Disusun oleh:
1. Ricky Randana (105070107111034)
2. Bagoes Tjahjono (115070107121004)
3. Kay Khine Lwin (125070108111001)
4. Alfian Dwi Sukma (150070200011169)
Pembimbing :
1. dr. Paksi Satyagraha, M.Kes, SpU
2. dr. Aldilla Wahyu Ramadahian
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra akibat adanya jaringan perut dan
kontraksi. (C. Smeltzer, Suzanne, 2002). Striktur uretra lebih sering terjadi pada pria
daripada wanita terutama karena perbedaan panjangnya uretra. Etiologi Penyempitan lumen
urethra disebabkan oleh dinding urethra mengalami fibrosis dan pada tingkat yang parah
terjadi fibrosis korpus spongiosium (C. Long , Barbara, 1996).
Salah satu penyebab striktur uretra adalah pemasangan kateter dalam waktu yang
cukup lama. Pola penyakit striktur uretra yang ditemukan di Rumah Sakit Hasan Sadikin
Bandung menyebutkan sebagian besar pasien (82%) masuk dengan retensi urin. Penyebab
utama terjadinya striktur adalah manipulasi uretra (44%) dan trauma (33% ). (Sugandi, 2003).
Studi yang dilakukan di India menyebutkan penyebab dari striktur uretra meliputi trauma
pelvis (54%), post-kateterisasi (21,1%), infeksi (15,2%), dan post-instrument (5,6%). Study
ini menunjukkan kesimpulan bahwa etiologi diatas menentukan prognosis dari
penatalaksanaan striktur uretra. (Mathur et al, 2011) Studi yang dilakukan oleh Lumen et al
(2009) juga mengatakan sebanyak 45,5% striktur uretra disebabkan iatrogenik yang
didalamnya termasuk reseksi transuretral, kateterisasi uretra, cystoscopy, prostatectomy,
brachytherapy, dan pembedahan hypospadias.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI URETRA
Uretra adalah saluran yang dimulai dari orifisium uretra interna dibagian buli-buli
sampai orifisium uretra eksterna glands penis, dengan panjang yang bervariasi. Uretra
pria dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian anterior dan bagian posterior. Uretra
posterior dibagi menjadi uretra pars prostatika dan uretra pars membranasea. Uretra
anterior dibagi menjadi fossa naviculare, meatus uretra, pars pendularis dan pars bulbosa.
(Purnomo B, 2011).
Gambar 1 . anatomi uretra laki-laki (Ivyrose)
Secara anatomis uretra pria dibagi menjadi dua bagian yaitu uretra posterior dan uretra
anterior. Uretra pria dibagi atas :
1. Uretra Posterior, dibagi menjadi:
a. Urethra membranasea: memanjang dari proksimal bulbar urethra
sampai ke distal verumontanum, urethra bagian ini di kelilingi oleh
voluntary sphincter externa, yaitu otot polos sphinter ekterna dan
rhabdospincter. Urethra bagian ini tidak melekat pada struktur yang
menetap, dan memiliki sel epitel transisional.
b. Urethra prostatika: memanjang dari ujung proksimal urethra
membranasea atau proksimal dari verumontanum sampai ke distal dari
bladder neck. Urethra bagian ini dikelilingi oleh prostat. Urethra
prostatika memiliki epitel transisional yang berkelanjutan sampai
tigone dan bladder.
c. Bladder neck: dikelilingi oleh otot detrusor dan intravesikal yang
memanjang dari prostat.
b. Fossa navicularis: bagian distal dari urethra penis yang terletak pada gland penis sebelah
proksimal dari meatus. Fossa navicularis memiliki epitel squamous berlapis.
c. Pars Penile: Penile uretha memanjang dari meatus sampai ke ujung distal dari otot
bulbocavernosus. Urethra penile ini dikelilingi oleh corpus spongiosum sehingga ukuran
lumennya tetap terjaga. Pars penile dilapisi oleh epitel squamous simple.
d. Bulbar urethra: memanjang dari proksimal dari urethra penile sampa distal dari membrane
urethra. Bulbar urethra dikelilingi oleh bulbospongiosum dari corpus spongiosum dan di
liputi oleh bagian tengah dari otot ischiobulbokavernosus. Lumen urethra pada bagian bulbar
menjadi lebih besar dan terletak lebih ke dorsal dari corpus spongiosum. Urethra pada bagian
ini dilapisi oleh epitel squamous dan secara bertahap berubah ke epithel transisional pada
urethra membranous
STRIKTUR URETRA
1. DEFINISI
2. KLASIFIKASI
Klasifikasi menurut Sava perovic tahun 2013, striktur urethra anterior di bagi menjadi
2 yaitu striktur urethra yang terjadi pada penile dan bulbar.
