Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Secara berkala, fungsi seksual wanita berada di bawah kendali hormon. Tanda yang khas
untuk suatu siklus haid adalah timbulnya perdarahan melalui vagina setiap bulan pada seorang
wanita. Perdarahan ini terjadi akibat rangsangan hormonal secara siklik terhadap endometrium.
Amenorea dapat dibagi dalam dua bentuk, yaitu:
a. Amenorea fisiologik
Amenorea yang terdapat pada masa sebelum pubertas, masa kehamilan, masa laktasi dan
sesudah menopause.
b. Amenorea patologik
Lazimnya diadakan pembagian antara amenorea primer dan amenorea sekunder.
Amenorea primer, apabila seorang wanita berumur 16 tahun ke atas belum pernah dapat
haid; sedang pada amenorea sekunder penderita pernah mendapat haid, tetapi kemudian
tidak dapat lagi.
Amenorea primer merupakan suatu keadaan dimana tidak terjadi menstruas pada wanita yang
berusia 16 tahun ke atas dengan karaktersitik seksual sekunde normal, atau umur 14 tahun ke
atas tanpa adanya perkembangan karakteristi seksual sekunder. Penyebab tidak terjadinya haid
dapat berupa gangguan d hipotalamus, hipofisis, ovarium (folikel), uterus (endometrium), dan
vagina Amenorea primer umumnya mempunyai sebab yang lebih berat dan lebi sulit untu
diketahui, seperti kelainan-kelainan kongenital dan kelainan genetik. Istilah kriptomenorea
menunjuk kepada keadaan dimana tidak tampa adanya haid karena darah tidak keluar berhubun
ada yang menghalangi, misalny pada ginatresia himenalis, penutupan kanalis servikalis, dan lain-
lain
Usia gadis remaja pada waktu pertama kalinya mendapat haid (menarche) bervariasi lebar,
yaitu antara 10-16 tahun, tetapi rata-ratanya 12,5 tahun. Statisti menunjukkan bahwa usi
menarche dipengaruhi faktor keturunan, keadaan gizi dan kesehatan umum.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 FISIOLOGI
Haid adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus, disertai pelepasan (deskuamasi)
endometrium. Sekarang diketahui bahwa dalam proses ovulasi, yang memegang peranan penting
adalah hubungan hipotalamus, hipofisis, dan ovarium (hypothalamic-pituitary-ovarium axis).
Menurut teori neurohumoral yang dianut sekarang, hipotalamus mengawasi sekresi hormon
gonadotropin oleh adenohipofisis melalui sekresi neurohormon yang disalurkan ke se
adenohipofisis lewat sirkulasi portal yang khusus. Hipotalamus menghasilkan faktor yang telah
dapat diisolasi dan disebut Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) karena dapat merangsang
pelepasan Lutenizing Hormone (LH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH) dari hipofisis.
Penyelidikan pada hewan menunjukkan bahwa pada hipotalamus terdapat dua pusat, yaitu
pusat tonik dibagian belakang hipotalamus di daerah nucleus arkuatus, dan pusat siklik di bagian
depan hipotalamus di daerah suprakiasmatik. Pusat siklik mengawasi lonjakan LH (LH-surge)
pada pertengahan siklus haid yang menyebabkan terjadinya ovulasi. Mekanisme kerjanya juga
belum jelas benar.
Siklus haid normal dapat dipahami dengan baik dengan membaginya atas dua fase dan satu
saat, yaitu fase folikuler, saat ovulasi, dan fase luteal. Perubahan-perubahan kadar hormon
sepanjang siklus haid disebabkan oleh mekanisme umpan balik (feedback) antara hormon steroid
dan hormone gonadotropin. Estrogen menyebabkan umpan balik negatif terhadap FSH,
sedangkan terhadap LH, estrogen menyebabkan umpan balik negatif jika kadarnya rendah, dan
umpan balik positif jika kadarnya tinggi. Tempat utama umpan balik terhadap hormon
gonadotropin ini mungkin pada hipotalamus. Tidak lama setelah haid mulai, pada fase folikular
dini, beberapa folikel berkembang oleh pengaruh FSH yang meningkat. Meningkatnya FSH ini
disebabkan oleh regresi korpus luteum, sehingga hormon steroid berkurang. Dengan
berkembangnya folikel, produksi estrogen meningkat, dan ini menekan produksi FSH; folikel
yang akan berovulasi melindungi dirinya sendiri terhadap atresia, sedangkan folikel-folikel lain
mengalami atresia. Pada waktu ini LH juga meningkat, namun peranannya pada tingkat ini hanya
membantu pembuatan estrogen dalam folikel.

2
Perkembangan folikel yang cepat pada fase folikel akhir ketika FSH mulai menurun,
menunjukkan bahwa folikel yang telah masak itu bertambah peka terhadap FSH. Perkembangan
folikel berakhir setelah kadar estrogen dalam plasma jelas meninggi. Estrogen pada mulanya
meninggi secara berangsur angsur, kemudian dengan cepat mencapai puncaknya. Ini
memberikan umpan balik positif terhadap pusat siklik, dan dengan lonjakan LH (LH-surge) pada
pertengahan siklus, mengakibatkan terjadinya ovulasi. LH yang meninggi itu menetap 24 jam
dan menurun pada fase luteal. Mekanisme turunnya LH tersebut belum jelas. Dalam beberapa
jam setelah LH meningkat, estrogen menurun dan mungkin inilah yang menyebabkan LH itu
menurun. Menurunnya estrogen mungkin disebabkan oleh perubahan morfologik pada folikel.
Mungkin pula menurunnya LH itu disebabkan oleh umpan balik negatif yang pendek dari LH
terhadap hipotalamus. Lonjakan LH yang cukup saja tidak menjamin terjadinya ovulasi; folikel
hendaknya pada tingkat yang matang, agar ia dapat dirangsang untuk berovulasi. Pecahnya
folikel terjadi 16 24 jam setelah lonjakan LH. Pada manusia biasanya hanya satu folikel yang
matang. Mekanisme terjadinya ovulasi agaknya bukan oleh karena meningkatnya tekanan dalam
folikel, tetapi oleh perubahan-perubahan degeneratif kolagen pada dinding folikel, sehingga ia
menjadi tipis. Mungkin juga prostaglandin F2 memegang peranan dalam peristiwa itu.
Pada fase luteal, setelah ovulasi, sel-sel granulose membesar, membentuk vakuola dan
bertumpuk pigmen kuning (lutein); folikel menjadi korpus luteum. Vaskularisasi dalam lapisan
granulosa juga bertambah dan mencapai puncaknya pada 89 hari setelah ovulasi. Luteinized
granulose cell dalam korpus luteum itu membuat progesterone banyak, dan luteinized theca cell
membuat pula estrogen yang banyak, sehingga kedua hormon itu meningkat tinggi pada fase
luteal. Mulai 1012 hari setelah ovulasi, korpus luteum mengalami regresi berangsur-angsur
disertai dengan berkurangnya kapiler-kapiler dan diikuti oleh menurunnya sekresi progesterone
dan estrogen. Masa hidup korpus luteum pada manusia tidak bergantung pada hormon
gonadotropin, dan sekali terbentuk ia berfungsi sendiri (autonom). Namun, akhir-akhir ini
diketahui untuk berfungsinya korpus luteum, diperlukan sedikit LH terus-menerus.
Steroidegenesis pada ovarium tidak mungkin tanpa LH. Mekanisme degenerasi korpus luteum
jika tidak terjadi kehamilan belum diketahui. Empat belas hari sesudah ovulasi, terjadi haid. Pada
siklus haid normal umumnya terjadi variasi dalam panjangnya siklus disebabkan oleh variasi
dalam fase folikular.

