Anda di halaman 1dari 27

PRESENTASI KASUS

ANESTESI UMUM

INSISI BIOPSI LIMFADENOPATI COLLI DEXTRA

DENGAN GENERAL ANESTESI

Pembimbing :

Dr. Dublianus, Sp. An

Dr. Tati, Sp. An

Disusun oleh :

Agnes Amelia Elim (030.12.006)

Nadya Anggun Mowlina (030.09.165)

Yunivera Irmanita (030.12.294)

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ANESTESIOLOGI

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CILEGON

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

MEI 2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk kesempatan yang
boleh diberikan kepada kami dalam menyelesaikan makalah kasus ini. Makalah yang berjudul
Insisi Biopsi Limfadenopati Colli Dextra dengan General Anestesi juga tidak lepas dari
bimbingan dr. Dublianus, Sp. An dan dr. Tati, Sp. An, sehingga makalah ini dapat selesai dan
dipaparkan. Selain itu penulis juga mengucapkan terimakasih untuk para penata dan seluruh
staf anestesi yang memberikan saran, bimbingan, kritikan dan motivasi serta kerjasama yang
baik sehingga makalah ini dapat selesai.

Presentasi kasus ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepanitraan
klinik bagian anestesiologi di RSUD Cilegon. Selain itu juga sebagai bahan pembelajaraan
penulis pada bidang anestesiologi. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini
masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu kami sangat terbuka untuk menerima
segala kritik dan saran guna menyempurnakan makalah ini. Akhir kata, semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi banyak pihak dan pembaca pada umumnya.

Cilegon, Mei 2017

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 1

DAFTAR ISI.. 2

Pendahuluan... 3

Laporan Kasus 4

Laporan Anestesi 9

Analisa kasus. 14

Tinjauan Pustaka 17

Kesimpulan.... 28

Daftar Pustaka 29

2
BAB I

PENDAHULUAN

Istilah Anestesia pertama kali digunakan pada tahun 1846 oleh Oliver Wendell
Holmes. Anestesia berarti gabungan antara amnesia, analgesia dan narcosis yang membuat
pasien tidak merasakan sakit/nyeri saat operasi berlangsung. Anestesi umum adalah suatu
tindakan yang membuat pasien tidak sadar selama prosedur medis, sehingga pasien tidak
merasakan atau mengingat apa pun yang terjadi.
Anestesi umum biasanya dihasilkan oleh kombinasi obat intravena dan gas yang
dihirup (anestesi). Anastesi memungkinkan pasien untuk mentoleransi prosedur bedah yang
akan menimbulkan rasa sakit yang tak tertahankan, mempotensiasi eksaserbasi fisiologis yang
ekstrim, dan menghasilkan ingatan yang tidak menyenangkan.
Tujuan dari anastesi yaitu:
1 Hipnotik/sedasi: hilangnya kesadaran
2 Analgesia: hilangnya respon terhadap rasa sakit
3 Relaksasi otot rangka
Selama anestesi umum, seseorang tersebut tidak sadar tetapi tidak dalam keadaan tidur
yang alami. Seorang pasien dibius dapat dianggap sebagai berada dalam keadaan terkontrol,
keadaan tidak sadar yang reversible.

BAB II

3
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Tn M
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 37 tahun
Alamat : Temu Putih Ciwaduk RT 02 / RW 02, Kec. Cilegon
Agama : Islam
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Status : Belum Menikah
No RM : 555915
Tanggal masuk : 22 April 2017
Diagnosa : Limfadenopati colli dextra