Penile Simple
Komplek
Striktur urethra anterior
Bulbar Traumatik
Non- traumatic
3. ETIOLOGI
d. Post infeksi
Infeksi bakteri Neisseria gonorrhoeae yang menyebabkan urethritis
gonococcal merupan penyebab utama dari striktur urethra anterior. Bakteri ini
memiliki pili yang dapat melekat pada mukosa urethra, sehingga bakteri tidak
akan hilang dengan adanya aliran urin. Gonococus kemudian masuk kedalam
sel epitel urethra dan membelah diri dalam vakuola. Hal ini menimbulkan
reaksi inflamasi yang cepat. Infiltrat inlfamasi pada submucosa ini
menimbulkan spongiofibrosis dan striktur, khususnya pada infeksi yang
berulang, berkepanjangan dan tidak di terapi. Dengan adanya antibiotik
menimbulkan penurunan yang progresif pada angka kejadian striktur urethra
pada negara maju, namun masih menjadi penyebab utama striktur pada negara-
negara berkembang. Pada penelitian ahmed dan kalayi pada 556 pria,
ditemukan 66,5% strikturnya diakibatkan oleh post infeksi.
e. Kongenital
Striktur urethra akibat dari kelainan kongenital, jumlahnya sedikit.
Diagnosis ini ditegakkan bila pasien pediatric tidak ada riwayat inflamasi,
trauma, infeksi, dan manipulasi urethra. 2 anak dari 36 kasus striktur urethra
merupakan akibat dari kelainan konginetal.
4. PATOGENESIS
Struktur uretra terdiri dari lapisan mukosa dan lapisan submukosa. Lapisan
mukosa pada uretra merupakan lanjutan dari mukosa buli-buli, ureter dan ginjal.
Mukosanya terdiri dari epitel kolumnar, kecuali pada daerah dekat orifisium eksterna
epitelnya skuamosa dan berlapis. Submukosanya terdiri dari lapisan erektil vaskular.
(Gousso et al, 2003). Striktur terjadi akibat adanya kerusakan epitel yang ada pada
uretra sehingga terbentuk jaringan fibrosis. Dari sisi patologis mengatakan bahwa,
adanya perubahan dari epitel awal kolumner pseudostratified diganti menjadi epitel
squamous metaplasia. Epitel Metaplasia membentuk satu robekan kecil akibat dari
ekstravasasi. Ekstravasasi disebabkan adanya reaksi fibrosis dari spongisosum, dapat
bersifat asimptomatis namun dapat berlanjut pada penyempitan lumen uretra yang
berujung pada pembentukan spongiofibrosis. Spongiofibrosis yang tidak tertangani
akan terus membesar menjadi extra-spongiofibrosis sehingga menyembabkan gejala
pengisian obtstruktif (obstructive voiding symptoms). (Lindsey et al, 2014)
5. Gejala Klinis
Gejala dan tanda awal striktur biasanya mulai dengan hambatan arus kemih
dan kemudian timbul sebagai sindrom lengkap obstruksi leher kandung kemih. Gejala
klinis yang sering ditimbulkan oleh striktur antara lain disuria, kesulitan berkemih,
pancaran kemih yang kecil, lemah kadang terasa seret sering disertai mengejan saat
berkemih, frekuensi kemih yang abnormal, rasa tidak nyaman, hematuria, nyeri
pelvis atau bagian bawah perut, pengosongan kantung kemih yang tidak puas. (Jong
et al, 2004)
6. Diagnosis
7. Manajemen
Tujuan dari pengobatan striktur uretra adalah kesembuhan permanen, tidak hanya
sembuh sementara. Pengobatan terhadap striktur uretra tergantung pada lokasi striktur,
panjang/pendek striktur, dan kedaruratannya. Jika pasien datang dengan retensi urine
akut, secepatnya lakukan sistostomi suprapubik untuk mengeluarkan urine dari buli-buli.