3
Gambar 1. Siklus menstruasi (Hansen, 2009)
Pada kehamilan, hidupnya korpus luteum diperpanjang oleh adanya rangsangan dari Human
Chorionic Gonadothropin (HCG), yang dibuat oleh sinsisiotrofoblas. Rangsangan ini dimulai
pada puncak perkembangan korpus luteum (8 hari pasca ovulasi), waktu yang tepat untuk
mencegah terjadinya regresi luteal. HCG memelihara steroidogenesis pada korpus luteum hingga
910 minggu kehamilan. Kemudian, fungsi itu diambil alih oleh plasenta.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa kunci siklus haid tergantung dari perubahan kadar estrogen,
pada permulaan siklus haid meningkatnya FSH disebabkan oleh menurunnya estrogen pada fase
luteal sebelumnya. Berhasilnya perkembangan folikel tanpa terjadinya atresia tergantung pada
cukupnya produksi estrogen oleh folikel yang berkembang. Ovulasi terjadi oleh cepatnya
estrogen meningkat pada pertengahan siklus yang menyebabkan lonjakan LH. Hidupnya korpus
luteum tergantung pula pada kadar minimum LH yang terus-menerus. Jadi, hubungan antara
folikel dan hipotalamus bergantung pada fungsi estrogen, yang menyampaikan pesan-pesan
berupa umpan balik positif atau negatif. Segala keadaan yang menghambat produksi estrogen
dengan sendirinya akan mempengaruhi siklus reproduksi yang normal.

4
2.2 PATOFISIOLOGI
2.2.1 Gangguan Pada Kompartemen I
a. Anomali duktus Mulleri
Pada keadaan amenorea primer, diskontinuitas oleh gangguan atau kelainan segmental dari
tubulus Mulleri harus disingkirkan. Observasi langsung dapat menentukan ada tidaknya himen
imperforata, obliterasi orifisium vaginae dan adanya diskontinuitas kanalis vaginalis. Keadaan
lain yang jarang ditemukan, yaitu terdapat uterus tetapi tanpa terbentuknya kavum uteri, atau
terdapat kavum uteri tetapi endometriumnya kurang secara kongenital. Kecuali pada kelainan
kongenital yang disebutkan terakhir, problem klinik amenorea yang didasarkan pada adanya
obstruksi menimbulkan adanya keluhan nyeri yang disertai distensi dari hematokolpos,
hematometra, atau hematoperitoneum. Penanganan yang dapat dilakukan dengan insisi dan
drainage. Bahkan pada keadaan yang disertai komplikasi, perbaikan kontinuitas duktus Mulleri
biasanya dapat dicapai dengan pembedahan. Sayangnya dapat terjadi konsekuensi dari tindakan
ekstirpasi operatif terhadap massa yang nyeri di atas berupa kerusakan/trauma pada kandung
kencing, ureter, dan rektum.
Merupakan suatu keuntungan bila mengetahui jenis kelainan sebelum koreksi bedah
dilakukan. Magnetic resonance imaging (MRI) dapat dilakukan untuk mengetahui abnormalitas
anatomik yang akurat. Diagnosis preoperatif akan memudahkan rencana dan pelaksanaan terapi
bedah.
b. Agenesis duktus Mulleri
Terhambatnya perkembangan duktus Mulleri (Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser syndrome)
merupakan diagnosis pada individu dengan keluhan amenorea primer dan tidak terbentuknya
vagina. Kelainan ini relatif sering sebagai penyebab amenorea primer, lebih sering dari pada
insensitifitas androgen kongenital dan lebih jarang dibandingkan disgenesis gonad. Pada
penderita sindroma ini tidak ada vagina atau adanya vagina yang hipoplasi. Uterus dapat saja
normal, tetapi tidak mempunyai saluran penghubung dengan introitus, atau dapat juga uterusnya
rudimenter, bikornu. Jika terdapat partial endometrial cavity, penderita dapat mengeluh adanya
nyeri abdomen yang siklik. Karena adanya kemiripan dengan beberapa tipe
pseudohermafroditism pria, diperlukan pemeriksaan untuk menunjukkan kariotipe yang normal
perempuan. Fungsi ovarium normal dan dapat dilihat dari suhu basal tubuh atau kadar
progesteron perifer. Pertumbuhan dan perkembangan penderita normal.

5
Bila dari pemeriksaan didapatkan adanya struktur uterus, pemeriksaan ultrasonografi dapat
dilakukan menentukan ukuran dan simetris tidaknya struktur uterus tersebut. Bila gambaran
anatomis sebagai hasil USG tidak jelas, merupakan indikasi untuk dilakukan pemeriksaan MRI.
Pemeriksaan laparoskopi pelvis tidak diperlukan. Pemeriksaan MRI lebih akurat dibandingkan
pemeriksaan USG dan lebih murah serta tidak invasif bila dibandingkan laparoskopi. Ekstirpasi
sisa duktus Mulleri tidak diperlukan kecuali kalau menimbulkan masalah seperti berkembangnya
uterine fibroid, hematometra, endometriosis, atau herniasi simptomatis ke dalam kanalis
inguinalis. Karena berbagai kesulitan dan komplikasi yang terjadi pada pembedahan, maka bila
memungkinkan Speroff dkk lebih memilih alternatif untuk melakukan konstruksi bedah dengan
membuat vagina artifisial. Sebaliknya, Speroff menganjurkan penggunaan dilatasi yang progresif
seperti yang mula-mula diperkenalkan oleh Frank dan kemudian oleh Wabrek dkk. Mula-mula ke
arah posterior vagina, dan kemudian setelah 2 minggu diubah ke arah atas dari aksis vagina,
tekanan dengan dilator vagina dilakukan selama 20 menit setiap hari. Dengan menggunakan
dilator yang ditingkatkan makin besar, vagina yang fungsional dapat terbentuk kurang lebih
dalam 6-12 minggu. Terapi operatif ditujukan bagi penderita yang tidak dapat dilakukan
penanganan dengan metode Frank, atau gagal, atau bila terdapat uterus yang terbentuk baik dan
fertilitas masih mungkin untuk dipertahankan. Penderita seperti ini dapat diidentifikasi dengan
adanya simptom retained menstruation. Ada juga yang merekomendasikan untuk melakukan
laparotomi inisial yang gunanya untuk mengevaluasi kanalis servikalis; jika serviks atresia,
uterus harus diangkat. Penderita dengan septum vagina transversalis, dimana terjadi kegagalan
kanalisasi sepertiga distal vagina, biasanya disertai gejala obstruksi dan frekuensi urin.
Septum transversalis dapat dibedakan dari himen imperforata dengan kurang-nya distensi
introitus pada manuver Valsava. Pada kategori kelainan ini, obstruksi traktus genitalis bagian
distal merupakan satu-satunya kondisi yang dapat dipandang sebagai keadaan emergensi.
Keterlambatan dalam terapi bedah dapat menyebabkan terjadi infertilitas sebagai akibat
perubahan peradangan dan endometriosis. Pembedahan definitif harus dilakukan sesegera
mungkin. Diagnostik dengan aspirasi menggunakan jarum tidak boleh dilakukan karena dapat
menyebabkan hematokolpos berubah menjadi pyokolpos.

