Anda di halaman 1dari 36

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dari seluruh trauma muskuloskeletal, patah tulang paha (femur)

merupakan jenis trauma yang banyak dan sering ditemukan pada golongan usia

produktif, dan sebagian besar pengobatannya memerlukan tindakan operasi.1 Jenis

operasi pada fraktur femur yang sering adalah reduksi terbuka dan fiksasi dalam

(open reduction and internal fixation = ORIF). Jaringan di sekitar paha tergolong

tebal dan kaya akan suplai darah yang signifikan, apalagi lokasi pembedahan tidak

memungkinkan untuk pemasangan torniket.2,3

Berdasarkan data di Unit Bedah Sentral RSMH dalam kurun waktu 2014

telah dilakukan operasi ORIF pada femur sebanyak 48 kasus, tanpa fraktur di

tempat lain.4

Perdarahan karena operasi ORIF di tulang femur tergolong perdarahan

yang dapat dicegah (preventable), sehingga perlu adanya upaya yang maksimal

guna menghindarinya, dan faktor yang menyebabkan banyak tidaknya perdarahan

intraoperatif antara lain : (1) hemostasis lokal yang tidak efektif, (2) komplikasi

dari transfusi darah, (3) Lama operasi, dan (4) fibrinolisis.5,6

Perdarahan perioperatif pembedahan besar ortopedik seperti total hip

atau total knee, masih merupakan masalah yang meningkatkan penyulit pasca

bedah bahkan kematian. 7, 8

Kehilangan darah perioperatif membutuhkan transfusi dalam jumlah

besar dengan dampak penyulit pasca pembedahan seperti gangguan hemostasis,


2

koagulopati, cedera paru akut, reaksi hemolitik, reaksi alergi, sepsis bakterialis,

embolisme, tromboflebitis, overtransfusion.5,6,9

Berbagai cara digunakan untuk mengurangi perdarahan perioperatif

diantaranya adalah penggunaan asam traneksamat yang telah mengalami uji coba

walau dengan jumlah sampel yang belum cukup besar. Asam traneksamat bekerja

untuk mencegah aktivasi plasminogen menjadi plasmin yang berperan terhadap

degradasi fibrin sehingga mencegah fibrinolisis dan pembekuan berlangsung.

Berbagai uraian penelitian memperlihatkan penyulit penggunaan asam

traneksamat, seperti tromboembolik.8,13-15

Gangguan sirkulasi pada pasien dengan shock hemoragic pada kasus

trauma sederhana dan multiple trauma dilakukan resusitasi dan tranfusi darah

untuk memperbaiki gangguan sirkulasi dengan kriteria

- Grade 1 : Nadi <100 kali per menit, tekanan darah normal,

pernafasan 14-20 kali permenit, dengan perdarahan 750 cc

(15% volume darah di tubuh)


- Grade 2 : Nadi 100-120 kali per menit, tekanan darah normal,

pulse pressure menurun, pernafasan 20-30 kali permenit,

dengan perdarahan 750-1500 cc (15-30% volume darah di

tubuh)
- Grade 3 : Nadi 120-140 kali per menit, hipotensi, pulse

pressure menurun, pernafasan 30-40 kali permenit, dengan

perdarahan 1500 - 2000 cc (30-40% volume darah di tubuh)


3

- Grade 4 : Nadi >140 kali per menit, hipotensi, pulse pressure

menurun, pernafasan >35 kali permenit, dengan perdarahan >

2000 cc (>40% volume darah di tubuh)

Resusitasi cairan dan transfusi penderita dengan gangguan sirkulasi pada

penderita patah tulang femur terbukti mengganggu hemostasis terutama

pembekuan darah.16-21 Keadaan ini diperkirakan berpengaruh terhadap penggunaan

asam traneksamat terhadap pengurangan transfusi dibanding penderita yang tidak

mengalami gangguan sirkulasi.18,19

Namun belum ada penelitian yang dilakukan untuk meneliti efektifitas

asam traneksamat dalam mengurangi perdarahan pada operasi ORIF tulang

panjang penderita fraktur tulang femur dengan atau tanpa gangguan sirkulasi

(syok hemoragik). Dimana diperkirakan perdarahan pada fraktur tulang femur

2000 cc, dan faktor cedera penyerta pada organ lain yang disertai terkadang

disertai dengan syok hemoragik yang di tandai dengan perubahan tanda vital6, 38

1.2 Rumusan Masalah

Penderita dengan bedah tulang mayor seperti total hip dan total knee

terbukti mengalami pengurangan jumlah transfusi setelah menerima penyuntikan

asam traneksamat. Penderita dengan patah tulang femur, sebagian mengalami

gangguan sirkulasi dan mendapatkan cairan serta darah untuk stabilisasi sebelum

dilakukan pembedahan definitif. Pada penderita yang mengalami gangguan

sirkulasi pasca trauma yang kemudian mendapatkan cairan dan darah dapat terjadi

gangguan proses pembekuan darah. Masalah dalam penelitian ini dapat


4

dirumuskan dengan kalimat berikut; Apakah asam traneksamat memberi pengaruh

terhadap jumlah perdarahan pada penderita patah tulang femur yang menjalani

pembedahan ORIF dimana sebelumnya mengalami gangguan sirkulasi (syok

hemoragik).

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi manfaat pemberian asam

traneksamat pada penderita patah tulang femur yang disertai gangguan sirkulasi

dan tanpa gangguan sirkulasi dalam menurunkan perdarahan perioperatif dan post

operasi ORIF.

1.4 Manfaat Penelitian


Aspek Teoritis
Kegunaan teoritis ialah menambah informasi ilmiah mengenai pengaruh

pemberian asam traneksamat untuk menurunkan jumlah perdarahan akibat

operasi ORIF pada patah tulang femur baik yang disertai gangguan sirkulasi,

maupun tidak.

Aspek Praktis
Dengan diketahuinya pengaruh asam traneksamat dalam mengontrol

perdarahan perioperatif, diharapkan dapat digunakan sebagai standar dalam

menurunkan jumlah perdarahan pada operasi ORIF patah tulang femur.

