Bab Ii
Bab Ii
TINJAUAN PUSTAKA
2. Pendekatan psikis
Di sini perawat mempunyai peranan penting mengadakan pendekatan edukatif
pada klien lanjut usia, perawat dapat berperan sebagai supporter, interpreter
terhadap segala sesuatu yang asing, sebagai penampung rahasia yang pribadi dan
sebagai sahabat yang akrab. Perawat hendaknya memiliki kesabaran dan waktu
yang cukup banyak untuk menerima berbagai bentuk keluhan agar para lanjut usia
merasa puas. Perawat harus selalu memegang prinsip Tripple S, yaitu Sabar,
Simpatik, dan Service.
Pada dasarnya klien lanjut usia membutuhkan rasa aman dan cinta kasih dari
lingkungan, termasuk perawat yang memberikan perawatan. Untuk itu perawat harus
selalu menciptakan suasana aman, tidak gaduh, membiarkan mereka melakukan
kegiatan dalam batas kemampuan dan hobi yang dimilikinya.
Perawat harus dapat membangkitkan semangat dan kreasi klien lanjut usia
dalam memecahkan dan mengurangi rasa putus asa, rasa rendah diri, rasa
keterbatasan sebagai akibat dari ketidakmampuan fisik, dan kelainan yang
dideritanya.
Hal ini perlu dilakukan karena perubahan psikologi terjadi bersama dengan
berlanjutnya usia. Perubahan-perubahan ini meliputi gejala-gejala, seperti
menurunnya daya ingat untuk peristiwa yang baru terjadi, berkurangnya kegairahan
keinginan, peningkatan kewaspadaan, perubahan pola tidur dengan suatu
kecenderungan untuk tiduran di waktu siang, dan pergeseran libido.
Perawat harus sabar mendengarkan cerita-cerita dari masa lampau yang
membosankan, jangan mentertawakan atau memarahi klien lanjut usia bila lupa atau
kesalahan. Harus diingat, kemunduran ingatan jangan dimanfaatkan untuk tujuan-
tujuan tertentu.
Bila perawat ingin mengubah tingkah laku dan pandangan mereka terhadap
kesehatan, perawat bisa melakukannya secara perlahan-lahan dan bertahap,
perawat harus dapat mendukung mental mereka kearah pemuasan pribadi sehingga
seluruh pengalaman yang dilaluinya tidak menambah beban, bila perlu diusahakan
agar di masa lanjut usia ini mereka dapat merasa puas dan bahagia.
3. Pendekatan social
Mengadakan diskusi, tukar pikiran, dan bercerita merupakan salah satu upaya
perawat dalam pendekatan sosial. Memberikan kesempatan untuk berkumpul
bersama dengan sesama klien lanjut usia berarti menciptakan sosialisasi mereka.
Jadi, pendekatan sosial ini merupakan suatu pegangan bagi perawat bahwa orang
yang dihadapinya adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain. Dalam
pelaksanaannya perawat dapat menciptakan hubungan social antara lanjut usia dan
lanjut usia dan perawat sendiri.
Perawat memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada para lanjut usia
untuk mengadakan komunikasi dan melakukan rekreasi, misal jalan pagi, menonton
film, atau hiburan-hiburan lain.
Para lanjut usia perlu dirangsang untuk mengetahui dunia luar, seperti
menonton televisi, mendengarkan radio, atau membaca surat kabar dan majalah.
Dapat disadari bahwa pendekatan komunikasi dalam perawatan tidak kalah
pentingnya dengan upaya pengobatan medis dalam proses penyembuhan atau
ketenangan para klien lanjut usia.
Tidak sedikit klien tidak dapat tidur karena stress, stress memikirkan penyakit,
biaya hidup, keluarga yang di rumah sehingga menimbulkan kekecewaan, ketakutan
atau kekhawatiran, dan rasa kecemasan. Untuk menghilangkan rasa jemu dan
menimbulkan perhatian terhadap sekelilingnya perlu diberi kesempatan kepada
lanjut usia untuk menikmati keadaan di luar, agar merasa masih ada hubungan
dengan dunia luar.