6
c. Insensitifitas androgen (Feminisasi testikuler)
Insensitifitas androgen komplit (sindroma feminisasi testikuler) merupakan diagnosis yang
paling mungkin bilamana terjadi kanalis vaginalis yang buntu dan uterus tidak ada. Kelainan ini
merupakan penyebab amenorea primer yang ketiga setelah disgenesis gonad dan agenesis
mullerian. Penderita dengan feminisasi testikuler merupakan pseudohermafrodit pria. Kata pria
disini, didasarkan pada gonad yang dimiliki penderita; jadi individu ini memiliki testes dan
kariotipe XY. Pseudohermafrodit artinya bahwa alat genitalnya berlawanan dengan jenis
gonadnya; jadi, individu tersebut secara fenotif wanita tetapi dengan tidak ada atau sangat
kurangnya rambut kemaluan dan ketiak. Pseudohermafrodit pria adalah genetik dan gonad yang
dimilikinya pria dengan kegagalan virilisasi. Kegagalan dalam perkembangan pria dapat meliputi
suatu spektrum dengan bentuk insensitifitas androgen yang inkomplit. Transmisi kelainan ini
melalui X-linked recessive gene yang bertanggung-jawab terhadap reseptor androgen
intraseluler.
Diagnosis klinik harus dipertimbangkan pada keadaan berikut:
anak perempuan dengan hernia inguinal karena testes seringkali mengalami parsial
descensus
penderita dengan amenorea primer dan tidak ada uterus
penderita tanpa bulu-bulu di tubuh.
Penderita kelihatan normal pada saat lahir kecuali mungkin adanya hernia inguinal, dan
penderita tidak dibawa ke dokter sampai usia pubertas. Pertumbuhan dan perkembangan normal.
Payudara abnormal dimana didapatkan jaringan kelenjar tidak cukup, puting susu kecil, dan
areola mammae pucat. Lebih dari 50% dengan hernia inguinalis, labia minora biasanya kurang
berkembang, dan blind vagina kurang dalam daripada normal. Tuba fallopi yang rudimenter
terdiri dari jaringan fibromuskuler kadang kala dengan hanya selapis epitel. Karena penderita ini
sudah merasakan dirinya sebagai seorang wanita, maka kadang-kadang tidak perlu dilakukan
tindakan apa-apa. Testis yang berada intraabdominal perlu dilakukan tindakan pengangkatan
karena 10% dari kasus dengan testis intraabdominal dapat menjadi ganas. Bila telah diputuskan
untuk mengangkat testis, maka perlu diberikan pengobatan substitusi hormon.

7
2.2.2 Gangguan Pada Kompartemen II
Sindroma Turner
Pada tahun 1938 Turner mengemukakan 7 kasus yang dijumpai dengan sindroma yang terdiri
atas trias yang klasik, yaitu infantilisme, webbed neck, dan kubitus valgus. Penderita-penderita
ini memiliki genitalia eksterna wanita dengan klitoris agak membesar pada beberapa kasus,
sehingga mereka dibesarkan sebagai wanita.
Fenotipe pada umumnya ialah sebagai wanita, sedang kromatin seks negatif. Pola kromosom
pada kebanyakan mereka adalah 45-XO; pada sebagian dalam bentuk mosaik 45-XO/46-XX.
Angka kejadian adalah satu di antara 10.000 kelahiran bayi wanita. Kelenjar kelamin tidak ada,
atau hanya berupa jaringan parut mesenkhim (streak gonads), dan saluran Muller berkembang
dengan adanya uterus, tuba, dan vagina, akan tetapi lebih kecil dari biasa, berhubung tidak
adanya pengaruh dari estrogen. Selain tanda-tanda trias yang tersebut diatas, pada sindroma
Turner dapat dijumpai tubuh yang pendek tidak lebih dari 150 cm, dada berbentuk perisai dengan
puting susu jauh ke lateral, payudara tidak berkembang, rambut ketiak dan pubis sedikit atau
tidak ada, amenorea, koarktasi atau stenosis aortae, batas rambut belakang yang rendah, ruas
tulang tangan dan kaki pendek, osteoporosis, gangguan penglihatan, gangguan pendengaran,
anomali ginjal (hanya satu ginjal), dan sebagainya. Pada pemeriksaan hormonal ditemukan kadar
hormone gonadotropin (FSH) meninggi, estrogen hampir tidak ada, sedang 17 kortikosteroid
terdapat dalam batas-batas normal atau rendah. Diagnosis dapat dengan mudah ditegakkan pada
kasus yang klasik berhubung dengan gejala klinik dan tidak adanya kromatin seks. Pada kasus
yang meragukan, perlu diperhatikan dua tanda klinik yang penting yang dapat dipakai sebagai
pegangan untuk menduga sindrom Turner, yaitu tubuh yang pendek yang disertai dengan
pertumbuhan tanda-tanda seks sekunder yang sangat minimal atau tidak ada sama sekali.
Pengobatan terhadap penderita sindroma Turner adalah pengobatan substitusi yang bertujuan
untuk:
merangsang pertumbuhan ciri-ciri seks sekunder, terutama pertumbuhan
payudara
menimbulkan perdarahan siklis yang menyerupai haid jika uterus sudah
berkembang
mencapai kehidupan yang normal sebagai istri walaupun tidak mungkin untuk
mendapat keturunan