Menurunkan kebutuhan transfusi intra dan pasca operasi.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ORIF di Femur


5

Jenis operasi pada fraktur femur yang sering adalah dikerjakan reduksi

terbuka dan fiksasi dalam (open reduction and internal fixation = ORIF) dengan

implant plate and screw atau K-Nail. Teknik ini memiliki kelemahan, yaitu

hilangnya darah yang banyak, resiko infeksi dan kerusakan jaringan, jaringan di

sekitar paha tergolong tebal dan kaya akan suplai darah, sehingga prosedur

pembedahan di daerah ini akan dapat menyebabkan kehilangan darah yang

signifikan, apalagi lokasi pembedahan tidak memungkinkan untuk pemasangan

torniket.9,22

Untuk tindakan operasinya, insisi dan approach yang umum digunakan

adalah secara posterolateral. Pemilihan tehnik ini dilakukan dengan menyusuri

septum intermuskular sehingga tidak merusak otot-otot kuadrisep sehingga

meminimalisir perdarahan. Selain itu, juga diketahui bahwa approach ini dapat

digunakan untuk indikasi yang luas.9 Pembuluh darah yang rentan mengalami

cedera pada approach ini adalah A. perforantes, yang merupakan cabang dari A.

Femoralis profunda. Untuk menanggulangi perdarahan yang terjadi, dilakukan

hemostasis secara mekanik, dengan ligasi atau koagulasi. Setelah diseksi

mencapai tulang, dilakukan reduksi dengan bone-holding forceps tipe Verbrugge,

kemudian plat dipasang pada sisi posterolateral yang rata, K-Nail dimasukkan ke

proximal dari segmen fraktur. Luka operasi kemudian dicuci dengan larutan

garam fisiologis. Setelah itu, ditutup lapis demi lapis tanpa menjahit otot vastus

lateralis, dan suction drain diletakkan dibawahnya.

Perdarahan selama operasi dihitung dengan mengukur banyaknya cairan

pada suction apparatus dikurangi dengan jumlah larutan garam fisiologis yang

digunakan untuk pencucian area luka. Ditambahkan pula jumlah perdarahan yang
6

didapatkan dengan cara mengestimasi banyaknya darah yang tertampung dikasa,

dengan rumus bahwa kasa berukuran 2 x 3 inchi yang penuh darah akan

menampung sebanyak 10 cc, kasa berukuran 6 x 12 inchi yang penuh darah akan

menampung sebanyak 50 cc, sedangkan yang 28 x 14 inchi dapat menampung

100 cc.12

2.2 Perdarahan dan Sistem Koagulasi

Perdarahan pada operasi ORIF untuk fraktur tulang femur merupakan

sesuatu hal yang sering menjadi masalah. Perdarahan ini terjadi setelah fraktur

terjadi, selama operasi, dan pasca operasi. Mekanisme terjadinya perdarahan dapat

disebabkan oleh : hemostasis lokal yang tidak efektif, komplikasi dari transfusi

darah, Lama operasi, dan fibrinolisis.5,6,9

Operasi pada femur dapat menyebabkan hilangnya darah yang banyak

dan kerusakan jaringan, karena jaringan di sekitar paha tergolong tebal dan kaya

akan supplai darah. Pengendalian perdarahan tergantung pada berbagai faktor,

antara lain integritas dari endotel vaskular yang intak, vasokonstriksi, platelet, dan

seri reaksi enzimatik yang mendukung terjadinya pembekuan darah.9

Pembekuan darah memerlukan sistem penguatan (amplifikasi), yakni zat

pemula yang jumlahnya relatif sedikit, secara sekuensial akan mengalami reaksi

sehingga pada akhirnya akan membentuk hasil yang jumlahnya berlipat ganda

secara dramatis, yaitu 1 mol faktor XI dapat menghasilkan 2 x 108 mol fibrin.

Fibrin itu sendiri berasal dari konversi fibrinogen plasma oleh thrombin.

Selanjutnya fibrin menjaring agregat trombosit pada tempat luka vaskular dan
7

mengubah sumbatan trombosit primer yang kurang stabil menjadi sumbatan

hemostasis yang kuat, utuh, dan stabil.23

Pada sistem intrinsik, kolagen yang terpapar dan komponen yang

bermuatan negatif lain dari jaringan ikat subendotel menyebabkan aktivasi faktor

XII. Ini mengkatifkan faktor XI dan juga mengkonversi prekalikrein menjadi

kalikrein, kalikrein dan faktor XI berikatan dengan kofaktor kiniogen yang

mempunyai berat molekul tinggi (HMWK = high molecular weight kininogen).

Selama fase kontak aktivasi pembekuan ini, kalikrein memecah peptide vasoaktif

kecil, bradikinin dari HMWK. Disamping itu, kalikrein memiliki efek oto-

katalitik terhadap pembekuan dengan menyebabkan aktivasi lebih lanjut faktor

XII. Reaksi berikutnya adalah reaksi enzim intrinsik melibatkan aktifasi faktor IX

oleh faktor XI yang telah diaktifkan. Bersama dengan kalsium dan kofaktor faktor

VIII, faktor IX yang telah diaktifkan selanjutnya mengaktifkan faktor X pada

permukaan membran.23

Pada jalur ekstrinsik, factor jaringan (lipoprotein dari sel yang rusak)

mengaktifkan factor pembekuan VII yang selanjutnya secara langsung akan

mengaktifkan factor X.

Pada jalur bersama (final common pathway), faktor X yang telah

diaktifkan bersamaan dengan kofaktor faktor V, kalsium dan faktor 3 trombosit

mengkonversi protrombin menjadi thrombin. Trombin menghidrolisis ikatan

arginine-lisin fibrinogen untuk membebaskan fibrino peptide A dan B untuk

membentuk monomer-monomer fibrin terikat spontan dengan ikatan hydrogen

membentuk polimer fibrin yang longgar dan tidak larut. Faktor XIII yang

diaktifkan oleh thrombin dan kalsium menstabilkan polimer fibrin dengan


8

mebentuk hubungan silang ikatan kovalen. Sistem ekstrinsik dan intrinsic saling

melengkapi satu sama lain. Mungkin bahwa setelah luka jaringan terjadi, aktifator

jaringan menghasilkan jumlah kecil thrombin yang disamping menghasilkan

fibrin juga akan mempercepat jalur intrinsik dengan aktifasi faktor VIII dan

faktor V.23

Gambar 2.1 Kaskade Pembekuan Darah (Teller)

