TINJAUAN PUSTAKA
Konflik kerja keluarga adalah konflik antar peran yang terjadi atas tekanan
salah satu peran, baik dari bidang keluarga atau pekerjaan, yang secara mutual saling
mempengaruhi satu sama lain (Greenhaus & Beutell, 1985). Konflik antar peran
merupakan konflik yang muncul karena individu memainkan banyak peran sekaligus
dan setiap peran yang dijalankan mempunyai harapan yang bertentangan serta
tanggungjawab yang berbeda satu sama lain (Gibson, Cevich, & Donelly, 1996).
dengan work to family adalah pemenuhan peran dalam pekerjaan dapat menimbulkan
Dapat disimpulkan bahwa konflik kerja keluarga adalah konflik antar peran
yang terjadi atas tekanan salah satu peran, baik dari bidang keluarga atau pekerjaan,
yang secara mutual saling mempengaruhi satu sama lain dan setiap peran yang
Menurut Greenhaus & Beutell (1985), aspek-aspek konflik kerja keluarga yaitu:
a. Time-Based Conflict
dihabiskan untuk melakukan pemenuhan pada satu peran tidak dapat digunakan
untuk memenuhi peran yang lain sehingga membuat seseorang yang mengalami
Konflik kerja keluarga tidak dapat melakukan pemenuhan pada kedua peran
secara bersamaan. Time based conflict dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu yang
pertama, tuntutan waktu dari satu peran membuat seseorang tidak dapat
memenuhi ekspektasi dari peran yang lain secara fisik, dan bentuk yang kedua
yaitu adanya tuntutan waktu yang dapat membuat seseorang terokupasi dengan
satu peran disaat individu seharusnya memenuhi tuntutan peran yang lain.
Pada aspek time-based conflict, sumber konflik yang berasal dari tempat
kerja antara lain banyaknya waktu yang dihabiskan untuk bekerja setiap
fleksibelnya jam kerja. Selain itu, terdapat sumber konflik yang berasal dari
keluarga yaitu antara lain banyaknya waktu yang dihabiskan bersama keluarga;
b. Strain-Based Conflict
dihasilkan oleh salah satu peran membuat seseorang sulit untuk memenuhi
tuntutan peran yang lain. Stres kerja dapat menghasilkan gejala ketegangan seperti
pada peran lainnya. Pada aspek strain-based conflict, sumber konflik yang berasal
dari tempat kerja antara lain ambiguitas peran di tempat bekerja; rendahnya
(Greenhaus & Beutell, 1985). Sumber konflik yang berasal dari keluarga antara
keluarga; ketidaksetujuan suami bagi istri yang bekerja (Greenhaus & Beutell,
1985).
c. Behaviour-Based Conflict
efektif saat menjalankan satu peran, namun tidak efektif saat menjalankan peran
lainnya. Contoh konflik ini misalnya stereotipe seorang manajer adalah laki-laki
yang mandiri, memiliki kestabilan emosi, agresif, dan objektif. Namun disisi lain,
sosok yang hangat, peduli dan mudah berinteraksi dengan anggota keluarga. Jika
pekerjaan dan keluarga maka seseorang akan mengalami konflik kerja keluarga.
Menurut Baltes & Heydens-Gahir (2003) aspek-aspek Konflik kerja keluarga yaitu:
a. Timebased demands
Time-based demands yaitu keterbatasan waktu yang dimiliki oleh seseorang. Waktu
b. Strainbased demands
Behaviorbased demands yaitu individu kesulitan merubah perilaku dari peran satu
ke peran lainnya.
