1. diagnosis dan DD
2. pencegahan kasus scenario
3. pemeriksaan penunjang, pem. Laboratorium, pem. Fisik pada scenario
4. jelaskan emerging disease
5. indikasi penggunaan antiobiotik broad spectrum
6. jelaskan gejala klinik dan karakteristik dari sindrom avian influenza
7. jelaskan proses mutasi genetic dan efeknya pada virus influenza
8. bagaimanan penatalaksanaan pada avian influenza
jawaban !
Diagnosis Banding
Pada saat petugas atau orang lain berada diruang isolasi, pasien harus
dipakaikan masker bedah, pergantian masker setiap 4-6 jam dan
setelah digunakan di buang di tempat sampah infeksius. Pasien
dilarang membuang ludah atau dahak di lantai dan harus
menggunakan penampung dahak/ludah tertutup yang tidak dipakai
ulang (disposable).
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk tujuan mengarahkan diagnostik ke arah
kemungkinan Flu Burung (H5N1) dan menentukan berat ringannya derajat
penyakit. Pemeriksaan yang dilakukan adalah :
a. Pemeriksaan Laboratorium non Spesifik
1) Pemeriksaan Hematologi
Setiap pasien yang datang dengan gejala klinis seperti diatas dianjurkan
untuk sesegera mungkin dilakukan pengambilan sampel darah untuk
pemeriksaan darah rutin yaitu hemoglobin, hematokrit, leukosit,
trombosit, hitung jenis leukosit, limfosit total. Umumnya ditemukan
leukopeni, limfositopeni dan trombositopeni.
2) Pemeriksaan Kimia darah
Albumin, Globulin, SGOT, SGPT, Ureum, Kreatinin, Kreatin Kinase,
Analisis Gas Darah, C-Reaktif Protein atau Prokalsitonin (bila
memungkinkan dan tersedia). Umumnya dijumpai penurunan albumin,
peningkatan SGOT dan SGPT, peningkatan ureum dan kreatinin,
peningkatan kreatin kinase, pemeriksaan laktat. Analisis gas darah dapat
normal atau abnormal. Kelainan laboratorium sesuai dengan perjalanan
penyakit dan komplikasi yang ditemukan.
b. Pemeriksaan Laboratorium Spesifik
Spesimen aspirasi nasofaringeal, serum, apus hidung, tenggorok atau cairan
tubuh lainnya seperti : cairan pleura, cairan ETT (Endotracheal Tube), usap
dubur pada kasus anak dan jika ada diare hal ini digunakan untuk kon rmasi
diagnostik.
Diagnosis Flu Burung (H5N1) dibuktikan dengan :
Uji RT-PCR (Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction) untuk
H5 yang primernya spesifik untuk isolat virus H5N1 Indonesia.
Peningkatan >4 kali lipat titer antibodi netralisasi untuk H5N1 dari
spesimen konvalesen dibandingkan dengan spesimen akut (diambil <7
hari setelah awitan gejala penyakit), dan titer antibodi netralisasi
konvalesen harus pula >1/80.
Titer antibodi mikronetralisasi H5N1 >1/80 pada spesimen serum yang
diambil pada hari ke >14 setelah awitan (onset penyakit) disertai hasil
positif uji serologi lain, misalnya titer HI sel darah merah kuda >1/160
atau western blot spesi k H5 positif.
Isolasi virus H5N1
c. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan foto toraks PA dan Lateral harus dilakukan pada setiap pasien
tersangka Flu Burung (H5N1).
Gambaran Radiologi
Pada fase awal foto toraks dapat normal.
Pada fase lanjut ditemukan ground glass opacity, konsolidasi homogen
atau heterogen pada paru, dapat unilateral atau bilateral.
Lokasi dapat mengenai semua lapangan, tetapi yang tersering di
lapangan bawah.
Serial foto harus dilakukan karena perjalanan penyakitnya progresif.
Diagnosis banding : Edema paru, TB, Pneumonia lainnya .
Sumber : KEMENKES RI. 2010. Pedoman Tatalaksana Klinis Flu Burung
(H5N1) di Rumah Sakit. KEMENKES RI. Jakarta
Penggunaan Antibiotik
a. Terapi empiris
Terapi empiris merupakan terapi awal yang diberikan pada pasien, karena
belum diketahui bakteri dari infeksi tersebut maka antibiotik yang digunakan
adalah antibiotik spektrum luas, setelah diketahui bakteri dari infeksi maka
terapi empiris akan diganti dengan terapi definitif.
b. Terapi definitif
Terapi definitif adalah terapi dengan antibiotik yang dipilih sesuai dengan
etiologi penyebab infeksi, antibiotik yang digunakan adalah antibiotik
spektrum sempit yang spesifik terhadap bakteri penyebab.
c. Terapi Profilaksis
Antibiotik profilaksis diberikan dengan indikasi untuk mengurangi insidensi
post operative surgical site infection yang diakibatkan oleh flora normal kulit
maupun infeksi iatrogenik dari prosedur pembedahan yang tidak sesuai,
waktu pemberian yang ideal adalah satu jam sebelum insisi awal pada
surgical site.