Fibrinolisis adalah suatu proses fisiologis berupa respon hemostasis

normal terhadap luka vaskular, yang bertujuan untuk mencegah terjadinya

koagulasi yang berlebihan, yang dapat menyebabkan gangguan system sirkulasi

maupun organ targetnya. Proses sentral dari fibrinolisis adalah perubahan

plasminogen nonaktif menjadi enzim proteolitik plasmin. Plasminogen dalam

fraksi globulin plasma diaktivasi menjadi plasmin oleh substansi yang timbul

secara fisiologis maupun patologis, misalnya aktifator plasma dan jaringan,

tripsin, urokinase, streptokinase dan stafilokinase. Proses ini juga dapat dipicu
9

oleh agen-agen farmakologis seperti protamine, asam nikotinik, epinefrin, atau

asetilkolin. Selain itu, beberapa keadaan juga dapat berperan dalam terjadinya

fibrinolysis, yaitu hipoksia, syok, keganasan prostat, leukemia, stroke, dan pasca

operasi ekstensif seperti operasi jantung, paru, hepar dan prostat.23,24

Proses pembedahan akan menyabebkan sel-sel yang terluka melepaskan

aktivator plasminogen, selanjutnya plasmin membatasi perkembangan trombosis

melalui degradasi proteolitik terhadap fibrin.23,24 Plasmin akan menghidrolisis

fibrinogen maupun fibrin menjadi fibrin degradation product (FDP) yang

menunda terbentuknya bekuan serta agregasi platellet. Pada sejumlah prosedur

yang menggunakan tornikuet pneumatik, misalnya knee artroplasty, diketahui

bahwa fibrinolisis meningkat oleh karena adanya stasis vena yang menyebabkan

pelepasan tissue-type plasminogen activator dari endotel vaskular yang

dirangsang oleh anoksia atau distensi vena. Dikatakan bahwa aktifitas fibrinolisis

meningkatkan perdarahan, yaitu mulai sejak 1 jam setelah insisi dan berhenti

sekitar 24 jam setelahnya.25

2.3 Obat yang Menghambat Perdarahan

Untuk keperluan terapeutik, sejumlah obat pengendali perdarahan telah

diperkenalkan.26 Obat-obat tersebut bermacam macam jenisnya serta berbeda

dalam mekanisme kerja dan indikasinya.

Etamsilat adalah obat hemostatik yang bekerja didinding kapiler dengan

maningkatkan adhesifitas dari platellet dan mengubah resistensi kapiler, maka

akan menurunkan waktu perdarahan dan banyaknya kehilangan darah. Obat

lainnya adalah karbazokrom, yang berfungsi untuk mencagah penurunan resistensi


10

kapiler dan meningkatkan permeabilitasnya. Ada pula sediaan obat yang berupa

kompleks faktor pembekuan, biasa dipakai untuk mengobati perdarahan pada

penderita Hemofilia B, yang isinya mencakup faktor II, VII, IX dan X, serta

sejumlah kecil protein plasma lain. Pemberian vitamin K juga bermanfaat untuk

keperluan hemostatik karena merangsang faktor faktor pembekuan darah.26

Asam aminokaproat merupakan agen penghambat fibrinolisis yang

berguna.24 Aprotinin memiliki peran menghambat aktivasi prakalikrein,

menghambat plasmin, serta telah digunakan sebagai antifibrinolitik sistemik pada

operasi tumor otak dan terbukti dapat mengurangi jumlah perdarahan

intraoperatif.24,25,27,30

Cara Kerja Asam Traneksamat

Asam traneksamat, atau 1,4-aminomethylcyclohexane carboxylic acid

merupakan agen fibrinolitik yang sifatnya bersaing dengan aktivator plasminogen

dan penghambat plasmin, potensinya sampai sepuluh kali lipat dari asam

aminokaproat, dan banyak tersedia secara luas dan jauh lebih murah. Asam

traneksamat membentuk kompleks yang reversibel dengan residu lisin dari

plasminogen dan plasmin, sehingga menghambat aktivasi plasmin sebagimana

juga mempengaruhi interaksi antara plasmin dan fibrin. Penggunaannya juga

terbukti aman, bahkan pada pembedahan transplantasi hepar pernah diberikan

dosis maksimal hingga 20 gram tanpa menyebabkan gangguan trombosis. 25,27

Asam traneksamat dapat diberikan dengan dosis aman 500-1000 mg intravena

lambat (1 ml/menit) dan dapat juga diberikan melalui rute oral dengan dosis 500-

1500 mg terbagi dalam 2-3 dosis per hari. Kontraindikasi pemberian asam
11

traneksamat adalah adanya tanda tanda koagulasi intravaskuler, gangguan

pengelihatan, hematuria, perdarahan intrakranial subarachnoid, dan

hipersensitifitas.31

Penelitian terdahulu membuktikan bahwa pemberian asam traneksamat

berguna dalam mengurangi perdarahan perioperatif pada operasi prostat dan

jantung.25,29,32,33

Tabel 1. Meta-analisis efek asam tranexamat pada resiko tranfusi darah pada

beberapa operasi

Penelitian Taghadommi 2009 penggunaan asam traneksamat pada

prosedur operasi menurunkan resiko tranfusi 8/50 (16%) pada kelompok asam

traneksamat dan 27/50 (54%) pada kelompok kontrol.33

Dibidang ortopedi, penggunaan asam traneksamat dengan dosis 10

mg/kgBB diberikan sebelum operasi secara bolus secara signifikan menurunkan

jumlah perdarahan pasca operasi pada penderita yang menjalani operasi atroplasty

sendi lutut, namun pada penelitian tersebut disebutkan bahwa tidak ada perbedaan

bermakna dalam jumlah perdaranan intra operatif diantara pasien yang diberikan

asam traneksamat dengan kelompok plasebo.25


12

Penelitian lain memberikan hasil bahwa pemberian asam traneksamat

secara bolus tunggal dapat menurunkan jumlah perdarahan perioperatif pada

operasi fraktur pada pinggul dan koreksi skoliosis.25 Dikatakan pula bahwa bila

obat ini diberikan ditengah-tengah atau akhir pembedahan, maka tidak ada efek

samping serius dari pemberian asam traneksamat ini.22,25

Tabel 2. Beberapa penelitian meta-analisis efek asam traneksamat terhadap resiko

tranfusi pasca operasi

Penggunaan anti fibrinolitik yang lama dan berulang-ulang dapat

merugikan bagi susunan saraf. Percobaan pada mencit menunjukkan bahwa

adanya fibrin dalam matriks ekstraseluler dapat memperlambat regenerasi saraf.

Oleh Karena itu, adanya tissue plasminogen activator merupakan suatu


13

mekanisme protektif terhadap cidera saraf. Selain itu juga diketahui bahwa

penggunaan yang berulang akan dapat menyebabkan antara lain deep vein

trombosis akibat koagulasi yang tidak terkendali pada tungkai.23,34,35

2.4 Tahap tahap penyembuhan fraktur

Stadium 1 (Stadium Pembentukan Hematom)

Hematom terbentuk dari darah yang mengalir yang berasal dari

pembuluh darah yang robek, hematom dibungkus jaringan lunak sekitar

(periosteum & otot), Terjadi 1-2 x 24 jam.