1) Job-Related Factors
Yang termasuk dalam job-related factor antara lain job type, work time
2) Family-Related Factors
struktur keluarga dan termasuk tanggung jawab dalam mengasuh anak. Yang
3) Individual-Related Factors
individual tersebut antara lain life role values, gender role orientation, locus
of control, perfectionism.
konflik kerja keluarga yaitu budaya. Budaya memegang peranan penting karena
membuat perbedaan penyebab dan dampak konflik kerja keluarga pada satu
budaya dengan budaya lainnya. Konflik peran pekerjaan keluarga (work-to-
family) lebih dirasakan oleh individu yang tinggal dalam budaya dimana keluarga
merupakan hal yang penting dalam kehidupan, sedangkan konflik peran keluarga
jumlah yang mereka yakini seharusnya mereka terima (Robbins, 2012). Howell &
Robert (dalam Wijono, 2010) memandang bahwa kepuasan kerja sebagai hasil
keseluruhan dari derajat rasa suka atau tidak sukanya karyawan terhadap berbagai
aspek dari pekerjaannya. Blum & Naylor (dalam Wijono, 2010) menjelaskan bahwa
kepuasan kerja sebagai hasil dari berbagai sikap yang ditunjukkan oleh seorang
serangkaian sikap yang dipegang oleh individu tentang pekerjaannya. Luthans (2006)
seberapa baik pekerjaan mereka memberikan hal yang dinilai penting. Menurut
Kreitner & Kinicki (2005) kepuasan kerja merupakan respons afektif atau emosional
Dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah sikap umum dan persepsi
penghargaan yang diterima karyawan dan jumlah yang karyawan yakini seharusnya
karyawan terima dan juga mengenai seberapa baiknya tempat kerja karyawan
(Lianda, 2003):
a. Pekerjaan
tugas serta tingkat kesulitan (Locke dalam McCormick and Ilgen, 1980).
mengakibatkan frustasi dan perasaan gagal. Pada kondisi tantangan yang sedang,
membosankan. Apalagi jika pekerjaan itu sesuai dengan minat karyawan sehingga
yang ada dalam suatu pekerjaan, maka semakin besar rasa puas yang diperoleh
pekerjaan yang memiliki beban kerja dan tingkat yang beragam dapat
ketrampilan dan bakat yang dimiliki karyawan akan membuat karyawan merasa
b. Gaji
mungkin terhadap ketidakpuasan kerja (Porter dan Lawler dalam Wexley dan
yang diberikan oleh perusahaan lebih rendah dari upah yang berlaku dalam
masyarakat untuk suatu pekerjaan, para karyawan sangat mungkin tidak akan puas
dengan gajinya. Gaji juga dilihat adil apabila sesuai dengan tuntutan pekerjaan,
Para karyawan menginginkan sistem pembayaran yang adil, jelas dan sesuai
percaya bahwa sistem tersebut adil dan dijalankan oleh pihak perusahaan dan
kebutuhan dan nilai-nilai karyawan. Jika upah karyawan cukup untuk memenuhi
kebutuhan keluarga dan dirinya, ia akan lebih puas dibanding jika ia menerima
upah lebih rendah dari yang diperlukan untuk memenuhi standar hidup yang
c. Promosi
1998). Jika karyawan merasa bahwa promosi dalam perusahan tidak didasarkan
subyektif, seperti nepotisme, kesukuan, asal daerah dan lain sebagainya, akan
timbul perasaan diperlakukan tidak adil. Hal ini dapat berakibat pada tingkat
asuransi kesehatan dan jiwa, pengobatan rumah sakit, cuti tahunan, liburan atau
perumahan, apabila dapat dipenuhi akan menimbulkan rasa puas terhadap kerja
(Gilmer dalam Simarmata, 2005). Dengan adanya tunjangan hidup yang lebih
e. Kondisi Kerja
Kondisi kerja tidak hanya terbatas pada ventilasi yang cukup, penerangan
yang memadai, suhu ruangan, tata ruang dan kebersihan tempat kerja, tetapi juga
meliputi lokasi tempat kerja yang dekat dengan rumah, peralatan dan
kerja yang baik dan mendukung dapat membuat mereka merasa nyaman dan
juga tidak lepas dari masalah keamanan kerja. Tingkat keamanan kerja sangat
lebih menyukai keadaan yang aman dan nyaman, karena keadaan yang aman
2005).
