Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kecakapan hidup mendukung munculnya perilaku adaptif dan positif
yang memungkinkan individu untuk secara efektif menangani tuntutan dan
tantangan dalam kehidupan seharihari. Secara khusus, kecakapan hidup adalah
kompetensi psikososial dan keterampilan interpersonal yang membantu orang
membuat keputusan yang tepat, memecahkan masalah, berpikir kritis dan
kreatif, berkomunikasi secara efektif, membangun hubungan yang sehat,
berempati dengan orang lain, dan mengatasi mengelola hidup mereka dengan
cara yang sehat dan produktif.
Mengembangkan kecakapan hidup berarti membantu individu untuk
menerjemahkan pengetahuan, sikap, keterampilan sekaligus nilainilai ke dalam
perilaku yang mendukung pengatasan masalah seharihari. Kecakapan hidup
membantu dalam membangun kepercayaan diri dan membuat mereka lebih
mandiri dan mengambil keputusan secara efektif. Hal ini juga membantu
individu dalam manajemen diri dan untuk mengambil keputusan karir yang
tepat. Hal ini juga membantu dalam meningkatkan keterampilan interpersonal
mereka untuk membangun hubungan yang sehat dalam hidup.
Pendidikan kecakapan hidup sangat penting untuk mendukung
individu berkembang misalnya pendidikan kecakapan hidup kepada remaja agar
mereka menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab. Sehingga seseorang
harus mempelajari kecakapan hidup yang benar agar bertahan dalam menjalani
kehidupannya, karena kecakapan hidup itu sendiri membantu atau
membentengi diri untuk senantiasa semangat dan antusias menjalani hidup.

1
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1. Bagaimana kondisi pendidikan nasional menghadapi era globalisasi ?
2. Apa saja pilar-pilar pembelajaran pada era globalisasi ?
3. Apa makna dari keterampilan belajar ?
4. Bagaimana belajar keterampilan sebagai sub-keterampilan belajar?
5. Bagaimana meningkatkan mutu sumber daya manusia melalui aktualisasi
sistem broad based education ?
6. Bagaimana hakekat kecakapan hidup (life skill) ?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui kondisi pendidikan nasional yang menghadapi era


globalisasi.
2. Untuk mengetahui pilar-pilar pembelajaran pada era globalisasi.
3. Untuk mengetahui makna dari keterampilan belajar.
4. Untuk mengetahui belajar keterampilan sebagai sub-keterampilan belajar.
5. Untuk mengetahui cara meningkatkan mutu sumber daya manusia melalui
aktualisasi sistem broad based education.
6. Untuk mengetahui hakekat kecakapan hidup (life skill).

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kondisi Pendidikan Nasional dalam Era Globalisasi


Era globalisasi harus dilalui oleh siapapun yang hidup di abad XXI ini
di dalamnya sarat dengan kompetisi yang pemenangnya sangat ditentukan oleh
kualitas sumber daya manusianya. Bagi bangsa Indonesia, siap atau tidak siap
harus masuk di dalamnya.
Persiapan Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan kunci utama
untuk memetik kemenangan dalam persaingan era globalisasi. Hanya saja
persiapan bangsa Indonesia kearah itu mungkin masih jauh dari harapan. Tetapi
masih ada secercah harapan untuk melangkah cerdik kedepan jika kita bisa
mengambil pelajaran dari sejarah bangsa yang penuh semangat patriotik dan
pantang menyerah untuk dijadikan daya dorong dalam upaya memajukan
pendidikan dalam arti luas memajukan bangsa dalam berbagai sektor
kehidupan.
Secara empiris dalam negeri sendiri masih belum meningkatnya mutu
pendidikan secara signiffikan. Data empiris menunjukkan bahwa NEM SD
maupun SM relative rendah dan belum mengalami peningkatan yang berarti.
Dari belum memiliki kesiapan kerja yang baik, kesiapan berjenjang juga terjadi,
kalangan SLTP merasa bekal lulusan SD kurang baik untuk memasuki SLTP,
kalangan SM merasa bekal lulusan SLTP tidak siap mengikuti pembelajaran di
SM, dan kalangan PT merasa bekal lulusan SM belum cukup untuk mengikuti
perkuliahan. Sekarang mungkin kalangan SD juga mengeluh karena anak yang
memasuki SD dianggap serba kurang disebabkan karena kurangnya pendidikan
dari lingkungan keluarga, mungkin tidak melalui TK, kekurangan gizi, dan
kurang perhatian orang tua terhadap pendidikan dan kesehatan anaknya.
Secara khusus Propens 2000-2004 menyoroti : (1) rendahnya
pemerataan memperoleh pendidikan, (2) rendahnya kualitas dan relevansi
pendidikan, (3) lemahnya manajemen pendidikan, (4) belum terwujudnya