Stadium 2 (Stadium Proliferasi sel / inflamasi)

Sel-sel berproliferasi dari lapisan dalam periosteum, sekitar lokasi

fraktur, Sel-sel ini menjadi precussor osteoblast, sel-sel ini aktif tumbuh kearah

fragmen tulang, Proliferasi juga terjadi di jaringan sum-sum tulang, terjadi setelah

hari ke-2 kecelakaan terjadi

Stadium 3 (Pembentukan Kallus)

Osteoblast membentuk tulang lunak (Kallus) memberikan rigiditas pada

fraktur, jika terlihat massa kallus pada X-Ray, berarti fraktur telah menyatu

(Terjadi setelah 6-10 hari setelah kecelakaan terjadi)

Stadium 4 (Stadium Konsolidasi)

Kallus mengeras dan terjadi proses konsolidasi, fraktur teraba menyatu,

secara bertahap menjadi tulang mature (Terjadi pada minggu ke 3-10 setelah

kecelakaan)
14

Stadium 5 (Stadium Remodelling)

Lapisan bulbous mengelilingi tulang khusus nya pada lokasi bekas

fraktur, tulang yang berlebihan dibuang oleh osteoklas, pada anak-anak proses

remodelling bisa terjadi sempurna, pada dewasa masih ada tanda penebalan

tulang.

2.5 Kerangka Konsep

Prosedur operasi untuk fraktur femur yang banyak dilakukan di sub

bagian ortopedi RSMH adalah ORIF dengan implant plate and screw atau K-

Nail.. Operasi ini diketahui dapat menyebabkan perdarahan yang banyak. Adanya

perdarahan dapat membawa morbiditas pada pasien, termasuk kebutuhan tranfusi

darah. Sementara diketahui bahwa tranfusi darah memiliki efek samping serius

antara lain reaksi hemolitik dan transmisi penyakit.

Pengendalian perdarahan dapat dilakukan misalnya dengan hemostasis

lokal yang efektif pada saat pelaksanaan operasi. Selain itu juga bisa dilakukan

blokade pada proses fibrinolisis. Awalnya agen farmakologis yang diperkenalkan

sebagai anti fibrinolitik adalah asam aminokaproat, namun belakangan ini

diketahui bahwa obat ini memberikan efek samping yang serius.

Asam tranexamat merupakan agen anti fibrinolitik sintetik yang berperan

dalam mencegah aktivasi plasminogen menjadi plasmin. Diketahui potensinya

mencapai sepuluh kali lipat dibandingkan asam aminokaproat, dan tidak

dilaporkannya adanya efek samping serius. Sejumlah penelitian telah dilakukan

untuk menilai kegunaan pemberian asam traneksamat untuk mencegah benyaknya

perdarahan, antara lain pada operasi jantung, prostat, gastrointestinal atau


15

artroplasti sendi lutut, namun belum ada penelitian yang menguji pemberian asam

traneksamat ini pada operasi ORIF tulang panjang dalam menurunkan jumlah

perdarahan.

Alur Kerangka Pemikiran

Fraktur Femur
Komplikasi tranfusi
Tertutup

ORIF Perdarahan Kebutuhan


Tranfusi

Mekanik Elektrokoagulasi

Hemostasis

Fisiologis

Meningkatka Mencegah Merangsang Menurunka


n adhesi penurunan faktor n
platellet resistensi pembekuan fibrinolisis
kapiler

Pemberian Berkompetisi Menghambat


Asam dengan Aktivasi
Traneksamat aktivator plasmin
plasminogen
2.5 Hipotesis

Hipotesis penelitian ini dirumuskan dalam kalimat sebagai berikut

Apakah pemberian asam traneksamat sebelum operasi mengurangi jumlah


16

perdarahan selama dan sesudah operasi ORIF dengan implant plate and screw

atau K-Nail fraktur tulang femur yang sebelumnya mengalami gangguan

sirkulasi.

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian


17

Penelitian ini merupakan suatu penelitian cohort yang melakukan

observasi mengenai efektifiktas pemberian asam traneksamat terhadap banyaknya

perdarahan selama dan sesudah pembedahan ORIF dengan implant plate and

screw atau K-Nail pada penderita fraktur tulang femur yang mengalami gangguan

sirkulasi (syok hemoragik) dan penderita fraktur tulang femur yang tidak

mengalami gangguan sirkulasi pasca trauma.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di bagian Bedah Rumah Sakit Umum Dr. Mohammad

Hoesin Palembang dengan waktu penelitian Oktober 2016 - Maret 2017.

3.3 Subjek Penelitian


Subjek penelitian ini adalah penderita dewasa berusia antara 15-80 tahun,

penderita fraktur batang femur yang menjalani ORIF dengan implant plate and

screw atau K-Nail yang di-operasi di RS Mohammad Hoesin Palembang. Seluruh

operasi dilakukan oleh dokter spesialis dan Peserta Pendidikan Dokter Spesialis

(PPDS) yang telah mencapai kompetensi untuk melakukan operasi ORIF plate

and screw untuk fraktur tulang femur, yaitu minimal Orthopedi 2, sesuai acuan

kompetensi dari Kolegium Ilmu Bedah Umum Ikatan Ahli Bedah Indonesia.

3.3.1 Populasi

Populasi target pada penelitian ini adalah penderita fraktur tertutup batang

femur, yang akan menjalani operasi ORIF dengan implant plate and screw atau K-
18

Nail. Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah semua penderita fraktur

tulang femur, baik dengan atau tanpa gangguan sirkulasi pasca trauma, yang

dirawat di bangsal RS Mohammad Hoesin Palembang yang menjalani operasi

ORIF dengan implant plate and screw atau K-Nail selama periode Oktober 2016 -

Maret 2017.

3.3.2 Sampel

Sampel penelitian adalah penderita fraktur tertutup batang femur, yang

akan menjalani operasi ORIF dengan implant plate and screw atau K-Nail, yang

memenuhin kriteia inklusi yang diambil sampai jumlah sample terpenuhi

(consecutive sampling), dibagi menjadi 2 kelompok, penderita patah tulang femur

disertai gangguan sirkulasi (syok hemoragik) pasca trauma dan mendapat asam

traneksamat dibandingkan dengan penderita patah tulang femur tanpa disertai

gangguan sirkulasi pasca trauma dan mendapat asam traneksamat, secara

randomisasi.