Tidak jarang terjadi pertengkaran dan perkelahian di antara lanjut usia (terutama
yang tinggal dipanti werda), hal ini dapat diatasi dengan berbagai usaha, antara lain
selalu mengadakan kontak dengan mereka, senasib dan sepenanggungan, dan
punya hak dan kewajiban bersama. Dengan demikian perawat tetap mempunyai
hubungan komunikasi baik sesama mereka maupun terhadap mempunyai hubungan
komunikasi baik sesama mereka maupun terhadap petugas yang secara langsung
berkaitan dengan pelayanan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia dipanti werda.
4. Pendekatan spiritual
Perawat harus bias memberikan ketentuan dan kepuasan batin dalam
hubungannya dengan tujuan atau agama yang dianutnya, terutama bila klien lanjut
usia dalam keadaan sakit atau mendekati kematian.sehubungan dengan pendekatan
spiritual bagi klien lanjut usia yang menekati kematian, DR Toni Setyobudhi
mengemukakan bahwa maut sering kali menggugah rasa takut. Rasa takut
semacam ini di dasari oleh berbagai macam faktor seperti, ketidakpastian
pengalaman selanjutnya, adanya rasa sakit/penderitaan yang sering menyertainya,
dan kegelisahan untuk tidak kumpul lagi dengan keluarga/lingkungan sekitarnya.
Dalam menghadapi kematian, setiap klien lanjut usia akan memberikan reaksi-
reaksi yang berbeda, tergantung dari kepribadian dan cara mereka menghadapi
hidup ini. Sebab itu, perawat harus meneliti dengan cermat di manakah letak
kelemahan dan di mana letak kekuatan klien, agar perawat selanjutnya akan lebih
terarah lagi. Bila kelemahan terletak pada segi spiritual, sudah seelayaknya perawat
dan tim berkewajiban mencari upaya agar klien lanjut usia ini dapat diringankan
penderitaannya. Perawat bisa memberikan kesempatan pada klien lanjut usia untuk
melaksanakan ibadahnya, atau secara langsung memberikan bimbingan rohani
dengan menganjurkan melaksanakan ibadahnya seperti membaca kitab atau
membantu lanjut usia dalam menunaikan kewajiban terhadap agama yang
dianutnya.
Apabila kegelisahan yang timbul disebabkan oleh persoalan keluarga, maka
perawat harus dapat meyakinkan lanjut usia bahwa keluarga tadi ditinggalkan, masih
ada orang lain yang mengurus mereka. Sedangkan bila ada rasa bersalah yang
menghantui pikiran lanjut usia, segera perawat segera menghubungi seorang
rohaniawan untuk dapat mendampingi lanjut usia dan mendengarkan keluhan-
keluhannya maupun pengakuan-pengakuannya.
Umumnya pada waktu kematian akan datang, agama atau kepercayaan
seseorang merupakan faktor yang penting sekali. Pada waktu inilah kehadiran
seorang imam sangat perlu untuk melapangkan dada klien lanjut usia.
Dengan demikian pendekatan perawat lanjut usia bukan hanya terhadap fisik,
yakni membantu mereka dalam keterbatasan fisik saja, melainkan perawat lebih
dituntut menemukan pribadi klien lanjut usia melalui agama mereka.
2. Gangguan kardiovaskuler
Jantung dan pembuluh darah memberikan oksigen dan nutrien pada setiap sel
hidup yang diperlukan untuk bertahan hidup. Penurunan fungsi kardiovaskuler akan
berdampak pada fungsi yang lainnya. Peningkatan usia menyebabkan jantung dan
pembuluh darah mengalami perubahan baik secara struktural maupun fungsional.
Secara umum, perubahan yang disebabkan oleh penuaan berlangsung lambat dan
tidak disadari (Steanly & Beare, 2007). Perubahan pada sistem kardiovaskuler
meliputi:
a. Ventrikel kiri menebal.
b. Katup jantung menebal dan membentuk penonjolan.
c. Jumlah sel peacemaker yang berfungsi menghasilkan impuls listrik menurun.
d. Arteri menjadi kaku dan tidak lurus pada kondisi dilatasi (pelebaran atau
peregangan struktur tabular).
e. Vena mengalami dilatasi, katup menjadi tidak kompeten.
