Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN

ACS (Acute Coronary Syndrome)


Disusun untuk Melengkapi Tugas Profesi Ners di Departemen Emergency

Disusun oleh :
Ni Wayan Asma Nira Yustika
140070300011146

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2015
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi
Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah kejadian kegawatan pada pembuluh darah
koroner.Wasid (2007) menambahkan bahwa SKA adalah suatu fase akut dari Angina
Pectoris Tidak Stabil/ APTS yang disertai Infark Miocard akut/ IMA gelombang Q (IMA-
Q) dengan non ST elevasi (NSTEMI) atau tanpa gelombang Q (IMA-TQ) dengan ST
elevasi (STEMI) yang terjadi karena adanya trombosis akibat dari ruptur plak
aterosklerosis yang tak stabil.
Istilah SKA banyak digunakan saat ini untuk menggambarkan kejadian
kegawatan pada pembuluh darah coroner. Sindrom coroner Akut merupakan satu
sindrom yang terdiri dari beberapa penyakit coroner yaitu, angina tak stabil (unstable
angina), infark miokard non-elevasi ST, infark miokard dengan elevasi ST, maupun
angina pektoris pasca infark atau pasca tindakan intervensi coroner perkutan. Sindrom
coroner Akut merupakan keadaan darurat jantung dengan manifestasi klinis rasa tidak
enak di dada atau gejala lain sebagai akibat iskemia miokardium.

B. Etiologi
Sumber masalah sesungguhnya hanya terletak pada penyempitan pembuluh
darah jantung (vasokonstriksi). Penyempitan ini diakibatkan oleh empat hal, meliputi:
1. Adanya timbunan-lemak (aterosklerosis) dalam pembuluh darah akibat konsumsi
kolesterol tinggi.
2. Sumbatan (trombosis) oleh sel beku darah (trombus).
3. Vasokonstriksi atau penyempitan pembuluh darah akibat kejang yang terus menerus.
4. Infeksi pada pembuluh darah.
Wasid (2007) menambahkan mulai terjadinya SKA dipengaruhi oleh beberapa
keadaan, yakni:
1. Aktivitas/latihan fisik yang berlebihan (tak terkondisikan)
2. Stress emosi, terkejut
3. Udara dingin, keadaan-keadaan tersebut ada hubungannya dengan peningkatan
aktivitas simpatis sehingga tekanan darah meningkat, frekuensi debar jantung
meningkat, dan kontraktilitas jantung meningkat.

C. Klasifikasi
Berat/ ringannya Sindrom Koroner Akut menurut Braunwald adalah:
1. Kelas I: Serangan baru, yaitu kurang dari 2 bulan progresif, berat, dengan nyeri
pada waktu istirahat, atau aktivitas sangat ringan, terjadi >2 kali per hari.
2. Kelas II: Sub akut, yakni sakit dada antara 48 jam sampai dengan 1 bulan pada
waktu istirahat.
3. Kelas III: Akut, yakni kurang dari 48 jam.
Secara Klinis:
1. Klas A: Sekunder, dicetuskan oleh hal-hal di luar koroner, seperti anemia, infeksi,
demam, hipotensi, takiaritmi, tirotoksikosis, dan hipoksia karena gagal napas.
2. Kelas B: Primer.
3. Klas C: Setelah infark (dalam 2 minggu IMA). Belum pernah diobati. Dengan anti
angina (penghambat beta adrenergik, nitrat, dan antagonis kalsium ) Antiangina dan
nitrogliserin intravena.