Kriteria Inklusi :

1. Penderita fraktur tertutup tulang femur kriteria winquist hansen 0-2


2. Berusia 18-80 tahun39
3. Trombosit 150.000/ul
4. PT 11,5-13,4 detik, aPTT 27-38 detik
5. Timing operasi (<2 hari atau >5 hari, maksimal 14 hari)
6. Tanda vital saat trauma mengikuti kriteria syok hemoragik Grade 2,

yaitu;38
- Grade 2 : Nadi 100-120 kali per menit, tekanan darah normal,

pulse pressure menurun


- Grade 3 : Nadi 120-140 kali per menit, hipotensi, pulse

pressure menurun
19

- Grade 4 : Nadi >140 kali per menit, hipotensi, pulse pressure

menurun

Kriteria Ekslusi :

1. Penderita dengan kontraindikasi terhadap asam traneksamat


2. Penderita dengan penyakit yang dapat menyebabkan gangguan

pembekuan darah, seperti Hemofilia dan Trombositopenia. Pasien

dinilai melalui pemeriksaan pre oprasi mencakup laboratorium.


3. Penderita dengan Fraktur femur neglected
4. Penderita dengan Fraktur femur kasus revisi
5. Penderita dengan Fraktur patologis

Penentuan Ukuran Sampel35

Dalam penelitian ini, ukuran sampel ditentukan melalui pendekatan

statistik. Menurut pendekatan statistik, ukuran sampel ditentukan oleh analisis

statistik yang nantinya digunakan untuk menguji hipotesis penelitian. Besar

sampel ditentukan oleh formula:

n1 = n2 =

dimana ;
n1 = jumlah sampel kelompok standar, yaitu penderita fraktur tanpa disertai syok
n2 = jumlah sampel kelompok penderita fraktur dengan disertai syok
p1 = proporsi kelompok penderita fraktur tanpa disertai syok
p2 = proporsi kelompok penderita fraktur dengan disertai syok
= error type 1
= error type 2.

Pada penelitian ini proporsi kelompok standar, penderita fraktur tanpa

disertai syok adalah 0,54 (P1 = 0,54)33, proporsi kelompok yang diteliti, penderita
20

fraktur dengan disertai syok adalah 0.16 (P2 = 0,16)33, error type I () adalah 95%

(Z = 1,96), error type II () adalah 80% (Z = 0.84). Maka dapat dihitung besar

sampel:

n1 = n2 = = 20

Untuk mengkompensasi pasien drop out atau withdrawl maka jumlah

sampel ditingkatkan 20%, n = n1 = n2 20 x 20% = 4. Maka n1=n2 24.

Jumlah seluruh sampel adalah 48 pasien.

Identifikasi Variable

Identifikasi variable dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Variabel Bebas :

Penderita masuk dengan syok hemoragik dan menerima resusitasi


Penderita masuk tanpa syok hemoragik

Varabel Tergantung :

Banyaknya perdarahan intra operatif


Banyaknya perdarahan pasca operatif
o 1 jam
o 24 jam

Variabel Perancu :

Lamanya operasi
Tingkat kompetensi operator
Jenis/pola fraktur

Bias dapat timbul akibat adanya variabel-variabel perancu tersebut.

Untuk menghindari adanya bias akibat perbedaan kompetensi operator,

maka digunakan pemilihan operator berdasarkan panduan kolegium


21

IKABI. Adapun dalam hal besar insisi, untuk menghindari bias, maka

sampel yang dimasukkan ialah hanya pasien yang panjang insisi nya tidak

lebih 15 cm. juga dalam hal penghitungan perdarahan, dilakukan

pengamatan oleh dua orang untuk menghindari adanya kesalahan.

Definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini :

1. Fraktur tertutup tulang femur, yaitu fraktur yang berlokasi diantara

bagian
teratas dari isthmus femur dan bagian metadiaphyseal junction di distal,

sesuai kriteria winquist hansen 0-2.


2. Syok adalah abnormalitas sistem sirkulasi yang menyebabkan

oksigenasi
dan perfusi jaringan yang tidak adekuat. Syok hemoragik (syok

perdarahan) adalah kondisi syok yang disebabkan karena kehilangan akut

volume darah dalam sirkulasi.


3. Klasifikasi Winquist-Hansen type O adalah fraktur femur tanpa komunisi

4. Klasifikasi Winquist-Hansen type 1 adalah fraktur femur dengan adanya

komunisi ringan dan fragmen butterfly simpel kontak segmen diafisis > 25

%
5. Klasifikasi Winquist-Hansen type 2 adalah fraktur femur dengan adanya

komunisi sedang dan fragmen butterfly simpel kontak segmen diafisis 25

% - 50 %

6. ORIF adalah prosedur operasi reduksi Terbuka dan fiksasi dalam, dengan

implant berupa plate dan screw atau K-Nail.


7. Approach posterolateral ialah pendekatan menuju tulang yang dilakukan

dengan menyusuri septum intermuskular sehingga tidak merusak otot

quadriceps sehingga meminimalisir perdarahan. Juga diketahui bahwa


22

approach ini dapat digunakan untuk indikasi yang luas.Pembuluh darah

yang rentan mengalami cedera pada approach ini adalah a. perforantes,

yang merupakan cabang a. femoralis profunda.


8. Asam tranexamat injeksi, dalam kemasan ampul netto 5 ml, dengan kadar

100 mg/ml.
9. Perdarahan intraoperative diukur dengan menghitung jumlah kassa

depper yang digunakan, serta menghitung jumlah darah pada container

suction, yang didapat dari mengurangkan jumlah cairan total dengan

jumlah NaCl 0,9 % yang digunakan dalam pencucian area operasi, yang

diukur sejak insisi dilakukan sampai dengan selesai jahitan kulit (skin to

skin ).
10. Perdarahan pasca operasi diukur setelah selesai operasi sampai dengan
tidak ada lagi perdarahan, yang diukur dari darah yang terkumpul pada

container drain.
11. Kontraindikasi pemberian asam traneksamat ialah bila ditemukan tanda-

tanda koagulasi intravaskular, gangguan penglihatan, hematuria,

perdarahan intracranial subarachnoid, dan hipersensitifitas.31

Cara Kerja dan Tehnik pengumpulan Data

1. Penyeleksian pasien, kemudian pemberian informed consent dan pasien

diminta untuk menandatangani formulir kesediaan.


2. Pasien dibagi menjadi 2 kelompok yaitu, penderita patah tulang femur

disertai syok hemoragik dan penderita patah tulang femur tanpa disertai

syok hemoragik.
3. Diberikan asam traneksamat secara intravena lambat (1ml/menit) sebelum

operasi yaitu 2 11 jam sebelum operasi, dengan dosis 10 mg/kgBB.


4. Dilakukan ORIF plate and screw atau K-Nail dengan approach

posterolateral.
23

5. Operasi dilakukan dengan prinsip bloodless field, untuk menanggulangi

perdarahan yang terjadi, dilakukan hemostasis secara mekanik, dengan

ligasi atau koagulasi.


