Case Obgyn KPD Newer
Case Obgyn KPD Newer
PENDAHULUAN
Ketuban pecah dini (KPD) didefinisikan sebagai pecahnya selaput ketuban sebelum
terjadinya persalinan. Ketuban pecah dini dapat terjadi pada atau setelah usia gestasi 37 minggu
dan disebut KPD aterm atau premature rupture of membranes (PROM) dan sebelum usia gestasi
37 minggu atau KPD preterm atau preterm premature rupture of membranes (PPROM).1,2
Ketuban pecah dini merupakan salah satu masalah yang paling umum di kebidanan,
komplikasi yang rumit terjadi sekitar 5% sampai 10% dari kehamilan aterm dan sampai dengan
30% kelahiran prematur.3 Menurut hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun
2002-2003, angka kematian Ibu di Indonesia sebesar 307 per 1000 kelahiran hidup atau setiap
jam terdapat 2 orang Ibu bersalin meninggal karena berbagai penyebab. Salah satu penyebab
langsung kematian Ibu adalah karena infeksi sebesar 20-25% dalam 100.000 kelahiran hidup dan
KPD merupakan penyebab paling sering menimbulkan infeksi pada saat mendekati persalinan.
Prevalensi KPD berkisar antara 3-18% dari seluruh kehamilan. Saat kehamilan aterm, 8-10%
wanita mengalami KPD dan 30-40% dari kasus KPD merupakan kehamilan preterm atau sekitar
1,7% dari seluruh kehamilan. KPD juga dapat berulang pada kehamilan berikutnya. Hal ini juga
berkaitan dengan meningkatnya risiko morbiditas pada Ibu maupun janin.4
1
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2 Anamnesis
Dilakukan secara autoanamnesis di VK RSUD Karawang pada hari Sabtu, 18 Februari 2017
jam 22.00 WIB.
1 Keluhan Utama :
Keluar air-air sejak 5 jam SMRS.
2 Keluhan Tambahan
Keluar sedikit lendir dan darah bersamaan dengan keluarnya air-air sejak 5 jam SMRS,
riwayat keputihan sejak dua bulan SMRS.
2
keluar darah beserta lendir dalam jumlah yang sedikit. Keluhan perut mules maupun nyeri
daerah perut disangkal oleh pasien. Setelah pasien mengeluhkan keluar air-air di rumah,
pasien langsung memeriksakan diri ke bidan dan oleh bidan langsung dirujuk ke RSUD
Karawang. Selama 2 bulan terakhir pasien juga mengatakan ada keputihan berwarna putih
kekuningan yang tidak berbau dan tidak menimbulkan rasa gatal.
Pasien mengaku hamil 9 bulan. HPHT 25 Mei 2016, UK 38 minggu 3 hari, TP 1 Maret
2017. ANC sebulan sekali di bidan dan dilakukan USG 1 bulan SMRS dengan hasil USG
dikatakan janin dalam keadaan baik. Imunisasi TT sudah dua kali. Keluhan mual, muntah,
dan demam di sangkal oleh pasien. Riwayat trauma disangkal oleh pasien. BAB dan BAK
dalam batas normal. Pasien mengaku gerak janin masih aktif yang dirasa sejak usia
kehamilan 5 bulan.
6 Riwayat Menstruasi
Pasien menarche usia 12 tahun. Menstruasi teratur setiap bulan, lama 7 hari/siklus,
dengan siklus 28 hari. Perkiraan jumlah perdarahan 2-3 kali ganti pembalut/hari, nyeri (-).
7 Riwayat Pernikahan
Pasien menikah 1 kali usia 21 tahun.
8 Riwayat Obstetri
G1P0A0
I Hamil saat ini.
9 Riwayat Kontrasepsi
Pasien tidak menggunakan alat kontrasepsi.
3
2.3 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pada hari Sabtu, 18 Februari 2017 pukul 22.00 WIB di VK
RSUD Karawang.
1 Status Generalis
Kepala : Normocephali, simetris, distribusi rambut merata, berwarna hitam.
Mata : Konjungtiva pucat (-/-), Sklera ikterik (-/-), Eksoftalmus (-/-),
Ptosis (-), pupil bulat isokor, reflex cahaya (+/+)
Telinga : Normotia, Liang lapang, cairan (-/-), nyeri tekan (-/-)
Hidung : Normal, septum deviasi (-), sekret (-), mukosa hiperemis (-), tidak
ada nafas cuping hidung
Mulut :
a Bibir : Bentuk normal, tidak ada kelainan, warna bibir merah
b Lidah : Normoglosia, hiperemis tidak ada, ulkus tidak ada, sianosis tidak
ada
c Bukal : Tidak ada hiperemis, tidak ada sianosis
d Uvula : Tampak di linea mediana, tidak hiperemis, livid, maupun sianosis
e Faring : Arkus faring simetris, tidak hiperemis, tidak ada PND, maupun
pseudomembran
f Tonsil : T2/T2, tenang, tidak ada kelainan seperti kripta dan detritus
g Gigi : Caries (-), gigi lengkap
h Trismus : Tidak ada
Leher : Jejas (-), hematoma (-), KGB dan tiroid tidak teraba membesar,
JVP 5-2 cmH2O
Thoraks
4
Bentuk : Datar, tidak cekung
Jantung :
Inspeksi : Pulsasi ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Teraba pulsasi Ictus Cordis di ICS V, 1 cm medial
midklavikularis sinistra
Perkusi : a. Batas atas (ICS III linea parasternalis sinistra dengan suara
redup)
b. Batas kiri (ICS V, 1 jari medial linea midklavikula kiri dengan
suara redup)
c. Batas kanan (ICS III linea sternalis kanan dengan suara redup)
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II normal regular, gallop (-), murmur (-)
Paru :
Inspeksi : Bentuk dada simetris dan pergerakan dada simetris saat
inspirasi dan ekspirasi. Tidak ada bagian yang tertinggal,
penggunaan otot pernafasan (-)
Palpasi : Vocal fremitus simetris pada kedua lapang paru
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler pada kedua lapang paru, ronchi -/-,
wheezing -/-
Abdomen :
Inspeksi : Buncit gravidarum, warna kulit ikterik tidak ada, tampak striae gravidarum
tidak ada spider navy, tidak tampak efloresensi bermakna, tidak tampak
dilatasi vena.