Manifestasi klinis penuaan pada sistem kardiovaskuler menurut (Steanly & Beare,
2007) adalah:
a. Tekanan darah tinggi
Tekanan darah tinggi atau hipertensi merupakan faktor risiko utama terjadinya
penyakit kardiovaskuler. Kombinasi hipertensi dengan diabetes atau hiperlipidemia
semakin meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler. Hipertensi dibagi menjadi dua
yaitu:
1. Hipertensi esensial
2. Hipertensi non esensial
Hampir 90% tekanan darah tinggi tergolong tekanan darah tinggi esensial atau
tekanan darah tinggi yang tidak diketahui penyebabnya. Tekanan darah tinggi
esensial biasanya menyerang anak muda. Tekanan darah tinggi untuk lansia
cenderung hipertensi non esensial.
b. Aterosklerosis
Aterosklerosis merupakan proses patofisiologis yang paling sering
mempengaruhi fungsi kardiovaskuler. Aterosklerosis adalah proses penyakit yang
secara umum memiliki dampak pada hampir semua arteri. Aterosklerosis pada lansia
dan orang masih muda hampir sama, akan tetapi dampak pada lansia lebih berat
karena proses akumulasi yang lebih lama (Steanly & Beare, 2007).
c. Disritmia
Disritmia meningkat pada lansia karena perubahan struktural dan fungsional
pada proses penuaan. Disritmia dipicu oleh tidak terkoordinasinya jantung dan sering
dimanifestasikan sebagai perubahan perilaku, palpitasi, sesak napas, keletihan, dan
jatuh (Steanly & Beare, 2007). Gangguan kardiovaskuler dapat berupa nyeri dada,
sesak napas pada kerja fisik, palpitasi, dan edema kaki (Nugroho, 2010).
3. Berat badan menurun
Berat badan menurun pada lansia disebaban oleh:
a. Nafsu makan menurun karena kurang adanya gairah hidup atau kelesuan.
b. Penyakit kronis.
c. Gangguan pada saluran pencernaan sehingga penyerapan makanan
terganggu.
d. Faktor sosio ekonimis (pensiunan).
4. Gangguan eliminasi
Gangguan eliminasi lansia terkait dengan gangguan pada sistem ekskresi pada
tubuh manusia, meliputi:
a. Gangguan pada sistem alat kemih
Penyimpanan dan pengeluaran urin dalam interval yang sesuai adalah suatu
proses koordinasi volunter dan involunter yang rumit. Sistem tersebut harus utuh
secara fisik, neurologis, harus terdapat kesadaran kognitif, keinginan untuk
berkemih, dan tempat serta situasi yang tepat untuk melakukannya (Staenly &
Beare, 2007).
Perubahan yang biasa menyertai penuaan adalah kapasitas kandung kemih
yang lebih kecil, peningkatan volume residu, dan kontraksi kandung kemih yang tidak
disadari. Perubahan yang terjadi pada wanita lansia adalah penurunan produksi
estrogen menyebabkan atrofi jaringan uretra dan efek setelah melahirkan dapat
dilihat pada melemahnya otot dasar panggul. Perubahan pada lansia pria adalah
hipertrofi prostat menyebabkan tekanan pada leher kandung kemih dan uretra
(Staenly & Beare, 2007).
Pemeriksaan mikroskopik ginjal lansia menunjukkan hanya 30% ginjal yang utuh.
Kondisi seperti itu menyebabkan daya kerja ginjal berkurang. Gangguan pada sistem
alat kemih biasa ditandai dengan:
1) Inkontinensia urin
Inkontinensia urin (gangguan terlalu sering kencing) dihubungkan dengan
keinginan yang kuat dan mendesak untuk berkemih dengan kemampuan yang
kecil untuk menunda berkemih. Proses inkontinensia urin terjadi apabila kandung
kemih hampir penuh sebelum kebutuhan untuk berkemih dirasakan sehingga
berakibat sebagian kecil sampai sedang urin keluar sebelum seseorang mencapai
toilet (Staenly & Beare, 2007).
Nugroho (2000) menyatakan penyebab inkontinensia urin adalah:
a. Melemahnya otot dasar panggul yang menyangga kendung kemih dan
memperkuat sfingter uretra.
b. Konstraksi abnormal pada kandung kemih.
c. Obat diuretik dan obat penenang yang terlalu banyak.
d. Radang kandung kemih dan saluran kemih.
e. Kelainan kontrol dan persarafan pada kandung kemih.
f. Hipertrofi prostat.
g. Faktor psikologi.