8
alasan psikologis, untuk tidak merasa rendah diri sebagai wanita.
Hormon yang diberikan adalah estrogen dalam kombinasi dengan progestagen secara siklis
sampai masa menopause atau pascamenopause. Berhubung dengan kemungkinan bahwa
pemberian estrogen mengakibatkan penutupan garis epifisis secara prematur sehingga
menghalangi pertumbuhan tubuh, terapi ditunda sampai penutupan garis epifisis sudah terjadi.1,4
Disgenesis gonad XY
Penderita berfenotip wanita dengan kariotipe XY dengan sistem Mulleri yang teraba, kadar
testoteron wanita normal dan kurangnya perkembangan seksual dikenal sebagai sindroma Swyer.
Terdapat vagina, uterus, dan tuba falopii, tetapi pada usia pubertas gagal terjadi perkembangan
mammae dan amenorea primer. Gonad hampir seluruhnya berupa berkas-berkas tak
berdiferensiasi kendati pun terdapat kromosom Y yang secara sitogenetik normal. Pada kasus ini,
gonad primitif gagal berdiferensiasi dan tak dapat melaksanakan fungsi-fungsi testis, termasuk
supremasi duktus Mulleri. Sel-sel hillus dalam gonad mungkin mampu memproduksi sejumlah
androgen; maka dapat terjadi sedikit virilisasi, seperti pembesaran klitoris pada usia pubertas.
Pertumbuhan normal; tidak terdapat cacat penyerta. Transformasi tumor pada gonadal ridge
dapat terjadi pada berbagai usia, ekstirpasi gonadal streaks harus dilakukan segera setelah
diagnosis dibuat, tanpa memandang usia.
Agenesis gonadal
Tidak terjadi komplikasi klinis yang terjadi bersama kegagalan gonad pada keadaan agenesis
ini. Keadaan ini disebut juga sindroma agenesis gonad XY atau sindroma regresi testis
embrionik. Pada sindroma yang langka ini, genitalis eksterna sedikit meragukan, namun hampir
menyerupai bentuk wanita. Ditemukan hipoplasia labia, derajat tertentu fusi labioskrotum, penis
kecil mirip klitoris, dan muara uretra pada perineum. Uterus, jaringan gonad, dan vagina tidak
ditemukan. Pada usia pubertas tidak terjadi perkembangan seksual, dan kadar gonadotropin
meningkat. Umumnya penderita diasuh sebagai wanita. Dalam kondisi ini, jaringan testis
dianggap telah aktif selama kehidupan janin sehingga mampu menghambat perkembangan
duktus mulleri, tetapi fungsi sel leydig minimal.
Tanpa informasi yang tepat, hanya dapat diperkirakan saja apa yang menjadi penyebab tidak
terjadinya perkembangan gonad tersebut. Jadi harus diduga bahwa virus dan metabolik yang
berpengaruh pada awal kehamilan. Meskipun demikian hasil akhirnya berupa hipergonadotropik
hipogonadism yang tidak dapat diperbaiki kembali. Bila fungsi gonad tidak ada, perkembangan

9
adalah wanita. Pengangkatan gonadal streaks dengan pembedahan diperlukan untuk menghindari
kemungkinan terjadi neoplasia.1
Sindroma ovarium resisten
Salah satu keadaan yang menarik dari faktor ovarium yang menimbulkan gangguan haid ialah
sindroma ovarium resisten gonadotropin, yang dikenal pula dengan istilah sindroma ovarium
insensitive atau ovarium hiposensitif gonadotropin. Penyebab yang pasti dari kelainan ini belum
seluruhnya terungkap. Kini yang banyak diperbincangkan adalah adanya gangguan pembentukan
reseptor gonadotropin di ovarium akibat proses autoimun. Dugaan ke arah diagnosis dari
sindroma ovarium resisten gonadotropin ditegakkan baik secara klinis mau pun secara
laboratoris dan histopatologis. Secara klinis kelainan ini ditandai dengan sindroma yang terdiri
dari gangguan haid berupa oligomenorea sampai amenorea, sedangkan secara laboratories
dijumpai hipergonadotropin dan hipoestrogen. Secara histologis pada kelainan ini masih
dijumpai struktur jaringan ovarium yang normal dengan folikel primordial yang masih utuh.
Jarang terjadi penderita amenorea disertai peningkatan kadar gonadotropin walaupun terdapat
folikel ovarium normal dan tidak ada bukti penyakit autoimun. Laparotomi diperlukan untuk
sampai pada diagnosis yang benar dengan menghasilkan evaluasi histologis ovarium yang
adequat. Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan adanya folikel-folikel tetapi tidak adanya
infiltrasi limfositik dengan penyakit autoimun. Karena kelainan ini jarang dan kesempatannya
sangat kecil untuk dapat hamil bahkan dengan pemberian gonadotropik eksogen dosis tinggi,
Speroff berpendapat bahwa tidak ada manfaat untuk melakukan laparotomi untuk biopsi ovarium
pada setiap penderita amenorea, gonadotropin tinggi, dan normal kariotipe. Karena penyebab
yang pasti dari penyakit ini belum diketahui, maka pengobatannya lebih bersifat simptomatis.
Banyak peneliti menganjurkan pemberian substitusi siklik estrogen dan progesteron.
Premature ovarian failure
Keadaan ini seringkali terjadi, yaitu berupa habisnya folikel ovarium yang terjadi lebih awal
dari semestinya. Sekitar 1% wanita akan mengalami kegagalan ovarium sebelum usia 40 tahun,
dan pada wanita dengan amenorea primer, frekuensi berkisar antara 10%-28%. Etiologi POF
tidak diketahui pada kebanyakan kasus. Kemungkinan merupakan akibat kelainan genetik
dengan peningkatan laju hilangnya folikel. Seringkali, kelainan kromosom seks yang spesifik
dapat diidentifikasi. Kelainan yang paling sering adalah 45-X dan 47- XXY diikuti oleh
mosaicism dan kelainan struktur kromosom seks yang spesifik. Akselerasi atresia paling sering

10
karena 46-X (sindroma Turner). POF dapat disebabkan suatu proses autoimun, atau mungkin
destruksi folikel oleh infeksi seperti oofritis mumps, atau irradiasi maupun kemoterapi. Masalah
yang timbul dapat terjadi pada berbagai usia tergantung pada jumlah folikel yang tersisa. Jika
hilangnya folikel berlangsung cepat, akan terjadi amenorea primer dan terhambatnya
perkembangan seksual. Jika hilangnya folikel terjadi selama atau setelah pubertas, kemudian
berlanjut sampai dewasa, perkembangan fenotipe dan onset terjadinya amenorea sekunder akan
sesuai. Mengingat meningkatnya jumlah kasus yang dilaporkan dimana terjadi mulai laginya
fungsi yang normal, tidak dapat dipastikan bahwa penderita ini akan steril selamanya. Di sisi
lain, laparotomi dan biopsi ovarium full thickness tidak diperlukan pada semua pasien ini.
Sperrof berpendapat bahwa pendekatan yang minimal, dengan survey untuk penyakit
autoimun (meskipun diakui bahwa tidak ada metode klinik yang dapat mendiagnosis secara
akurat autoimmune ovarium failure) dan penilaian aktivitas ovarium-pituitary sudah mencukupi.