D. Patofisiologi
(terlampir)

E. Manifestasi klinis
Rilantono (1996) mengatakan gejala Sindrom Koroner Akut berupa keluhan nyeri
ditengah dada, seperti: rasa ditekan, rasa diremas-remas, menjalar ke leher,lengan kiri
dan kanan, serta ulu hati, rasa terbakar dengan sesak napas dan keringat dingin, dan
keluhan nyeri ini bisa merambat ke kedua rahang gigi kanan atau kiri, bahu,serta
punggung. Lebih spesifik, ada juga yang disertai kembung pada ulu hati seperti masuk
angin atau maag. Gejala klinik lainnya meliputi:
1. Terbentuknya thrombus yang menyebabkan darah sukar mengalir ke otot jantung
dan daerah yang diperdarahi menjadi terancam mati .
2. Rasa nyeri, rasa terjepit, kram, rasa berat atau rasa terbakar di dada (angina).
Lokasi nyeri biasanya berada di sisi tengah atau kiri dada dan berlangsung selama
lebih dari 20 menit. Rasa nyeri ini dapat menjalar ke rahang bawah, leher, bahu dan
lengan serta ke punggung. Nyeri dapat timbul pada waktu istirahat. Nyeri ini dapat
pula timbul pada penderita yang sebelumnya belum pernah mengalami hal ini atau
pada penderita yang pernah mengalami angina, namun pada kali ini pola
serangannya menjadi lebih berat atau lebih sering.

3. Selain gejala-gejala yang khas di atas, bisa juga terjadi penderita hanya
mengeluh seolah pencernaannya terganggu atau hanya berupa nyeri yang terasa di
ulu hati. Keluhan di atas dapat disertai dengan sesak, muntah atau keringat dingin.
F. Pemeriksaan Diagnostik
Wasid (2010) mengatakan cara mendiagnosis IMA, ada 3 komponen yang harus
ditemukan, yakni:
1. Sakit dada
2. Perubahan EKG, berupa gambaran STEMI/ NSTEMI dengan atau tanpa
gelombang Q patologik

3. Peningkatan enzim jantung (paling sedikit 1,5 kali nilai batas atas
normal), terutama CKMB dan troponin-T /I, dimana troponin lebih spesifik untuk
nekrosis miokard. Nilai normal troponin ialah 0,1--0,2 ng/dl, dan dianggap positif bila
> 0,2 ng/dl.

G. Penatalaksanaan
Tahap awal dan cepat pengobatan pasien SKA adalah:
1. Oksigenasi: Langkah ini segera dilakukan karena dapat membatasi kekurangan
oksigen pada miokard yang mengalami cedera serta menurunkan beratnya ST-
elevasi. Ini dilakukan sampai dengan pasien stabil dengan level oksigen 23 liter/
menit secara kanul hidung.

2. Nitrogliserin (NTG): digunakan pada pasien yang tidak hipotensi. Mula-mula secara
sublingual (SL) (0,3 0,6 mg ), atau aerosol spray. Jika sakit dada tetap ada setelah
3x NTG setiap 5 menit dilanjutkan dengan drip intravena 510 ug/menit (jangan lebih
200 ug/menit ) dan tekanan darah sistolik jangan kurang dari 100 mmHg. Manfaatnya
ialah memperbaiki pengiriman oksigen ke miokard; menurunkan kebutuhan oksigen
di miokard; menurunkan beban awal (preload) sehingga mengubah tegangan dinding
ventrikel; dilatasi arteri coroner besar dan memperbaiki aliran kolateral; serta
menghambat agregasi platelet (masih menjadi pertanyaan).

3. Morphine: Obat ini bermanfaat untuk mengurangi kecemasan dan kegelisahan;


mengurangi rasa sakit akibat iskemia; meningkatkan venous capacitance;
menurunkan tahanan pembuluh sistemik; serta nadi menurun dan tekanan darah juga
menurun, sehingga preload dan after load menurun, beban miokard berkurang,
pasien tenang tidak kesakitan. Dosis 2 4 mg intravena sambil memperhatikan efek
samping mual, bradikardi, dan depresi pernapasan
4. Aspirin: harus diberikan kepada semua pasien Sindrom coroner akut jika tidak ada
kontraindikasi (ulkus gaster, asma bronkial). Efeknya ialah menghambat
siklooksigenase 1 dalam platelet dan mencegah pembentukan tromboksan-A2.
Kedua hal tersebut menyebabkan agregasi platelet dan konstriksi arterial.