Auskultasi : Sulit dinilai karena hamil.
Palpasi : Pembesaran hepar dan lien susah dinilai
Perkusi : Sulit dinilai karena hamil.
Ekstremitas :
a Atas : Akral hangat (+/+), Oedema (-/-), Deformitas (-/-)
b Bawah : Akral hangat (+/+), Oedema (-/-), Deformitas (-/-)
5
2 Status Obstetri
Leopold
- Leopold I : teraba masa lunak, tidak melenting.
- Leopold II : teraba keras seperti papan di sebelah kanan ibu, bagian-bagian kecil di
sebelah kiri ibu.
- Leopold III : teraba masa keras, melenting
- Leopold IV : teraba masa keras, melenting, kedua tangan membentuk sudut konvergen
4/5
TFU : 32 cm
TBJ dihitung berdasarkan rumus Johnson-Tausak :
(TFU-13)x155
(32-13)X155 = 2945 gr
DJJ : 135 dpm
Genitalia :
Inspeksi
Labia Mayora : tenang
Labia Minora : tenang
Uretra : tenang
Vulva : tenang
Introitus vagina : perdarahan aktif (-)
Inspekulo
Dinding vagina : tampak licin
Portio : tampak licin, tanda Chadwick (+)
Ostium Uteri Eksternum : terbuka, keluar cairan jernih dari OUE.
Kelainan yang tampak : fluor (+), fluksus (-)
Vaginal Toucher (VT)
Vulva : massa (-), nyeri tekan (-)
Kelenjar Bartholini : massa (-), nyeri tekan (-)
Dinding vagina : teraba licin
Portio : teraba licin, kenyal, tebal 3 cm, arah posterior, tak berbenjol-
benjol, diameter 1 cm, kepala Hodge I.
Corpus uteri : teraba membesar
Parametrium : teraba lemas
Adneksa : tak teraba massa
6
Cavum doughlas : tidak menonjol, nyeri tekan (-)
7
Limposit 9 25 40 %8
Monosit 6 28 %
Deskripsi
Janin presentasi kepala tunggal hidup, fetal heart rate (+), plasenta di corpus anterior,
tidak menutup OUI.
BPD : 94,6 TBJ : 3251
HC : 331,5 FC : 75,1
AC : 326,8 ICA : 4,8
SDAO: 2,2
Usia kehamilan 37-38 minggu
8
CTG
Interpretasi :
His (+)
9
Kesan: CTG kategori I
2.5 Resume
Pasien G1P0A0 datang ke IGD RSUD Karawang rujukan dari PKM Poned Rawamerta
dengan ketuban pecah dini. Pasien mengatakan keluhan keluar air ketuban sejak 5 jam SMRS,
keluar secara mendadak, berwarna jernih dan tidak berbau. Bersamaan dengan keluarnya air
ketuban, pasien mengatakan ada keluar darah beserta lendir dalam jumlah yang sedikit.
Keluhan perut mules maupun nyeri daerah perut disangkal oleh pasien. Selama 2 bulan
terakhir pasien ada fluor albus berwarna putih kekuningan yang tidak berbau dan tidak
menimbulkan rasa gatal. Keluhan mual, muntah, dan demam di sangkal oleh pasien. Riwayat
trauma disangkal oleh pasien. BAB dan BAK dalam batas normal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital dalam batas normal. Status obstetric
didapatkan leopold I : teraba masa lunak dan tidak melenting, leopold II : teraba keras seperti
papan di sebelah kanan ibu dan bagian-bagian kecil di sebelah kiri ibu, leopold III : teraba
masa keras dan melenting, leopold IV : teraba masa keras, melenting dan kedua tangan
membentuk sudut konvergen 4/5. TFU 32 cm, TBJ Klinis berdasarkan rumus Johnson-Tausak
adalah 2945 gr, DJJ 135 dpm. Dalam pemeriksaan inspekulo didapatkan hasil portio licin
livide, tampak fluor albus (+), OUE terbuka, keluar cairan jernih dari OUE. Vaginal Toucher
didapatkan portio kenyal, tebal 3 cm, arah posterior, tak berbenjol-benjol, diameter 1 cm,
selaput ketuban (-), kepala hodge I (4/5) (PS 2). Hasil dari pemeriksaan penunjang berupa
laboratorium didapatkan leukositosis. Pada USG didapatkan Janin presentasi kepala tunggal
hidup, plasenta di corpus anterior, perkiraan usia kehamilan 37-38 minggu dan
oligohidramnion dengan ICA 4,8. Pada CTG didapatkan kesannya CTG kategori 1.