2.2.3 Gangguan Pada Kompartemen III


Gangguan hipofisis anterior
Adanya gangguan pada aksis hipotalamus-hipofisis pertama kali fokus kita harus tertuju pada
adanya masalah tumor hipofisis. Dengan munculnya amenorea, penderita dengan perkembangan
tumor hipofisis yang perlahan dapat muncul beberapa tahun sebelum tumor menjadi besar dan
dapat dideteksi secara radiologis. Untungnya, tumor maligna tidak terlalu banyak dijumpai.
Sampai dengan tahun 1989 tidak lebih dari 40 kasus yang dilaporkan di literature internasional.
Tetapi tumor jinak dapat menimbulkan problem sebab dapat berkembang dan terjadi pendesakan
ruangan maupun jaringan lain, tumor akan tumbuh ke atas, akan menekan chiasma nervi optici
yang menyebabkan hemianopsia bitemporalis. Dengan ukuran tumor yang kecil, kelainan visual
kadang sulit dideteksi. Tidak semua massa intrasellar adalah neoplasma. Gumma, tuberkuloma,
dan deposit lemak telah dilaporkan dan menyebabkan penekanan dan menyebabkan amenorea
hipogonadotropin. Lesi pada daerah sekitar sella tursika seperti aneurisma arteri karotis,
obstruksi aquaeduktus Sylvii dapat juga menyebabkan amenorea.
Amenorea galaktorea
Wanita dengan hiperprolaktinemia secara khas muncul dengan galaktorea dan berbagai
keadaan gangguan menstruasi mulai dari menstruasi yang normal sampai amenorea yang diikuti
dengan infertilitas. Gangguan yang terlihat mungkin berkaitan dengan hiperprolaktinemia ketika

11
adenoma hipofisis yang menekan nervus optikus, traktus nervus optikus, chiasma nervi optici
atau nervus kranialis yang lain. Pada pengamatan secara radiografi terhadap kelenjar hipofisis
pada wanita dengan hiperprolaktinemia mungkin didapatkan makroadenoma, mikroadenoma,
atau tidak didapatkan adenoma. Meskipun untuk memiliki kadar prolaktin yang tingggi, ukuran
dari adenoma tidak berhubungan secara linier dengan kadar prolaktin.
Akhir-akhir ini dapat dipastikan, bahwa dari hipofisis bagian depan terdapat hormon pelepas
tirotropin (TRH) yang mengeluarkan tidak hanya tirotropin, melainkan juga hormon
pertumbuhan (GH) dan prolaktin. Karena arti fisiologik hubungan fungsional antara kedua
sistem tersebut sangat kecil, maka dapat disimpulkan bahwa tripeptida TRH sesungguhnya
bukanlah PRF (prolactine releasing factor). Yang mempunyai arti lebih besar dari TRH atau PRF
dalam pengaturan prolaktin adalah faktor penghambat prolaktin (prolactine inhibiting factor,
PIF), yang susunan kimianya juga belum dapat dibuktikan sampai sekarang. Dibawah pengaruh
meningkatnya steroid seks dalam serum, maka pengeluaran PIF dari hipotalamus akan ditekan.
Peristiwa ini akan mengakibatkan meningkatnya sekresi prolaktin.Peningkatan kadar prolaktin
serum yang ringan mungkin disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk diantaranya pemberian
estrogen dan fenotiazin, respon dari stress, makanan (khususnya makanan yang banyak
mengandung asam amino), hipotiroid primer, tumor hipotalamushipofisis. Adenoma hipofisis
yang memproduksi prolaktin umumnya muncul yang tandai dengan peningkatan kadar prolaktin
(sering > 100 ng/mL). Tumor hipotalamus dan makroadenoma dapat menekan batang hipofisis,
menghambat transport dari dopamin dan faktor-faktor hipotalamus-hipofisis, dengan hasil
hiperprolaktinemia dan berbagai tingkat hipopituitarism. Penderita dengan hiperprolaktinemia
ringan harus dilakukan eksplorasi tentang riwayat dan dilakukan pemeriksaan untuk menentukan
keadaan hipofisis, hipersekresi hipofisis, atau efek dari penekanan massa. Suatu program
istirahat yang berulang, kadar prolaktin puasa, yang tetap pada peningkatan yang ringan.
Khususnya bila dikombinasikan dengan pembesaran hipofisis, perlu dilakukan pemeriksaan
radiologis pada sella tursika.
Deteksi secara radiologis dari adenoma hipofisis membutuhkan investigasi untuk menentukan
apakah benar keadaan tersebut merupakan hipersekresi hormone hipofisis, atau bukan sekresi
hormone hipofisis. Pada keadaan makroadenoma, harus dipikirkan tentang kemungkinan adanya
hipopituitarisme sekunder parsial atau komplit yang menekan kelenjar jaringan hipofisis atau
batang hipofisis. Adenoma nonsekresi mencakup 25%-30% dari adenoma hipofisis. Dari hasil

12
pengukuran gonadotropin terlihat bahwa 80%-90% adenoma hipofisis nonsekresi adalah
adenoma gonadotrofin. Adenoma-adenoma ini sering sulit untuk mendiagnosisnya sebab
kekurangan tanda fenotip dari keadaan klinik, yang biasa digunakan untuk membedakan
adenoma hipofisis sekretoris. Adenoma hipofisis non sekresi biasanya muncul dengan
manifestasi klinis yang berhubungan dengan efek adanya massa seperti nyeri kepala, gangguan
visus, dan hipopituitarisma.
Diagnosis banding dari lesi yang luas pada area sella tursika termasuk diantaranya adalah
makroadenoma hipofisis, kraniofaringioma, meningioma, dan proses inflamasi seperti sarkoid,
kista arakhnoid, dan penyakit metastase. Peningkatan kadar FSH, LH, subunit, subunit LH
dalam sirkulasi menunjukkan adanya suatu adenoma gonadotropin. Peningkatan basal FSH, LH,
subunit , dan LH telah terdeteksi pada lebih dari 40% penderita dengan nonsekresi, adenoma
hipofisis yang memproduksi gonadotropin. Pengobatan dari makroadenoma gonadotropin
utamanya adalah pembedahan, secara primer dengan melalui transfenoid. Pengobatan secara
radiasi mungkin merupakan suatu hal penting pada penderita dengan residu penyakit yang
signifikan atau pertumbuhan tumor yang rekuren. Pengobatan dengan medikamentosa dengan
bromokriptin saat ini merupakan teknik pengobatan yang penting meskipun mekanisme kerjanya
masih belum terinvestigasi secara lengkap dan mengkin di masa yang akan datang lebih bisa
dijelaskan. Pada wanita dan laki-laki, 50% - 60% dari adenoma gonadotropin nonsekresi akan
menghasilkan FSH, LH, subunit , atau subunit LH dalam respon pada test terhadap
thyrotropin-releasing hormon. Hal ini menunjukkan bahwa sel-sel pada adenoma gonadotropin
memiliki sejumlah reseptor TRH, meskipun pada sel gonadotropin normal tidak dijumpai adanya
reseptor tersebut. Upaya pengobatan yang diberikan untuk menurunkan kadar prolaktin yang
tinggi adalah bromokriptin. Bromokriptin merupakan kelompok ergolin yaitu alkaloid ergot yang
bersifat dopaminergik. Bromokriptin merangsang reseptor dopaminergik. Obat mempengaruhi
susunan syaraf pusat, kardiovaskular, poros hipotalamus-hipofisis dan saluran cerna.
Bromokriptin menekan sekresi prolaktin yang berlebihan yang terjadi pada tumor hipofisis.
Dosis obat sangat tergantung dari kadar prolaktin yang ditemukan pada saat itu. Kadar prolaktin
2540 ng/ml, cukup tablet bromokriptin/hari. Kadar prolaktin mencapai 50 ng/ml,
bromokriptin diberikan 2x1 tablet/hari. Efek samping yang paling sering dijumpai adalah
gangguan gastrointestinal (mual) serta hipotensi (pusing). Setiap pemberian bromokriptin perlu
dilakukan pengawasan yang baik.