5. Penelitian ISIS-2 (International Study of Infarct Survival) menyatakan bahwa Aspirin


menurunkan mortalitas sebanyak 19%, sedangkan "The Antiplatelet Trialists
Colaboration" melaporkan adanya penurunan kejadian vaskular IMA risiko tinggi dari
14% menjadi 10% dan nonfatal IMA sebesar 30%. Dosis yang dianjurkan ialah 160
325 mg perhari, dan absorpsinya lebih baik "chewable" dari pada tablet, terutama
pada stadium awal 3,4. Aspirin suppositoria (325 mg) dapat diberikan pada pasien
yang mual atau muntah 4. Aspirin boleh diberikan bersama atau setelah pemberian
GPIIb/IIIa-I atau UFH (unfractioned heparin). Ternyata efektif dalam menurunkan
kematian, infark miokard, dan berulangnya angina pectoris.

6. Antitrombolitik lain: Clopidogrel, Ticlopidine: derivat tinopiridin ini menghambat


agregasi platelet, memperpanjang waktu perdarahan, dan menurunkan viskositas
darah dengan cara menghambat aksi ADP (adenosine diphosphate) pada reseptor
platelet., sehingga menurunkan kejadian iskemi. Ticlopidin bermakna dalam
menurunkan 46% kematian vaskular dan nonfatal infark miokard. Dapat dikombinasi
dengan Aspirin untuk prevensi trombosis dan iskemia berulang pada pasien yang
telah mengalami implantasi stent koroner. Pada pemasangan stent coroner dapat
memicu terjadinya trombosis, tetapi dapat dicegah dengan pemberian Aspirin dosis
rendah (100 mg/hari) bersama Ticlopidine 2x 250 mg/hari. Colombo dkk. memperoleh
hasil yang baik dengan menurunnya risiko trombosis tersebut dari 4,5% menjadi
1,3%, dan menurunnya komplikasi perdarahan dari 1016% menjadi 0,25,5%21.
Namun, perlu diamati efek samping netropenia dan trombositopenia (meskipun
jarang) sampai dengan dapat terjadi purpura trombotik trombositopenia sehingga
perlu evaluasi hitung sel darah lengkap pada minggu II III. Clopidogrel sama
efektifnya dengan Ticlopidine bila dikombinasi dengan Aspirin, namun tidak ada
korelasi dengan netropenia dan lebih rendah komplikasi gastrointestinalnya bila
dibanding Aspirin, meskipun tidak terlepas dari adanya risiko perdarahan. Didapatkan
setiap 1.000 pasien SKA yang diberikan Clopidogrel, 6 orang membutuhkan tranfusi
darah 17,22. Clopidogrel 1 x 75 mg/hari peroral, cepat diabsorbsi dan mulai beraksi
sebagai antiplatelet agregasi dalam 2 jam setelah pemberian obat dan 4060%
inhibisi dicapai dalam 37 hari. Penelitian CAPRIE (Clopidogrel vs ASA in Patients at
Risk of Ischemic Events ) menyimpulkan bahwa Clopidogrel secara bermakna lebih
efektif daripada ASA untuk pencegahan kejadian iskemi pembuluh darah (IMA,
stroke) pada aterosklerosis (Product Monograph New Plavix).

Penanganan Sindrom Koroner akut (SKA) meliputi:


1. Heparin: Obat ini sudah mulai ditinggalkan karena ada preparat-preparat baru yang
lebih aman (tanpa efek samping trombositopenia) dan lebih mudah pemantauannya
(tanpa aPTT). Heparin mempunyai efek menghambat tidak langsung pada
pembentukan trombin, namun dapat merangsang aktivasi platelet. Dosis UFH yang
dianjurkan terakhir (1999) ialah 60 ug/kg bolus, dilanjutkan dengan infus 12
ug/kg/jam maksimum bolus , yaitu 4.000 ug/kg, dan infus 1.000 ug/jam untuk pasien
dengan berat badan < 70 kg.

