Anda di halaman 1dari 13

Journal Reading

Minimal Invasive Laparoscopic

Disusun Oleh:
Bagoes Tjahjono 115070107121004

Pembimbing:
dr. Djudjuk R. Basuki, Sp. An KAKV

LABORATORIUM/SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI


INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DR. SAIFUL ANWAR
MALANG
2017
Pendahuluan
Istilah “Pembedahan invasif minimal” menjadi sebuah inovasi dalam satu
teknologi pembedahan yang membedakan dengan teknologi pembedahan
konvensional lainnya. Prosedur yang berbeda dari tindakan pembedahan
lainnya dapat menimbulkan spectrum komplikasi dan kontraindikasi yang
memerlukan standard manajemen anestesi yang berbeda. Hal ini , menyebabkan
bahwa perlu pembahasan komprehensif untuk buku perioperative dari sudut
panndang ahli anestesi. Tapi istilah tersebut harus diikuti dengan definisi
prosedur yang jelas. Jika terdapat prosedur yang tidak membutuhkan insisi luas
dan kerusakan jaringan yang menyeluruh seperti sirkumsisi, ekstraksi katarak
dan operasi buli-buli transurethral tidak terdapat pada buku ini. Kemudian apa
yang menjadi dasar pertanyaan bagaimana suatu tindakan disebut “Invasif
minimal” , jawabannya adalah tindakan invasive minimal tidak merujuk pada satu
derajat luasnya tingkat keinvasifan dari satu perhitungan absolut, namun,
tindakan pembedahan yang tingkat keinvasifannya lebih rendah dibanding
tindakan bedah yang konvensional yang sejenis. Dengan penjelasan tersebut
maka, istilah tersebut dipegang sebagai relevansi untuk anestesi dalam melihat
deskripsi istilah pada bab ini.
Pembedahan invasif minimal dianggap sebagai metode bedah yang
revolusioner dalam melakukan terapi pada jenis penyakit yang luas dalam yang
berkembang dalam waktu beberapa tahun terakhit yang cukup singkat, Ketika
tindakan bedah spesialistis seperti, operasi jantung, transplantsi organ, dan
memisahkan kembar siam yang cukup menyita perhatian public, dimana hanya
menimbulkan benefit bagi sebagian kecil pouplasi. Di sisi lain teknik pembedahan
secara endokskopik sering berubah manajemen dalam suatu tindakan
pembedhannya, salah satu yang paling disorot adalah pembedahan kantung
empedu. Teknik pembedahan endoskopi kian diminati tidak hanya karena secara
estetika dan keuntungan komestik, namun juga mengurangi kompilkasi
postoperative dan kondisi pemulihan pasien untuk menjalanani kehidupan sehari-
hari juga lebih cepat. Hal ini menjadikan bahwa perlu adanya adaptasi dalam hal
manajemen anestesi untuk mengeluarkan potensi dari tindakan bedah tersebut.
Kebanyakan, namun tidak semua, dari seluruh prosedur ditunjukkan
dalam insisi ukuran kecil dengan bantuan endoskopi. Hal ini, khususnya orang
britania raya lebih sering menyebutnya “Pembedahan akses minimal”. Endoskopi

