Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

Profil Pasien Striktur Uretra yang Dirawat di


RSSA periode januari 2013-agustus 2016

Disusun oleh:
1. Ricky Randana (105070107111034)
2. Bagoes Tjahjono (115070107121004)
3. Kay Khine Lwin (125070108111001)
4. Alfian Dwi Sukma (150070200011169)

Pembimbing :
1. dr. Paksi Satyagraha, M.Kes, SpU
2. dr. Aldilla Wahyu Ramadahian

LABORATORIUM ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
TAHUN 2016
LEMBAR PERSETUJUAN

Profil Pasien Striktur Uretra yang Dirawat di RSSA


periode januari 2013-agustus 2016
Disusun Oleh :
1. Ricky Randana (105070107111034)
2. Bagoes Tjahjono (115070107121004)
3. Kay Khine Lwin (125070108111001)
4. Alfian Dwi Sukma (150070200011169)
Disetujui Untuk dibacakan pada :
Hari : Rabu
Tanggal : 5 Oktober 2016

Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II

(dr. Paksi Satyagraha, M.Kes, SpU) (dr. Aldilla Wahyu Ramadhian)


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Uretra merupakan saluran yang urin dari vesika urinaria ke meatus uretra,untuk
dikeluarkan ke luar tubuh. Uretra pada pria memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai
saluran urin & saluran untuk semen dari organ reproduksi. Panjang uretra pria kira-kira 23
cm & melengkung dari kandung kemih ke luar tubuh, melewati prostate dan penis.
Sedangkan uretra pada wanita lurus & pendek, berjalan secaralangsung dari leher kandung
kemih ke luar tubuh. Urethra dibagi menjadi 2 bagian, yaitu anterior dan posterior. Urethra
anterior dibagi lagi menjadi meatus urethra, pendulans urethra dan bulbus urethra. Urethra
anterior ini berupa tabung yang lurus, terletak bebas di luar tubuh, sehingga kalau
memerlukan operasi atau reparasi relatif mudah. Urethra posterior dibagi menjadi prostat
urethra dan membranancea urethra. Urethra posterior terletak di posterior tulang pubis di
anterior rektum, terdapat spinkter internus dan eksternus sehingga kalau memerlukan operasi
atau reparasi sulit. (Purnomo BB, 2003).

Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra akibat adanya jaringan perut dan
kontraksi. (C. Smeltzer, Suzanne, 2002). Striktur uretra lebih sering terjadi pada pria
daripada wanita terutama karena perbedaan panjangnya uretra. Etiologi Penyempitan lumen
urethra disebabkan oleh dinding urethra mengalami fibrosis dan pada tingkat yang parah
terjadi fibrosis korpus spongiosium (C. Long , Barbara, 1996).

Salah satu penyebab striktur uretra adalah pemasangan kateter dalam waktu yang
cukup lama. Pola penyakit striktur uretra yang ditemukan di Rumah Sakit Hasan Sadikin
Bandung menyebutkan sebagian besar pasien (82%) masuk dengan retensi urin. Penyebab
utama terjadinya striktur adalah manipulasi uretra (44%) dan trauma (33% ). (Sugandi, 2003).
Studi yang dilakukan di India menyebutkan penyebab dari striktur uretra meliputi trauma
pelvis (54%), post-kateterisasi (21,1%), infeksi (15,2%), dan post-instrument (5,6%). Study
ini menunjukkan kesimpulan bahwa etiologi diatas menentukan prognosis dari
penatalaksanaan striktur uretra. (Mathur et al, 2011) Studi yang dilakukan oleh Lumen et al
(2009) juga mengatakan sebanyak 45,5% striktur uretra disebabkan iatrogenik yang
didalamnya termasuk reseksi transuretral, kateterisasi uretra, cystoscopy, prostatectomy,
brachytherapy, dan pembedahan hypospadias.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI URETRA
Uretra adalah saluran yang dimulai dari orifisium uretra interna dibagian buli-buli
sampai orifisium uretra eksterna glands penis, dengan panjang yang bervariasi. Uretra
pria dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian anterior dan bagian posterior. Uretra
posterior dibagi menjadi uretra pars prostatika dan uretra pars membranasea. Uretra
anterior dibagi menjadi fossa naviculare, meatus uretra, pars pendularis dan pars bulbosa.
(Purnomo B, 2011).
Gambar 1 . anatomi uretra laki-laki (Ivyrose)
Secara anatomis uretra pria dibagi menjadi dua bagian yaitu uretra posterior dan uretra
anterior. Uretra pria dibagi atas :
1. Uretra Posterior, dibagi menjadi:
a. Urethra membranasea: memanjang dari proksimal bulbar urethra
sampai ke distal verumontanum, urethra bagian ini di kelilingi oleh
voluntary sphincter externa, yaitu otot polos sphinter ekterna dan
rhabdospincter. Urethra bagian ini tidak melekat pada struktur yang
menetap, dan memiliki sel epitel transisional.
b. Urethra prostatika: memanjang dari ujung proksimal urethra
membranasea atau proksimal dari verumontanum sampai ke distal dari
bladder neck. Urethra bagian ini dikelilingi oleh prostat. Urethra
prostatika memiliki epitel transisional yang berkelanjutan sampai
tigone dan bladder.
c. Bladder neck: dikelilingi oleh otot detrusor dan intravesikal yang
memanjang dari prostat.