3
kemandirian dan keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi di kalangan
akademisi, (5) ketimpangan pemerataan pendidikan antara wilayah geografis,
antara perkotaan dan pedesaan, antara Kawasan Timur dan Barat Indonesia,
antara tingkat pendapatan dan antar gender (Kompas, 2 Mei 2003).
Pengembangan tenaga ahli / pendidikan, jika dibandingkan dengan beberapa
Negara antara lain : (1) Indonesia diantara satu juta penduduk terdapat 65 orang
bergelar doktor, (2) India 1300 dari satu juta penduduk, (3) Jerman 4000 dari
satu juta penduduk, (4) Perancis 5000 dari satu juta penduduk, (5) Jepang dan
USA 6500 dari satu juta penduduk, dan (6) Israel 16500 dari satu juta penduduk
(Fikiran Rakyat, 19 April 2003).
Hasil penilaian tersebut menunjukkan bahwa upaya peningkatan mutu
yang selama ini dilakukan belum mampu memecahkan masalah dasar
pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah
mendasar, konsisten, dan sistematis. Sekarang sedikitnya menyadarkan
pemerintah tak kurang Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Jusuf
Kalla mengkampanyekan peningkatan kualitas pendidikan. Beliau merasa yakin
bahwa dengan kebiasaan tidak meluluskan seluruh peserta didik, maka mereka
akan terpacu untuk belajar dan sekolah pun akan lebih objektif dalam
memberikan penilaian.
Dalam rangka memajukan pendidikan nasional diperlukan suatu
paradigma yang jelas melalui tatanan normative. Paradigma normative adalah
perangkat perundan-undangn dan peraturan di bidang pendidikan yang
merupakan pedoman dalam pengelolaan pendidikan. Ada kecendrungan lulusan
suatu jenis/jenjang pendidikan tidak memiliki keterampilan dasar sesuai dengan
keterampilan yang seharusnya. Berdasarkan pengalaman tersebut, maka muncul
kebijakan penerapan konsep life skills di semua satuan, jenis, dan jenjang
pendidikan dengan harapan para tamatan pendidikan tersebut dapat menguasai
keterampilan dasar minimal sesuai standar kewenangannya.
2.2 Empat Pilar Pembelajaran pada Era Globalisasi

4
Memasuki era globalisasi di abad XXI diperlukan suatu paradigma
baru dalam sistem pendidikan dunia, dalam rangka mencerdaskan umat
manusia dan memelihara persaudaraan. Pemikiran tersebut telah disadari oleh
UNESCO merekomendasikan Empat Pilar Pembelajaran untuk memasuki era
globalisasi, yaitu program pembelajaran yang diberikan hendaknya mampu
memberikan kesadaran kepada masyarakat sehingga mau dan mampu belajar
(learning know or learning to learn). Bahan belajar yang dipilih hendaknya
mampu memberikan suatu pekerjaan alternative kepada peserta didiknya
(leraning to do), dan mampu memberikan motivasi untuk hidup dalam era
sekarang dan memiliki orientasi hidup ke masa depan (learning to be).
Pembelajaran tidak cukup hanya diberikan dalam bentuk keterampilan untuk
dirinya sendiri, tetapi juga keterampilan untuk hidup bertetangga,
bermasyarakat, berbangsa, dan hidup dalam pergaulan antar bangsa-bangsa
dengan semangat kesamaan dan kesejajaran (learning to life together) (Delors,
1996).
Sejalan dengan itu, Hidayanto (2002) menjabarkan empat pilar
menjadi : pengetahuan, keterampilan, kemandirian, dan kemampuan untuk
menyesuaikan diri dan bekerjasama. Keempat pilar tersebut merupakan pilar-
pilar belajar yang harus menjadi basis dari setiap lembaga pendidikan baik
Pendidikan Formal (PF) maupun Pendidikan Non Formal (PNF) dan
Pendidikan Informal (PI) dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran yang
bertujuan pada hasil belajar actual yang diperlukan dalam kehidupan manusia.
Hasil belajar actual merupakan akumulasi kemampuan konkrit dan abstrak
untuk memecahkan persoalan hidup. Oleh karena itu, empat pilar belajar
tersebut tidak bisa dilihat sebagai suatu yang berdiri sendiri, melainkan
keempatnya merupakan suatu garis kontinu dalam proses pencapainnya, tetapi
di sisi lain dapat berbentuk hirarki karena kemapuan di bawahnya merupakan
prasyarat bagi kemampuan yang lebih tinggi. Kemampuan tertinggi dan terakhir
merupakan akumulasi dari kemampuan-kemampuan di bawahnya.