13
Perlu dicegah pemberian dosis yang berlebihan. Tanda-tanda terjadinya penekanan sekresi
prolaktin yang berlebihan adalah: kadar prolaktin 2 mg/ml, fase sekresi memendek akibat
insufisiensi korpus luteum, diameter folikel kecil.1 Pada setiap hiperprolaktinemia harus terlebih
dahulu diketahui apakah peningkatan tersebut akibat tumor hipofisis atau karena penyebab lain.
Untuk membedakan dapat digunakan uji provokasi. Kadang adanya mikroadenoma tidak dapat
diketahui secara radiologik, tetapi dengan uji provokasi mikroadenoma ini mudah diketahui. Uji
dengan TRH, dimana TRH diberikan intravena dengan dosis 100500 g. setelah pemberian ini
terjadi peningkatan prolaktin yang mencapai maksimum antara 1525 menit. Pada wanita yang
tidak menderita prolaktinoma terjadi peningkatan 414 kali dari harga normal, sedangkan wanita
dengan prolaktinoma pemberian TRH tidak menunjukkan perubahan kadar PRL.

2..2.4 Gangguan Pada Kompartemen IV


Kehilangan berat badan, anoreksia, bulimia
Obesitas dapat diasosiasikan dengan amenorea, tetapi amenorea pada penderita dengan
obesitas biasanya berhubungan dengan anovulasi, dan keadaan hipogonadotropin tidak dapat
diketahui meskipun penderita juga didapatkan gangguan emosional yang berat. Sebaliknya
pengurangan berat badan secara mendadak, dengan berbagai macam cara, dapat menyebabkan
terjadinya keadaan hipogonadotropin. Diagnosis dari keadaan amenorea hipotalamus ini juga
merupakan hasil dari disingkirkannya adanya tumor hipofisis. Anoreksia nervosa terjadi
kebanyakan pada wanita muda terutama wanita dari kelas menengah ke atas di bawah umur 25
tahun, tetapi sekarang terjadi juga pada berbagai tingkat sosial ekonomi. Beberapa kondisi yang
bisa menegakkan diagnosis anoreksia nervosa adalah: umur berkisar antara 10-30 tahun,
kehilangan berat badan 25% atau 15% di bawah berat normal, adanya episode makan berlebihan
(bulimia), overaktif, baradikardi, amenorea, tidak ditemukan kelainan medis, tidak ditemukan
gangguan psikiatri. Karakteristik lain diantaranya: konstipasi, tekanan darah yang rendah,
hiperkarotenemia, diabetes insipidus. Membuka tabir secara hati-hati adanya hubungan antara
amenorea dengan berat badan yang rendah kadang merupakan rangsangan terhadap penderita
untuk kembali ke berat badan normal dan fungsi menstruasi yang normal. Adakalanya hal ini bila
perlu untuk melihat penderita secara lebih sering dan perlu pemberian program diet tinggi kalori
(minimal 2600 kalori) dengan memberikan kebiasaan makan yang benar. Bila perbaikannya

14
berlangsung sangat lambat, terapi hormone perlu dipikirkan. Beberapa penderita memerlukan
intervensi dari ahli jiwa.
Kemunculan amenorea ini disebabkan oleh 2 sebab yaitu suatu kadar kritis dari lemak tubuh
dan efek dari stress itu sendiri. Para atlit wanita yang senantiasa ikut kompetisi/perlombaan
memiliki 50% kadar lemak lebih sedikit disbanding dengan atlit yang bukan kompetitor.
Pengurangan lemak tubuh tidak harus mengurangi berat badan, sebab lemak dikonversi menjadi
massa otot. Pengamatan secara kritis didapatkan bahwa tidak ada hubungan sebab akibat dari
lemak tubuh dan gangguan menstruasi tetapi hanya satu korelasi saja.1,6,13
Latihan dan amenorea (exercise and amenorrhea)
Pada abad ke-20, telah ada suatu kewaspadaan bahwa para atlit wanita, dan wanita yang
memerlukan suatu latihan keras seperti penari balet, tari modern, didapatkan insidens yang
signifikan adanya gangguan menstruasi sampai adanya amenorea, keadaan ini disebut supresi
hipotalamus. Dua pertiga pelari memiliki fase luteal, yang pendek sehingga terjadi anovulasi.
Bila latihan keras tersebut dimulai sebelum menars, menars mungkin akan terlambat sampai
lebih kurang 3 tahun, dan kejadian menstruasi yang tidak teratur akan menjadi lebih tinggi.
Prognosis dari para atlit wanita mungkin baik. Hanya tingkat reversibilitasnya tidak diketahui
dengan pasti, meskipun beberapa penelitian menunjukkan mengindikasikan bahwa sebagian
besar atlit wanita akan mengalami ovulasi kembali bila stress dan latihan mulai bisa dibatasi.
Namun demikian sebagian atlit tidak menginginkan untuk menghentikan untuk menghentikan
latihan kerasnya. Pemberian terapi hormonal bisa dipertimbangkan pada wanita dengan
hipoestrogen guna menjaga agar tidak terjadi perubahan pada tulang dan kardiovaskuler.
Amenorea dan anosmia, Sindroma Kallmann
Suatu kondisi yang jarang pada wanita, yaitu ditandai oleh adanya sindroma
hipogonadotropik-hipogonadism kongenital yang berhubungan dengan anosmia atau hiposmia,
dikenal sebagai sindroma Kallmann. Untuk mempermudah mengingat gambaran gejalanya
sering disebut juga sebagai sindroma amenorea dan anosmia. Pada wanita, gejala yang muncul
berupa amenorea primer, perkembangan seksual infantil, kadar gonadotropin rendah, kariotipe
wanita normal, dan ketidakmampuan untuk mempersepsi aroma. Seringkali penderita tidak
menyadari adanya gangguan penciuman tersebut. Gonad mampu untuk memberikan respon
terhadap gonadotropin; dengan demikian induksi ovulasi dengan gonadotropin eksogen bisa
berhasil.