2. Uretra Anterior, dibagi menjadi:


a. Meatus urethra: merupakan celah yang terbuka yang terletak pada ujung glan penis dengan
sedikit kea rah ventral. Meatus dikatakan sebagai urethra diujung distal dari penis.

b. Fossa navicularis: bagian distal dari urethra penis yang terletak pada gland penis sebelah
proksimal dari meatus. Fossa navicularis memiliki epitel squamous berlapis.

c. Pars Penile: Penile uretha memanjang dari meatus sampai ke ujung distal dari otot
bulbocavernosus. Urethra penile ini dikelilingi oleh corpus spongiosum sehingga ukuran
lumennya tetap terjaga. Pars penile dilapisi oleh epitel squamous simple.
d. Bulbar urethra: memanjang dari proksimal dari urethra penile sampa distal dari membrane
urethra. Bulbar urethra dikelilingi oleh bulbospongiosum dari corpus spongiosum dan di
liputi oleh bagian tengah dari otot ischiobulbokavernosus. Lumen urethra pada bagian bulbar
menjadi lebih besar dan terletak lebih ke dorsal dari corpus spongiosum. Urethra pada bagian
ini dilapisi oleh epitel squamous dan secara bertahap berubah ke epithel transisional pada
urethra membranous

STRIKTUR URETRA
1. DEFINISI

Striktur uretra merupakan penyempitan lumen uretra berlangsung kronis yang


disebabkan oleh kondisi inflamasi, trauma kaut dan intervensi iatrogenic termasuk
instrumentasi pada uretra. (AUA, 2013) Striktur uretra lebih sering terjadi pada pria
daripada wanita terutama karena perbedaan panjang uretranya (C. Smeltzer, Suzanne;
2002 hal 1468).

2. KLASIFIKASI

Klasifikasi menurut Sava perovic tahun 2013, striktur urethra anterior di bagi menjadi
2 yaitu striktur urethra yang terjadi pada penile dan bulbar.

Penile Simple
Komplek
Striktur urethra anterior

Bulbar Traumatik
Non- traumatic

1. Striktur urethra penile simple


a. Penis dan genitalia normal
b. Urethra plate dapat diaplikasikan
c. Tidak ada sklerosus lichen
d. Tidak ada kegagaglan perbaikan hipospadia
e. Tidak ada kegagalan urethrplasty sebelumnya
2. Striktur urethra penile complek
a. Terdapan genital sclerosus lichen
b. Kegagalan dalam perbaikan hipospadia
c. Kegagalan urethroplasty sebelumnya
d. Urethral plate tidak dapat diaplikasikan
3. striktur urethra bulbar traumatic
a. Striktur obliterative
b. Urethra plate tidak dapat diaplikasikan
c. Jaringan scar
d. Fibrous gap yang pendek maupun panjang

3. Striktur urethra bulbar non-traumatic


a. Etiology: idiophatic, kateter, instrumentasi, infeksi
b. Urethra plate dapat diaplikasikan (3 fr. sensore guidewire)
c. Tidak ada fibrous gap