Sistostomi adalah tindakan operasi dengan membuat jalan antara buli-buli dan dinding
perut anterior. Jika dijumpai abses periuretra, kita lakukan insisi untuk mengeluarkan
nanah dan berikan antibiotika.
Jika lokasi striktur di uretra pars bulbosa dimana terdapat korpus spongiosum yang
lebih tebal daripada di uretra pars pedularis, maka angka kesuksesan prosedur uretrotomi
akan lebih baik jika dikerjakan di daerah tersebut. (Purnomo, 2011) Penanganan
konvensional seperti uretrotomi atau dilatasi masih tetap dilakukan, walaupun pengobatan
ini rentan menimbulkan kekambuhan. Hasil sebuah studi mengindikasikan 80% striktur
yang ditangani dengan internal uretrostomi mengalami kekambuhan dalam 5 tahun
berikutnya. Pemasangan stent adalah alternatif bagi pasien yang sering mengalami
rekurensi striktur. Namun tidak menutup kemungkinan untuk terjadi komplikasi seperti
hiperplasia jaringan uretra sehingga menimbulkan obstruksi sekunder.(Peterson, 2004)
Beberapa pilihan terapi operatif untuk striktur uretra adalah sebagai berikut:
1. Dilatasi uretra
Ini merupakan cara yang paling lama dan paling sederhana dalam penanganan striktur
uretra. Direkomendasikan pada pasien yang tingkat keparahan striktur masih rendah atau
pasien yang kontra indikasi dengan pembedahan. Dilatasi dilakukan dengan
menggunakan balon kateter atau busi logam dimasukan hati-hati ke dalam uretra untuk
membuka daerah yang menyempit.1 Pendarahan selama proses dilatasi harus dihindari
karena itu mengindikasikan terjadinya luka pada striktur yang akhirnya menimbulkan
striktur baru yang lebih berat. Hal inilah yang membuat angka kesuksesan terapi menjadi
rendah dan sering terjadi kekambuhan.(Peterson, 2004)
2. Uretrotomi interna
Teknik bedah dengan derajat invasive minim, dimana dilakukan tindakan insisi pada
jaringan radang untuk membuka striktur. Insisi menggunakan pisau otis atau sasche. Otis
dikerjakan jika belum terjadi striktur total, sedangkan pada striktur lebih berat
pemotongan dikerjakan secara visual menggunakan kamera fiberoptik dengan pisau
sasche.1 Tujuan uretrotomi interna adalah membuat jaringan epitel uretra yang tumbuh
kembali di tempat yang sbelumnya terdapat jaringan parut. Jika tejadi proses epitelisasi
sebelum kontraksi luka menyempitkan lumen, uretrotomi interna dikatakan berhasil.
Namun jika kontraksi luka lebih dulu terjadi dari epitelisasi jaringan, maka striktur akan
muncul kembali. Angka kesuksesan jangka pendek terapi ini cukup tinggi, namun dalam
5 tahun angka kekambuhannya mencapai 80%. (Peterson, 2004) Selain timbulnya
striktur baru, komplikasi uretrotomi interna adalah pendarahan yang berkaitan dengan
ereksi, sesaat setelah prosedur dikerjakan, sepsis, inkontinensia urine, dan disfungsi
3. Pemasangan stent
Stent adalah benda kecil, elastis yang dimasukan pada daerah striktur. Stent biasanya
dipasang setelah dilatasi atau uretrotomi interna. Ada dua jenis stent yang tersedia, stent
sementara dan permanen. Stent permanen cocok untuk striktur uretra pars bulbosa dengan
minimal spongiofibrosis. Biasanya digunakan oleh orang tua, yang tidak fit menjalani
prosedur operasi. Namun stent permanen juga memiliki kontra indikasi terhadap pasien
yang sebelumnya menjalani uretroplasti substitusi dan pasien straddle injury dengan
spongiosis yang dalam. Angka rekurensi striktur bervariasi dari 40%-80% dalam satu
tahun. Komplikasi sering terjadi adalah rasa tidak nyaman di daerah perineum, diikuti
nyeri saat ereksi dan kekambuhan striktur.(Peterson, 2004)
4. Uretroplasti
Uretroplasti merupakan standar dalam penanganan striktur uretra, namun masih jarang
