Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Variabel Konflik kerja keluarga

1. Definisi Konflik Kerja Keluarga

Konflik kerja keluarga adalah konflik antar peran yang terjadi atas tekanan

salah satu peran, baik dari bidang keluarga atau pekerjaan, yang secara mutual saling

mempengaruhi satu sama lain (Greenhaus & Beutell, 1985). Konflik antar peran

merupakan konflik yang muncul karena individu memainkan banyak peran sekaligus

dan setiap peran yang dijalankan mempunyai harapan yang bertentangan serta

tanggungjawab yang berbeda satu sama lain (Gibson, Cevich, & Donelly, 1996).

Ahmad (2008) mengemukakan bahwa konflik kerja keluarga dikonseptualisasikan

sebagai konstrak dua arah (work-to-family dan family-to-work). Yang dimaksud

dengan work to family adalah pemenuhan peran dalam pekerjaan dapat menimbulkan

kesulitan pemenuhan peran dalam keluarga, sedangkan yang dimaksud dengan

family to work adalah pemenuhan peran dalam keluarga dapat menimbulkan

kesulitan pemenuhan peran dalam pekerjaan.

Dapat disimpulkan bahwa konflik kerja keluarga adalah konflik antar peran

yang terjadi atas tekanan salah satu peran, baik dari bidang keluarga atau pekerjaan,

yang secara mutual saling mempengaruhi satu sama lain dan setiap peran yang

dijalankan mempunyai harapan yang bertentangan serta tanggungjawab yang

berbeda satu sama lain.

2. Aspek-aspek Konflik Kerja Keluarga

Menurut Greenhaus & Beutell (1985), aspek-aspek konflik kerja keluarga yaitu:
a. Time-Based Conflict

Time-based conflict adalah konflik yang terjadi karena waktu yang

dihabiskan untuk melakukan pemenuhan pada satu peran tidak dapat digunakan

untuk memenuhi peran yang lain sehingga membuat seseorang yang mengalami

Konflik kerja keluarga tidak dapat melakukan pemenuhan pada kedua peran

secara bersamaan. Time based conflict dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu yang

pertama, tuntutan waktu dari satu peran membuat seseorang tidak dapat

memenuhi ekspektasi dari peran yang lain secara fisik, dan bentuk yang kedua

yaitu adanya tuntutan waktu yang dapat membuat seseorang terokupasi dengan

satu peran disaat individu seharusnya memenuhi tuntutan peran yang lain.

Pada aspek time-based conflict, sumber konflik yang berasal dari tempat

kerja antara lain banyaknya waktu yang dihabiskan untuk bekerja setiap

minggunya; frekuensi overtime, kehadiran, dan ketidakteraturan shift kerja; tidak

fleksibelnya jam kerja. Selain itu, terdapat sumber konflik yang berasal dari

keluarga yaitu antara lain banyaknya waktu yang dihabiskan bersama keluarga;

pembagian waktu untuk mengasuh anak (Greenhaus & Beutell, 1985).

b. Strain-Based Conflict

Strain-based conflict adalah konflik yang terjadi karena ketegangan yang

dihasilkan oleh salah satu peran membuat seseorang sulit untuk memenuhi

tuntutan peran yang lain. Stres kerja dapat menghasilkan gejala ketegangan seperti

tekanan, kecemasan, kelelahan, depresi, apatis, dan cepat marah. Ketegangan

yang muncul akibat menjalankan satu peran mempengaruhi performa seseorang

pada peran lainnya. Pada aspek strain-based conflict, sumber konflik yang berasal

dari tempat kerja antara lain ambiguitas peran di tempat bekerja; rendahnya

dukungan dari atasan; tingkat perubahan lingkungan kerja; stres dalam


berkomunikasi; konsentrasi yang diperlukan di tempat kerja; ketidaksesuaian

individu dengan pekerjaan; kekecewaan karena harapan yang tidak terpenuhi

akan menghasilkan kelelahan, ketegangan, kekhawatiran, atau frustrasi sehingga

membuat individu sulit untuk mencapai kepuasan diluar bidang pekerjaan

(Greenhaus & Beutell, 1985). Sumber konflik yang berasal dari keluarga antara

lain dukungan dari pasangan; perbedaan keyakinan dalam pengaturan peran

keluarga; ketidaksetujuan suami bagi istri yang bekerja (Greenhaus & Beutell,

1985).