3. ETIOLOGI

Etiologi striktur urethra secara umum dapat di klasifikasikan menjadi 2 kelompok


besar, yaitu trauma dan non trauma. Trauma yang dapat menyebabkan strikture uretra
paling banyak terjadi akibat dari manipulasi uretra (Koreksi hypospadias,
Prostatectomi, Brachytherapy, Intervensi Transuretral). Trauma yang tersering pada
bagian anterior misalkan pada straddle injury, terkena benda keras pada daerah
perineal yang menyebabkan trauma uretra pars bulbaris. Trauma pelvis dapat
menyebabkan cedera pada uretra posterior Pemasangan kateter dapat menimbulkan
striktur pada pemilihan ukuran kateter tidak sesuai dengan diameter lumen uretra.
Infeksi juga dapat menyebabkan terjadinya striktur, biasanya terjadi pada Gonnorhea
yang tidak tertangani dengan baik. Diverticula kongenital juga bisa menyebabkan
striktur walaupun kejadiannya sangat jarang (Stefan et al, 2006).
Meta analisis terbaru dari penyebab 732 kasus striktur menunjukan bahwa
idiopathic dan iatrogenic menjadi penyebab paling sering masing-masing sekitar 33%.
Penyebab inflamasi dan trauma hanya didapatkan pada 15% dan 19% pada semua
kasus. Pada studi lain, 268 kasus uretra stiktur di Belgia, menunjukan bahwa
penyebab paling dominan pada laki-laki berusia kurang dari 45 tahun adalah
idiophatic. Sedangkan penyebab tersering pada laki-laki berusia lebih dari 45 tahun
adalah iatrogenic ( khususnya ketika pasien memiliki sejarah dilakukannya TURP).
Penyebab striktur urethra anterior juga dapat di bagi menjadi lokasi. Pada penelitian
Fenton et al, 194 kasus striktur didapatkan bahwa, penyebab tersering stiktur urethra
anterior pars navicular dan penile disebabkan oleh kasus inflamasi (27%)
dibandingkan di striktur pada pars bulbar yang sering disebabkan oleh iatrogenic
(52%).
a. Trauma
Luka pada uretra anterior sering disebabkan karena trauma tumpul atau
tajam. Trauma tumpul urethra dapat disebabkan karena straddle atau
deselerasi, yang berhubungan dengan urethra pars bulbar yang terkompresi
oleh tulang pubis. Trauma semacam ini jarang dibarengi oleh fraktur pelvis
( tidak seperti gangguan pada urethra posterior) dan dapat menimbulkan
striktur setelah kejadian trauma. Trauma pada urethra dapat juga akibat dari
terjadinya fraktur penis, frekuensi trauma urethra pada kejadian fraktur penis
sebesar 3-20%. Mekasnisme terjadinya trauma urethra pada fraktur penis
adalah saat adanya gaya buckling secara langsung pada penis yang ereksi,
menimbulkan robeknya tunika albugenia dari corpus cavernosum, jika
robekannya sampai ke corpus spongiosum, maka trauma urethra dapat terjadi.
Karena hubungan antara fraktur penis dengan trauma urethra maka retrograde
urethrografi harus dilakukan. Trauma penetrasi dari urethra anterior seringkali
disebabkan oleh luka tembakan.
Sama dengan trauma urethra anterior yang dapat menimbulkan striktur,
stiktur urethra posterior juga dapat di hubungkan secara signifikan dengan
mekanisme trauma. Trauma pada urethra posterior sering berhubungan dengan
fraktur pelvis. Fraktur pada pelvis dapat menyebabkan terpotongnya urethra
pada pars bubomembranous junction. Insidensi trauma urethra posterior
dengan fraktur pelvis sebesar 3-25%. Timbul striktur traumatic dalam waktu 1
bulan. Striktur akibat trauma lebih progresif dari pada striktur akibat infeksi.
Pada rupture ini ditemukan adanya hematuria gross.
b. Iatrogenic: instrument urethra
Striktur urethra dapat disebabkan oleh berbagai macam prosedur trans
urethra. Cystoscopy dan urethral dilatasi sering menimbulkan striktur pada
distal anterior urethra. Pasien post TURP yang mengalami striktur urethra
sebanyak 1,9-9%.
Pada penelitian Jorgensen et al, terdapat hubungan antara pre operative
indwelling kateter dan pembentukan striktur post operative, dimungkinkan
karena trauma mekanik menjadi inflamasi akut pada urethra. Penggunaan
jangka panjang dari kateter indwelling berkaitan erat dengan perkembangan
striktur urethra. Mekasinsme terjadinya karena ada tekanan dari kateter yang
menimbulkan nekrosis dari sel epitel yang rapuh, selain itu juga karena
inflamasi yang kronis akibat infeksi yang ditimbulkan oleh kateter. Pergantian
jenis kateter dapat mengurangi angka kejadian striktur pada urethra, seperti
pergantian dari latek menjadi berbahan silicon, kateter yang hidropobhic. Pada
penelitian Wyndaele dan Maes, terhadap 75 pasien yang di follow up selama 7
tahun, ditemukan bahwa striktur urethra terjadi setelah 5 tahun dari
pemasangan kateter yang intermiten.
c. Inflamasi
Lichen sclerosus (LS) adalah sclerosis yang bersifat progresif yang
dapat menyerang kulit, glan, meatus atau urethra anterior penis. LS merupakan
penyebab inflamasi paling sering yang menyebabkan glanular striktur urethra.
LS sering di temukan saat proses sirkumsisi untuk kasus fimosis pada neonatal
dan setelah perbaikan hipospadia. Secara histologi, pada LS terjadi
hyperkeratosis dari lapisan epidermis dengan proses kolegenasi pada
dermisnya. Lichen sclerosus menyebabkan obstruksi yang melibatkan meatus
dan fossa navikulare yang menimbulkan gejala voiding. Adanya obstruksi
menimbulkan tekanan yang tinggi saat miksi sehingga akan menimbulkan
kerusakan pada urethra. Angka kejadian wanita dengan pria 10:1.
Sindrom reiters merupakan penyebab striktur urethra akibat inflamasi
yang lebih jarang di bandingkan dengan LS. Sindrom ini meupakan bentuk
dari reaktif arthritis setelah infeksi usus maupun genital, biasa terjadi pada
pasien yang memiliki histocompatibility antigen HLA-B27. Penyebab reiter
sindrom pada infeksi urogenital adalah bakteri Chlamydia trachomatis dan
dapat juga Ureaplasma urealyticum. Trias klasis seperti urethritis, arthritis dan
konjungtivitis dapat timbul dengan derajat yang berbeda. Meskipun
keterlibatan urethra terkadang ringan dan sembuh dengan sendirinya, namun
pada beberapa kasus terjadi inflamasi mukosa yang parah dan terjadi nekrosis,
yang mengarah pada terjadinya stiktur pada urethra.
Vitiligo dapat menyebabkan striktur pada meatus. Secara histologi,
vitiligo merujuk pada tidak adanya melanosit. Dengan teori terjadinya
autoimun atau factor neurohumoral yang menyebabkan kerusakan melanosit.
Jarang terjadi keterlibatan urethra pada kasus vitiligo, namun proses inflamasi
yang local pada gland dapat menyebabkan meatal stiktur.
Urethritis pars bulbar merupakan permasalahn urologi yang umum di
alami pada remaja laki-laki dan sebelum pubertas, yang berhubungan dengan
dysuria, meatal blood spotting, dan hematuria . keadaan ini disebut idiophati
urethrrhagia. Pada kasus yang parah, penyakit ini dapat menyebabkan striktur
urethra pars bulbar. Terbentuknya striktur pada kasus ini merupakan hasil dari
inflamasi maupun respon imun.