6. Sebelum luka operasi ditutup, dilakukan insersi suction drain.
7. Perdarahan selama operasi dihitung dengan mengukur banyaknya cairan

pada suction apparatus dikurangi dengan larutan garam fisiologis yang

digunakan untuk pencucian area luka. Ditambahkan pula jumlah

perdarahan yang didapatkan dengan cara mengestimasi banyaknya darah

yang tertampung di kasa, dengan rumus kasa berukuran 2 x 3 inchi yang

penuh darah akan menampung sebanyak 10 cc, kasa berukuran 6 x 12

inchi yang penuh darah akan menampung sebanyak 50 cc, sedangkan yang

28 x 14 inchi dapat menampung 100 cc.12


8. Perdarahan pasca operasi didapatkan dengan mengukur perdarahan yang

tertampung pada container drain. Jumlah perdarahan pasca operasi diukur

pada waktu 1 jam dan 24 jam pasca insisi, karena menurut kluft, dkk,

proses fibrinolysis dimulai 1 jam setelah trauma dan berakhir (shut-down)


Penderita Fraktur tertutup tulang Femur
pada 24 jam setelahnya.36

Memenuhi Kriteria
Inklusi

Penderita disertai Penderita tanpa


gangguan sirkulasi disertai gangguan
saat terjadi trauma sirkulasi saat terjadi
trauma

Penilaian perdarahan Penilaian perdarahan


intra dan pasca intra dan pasca
operasi : operasi :
1 jam dan 24 jam post 1 jam dan 24 jam post
operasi, dengan operasi, dengan
menilai : vacum intra menilai : vacum intra
op ( dikurangi air op ( dikurangi air
cucian), drain, Hb cucian), drain, Hb
Post operasi Post operasi
Analisis Statistik
24

Gambar 3.1 Alur Penelitian

3.4 Metode Analisis

Pertama dilakukan analisis F-Test terhadap karakteristik populasi dan

jenis fraktur, untuk menilai homogenitas sampel. Kemudian untuk menilai

perbedaan di antara data kuantitatif, digunakan independent sample t-test.

Perbedaan dalam proporsi dan data kualitatif diuji dengan multiple analisis of

varians. Data dinyatakan dalam rata-rata standar deviasi, dengan nilai <0.05

dianggap signifikan. Analisis dilakukan menggunakan perangkat lunak PASW

statistics version 18 (SPSS Inc).37

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Sebanyak 48 subjek penelitian yang dilakukan operasi ORIF secara elektif

Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin Palembang dan dirawat dibagian Bedah

Ortopedi dari Oktober 2016 - Maret 2017.


25

Subjek penelitian ini adalah penderita dewasa berusia antara 15-80 tahun,

penderita fraktur batang femur yang menjalani ORIF dengan implant plate and

screw atau K-Nail yang di-operasi di RS Mohammad Hoesin Palembang. Seluruh

operasi dilakukan oleh dokter spesialis dan Peserta Pendidikan Dokter Spesialis

(PPDS) yang telah mencapai kompetensi untuk melakukan operasi ORIF plate

and screw untuk fraktur tulang femur.

4.1 Karakteristik Responden

4.1.1 Distribusi Subjek berdasarkan jenis kelamin

Dari 48 subjek penelitian didapatkan jenis kelamin pria sebanyak 31

subjek (64.5%) yang mengalami syok pre operasi operasi sebanyak 14 subjek dan

wanita sebanyak 17 subjek (35.5%) yang mengalami syok pre operasi sebanyak 9

subjek. Seperti yang ditunjukkan pada tabel 1.

Tabel 1. Distribusi subjek berdasarkan jenis kelamin terhadap syok pre operasi
Syok Total
Tidak Ya
Jenis Pria 16 15 31 (64.5%)
Kelamin Wanita 8 9 22 (35.5%)
Total 24 24 48

4.1.2 Distribusi subjek berdasarkan umur

Dari 48 subjek penelitian didapatkan umur subjek berkisar antara 16-72

tahun dengan rata rata 38 tahun. Kelompok umur terbanyak yaitu kelompok umur

26-35 tahun sebanyak 14 subjek (29.2%). Kelompok umur yang paling banyak

mengalami syok pre operasi yaitu kelompok umur 16-25 tahun 7 subjek

penelitian. Seperti ditunjukkan pada tabel 2.

Tabel 2. Distribusi subjek berdasarkan umur terhadap syok pre operasi


26

Syok Pro Operasi Total


Tidak Ya
16 25 5 7 12 (25%)
Umur 26 35 8 6 14 (29.2%)
36 45 4 4 8 (16.7%)
46 55 4 4 8 (16.7%)
56 65 3 2 5 (10.4%)
66 75 0 1 1 (0.02%)
76 85 0 0 0 (0%)
Total 24 24 48

4.2. Uji Statistik

4.2.1 Gambaran Jumlah Perdarahan intra operasi

Observasi mengenai efektifiktas pemberian asam traneksamat terhadap

banyaknya perdarahan selama dan sesudah pembedahan ORIF dengan implant

plate and screw atau K-Nail pada penderita fraktur tulang femur yang mengalami

gangguan sirkulasi (syok hemoragik) dan penderita fraktur tulang femur yang

tidak mengalami gangguan sirkulasi pasca trauman pada intra operaasi ORIF.

Analisis sejumlah 48 subjek penelitian ini terhadap jumlah perdarahan

intra operasi diperoleh jumlah drain terendah 350 cc dan tertinggi 1000 cc.

Berdasarkan sebaran jumlah drain tampak terdistribusi normal, terlihat pada grafik

1.

Grafik 1. Sebaran Jumlah Perdarahan intra operasi


27

Variabel yang yang diamati dalam penelitian ini adalah jumlah perdarahan

intra operasi diukur setelah dilakukan operasi sampai luka operasi ditutup. Hasil

pengukuran jumlah perdaranan intra operasi pada kedua kelompok perlakuan

disajikan pada tabel berikut,

Tabel 3. Rata-rata jumlah perdarahan intra operasi untuk Kedua Kelompok

Penderita

Rata-rata SD
Jumlah Drain n Tanpa Syok Pre p value
(Hari) Syok Pre Operasi
Operasi
Perdarahan Intra
48 731,25 105,10 637,50 129,59 0,008
operasi

Berdasarkan hasil perhitungan nilai rata-rata jumlah perdarahan intra operasi

dari kelompok subjek yang diberikan asam traneksamat yang mengalami syok pre
28

operasi dan tanpa syok pre operasi terlihat perbedaan jumlah darah yang didapat

saat operasi.