II. Anamnesis
Anamenesis dilakukan pada tanggal 25 April 2017, pukul 07.30 WIB, dilakukan
secara autoanamnesis

A. Keluhan utama
Pasien mengeluh terdapat benjolan di leher kanan yang membesar sejak 1 tahun
yang lalu.

B. Riwayat penyakit sekarang


Pasien datang ke poli bedah RSUD Cilegon dengan pada tanggal 21 April 2017
dengan keluhan terdapat benjolan di leher kanan yang membesar sejak 1 tahun
yang lalu. Benjolan pertama kali muncul di leher kanan pasien saat pasien
menderita demam menggigil selama 1 minggu sekitar 1 tahun yang lalu. Pasien
mengatakan pada waktu itu benjolannya seperti sebesar telur puyuh dan terasa
nyeri, namun benjolannya kembali mengecil dan sempat tidak teraba setelah
beberapa hari demam pasien berakhir. Semenjak saat itu benjolan pada leher
pasien hanya timbul kembali saat pasien merasa sedang sakit. Sekitar satu minggu
sebelum pasien berobat ke poli bedah RSUD Cilegon, pasien mengatakan sempat
menderita demam dan benjolan di leher kanan muncul kembali. Pasien
mengatakan waktu itu benjolannya sebesar kelereng dan terasa nyeri, namun
sekarang benjolannya mengecil dan dirasakan tidak nyeri.

C. Riwayat penyakit
Riwayat penyakit jantung dan hipertensi disangkal.
Riwayat penyakit diabetes mellitus disangkal.
Riwayat penyakit asma disangkal.
Riwayat gigi berlubang disangkal.
Riwayat alergi obat dan makanan disangkal.

4
D. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit jantung dan hipertensi disangkal.
Riwayat penyakit diabetes mellitus disangkal.
Riwayat penyakit asma disangkal.
Riwayat gigi berlubang disangkal.
Riwayat alergi obat dan makanan disangkal.

E. Riwayat kebiasaan
Merokok (-) , konsumsi alkohol (-)

F. Riwayat pemakaian obat-obatan


Tidak ada

III. Pemeriksaan Fisik


Kesadaran : compos mentis
Kesan sakit : tampak sakit ringan
Berat badan : 50 kg
Tinggi badan : 167 cm
Tekanan darah : 110/70 mmHg, diukur di lengan kanan pasien, posisi telentang
Nadi : 88x/menit, diukur di A. radialis, teratur, kuat, isi cukup
Suhu : 36.5C, diukur di axilla
Pernapasan : 20x/menit, tipe prnapasan thorakoabdominal

Status Generalis
Kepala : normosefali
Mata : konjungtiva anemis (-) , sklera ikterik (-), pupil isokor, reflex
cahaya langsung (+/+) , reflex cahaya tidak langsung (+/+)
Hidung : deviasi septum (-), secret (-), napas cuping hidung (-)
Telinga : normotia (+/+), secret/serumen/darah (-), nyeri tekan (-)
Mulut : sianosis (-), gigi berlubang (-), perdarahan gusi (-), oral
hygiene baik, tonsil (T1/T1), faring hiperemis (-)
Leher : deviasi trakea (-), KGB di leher sisi kanan teraba membesar
(diperjelas dalam status lokalis) dan kelenjar tiroid tidak teraba
membesar.
Thorax
Inspeksi : bentuk dada simetris, pergerakan dinding dada saat bernapas
simetris, sianosis (-). Pulsasi Iktus cordis tidak tampak, lesi
kulit yang bermakna (-)
Palpasi : vocal fremitus simetris kedua lapang paru
Perkusi : sonor di kedua lapang paru, batas kanan jantung di ICS IV
garis sternalis kanan, batas kiri jantung di ICS V 1 jari
medial garis midsternalis sinistra
Auskultasi : suara napas vesikuler kedua lapang paru, Rhonki (-/-),
wheezing (-/-), BJ 1&2 reguler, murmur dan gallop (-)
Abdomen

5
Inspeksi : perut datar, kulit sawo matang, tidak terdapat lesi kulit
bermakna
Auskultasi : bising usus (+) normal pada seluruh regio abdomen
Palpasi : tidak teraba massa di seluruh region abdomen, nyeri tekan (-),
hepar dan lien tidak teraba pembesaran, ballotemant ginjal (-)
Perkusi : timpani pada 4 regio abdomen

Ekstremitas : warna kulit sawo matang, deformitas (-), tidak terdapat


kelainan kulit bermakna, sianosis (-), edema (-). CRT<2

Status lokalis
Pada daerah colli dextra dilakukan pemeriksaan lebih mendalam dan ditemukan
benjolan berukuran 1x1 cm, konsistensi lunak, permukaan licin, berbatas tegas, tidak
nyeri tekan, dan tidak mobile.