d. Post infeksi
Infeksi bakteri Neisseria gonorrhoeae yang menyebabkan urethritis
gonococcal merupan penyebab utama dari striktur urethra anterior. Bakteri ini
memiliki pili yang dapat melekat pada mukosa urethra, sehingga bakteri tidak
akan hilang dengan adanya aliran urin. Gonococus kemudian masuk kedalam
sel epitel urethra dan membelah diri dalam vakuola. Hal ini menimbulkan
reaksi inflamasi yang cepat. Infiltrat inlfamasi pada submucosa ini
menimbulkan spongiofibrosis dan striktur, khususnya pada infeksi yang
berulang, berkepanjangan dan tidak di terapi. Dengan adanya antibiotik
menimbulkan penurunan yang progresif pada angka kejadian striktur urethra
pada negara maju, namun masih menjadi penyebab utama striktur pada negara-
negara berkembang. Pada penelitian ahmed dan kalayi pada 556 pria,
ditemukan 66,5% strikturnya diakibatkan oleh post infeksi.

e. Kongenital
Striktur urethra akibat dari kelainan kongenital, jumlahnya sedikit.
Diagnosis ini ditegakkan bila pasien pediatric tidak ada riwayat inflamasi,
trauma, infeksi, dan manipulasi urethra. 2 anak dari 36 kasus striktur urethra
merupakan akibat dari kelainan konginetal.