5
Hubungan antar pilar tersebut dapat dijelaskan bahwa tidak semua
individu yang tahu dapat melakukan dalam arti memiliki keterampilan, karena
untuk menjadi mandiri memerlukan syarat-syarat lain, tetapi yang memiliki
kemandirian pasti memiliki keterampilan khusus sebagai basisnya.

PROBLEM SOLVING
T D M KS
T D M
T D
Gambar 1. 1 Hubungan Empat Pilar Pembelajaran dalam Proses
Pembentukan Keterampilan Universal (Hidayanto,
2002).

2.3 Makna Keterampilaln Belajar


Belajar adalah merupakan perubahan oleh Hidayanto (2002) disebutnya
sebagai defenisi klasik yang masih dapat dipertahankan. Karena paling relavan
dengan keberadaan lembaga pendidikan sebagai agen perubahan. Definisi yang
inclusive ini mengakomodasi semua tujuan belajar. Dari tujuan terendah yakni
mengetahui fakta sampai ke tujuan yang tertinggi yakni kemampuan
memecahkan masalah. Lembaga pendidikan sebagai agen perubahan dan
tempat berkembangnya aspek intelektual (hand-on) tidak dapat direduksi hanya
untuk salah satu tujuan belajar saja. Sekolah akan kehilangan makna jika
menekankan pada salah satunya dengan mengabaikan yang lain. Karena tujuan
awal diadakannya sekolah /lembaga pendidikan lain ialah untuk membekali
perserta sehingga dia cerdas, bermoral dan terampil.
Learning to learn tumbuh dari sinergi antara intelektuan dan moral
berekspresi dari hasil belajar outentik (actual outcomes) dalam bentuk karya
dan perilaku. Dimilikinya keterampilan belajar untuk belajar oleh peserta didik,
dengan sendirinya akan dikuasai sejumlah aspek lain, termasuk keterampilan

6
untuk hidup. Keterampilan belajar bukan keterampilan tunggal tapi merupakan
garis kontinum yang bermula dari titik awal kehidupan dan berakhir pada akhir
hidup manusia itu sendiri. Keterampilan belajar merupakan salah satu potensi
dan tugas asasi manusia yang kualitas dan kualitasnya dipengaruhi factor
eksternal. Pendidikan adalah factor eksternal dalam bentuk rekayasa sistematis
untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas keterampiln belajar. Berbagai cara
telah dilakukan para pakar untuk menumbuhkan keterampilan belajar,
diantaranya model pembelajaran berpikir yang dikembangkan Purwadhi (2000)
yang telah teruji dapat meningkatkan kemampuan berfikir kreatif dan kritis
yang pada akhirnya dapat menumbuhkan keterampilan belajar (skill to learn).
Keterampilan belajar yang pertumbuhannya memerlukan berbagai
persyaratan selaras dengan konsep menjadi manusia pembelajaran. Dalam hal
ini manusia hidup untuk belajar (learning how to be), konsep ini sesuai dengan
pentingnya keterampilan belajar dan belajar untuk hidup sesuai dengan
arah belajar untuk terampil. Hidup untuk belajar berarti memanfaatkan
segenap potensi dirinya untuk memperlihatkan eksistensi dirinya terhadap
orang lain. Belajar untuk hidup berarti berupaya mendapatkan pekerjaan, dalam
arti bahwa, belajar untuk hidup lebih esensial lagi, Karena belajar bukan hanya
pelatihan tetapi proses untuk menjadi diri sendiri. Seorang yang terampil belajar
ia akan menjadi pembelajaran bagi dirinya yang berbasis pada kesadaran bahwa
we created by the creature with creativity (kita adalah ciptaan yang diciptakan
oleh Sang Pencipta dan dianugrahi daya cipta untuk mencipta). Bila seseorang
telah menjadi manusia pembelajar, ia akan dapat menciptakan organisasi
pembelajar, yakni organisasi yang terus menerus memperluas kapasitas
menciptakan masa depan. Seseorang pembelajar akan lebih memiliki tanggung
jawab baik kepada Tuhan, kepada diri sendiri, dan kepada sesama manusia.
Seseorang pembelajar akan memperoleh keterampilan belajaran dan akhirnya
akan lebih manusiawi, karena mereka akan: (1) menciptakan kembali
kepribadiannya, (2) melakukan sesuatu yang baru, (3) merasakan hubungan