15
Sindroma Kallmann mempunyai kaitan dengan defek anatomi yang spesifik. Pemeriksaan
MRI (seperti juga pemeriksaan postmortem) memperlihatkan bahwa terdapat hipoplasia atau
tidak ada sulkus olfaktorius di rhinencephalon. Defek ini mengakibatkan kegagalan olfactory
axonal dan GnRH neuronal bermigrasi dari placode olfaktorius di hidung. Sel-sel yang
memproduksi GnRH berasal dari area olfaktorius dan bermigrasi selama embriogenesis
sepanjang nervus kranialis yang menghubungkan hidung dan forebrain. Terjadinya sindroma ini
sebagai akibat mutasi yang melibatkan gen tunggal pada lengan pendek kromosom X yang berisi
kode pembentukan protein yang mengatur fungsi yang diperlukan untuk migrasi neuronal.

2.3 DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN


Gejala amenorea dijumpai pada penyakit-penyakit atau gangguan-gangguan yang bermacam-
macam. Untuk menegakkan diagnosis yang tepat berdasarkan etiologi, tidak jarang diperlukan
pemeriksaan-pemeriksaan yang beraneka ragam, rumit, dan mahal. Tidak semua fasilitas
kesehatan mampu melaksanakan semua pemeriksaan, dan hal itu tidak selalu perlu. Ada jenis-
jenis amenorea yang memerlukan pemeriksaan lengkap, akan tetapi ada juga yang dapat
ditetapkan diagnosisnya dengan pemeriksaan sederhana. Anamnesis yang baik dan lengkap
sangat penting. Pertama, harus diketahui apakah amenorea itu primer atau sekunder. Selanjutnya,
perlu diketahui apakah ada hubungan antara amenorea dan faktor-faktor yang dapat
menimbulkan gangguan emosinal, apakah penderita mengidap penyakit akut atau menahun;
apakah ada gejala penyakit metabolik dan lain -lain. Sesudah anamnesis, perlu dilakukan
pemeriksaan umum yang seksama; keadaan tubuh penderita tidak jarang memberi petunjuk-
petunjuk yang berharga.
Apakah penderita pendek atau tinggi, apakah berat badan sesuai dengan tingginya, apakah
cirri ciri kelamin sekunder berkembang dengan baik atau tidak, apakah ada tanda hirsutisme;
semua ini penting untuk pembuatan diagnosis. Pada pemeriksaan ginekologik umumnya dapat
diketahui adanya berbagai jenis ginatresis, adanya aplasia vaginae, keadaan klitoris, aplasia uteri,
adanya tumor, ovarium dan sebagainya. Dengan anamnesis, pemeriksaan umum, dan
pemeriksaan ginekologik, banyak kasus amenorea dapat diketahui sebabnya. Apabila
pemeriksaan klinik tidak memberi gambaran yang jelas mengenai sebab amenorea, maka dapat
dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan lanjutan. Dalam menangani kasus-kasus amenorea haruslah
teliti dalam memilih informasi yang diperlukan. Meskipun data tambahan tersedia pada waktu

16
tersebut, dijabarkan dari latar belakang, pengujian fisik dan evaluasi kelenjar endokrin lainnya
seperti tiroid dan adrenalin, hal-hal tersebut semestinya tidak digunakan untuk diagnosis sampai
keseluruhan rangkanya lengkap. Pengalaman telah menunjukkan diagnosis yang prematur
seringkali terjadi bias, meskipun kadang bisa tepat. Oleh karena itu perlu dilakukan investigasi
dengan langkah sebagai berikut:
a. Langkah 1
Langkah awal dalam kerangka diagnosis penderita amenorea primer, dimulai dari
pengukuran hormon thyroid stimulating hormones (TSH), kadar prolaktin, dan tes
provokasi progesteron. Langkah awal untuk pasien
galaktorea, tanpa melupakan riwayat menstruasi, juga harus diperiksa TSH dan
pengukuran prolaktin serta perlu ditambahkan pemeriksaan rontgen dari sisi lateral pada
sella tursika.
Hanya sedikit penderita dengan amenorea dan atau galaktorea menderita hipotiroid yang
tidak tampak secara klinis. Walaupun kelihatannya berlebihan melakukan pemeriksaan
kadar TSH untuk penderita yang hanya memberikan hasil yang kurang berarti, karena
pengobatan untuk hipotiroid sangat mudah dan diperoleh hasil yang cepat dari siklus
menstruasi. Jika terdapat galaktorea, pengukuran TSH dianjurkan.
Rangsangan yang konstan hormon RH dari hipotalamus akan menyebabkan hipertrofi
atau hiperplasia dari hipofisis. Pemeriksaan rontgen menggambarkan tumor dapat
dilihat (kelainan, ekspansi, atau erosi dari sella tursika). Penderita dengan hipotiroid
primer dan hiperprolaktinemia dapat muncul dengan amenorea primer maupun
amenorea sekunder.
Tujuan dari uji progesteron adalah untuk menilai kadar estrogen endogen dan
kompetensi dari saluran genitalia. Uji progesteron yang dilakukan oleh Davajan dkk
adalah dengan menyuntikkan 100 mg progesteron dalam larutan minyak atau
medroksiprogesteron asetat (provera) 30 mg peroral selama tiga hari. Respon pemberian
progesteron dinilai 214 hari setelah pemberian hormon tersebut dan diukur kadar LH
serum. Speroff melakukan uji progesteron dalam dua pilihan yaitu: pemberian
progesteron secara parenteral dalam larutan minyak (200 mg) atau secara oral dengan
medroksiprogesteron asetat 10 mg setiap hari selama lima hari.