f. Supervisi
kerja. Umumnya studi menemukan bahwa Karyawan merasa puas bila supervisor
bersifat ramah dan dapat memahami, memberikan pujian atas kinerja yang baik,
kepuasan kerja yang lebih tinggi jika mereka percaya bahwa supervisor mereka
g. Rekan Kerja
karena adanya relasi yang baik dengan rekan kerjanya. Karyawan yang bekerja di
dalam kelompok yang menerima dirinya dapat membuat ia merasa menjadi bagian
akan merasa tidak puas jika diberi pekerjaan dibawah kemampuannya (Porter
dalam Wexley dan Yuki, 2003). Karyawan dengan tingkat pendidikan tinggi akan
seprofesi sebagai salah satu tolok ukur untuk penilaian kepuasan kerja (Wexley
Watak dan tingkat harapan karyawan yang tinggi cenderung merasa kurang
wajar. Karyawan dengan tipe mudah bosan cenderung merasa tidak puas terhadap
a. Genetic Predispositions
Ilies & Judge (dalam Aamodt, 2010) mengemukakan bahwa kepuasan kerja
Menurut Judge, Locke & Durham (dalam Aamodt, 2010), seseorang yang
c. Culture
d. Intelligence
Karyawan yang memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi akan cepat bosan
organisasi merupakan sikap karyawan yang tertarik dengan tujuan, nilai dan sasaran
organisasi yang ditunjukan dengan adanya penerimaan individu terhadap nilai dan
keterlibatan dirinya terhadap suatu organisasi. Menurut Mowday, Steers, & Porter
sehingga individu bersedia memberikan sesuatu dari diri mereka sendiri sebagai
nilai organisasi.
a. Affective Commitment
ikatan secara emosional melalui perasaan seperti loyalitas dan teridentifikasi pada
organisasi serta adanya perasaan terikat dan sepakat pada tujuan organisasi. Ikatan
b. Continuance Commitment
Continuance commitment merujuk akan adanya kesadaran akan biaya yang
keadaan dimana karyawan merasa butuh untuk tetap berada di dalam organisasi
c. Normative Commitment
tinggi terhadap organisasi mempunyai keharusan untuk tetap tinggal dan bertahan
Adapun tipe Komitmen organisasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
a. Faktor personal
Komitmen organisasi secara general lebih besar pada karyawan yang telah
tua dan lama bekerja dalam organisasi. Karyawan yang mempunyai nilai kerja
b. Karakteristik peran
Komitmen akan cenderung lebih kuat bagi karyawan yang memiliki
enriched jobs dan pekerjaan yang memiliki konflik peran dan ambiguitas yang
rendah.
c. Karakteristik struktural
Komitmen akan lebih kuat pada karyawan yang bekerja pada organisasi
organisasi.
d. Pengalaman kerja
kelompok.
D. Karyawan Bali
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, karyawan adalah orang yang bekerja pada
karyawan Bali adalah karyawan yang bersuku Bali. Sebagai bagian dari anggota
masyarakat Bali, karyawan bali memiliki kewajiban dan tanggung jawab dalam urusan
rumah tangga, kegiatan adat dan agama, dan pekerjaan. Sistem kemasyarakatan di Bali
mewajibkan kepada seseorang yang telah berumah tangga dan bertempat tinggal dalam
suatu wilayah desa adat untuk terlibat dalam kegiatan adat dan agama. (Surpha, 2012).