IV. Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium tanggal 24 April 2017
Pemeriksaan Hasil Nilai normal
Hematologi
Hemoglobin 14 g/dl 13 - 17
Leukosit 7630 uL 5000 - 10000
Hematokrit 43.7% 40 - 80
Trombosit 239000 uL 150000 450000
Masa pembekuan 10 menit 5 - 15 menit
Masa perdarahan 2 menit 1 - 5 menit
Kimia klinik
SGOT 13 U/L <31
SGPT 11 U/L <31
Albumin 3.6 g/dL
Ureum 19 mg/dL 17 43
Kreatinin 1.10 mg/dL 0.6 - 1.2
Asam urat 6 mg/dL 3.8 - 8.2
Elektorlit
Natrium 139.3 mmol/L 135 155
Kalium 4.46 mmol/L 3.6 5.5
Klorida 111.2 mmol/L 95 107
Seroimunologi
HbsAg Non reaktif Non reaktif
Anti HIV Non reaktif Non reaktif
GDS 68 mg/dL <200

V. Diagnosis Kerja
Limfadenopati colli dextra

6
VI. Diagnosa Banding
Limfadenitis colli dextra
Soft tissue tumor leher

VII. Penatalaksanaan
Ringer Laktat 500cc 20tpm
Direncanakan operasi insisi biopsi
Informed consent operasi
Konsul ke bagian Anestesi

BAB III
LAPORAN ANESTESI

Teknik dan Prosedur Anestesi


Diagnosa prabedah : Limfadenopati colli dextra
Jenis pembedahan : Insisi biopsi
Lama anestesi : 10.45 11.25
Lama operasi : 10.55 11.15
Teknik : SCCS LMA no. 3

A. Preoperatif
Informed Consent (+)
Puasa (+) kurang lebih 6-8 jam

7
Tidak terdapat gigi goyang dan pemakaian gigi palsu, riwayat DM (-), hipertensi
(-), alergi obat (-)
IV line terpasang dengan infus RL 500 cc, mengalir lancar
Keadaan umum tampak sakit ringan
Kesadaran Compos Mentis
Tanda Vital:
a. Tekanan darah : 110/70 mmHg
b. Pernafasan : 20 x/menit
c. Nadi : 88 x/menit
d. Suhu : 36.5C
Klasifikasi status fisik dan kebugaran
ASA 1 : pasien sehat dan tidak memiliki kelainan sistemik
berhubungan dengan penyakitnya
GCS : 15
Persiapan alat
S (scope) : stetoskop dan laringoskop
T (tubes) : LMA no. 3, ETT
A (airway) : pipa mulut faring (orotracheal airway), pipa hidung
faring (nasotracheal airway)
T (tape) : micropore
I (introducer) : mandarin atau stilet dari kawat
C (connector) : penyambung pipa dan peralatan anesthesia
S (suction) : alat penyedot lendir, saliva, dll

Tensimeter dan monitor EKG, saturasi dan heart rate


Tabung gas O2 dan N2O terbuka serta isoflurane terisi penuh
Spuit kosong 10cc berisi udara dan xylocaine gel

Pesiapan obat

Granon 1 mg/ml Rocoronium bromide 50mg/5ml


Recofol 200 mg/20ml Sulfas atropine 0.5mg/2ml
Fentanyl 200 mg/4ml Tramadol 100mg/2ml
Ketamine 100 mg/10ml Ketorolac 30mg/1ml
Ephedrine 50mg/10ml