2. Low Molecular Heparin Weight Heparin( LMWH): Diberikan pada APTS atau
NSTEMI dengan risiko tinggi. LMWH mempunyai kelebihan dibanding dengan UFH,
yaitu mempunyai waktu paruh lebih lama; high bioavailability; dose independent
clearance; mempunyai tahanan yang tinggi untuk menghambat aktivasi platelet;
tidak mengaktivasi platelet; menurunkan faktor von Willebrand; kejadian
trombositopenia sangat rendah; tidak perlu pemantauan aPTT ; rasio antifaktor Xa /
IIa lebih tinggi; lebih banyak menghambat alur faktor jaringan; dan lebih besar efek
hambatan dalam pembentukan trombi dan aktivitasnya. Termasuk dalam preparat ini
ialah Dalteparin, Enoxaparin, dan Fraxi-parin. Dosis Fraxiparin untuk APTS dan
NQMCI: 86 iu antiXa/kg intravena bersama Aspirin (maksimum 325 mg) kemudian
85 iu antiXa/kg subkutan selama 6 hari: 2 x tiap 12 jam (Technical Brochure of
Fraxiparin . Sanofi Synthelabo).

3. Warfarin: Antikoagulan peroral dapat diberikan dengan pemikiran bahwa pengobatan


jangka panjang dapat memperoleh efek antikoagulan secara dini. Tak ada
perbedaan antara pemberian Warfarin plus Aspirin dengan Aspirin saja (CHAMP
Study, CARS Trial) sehingga tak dianjurkan pemberian kombinasi Warfarin dengan
Asparin.

4. Glycoprotein IIb/IIIa Inhibitor (GPIIb/IIIa-I): obat ini perlu diberikan pada NSTEMI
SKA dengan risiko tinggi, terutama hubungannya dengan intervensi koroner
perkutan (IKP). Pada STEMI, bila diberikan bersama trombolitik akan meningkatkan
efek reperfusi. Efek GPIIb/IIIa-I ialah menghambat agregasi platelet tersebut dan
cukup kuat terhadap semua tipe stimulan seperti trombin, ADP, kolagen, dan
serotonin. Ada 3 perparat, yaitu Abciximab, Tirofiban, dan Eptifibatide yang diberikan
secara intravena. Ada juga secara peroral, yakni Orbofiban, Sibrafiban, dan
Ximilofiban. GPIIb/IIIa-I secara intravena jelas menurunkan kejadian coroner dengan
segera, namun pemberian peroral jangka lama tidak menguntungkan, bahkan dapat
meningkatkan mortalitas. Secara invitro, obat ini lebih kuat daripada Aspirin dan
dapat digunakan untuk mengurangi akibat disrupsi plak. Banyak penelitian besar
telah dilakukan, baik GPIIb/IIIa-I sendiri maupun kombinasi dengan Aspirin, Heparin,
maupun pada saat tindakan angioplasti dengan hasil cukup baik. Namun, tetap perlu
diamati komplikasi perdarahannya dengan menghitung jumlah platelet
(trombositopenia) meskipun ditemukan tidak serius. Disebut trombositopenia berat
bila jumlah platelet < 50.000 ml 4,17,26. Dasgupta dkk. (2000) meneliti efek
trombositopenia yang terjadi pada Abciximab tetapi tidak terjadi pada Eptifibatide
atau Tirofiban dengan sebab yang belum jelas. Diduga karena Abciximab
menyebabkan respons antibodi yang merangsang kombinasi platelet meningkat dan
menyokong terjadinya trombositopenia. Penelitian TARGET menunjukkan
superioritas Abciximab dibanding Agrastat dan tidak ada perbedaan antara intergillin
dengan derivat yang lain. Penelitian ESPRIT memprogram untuk persiapan IKP,
ternyata hanya nenguntungkan pada grup APTS.

5. Direct Trombin Inhibitors: Hirudin, yaitu suatu antikoagulan yang berisi 65 asam
amino polipeptida yang mengikat langsung trombin. GUSTO IIb telah mencoba
terapi terhadap 12.142 pasien APTS/NSTEMI dan STEMI, namun tidak menunjukan
perbedaan yang bermakna terhadap mortalitas 17,28.