Berdasarkan uraian diatas karyawan Bali adalah karyawan bersuku Bali dengan
tanggung jawabnya sebagai masyarakat Bali yang bekerja pada suatu lembaga, kantor,
industri dan organisasi. Oleh karena itu pengelolaan sumber daya manusia mencakup
biaya ketenagakerjaan (Casio dalam Priawan, 1997). Dalam hal ini, yang dimaksud dengan
sumber daya manusia dalam suatu perusahaan adalah karyawan. Karyawan dipandang
sebagai aset perusahaan yang vital karena karyawan merupakan sumber daya yang dinamis
dan selalu dibutuhkan dalam tiap proses produksi barang maupun jasa (Priawan, 1997).
dewasa ini dipacu oleh tuntutan untuk lebih memperhatikan kebijaksanaan yang diterapkan
perusahaan pada karyawannya. Kebijakan perusahaan yang tidak sesuai dengan kebutuhan
dan harapan karyawan, akan membawa dampak buruk pada sikap kerja karyawan
(Priawan, 1997). Karyawan yang mempunyai sikap positif terhadap pekerjaan akan
memiliki tingkat absensi dan pengunduran diri yang rendah (Gilmer dalam Priawan, 1997).
Interaksi dari berbagai sikap terhadap faktor-faktor pekerjaan inilah yang kemudian
Hoppeck (dalam Asad, 1978) mengemukakan bahwa kepuasan kerja adalah penilaian dari
Yuki, 2003). Begitu pula yang dikemukakan Johan (dalam Wirastono, 2004), bahwa
kepuasan kerja akan didapat apabila ada kesesuaian antara harapan dengan kenyataan yang
didapat dari tempat kerjanya. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan
kerja karyawan, antara lain pendidikan, ketrampilan, watak dan tingkat harapan (Blum
dapat mengalami Kepuasan kerja dalam proses kerjanya. Jika karyawan bersikap positif
terhadap pekerjaannya, maka karyawan akan memperoleh perasaan puas terhadap apa yang
dikerjakannya. Sebaliknya, jika karyawan bersikap negatif, maka karyawan akan merasa
tidak puas terhadap pekerjaannya (Wijono, 2010). Salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi kepuasan kerja yaitu konflik kerja keluarga (Frone dkk dalam Dhamayanti,
2006).
Konflik kerja keluarga adalah konflik antar peran yang terjadi atas tekanan salah satu
peran, baik dari bidang keluarga atau pekerjaan, yang secara mutual saling mempengaruhi
satu sama lain (Greenhaus & Beutell, 1985). Dalam melakukan pemenuhan peran dalam
pekerjaan dan keluarga karyawan akan menemui kesulitan untuk memenuhi peran keluarga
dan pekerjaan (Greenhaus & Butell dalam Soeharto, 2010). Dalam hal ini terjadi tekanan
peran dari bidang pekerjaan dan keluarga yang saling bertentangan dalam beberapa hal.
Konflik kerja keluarga pada karyawan dapat terjadi karena beberapa hal yaitu tuntutan
waktu di satu peran yang bercampur aduk dengan keikutsertaan peran lainnya, stres yang
bermula dari satu peran yang spills over ke dalam peran lainnya akan mengurangi kualitas
hidup dalam peran tersebut, dan perilaku yang efektif dan tepat pada satu peran, namun
tidak efektif dan tidak tepat saat ditransfer pada peran lainnya. Tekanan dalam lingkungan
kerja yang dapat menimbulkan konflik kerja keluarga antara lain tidak teraturnya atau tidak
fleksibelnya jam kerja, beban kerja yang berlebihan, perjalanan dinas yang banyak, konflik
interpersonal di lingkungan kerja, transisi karir dan tidak adanya dukungan dari supervisor
atau perusahaan. Tekanan yang memicu adanya konflik kerja keluarga tidak hanya timbul
dari lingkungan kerja, melainkan juga dalam lingkungan keluarga, dimana tekanan-tekanan
tersebut antara lain kehadiran anak-anak yang masih kecil, tanggung jawab terhadap anak,
bertanggung jawab merawat orang tua, konflik interpersonal dengan anggota keluarga dan
kurangnya dukungan dari anggota keluarga (Greenhaus dalam Oktorina & Mula, 2010).