c. Behaviour-Based Conflict

Behaviour-based conflict adalah konflik yang muncul ketika perilaku dapat

efektif saat menjalankan satu peran, namun tidak efektif saat menjalankan peran

lainnya. Contoh konflik ini misalnya stereotipe seorang manajer adalah laki-laki

yang mandiri, memiliki kestabilan emosi, agresif, dan objektif. Namun disisi lain,

saat melakukan pemenuhan peran keluarga, seseorang diharapkan untuk menjadi

sosok yang hangat, peduli dan mudah berinteraksi dengan anggota keluarga. Jika

seseorang tidak mampu untuk menyesuaikan perilaku pada pemenuhan peran

pekerjaan dan keluarga maka seseorang akan mengalami konflik kerja keluarga.

Menurut Baltes & Heydens-Gahir (2003) aspek-aspek Konflik kerja keluarga yaitu:

a. Timebased demands

Time-based demands yaitu keterbatasan waktu yang dimiliki oleh seseorang. Waktu

yang dipergunakan untuk pekerjaan seringkali mengakibatkan terbatasnya waktu

untuk keluarga dan sebaliknya.

b. Strainbased demands

Strain-based demands yaitu ketegangan dalam suatu peran yang akhirnya

mempengaruhi performa individu pada peran lainnya.


c. Behaviour-based demands

Behaviorbased demands yaitu individu kesulitan merubah perilaku dari peran satu

ke peran lainnya.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konflik Kerja Keluarga

a. Ahmad (2008) mengemukakan bahwa terdapat 3 faktor yang mempengaruhi

Konflik kerja keluarga, yaitu:

1) Job-Related Factors

Job-related factors merupakan faktor-faktor yang berkaitan dengan

karakteristik pekerjaan yang dapat mempengaruhi Konflik kerja keluarga.

Yang termasuk dalam job-related factor antara lain job type, work time

commitment, job involvement, role overload, dan job flexibility.

2) Family-Related Factors

Family-related factors merupakan faktor-faktor yang berkaitan dengan

struktur keluarga dan termasuk tanggung jawab dalam mengasuh anak. Yang

termasuk dalam family-related factors antara lain number of children, life-

cycle stage, family involvement, dan child care arrangements.

3) Individual-Related Factors

Individual-related factors merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi

Konflik kerja keluarga yang mencakup aspek individual. Aspek-aspek

individual tersebut antara lain life role values, gender role orientation, locus

of control, perfectionism.

b. Aycan (2008) mengemukakan terdapat faktor yang juga dapat mempengaruhi

konflik kerja keluarga yaitu budaya. Budaya memegang peranan penting karena

membuat perbedaan penyebab dan dampak konflik kerja keluarga pada satu
budaya dengan budaya lainnya. Konflik peran pekerjaan keluarga (work-to-

family) lebih dirasakan oleh individu yang tinggal dalam budaya dimana keluarga

merupakan hal yang penting dalam kehidupan, sedangkan konflik peran keluarga

pekerjaan (family-to-work) lebih dirasakan oleh individu yang tinggal dalam

budaya dimana pekerjaan merupakan hal yang penting dalam kehidupan.

B. Variabel Kepuasan Kerja

1. Definisi Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja adalah sikap umum terhadap pekerjaan seseorang, yang

menunjukkan perbedaan antara jumlah penghargaan yang diterima pekerja dan

jumlah yang mereka yakini seharusnya mereka terima (Robbins, 2012). Howell &

Robert (dalam Wijono, 2010) memandang bahwa kepuasan kerja sebagai hasil

keseluruhan dari derajat rasa suka atau tidak sukanya karyawan terhadap berbagai

aspek dari pekerjaannya. Blum & Naylor (dalam Wijono, 2010) menjelaskan bahwa

kepuasan kerja sebagai hasil dari berbagai sikap yang ditunjukkan oleh seorang

karyawan. Menurut Schultz (dalam Wijono, 2010), kepuasan kerja merupakan

serangkaian sikap yang dipegang oleh individu tentang pekerjaannya. Luthans (2006)

mendefinisikan kepuasan kerja sebagai hasil dari persepsi karyawan mengenai

seberapa baik pekerjaan mereka memberikan hal yang dinilai penting. Menurut

Kreitner & Kinicki (2005) kepuasan kerja merupakan respons afektif atau emosional

terhadap berbagai segi pekerjaan seseorang.

Dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah sikap umum dan persepsi

karyawan terhadap pekerjaannya, yang menunjukkan perbedaan antara jumlah

penghargaan yang diterima karyawan dan jumlah yang karyawan yakini seharusnya
karyawan terima dan juga mengenai seberapa baiknya tempat kerja karyawan

menyediakan berbagai hal yang dipandang penting bagi karyawan.

2. Aspek-aspek Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja dibagi menjadi 7 aspek. Aspek-aspek tersebut antara lain

(Lianda, 2003):

a. Pekerjaan

Karyawan cenderung lebih menyukai pekerjaan yang memberi kesempatan

untuk menggunakan ketrampilan dan kemampuan yang mereka miliki, adanya

kesempatan untuk berhasil dan belajar, kebebasan dan menawarkan beragam

tugas serta tingkat kesulitan (Locke dalam McCormick and Ilgen, 1980).

Karakteristik ini membuat pekerjaan lebih menantang. Pekerjaan yang kurang

menantang menciptakan kebosanan, tetapi jika terlalu menantang dapat

mengakibatkan frustasi dan perasaan gagal. Pada kondisi tantangan yang sedang,

kebanyakan karyawan akan mengalami kepuasan (Robbins, 1998).

Pekerjaan yang memiliki beragam aktivitas membuat pekerjaan tidak

membosankan. Apalagi jika pekerjaan itu sesuai dengan minat karyawan sehingga

dapat memberikan kepuasan tersendiri. Selain itu, semakin menarik tugas-tugas

yang ada dalam suatu pekerjaan, maka semakin besar rasa puas yang diperoleh

karyawan (Hardjana, 2002). Wright (dalam Baron, 1995) mengatakan bahwa

pekerjaan yang memiliki beban kerja dan tingkat yang beragam dapat

memberikan Kepuasan kerja yang tinggi. Pekerjaan yang menggunakan banyak

ketrampilan dan bakat yang dimiliki karyawan akan membuat karyawan merasa

melakukan pekerjaan yang berarti. Selain itu, pekerjaan yang memberikan

kebebasan kepada karyawan untuk mengerjakan pekerjaan menurut cara yang


sesuai dengan cara berpikirnya dalam batas-batas yang diperbolehkan dapat

memberikan kepuasan (Wexley dan Yuki, 2003).

b. Gaji

Beberapa studi menemukan bahwa gaji merupakan penyebab paling

mungkin terhadap ketidakpuasan kerja (Porter dan Lawler dalam Wexley dan

Yuki, 2003). Penyebab utama ketidakpuasan adalah ketidakadilan. Apabila gaji

yang diberikan oleh perusahaan lebih rendah dari upah yang berlaku dalam

masyarakat untuk suatu pekerjaan, para karyawan sangat mungkin tidak akan puas

dengan gajinya. Gaji juga dilihat adil apabila sesuai dengan tuntutan pekerjaan,

tingkat ketrampilan dan standar perusahaan (Robbins, 1998).

Sistem pembayaran juga bisa menjadi sumber kepuasan atau ketidakpuasan.

Para karyawan menginginkan sistem pembayaran yang adil, jelas dan sesuai

dengan harapan mereka. Kepuasan kerja cenderung tinggi ketika karyawan

percaya bahwa sistem tersebut adil dan dijalankan oleh pihak perusahaan dan

manajemen secara adil dan tidak memihak dibandingkan apabila sistem

pembayaran tidak dilaksanakan dengan adil dan menunjukkan adanya perbedaan

atau pilih kasih (Miceli dan Lane dalam Baron, 1995).

Di samping pertimbangan keadilan, kepuasan terhadap gaji dipengaruhi oleh

kebutuhan dan nilai-nilai karyawan. Jika upah karyawan cukup untuk memenuhi

kebutuhan keluarga dan dirinya, ia akan lebih puas dibanding jika ia menerima

upah lebih rendah dari yang diperlukan untuk memenuhi standar hidup yang

memadai (Goodman dalam Wexley dan Yuki, 2003).

c. Promosi

Promosi memberikan kesempatan untuk pertumbuhan pribadi dan

meningkatkan status sosial (Robbins, 1998). Gilmer (dalam Simarmata, 2005)


mengatakan bahwa promosi juga merupakan kesempatan untuk memperoleh

pengalaman dan peningkatan kemampuan selama kerja. Karyawan yang melihat

kemungkinan akan dipromosikan, merasa jauh lebih puas dengan pekerjaannya

dibandingkan dengan karyawan yang tidak memiliki kesempatan tersebut

(Ghiselli dan Brown dalam Simarmata, 2005).