2
yang digunakan adalah laparoskopi dan prosedur kolektif sering disebut dengan
pembedahan laparoskopik Walaupun, operasi ini mungkin pada retroperitoneum
dan mediastinum. Semakin banyaknya tindakan bedah invasive minimal maka
diperlukan satu manajemen anestesi yang berbeda dengan metode operasi
konvensional, yang menjadi titik berat pada bagian pendahuluan ini.
Laparoskopi sendiri bukan merupakan teknik yang baru, dimana telah
ditemukan pada abad 20, walaupun hanya sebatas untuk tujuan diagnsotik.
Urologis Georg Kelling, memeriksa rongga peritoneum anjing pada tahun 1901
dengan bantuan sistoskopi dan prosedur ini disebut sebagai “koeliskopie”. Pada
tahun 1910, Jacobeaus mendeskripsikan pemeriksaan serupa pada manusia
dimana beliau mempelajari rongga peritoneum dan thoraks. Kemudian, beliau
memperkenalkan istilah “Thorakoskopie” dan “Laparoskopie” untuk
mendeskripsikan teknik pemeriksaan tersebut. Kalk Melakukan improvisasi
dengan menggunakan dua trocar dibanding satu trokar. Pada tahun 1938, janos
Veress memperkenalkan jarum insufflasi yang diabadikan dalam nama
instrument tersebut. Pengenalan terhadap alat tersebut merupakan inovasi kerja
Karl Semm pada tahun 1960an. Ruang kerja tindakan pembedahan menjadi
lebih baik dengan pemasangan video kamera pada endoskopi dan
ditransmisikan melalui monitor televise. Hal ini menyebabkan ahli bedah dapat
berdiri di posisi normal, dan melakukan pelatihan pada asisten secara simultan.
Ginekologis Semm dan Lindermann, merupakan pioneer perkembangan
tindakan pembedahan intra-abdominal tanpa menggunakan insisi luas pada
bagian abdomen. Hal ini membuat angka tindakan dengan operasi laparoskopik
menjadi bertambah pada era 1970an. Dimana ligase laparoskopik dari indung
telur (tuba fallopi) menjadi pilihan metode kontrasepsi yang populer.
Tindakan Kolesitekstomi secara Laparoskopik, yang merupakan cikal
bakal tidakan minimal invasive, diperkenalkan oleh Phillipe Mouret pada maret
1987 di Lyon, Prancis. Dalam momen tersebut, tindakan tersebut menyebar ke
seluruh dunia, walaupun diliputi beberapa kontroversi serta resistansi terhadap
pengadaan alat pembedahan yang berkaitan. Seiring berjalannya waktu,
Pembedahan khusus seperti Urologi Ginekologi, Bedah toraks, melakukan
pengembangan sendiri dalam hal apllikasi teknik endoskopi dan Kolesistektomi
mengikuti beberapa indikasi dan tindakan bedah yang lain.

3
Satu fitur yang diakibatkan Booming Tindakan bedah Laparoskopi
menjadi adalah peningkatan rata-rata durasi dari operasi dikarenakan spectrum
dari tindakan operasi. Untuk melakukan tindakan konvensional dibutuhkan waktu
diagnostic dan sterilisasi selama 20 menit, rata-rata dalam persiapan tindakan
laparoskopi mebutuhkan waktu 60-120 menit, bahkan bisa bertambah hingga
hitungan jam. Fitur kedua ialah meningkatnya ekspansi dari populasi pasien yang
berbeda, dimana pada awalnya pembedahan laparoskopi hanya dilakukan pada
wanita muda yang sehat. Sekarang, semua grup umur dapat direpresentasikan
bahkan dari premature neonates. Metode ini tidak lagi menjadi satu restriksi
tindakan yang harus dilakukan pada Center kesehatan yang besar, namun telah
menyebar hingga center layanan kesehatan yang kecil telah mengambil
keuntungan dari teknik ini. Faktor tersebutlah yang mendorong seorang ahli
anestesi harus memahami kebutuhan yang harus dipenuhi saat tindakan operasi
laparoskopik dengan berbagai tingkat kesulitan.