Konflik antar peran terjadi karena seseorang tidak mungkin fokus untuk memenuhi semua
harapan peran dalam pekerjaan dan keluarga karena setiap peran membutuhkan waktu,
energi dan komitmen (Khan dalam Ahmad, 2008). Karyawan yang mengalami konflik
kerja keluarga sering mengalami perasaan bersalah terutama ketika peran keluarga
kerja keluarga dapat menyebabkan kondisi suasana hati yang negatif, kecemasan, depresi,
2014).
kepuasan kerja seorang anggota keluarga yang berperan sebagai karyawan (Alfiandi dalam
Lathifah, 2008). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa konflik kerja keluarga dan
Kepuasan kerja berhubungan negatif (Anderson dkk dalam Mansor, Yusof, & Badrul
2014; Fyregh dkk dalam Mansor, Yusof, & Badrul 2014). Penelitian yang dilakukan
Grandey, Cordeiro, & Crouter (dalam Soeharto, 2010) melaporkan konflik kerja keluarga
berhubungan negatif dengan kepuasan kerja (Soeharto, 2010). Pekerja yang mengalami
konflik kerja keluarga yang tinggi akan mengalami Kepuasan kerja yang rendah (Soeharto,
2010).
kepuasan kerja. Selain itu, ada faktor lain yang dapat menguatkan kaitan antara kedua hal
tersebut. Artinya, ada faktor lain yang bisa membuat konflik kerja keluarga yang tinggi
bisa membuat kepuasan kerja semakin rendah. Menurut peneliti, faktor lain tersebut yaitu
komitmen organisasi. Dengan kata lain, hubungan antara konflik kerja keluarga terhadap
kepuasan kerja dapat semakin kuat ketika dimoderasi komitmen organisasi. Kepuasan
kerja dianggap sikap yang tidak stabil dan mudah berubah dibandingkan dengan komitmen
organisasi yang relatif lebih stabil dan tahan lama (Namasivayam & Zhao, 2007). Hal ini
menunjukkan bahwa individu yang mengalami konflik kerja keluarga akan memiliki
kepuasan kerja yang rendah. Namun, individu yang mengalami konflik kerja keluarga
belum tentu memiliki kepuasan kerja yang rendah ketika individu tersebut memiliki
menghubungkan atau melekatkan individu pada organisasi tersebut (Sheldon dalam Suseno
& Sugiyanto, 2010). Terdapat dua jenis komitmen organisasi yaitu affective commitment
dan continuance commitment. Affective commitment yaitu karyawan memiliki ikatan secara
emosional, terlibat dan teridentifikasi pada perusahaannya (Meyer dkk, 2002) sedangkan
continuance commitment yaitu adanya biaya yang akan dikeluarkan bila meninggalkan
perusahaan. Dengan kata lain hal ini merupakan keadaan dimana karyawan merasa butuh
untuk tetap berada di dalam perusahaan karena meninggalkan perusahaan akan sangat
merugikan bagi mereka (Meyer dkk, 2002). Komitmen setiap karyawan berbeda-beda
karena adanya perbedaan individual, dan nilai-nilai yang terdapat pada perusahaan
(Mathieu & Zajac dalam Eslami & Gharakhani, 2012). Komitmen organisasi terbukti dapat
memoderasi konflik kerja keluarga dan kepuasan kerja. Hal tersebut dapat dibuktikan dari
Gambar.1.
Hubungan Antar Variabel
Pekerjaan
Time-based
conflict
Gaji
Konflik
Strain-based Kepuasan Promosi
conflict kerja
kerja
keluarga Supervisi
Behaviour-
based Rekan Kerja
conflict
Komitmen
organisasi
Affective Continuance
Commitment Commitment
Keterangan:
: Variabel penelitian
F. Hipotesis Penelitian
Dalam hal ini, peneliti membangun hipotesis yang digunakan sebagai jawaban
sementara atas permasalahan yang diangkat menjadi penelitian ini. Adapun hipotesis yang