2.6 Diagnosis
Ketuban pecah dini pada G1 hamil 37-38 minggu, janin presentasi kepala tunggal hidup,
serviks belum matang, belum inpartu (PS2), oligohidroamnion (ICA 4,8)
2.7 Tatalaksana
- Observasi keadaan umum, tanda - tanda vital, dan DJJ
- Menghubungi DPJP untuk acc SC Cito
10
2.8 Prognosis
Ibu :
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
11
umum baik, kesadaran compos mentis. TD 110/80, HR 92 x/menit, RR 16 x/menit, Suhu
36oC. Status generalis dalam batas normal. Status obstetric didapatkan tinggi fundus uteri dua
jari di bawah pusar, kontraksi baik, dan pada inspeksi didapatkan vulva dan uretra tenang.
Status lokalis luka tertutup kassa.
12
I v/u tenang, perdarahan aktif (-)
STATUS LOKALIS
Luka tertutup kassa, rembesan (-)
21 Februari 2017
Perawatan hari ke 2
S BAB (-)
Nyeri luka operasi (+) namun berkurang
O TD : 110/70
HR : 80 kali/menit
RR : 16 kali/menit
S : 36,50C
Mata : CA -/-, SI -/-
Thoraks : S1S2 normal regular, M (-), G (-)
SNV +/+, rh -/-, wh -/-
Abdomen : Supel, BU (+) 3x/menit, NT (-)
Ekstremitas: Akral hangat (+)(+)/(+)(+), deformitas (-), edema (-)(-)/(-)(-)
STATUS OBSTETRI
TFU 2 jbp
I: v/u tenang, perdarahan aktif (-)
STATUS LOKALIS
13
Luka tertutup kassa, rembesan (-)
A POD II post SC a.i oligohidroamnion
P 1 Ganti terapi oral
2 Cefadroxil 2x500 mg P.O
3 Asam mefenamat 3x500 mg P.O
4 Sulfas ferrosus 1x1 tab P.0
22 Februari 2017
Perawatan hari ke 3
S Pasien tidak ada keluhan, BAB (+)
O TD : 120/80
HR : 80 kali/menit
RR : 16 kali/menit
S : 360C
Mata : CA -/-, SI -/-
Thoraks : S1S2 normal regular, M (-), G (-)
SNV +/+, rh -/-, wh -/-
Abdomen : Supel, BU (+) 3x/menit, NT (-)
Ekstremitas: Akral hangat (+)(+)/(+)(+), deformitas (-), edema (-)(-)/(-)(-)
STATUS OBSTETRI
TFU 2 jbp
I v/u tenang, perdarahan aktif (-)
A POD III post SC a.i oligohidroamnion
P 1 Rencana pulang
2 Cefadroxil 2x500 mg P.O
3 Asam mefenamat 3x500 mg P.O
4 Sulfas ferrosus 1x1 tab P.O
14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Ketuban pecah dini (Premature Rupture of Membranes/PROM) adalah pecahnya ketuban
yang mengacu kepada pasien yang melampaui usia kehamilan 37 minggu dan ditampilkan
dengan adanya ketuban yang pecah (Rupture of Membranes/ROM) sebelum awal persalinan.
Ketuban pecah dini preterm (Preterm Premature Rupture of Membranes/PPROM) adalah
pecahnya ketuban (ROM) sebelum kehamilan 37 minggu. Dan pecah ketuban berkepanjangan
adalah setiap pecahnya ketuban yang berlangsung selama lebih dari 24 jam dan lebih dahulu
pecah pada awal persalinan.4
3.2 Epidemiologi
Ketuban pecah dini ini merupakan salah satu masalah yang paling umum di kebidanan,
komplikasi yang rumit terjadi sekitar 5% sampai 10% dari kehamilan aterm dan sampai dengan
30% kelahiran prematur.3 Masalah ketuban pecah dini memerlukan perhatian yang besar, karena
prevalensinya cenderung meningkat. Kejadian ketuban pecah dini aterm terjadi pada sekitar
6,46-15,6% kehamilan aterm dan PPROM terjadi pada sekitar 2-3% dari semua kehamilan
tunggal dan 7,4% dari kehamilan kembar.4
Sebanyak 30-40% dari PPROM akan berujung dengan persalinan preterm. Hal ini
menambah risiko prematuritas dan komplikasi perinatal serta neonatal, termasuk 1-2% risiko
kematian janin. Ibu hamil yang diawasi harus segera dikenali kondisi PPROM karena diagnosis
yang cepat dan penanganan yang tepat akan meningkatkan hasil akhir janin.6
15
Amnion manusia terdiri dari lima lapisan yang berbeda dan tidak mengandung pembuluh
darah atau saraf. Lapisan terdalam terdekat janin adalah epitel amnion. Sel epitel ketuban
mengandung jenis kolagen III dan IV dan glikoprotein noncollagenous (laminin, nidogen, dan
fibronektin) yang membentuk membrane basal.4,7
Lapisan kompak jaringan ikat berdekatan dengan membran basal membentuk kerangka
berserat utama amnion. Kolagen dari lapisan kompak ini, disekresikan oleh sel-sel mesenchymal
di lapisan fibroblast. Interstisial kolagen (tipe I dan III) mendominasi dan membentuk bundle
parallel yang menjaga integritas mekanik amnion.4,7
Lapisan fibroblast adalah lapisan yang paling tebal dari amnion, yang terdiri dari sel-sel
mesenchymal dan makrofag dalam matriks ekstraseluler. Kolagen pada lapisan ini membentuk