4. PATOGENESIS

Struktur uretra terdiri dari lapisan mukosa dan lapisan submukosa. Lapisan
mukosa pada uretra merupakan lanjutan dari mukosa buli-buli, ureter dan ginjal.
Mukosanya terdiri dari epitel kolumnar, kecuali pada daerah dekat orifisium eksterna
epitelnya skuamosa dan berlapis. Submukosanya terdiri dari lapisan erektil vaskular.
(Gousso et al, 2003). Striktur terjadi akibat adanya kerusakan epitel yang ada pada
uretra sehingga terbentuk jaringan fibrosis. Dari sisi patologis mengatakan bahwa,
adanya perubahan dari epitel awal kolumner pseudostratified diganti menjadi epitel
squamous metaplasia. Epitel Metaplasia membentuk satu robekan kecil akibat dari
ekstravasasi. Ekstravasasi disebabkan adanya reaksi fibrosis dari spongisosum, dapat
bersifat asimptomatis namun dapat berlanjut pada penyempitan lumen uretra yang
berujung pada pembentukan spongiofibrosis. Spongiofibrosis yang tidak tertangani
akan terus membesar menjadi extra-spongiofibrosis sehingga menyembabkan gejala
pengisian obtstruktif (obstructive voiding symptoms). (Lindsey et al, 2014)

Gambar . Pathogenesis striktur (Wein, 2007)

5. Gejala Klinis

Gejala dan tanda awal striktur biasanya mulai dengan hambatan arus kemih
dan kemudian timbul sebagai sindrom lengkap obstruksi leher kandung kemih. Gejala
klinis yang sering ditimbulkan oleh striktur antara lain disuria, kesulitan berkemih,
pancaran kemih yang kecil, lemah kadang terasa seret sering disertai mengejan saat
berkemih, frekuensi kemih yang abnormal, rasa tidak nyaman, hematuria, nyeri
pelvis atau bagian bawah perut, pengosongan kantung kemih yang tidak puas. (Jong
et al, 2004)

6. Diagnosis

Diagnosis striktur uretra dapat kita tegakkan dengan cara anamnesis,


pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Gejala penyakit ini mirip seperti
gejala penyebab retensi urine tipe obstruktif lainnya. Diawali dengan sulit kencing
atau pasien harus mengejan untuk memulai kencing namun urine hanya keluar sedikit-
sedikit. Gejala tersebut harus dibedakan dengan inkontinensia overflow, yaitu
keluarnya urine secara menetes, tanpa disadari, atau tidak mampu ditahan pasien.
Gejala-gejala lain yang harus ditanyakan ke pasien adalah adanya disuria, frekuensi
kencing meningkat, hematuria, dan perasaan sangat ingin kencing yang terasa sakit.
Jika curiga penyebabnya adalah infeksi, perlu ditanyakan adanya tanda-tanda radang
seperti demam atau keluar nanah. (Kotb, 2010) Pemeriksaan fisik dilakukan lewat
inspeksi dan palpasi. Pada inspeksi kita perhatikan meatus uretra eksterna, adanya
pembengkakan atau fistel di sekitar penis, skrotum, perineum, dan suprapubik.
Kemudian kita palpasi apakah teraba jaringan parut sepanjang uretra anterior pada ventral
penis, jika ada fistel kita pijat muaranya untuk mengeluarkan nanah di dalamnya.
Pemeriksaan colok dubur berguna untuk menyingkir diagnosis lain seperti pembesaran
prostat. (Purnomo, 2011)
Pemeriksaan penunjang yang berguna untuk konfirmasi diagnosis dan
menyingkirkan diagnosis banding adalah uroflowmetri. Uroflowmetri adalah alat untuk
mengetahui pancaran urine secara obyektif. Derasnya pancaran diukur dengan membagi
volume urine saat kencing dibagi dengan lama proses kencing. Kecepatan pancaran
normal adalah 20 ml/detik. Jika kecepatan pancaran kurang dari 10 ml/detik menandakan
adanya obstruksi yang merupakan salah satu tanda-tanda adanya striktur. (Peterson, 2004)
Pemeriksaan foto Retrograde Uretrogram dikombinasikan dengan Voiding
Cystouretrogram tetap dijadikan standar pemeriksaan untuk menegakan diagnosis.
Radiografi ini dapat menentukan panjang dan lokasi dari striktur. Penggunaan
ultrasonografi (USG) cukup berguna dalam mengevaluasi striktur pada pars bulbosa.
Pencitraan USG dapat mengevaluasi panjang striktur, derajat luas jaringan parut, dan
mengetahui jumlah residual urine, sehingga meningkatkan keakuratan saat operasi
contohnya spongiofibrosis. Pemeriksaan yang lebih maju adalah dengan memakai
uretroskopi dan sistoskopi, yaitu penggunaan kamera fiberoptik masuk ke dalam uretra
sampai ke buli-buli. Dengan alat ini kita dapat melihat penyebab, letak, dan karakter
striktur secara langsung. (Selius, 2008) Pencitraan menggunakan magneting resonance
imaging dilakukan sebelum operasi karena dapat mengukur secara pasti panjang striktur,
derajat fibrosis, dan pembesaran prostat. (Shet, 2010)