7
yang lebih dalam dengan dunia, (4) dapat memperluas kapasitas proses
pembentukan kehidupan (Hidayanto, 2002).
Tujuan akhir dari keterampilan belajar ialah kemampuan memecahkan
masalah secara bertanggung jawa. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka harus
lebih dahulu melalui dua tujuan antara, yaitu : (1) mampu mengenali hakikat
dirinya, potensi dan bakat-bakat terbaiknya, dan (2) dapat berusaha sekuat
tenaga untuk mengaktulisasi segenap potensinya, mengekspresikan dan
menyatakan dirinya sepenuhnya/seutuhnya dengan cara menjadi dirinya sendiri.
Seseorang dapat mengenali hakikat dirinya, potensi dan bakat terbaiknya karena
dalam proses belajarnya akan berhadapan dengan berbagai tantangan, kesulitan
dan berbagai kendala,yang kesemuanya merupakan ujian bagi penemuan
dirinya sendiri atau suatu proses pemahaman diri. Melalui proses ini ia dapat
mengetahui potensi dirinya secara benar sehingga ia akan konsisten pada satu
bidang yang darinya dimunculkan satu maha karya. Proses ini berbasis pada
konsep pendidikan transformative dan merupakan model pendidikan yang
kooperatif dan akomodatif terhadap kemampuan peserta didik menuju proses
berpikir yang bebas dan kreatif. Implementasi pendidikan transformative ialah
pada keikutsertaan siswa dalam memahami realitas kehidupan dari yang
konkret sampai yang abstrak. Realitas kehidupan ini akan menjadi sumber
inspirasi dan kreativitas dalam melakukan analisis dan membangun visi
kehidupan (Hidayanto, 2002).
Untuk mencapai tujuan akhir, maka peserta didik harus mampu
mengaktualisasikan segenap potensi dan mengekspresikan secara otentik.
Aktualisasi dari ini adalah bagian dari keutuhan untuk berprestasi dan
merupakan salah satu indicator berkembangnya kreativitas masyarakat, dalam
istilah lain virus sosio-psikologis ( individual modernity, the spirit of capitalism
the need for achievement, the motivation of achievement) yang menjangkiti
pribadi-pribadi individu melalui proses pembelajaran keterampilan, sehingga
membuat mereka aktif dan dinamis dalam mengajar kemajuan-kemajuan

8
(Inkeles dan Smith, 1974:35 ; Hasan, 1987:3) dengan melalui proses trial and
error. Dari hasil penelitian McCleland terhadap remaja pada lebih 100 negara
menemukan bahwa ada korelasi positif antara kemajuan yang dicapai suatu
bangsa dengan tingkat kebutuhan berprestasi bangsa tersebut, dan tingkat
kebutuhan berprestasi berkorelasi positif dengan kualitas dan kuantitas bacaan
yang diserap sebelumnya.

2.4 Belajar Keterampilan Sebagai Sub-Keterampilan Belajar


Dalam konteks pendidikan, belajar keterampilan merupakan bagian
dari keterampilan belajar. Muatan keterampilan belajar akan muncul
keterampilan lain, baik yang bersifat kognitif, afektif, dan psikomotor. Dalam
dimensi belajar keterampilan lebih condong dan dominan pada aspek

PENDIDIKAN

KETERAMPILAN UNIVERSAL

TERAMPIL
BELAJAR

BELAJAR
TERAMPIL

psikomotorik.