dikerjakan karena tidak banyak ahli medis yang menguasai teknik bedah ini. Sebuah studi
memperlihatkan bahwa uretroplasti dipertimbangkan sebagai teknik bedah dengan tingkat
invasif minimal dan lebih efisien daripada uretrotomi. (Barbagli, 2007) Uretroplasti adalah
rekonstruksi uretra terbuka berupa pemotongan jaringan fibrosis. Ada dua jenis uretroplasti
yaitu uretroplasti anastomosis dan substitusi. Uretroplasti anastomosis dilakukan dengan
eksisi bagian striktur kemudian uretra diperbaiki dengan mencangkok jaringan atau flap
dari jaringan sekitar. Teknik ini sangat tepat untuk striktur uretra pars bulbosa dengan
panjang striktur 1-2 cm. Uretroplasti substitusi adalah mencangkok jaringan striktur yang
dibedah dengan jaringan mukosa bibir, mukosa kelamin, atau preputium. Ini dilakukan
dengan graft, yaitu pemindahan organ atau jaringan ke bagian tubuh lain, dimana sangat
bergantung dari suplai darah pasien untuk dapat bertahan. Proses graft terdiri dari dua
tahap, yaitu imbibisi dan inoskulasi. Imbibisi adalah tahap absorsi nutrisi dari pembuluh
darah paien dalam 48 jam pertama. Setelah itu diikuti tahap inoskulasi dimana terjadi
vaskularisasi graft oleh pembuluh darah dan limfe. Jenis jaringan yang bisa digunakan
adalah buccal mucosal graft, full thickness skin graft, bladder epithelial graft, dan rectal
mucosal graft. Dari semua graft diatas yang paling disukai adalah buccal mucosal graft
atau jaringan mukosa bibir, karena jaringan tersebut memiliki epitel tebal elastis, resisten
terhadp infeksi, dan banyak terdapat pembuluh darah lamina propria. Tempat asal dari graft
ini juga cepat sembuh dan jarang mengalami komplikasi. 2 Angka kesuksesan sangat tinggi
mencapai 87%. Namun infeksi saluran kemih, fistula uretrokutan, dan chordee bisa terjadi
sebagai komplikasi pasca operasi.( Peterson , 2004)
8. KOMPLIKASI
Barbagli Guido, Lazerri Masimo. 2007. Surgical treatment of anterior urethral stricture
disease: brief overview. International Braz J Urol. 2007; 33. P. 461-469.
C Long, Barbara. 1996. Perawatan Medikal Bedah; jilid 3. Yayasan IAPK Pajajaran; Bandung.
Lumen, Nicolaas, et al. Etiology of Urethral Stricture Disease in the 21st Century. The Journal of
Urology. 2009; Vol 182, Issue 3 , Pages 983-7.
Peterson Andrew, Webster George. 2004. Management of urethral stricture disease: developing
option for surgical intervention . BJU International. 2004; 94. P. 971-976.
Purnomo B. Basuki. 2011. Dasar-dasar urologi. Edisi ketiga. Jakarta: CV Sagung Seto.
R Harding, MJ; Veeratterapillay, CK; Dorkin, 2014. Intermittent self-dilatation for urethral
stricture disease in males.
Santucci Richard, Joyce Geoffrey, Wisse Matthew . 2011. Male Urethral Stricture Disease.
Urologic Disease in America. (Diakses 29 September 2016). Diunduh dari URL:
http://kidney.niddk.nih.gov/statistics/uda/male_urethral_stricture_diseasechapter16.pdf.
Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2), Alih bahasa oleh Agung
Waluyu. EGC; Jakarta.
Stefan Tritschler, Alexander Roosen, Claudius Fllhase. 2013. Urethral Stricture : Etiology,
Investigation and Treatments. Dtsch Arztebl Int 2013; 110(13): 2206
Sugandi, Suwandi. 2003. Pola Penyakit Striktur Uretra Dan Penanganannya Di Rumah Sakit
Hasan Sadikin Bandung. MKB 2003;Vol.35 No.2
Shet Vasant. 2010 Stricture uretra. Department of Urology. Bellary. (Diakses 15 Januari 2011).
Diunduh dari URL: http://www.kua.in/stricture_urethra.pdf
Selius Brian, Subedi Rajesh. 2008. Urinary retention in adults: diagnosis and initial
Management. American Family Physician. 2008; 77. P. 643-650.