7. Manajemen

Tujuan dari pengobatan striktur uretra adalah kesembuhan permanen, tidak hanya
sembuh sementara. Pengobatan terhadap striktur uretra tergantung pada lokasi striktur,
panjang/pendek striktur, dan kedaruratannya. Jika pasien datang dengan retensi urine
akut, secepatnya lakukan sistostomi suprapubik untuk mengeluarkan urine dari buli-buli.
Sistostomi adalah tindakan operasi dengan membuat jalan antara buli-buli dan dinding
perut anterior. Jika dijumpai abses periuretra, kita lakukan insisi untuk mengeluarkan
nanah dan berikan antibiotika.
Jika lokasi striktur di uretra pars bulbosa dimana terdapat korpus spongiosum yang
lebih tebal daripada di uretra pars pedularis, maka angka kesuksesan prosedur uretrotomi
akan lebih baik jika dikerjakan di daerah tersebut. (Purnomo, 2011) Penanganan
konvensional seperti uretrotomi atau dilatasi masih tetap dilakukan, walaupun pengobatan
ini rentan menimbulkan kekambuhan. Hasil sebuah studi mengindikasikan 80% striktur
yang ditangani dengan internal uretrostomi mengalami kekambuhan dalam 5 tahun
berikutnya. Pemasangan stent adalah alternatif bagi pasien yang sering mengalami
rekurensi striktur. Namun tidak menutup kemungkinan untuk terjadi komplikasi seperti
hiperplasia jaringan uretra sehingga menimbulkan obstruksi sekunder.(Peterson, 2004)
Beberapa pilihan terapi operatif untuk striktur uretra adalah sebagai berikut:
1. Dilatasi uretra
Ini merupakan cara yang paling lama dan paling sederhana dalam penanganan striktur
uretra. Direkomendasikan pada pasien yang tingkat keparahan striktur masih rendah atau
pasien yang kontra indikasi dengan pembedahan. Dilatasi dilakukan dengan
menggunakan balon kateter atau busi logam dimasukan hati-hati ke dalam uretra untuk
membuka daerah yang menyempit.1 Pendarahan selama proses dilatasi harus dihindari
karena itu mengindikasikan terjadinya luka pada striktur yang akhirnya menimbulkan
striktur baru yang lebih berat. Hal inilah yang membuat angka kesuksesan terapi menjadi
rendah dan sering terjadi kekambuhan.(Peterson, 2004)

2. Uretrotomi interna

Teknik bedah dengan derajat invasive minim, dimana dilakukan tindakan insisi pada
jaringan radang untuk membuka striktur. Insisi menggunakan pisau otis atau sasche. Otis
dikerjakan jika belum terjadi striktur total, sedangkan pada striktur lebih berat
pemotongan dikerjakan secara visual menggunakan kamera fiberoptik dengan pisau
sasche.1 Tujuan uretrotomi interna adalah membuat jaringan epitel uretra yang tumbuh
kembali di tempat yang sbelumnya terdapat jaringan parut. Jika tejadi proses epitelisasi
sebelum kontraksi luka menyempitkan lumen, uretrotomi interna dikatakan berhasil.
Namun jika kontraksi luka lebih dulu terjadi dari epitelisasi jaringan, maka striktur akan
muncul kembali. Angka kesuksesan jangka pendek terapi ini cukup tinggi, namun dalam
5 tahun angka kekambuhannya mencapai 80%. (Peterson, 2004) Selain timbulnya
striktur baru, komplikasi uretrotomi interna adalah pendarahan yang berkaitan dengan
ereksi, sesaat setelah prosedur dikerjakan, sepsis, inkontinensia urine, dan disfungsi

ereksi. (Santuci, 2011)