jaringan longgar dengan glikoprotein noncollagenous.7
Lapisan intermediate (lapisan spons atau zona spongiosa) terletak di antara amnion dan
korion. Merupakan lapisan stress absorber. Pada lapisan ini banyak terdapat proteoglikan dan
glikoprotein terhidrasi yang membuat lapisan ini tampak seperti spons pada preparasi
histologis, dan mengandung anyaman nonfibrillar kolagen tipe III. Lapisan intermediate
menyerap tekanan fisik dengan membiarkan amnion untuk slide pada dan melekat kuat pada
desidua maternal.4,7
16
Meskipun korion lebih tebal dari amnion, namun amnion memiliki gaya tarik yang lebih
besar. Korion ini menyerupai selaput epitel pada umumnya, dengan polaritas yang diarahkan ke
desidua maternal. Saat kehamilan berlanjut, vili trofoblastik dalam lapisan korion mengalami
regresi.7
Selaput amnion yang meliputi permukaan plasenta akan mendapatkan difusi dari
pembuluh darah korion di permukaan. Volume cairan amnion berhubungan dengan usia
kehamilan, dimana saat usia 12 minggu terdapat cairan amnion sebanyak 50 ml, 400ml pada 20
minggu, dan mencapai puncaknya yaitu 1 liter pada usia kehamilan 36-38 minggu. Pada
kehamilan aterm rata-ratadidapatkan volume sebanyak 600-800 ml, dengan PH 7,2 dan massa
jenis 1,0085. Setelah 20 minggu produksi cairan berasal dari urin janin. Sebelumnya cairan
amnion juga banyak berasal dari rembesan kulit, selaput amnion dan plasenta. Janin juga
meminum cairan amnion yang diperkirakan sebanyak 500ml/hari. Selain itu, cairan ada yang
masuk ke paru sehingga penting untuk perkembangannya.4,8
Produksi Pembuangan
17
permeabilitas tinggi sebelum
mengalami keratinisasi saat usia
20 minggu
Urin janin (400-1200ml/hari)
Paru-paru janin yang memasuki
rongga amnion sehingga
menambah volumenya.
Tabel 1. Produksi dan pembuangan cairan ketuban8
Pada awal kehamilan cairan ketuban tidak berwarna, tetapi mendekati cukup bulan
warnanya berubah menjadi pucat akibat adanya pengelupasan lanugo dan sel epidermal dari kulit
janin. Cairan dapat terlihat keruh akibat adanya vernix caseosa. Perubahan warna yang abnormal
pada cairan keuban dapat memberikan gambaran klinis yang signifikan mengenai kondisi ibu
dan janin. Cairan ketuban yang berwarna hijau atau telah bercampur dengan mekonium
mengindikasikan adanya fetal distress pada janin presentasi sungsang atau lintang. Tergantung
dari derajat dan durasi distress, cairan ketuban bisa encer atau kental dengan butiran menandakan
adanya fetal distres kronik.8
3.5 Etiologi
Ketuban pecah dini disebabkan oleh karena berkurangnya kekuatan membran atau
meningkatnya tekanan intrauterin atau oleh kedua faktor tersebut. Berkurangnya kekuatan
membran disebabkan oleh adanya infeksi yang dapat berasal dari vagina dan serviks.4
Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini seperti:9
1. Serviks inkompeten, kanalis sevikalis yang selalu terbuka oleh karena kelainan pada
serviks uteri (akibat persalinan, kuretase, atau tindakan bedah obstetri lainnya).
2. Ketegangan rahim berlebihan (tekanan intra uterin meningkat secara berlebihan /
overdistensi uterus: seperti pada keadaan trauma, kehamilan ganda, hidramnion).
3. Kelainan letak janin dan rahim misalnya: letak sungsang dan letak lintang, sehingga tidak
ada bagian terendah yang menutupi pintu atas panggul (PAP) yang dapat menghalangi
tekanan terhadap membran bagian bawah.
4. Kemungkinan kesempitan panggul dimana bagian terendah belum masuk PAP misalnya
pada Cephalo Pelvic Disproportion (CPD).
18
5. Infeksi yang menyebabkan terjadinya biomekanik pada selaput ketuban dalam bentuk
preteolitik sel sehingga memudahkan ketuban pecah (Amnionitis/Korioamnionitis).
6. Faktor keturunan (ion Cu serum rendah, vitamin C rendah, ataupun kelainan genetik).
7. Akhirnya, pecahnya selaput ketuban juga dapat disebabkan oleh trauma dan setelah
fetoskopi atau amniosentesis (iatrogenic).
Masa interval sejak ketuban pecah sampai terjadi kontraksi disebut fase laten. Makin
panjang fase laten, makin tinggi kemungkinan infeksi. Makin muda kehamilan, makin sulit
upaya penatalaksanaannya tanpa menimbulkan morbiditas janin.