2) Retensio urine
Retensio urine adalah suatu keadaan penumpukan urin dikandung kemih dan
tidak mempunyai kemampuan untuk mengosongkan secara sempurna (Staenly &
Beare, 2007). Tanda dan gejala dalam retensio urine adalah:
a) Urin mengalir lambat.
b) Poliuria yang makin lama menjadi parah karena pengosongan kendung kemih
tidak efisien.
c) Distensi abdomen akibat dilatasi kandung kemih.
d) Terasa ada tekanan.
b. Inkontinensia alvi
Incontinensia alvi adalah ketidakmampuan untuk mengontrol buang air besar
yang menyebabkan tinja (feses) bocor tidak terduga dari dubur. Kondisi tersebut
dapat terjadi karena penurunan fungsi usus yang sebelumya bertugas sebagai
penyerap dan pengeluaran feses (Staenly & Beare, 2007).
5. Gangguan pada sistem muskuloskeletal
Perubahan normal muskuloskeletal pada lansia meliputi penurunan tinggi badan,
redistribusi massa otot dan lemak subkutan, peningkatan porositas tulang, atrofi otot,
pergerakan yang lambat, pengurangan kekuatan, dan kekauan sendi (Staenly &
Beare, 2007). Masalah muskuloskeletal yang sering terjadi adalah:
a. Osteoporosis
Osteoporosis adalah suatu kondisi penurunan massa tulang secara keseluruhan
sehingga seseorang tidak mampu berjalan atau bergerak. Osteoposisis sering
ditemukan pada wanita, walaupun pria juga masih mengalami osteoporosis.
Hilangnya substansi tulang menyebabkan tulang menjadi lemah secara mekanis
dan cenderung untuk mengalami fraktur baik spontan maupun akibat trauma.
Ketika kemampuan menahan berat badan normal menurun atau tidak ada
sebagai konsekuensi dari penurunan atau gangguan mobilitas maka akan terjadi
osteoporosis karena tulang jarang digunakan (Staenly & Beare, 2007).
b. Osteoartritis
Osteoartritis adalah gangguan yang berkembang secara lambat, tidak simetris,
dan non inflamasi. Osteoarthritis terjadi pada sendi yang dapat digerakkan
khususnya pada sendi yang menahan berat tubuh. Kerusakan sendi akibat
penuaan memainkan peranan dalam perkembangan osteoartritis (Staenly &
Beare, 2007).
c. Artritis reumatoid (penyakit radang sendi)
Staenly & Beare (2007) menyatakan artritis reumatoid (AR) adalah penyakit
inflamasi artikuler yang paling sering pada lansia. AR adalah suatu penyakit
kronis sistemik yang berkembang secara perlahan dan ditandai oleh adanya
radang yang sering kambuh pada sendi diartrodial dan struktur yang
berhubungan. AR sering disertai dengan nodul reumatoid, arthritis (radang
sendi), neuropati (gangguan saraf), skleritis (radang pada bagian putih mata),
perikarditis (radang pada perikardium), limfadenopati (pembesaran kelenjar
getah bening), dan splenomegali (pembesaran limfa).
6. Gangguan fungsi paru dan jantung
Hubungan antara jantung dan paru sangat dekat sehingga apabila salah satu
terganggu maka akan menganggu fungsi yang lainnya. Paru memiliki struktur
gelembung sangat halus yang dinamakan alveolus, apabila terjadi kerusakan pada
alveolus tersebut maka akan menyebabkan darah antara paru dan jantung
terbendung. Gejala yang timbul apabila terjadi penyakit paru yaitu; batuk, sesak
nafas, kulit membiru karena kekurangan oksigen, dan sakit dada.
2.1.5 Hipertensi pada Lansia
A. Pengertian
Hipertensi dicirikan dengan peningkatan tekanan darah diastolik dan sistolik
yang intermiten atau menetap.
Pada populasi lansia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160
mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg. (Smeltzer,2001).Menurut WHO
( 1978), tekanan darah sama dengan atau diatas 160 / 95 mmHg dinyatakan
sebagai hipertensi.
Pada Populasi manula, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160
mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg (Brunner & Suddarth, 1996).
B. Klasifikasi Hipertensi
Berdasarkan etiologinya, hipertensi dibagi menjadi :
1. Hipertensi primer atau esensial
Penyebab pasti masih belum diketahui. Jenis ini adalah yang terbanyak, yaitu
sekitar 90-95% dari seluruh pasien hipertensi. Riwayat keluarga,obesitas,diit
tinggi natrium,lemak jenuh dan penuaan adalah faktor pendukung. Walaupun
faktor genetik sepertinya sangat berhubungan dengan hipertensi primer, tapi
mekanisme pastinya masih belum diketahui.
2. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder akibat penyakit ginjal atau penyebab yang terindentifikasi
lainya. Hipertensi yang penyebabnya diketahui seperti hipertensi
renovaskuler, feokromositoma, sindrom cushing, aldosteronisme primer, dan
obat-obatan, yaitu sekitar 2-10% dari seluruh pasien hipertensi.
Berdasarkan klasifikasi dari JNC-VI maka hipertensi pada usia lanjut dapat
dibedakan:
Hipertensi sistolik saja (Isolated systolic hypertension), terdapat pada 6-12%
penderita di atas usia 60th, terutama pada wanita. Insioden meningkat seiring
bertambahnya umur.
Hipertensi diastolic saja (Diastolic hypertension), terdapat antara 12-14%
penderita di atas usia 60th, terutama pada pria. Insidensi menurun seiring
bertambahnya umur.
Hipertensi sistolik-diastolik: terdapat pada 6-8% penderita usia di atas 60 th,
lebih banyak pada wanita. Menningkat dengan bertambahnya umur.
C. Etiologi Hipertensi
Dengan perubahan fisiologis normal penuaan, faktor resiko hipertensi lain
meliputi diabetes ras riwayat keluarga jenis kelamin faktor gaya hidup seperti
obesitas asupan garam yang tinggi alkohol yang berlebihan.
Faktor resiko yang mempengaruhi hipertensi yang dapat atau tidak dapat
dikontrol, antara lain:
a. Faktor resiko yang tidak dapat dikontrol:
Faktor risiko yang tidak dapat diubah, seperti riwayat keluarga (genetik
kromosomal), umur (pria : > 55 tahun; wanita : > 65 tahun), jenis kelamin pria
atau wanita pasca menopause.
a. Jenis kelamin
Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan wanita.Namun
wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum menopause.
Wanita yang belum mengalami menopause dilindungi oleh hormon
estrogen yang berperan dalam meningkatkan kadar High Density
Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor
pelindung dalam mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Efek
perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya imunitas
wanita pada usia premenopause. Pada premenopause wanita mulai
kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen yang selama ini
melindungi pembuluh darah dari kerusakan. Proses ini terus berlanjut
dimana hormon estrogen tersebut berubah kuantitasnya sesuai dengan
umur wanita secara alami, yang umumnya mulai terjadi pada wanita umur
45-55 tahun.
Dari hasil penelitian didapatkan hasil lebih dari setengah penderita
hipertensi berjenis kelamin wanita sekitar 56,5%.Hipertensi lebih banyak
terjadi pada pria bila terjadi pada usia dewasa muda. Tetapi lebih banyak
menyerang wanita setelah umur 55 tahun, sekitar 60% penderita
hipertensi adalah wanita. Hal ini sering dikaitkan dengan perubahan
hormon setelah menopause.
b. Umur
Semakin tinggi umur seseorang semakin tinggi tekanan darahnya, jadi
orang yang lebih tua cenderung mempunyai tekanan darah yang tinggi
dari orang yang berusia lebih muda. Hipertensi pada usia lanjut harus
ditangani secara khusus. Hal ini disebabkan pada usia tersebut ginjal dan
hati mulai menurun, karena itu dosis obat yang diberikan harus benar-
benar tepat. Tetapi pada kebanyakan kasus , hipertensi banyak terjadi
pada usia lanjut. hipertensi sering terjadi pada usia pria : > 55 tahun;
wanita : > 65 tahun. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan hormon
sesudah menopause. Hanns Peter (2009) mengemukakan bahwa kondisi
yang berkaitan dengan usia ini adalah produk samping dari keausan
arteriosklerosis dari arteri-arteri utama, terutama aorta, dan akibat dari
berkurangnya kelenturan. Dengan mengerasnya arteri-arteri ini dan
menjadi semakin kaku, arteri dan aorta itu kehilangan daya penyesuaian
diri.
c. Keturunan (Genetik)
Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akanmenyebabkan keluarga
itu mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan dengan
peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara
potasium terhadap sodium Individu dengan orang tua dengan hipertensi
mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi dari
pada orang yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi.
Seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan
hipertensi jika orang tuanya adalah penderita hipertensi.
b. Faktor resiko yang dapat dikontrol:
1. Obesitas
Pada usia + 50 tahun dan dewasa lanjut asupan kalori mengimbangi
penurunan kebutuhan energi karena kurangnya aktivitas. Itu sebabnya
berat badan meningkat. Obesitas dapat memperburuk kondisi lansia.