Karyawan yang merasa bahwa keputusan promosi dibuat dengan adil,

kemungkinan mengalami kepuasan kerja melalui pekerjaan mereka (Robbins,

1998). Jika karyawan merasa bahwa promosi dalam perusahan tidak didasarkan

pada kriteria yang obyektif, melainkan berdasarkan berbagai pertimbangan yang

subyektif, seperti nepotisme, kesukuan, asal daerah dan lain sebagainya, akan

timbul perasaan diperlakukan tidak adil. Hal ini dapat berakibat pada tingkat

kepuasan yang rendah dan tidak menutup kemungkinan dapat berdampak

terhadap perilaku karyawan yang negatif (Siagian, 1989).

d. Fasilitas yang Disediakan

Perusahaan yang memberikan fasilitas seperti dana pensiun, jaminan

asuransi kesehatan dan jiwa, pengobatan rumah sakit, cuti tahunan, liburan atau

perumahan, apabila dapat dipenuhi akan menimbulkan rasa puas terhadap kerja

(Gilmer dalam Simarmata, 2005). Dengan adanya tunjangan hidup yang lebih

baik maka dapat menambah tingkat Kepuasan kerja (Hurlock, 1996).

e. Kondisi Kerja

Kondisi kerja tidak hanya terbatas pada ventilasi yang cukup, penerangan

yang memadai, suhu ruangan, tata ruang dan kebersihan tempat kerja, tetapi juga

meliputi lokasi tempat kerja yang dekat dengan rumah, peralatan dan

perlengkapan kerja, jam kerja maupun waktu istirahat (Siagian, 1989).


Karyawan memperhatikan lingkungan tempat kerjanya karena lingkungan

kerja yang baik dan mendukung dapat membuat mereka merasa nyaman dan

memudahkan mengerjakan pekerjaan dengan baik. Membicarakan Kepuasan kerja

juga tidak lepas dari masalah keamanan kerja. Tingkat keamanan kerja sangat

mempengaruhi kepuasan kerja. Beberapa studi menemukan bahwa karyawan

lebih menyukai keadaan yang aman dan nyaman, karena keadaan yang aman

sangat mempengaruhi perasaan karyawan selama kerja (Gilmer dalam Simarmata,

2005).

f. Supervisi

Perilaku supervisor juga merupakan hal yang menentukan dari kepuasan

kerja. Umumnya studi menemukan bahwa Karyawan merasa puas bila supervisor

bersifat ramah dan dapat memahami, memberikan pujian atas kinerja yang baik,

mendengarkan pendapat karyawan dan menunjukkan suatu perhatian pada

karyawan (Robbins, 1998).

Menurut Callan (dalam Baron, 1995), karyawan cenderung memiliki

kepuasan kerja yang lebih tinggi jika mereka percaya bahwa supervisor mereka

memiliki kompetensi, memperhatikan kepentingan karyawan, memperlakukan

mereka dengan baik dan memiliki banyak kesempatan berhubungan dengan

supervisor. Dalam situasi pekerjaan dimana karyawan melakukan peran yang

membingungkan, mereka cenderung lebih menyukai seorang supervisor yang

memberikan petunjuk dan ketentuan yang diperlukan (Siagian, 1989).

g. Rekan Kerja

Lloyd-Davis (dalam Fraser, 1992) dalam penelitiannya menemukan alasan

utama karyawan memilih perusahaan sebagai tempat mereka bekerja adalah

karena adanya relasi yang baik dengan rekan kerjanya. Karyawan yang bekerja di
dalam kelompok yang menerima dirinya dapat membuat ia merasa menjadi bagian

dari kelompok tersebut (Tiffin dan McCormick, 1961).

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja

Menurut Blum (1959) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan

kerja, antara lain:

a. Pendidikan dan Ketrampilan.