3.6 Patofisiologi
Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh kontraksi urerus dan
peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena pada daerah tertentu terjadi perubahan
biokimia yang menyebabkan selaput ketuban inferior rapuh, bukan karena seluruh selaput
ketuban rapuh.4
Mendekati waktu persalinan, keseimbangan antara MMP dan TIMP-1 mengarah pada
degradasi proteolitik dari matriks ekstraselular dan membran janin. Aktivitas degradasi
proteolitik ini meningkat menjelang persalinan. Pada penyakit periodontitis di mana terdapat
peningkatan MMP, cenderung terjadi Ketuban Pecah Dini. 4
Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan muda. Pada trimester ketiga selaput ketuban
mudah pecah. Melemahnya kekuatan selaput ketuban ada hubungannya dengan pembesaran
uterus, kontraksi rahim, dan gerakan janin. Pada trimester terakhir terjadi perubahan biokimia
19
pada selaput ketuban. Pecahnya ketuban pada kehamilan aterm merupakan hal fisiologis.
Ketuban Pecah Dini pada kehamilan prematur disebabkan oleh adanya faktor-faktor eksternal,
misalnya infeksi yang menjalar dari vagina. Ketuban Pecah Dini prematur sering terjadi pada
polihidramnion, inkompeten serviks, solusio plasenta. 4
Banyak teori, mulai dari defek kromosom, kelainan kolagen, sampai infeksi. Pada
sebagian besar kasus ternyata berhubungan dengan infeksi (sampai 65%). Termasuk diantaranya;
high virulensi yaitu Bacteroides, dan low virulensi yaitu Lactobacillus.4 Kolagen terdapat pada
lapisan kompakta ketuban, fibroblast, jaringan retikuler korion dan trofoblas. Sintesis maupun
degradasi jaringan kolagen dikontrol oleh sistem aktifasi dan inhibisi interleukin-1 (iL-1) dan
prostaglandin. 4
Jika ada infeksi dan inflamasi, terjadi peningkatan aktifitas iL-1 dan prostaglandin,
menghasilkan kolagenase jaringan, sehingga terjadi depolimerasi kolagen pada selaput
korion/amnion, menyebabkan ketuban tipis, lemah dan mudah pecah spontan.4
3.7 Diagnosis
Penilaian awal dari ibu hamil yang datang dengan keluhan KPD aterm harus meliputi 3
hal, yaitu konfirmasi diagnosis, konfirmasi usia gestasi dan presentasi janin, dan penilaian
kesejahteraan maternal dan fetal. Tidak semua pemeriksaan penunjang terbukti signifikan
sebagai penanda yang baik dan dapat memperbaiki luaran. Oleh karena itu, akan dibahas mana
pemeriksaan yang perlu dilakukan dan mana yang tidak cukup bukti untuk perlu dilakukan.2
KPD aterm didiagnosis secara klinis pada anamnesis pasien dan visualisasi adanya cairan
amnion pada pemeriksaan fisik. Dari anamnesis perlu diketahui waktu dan kuantitas dari cairan
yang keluar, usia gestasi dan taksiran persalinan, riwayat KPD aterm sebelumnya, dan faktor
risikonya. Riwayat keluarnya air ketuban berupa cairan jernih keluar dari vagina yang kadang -
kadang disertai tanda-tanda lain dari persalinan.2,4
Pemeriksaan digital vagina yang terlalu sering dan tanpa indikasi sebaiknya dihindari
karena hal ini akan meningkatkan risiko infeksi neonatus. Spekulum yang digunakan dilubrikasi
terlebih dahulu dengan lubrikan yang dilarutkan dengan cairan steril dan sebaiknya tidak
20
menyentuh serviks. Pemeriksaan spekulum steril digunakan untuk menilai adanya servisitis,
prolaps tali pusat, atau prolaps bagian terbawah janin (pada presentasi bukan kepala); menilai
dilatasi dan pendataran serviks, mendapatkan sampel dan mendiagnosis KPD aterm secara
visual. Semua presentasi bukan kepala yang datang dengan KPD aterm harus dilakukan
pemeriksaan digital vagina untuk menyingkirkan kemungkinaan adanya prolaps tali pusat.2
Dilatasi serviks dan ada atau tidaknya prolaps tali pusat harus diperhatikan dengan baik.
Jika terdapat kecurigaan adanya sepsis, ambil dua swab dari serviks (satu sediaan dikeringkan
untuk diwarnai dengan pewarnaan gram, bahan lainnya diletakkan di medium transport untuk
dikultur. 2
Diagnosis Ketuban Pecah Dini prematur dengan inspekulo dilihat adanya cairan ketuban
keluar dari kavum uteri. Jika cairan amnion jelas terlihat mengalir dari serviks, tidak diperlukan
lagi pemeriksaan lainnya untuk mengkonfirmasi diagnosis. Jika tidak ada dapat dicoba dengan
menggerakkan sedikit bagian terbawah janin atau meminta pasien batuk atau mengedan. Atau
terlihat kumpulan cairan di forniks posterior. Jika diagnosis tidak dapat dikonfirmasi, lakukan
tes pH dari forniks posterior vagina (pH cairan amnion biasanya ~ 7.1-7.3 sedangkan sekret
vagina ~ 4.5 - 6) dan cari arborization of fluid dari forniks posterior vagina. Antiseptik yang
alkalin akan menaikkan pH vagina. 2,4
Tanda-tanda infeksi adalah bila suhu ibu lebih dari 38o C serta air ketuban keruh dan
berbau. Janin yang mengalami takikardia, mungkin mengalami infeksi intrauterin. Tentukan
tanda-tanda persalinan dan skoring pelvik. Tentukan adanya kontraksi yang teratur. Periksa
dalam dilakukan bila akan dilakukan penanganan aktif (terminasi kehamilan). Hal ini karena VT
dapat meningkatkan insidensi korioamnionitis, post partum endometritis, dan infeksi neonatus.