17
Dalam 27 hari setelah pemberian progesteron, pasien kemungkinan terjadi perdarahan.
Hal ini berarti bahwa sistem saluran pengeluaran berada dalam batas normal dan adanya
uterus yang endometriumnya reaktif terhadap estrogen endogen. Dari hasil tersebut
dapat ditetapkan adanya estrogen, fungsi yang minimal pada ovarium, hipofisis, dan
sistem syaraf pusat. Dengan tidak adanya galaktorea, dengan kadar prolaktin yang
normal, dan kadar TSH yang normal, evaluasi selanjutnya tidak diperlukan.
Terdapat dua situasi yang terjadi bersamaan dengan respon yang negative walaupun
terdapat estrogen endogen yang cukup. Pada kedua situasi, endometrium mengalami
reaksi desidua, tetapi kemudian tidak terjadi pelepasan mengikuti penghentian secara
tiba tiba dari pemberian progesterone eksogen. Kondisi yang pertama terdapat reaksi
desidua dari endometrium sebagai respon adanya kadar androgen yang tinggi. Pada
keadaan kedua merupakan keadaan klinik yang tidak biasa, endometrium mengalami
reaksi desidua oleh karena kadar progesteron yang tinggi yang berhubungan dengan
kekurangan enzim adrenal spesifik.
Tanpa adanya galaktorea dan jika level serum prolaktin normal (kurang dari 20 pg/ml),
evaluasi lanjutan untuk tumor hipofisis tidak perlu. Jika prolaktin meningkat, evaluasi
dari sella tursika sangat diperlukan. Dalam kerangka ini, pernyataan berikut dapat
dijadikan petunjuk praktis klinik: pendarahan positif membutuhkan pengobatan
progesteron, dan tanpa adanya galaktorea serta kadar prolaktin yang normal dapat
dijadikan petunjuk bahwa kita dapat mengabaikan adanya tumor hipofisis.
Kenaikan sekresi prolaktin menambah perhatian kita pada keadaan kelenjar hipofisis.
Untuk menjadi pertimbangan, perlu disampaikan bahwa terdapat laporan kasus dengan
sekresi ektopik dari lapisan hipofisis pada faring, karsinoma bronkus, karsinoma sel-sel
renal, gonadoblastoma, pada seorang wanita dengan amenorea dan hiperprolaktinemia
serta ditemukan juga adanya prolaktinoma pada dinding kista dermoid ovarium.1
b. Langkah 2
Jika rangkaian pengobatan progesteron tidak memberikan hasil seperti pada langkah di
atas, apalagi sistem organ target tidak operatif atau perkembangan estrogen dari
endometrium tidak terjadi. Langkah 2 didesain untuk membuat klarifikasi terhadap
situasi ini. Pemberian estrogen oral, estrogen dapat merangsang secara aktif baik secara
kwantitatif maupun durasinya untuk perkembangan endometrium dan pendarahan yang

18
aktif dari uterus pada sistem pengeluaran yang ada. Dosis yang sesuai adalah 1,25 mg
estrogen konjugasi setiap hari selama 21 hari. Tambahan lanjutannya adalah
progesteron yang aktif secara oral (medroksiprogesteron asetat 10 mg setiap hari selama
5 hari terakhir) diperlukan untuk menghasilkan menstruasi.
Sebagai hasil dari test farmakologis langkah 2, apakah pada penderita dengan amenorea
tersebut terjadi perdarahan atau tidak. Jika tidak terjadi, diagnosis dari kerusakan pada
kompartemen I (endometrium, aliran pengeluaran) bisa ditegakkan. Jika pendarahan
terjadi, bisa diasumsikan bahwa kompartemen I mempunyai kemampuan fungsional
yang normal jika mendapat rangsangan esterogen. Dari sudut pandang praktis, pada
pasien dengan alat genitalia interna dan eksterna yang normal dapat ditetapkan dengan
pengujian pada panggul, dan tanpa adanya latar belakang infeksi atau trauma (seperti
kuretase), serta tidak didapatkannya ketidaknormalan dari aliran pengeluaran yang tidak
sewajarnya. Masalah aliran pengeluaran termasuk kerusakan endometrium, secara
umum sebagai akibat dari kuretase yang berlebihan atau akibat dari infeksi, atau akibat
amenorea primer dari diskontinuitas atau abnormalitas pada duktus Mulleri.
c. Langkah 3
Pasien amenorea tidak sanggup menyediakan rangsangan estrogen yang memadai.
Untuk memproduksi estrogen, ovarium memiliki folikel yang normal dan hormon
hipofisis yang cukup untuk merangsang organ yang diperlukan. Langkah 3 dirancang
untuk menentukan apakah 2 komponen yang penting (gonadotropin atau aktifitas
folikel) berfungsi secara wajar atau tidak.1 Langkah ini mengikutsertakan pengujian
tingkat gonadotropin pada pasien. Karena langkah 2 mengikutsertakan pemberian
estrogen eksogen, kadar gonadotropin endogen mungkin tidak nyata. Sebab itu,
penundaan selama 2 minggu setelah langkah 2 mesti dilakukan sebelum melaksanakan
langkah 3, pengujian gonadotropin. Langkah 3 dirancang untuk menentukan apakah
kekurangan estrogen menyebabkan kesalahan pada folikel (kompartemen II) atau pada
sistem aksis syaraf pusat-hipofisis (kompartemen III dan IV). Hasil pengujian
gonadotropin pada wanita amenorea yang tidak mengalami pendarahan setelah
pemberian pemicu progestagen akan menghasilkan kadar gonadotropin abnormal yang
tinggi, abnormal yang rendah, atau pada kadar yang normal.

19
BAB III
KESIMPULAN

Amenorea primer merupakan suatu keadaan dimana tidak terjadi menstruasi pada wanita yang
berusia 16 tahun ke atas dengan karaktersitik seksual sekunder normal, atau umur 14 tahun ke
atas tanpa adanya perkembangan karakteristik seksual sekunder. Gangguan yang ada bisa terjadi
pada kompartemen I (gangguan pada uterus), kompartemen II (gangguan pada ovarium),
kompartemen III (gangguan pada hipofisis anterior) atau pada kompartemen IV (gangguan pada
sistem syaraf pusat). Penanganan terhadap amenorea primer disesuaikan dengan kelainan yang
terjadi. Kelainan yang diakibatkan oleh kelainan endokrinologik, maka diberikan pengobatan
yang berupa pemberian hormonal. Bila kelainan bersifat psikis, maka pengobatan yang diberikan
adalah mengeliminasi trauma psikis, bila perlu bekerjasama dengan ahli jiwa. Sedangkan
kelainan yang diakibatkan oleh kelainan anatomik bisa diberikan dengan memperbaiki kelainan
anatomis selama hal itu dimungkinkan.

20
DAFTAR PUSTAKA

Marheni, Herni. 2011. Konsep dasar amenorrhea. www.klikdokter.com. / Diakses 23


November 2014.
Soetjiningsih. 2002.Tumbuh Kembang . Jakarta : EGC.
Suparyanto. 2011. Amenorrhea. www.jurnalmedika.com/ Diakses 22 November 2014.
Winknjosastro. 2008.Ilmu Kandungan. Jakarta : YBPSP.
Wiknjosastro, H dkk. 2005. Ilmu Bedah Kebidanan edisi 5. Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
Budi, R. 2005. Amenorrhea Primer. Available at 22 Maret 2011 in
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14620/1/09E00837.pdf
Galle, Danielle. Charette, Jane.2010. Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi. Jakarta :

EGC
Saifidin, Abdul Bari,dkk. 2011. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal

dan Neonatal. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo & JNKKR-POGI. Jakarta

21

Anda mungkin juga menyukai