Karyawan dengan kapasitas tingkat pendidikan dan ketrampilan yang tinggi

akan merasa tidak puas jika diberi pekerjaan dibawah kemampuannya (Porter

dalam Wexley dan Yuki, 2003). Karyawan dengan tingkat pendidikan tinggi akan

lebih mudah untuk melakukan perbandingan sosial dengan perusahaan lain

seprofesi sebagai salah satu tolok ukur untuk penilaian kepuasan kerja (Wexley

dan Yuki, 2003).

b. Watak dan Tingkat Harapan

Watak dan tingkat harapan karyawan yang tinggi cenderung merasa kurang

puas terhadap pekerjaannya dibanding karyawan dengan tingkat harapan yang

wajar. Karyawan dengan tipe mudah bosan cenderung merasa tidak puas terhadap

tempat kerjanya dan seringkali berusaha mencari tempat kerja lain.

Menurut Aamodt (2010) terdapat beberapa faktor yang dapat mempeengaruhi

kepuasan kerja, antara lain:

a. Genetic Predispositions

Ilies & Judge (dalam Aamodt, 2010) mengemukakan bahwa kepuasan kerja

dipengaruhi oleh faktor genetik. Kepribadian yang bersifat herediter seperti

ketakutan, kebencian, dan kemarahan dapat berpengaruh pada

kemungkinan seorang individu untuk merasakan puas terhadap pekerjaan.


b. Core Self-Evaluations

Menurut Judge, Locke & Durham (dalam Aamodt, 2010), seseorang yang

memiliki kestabilan emosi, self-esteem, self-efficacy, dan memiliki

kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan akan cenderung

dapat merasakan kepuasan kerja.

c. Culture

Studi yang dilakukan oleh FDS internasional pada 13,382 karyawan di 23

negara menemukan bahwa terdapat perbedaan kepuasan kerja pada

beberapa negara. Karyawan di Inggris dan Irlandia memiliki tingkat

kepuasan kerja yang paling tinggi, sedangkan karyawan di Amerika

Selatan dan Asia memiliki kepuasan kerja yang paling rendah.

d. Intelligence

Karyawan yang memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi akan cepat bosan

dengan pekerjaannya sehingga merasakan kepuasan kerja yang rendah

dibandingkan karyawan yang memiliki tingkat kecerdasan yang rendah.

C. Variabel Komitmen Organisasi

1. Definisi Komitmen Organisasi

Komitmen organisasi adalah sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan

pada organisasi dan proses berkelanjutan dimana anggota organisasi

mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta kemajuan

yang berkelanjutan (Luthans, 2006). Robbins & Coulter (2010) mendefinisikan

komitmen organisasi sebagai derajat dimana seseorang karyawan

mengidentifikasikan dirinya dengan organisasi tertentu beserta tujuannya dan

berkeinginan untuk mempertahankan keanggotaannya di dalam organisasi tersebut.


Selain itu, Widiastuti (dalam Nida, 2013) mengungkapkan bahwa komitmen

organisasi merupakan sikap karyawan yang tertarik dengan tujuan, nilai dan sasaran

organisasi yang ditunjukan dengan adanya penerimaan individu terhadap nilai dan

tujuan organisasi serta kekuatan dalam diri individu untuk mengidentifikasi

keterlibatan dirinya terhadap suatu organisasi. Menurut Mowday, Steers, & Porter

(1979), komitmen organisasi melibatkan hubungan yang aktif dengan organisasi

sehingga individu bersedia memberikan sesuatu dari diri mereka sendiri sebagai

kontribusi terhadap kesejahteraan organisasi. Komitmen organisasi mencakup suatu

perasaan dalam keterlibatan pekerjaan, kesetiaan, dan kepercayaan terhadap nilai-

nilai organisasi.

Dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi adalah loyalitas karyawan

pada organisasi dan proses berkelanjutan dimana karyawan mengekspresikan

perhatiannya terhadap organisasi dan karyawan bersedia memberikan sesuatu dari

diri mereka sendiri sebagai kontribusi terhadap kesejahteraan organisasi.

2. Model-model Komitmen organisasi

Model-model dalam komitmen organisasi yaitu (Allen & Meyer, 1990):

a. Affective Commitment

Affective commitment didefinisikan sebagai seorang individu yang memiliki

ikatan secara emosional melalui perasaan seperti loyalitas dan teridentifikasi pada

organisasi serta adanya perasaan terikat dan sepakat pada tujuan organisasi. Ikatan

emosional atau identifikasi individu dengan organisasi membuat semakin sulit

individu keluar dari organisasinya.

b. Continuance Commitment
Continuance commitment merujuk akan adanya kesadaran akan biaya yang

dikeluarkan ketika karyawan meninggalkan organisasi. Hal ini merupakan

keadaan dimana karyawan merasa butuh untuk tetap berada di dalam organisasi

karena meninggalkan perusahaan akan sangat merugikan bagi mereka.

c. Normative Commitment

Normative Commitment didefinisikan sebagai kewajiban karyawan untuk

tetap tinggal di dalam organisasi. Karyawan yang memiliki komitmen normatif

tinggi terhadap organisasi mempunyai keharusan untuk tetap tinggal dan bertahan

dalam organisasi tersebut.

