Pasien dengan
fraktur terbuka seperti kasus akan
mudah sekali terkena infeksi. Maka,
salah satu cara untuk
meminimalisirnya adalah perawatan
luka yang steril, sebelum dan
sesudah menyentuh pasien perawat
harus mencuci tangan 7 langkah
dan menggunakan sabun antiseptik.
4. Dengan membatasi pengunjung,
memungkinkan untuk mengurangi
kontaminasi virus dan bakteri dari
luar. Selain itu, meningkatkan
waktu istirahat klien sehingga
sistem imun dapat berperan
memerangi infeksi pada tubuh.
5. Kolaborasi:
a. Antibiotik sangat ampuh dalam
mencegah dan mengobati
infeksi. Namun, perlu diketahui
bahwa antibiotik yang
35
diberikan harus tepat
berdasarkan indikasi dan agen
asing penyebab infeksi. Klien
pun harus diajarkan untuk
meminum antibiotik dengan
jadwal rutin dan hingga habis
untuk mencegah terjadinya
resistensi.
b. Pemeriksaan leukosit dan
komponennya, seperti: monosit,
limfosit, neutrofil, basofil, dan
eosinofil sangat penting untuk
dilakukan di awal dan setelah
perawatan untuk mengevaluasi
tindakan. Leukosit dan
komponennya adalah salah satu
indikator terjadinya infeksi.
Jika nilai leukosit dan
komponennya di dalam darah
masih tinggi, itu berarti klien
masih mengalami infeksi.
4. Resiko syok hipovolemik Setelah mendapat tindakan 1. Kaji TTV dan monitoring tanda- 1. TTV menggambarkan kondisi
berhubungan dengan selama 1 x 24 jam, tidak tanda syok umum klien. Ketika HR, RR, dan
2. Hentikan perdarahan pada luka
perdarahan yang terjadi terus ada syok hipovolemik atau suhu tinggi tapi TD rendah, perawat
terbuka
36
menerus. tanda pre-syok yang terjadi, 3. Jelaskan pada keluarga tanda harus curiga, karena hal tersebut
dengan kriteria hasil: perdarahan, dan minta segera merupaka tanda-tanda syok. Selain
a. TTV dalam rentang laporkan jika ada perdarahan itu akral akan dingin, terjadi
4. Monitor TTV dan tanda syok tiap 3
normal penurunan kesadaran.
b. Akral dan bagian jam sekali 2. Syok dapat ditimbulkan karena ada
5. Kolaborasi:
tubuh perifer hangat perdarahan yang terjadi terus
a. Pemberian cairan intravena
c. Turgor baik
menerus. Pada kasus ini ada luka
sesuai toleransi jantung
b. Tranfusi darah robek pada tibia sebesar 6 cm. Perlu
dilakukan balut dan tekan untuk
meminimalisir kehilangan darah
akibat perdarahan.
3. Dengan melibatkan keluarga klien,
perawat dapat tetap memantau
keadaan klien. Dan jika seandainya
terjadi perdarahan, maka akan
segera diketahui dan bisa segera
dilakukan tindakan.
4. Agar dapat terpantau bila ada
perubahan pada TTV dan tanda-
tanda syok sehingga tidak akan
terlambat memberi tindakan.
Dehidrasi adalah salah satu tanda
pre-syok.
5. Kolaborasi:
a. Cairan Intravena diberikan
37
untuk mengganti cairan yang
hilang dalam tubuh. Jika pasien
dalam keadaan syok, biasanya
pemberian cairan IV ini adalah
diguyur. Namun, pemberian
cairan tetap harus
memperhatikan kondisi
jantung.
b. Tranfusi darah dilakukan jika
terjadi kehilangan darah yang
sangat hebat. Contohnya fraktur
femur yang berisi pembuluh
darah besar jika terjadi fraktur
maka bisa kehilangan darah
lebih dari 500 ml.
5. Resiko konstipasi berhubungan Setelah mendapat tindakan 1. Kaji bising usus. 1. Bising usus menunjukkan aktivitas
2. Kaji frekuensi BAB dan konsistensi
dengan imobilisasi tubuh dan selama 3 x 24 jam, konstipasi gastrointestinal klien. Jika bising usus
tinja.
peruabahan rutinitas harian, tidak terjadi, dengan kriteria klien kurang, maka klien cenderung
3. Diet tinggi cairan dan serat.
sekunder akibat fraktur tulang hasil: 4. Ajarkan untuk BAB dengan pispot. mengalami konstipasi. Konstipasi
5. Kolaborasi: pemberian enema atau
femur dan cruris a. Bising usus dalam biasanya diawali denga susah
laksatif.
rentang normal mengeluarkan flatus (kentut).
b. Nafsu makan baik 2. Untuk mengetahui konstipasi sudah
c. Frekuensi BAB normal
terjadi atau belum sehingga dapat
d. Konsistensi tinja normal
segera mengambil tindakan.
(memiliki massa dan
3. Dengan konsumsi serat dan cairan akan
bentuk namun tidak
membentuk konsistensi tinja tidak
38
keras) terlalu lembek juga tidak terlalu keras,
sehingga dapat dieliminasi dengan
mudah tanpa harus mengejan terlalu
dalam.
4. Beberapa klien merasa bahwa
konstipasi bukan hanya karena diet
kurang serat dan kurang cairan tetapi
juga karena tidak biasa menggunakan
pispot. Maka, perawat perlu
mengajarkan dan melakukan
pembiasaan pada klien sehingga bisa
lebih nyaman menggunakan pispot.
5. Kolaborasi: pemberian enema atau
laksatif akan mempermudah
pengeluaran tinja. Laksatif bekerja
meningkatkan gerakan peristaltik
dinding usus sehingga tidak terjadi
penyerapan cairan dari feses secara
berlebihan yang berakibat feses
menjadi keras. Sedangkan enema
adalah prosedur memasukkan sejumlah
cairan melalui anus agar konsistensi
feses dapat berubah menjadi lebih
lembut.
39
VIII. Referensi
40