6. Trombolitik: dengan trombolitik pada STEMI dan left bundle branch block (LBBB)
baru, dapat menurunkan mortalitas dalam waktu pendek sebesar 18% 29, namun
tidak menguntungkan bagi kasus APTS dan NSTEMI. Walaupun tissue plasminogen
activator (t-PA) kombinasi dengan Aspirin dan dosis penuh UFH adalah superior dari
Streptokinase, hanya 54% pasien mencapai aliran normal pada daerah infark
selama 90 menit 30,31,32,33. Trombolitik terbaru yang diharapkan dapat
memperbaiki patensi arteri coroner dan mortalitas ialah Reteplase (r-PA) dan
Tenecteplase (TNK-t-PA), karena mempunyai waktu paruh lebih panjang daripada t-
PA. Namun, ada 2 penelitian besar membandingkan t-PA dengan r-PA plus TNK-t-
PA, namun ternyata tidak ada perbedaan dan risiko perdarahannya sama saja.

7. Kateterisasi Jantung: selain pengunaan obat-obatan, teknik kateterisasi jantung saat


ini juga semakin maju. Tindakan memperdarahi (melalui pembuluh darah) daerah
yang kekurangan atau bahkan tidak memperoleh darah bisa dilaksanakan dengan
membuka sumbatan pembuluh darah coroner dengan balon dan lalu dipasang alat
yang disebut stent.Dengan demikian aliran darah akan dengan segera dapat
kembali mengalir menjadi normal.

Asuhan Keperawatan Klien dengan Sindrom Koroner Akut (SKA)


A. Pengkajian:
1. Identitas klien (umumnya jenis kelamin laki-laki dan usia > 50 tahun)
2. Keluhan (nyeri dada, Klien mengeluh nyeri ketika beristirahat , terasa panas, di dada
retro sternal menyebar ke lengan kiri dan punggung kiri, skala nyeri 8 (skala 1-10),
nyeri berlangsung 10 menit)
3. Riwayat penyakit sekarang (Klien mengeluh nyeri ketika beristirahat , terasa panas, di
dada retro sternal menyebar ke lengan kiri dan punggung kiri, skala nyeri 8 (skala 1-
10), nyeri berlangsung 10 menit)
4. Riwayat penyakit sebelumnya (DM, hipertensi, kebiasaan merokok, pekerjaan, stress),
dan Riwayat penyakit keluarga (jantung, DM, hipertensi, ginjal).
B. Pemeriksaan Penunjang:
1. Perubahan EKG (berupa gambaran STEMI/ NSTEMI dengan atau tanpa gelombang Q
patologik)
2. Enzim jantung (meningkat paling sedikit 1,5 kali nilai batas atas normal, terutama CKMB
dan troponin-T /I, dimana troponin lebih spesifik untuk nekrosis miokard. Nilai normal
troponin ialah 0,1--0,2 ng/dl, dan dianggap positif bila > 0,2 ng/dl).
C. Pemeriksaan Fisik
1. B1: dispneu (+), diberikan O2 tambahan
2. B2: suara jantung murmur (+), chest pain (+), crt 2 dtk,
akral dingin
3. B3: pupil isokor, reflek cahaya (+), reflek fisiologis (+)
4. B4: oliguri
5. B5: penurunan nafsu makan, mual (-), muntah (-)
6. B6: tidak ada masalah
D. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi Keperawatan