Adapun tipe Komitmen organisasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah

affective commitment dan continuance commitment karena peneliti memang ingin

fokus mengetahui tipe komitmen organisasi berdasarkan dua tipe saja.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi

Cherrington (dalam Husnawati, 2006) mengidentifikasikan beberapa faktor

yang dapat mempengaruhi Komitmen organisasi antara lain:

a. Faktor personal

Komitmen organisasi secara general lebih besar pada karyawan yang telah

tua dan lama bekerja dalam organisasi. Karyawan yang mempunyai nilai kerja

intrinsik lebih mempunyai komitmen. Selain itu, di dalam kelompok karyawan

wanita cenderung untuk lebih berkomitmen terhadap perusahaan dibandingkan

karyawan laki-laki. Karyawan yang memiliki latar belakang pendidikan rendah

cenderung untuk mempunyai komitmen lebih tinggi daripada karyawan yang

memiliki latar belakang pendidikan tinggi.

b. Karakteristik peran
Komitmen akan cenderung lebih kuat bagi karyawan yang memiliki

enriched jobs dan pekerjaan yang memiliki konflik peran dan ambiguitas yang

rendah.

c. Karakteristik struktural

Komitmen akan lebih kuat pada karyawan yang bekerja pada organisasi

yang terdesentralisasi dan karyawan yang terlibat dalam pembuatan keputusan

organisasi.

d. Pengalaman kerja

Komitmen akan kuat bila karyawan memiliki pengalaman kerja yang

menyenangkan, seperti sikap positif seseorang terhadap orang lain dalam

kelompok.

D. Karyawan Bali

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, karyawan adalah orang yang bekerja pada

suatu lembaga, kantor, perusahaan, dengan mendapat gaji (http://kbbi.web.id/karyawan).

karyawan Bali adalah karyawan yang bersuku Bali. Sebagai bagian dari anggota

masyarakat Bali, karyawan bali memiliki kewajiban dan tanggung jawab dalam urusan

rumah tangga, kegiatan adat dan agama, dan pekerjaan. Sistem kemasyarakatan di Bali

mewajibkan kepada seseorang yang telah berumah tangga dan bertempat tinggal dalam

suatu wilayah desa adat untuk terlibat dalam kegiatan adat dan agama. (Surpha, 2012).

Berdasarkan uraian diatas karyawan Bali adalah karyawan bersuku Bali dengan

tanggung jawabnya sebagai masyarakat Bali yang bekerja pada suatu lembaga, kantor,

perusahaan, dengan mendapat gaji.

E. Hubungan Antar Variabel


menegaskan bahwa Manusia adalah sumber daya yang sangat penting dalam bidang

industri dan organisasi. Oleh karena itu pengelolaan sumber daya manusia mencakup

penyediaan tenaga kerja yang bermutu, mempertahankan kualitas dan mengendalikan

biaya ketenagakerjaan (Casio dalam Priawan, 1997). Dalam hal ini, yang dimaksud dengan

sumber daya manusia dalam suatu perusahaan adalah karyawan. Karyawan dipandang

sebagai aset perusahaan yang vital karena karyawan merupakan sumber daya yang dinamis

dan selalu dibutuhkan dalam tiap proses produksi barang maupun jasa (Priawan, 1997).

Berkembangnya manajemen sumber daya manusia dalam suatu perusahaan pada

dewasa ini dipacu oleh tuntutan untuk lebih memperhatikan kebijaksanaan yang diterapkan

perusahaan pada karyawannya. Kebijakan perusahaan yang tidak sesuai dengan kebutuhan

dan harapan karyawan, akan membawa dampak buruk pada sikap kerja karyawan

(Priawan, 1997). Karyawan yang mempunyai sikap positif terhadap pekerjaan akan

memiliki tingkat absensi dan pengunduran diri yang rendah (Gilmer dalam Priawan, 1997).