Operasi Laparoskopik
Sejak diperkenalkannya laparoskopik kolesistektomi, perkembangan dari
teknik ini berlangsung cepat, hingga sekarang hampir tidak ada tindakan operasi
yang tidak dilakukan metode endoskopik. Beberapa operasi Laparoskopik
standar menjadi salah satu ajang repertoire dari klinik yang memiliki cukup
peralatan secara moderat. Hal ini menybebakan kencenderungan perpindahan
grup dimana pembedahan laparoskopik yang bisanya rutin dikerjakan di center
yang terspesialisasi, walaupun tidak perlu investigasional, Masih diperlukan
Dokter Spesialis yang Berpengalaman untuk melakukan tindakan tersebut. Dan
dtiambah pertumbuhan rincian tindakan pembedahan laparoskopik dimana
masuk dalam klinik rutin, walauppun beberapa ditinggalkan karena dianggap
tidak praktis. Pembedahan Laparoskopik yang biasa ditawarkan secara termasuk
Kolesistektomi, appendektomi, ligase indung telur, terapi kehamilan ektopik,
operasi minor urologi dan lain-lain. Operasi lainnya seperti perbaikan hernia,
enukleasi myoma uteri, kista ovarium, dan lain-lain. Juga menjadi standard dalam
pembedahan operasi laparoksopik.
Beberapa Rumah Sakit secara ektensive melakukan tindakan
pembedahan abdomen dan thoraks secara endoskopi, termasuk reseksi usus
mayor, pankreatomi, splenektomi, dan bahkan esofagotomi. Beberapa operasi

4
urologi seperti Nefrektomi, Adrenalektomi atau Prostatektomi radikal dengan
limfadenektomi retroperitoneum dilakukan secara endoskopik. Bagian pediatrik
urologi merupakan bidang lain dimana operasi endoskopik menjadi kian lazim
dikerjakan.
Namun, terdapat berbagai opini berbeda dilayangkan terkait apakah
tindakan laparoskopik pada satu keganasan menjadi kontraindikasi. Dimana
kontroversi lain termasuk apakah kehamilan menjadi kontraindikasi selama
pembedahan laparoskopik. Obesitas yang pada awalnya merupakan
kontraindikasi absolut, sekarang menjadi indikasi kuat untuk dilakukan tindakan
pembedahan. Walaupun pada penurunan berat badan telah menunjukkan
penurunan angka komplikasi seriius dalam melakukan tindakan pembedahan
laparoskopik. Tabel dibawah ini menunjukkan daftar jangkauan tindakan
pembedahan laparoskopik. Daftar tersebut belum komprehensif bahkan berakhir,
disebabkan secara konstan teknik pembedahan baru berkembang terus, dan jika
intervensi tersebut secara investigasional dapat berjalan dengan baik, maka
tindakan tersebut dapat menjadi tindakan rutine dimasa depan. Teknik baru ,
seperti abdominal wall lift atau balloon dilator membantu dalam mengatasi
problem terkait insuflasi gas dan peningkatan tekanan intraabdomen.

5
Operasi Tempat

Cholecystectomy Rumah Sakit


Umum

Reparasi hernia

Appendectomy

Ligasi Tuba

Myoma uteri

Kriptorkismus,orchidopex
y

Kehamilan ektopik

Oophorectomy dll

Colorectal Rumah Sakit


Terspesialisasi

Operasi Gaster

Splenectomy

Pembedahan Bariatric

Operasi Paru

Pembedahan arteri
koroner

Tabel 1.1 menunjukkan daftar jangkauan tindakan pembedahan laparoskopik di


berbagai fasilitas kesehatan

Aspek Teknis Pembedahan Laparoskopik


Operasi laparoskopik pada dasarnya satu tindakan yang memiliki
prosedur terstandard baik dari awal hingga pada saat akhir satu set urutan dari
kejadian tindakan pemmbedahan tersebut. Deskripsi pada fase tersebut
membantu seorang ahli anestesi untuk memahami angka kejadian komplikasi
yang letal dimana dapat terjadi pada setiap operasi Laparoskopik, dimana
kerusakan instrument pembedahan dan malfungsi peralatan menajadi kejadian
yang paling sering. Pada poin ini, akan dijabarkan detail tentang aspek-aspek
tersebut. Pada langkah awal dari satu langkah operasi, abdomen di kembangkan
dengan gas pada rongga abdomen dibawah satu tekanan tertentu untuk
menciptakan keadaan pneumoperitoneum, atau sering berhubungan