Gambar 1.2 Posisi Terampil Belajar Dan Belajar Terampil Dalam Pendidikan

(Hidayanto, 2002)

Melalui proses belajar dari lingkungan, individu dapat menemukan


kembali jati dirinya, dapat melakukan sesuatu yang baru, merasakan hubugan

9
yang lebih akrab dengan alam dan sesamanya, dan dapat memperluas kapasitas
pribadi dalam rangka kehidupan yang lebih luas. Melalui keterampilan belajar
akan ditemukan suatu bentuk keterampilan khusus (vocasional skill) yang
sesuai dengan bakat dan minatnya, serta dapat digunakan sebagai basis untuk
memperoleh penghasilan layak.
Keterampilan khusus yang dimaksud adalah life skill dalam arti
vocasional skll yang diperoleh melalui keterampilan belajar. Selaras dengan
penegasan Gredler (1989) tentang kedudukan pembelajaran dalam proses
kehidupan manusia : individual who have become skilled at self directed
learning are able to acquire a variety of new leisure-time and job skills. They
also have developed the capacity to endow their lives with life-long creativity
(individu yang sudah memiliki keterampilan belajar dapat mengarahkan dirinya
pada berbagai keterampilan baru termasuk keterampilan kejujuran. Mereka juga
dapat mengembangkan kapasitasnya untuk memberkati hidup mereka melalui
diri terampil belajar. Individu yang memiliki keterampilan belajar, maka akan
mudah memperoleh berbagai keterampilan lain, termasuk keterampilan untuk
bekerja yang merupakan bagian dari kreativitas kehidupan jangka panjang.
Individu yang memiliki keterampilan belajar lebih optimis karena memiliki
banyak pilihan, sedangkan individu yang hanya memiliki keterampilan terbatas
sebagai akibat terlalu memfokus pada satu keterampilan yang spesifik potensial
menjadi orang yang pesimistik, karena tidak memiliki banyak pilihan dan
kemampuan transfer ilmu.

2.5 Peningkatan Mutu Sumber Daya Manusia Melalui Aktualisasi Sistem


Broad Based Education
Untuk menjawab tantangan sekaligus peluang , kehidupan global,
diperlukan paradigma baru pendidikan. Tilaar (2000) mengemukakan pokok-
pokok paradigma baru pendidikan sebagai berikut :
1. Pendidikan ditujukan untuk membentuk masyarakat Indonesia baru yang
demokratis,

10
2. Masyarakat demokratis memerlukan pendidikan yang dapat
menumbuhkan individu dan masyarakat yang demokratis,
3. Pendidikan diarahkan untuk mengembangkan tingkah laku yang
menjawab tantangan internl dan global,
4. Pendidikan harus mampu mengarahkan lahirnya suatu bangsa Indonesia
yang bersatu serta demokratis,
5. Dalam menghadapi kehidupan global yang kompetitif dan inovatif,
pendidikan harus mampu mengembangkan kemampuan berkompetitif,
6. Kebhinekaan menuju kepada terciptanya suatu masyarakt Indonesia yang
bersatu diatas kekayaan kebhinekaan masyarakat,
7. Pendidikan harus mampu meng-Indonesiakan mayarakat Indonesia
sehingga setiap insan Indonesia merasa bangga menjadi warga Negara
Indoneia.

Untuk mencapai tujuan tersebut, diperluakan aktualisasi pendidikan nasional


yang baru dengan prinsip-prinsip :

a. Partisipasi masyarakat dalam mengelola pendidikan


b. Demokratisasi proses pendidikan
c. Sumber saya pendidikan yang professional
d. Sumber daya penunjang yang memadai.
Pendidikan berdasarkan sistem broad based education ialah konsep
pendidikan yang memacu pada life skill. Tujuan utamanya adalah untuk
mengakomodasi kebutuhan pendidikan masyarakat dalam rangka memperoleh
pekerjaan yang layak sesuai dengan standar hidup, bagi kehidupan formal
adalah memberikan bekal keterampilan dasar bagi mereka yang tidak dapat
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

2.6 Hakekat Life Skills (Kecakapan Hidup)


Konsep Life Skills merupakan salah satu fokus analisis dalam
pengembangan kurikulum pendidikan yang menekankan pada kecakapan hidup
atau bekerja. Life Skills memiliki makna yang lebih luas dari employability
skills dan vocational skills. Keduanya merupakan bagian dari program life
skills. Brolin (1989) menjelaskan bahwa life skills contitute a continuum of