Selain itu juga memperpendek periode laten. 4
Pemeriksaan penunjang
21
saat pemeriksaan vagina dengan spekulum dan diletakkan kertas nitrazin. Mukus servikal, darah,
dan semen merupakan penyebab tersering terjadinya false positif.
Fern test juga dilakukan untuk membedakan cairan amnion dengan cairan lainnya. cairan
dari fornix posterior ditempatkan pada slide dan dibiarkan kering di udara, cairan ketuban akan
membentuk pola fernlike kristalisasi (bentuk pakis) pada mikroskop.2,11
Jika diagnosis KPD aterm masih belum jelas setelah menjalani pemeriksaan fisik, tes
nitrazin dan tes fern, dapat dipertimbangkan. Pemeriksaan seperti insulin-like growth factor
binding protein 1(IGFBP-1) sebagai penanda dari persalinan preterm, kebocoran cairan amnion,
atau infeksi vagina terbukti memiliki sensitivitas yang rendah. Penanda tersebut juga dapat
dipengaruhi dengan konsumsi alkohol. Selain itu, pemeriksaan lain seperti pemeriksaan darah
ibu dan CRP pada cairan vagina tidak memprediksi infeksi neonatus pada KPD preterm. Untuk
memastikan adanya tanda infeksi dengan pemeriksaan leukosit darah > 15.000/mm3.2,4,11
Ultrasonografi
Dengan pemeriksaan ultrasound dapat menentukan usia kehamilan, presentasi janin, dan
jumlah cairan amnion. Ketuban Pecah Dini dapat dikonfirmasikan dengan adanya
oligohidramnion. Jika didapatkan volume cairan amnion atau indeks cairan amnion yang
berkurang tanpa adanya abnormalitas ginjal janin dan tidak adanya pertumbuhan janin terhambat
(PJT) maka kecurigaan akan ketuban pecah sangatlah besar. Normalnya volume cairan ketuban
tidak menyingkirkan diagnosis, hal ini dapat disebabkan jika jumlah cairan ketuban yang keluar
hanya sedikit. Normal volume cairan ketuban antara 250 1200 cc. Dijelaskan bahwa terjadinya
persalinan dan adanya infeksi jarang terjadi jika terdapat volume cairan amnion adekuat.2,4,11
3.9 Tatalaksana
22
Prinsip utama penatalaksanaan KPD adalah untuk mencegah mortalitas dan morbiditas
perinatal pada ibu dan bayi yang dapat meningkat karena infeksi atau akibat kelahiran preterm
pada kehamilan dibawah 37 minggu. Prinsipnya penatalaksanaan ini diawali dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan beberapa pemeriksaan penunjang yang mencurigai tanda-tanda KPD.
Setelah mendapatkan diagnosis pasti, dokter kemudian melakukan penatalaksanaan berdasarkan
usia gestasi. Hal ini berkaitan dengan proses kematangan organ janin, dan bagaimana morbiditas
dan mortalitas apabila dilakukan persalinan maupun tokolisis.2
Memastikan diagnosis
Menentukan usia kehamilan
Evaluasi infeksi maternal atau janin, pertimbangkan butuh antibiotik atau tidak terutama
jika ketuban pecah sudah lama
Dalam kondisi inpartu, ada gawat janin atau tidak
Terdapat dua manajemen dalam penatalaksanaan KPD, yaitu manajemen aktif dan
konservatif. Manajemen konservatif adalah penanganan dengan pendekatan tanpa intervensi,
sementara manajemen aktif melibatkan klinisi untuk lebih aktif mengintervensi persalinan.2
Penderita dengan kemungkinan Ketuban Pecah Dini harus masuk rumah sakit untuk
diperiksa lebih lanjut. Jika pada perawatan air ketuban berhenti keluar, pasien dapat pulang untuk
rawat jalan. Bila terdapat persalinan dalam kala aktif, korioamnionitis, atau gawat janin,
persalinan diterminasi. Bila Ketuban Pecah Dini pada kehamilan prematur, diperlukan
penatalaksanaan yang komprehensif. Secara umum penatalaksanaan pasien Ketuban Pecah Dini
yang tidak dalam persalinan serta tidak ada infeksi dan gawat janin, penatalaksanaannya
bergantung pada usia kehamilan. 4
23
Tabel 2. Rekomendasi penatalaksanaan ketuban pecah dini kurang bulan7
Konservatif
Rawat di rumah sakit, berikan antibiotik (ampisilin 4 x 500 mg atau eritromisin bila tidak
tahan ampisilin dan metronidazol 2 x 500 mg selama 7 hari). Jika umur kehamilan < 32 - 34
minggu, dirawat selama air ketuban masih keluar, atau sampai air ketuban tidak lagi keluar. Jika
usia kehamilan 32 - 37 minggu, belum inpartu, tidak ada infeksi, tes busa negatif beri
deksametason, observasi tanda-tanda infeksi, dan kesejahteraan janin. Terminasi pada kehamilan
37 minggu. Jika usia kehamilan 32 - 37 minggu, sudah inpartu, tidak ada infeksi, berikan
tokolitik, deksametason, dan induksi sesudah 24 jam. Jika usia kehamilan 32 - 37 minggu, ada
infeksi, beri antibiotik dan lakukan induksi, nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda
infeksi intrauterin). Pada usia kehamilan 32 - 37 minggu berikan steroid untuk memacu
kematangan paru janin, dan bila memungkinkan periksa kadar lesitin dan spingomielin tiap
minggu. Dosis betametason 12 mg sehari dosis tunggal selama 2 hari, deksametason I.M. 5 mg
setiap 6 jam sebanyak 4 kali. 4
Aktif
24
Kehamilan > 37 minggu, induksi dengan oksitosin. Bila gagal seksio sesarea, dapat pula
diberikan misoprostol 25 g - 50 g intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali. Bila ada tanda-
tanda infeksi berikan antibiotik dosis tinggi dan persalinan diakhiri.4
Bila skor pelvik < 5, lakukan pematangan serviks, kemudian induksi. Jika tidak berhasil,
akhiri persalinan dengan seksio sesarea.