Kelompok lansia dapat memicu timbulnya berbagai penyakit seperti
artritis, jantung dan pembuluh darah, hipertensi. Indeks masa tubuh (IMT)
berkorelasi langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan darah
sistolik. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang obes 5 kali
lebih tinggi dibandingkan dengan seorang yang berat badannya normal.
Pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-30% memiliki berat badan
lebih.
2. Kurang Olahraga.
Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan penyakit tidak
menular, karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan
perifer yang akan menurunkan tekanan darah (untuk hipertensi) dan
melatih otot jantung sehingga menjadi terbiasa apabila jantung harus
melakukan pekerjaan yang lebih berat karena adanya kondisi tertentu
Kurangnya aktivitas fisik menaikan risiko tekanan darah tinggi karena
bertambahnya risiko untuk menjadi gemuk. Orang-orang yang tidak aktif
cenderung mempunyai detak jantung lebih cepat dan otot jantung mereka
harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi, semakin keras dan sering
jantung harus memompa semakin besar pula kekuaan yang mendesak
arteri.
3. Kebiasaan Merokok
Merokok menyebabkan peninggian tekanan darah. Perokok berat dapat
dihubungkan dengan peningkatan insiden hipertensi maligna dan risiko
terjadinya stenosis arteri renal yang mengalami ateriosklerosis.
4. Mengkonsumsi garam berlebih
Badan kesehatan dunia yaitu World Health Organization (WHO)
merekomendasikan pola konsumsi garam yang dapat mengurangi risiko
terjadinya hipertensi. Kadar sodium yang direkomendasikan adalah tidak
lebih dari 100 mmol (sekitar 2,4 gram sodium atau 6 gram garam) perhari.
Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di
dalam cairan ekstraseluler meningkat. Untuk menormalkannya cairan
intraseluler ditarik ke luar, sehingga volume cairan ekstraseluler
meningkat. Meningkatnya volume cairan ekstraseluler tersebut
menyebabkan meningkatnya volume darah, sehingga berdampak kepada
timbulnya hipertensi.
5. Minum alkohol
Banyak penelitian membuktikan bahwa alkohol dapat merusak jantung
dan organ-organ lain, termasuk pembuluh darah. Kebiasaan minum
alkohol berlebihan termasuk salah satu faktor resiko hipertensi.
6. Minum kopi
Faktor kebiasaan minum kopi didapatkan dari satu cangkir kopi
mengandung 75 200 mg kafein, di mana dalam satu cangkir tersebut
berpotensi meningkatkan tekanan darah 5 -10 mmHg.
7. Stress
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf
simpatis peningkatan saraf dapat menaikan tekanan darah secara
intermiten (tidak menentu). Stress yang berkepanjangan dapat
mengakibatkan tekanan darah menetap tinggi. Walaupun hal ini belum
terbukti akan tetapi angka kejadian di masyarakat perkotaan lebih tinggi
dibandingkan dengan di pedesaan. Hal ini dapat dihubungkan dengan
pengaruh stress yang dialami kelompok masyarakat yang tinggal di kota.
Menurut Anggraini (2009) mengatakan stres akan meningkatkan
resistensi pembuluh darah perifer dan curah jantung sehingga akan
menstimulasi aktivitas saraf simpatis. Adapun stres ini dapat berhubungan
dengan pekerjaan, kelas sosial, ekonomi, dan karakteristik personal.
D. Tanda Gejala Hipertensi
Seperti penyakit degeneratif pada lanjut usia lainnya, hipertensi sering tidak
memberikan gejala apapun atau gejala yang timbul tersamar (insidious) atau
tersembunyi (occult). Menurut Rokhaeni ( 2001 ), manifestasi klinis beberapa
pasien yang menderita hipertensi yaitu : Mengeluh sakit kepala, pusing Lemas,
kelelahan, Sesak nafas, Gelisah, Mual Muntah, Epistaksis, Kesadaran menurun
G. Komplikasi Hipertensi
Pasien dengan hipertensi dapat meninggal dengan cepat; penyebab tersering
kematian adalah penyakit jantung, sedangkan stroke dan gagal ginjal sering
ditemukan, dan sebagian kecil pada pasien dengan retinopati.