Masalah Keperawatan Intervensi

1. Chest Pain b.d. 1. Anjurkan klien untuk istirahat


penurunan suplay
oksigen ke miokard (R: istirahat akan memberikan ketenangan sebagai
salah satu relaksasi klien sehingga rasa nyeri yang
dirasakan berkurang, selain itu dengan beristirahat
Tujuan : akan mengurangi O2 demand sehingga jantung tidak
berkontraksi melebihi kemampuannya)
Klien dapat
beradaptasi dengan 2. Motivasi teknik relaksasi nafas dalam
nyeri setelah mendapat
perawatan 1x24 jam (R: relaksasi napas dalam adalah salah satu teknik
relaks dan distraksi, kondisi relaks akan menstimulus
Nyeri berkurang setelah hormon endorfin yang memicu mood ketenangan bagi
intervensi selama 10 klien)
menit
3. Kolaborasi analgesik ASA 1 x 100 mg
Kriteria hasil :
(R: Analgesik akan mengeblok nosireseptor, sehingga
a. Skala nyeri respon nyeri klien berkurang)
berkurang
4. Evaluasi perubahan klien: Nadi, TD, RR, skala
b. Klien mengatakan nyeri, dan klinis
keluhan nyeri
berkurang (R: mengevaluasi terapi yang sudah diberikan

c. Klien tampak
lebih tenang

Masalah Keperawatan Intervensi

2. Penurunan 1. Berikan posisi kepala (> tinggi dari


curah jantung ekstrimitas)

Tujuan: Curah jantung R: posisi kepala lebih tinggi dari ekstremitas (30
o
meningkat setelah ) memperlancar aliran darah balik ke jantung,
untervensi selama 1 jam sehingga menghindari bendungan vena jugular,
dan beban jantung tidak bertambah berat)
Kriteria hasil :
2. Motivasi klien untuk istirahat (bed rest)
a. TD normal,
100/80 -140/90 R: beristirahat akan mengurangi O2 demand
sehingga jantung tidak berkontraksi melebihi
b. Nadi kuat, reguler kemampuannya)

3. Berikan masker non reservoir 8 lt/mnt

R: pemberian oksigen akan membantu dalam


memenuhi kebutuhan oksigen dalam tubuh)

4. Kolaborasi medikasi: Pemberian


vasodilator captopril, ISDN, Pemberian duretik
furosemide

R: vasodilator dan diuretic bertujuan untuk


mengurangi beban jantung dengan cara
menurunkan preload dan afterload

5. Evaluasi perubahan: TD, nadi, dan klinis

R: mengevaluasi terapi yang sudah diberikan


dan sebagai perbaikan intervensi selanjutnya

Masalah Keperawatan Intervensi

3. Gangguan 1. Pantau TD dan nadi lebih intensif


keseimbangan
elektrolit : R: penurunan Kalium dalam darah berpengaruh
hipokalemia pada kontraksi jantung, dan hal ini
mempengaruhi Td dan nadi klien, sehingga
dengan memantau lebih intensif akan lebih
Tujuan : Terjadi waspada)
keseimbangan elektrolit
setelah intervensi 1 jam 2. Anjurkan klien untuk istirahat

Kriteria hasil : R: beristirahat akan mengurangi O2 demand


sehingga jantung tidak berkontraksi melebihi
a. TD normal kemampuannya
(100/80 140/90
mmHg) 3. Kolaborasi pemberian kalium : Kcl 15
mEq di oplos dengan RL (500 cc/24 jam) dan
b. Nadi kuat Pantau kecepatan pemberian kalium IV

c. Klien mengatakan R: koreksi Kalium akan membantu menaikkan


kelelahan kadar Kalium dalam darah
berkurang
4. Evaluasi perubahan klien: TD, nadi,
d. Nilai K normal serum elektrolit, dan klinis
(3,8 5,0
mmmo/L) R: untuk mengevaluasi terapi yang sudah
diberikan dan untuk program intervensi
selanjutnya)
Daftar Pustaka

Andra.(2010). Sindrom Koroner Akut.Pendekatan Invasif Dini atau


Konservatif.http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=197.
Diakses, tanggal 8 Desember 2015 : Jam 11.01 WIB

Rilantono, dkk.(1996). Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Wasid (2011). Tinjauan Pustaka Konsep Baru Penanganan Sindrom Koroner Akut.
http://nursingbrainriza.blogspot.com/2007/05/tinjauan-pustaka-konsep-baru
penanganan.html. Diaskes, tanggal 8 Desember 2015: Jam 12.10 WIB
PATOFISIOLOGI

Anda mungkin juga menyukai