6
capnoperitoneum, dimana istilah tersbut merupakan satu keadaan yang perlu
dilakukan atensi untuk masalah yang muncul akibat dari CO2 berlebih sebagai
gas untuk melakukan tindakan insufllasi. Ahli bedah mengangkat dinding
abdomen bagian ventral dan memasukkan jarum yang spesifik melalui insisi kecil
pada navel untuk awal dari fase inflasi. Otot abdomen harus dalam keadaan
relaksasi supaya manuver tersebut berhasil. Jarum Veress, diameter 3-4 mm,
yang memiliki sisi tumpul, berisi pegas obturator yang ada melewati ujung dari
jarum. Ketika jarum masuk dan terdapat tahanan, seperti dorongan dari fasia
atau otot abdomen. Ujung Obturator di tekan balik menuju sisi ujung yang tajam.
Setelah jarum penetrasi peritoneum, ujung obturator kembali ke depan ,
menghindari jarum melukai usus dan atau rongga abdomen yang lain. Ketika
pada posisi intraperitoneal yang benar , insuflassi dimulai secara perlahan dan
pasien dimonitor secara perlahan. Laju gas ditambah hingga tekanan
intraabdomen mmenjadi sekitar 12-15mmHg. Tekanan intraabdomen dijaga tetap
konstan oleh alat insufflator supaya menjaga kondisi optimal untuk ahli bedah.
Blok Neuromuskular harus dalam keadaan cukup untuk periode ini menjaga
keadaaan rongga abdomen, dan mencegah penekanan akibat dari peregangan
otot.
Kejadian yang tidak diinginkan yang tipikal terjadi pada fase pembedahan
adalah insuflassi dari gas menuju ke aliran darah. Kejadian tersebut jarang terjadi
dan biasanya tidak memerlukan saran dari anestesis. Namun, bila gas tersebut
menuju intravascular sistemik bisa berakibat fatal dan memerlukan tindakan yang
cepat.
Ketika abdomen cukup mengembang, jarum veress dilepas dan diganti
dengan trocar dengan ukuran yang sama dengan insisi yang dilakukan.
Komplikasi dari manuver ini biasanya terjadi perlukaan pada jaringan seperti
aorta atau jaringan iliaka. Trokar yang lebih aman dengan kemampuan untuk
melewati peritoneum telah tersedia. Obturator pada trocar kemudian dilepas.dan
laparoskopi dimasukkan melalui satu selubung yang ada di trocar dan digunakan
untuk sebagai penuntun dimana lokasi dan jumlah trocar yang dimasukkan
bervariasi tergantung pada operasi. Trokar pertama yang digunakan untuk
insuflasi menjadi tercabut akibat dari gas hasil insuflassi. Anestesis biasanya
mendeteksi satu masalah apabila terdapat peningkatan dari volume tidal akhir
CO2.