11
knowledge and aplitude that are necessary for a person to function effetively
skills dapat dinyatakan sebagai kecakapan untuk hidup, istilah hidup, tidak
semata-mata memiliki kemampuan tertentu saja (vocational job), namun ia
harus memiliki kemampuan dasar pendukungnya secara fungsional seperti
membaca, menulis, menghitung, merumuskan, dan memecahkan masalah,
mengelola sumber daya, bekerja dalam tim, terus belajar di tempat kerja,
mempergunakan teknologi (Satori, 2002). Program pendidikan life skills adalah
pendidikan yang dapat memberikan bekal keterampilan yang praktis, terpakai,
terkait dengan kebutuhan pasar kerja, peluang usaha dan potensi ekonomi atau
industri yang ada di masyarakat.
Konsep kecakapan hidup (life skill) dirumuskan secara beragam,
sesuai dengan landasan filosofis penyusunnya. Salah satu konsep dikemukakan
oleh Nelson-Jones (1995: 419) menyebutkan bahwa secara netral kecakapan
hidup merupakan urutan pilihan yang dibuat seseorang dalam bidang
keterampilan yang spesifik. Secara konseptual, kecakapan hidup adalah urutan
pilihan yang memperkuat kehidupan psikologis yang dibuat seseorang dalam
bidang keterampilan yang spesifik.
Kecakapan hidup dibangun dari tiga pilar penting dimensi manusia,
yaitu pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Untuk mengetahui seberapa jauh
individu telah memiliki kecakapan hidup, ketiga dimensi ini dapat dipakai
sebagai dimensi pengukuran kecakapan hidup. Penjelasan
ketiga dimensi tersebut adalah sebagai berikut:

a. Pengetahuan. Pengetahuan mengacu pada berbagai informasi yang


dimiliki atau dipahami oleh individu. Untuk memberi pengetahuan
ini, guru dapat menggabungkan fakta dengan instruksi pada
penjelasan tentang bagaimana fakta-fakta ini berhubungan satu sama
lain (Greene & Simons-Morton, 1984). Sebagai contoh, seorang guru
bisa menjelaskan bagaimana infeksi HIV ditularkan dan kemudian

12
menjelaskan bahwa melakukan hubungan seksual dengan pengguna
narkoba suntikan dapat mengangkat resiko infeksi HIV.
b. Sikap. Sikap memimpin orang-orang untuk suka atau tidak suka
sesuatu, atau untuk mempertimbangkan hal-hal yang baik atau
buruk, penting atau tidak penting, senilai peduli atau tidak layak
peduli. Misalnya, sensitivitas gender, menghormati orang lain, atau
menghormati tubuh seseorang dan percaya bahwa penting untuk
merawat adalah sikap untuk menjaga kesehatan dan berfungsi dengan
baik. Domain dari sikap terdiri dari berbagai konsep, termasuk nilai-nilai,
kepercayaan, norma-norma sosial, hak, niat, dan motivasi.
c. Keterampilan. Keterampilan adalah kemampuan yang memungkinkan
orang untuk melakukan perilaku tertentu. Keterampilan seringkali
mengacu pada keterampilan praktis kesehatan atau teknik seperti
kompetensi dalam pertolongan pertama dan keterampilan dalam
pengelolaan kebersihan (misalnya, mencuci tangan, menyikat gigi).
Ciri pembelajaran life skills adalah (1) terjadi proses identifikasi
kebutuhan belajar, (2) terjadi proses penyadaran untuk belajar bersama, (3)
terjadi keselarasan kegiatan belajar untuk mengembangkan diri, belajar, usaha
mandiri, usaha bersama, (4) terjadi proses penguasaan kecakapan personal,
social, vokasiona, akademik, manajerial, kewirausahaan, (5) terjadi proses
pemberian pengalaman dalam melakukan pekerjaan dengan benar
menghasilkan produk bermutu, (6) terjadi proses interaksi saling belajar dari
ahli, (7) terjadi proses penilaian kompetensi, dan (8) terjadi pendampingan
teknis untuk bekerja atau membentuk usaha bersama (Depdiknas,2003).
Apabila dihubungkan dengan pekerjaan tertentu, life skills dalam lingkup
pendidikan Nonformal ditujukan pada penguasaan vocaltional skills, yang
intinya terletak pada penguasaan specific occupational job. Apabila dipahami
dengan baik, maka dapat dikatakan bahwa life skills dalam konteks kepemilikan
specific occupational skills dalam pemaknaan program Pendidikan Non-formal