Interaksi dari berbagai sikap terhadap faktor-faktor pekerjaan inilah yang kemudian

menghasilkan kepuasan atau ketidakpuasan karyawan pada pekerjaannya (Priawan, 1997).

Hoppeck (dalam Asad, 1978) mengemukakan bahwa kepuasan kerja adalah penilaian dari

pekerja bahwa seberapa jauh pekerjaannya secara keseluruhan memuaskan kebutuhannya.

Selain itu, Kepuasan kerja merupakan sikap seseorang terhadap pekerjaannya

mencerminkan pengalaman yang menyenangkan dan tidak menyenangkan dalam

pekerjaannya serta harapan-harapannya terhadap pengalaman masa depan (Wexley &

Yuki, 2003). Begitu pula yang dikemukakan Johan (dalam Wirastono, 2004), bahwa

kepuasan kerja akan didapat apabila ada kesesuaian antara harapan dengan kenyataan yang

didapat dari tempat kerjanya. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan

kerja karyawan, antara lain pendidikan, ketrampilan, watak dan tingkat harapan (Blum

dalam Simarmata, 2005).


Karyawan mempunyai peran penting dalam memahami pekerjaannya, agar karyawan

dapat mengalami Kepuasan kerja dalam proses kerjanya. Jika karyawan bersikap positif

terhadap pekerjaannya, maka karyawan akan memperoleh perasaan puas terhadap apa yang

dikerjakannya. Sebaliknya, jika karyawan bersikap negatif, maka karyawan akan merasa

tidak puas terhadap pekerjaannya (Wijono, 2010). Salah satu faktor yang dapat

mempengaruhi kepuasan kerja yaitu konflik kerja keluarga (Frone dkk dalam Dhamayanti,

2006).

Konflik kerja keluarga adalah konflik antar peran yang terjadi atas tekanan salah satu

peran, baik dari bidang keluarga atau pekerjaan, yang secara mutual saling mempengaruhi

satu sama lain (Greenhaus & Beutell, 1985). Dalam melakukan pemenuhan peran dalam

pekerjaan dan keluarga karyawan akan menemui kesulitan untuk memenuhi peran keluarga

dan pekerjaan (Greenhaus & Butell dalam Soeharto, 2010). Dalam hal ini terjadi tekanan

peran dari bidang pekerjaan dan keluarga yang saling bertentangan dalam beberapa hal.

Konflik kerja keluarga pada karyawan dapat terjadi karena beberapa hal yaitu tuntutan

waktu di satu peran yang bercampur aduk dengan keikutsertaan peran lainnya, stres yang

bermula dari satu peran yang spills over ke dalam peran lainnya akan mengurangi kualitas

hidup dalam peran tersebut, dan perilaku yang efektif dan tepat pada satu peran, namun

tidak efektif dan tidak tepat saat ditransfer pada peran lainnya. Tekanan dalam lingkungan

kerja yang dapat menimbulkan konflik kerja keluarga antara lain tidak teraturnya atau tidak

fleksibelnya jam kerja, beban kerja yang berlebihan, perjalanan dinas yang banyak, konflik

interpersonal di lingkungan kerja, transisi karir dan tidak adanya dukungan dari supervisor

atau perusahaan. Tekanan yang memicu adanya konflik kerja keluarga tidak hanya timbul

dari lingkungan kerja, melainkan juga dalam lingkungan keluarga, dimana tekanan-tekanan

tersebut antara lain kehadiran anak-anak yang masih kecil, tanggung jawab terhadap anak,

bertanggung jawab merawat orang tua, konflik interpersonal dengan anggota keluarga dan
kurangnya dukungan dari anggota keluarga (Greenhaus dalam Oktorina & Mula, 2010).

Konflik antar peran terjadi karena seseorang tidak mungkin fokus untuk memenuhi semua

harapan peran dalam pekerjaan dan keluarga karena setiap peran membutuhkan waktu,

energi dan komitmen (Khan dalam Ahmad, 2008). Karyawan yang mengalami konflik

kerja keluarga sering mengalami perasaan bersalah terutama ketika peran keluarga

mengganggu perannya di pekerjaan. Perasaan bersalah yang ditimbulkan akibat konflik

kerja keluarga dapat menyebabkan kondisi suasana hati yang negatif, kecemasan, depresi,

dan simptom kontra-produktif lainnya, misalnya berkurangnya efektifitas karyawan dalam

pekerjaannya (Center for Advanced Human Resources Studies dalam Kesumaningsari,

2014).