3. Pemasangan stent

Stent adalah benda kecil, elastis yang dimasukan pada daerah striktur. Stent biasanya
dipasang setelah dilatasi atau uretrotomi interna. Ada dua jenis stent yang tersedia, stent
sementara dan permanen. Stent permanen cocok untuk striktur uretra pars bulbosa dengan
minimal spongiofibrosis. Biasanya digunakan oleh orang tua, yang tidak fit menjalani
prosedur operasi. Namun stent permanen juga memiliki kontra indikasi terhadap pasien
yang sebelumnya menjalani uretroplasti substitusi dan pasien straddle injury dengan
spongiosis yang dalam. Angka rekurensi striktur bervariasi dari 40%-80% dalam satu
tahun. Komplikasi sering terjadi adalah rasa tidak nyaman di daerah perineum, diikuti
nyeri saat ereksi dan kekambuhan striktur.(Peterson, 2004)

4. Uretroplasti

Uretroplasti merupakan standar dalam penanganan striktur uretra, namun masih jarang
dikerjakan karena tidak banyak ahli medis yang menguasai teknik bedah ini. Sebuah studi
memperlihatkan bahwa uretroplasti dipertimbangkan sebagai teknik bedah dengan tingkat
invasif minimal dan lebih efisien daripada uretrotomi. (Barbagli, 2007) Uretroplasti adalah
rekonstruksi uretra terbuka berupa pemotongan jaringan fibrosis. Ada dua jenis uretroplasti
yaitu uretroplasti anastomosis dan substitusi. Uretroplasti anastomosis dilakukan dengan
eksisi bagian striktur kemudian uretra diperbaiki dengan mencangkok jaringan atau flap
dari jaringan sekitar. Teknik ini sangat tepat untuk striktur uretra pars bulbosa dengan
panjang striktur 1-2 cm. Uretroplasti substitusi adalah mencangkok jaringan striktur yang
dibedah dengan jaringan mukosa bibir, mukosa kelamin, atau preputium. Ini dilakukan
dengan graft, yaitu pemindahan organ atau jaringan ke bagian tubuh lain, dimana sangat
bergantung dari suplai darah pasien untuk dapat bertahan. Proses graft terdiri dari dua
tahap, yaitu imbibisi dan inoskulasi. Imbibisi adalah tahap absorsi nutrisi dari pembuluh
darah paien dalam 48 jam pertama. Setelah itu diikuti tahap inoskulasi dimana terjadi
vaskularisasi graft oleh pembuluh darah dan limfe. Jenis jaringan yang bisa digunakan
adalah buccal mucosal graft, full thickness skin graft, bladder epithelial graft, dan rectal
mucosal graft. Dari semua graft diatas yang paling disukai adalah buccal mucosal graft
atau jaringan mukosa bibir, karena jaringan tersebut memiliki epitel tebal elastis, resisten
terhadp infeksi, dan banyak terdapat pembuluh darah lamina propria. Tempat asal dari graft
ini juga cepat sembuh dan jarang mengalami komplikasi. 2 Angka kesuksesan sangat tinggi
mencapai 87%. Namun infeksi saluran kemih, fistula uretrokutan, dan chordee bisa terjadi
sebagai komplikasi pasca operasi.( Peterson , 2004)

5. Prosedur rekonstruksi multiple


Prosedur rekonstruksi multiple dalah suatu tindakan bedah dengan membuat saluran
uretra di perineum. Indikasi prosedur ini adalah ketidakmampuan mencapai panjang uretra,
bisa karena fibrosis hasil operasi sebelumnya atau teknik substitusi tidak bisa dikerjakan.
Ketika terjadi infeksi dan proses radang aktif sehingga teknik graft tidak bisa dikerjakan,
prosedur ini bisa menjadi pilihan operasi. Rekonstruksi multiple memang memerlukan
anestesi yang lebih banyak dan menambah lama rawat inap pasien, namun berguna bila
pasien kontra indikasi terhadap teknik lain. (Barbagli, 2004)