13
diharapkan dapat menolong mereka untuk memiliki harga diri dan kepercayaan
diri mencari nafkah dalam konteks peluang yang ada dilingkungannya.
Beberapa prinsip pelaksanaan life skills education, yaitu : (1) etika
sosioreligius bangsa yang berdasarkan nilai-nilai pancasila dapat diintegrasikan,
(2) pembelajaran menggunakan prinsip learning to know, learning to do,
learning to be, learning to live together and learning to cooperate, (3)
pengembangan potensi wilayah dapat direfleksikan dalam penyelenggaraan
pendidikan, (4) penetapan manajement berbasis masyarakat, kolaborasi semua
unsur terkait yang ada dalam masyarakat, (5) paradigma dan school for work
dapat menjadi dasar kegiatan pendidikan, sehingga memiliki pertautan dengan
dunia kerja, (6) penyelenggaraan pendidika harus senantiasa mengarahkan
peserta didik agar: (a) membantu mereka untuk menuju hidup sehat dan
berkualitas, (b) mendapatkan pengetahuan dan wawasan yang lebih luas dan (c)
memiliki akses untuk mampu memenuhi standar hidupnya secara layak
(Direktorat Pendidikan Menengah Umum, 2002).
Dalam wacana pendidikan nasional muncul beberapa konsep inovatif
seperti: school-based management, community-based management, dan broad-
based education. Istilah school-based management, merupakan gagasan yang
menempatkan kewenangan penempatan sekolah sebagai satu entitas sistem.
Community-based management adalah suatu gagasan yang menempatkan
orientasi penyelenggaraan pendidikan pada lingkungan kontekstual (ciri,
kondisi, dan kebutuhan masyarakat) dimana kelembagaan pendidikan itu
berada. Broad-based education adalah pendidikan berbasis luas, yaitu kebijakan
penyelenggaraan pendidikan yang diperuntukkan bagi kepentingan lapisan
masyarakat terbesar. Jika dicermati ketiga gagasan yang dijelaskan tersebut
memiliki titik temu, yaitu bagaimana menyelenggarakan pendidikan yang dapat
memenuhi kebutuhan sebagian besar masyarakat pengguna, dengan
memperhatikan ciri, sifat, dan kebutuhan masyarakatnya, sementara
pengelolaan sekolah mampu mengakomodasi kepentingan dengan sekolah,

14
Life Skill

yang direfleksikan dalam visi, misi, dan program-program strategisnya.


Keterkaitan ketiga konsep tersebut dengan posisi pengembangan life skills
dapat digambarkan sebagai berikut:

Community Based Education

School Based Management

Gambar 1. 3 Posisi Pengembangan Life Skills dalam Pengembangan Gagasan


School Based Management, Community Based Education, dan Education
Broad Based
Broad-Based Education ( Ditjen Dikmenum, 2002).

Satori (2002) mencoba menyajikan suatu model hubungan antara life


skills, employability skills, vocational skills, dan specific occupational skills.
Konsep life skills telah diuraikan diatas. Istilah employability skills, mengacu
pada serangkaian keterampilan yang mendukung seseorang untuk menunaikan

15
pekerjaannya supaya berhasil. Employability skills memiliki tiga keterampilan
utama yaitu:

1. Keterampilan Dasar
a. Keterampilan berkomunikasi lisan
b. Membaca (mengerti dan dapat mengikuti alur berfikir)
c. Penguasaan dasar-dasar berhitung
d. Keterampilan menulis
2. Keterampilan berfikir tingkat tinggi
a. Keterampilan pemecahan masalah
b. Keterampilan belajar
c. Keterampilan berfikir inovatif dan kreatif
d. Keterampilan membuat keputusan
3. Karakter dan keterampilan afektif
a. Tanggung jawab
b. Sikap positif terhadap pekerjaan
c. Jujur, hati-hati, teliti, dan efisien
d. Hubungan antar pribadi, kerjasama dan bekerja dalam tim
e. Percaya diri dan memiliki sikap positif terhadap diri sendiri
f. Penyesuaian diri dan fleksibel
g. Penuh antusias dan motivasi
h. Disiplin dan penguasaan diri
i. Berdandan dan berpenampilan menarik
j. Memiliki integritas pribadi
k. Mampu bekerja mandiri tanpa pengawasan orang lain.