Konflik kerja keluarga tersebut selanjutnya akan berhubungan dengan tingkat

kepuasan kerja seorang anggota keluarga yang berperan sebagai karyawan (Alfiandi dalam

Lathifah, 2008). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa konflik kerja keluarga dan

Kepuasan kerja berhubungan negatif (Anderson dkk dalam Mansor, Yusof, & Badrul

2014; Fyregh dkk dalam Mansor, Yusof, & Badrul 2014). Penelitian yang dilakukan

Grandey, Cordeiro, & Crouter (dalam Soeharto, 2010) melaporkan konflik kerja keluarga

berhubungan negatif dengan kepuasan kerja (Soeharto, 2010). Pekerja yang mengalami

konflik kerja keluarga yang tinggi akan mengalami Kepuasan kerja yang rendah (Soeharto,

2010).

Karyawan yang mengalami Konflik kerja keluarga dapat merasakan rendahnya

kepuasan kerja. Selain itu, ada faktor lain yang dapat menguatkan kaitan antara kedua hal

tersebut. Artinya, ada faktor lain yang bisa membuat konflik kerja keluarga yang tinggi

bisa membuat kepuasan kerja semakin rendah. Menurut peneliti, faktor lain tersebut yaitu

komitmen organisasi. Dengan kata lain, hubungan antara konflik kerja keluarga terhadap

kepuasan kerja dapat semakin kuat ketika dimoderasi komitmen organisasi. Kepuasan
kerja dianggap sikap yang tidak stabil dan mudah berubah dibandingkan dengan komitmen

organisasi yang relatif lebih stabil dan tahan lama (Namasivayam & Zhao, 2007). Hal ini

menunjukkan bahwa individu yang mengalami konflik kerja keluarga akan memiliki

kepuasan kerja yang rendah. Namun, individu yang mengalami konflik kerja keluarga

belum tentu memiliki kepuasan kerja yang rendah ketika individu tersebut memiliki

komitmen terhadap organisasinya.

Komitmen organisasi adalah suatu orientasi terhadap organisasi yang

menghubungkan atau melekatkan individu pada organisasi tersebut (Sheldon dalam Suseno

& Sugiyanto, 2010). Terdapat dua jenis komitmen organisasi yaitu affective commitment

dan continuance commitment. Affective commitment yaitu karyawan memiliki ikatan secara

emosional, terlibat dan teridentifikasi pada perusahaannya (Meyer dkk, 2002) sedangkan

continuance commitment yaitu adanya biaya yang akan dikeluarkan bila meninggalkan

perusahaan. Dengan kata lain hal ini merupakan keadaan dimana karyawan merasa butuh

untuk tetap berada di dalam perusahaan karena meninggalkan perusahaan akan sangat

merugikan bagi mereka (Meyer dkk, 2002). Komitmen setiap karyawan berbeda-beda

karena adanya perbedaan individual, dan nilai-nilai yang terdapat pada perusahaan

(Mathieu & Zajac dalam Eslami & Gharakhani, 2012). Komitmen organisasi terbukti dapat

memoderasi konflik kerja keluarga dan kepuasan kerja. Hal tersebut dapat dibuktikan dari

penelitian yang dilakukan oleh Namasivayam & Zhao (2007).

Gambar.1.
Hubungan Antar Variabel
Pekerjaan
Time-based
conflict
Gaji
Konflik
Strain-based Kepuasan Promosi
conflict kerja
kerja
keluarga Supervisi
Behaviour-
based Rekan Kerja
conflict
Komitmen
organisasi

Affective Continuance
Commitment Commitment

Keterangan:

: Variabel penelitian

: Aspek dari variabel yang diteliti

: Tipe dari variabel yang diteliti

F. Hipotesis Penelitian

Dalam hal ini, peneliti membangun hipotesis yang digunakan sebagai jawaban

sementara atas permasalahan yang diangkat menjadi penelitian ini. Adapun hipotesis yang

diajukan antara lain:

H0 : Komitmen organisasi tidak memoderasi hubungan antara konflik kerja keluarga

dan kepuasan kerja pada karyawan Bali

Ha : Komitmen organisasi memoderasi hubungan antara konflik kerja keluarga dan

kepuasan kerja pada karyawan Bali.

Anda mungkin juga menyukai