7
Statistik dari mortalitas yang berkaitan dengan laparoskopi , telah tercatat
sejak 1949 hingga sekarang. Pada periode 1949 hingga 1977, ketika prosedur ini
masih digunakan sebagai prosedur alat diagnostik, angka mortalitas mencapai
0,09% dari total 265.900 laparoskopi yang dilakukan. Dari tahun 1983 sampai
tahun 1985, angka kejadian tersebut turun turun menjadi 0,024% dari hampir
250.000 operasi. Di USA pada tahun 1977-1978 angka mortalitas tercatat 0,04%
dari 750.000 sterilisasi yang terdaftar sebagai prosedur laparoskopi juga
laparotomy. Dari 16 kasus yang kematian yang terlampir, enam diantaranya
meninggal akibat komplikasi dalam masalah komplikasi anestesi. Walaupun
prosedur yang dilaporkan sangat singkat, resiko kematian sangat kecil, namun
bukan berarti tidak terhindarkan, karena subjek pasien rata-rata cukup sehat dan
pada usia muda. Jangkauan dari indikasi pembedahan laparoskopik meningkat
sehingga inklusi dari pasien usia ekstrem dan resiko tinggi dengan penyebab
patologi yang serius maka meningkatkan angka mortalitas dan morbiditas.
Realisasi dari fakta ini merupakan peringatan dari resiko pembedahan walaupun
pembedahan tersebut tergolong pembedahan invasif yang minimal. Serta
dibutuhkan peran penting anestesis dalam berkontribusi untuk meminimalkan
risiko yang terjadi. Faktor penting yang perlu diperhatikan oleh seorang ahli
anestesi dalam pembedahan secara laparoskopik yaitu perubahan secara
pathofisiologis pada fase insuflasi, diaman berisko masuknya gas pada system
intravascular dan posisi ekstrim seorang pasien.
Ada satu kelompok dimana operasi minimal invasif yang tidak dilakukan
laparoskopi dan tidak berhubungan dengan masalah insuflasi dan
pneumoperitoneum. Kelompok tersebut tidak dijelaskan secara rinci pada bab ini
dan akan dibahas pada bab yang berkaitan. Pada pembedahan toraskopik,
akses minmal kardia dan arteri coroner, laser endoskopi , dan pembedahan
endoskopi neurosurgery. Pembedahan torakoskopik sdikit berbeda dari
pembedahan laparokspik, dan manajemen secara anestesis harusnya tidak
memerlukan modifikasi adaptif yang terlalu berbeda. Paru perifer dapat dijangkau
dengan endoskopi dan operasi torakardiovaskuler, seperti lobektomi,ablasi dan
yang sejenis menjadi operasi semakin umum dilakukan dengan metode
endoskopik. Pembedahan mediastinum dapat dilakukan secara tradisional
seperti akses suprasternal, atau melalui rongga pleura melewati paru yang
kolaps. Pembedahan Kardia dan arteri coroner dapat digunakan secara

8
pembedahan yang minimal invasif bila menggunakan teknik yang tidak melewati
sumbu tengah atau sirkulasi ektrakorporal, 2 metode yang memengaruhi tingkat
keinvasifan satu teknik pembedahan konvensional. Pembedahan endoskopi
dengan menggunakan laser pada jalur pencernaan memperbolehkan operasi
yang sebelumnya tidak dimungkinkan. Trauma jaringan yang biasanya terjadi
pada anatomi laring yang sempit, namun pemulihan pasca operasi yang sangat
cepat. Endoskopik dan prosedur dari pembedahan mikro dari ahli bedah saraf
merupakan teknik yang paling tidak invasif bila dibanding operasi yang sejenis
dan tidak memerlukan manajemen anatesi yang khusus.
Bab berikut akan membahas tentang pentingnnya aspek secara
anestesiologis terhadap metode bedah minimal invasif yang modern, baik dari
pembedahan endoskopik abdomen, laser endoksopi dari laring, maupun
endoskopi neurosurgery. Teknik tesebut menawarkan satu teoritis dan
pengetahuan yang khusus dimana terdapat satu tantangan bagi ahli anestesi
untuk menangani opersi tersebut dan menyediakan kompetensi perawatan
anestestik dengan mengurangi resiko yang optimal bagi satu pasien.
Pola dan mekanisme nyeri pasca-laparoskopi
Mayoritas operasi laparoskopik dilakukan pada pasien yang short stay
bahkan day-care surgery. Walaupun nyeri tidak parah dan durasi lebih singkat
dari prosedur pembedahan lainnya. Hal tersebut dapat dicegah pada awal saat
keluar rumah sakit. Nyeri yang muncul memiliki distribusi spasial dan karakter
yang unik yang disebut sebagai “Post laparoscopic pain syndrome” Nyeri muncul
dari lokasi insersi pada pemasangan trocar. Dan trauma intraabdominal akibat
distensi dari peritoneum yang terinflasi memicu traksi dari pembuluh darah dan
saraf pada saraf phrenikus dan mengeluarkan mediator inflamasi. Nyeri yang
terjadi merupakan nyeri parietal pada lokasi insersi, nyeri visceral dari luka intra-
abdomen dan peritoneum yang mengembang dan Nyeri reujukan pada bahu
menuju punggung. Nyeri pasca laparoskopi terlokasi pada perut bagian atas, dan
lokalisasi dari lokasi intraabdomen.
Nyeri merupakan keluhan yang lazim akibat pembedahan laparoskopik,
sebanyak 96% pasien mengeluh pada keadaan paska pembedahan. Nyeri
muncul sangat intens langsung setelah operasi, namun berkurang dengan cepat.
Nyeri tersebut diukur dengan menggunakan Visual Acuity Score yang diukur
dengan kuantitas hingga 100 poin. Namun, dengan terapi yang tepat dapat