Sumber : Jawetz, E., Melnick, J. L. & Adelberg, E. A., 2001, Mikrobiologi
Kedokteran, edisi I. Salemba Medika.
6. Pada umumnya gejala klinis Flu Burung (H5N1) atau avian influenza mirip
dengan flu biasa, yang sering ditemukan adalah demam 380 C, batuk dan nyeri
tenggorok. Gejala lain yang dapat ditemukan adalah pilek, sakit kepala, nyeri
otot, infeksi selaput mata, diare atau gangguan saluran cerna. Gejala sesak napas
menandai kelainan saluran napas bawah yang dapat memburuk dengan cepat.
Derajat Penyakit
Pasien yang telah dikonfirmasi sebagai kasus Flu Burung (H5N1) dapat
dikategorikan menjadi :
Derajat 1 : Pasien tanpa pneumonia
Derajat 2 : Pasien dengan pneumonia tanpa gagal napas
Derajat 3 : Pasien dengan pneumonia dan gagal napas
Derajat 4 : Pasien dengan pneumonia dan ARDS atau dengan kegagalan
organ ganda (multiple organ failure).
Sumber : KEMENKES RI. 2010. Pedoman Tatalaksana Klinis Flu Burung
(H5N1) di Rumah Sakit. KEMENKES RI. Jakarta
7. Awalnya virus Avian Influenza bersifat host specific, artinya subtipe virus tertentu
hanya spesifik terhadap induk semang tertentu. Host specific ini ditentukan oleh
struktur reseptor yang berbeda diantara induk semang. Reseptor asam sialat
alpha 2,3- galaktosa ditemukan pada unggas sedangkan asam sialat alpha 2,6-
galaktosa terdapat pada manusia. Sebagai contoh subtipe H5N1 biasanya
menginfeksi unggas sedangkan H1N1 ditemukan pada manusia. Namun
demikian, akhir-akhir ini sering terjadi laporan kasus Avian Influenza pada
manusia yang disebabkan oleh subtipe H5N1. Hal ini terjadi karena virus Avian
Influenza mampu bermutasi melalui dua cara yaitu antigenic drift dan antigenic
shift. Antigenic drift terjadi karena perubahan struktur antigen yang bersifat minor
pada antigen permukaan HA (Hemaglutinin) atau NA (Neuraminidase). Pola
mekanisme mutasi melalui antigenic drift ini hanya menyebabkan penambahan
atau pengurangan urutan nukleotida antigen HA, NA atau keduanya tanpa
menghasilkan subtipe virus baru. Sedangkan antigenic shift terjadi karena
perubahan struktur antigen yang bersifat dominan pada antigen permukaan HA
atau NA melalui aktivitas dua macam subtipe virus Avian Influenza sehingga
mampu menghasilkan virus subtipe baru sebagai hasil rekombinasi genetic.
Pada manusia, infeksi penyakit ini dimulai dengan infeksi virus pada sel epitel
saluran napas. Virus ini kemudian memperbanyak diri dengan sangat cepat,
sehingga akan dapat mengakibatkan lisis sel epitel dan terjadi deskuamasi lapisan
epitel saluran napas. Replikasi virus tersebut akan merangsang pembentukan
proin ammatory cytokine, termasuk IL-2, IL-6 dan TNF yang kemudian masuk
ke sirkulasi sistemik dan pada gilirannya akan dapat menyebabkan gejala
sistemik in uenza seperti demam, malaise, myalgia, dll. Pada kondisi sistem imun
yang menurun, virus akan dapat lolos dan masuk ke dalam sirkulasi darah dan ke
organ tubuh lainnya
Apabila virus subtipe baru mempunyai tingkat virulensi ataupun pathogenisitas
yang sangat tinggi sepeti halnya virus H5, imunitas terhadap virus subtipe baru
tersebut sama sekali belum terbentuk dan dapat menyebabkan keadaan klinis
yang lebih berat. Keadaan ini disebabkan sistem imunitas tubuh manusia belum
memiliki immunological memory terhadap virus baru
Pada infeksi virus influenza A H5N1, terjadi pembentukan sitokin yang
berlebihan (cytokine storm) un- tuk menekan replikasi virus, tetapi justru hal ini
dapat menyebabkan kerusakan jaringan paru yang lebih luas dan berat. Pada
tahap selanjutnya terjadi pneumonia virus berupa pneumonitis interstitial. Proses
kemudian berlanjut dengan terjadinya eksudasi dan edema intra alveolar,
mobilisasi sel-sel radang dan juga eritrosit dari kapiler sekitar, pembentukan
membran hyaline dan juga broblast. Sel radang kemudian akan memproduksi
banyak sel mediator peradangan, yang secara klinis keadaan ini disebut sebagai
ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome). Difusi oksigen akan terganggu,
terjadi hipoksia/anoksia yang dapat merusak organ lain (anoxic multiorgan
disfunction). Proses ini biasanya terjadi secara cepat dan penderita akan dapat
meninggal dalam waktu singkat oleh karena proses yang irreversible.