Setelah dilakukan ujis satistik (independent t Test) didapatkan bahwa

terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik jumlah perdarahan intra operasi

terhadap penderita yang mengalami syok pre operasi dan tanpa syok pre operasi

setelah mendapat injeksi asam traneksamat intravena dimana p=0.008 (p<0.05).

4.2.2 Gambaran Jumlah Perdarahan Paska operasi

Analisis sejumlah 48 subjek penelitian ini terhadap jumlah perdarahan

paska operasi diperoleh jumlah drain terendah 75 cc dan tertinggi 325 cc.

Berdasarkan sebaran jumlah drain tampak terdistribusi normal, terlihat pada grafik

2.

Grafik 2. Sebaran Jumlah Perdarahan drain paska operasi


29

Variabel yang yang diamati dalam penelitian ini adalah jumlah drainase

diukur setelah dilakukan operasi sampai produksi tidak ada lagi dengan selang

waktu pengukuran satu hari. Hasil pengukuran jumlah drain pada kedua

kelompok perlakuan disajikan pada tabel berikut,

Tabel 4. Rata-rata jumlah perdarahan paska operasi untuk Kedua

Kelompok Penderita

Rata-rata SD
Jumlah Drain n Tanpa Syok Pre p value
(Hari) Syok Pre Operasi
Operasi
Hari ke 1 48 88,54 16,17 102,08 52,25 0,231
Hari ke 2 48 25,83 8,80 24,58 13,18 0,701
Hari ke 3 48 10,83 5,25 9,38 3,99 0,284
Total Drain 48 124,38 17,96 136,04 54,13 0,322

Berdasarkan hasil perhitungan nilai rata-rata jumlah perdarahan paska

operasi dari kelompok subjek yang diberikan yang mengalami syok pre operasi

dan tanpa syok pre operasi terlihat perbedaan jumlah darah yang didapat pada

drain.

Setelah dilakukan ujis satistik (independent t Test) didapatkan bahwa tidak

terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik jumlah perdarahan paska

operasi terhadap penderita yang mengalami syok pre operasi dan tanpa syok pre

operasi setelah mendapat injeksi asam traneksamat intravena baik pada hari ke 1,

hari ke 2, hari ke 3 dan total drain (p>0.05).


30

BAB V

PEMBAHASAN

Dari hasil penelitian ini didapatkan jumlah perdarahan yang bervariasai

pada perdarahan intra operasi pada dua kelompok perlakuan, diperoleh jumlah

perdaranan intra operasi terendah 350 cc dan tertinggi 1000 cc. Pada pengamatan

semama selang drain terpasang terdapat jumlah yang bervariasi terhadap jumlah
31

drain pada kedua kelompok perlakuan, dengan total drain terendah 75 cc dan

tertinggi 325 cc.

Perdarahan intra operasi pada ORIF pada kedua kelompok perlakuan

dimana penderita dengan riwayat syok pre operasi ORIF mempunyai jumlah

perdarahan yang lebih banyak dibandingkan dengan tidak ada riwayat syok pre

operasi. Pada perhitungan statistika terhadap perbedaan bermakna pemberian

asam traneksamat pre operasi dalam mengurangi jumlah perdarahan intra operasi

dengan nilai P =0,008 (P<0,05).

Perdarahan paska operasi ORIF pada kedua kelompok perlakuan dimana

jumlah perdarahan pada drain hampir sama banyak pada kedua kelompok

perlakuan, setelah diamati selama drain masih terpasang sampai drain dicabut.

Rata rata total perdarahan paska operasi 124,38 17,96 cc pada penderita dengan

riwayat syok, dan 136,04 54,13 cc pada penderita tanpa riwayat syok

sebelumnya. Uji statistik yang dilakukan pada kedua kelompok tersebut

didapatkan tidak ada hubungan yang bermakna pada kedua kalompok perlakuan.

Kedua hal tersebut diatas bertentangan dengan penelitian sebelumnya

dimana, penggunaan asam traneksamat dengan dosis 10 mg/kgBB diberikan

sebelum operasi secara bolus secara signifikan menurunkan jumlah perdarahan

pasca operasi pada penderita yang menjalani operasi atroplasty sendi lutut,

namun pada penelitian tersebut disebutkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna

dalam jumlah perdaranan intra operatif diantara pasien yang diberikan asam

traneksamat dengan kelompok plasebo.25

Penelitian lain memberikan hasil bahwa pemberian asam traneksamat

secara bolus tunggal dapat menurunkan jumlah perdarahan perioperatif pada


32

operasi fraktur pada pinggul dan koreksi skoliosis.25 Dikatakan pula bahwa bila

obat ini diberikan ditengah-tengah atau akhir pembedahan, maka tidak ada efek

samping serius dari pemberian asam traneksamat ini.22,25

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil perhitungan dan pengujian pada Bab IV diperoleh

kesimpulan pemberian asam traneksamat intra vena pada kelompok penderita

dengan riwayat gangguan hemodinamik (syok) berguna dalam menurunkan


33

perdarahan intra operatif, tetapi tidak bermakna untuk menurunkan perdarahan

paska operasi pada kedua kelompok perlakuan.

6.2. Saran

Penelitian ini sebaiknya dikembangkan lebih lanjut untuk pengendalian

perdarahan perioperatif secara farmakologi pada penderita yang dilakukan ORIF

yang bertujuan untuk menurunkan angka morbiditas, mempersingkat dan

mengurangi biaya perawatan serta menjadi prosedur tetap dalam penatalaksanaan

luka di Subdivisi Orthopaedi dan Traumatologi Departemen Bedah Rumah Sakit

Dr. Moehammad Hoesin Palembang dan di rumah sakit-rumah sakit daerah

lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Nieves JW, Bielezikian JP, Lane JM, Einhorn TA, Wang Y, Steinbuch TM, et
al. Fragility fractures of the hip and femur: incidence and patient
characteristics. Osteoporosis Int. [update 2009]. Tersedia dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19844169
2. Solomon L, Warwick DJ, Nayagam S, editor. Apleys system of
orthopaedics and fractures, 9th ed. London: Arnold;2001
3. Nork SE. Fractures of the shaft of the femur. Dalam: Bulcholz RW,
Heckman JD, CVourt-Brown C, editor. Rockwood and greens fracture in
adults. Philadelphia: Lippincott; 2006. P. 1845-60
34