9
berkurang hingga 30 poin VAS kurun waktu 2-2,5 jam. Wanita lebih suka
mengeluh dibanding pria. Survei mengatakan biasanya nyeri vas berkisar 8 poin
setelah kolesistektomi akibat laparoskopik dibawah anestesi intravena propofol-
alfentanil dan natirum diclofenac profilatik. Nyeri berkurang hingga 0 vas point
pada akhir 10 jam setelah operasi walaupun data tersebut belum dipublikasikan.
Pada data yang dipublikasikan terdapat penurunan menjadi 15 VAS poin pada
hari ke tiga paska operasi. Joris dan kawan-kawan mendeskripsikan berbagai
tipe macam nyeri pada operasi laparoskopik kolesisektomi. Nyeri Viseral
biasanya dirasakan 24 jam pertama.
Nyeri Terlokalisasi pada ujung bahu biasanya sebelah kanan. Dan
punggung. Biasanya diikuti nyeri perut atas dengan intenitas yang melebih nyeri
saat sayatan pertama. Pada studi prospektif sekitar setengah kelompok populasi
pasien dilaporkan mengalami nyeri pada insersi trocar, dimana 43 % menjalar ke
bagian kanan perut atas. 40% nyeri pada bahu, dan sekitar 20% mengeluh nyeri
pada punggung. Angka insidensi nyeri pada bahu dan nyeri perut bagian atas
hampir terjadi 80% pada berbagai operasi laparoskopik. Insidensi tersebut juga
hampir sama terjadi setelah operasi kolesisektromi, apendektomi, dan
ginelokogis, Intensitas nyeri bisa mencapai maksimum saat hari pertama dan
kedua hari kedua pasca operasi. Nyeri paling parah dirasakan terlokalisasi pada
abdomen atas sebealh kanan, diikuti daerah pemasangan trocar dan luka
intraperitoneal, walaupun kebanyakan pasien memiliki masalah pada punggung
dan nyeri bahu dirasakan paling tidak nyeri.
Patogenesis dari Post laporoscopic pain syndrome masih belum bisa
dijelaskan. Lokalisasi sekitar abdomen dan bahu dimungkinkan akibat iritasi pada
bagian subdiafragmatic. Ini dibuktikan dengan gas insuflassi berperan dalam
iritasi, dengan gas yang digunakan merupakan gas Karbon dioksida (CO2)
dimana nyeri yang ditimbulkan muncul sesaat setelah operasi dan pasien
terbangun, contohnya Nitrous Oksida. Hanya 8% pasien dilakukan operasi
dengan keadaan abdomen yang tidak dilakukan pengembangan dinding
abdomen dibanding 46% pasien yang dilakukan dalam keadaan
pneumoperitoneum mengeluh nyeri bahu saat pasca operasi.
Gelembung gas, masih terdeteksi pada sekitar 90% pasien dan tetap
bertahan selama 48 jam setelah deflasi dari pneumoperitoneum, berkontirrbusi
dalam nyeri abdomen yang tipikal dan nyeri pada bahu. Aspirasi aktif setelah