Gejala akibat in eksi virus influenza A H5N1 pada dasarnya sama dengan u biasa
lainnya, hanya cenderung lebih sering dan cepat menjadi parah. Masa inkubasi
antara mulai tertular dan timbul gejala adalah 3 hari; sementara itu masa infektif
pada manusia adalah sekitar 1 hari sebelum sampai 3-5 hari sesudah gejala
timbul. Pada anak dapat sampai 21 hari.
Pada keadaan penyakit yang awal atau ringan, gejala sulit dibedakan dengan
penyakit ISPA (infeksi saluran pernapasan akut) lainnya ataupun ILI (Influenza
Like Illness), sedangkan pada keadaan berat sulit dibedakan dari Pneumonia
tipikal/bakterial ataupun ARDS pada umumnya. Riwayat kontak dengan unggas
yang sakit, spesimen maupun sumber penularan lainnya sangat penting untuk
diketahui meskipun seringkali tidak dapat ditetapkan dengan jelas.
Sumber : Garjito, TA. 2013. Virus Avian Influenza H5n1:Biologi Molekuler Dan
Potensi Penularannya Ke Unggas Dan Manusia. Balai Besar Litbang Vektor dan
Reservoir Penyakit
8. penatalaksanaan :
prinsip penatalaksanaan avian influenza adalah: istirahat, peningkatan daya tahan
tubuh, pengobatan antiviral, pengobatan antibiotic, perawatan respirasi, anti
inflamasi, imunomodulator.
DepKes RI dalam pedomannya memberikan petunjuk sebagai berikut:
a. pada kasus suspek flu burung diberikan oseltamivir 2 x 75mg 5 hari. Antiviral
diberikan secepat mungkin (memberikan efek terbaik dalam 48 jam pertama,
meskipun sudah terlambat tetap diberikan):
Dewasa atau Berat Badan > 40kg : Oseltamivir 2x75 mg per hari
selama 5 hari.
Anak 1 tahun dosis oseltamivir 2 mg/kgBB, 2 kali sehari selama 5
hari.
Dosis oseltamivir dapat diberikan sesuai dengan berat badan sbb :
> 40 kg : 75 mg 2x/hari
> 23 40 kg : 60 mg 2x/hari
> 15 23 kg : 45 mg 2x/hari
15 kg : 30 mg 2x/hari
Penggunaan oseltamivir pada perempuan hamil diberikan pada awal
pengobatan, dengan diberikan penjelasan dulu serta dipantau sampai
melahirkan. Antiviral lain : karena oseltamivir sudah terdapat laporan
resistensi, Zanamivir efektif untuk influenza musiman, dapat diberikan untuk
bayi dibawah satu tahun dan dapat diberikan pada wanita hamil atau
menyusui. Tentang Zanamivir, sudah disesuaikan dengan keputusan badan
POM.
b. pada kasus probable flu burung diberikan oseltamivir 2 x 75 mg 5 hari,
antibiotic spectrum luas yang mencakup kuman tipik dan atipikal, dan steroid
jika perlu seperti pada kasus pneumonia berat, ARDS.
c. Sebagai profilaksis bagi mereka yang beresiko tinggi, digunakan oseltamivir
dengan dosis 75mg sekali sehari selama lebih dari 7 hari (hingga 6 minggu)
Sumber : KEMENKES RI. 2010. Pedoman Tatalaksana Klinis Flu Burung
(H5N1) di Rumah Sakit. KEMENKES RI. Jakarta
Learning Objective Blok 22 Maret 2017
SKENARIO 1
MODUL I : TROPICAL DISEASE
CONTROL
ANAKKU DEMAM
2017