Bila skor pelvik > 5, induksi persalinan.
Pemberian antibiotik
Pemberian antibiotik, terutama pada usia gestasi <37 minggu, dapat mengurangi risiko
terjadinya korioamnionitis, mengurangi jumlah kelahiran bayi dalam 2 7 hari, dan mengurangi
morbiditas neonatus.
25
Kemudian lanjutkan dengan 2 terapi oral selama 5 hari, amoksisilin dan eritromisin (4 x
250 mg PO). Pada pasien yang alergi penisilin, diberikan terapi tunggal klindamisin 3 x
600 mg PO. Sumber lain, mengatakan bahwa pada PPROM, pemberian eritromisin
hingga 10 hari.
Hindari pemberian co amoksiklav pada perempuan dengan PPROM, dapat
menyebabkan NEC.
Tokolisis
3.10 Komplikasi
Komplikasi akibat ketuban pecah dini dapat terjadi pada ibu maupun janin. Komplikasi
pada ibu yang terjadi biasanya berupa infeksi intrauterin. Infeksi tersebut dapat berupa
endomyometritis, maupun korioamnionitis yang berujung pada sepsis. Pada sebuah penelitian,
didapatkan 6,8% ibu hamil dengan KPD mengalami endomyometritis purpural, 1,2% mengalami
sepsis, namun tidak ada yang meninggal dunia.10
Diketahui bahwa yang mengalami sepsis pada penelitian ini mendapatkan terapi
antibiotik spektrum luas, dan sembuh tanpa sekuele. Sehingga angka mortalitas belum diketahui
secara pasti. 40,9% pasien yang melahirkan setelah mengalami KPD harus dikuret untuk
mengeluarkan sisa plasenta, 4% perlu mendapatkan transfusi darah karena kehilangan darah
secara signifikan.10
Salah satu komplikasi yang paling sering terjadi pada janin adalah persalinan lebih awal.
Periode laten, yang merupakan masa dari pecahnya selaput amnion sampai persalinan secara
umum bersifat proporsional secara terbalik dengan usia gestasi pada saat KPD terjadi. Sebagai
26
contoh, pada sebuah studi besar pada pasien aterm menunjukkan bahwa 95% pasien akan
mengalami persalinan dalam 1 hari sesudah kejadian. Sedangkan analisis terhadap studi yang
mengevaluasi pasien dengan preterm 1 minggu, dengan sebanyak 22 persen memiliki periode
laten 4 minggu. Bila KPD terjadi sangat cepat, neonatus yang lahir hidup dapat mengalami
sekuele seperti malpresentasi, kompresi tali pusat, oligohidramnion, necrotizing enterocolitis,
gangguan neurologi, perdarahan intraventrikel, dan sindrom distress pernapasan.1
-Perdarahan postpartum.
27
maka
komplikasi
*Komplikasi postpartum; *Untuk membuktikan
makin berat.
terjadi infeksi
-Penyakit Respiratory Distress Syndrome
intrauteri dapat
(RDS) atau hialin membrane
dilakukan
-Hipoplasia paru dengan akibatnya amniosentesis dengan
tujuan untuk;
-Tidak tahan terhadap hipotermia.
-kultur cairan amnion
-Sering terjadi hipoglikemia
-pemeriksaan glukosa
-Gangguan fungsi alat vital.
-alfa fetoprotein
-fibronektin
*Komplikasi akibat oligohidramnion;
28
29
BAB IV
ANALISIS KASUS
Pada kasus didapatkan Ny M, 22 tahun, dengan diagnosis ketuban pecah dini pada G1
hamil 37-38 minggu, janin presentasi kepala tunggal hidup, serviks belum matang, belum
inpartu (PS2), dan oligohidroamnion (ICA 4,8). Diagnosis ini ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Atas dasar:
Pada anamnesis didapatkan keluar air-air 5 jam sebelum masuk rumah sakit, disertai
keluar sedikit lendir dan darah. Keluarnya air-air tidak disertai dengan keluhan mules
dan nyeri perut. 2 bulan terakhir pasien ada fluor albus berwarna putih kekuningan
yang tidak berbau dan tidak menimbulkan rasa gatal Keluhan demam dan riwayat
trauma disangkal oleh pasien.
Dalam pemeriksaan inspekulo didapatkan hasil portio licin livide, tampak fluor albus
(+), OUE terbuka, keluar cairan jernih dari OUE. Vaginal Toucher didapatkan portio
kenyal, tebal 3 cm, arah posterior, tak berbenjol-benjol, diameter 1 cm, selaput
ketuban (-), kepala hodge I (4/5) (PS 2).