10
operasi inti selesai dapat mengurangi angka kejadian nyeri. Salah satu teori yang
mengatakan hal tersebut bahwa gas yang tertinggal dalam abdomen
mengakibatkan kondisi asidosis local yang menyebabkan nyeri. Dalam studi
lainnya mengatakan, tidak ada perubahan signifikan dengan insuflasi dari karbon
dioksida pergantian argon dengan perkembangan post laparoscopic pain
syndrome yang tidak menimbulkan perubahan pH dalam intraabdomen.
MENGURANGI NYERI
Mayoritas pasien memerlukan analgesia setelah operasi laparoskopik.
Opiods efektif dalam mengurangi nyeri pasca laparoscopic, namun efek samping,
yaitu muntah, mual, dan sedasi. Hal ini berkaitan dengan penundaan mobilisasi
pasien serta pelepasan dari unit anastesi pasca operasi di rumah sakit.
Pendekatan lainnya yang telah dilakukan untuk mengurangi nyeri saat
berlangsungnya suatu operasi laparoskopik. Diaman pemberian local anestesi
ppada rongga abdomen, aplikasi analgesia topical langsung dibawah diafragma,
infiltrasi dibawah diafragma, infiltrasi dibawah lokasi inisisi,dan administrasi
propilatik non-opioid analgesia.
Tipikal lokalisasi dari nyeri pasca laparoskopik di bagian abdomen kanan
yang merupakan projeksi nyeri berkaitan dengan dibahu dimana iritasi peritoneal
merupakan gejala awal yang menginisiasi terjadi nyeri yang lain dan dapat
diintervensi dengan dengan pemeberian anestesi local pada intraperitoneal.
Sebuah studi mengatakan, namun masih terdapat konflik. Bahwa terdapat efek
positif pada Peneilitias Narchi dan kolega dengan 80ml 0,5% atau 0,125%mg
bupivacaine diinstilasiikan pada rongga abdomen mengurangi nyeri kebutuhan
analgesia pasca nyeri di bahu namun tidak mengurangi nyeri di abdomnen. Hasil
yang sama ditunjukkan oleh Loughney dan Helvacioglu. Beberapa penulis
mengatakan bahwa instilasi local pada abdomen tidak efektif dalam pasien
setelah kolesitektomi laparoskpik. Schulte-Shclinberg melaporkan bahwa 20ml
0,25% bupivacaine intraperitoneal tidak memberikan efek, namun injeksi pleural
30ml 0,25% mengurangi kejadian nyeri setelah operasi secara global. Labaille
mengatakan intraperitoneal ropivacaine 20ml 0,25% secara signifikan dapat
mengurangi nyeri visceral dan konsumsi morphine. Chundrigar dan kolega
melaporkan nyeri berkurang dengan injeksi 20 ml 0,25% diaplikasikan pada
operasi kantung empedu secara laparoskopik.