Gambar 2: Terapi striktur anterior penile (Sava Perovic, 2013)


Gambar 3: Terapi striktur anterior bulbar (Sava Perovic, 2013)

8. KOMPLIKASI

Komplikasi tersering adalah Disfungsi ereksi, dengan Menggundakan score IIEF


komplikasi tersering dari tindakan urethoplasty. Meta-analysis menunjukkan kejadian
resiko disfungsi ereksi terjadi pada anterior urethoplasty. Penyebab terjadinya disfungsi
ereksi pasca urethoplasti juga masih belum jelas. DIsfungsi ejakulasi , nyeri saat
ejakulasi,dan penurunan jumlah semen dilaporkan terjadi pada urethroplasty bagian
bulbar. Etiologi penyebab dari kelainan ejakulasi juga masih belum jelas. Namun, pada
beberapa pasien malah terjadi peningkatan system ejakulasi paska urethroplasty bulbar.
Selain itu, infeksi paska operasi yang berakhir pada sepsis juga dapat terjadi.
(AUA,2013)
DAFTAR PUSTAKA

America urology Association. 2013. Male Stricture urethra AUA Guideline.

Barbagli Guido, Lazerri Masimo. 2007. Surgical treatment of anterior urethral stricture
disease: brief overview. International Braz J Urol. 2007; 33. P. 461-469.

C Long, Barbara. 1996. Perawatan Medikal Bedah; jilid 3. Yayasan IAPK Pajajaran; Bandung.

Datu AR. 2003. Diktat Urogenitalia. Makassar : FKUH.


Jong, Wim De, R. Sjamsuhidajat. 2004. Striktur Uretra. Dalam: Saluran Kemih Dan Alat
Kelamin Lelaki. Jakarta.
Kotb A. Fouad. Post-traumatic posterior urethral stricture: clinical consideration . 2010.
Turkish Journal of Urology. 2010; 36. P. 182-189.

Lumen, Nicolaas, et al. Etiology of Urethral Stricture Disease in the 21st Century. The Journal of
Urology. 2009; Vol 182, Issue 3 , Pages 983-7.

Mathur, Rajkumar, et al. Comprehensive Analysis of Etiology on the Prognosis of Urethral


Strictures. International Braz J Urol. 2011;Vol 37 (3): 362-370
Palminteri, E.; Brandes, S. B.; Djordjevic, M. (2012). Urethral reconstruction in
lichen sclerosus.

Peterson Andrew, Webster George. 2004. Management of urethral stricture disease: developing
option for surgical intervention . BJU International. 2004; 94. P. 971-976.

Purnomo B. Basuki. 2011. Dasar-dasar urologi. Edisi ketiga. Jakarta: CV Sagung Seto.

R Harding, MJ; Veeratterapillay, CK; Dorkin, 2014. Intermittent self-dilatation for urethral
stricture disease in males.

Santucci Richard, Joyce Geoffrey, Wisse Matthew . 2011. Male Urethral Stricture Disease.
Urologic Disease in America. (Diakses 29 September 2016). Diunduh dari URL:
http://kidney.niddk.nih.gov/statistics/uda/male_urethral_stricture_diseasechapter16.pdf.

Sava perovic Center of urology reconstructive therapy. Repairment of stricture. 2013.

Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2), Alih bahasa oleh Agung
Waluyu. EGC; Jakarta.

Stefan Tritschler, Alexander Roosen, Claudius Fllhase. 2013. Urethral Stricture : Etiology,
Investigation and Treatments. Dtsch Arztebl Int 2013; 110(13): 2206

Sugandi, Suwandi. 2003. Pola Penyakit Striktur Uretra Dan Penanganannya Di Rumah Sakit
Hasan Sadikin Bandung. MKB 2003;Vol.35 No.2

Shet Vasant. 2010 Stricture uretra. Department of Urology. Bellary. (Diakses 15 Januari 2011).
Diunduh dari URL: http://www.kua.in/stricture_urethra.pdf

Selius Brian, Subedi Rajesh. 2008. Urinary retention in adults: diagnosis and initial
Management. American Family Physician. 2008; 77. P. 643-650.

Anda mungkin juga menyukai