Dalam era sekarang seseorang selain membutuhkan kecakapan umum,


juga membutuhkan kemampuan belajar bagaimana cara belajar (learning
how to learn). Dengan modal learning how to learn dan general life skill yang
dimiliki mereka dapat mempelajari pengetahuan baru. Pemahaman itulah yang
mendasari konsep pendidikan berbasis luas (broad based education - BBE),
bahwa pendidikan mengoptimalkan potensi yang dimiliki peserta didik sebagai
bentuk syukur kepada anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu pendidikan
harus mendasarkan pada kebutuhan masyarakat secara luas dengan menekankan
pada penguasaan life skill generik sebagai pondasi pengembangan diri lebih
lanjut. Dengan demikian konsep pendidikan berbasis luas berlaku di seluruh
jenjang pendidikan.

16
Menurut Satori (2002) jika Employability Skills dihubungkan dengan
pekerjaan tertentu, maka dapat mengarah pada Voltacional Skills uang
intinya terletak pada penguasaan Spesific Occupational Job, yaitu
keterampilan khusus untuk melakukan pekerjaan tertentu. Keterkaitan
tersebut digambarkan dalam bentuk model berikut.

Life Skills

Employability skills

Specific
Occuvational
Skills

Vocational skills

Gambar 1. 4 Model Hubungan Fungsional Antara Life Skills, Employability


Skills, Vocational Skills, dan Spesific Occuptional Skills (Satori,
2002)

Gambar tersebut menunjukkan bahwa pengembangan life skills dalam


konteks pendidikan formal (sekolah) selayaknya difokuskan pada penguasaan
spesific occuvational skills (pekerjaan tertentu/spesifik).

17
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dalam rangka memajukan pendidikan nasional diperlukan suatu
paradigma yang jelas melalui tatanan normative. Paradigma normative adalah
perangkat perundan-undangn dan peraturan di bidang pendidikan yang
merupakan pedoman dalam pengelolaan pendidikan. Dari sinilah muncul
kebijakan penerapan konsep life skills dalam bidang pendidikan. Ada empat
pilar yang mencakup : pengetahuan, keterampilan, kemandirian, dan
kemampuan untuk menyesuaikan diri dan bekerjasama. Keempat pilar tersebut
merupakan pilar-pilar belajar yang harus menjadi basis dari setiap lembaga
pendidikan.
Keterampilan belajar merupakan salah satu potensi dan tugas asasi
manusia yang kualitas dan kualitasnya dipengaruhi factor eksternal. Tujuan
akhir dari keterampilan belajar ialah kemampuan memecahkan masalah secara
bertanggung jawab.
Pendidikan berdasarkan sistem broad based education ialah konsep
pendidikan yang memacu pada life skill yang tujuan adalah untuk
mengakomodasi kebutuhan pendidikan masyarakat dalam rangka memperoleh
pekerjaan yang layak sesuai dengan standar hidup. Secara konseptual,
kecakapan hidup adalah urutan pilihan yang memperkuat kehidupan psikologis
yang dibuat seseorang dalam bidang keterampilan yang spesifik.

3.2 Saran
Saran dan kritik yang membangun demi perbaikan makalah ini ke
depan sangat kami harapkan. Semoga makalah ini bisa bermanfaat, terutama
bagi tim penyusun. Khususya bagi para pendidik dan calon pendidik di
Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

18
Anonim. 2007. Konsep Kecakapan Hidup.( Diakses di http://mixing
blogging.blogspot.com/2007/06/kecakapan-hidup-lifeskill.html.akses tanggal
6 september 2015).

Anwar. 2006. Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education): Konsep dan
Aplikasi. Bandung: Alfabeta.

Suyono Dan Harianto. 2014. Belajar Dan Pembelajaran: Teori Dan Konsep Dasar.
Bandung: Remaja Rosda Karya.

19
LAMPIRAN

20

Anda mungkin juga menyukai