11
Non steroid anti inflamatori drug (NSAID) telah digunakan untuk
pengobatan nyeri post operasi laparoskopik. Dengan asumsi Inflamasi serta
sintesis prostaglandin adalah penyebab utama dari nyeri tersebut. Beberapa
penelitian menyebutkan bahwa NSAID efektif dalam mengurangi nyeri.Nmun
beberapa studi menyebutkan secara kontradiktif bahwa penggunaan NSAID
hanyalah menimbulkan efek placebo. Peneilitian tentang obat ini biasanya
diberikan terlambat untuk mengetahui efek maksimum setelah nyeri post operasi
pada ditegakkan. Agen Sikloksigensase Inhibitor (Cox-2) inhibitor telah
menunjukkan hasil efektif dalam mereduksi angka kejadian nyeri. Namun relasi
obat seperti Topikal NSAID dengan pemberian Piroxicam patch dapat membantu
menguranngi nyeri perlu penelitian yang lebih lanjut.
Walau demikian pemberian NSAID sebagai pereda nyeri perlu diberikan
secara hati-hati. Hal ini dikarenakan NSAID merupakan inhibitor poten dalam
pembentukan prostasiklin yang menyebabkan berkurangnya aliran darah diginjal,
dan menyebabkan gagal ginjal. Ketorolac dilaporkan telah ditarik dari beberapa
Negara Karena menunjukkan efek samping yang bermakna. Kegagalan fungsi
ginjal jarang terjadi pada penggunaan acetaminophen atau dipyrone.
Acetaminophine telah terbukti mengurangi pemakaian golongan opiod setelah
proses sterilisasi dengan laparoskopi.satu gram acetaminophen memiliki efek
potensi setara 10 mg morphine. Dypiridone ditarik peredaraannya diberbagai
Negara karena berpotensi kelainan darah seperti agranulositosis. Namun,
efektivitiasnya sangat jelas terdokumentasi dengan mekanisme senahai Cox-3
inhibitor di system saraf pusat dan tidak memengaruhi sintesis prostagalnadine
yang berguna dalam menjagai perfusi renal dan proteksi mukosa gaster.
Mekanisme tersebut memicu efek serotonergic yang berfungsi sebagai efek
antinosiseptif. Penelitian juga menunjukkan Cox-3 inhibitor dan NSAID bekerja
sinergis dalam penanganan nyeri pasca operasi.
Intravena opioid efekstif dalam pengobatan nyeri paska laparoskopi. Dan
tetap menjadi pilihan sebagai rescue analgesia dalam penanganan nyeri pasca
operasi. Oral Oxycodone 10 mg diberikan 1 jam sebelum operasi berguna untuk
mengurnangi nyeri pasca operasi dan meminimalisasikan angka penggunaan
analgesia. Intratechal morphine menunjukan konsumsi morfin pasca operasi
laparoskopik kolorektal. Kami mempelajari kebutuhan Analgesia pada satu
Operasi kolesisektomi. Pasien diberikan diclofenac 100mg per rektal setelah

12
diinduksi anestesi dan diberikan opiod (Piritramide). Pasien dikontrol dengan
dosis 22 mg piritramide (setara 10 mg morphine) menunjukkan nyeri berkurang
signifikan. NSAID dan golongan non opioid lainnya memang mengurangi
intensitas nyeri. Namun belum ada terapi yang dapat efektif mengurangi dari
referred pain di punggung dan bahu. Intraperitoneal instillasi anestesi local dapat
digunakan untuk mengurangi nyeri yang timbul sesaat setelah operasi, nsmun
hal tersebut juga berpengaruh pemasangan satu kateter dalam rongga
subdiafragmatik.
Berdasarkan penelitian ini, Terapi yang efektif dalam meredakan nyeri
paska operasi Laparoskopik dibagi pada preoperative, Profilatik dari Analgesia
non-opioid dengan kombinasi NSID yang bekerja secara sentral pada Cox-3,
anestesi local pada insisi preoperative, insitlasi local anestesi pada perut tas saat
penutupan abdomen pada tindakan operasi dan pemberian opioid sebagai
suplemen paska operasi yang bertindak sebagai rescue medication.

C Catatan Protokol yang digunakan untuk pereda nyeri setelah pembedahan


laparoskopik :
 Preoperatif menggunakan analgesia non-opioid
(NSAID , Acetaminophen)
 Infilitrasi sebelum pre insisi dengan lokasi pemasangann trocar dengan
anestesi local (Bupivacaine 0,25%)
 Instilasi intraperitoneal dengan local anestesi sebelum pelepasan
trocar (40ml Bupivacaine 0,25%, Lidocaine 0,5%, Ropivacaine 0,25%)
 Rescue medication dengan opiode (Morphine)
 Dapat diperhitungkan pemberian clonidine dan meperidine.

13

Anda mungkin juga menyukai