Hasil dari pemeriksaan penunjang berupa laboratorium didapatkan leukositosis. Pada
USG oligohidramnion dengan ICA 4,8. Pada CTG didapatkan kategori 1.
Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan keluar air-air sejak 5 jam sebelum masuk rumah sakit, hal ini
merupakan suatu keluhan utama yang biasanya dikeluhkan pada pasien dengan ketuban pecah
dini. Dari anamnesis HPHT menunjukan bahwa pasien hamil 38 minggu 3 hari (>37 minggu),
sehingga pasien termasuk dalam kelompok ketuban pecah dini (PROM). 4
Faktor risiko yang didapatkan pada pasien ini yaitu pasien mengalami keputihan yang dapat
meningkatkan resiko infeksi. Infeksi yang merupakan penyebab tersering dari KPD
menyebabkan terjadinya biomekanik pada selaput ketuban dalam bentuk preteolitik sel sehingga
memudahkan ketuban pecah. Selain itu adanya infeksi dan inflamasi memicu peningkatan
30
aktifitas iL-1 dan prostaglandin, menghasilkan kolagenase jaringan, sehingga terjadi
depolimerasi kolagen pada selaput korion/amnion, menyebabkan ketuban tipis, lemah dan mudah
pecah spontan. Keluhan adanya amnionitis pada pasien seperti demam, nyeri abdomen,
disangkal. Adanya faktor risiko lainnya seperti riwayat trauma sebelumnya disangkal. Adanya
keluhan tanda tanda persalinan seperti mulas mulas disangkal, namun pasien mengeluhkan
adanya keluar sedikit darah dan lender dari area kemaluan.4
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik inspekulo tampak fluor albus hal ini memperkuat adanya faktor
risiko dalam terjadinya KPD. Terlihatnya keluar air air mengalir dari OUE pada inspekulo
memastikan diagnosis KPD pada pasien ini.
Pada vaginal toucher didapatkan portio kenyal (Skor 1), tebal 3 cm, arah posterior (Skor 0),
tak berbenjol-benjol, diameter 1 cm (Skor 1), selaput ketuban (-), kepala hodge I (4/5) (Skor 0).
Pada pasien ini didapatkan skor pelvik 2. Adanya pembukaan portio 1 cm dan tidak adanya his
yang reguler pada pasien menunjukan pasien belum inpartu.
Pemeriksaan penunjang
Penatalaksanaan
Pada pasien ini didapatkan oligohidroamnian berat dan pelvik skor <5 pada kehamilan >37
minggu pasien belum inpartu. Sehingga dilakukan penatalaksanaan aktif, yaitu dengan terminasi
kehamilan per abdominam. Hal ini dikarenakan pada oligohidroamnion berkepanjangan pada
kehamilan meningkatkan risiko morbiditas dan mortilitas perinatal. Oleh karena itu, terminasi
kehamilan merupakan tatalaksana terpilih. 4,12
31
Pada usia kehamilan lebih dari 34 minggu, mempertahankan kehamilan akan
meningkatkan resiko korioamnionitis dan sepsis. Tidak ada perbedaan signifikan terhadap
kejadian respiratory distress syndrome. Pada saat ini, penelitian menunjukkan bahwa
mempertahankan kehamilan lebih buruk dibanding melakukan persalinan. 4
32
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
1. American College of Obstetrics and Gynecology. ACOG Practice Bulletin No. 80:
Premature rupture of membranes. Clinical management guidelines for obstetrician-
gynecologists. Obstet Gynecol. 2007 Apr;109(4): h. 1007-19.
2. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Ketuban Pecah Dini. POGI. 2016.
3. Gibbs RS, et all. Danforths Obstetrics and Gynecology, 10th Ed. Wolters Kluwers:
Lippincott Williams & Wilkins, 2008; h.188-197
4. Saiffudin AB, Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH. Ketuban Pecah Dini Dini. Soetomo
Soewarto. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawiriharjo. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2011. h. 677-80.
5. Caughey AB, Robinson JN, Norwitz ER. Contemporary diagnosis and management of
preterm premature rupture of membranes. Rev Obstet Gynecol. 2008 Winter;1(1): h. 11-
22.
6. Alamsyah M, Handono B. Ketuban pecah dini pada kehamilan preterm. Dalam:
Prematuritas. PT Refika aditama. Bandung; 2009. h. 95-112
7. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom KD.Williams
Obstetrics. 24 st edition.2014. h. 98-100
8. Dutta DC. Textbook of Obstetrics, including perinatology and contraception. 8 th edition.
The Health Sciences Publisher. 2015
9. Sualman K. Penatalaksanaan Ketuban Pecah Dini pada Kehamilan Preterm. Universitas
Riau, Pekanbaru. 2009
10. Yang LC, Taylor DR, Kaufman HH, Hume R, Calhoun H. Maternal and Fetal Outcomes
of Spontaneous Preterm Premature Rupture of Membranes.
http://www.jaoa.org/content/104/12/537.full
11. Beckmann CRB, Ling FW, Barzanzky BM, Herbert WNP, Laube DW, Smith RP.
Obstetrics and gynecology. 6th ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 2010.
12. Tanto C, Liwang F, hanifati S, Pradipta EA. Kapita selekta kedokteran. Ed 2. Jakarta:
Penerbit Media Aesculapius; 2016.
13. Abma JC et al., Teenagers in the United States: sexual activity, contraceptive use, and
childbearing, National Survey of Family Growth 20062008, Washington DC : Vital and
Health Statistics; 2010.
33
34