a. Komplikasi pada Sistem Kardiovaskuler
Kompensasi akibat penambahan kerja jantung dengan peningkatan
tekanan sistemik adalah hipertrofi ventrikel kiri, yang ditandai dengan
penebalan dinding ventrikel. Hal ini menyebabkan fungsi ventrikel
memburuk, kapasitasnya membesar dan timbul gejala-gejala dan tanda-
tanda gagal jantung. Angina pektoris dapat timbul sebagai akibat dari
kombinasi penyakit arteri koronaria dan peningkatan kebutuhan oksigen
miokard karena penambahan massanya. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan
pembesaran jantung dengan denyut ventrikel kiri yang menonjol. Suara
penutupan aorta menonjol dan mungkin ditemukan murmur dari regurgitasi
aorta. Bunyi jantung presistolik (atrial, keempat) sering terdengar pada
penyakit jantung hipertensif, dan bunyi jantung protodiastolik (ventrikuler,
ketiga) atau irama gallop mungkin saja ditemukan. Pada elektrokardiogram,
ditemukan tanda-tanda hipertrofi ventrikel kiri. Bila penyakit berlanjut, dapat
terjadi iskemi dan infark. Sebagian besar kematian dengan hipertensi
disebabkan oleh infark miokard atau gagal jantung kongestif. Data-data
terbaru menduga bahwa kerusakan miokardial mungkin lebih diperantarai
oleh aldosteron pada asupan garam yang normal atau tinggi dibandingkan
hanya oleh peningkatan tekanan darah atau kadar angiotensin II.
b. Efek Neurologik
Efek neurologik pada hipertensi lanjut dibagi dalam perubahan pada
retina dan sistem saraf pusat. Karena retina adalah satu-satunya jaringan
dengan arteri dan arteriol yang dapat langsung diperiksa, maka dengan
pemeriksaan optalmoskopik berulang memungkinkan pengamatan terhadap
proses dampak hipertensi pada pembuluh darah retina.
Efek pada sistem saraf pusat juga sering terjadi pada pasien hipertensi.
Sakit kepala di daerah oksipital, paling sering terjadi pada pagi hari, yang
merupakan salah satu dari gejala-gejala awal hipertensi. Dapat juga
ditemukan keleyengan, kepala terasa ringan, vertigo, tinitus dan penglihatan
menurun atau sinkope, tapi manifestasi yang lebih serius adalah oklusi
vaskuler, perdarahan atau ensefalopati. Patogenesa dari kedua hal pertama
sedikit berbeda. Infark serebri terjadi secara sekunder akibat peningkatan
aterosklerosis pada pasien hipertensi, dimana perdarahan serebri adalah
akibat dari peningkatan tekanan darah dan perkembangan mikroaneurisma
vaskuler serebri (aneurisma Charcot-Bouchard). Hanya umur dan tekanan
arterial diketahui berpengaruh terhadap perkembangan mikroaneurisma.
Ensefalopati hipertensi terdiri dari gejala-gejala : hipertensi berat,
gangguan kesadaran, peningkatan tekanan intrakranial, retinopati dengan
papiledem dan kejang. Patogenesisnya tidak jelas tapi kemungkinan tidak
berkaitan dengan spasme arterioler atau udem serebri. Tanda-tanda fokal
neurologik jarang ditemukan dan jikalau ada, lebih dipikirkan suatu infark /
perdarahan serebri atau transient ischemic attack.
Hipertensi atau tekanan darah tinggi memberikan kelainan pada retina
berupa retinopati hipertensi, dengan arteri yang besarnya tidak beraturan,
eksudat pada retina, edema retina dan perdarahan retina. Kelainan pembuluh
darah dapat berupa penyempitan umum atau setempat, percabangan
pembuluh darah yang tajam, fenomena crossing atau sklerosis pembuluh
darah.
c. Efek pada Ginjal
Lesi aterosklerosis pada arteriol aferen dan eferen serta kapiler
glomerulus adalah lesi vaskuler renal yang paling umum pada hipertensi dan
berakibat pada penurunan tingkat filtrasi glomerulus dan disfungsi tubuler.
Proteinuria dan hematuria mikroskopik terjadi karena lesi pada glomerulus
dan 10 % kematian disebabkan oleh hipertensi akibat gagal ginjal.
Kehilangan darah pada hipertensi terjadi tidak hanya dari lesi pada ginjal;
epitaksis, hemoptisis dan metroragi juga sering terjadi pada pasien-pasien ini