4. Anonim. Jadwal operasi bedah sentral 2016. Instalasi Bedah Sentral RSMH.
2016
5. Keating M. Current options and approaches for blood management in
orthopaedic surgery. J Bone Joint Surg. Am. May 1998;80:750-62
6. Schwartz D, Kaplan KL, Schwartz SI. Hemostasis, surgical bleeding, and
transfusion. Dalam: Brucinardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL,
Hunter JG, Pollock RE, editor. Schwartzs principles of surgery. New York:
McGraw-Hill; 2005.p.80
7. Rajiv Gandhi, Heather MK Evans, Safiyyah R Mahomed, and Nizar N
Mahomed. Tranexamic acid and the reduction of blood loss in total knee and
hip arthroplasty: a meta-analysis. BMC Research Notes. 2013, 6:184.
Tersedia dari : http://www.biomedcentral.com/1756-0500/6/184
8. Keerati Charoencholvanich, Pichet Siriwattanasakul. Tranexamic acid
reduces blood loss and blood transfusion after TKA. Clin Orthop Relat Res
(2011) 469:2874-2880.
9. LieuranceR, Benjamin JB, Rappaport WD. Blood loss and transfusion in
patient with isolated femur fractures. J Orthop Trauma. 1992;6
10. Teller DC. Coagulation cascade. Structure 5(1):125-138. 1997. Tersedia dari
: http://www.bmsc.washington.edu/people.teller
11. Madden R. Perioperative assasment and care. Dalam: McCredie J, Burns G,
Donner C, editor. Basic surgery. Toronto: Macmilan. 1990.
12. Steward DJ. Assasment of blood loss. Dalam: Manual of pediatric
anesthesia edisi ke-3. New York: Churchill livingstone. 1990
13. Arasch Wafaisade, et al. Prehospital administration of tranexamic acid in
trauma patients. Critical Care (2016) 20:143
14. Jennings, et al. Application of tranexamic acid in trauma and orthopedic
surgery. Orthop Clin N Am 47 (2016)137-143
15. Jeff Simmons, et al. Tranexamic acid: from trauma to routine perioperative
use. Curr opin anaesthesiol. 2015 April; 28 (2):191-200
16. Mark J. Midwinter, Tom Woolley. Resuscitation and coagulation in the
severely injured trauma patient. Phil. Trans. R. Soc. B (2011) 366, 192-203.
17. Mitchell Jay Cohen. Towards hemostatic resuscitation; the changing
understanding of acute traumatic biology, massive bleeding, and damage-
control resuscitation. Surg. Clin. N. Am (2012) 877-891
35

18. Karthikeyan E. Ponnusamy, Thomas J. Kim, et al. Perioperative blood


transfusions in orthopaedic surgery. J. Bone Joint Surg Am. 2014;96:1836-
44.
19. Sylvain Ausset, Elon Glassberg, Roy Nadler. Tranexamic acid as part of
remote damage-control resuscitation in the prehospital setting: a critical
appraisal of the medical literature and available alternatives. J Trauma Acute
Care Surg Volume 78, Number 6, Supplement 1. 2015
20. Bhavani S. Vijay, Vikram Bedi, Subhro Mitra, Bikramjit Das. Role of
tranexamic acid in reducing postoperative blood loss and transfusion
requirement in undergoing hip and femoral sugeries. Saudi Journal of
Anaesthesia Vol. 7, 2013.
21. Veena Chatrat, et al. Fluid management in patients with trauma: restrictive
versus liberal approach. J Anaesthesiol Clin Pharmacol. 2015 31(3):308-316
22. Henley MB, Fractures of the femoral shaft and subtrchanteric region.
Dalam:Brinker MR, editor. Review of orthopaedic trauma. Philadelphia;
Saunders; 2001
23. Hoffbrandt AV, Pettit JE, Essensialhaematology. London: Blackwell. 1996
24. Griffin JD, Ellman L. Epsilon-aminocaproic acid. SeminThrombHemost.
1978 Summer; 5(1):27-40
25. Benon G, Fredin H, Fibrynolytic inhibition with tranexamic acid reduces
blood loss and blood transfusion after knee arthroplasty. J Bone Joint Surg
[Br]1996:78-B434-40
26. Humbleton J, Oreilly AO, Obat-obat yang digunakanpadagangguan-
gangguanpembekuandarah. Dalam: Katzung BG, editor.
Farmakologidasardanklinik. Jakarta: SalembaMedika; 2002. h.329
27. Erstad BL. Systemic hemostasis medications for reducing surgical blood
loss. Ann pharmacother 35:925.35.2001
28. Amar D, Grant FM, Zhang H, Bolang PJ, Leung DH, Healey JA.
Antifibrinolytic therapy and perioperative blood loss in cancer patients
undergoing major orthopaedic surgery. Anesthesiology 98:337-42. 2003
29. Hiippala S, Strid L, Wennerstrad M, Arvela V, Mantyla S, Ylinen J, et al.
Tranexamic acid (cyklokapron) reduces perioperative blood loss associated
with total knee arthoplasty. R J Anaesth. 1995; 74:534-7
30. Dunn CJ, Goa KL. Tranexamic acid: a reviewof its use in surgeryand other
indication. Drugs 57(6):1005-32.1999
36

31. Gomella L, Clinical Hematology, dalam: Gomella L, Haist S(ed) Clinicians


pocket reference. New York: Mc-Graw-Hill. 2004
32. Thiagarajamurthy S, Levine S, Dunning J. Does prophylactic tranecxamic
acid safely reduce bleeding without increasing thrombotic complications in
patients undergoing cardiac surgery? Interactive cardiovascular and thoracic
surgery 3:489-94.2004
33. Katherine K, Edwards P, Pablo P et all. Effect of tranexamic acid on surgical
review and cumulative meta-analisis. BMJ e3054. 1-13. 2012
34. Akassoglou K, Kombrinck KW, Degen JL, Strickland S. Tissue
plasminogen activator-mediated fibrinolysis protect against axonal
degeneration and deyelination after sciatic nerve injury. J Cell Biol 149,
1157-66. 2000
35. Casati V, Belloti F, Gerli C, Franco A, Oppizzi M, Cossolini M, et al.
tranexamic acid administration after cardiac surgery: a prospective,
randomized, double blind, placebo controlled study. Anesthesiology
85(5):1043-8.1996
36. Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-dasarmetodologipenelitianklinis.
Jakarta:BinarupaAksara; 1995.
37. Kluft C, Verheijen JH, Jei AF. The postoperative fibrinolytic shut-dows: a
rapidly reverting acute phase pattern for the fast-acting inhibitor of tissue-
type plasminogen activator after trauma. Scand J Clin Lab Invest
1985;45:605-10
38. Advanced Trauma Life Support Edisi Bahasa Indonesia. Edisi ke-9.
American College of Surgeons Committee on Trauma. Diterjemahkan dan
dicetak oleh Komisi Trauma IKABI. 2012.

39. http://erabaru.net/2015/08/19/who-mengeluarkan-kriteria-baru-kelompok-
usia/

Anda mungkin juga menyukai