B. Premedikasi Anestesi
Sebelum dilakukan tindakan anestesi diberikan Granon 1mg secara bolus IV

C. Tindakan Anestesi
Pada tanggal 25 April 2017 pukul 10.30 pasien sudah tiba di ruang operasi dengan
terpasang infus RL 40tpm. Dilakukan pemasangan dan pemeriksaan vital sign dengan
hasil TD 115/72 mmHg; HR 84x/menit; dan SpO2 99%. Pukul 10.35 dilakukan
premedikasi pemberian Granon 1mg secara bolus intravena.

8
Pasien dalam posisi terlentang, kemudian dilakukan informed consent terhadap
tindakan anestesi. Propofol 100 mg dan fentanyl 150mg diberikan secara bolus
kemudian memantau tekanan darah, nadi, dan saturasi oksigen melalui monitor. Selain
itu memeriksa reflex bulu mata pasien untuk memastikan pasien sudah dalam fase
hipnotik.

Setelah pasien dalam fase hipnotik, dilakukan pemasangan face mask dengan O2 dan
N2O 2L/m dan Isofluran 2% dan dilakukan pemompaan sampai pasien benar relax
dan tidak sadar. Memastikan tanda vital dan saturasi baik, baru setelah itu dilakukan
intubasi. Intubasi dilakukan dengan menggunakan LMA no. 3, setelah yakin LMA
telah masuk ke trakea, maka langsung dihubungkan dengan O2 dan N2O, dipompa,
dan dipastikan kembali apakah LMA benar-benar masuk ke saluran napas dengan
melakukan auskultasi suara nafas menggunakan stetoskop. Setelah itu LMA difiksasi
menggunakan micropore. Kedua mata pasien diolesi chloramphenicole zalf dan
ditutup menggunakan micropore. Ambu terus dipompa sampai pasien bernapas
spontan.

D. Pemantauan Selama Tindakan Anestesi


Melakukan pemantauan keadaan pasien terhadap tindakan anestesi yang terdiri dari
fungsi kardiovaskular, fungsi respirasi, serta cairan.
Kardiovaskular: pemantauan terhadap tekanan darah dan frekuensi nadi setiap 5
menit.
Respirasi: inspeksi pernapasan spontan kepada pasien dan saturasi oksigen
Cairan : monitoring input cairan infus.

Jam Tindakan TD Nadi SpO2


10.35 Pasien masuk kamar operasi, dibaringkan di meja operasi, 115/72 84 99
dipasang manset di lengan kanan dan pulse oxymetri di
ibu jari tangan kiri.
Diberikan Granon 1mg secara bolus
10.45 Dilakukan general anestesi. 112/75 82 99
Diberikan Propofol 100mg dan fentanyl 150 mcg secara
bolus.
Diberikan anestesi inhalasi menggunakan isoflurane 2%
dan O2 serta N2O
Intubasi dengan LMA no. 3 dengan O2 dan N2O 2L/m
10.55 Operasi dimulai 108/64 74 97
11.00 Kondisi terkontrol 105/67 79 97
11.05 Kondisi terkontrol 111/73 75 100
11.10 Pemberian tramadol 100mg secara drip 115/75 82 100
9
Pasien sudah dapat bernapas spontam
11.15 Operasi selesai 121/78 85 99
N2O dan isoflurane dimatikan
Dilakukan ekstubasi dan dipasang guedel
Pelepasan alat monitoring
Pasien dipindah ke recovery room

E. Laporan Anestesi
Diagnosa pra bedah : limfadenopati colli dextra
Diagnosa pasca bedah : limfadenopati colli dextra
Penatalaksanaan preoperasi : infus RL 500cc
Penatalaksanaan anestesi
a. Jenis pembedahan : insisi biopsi
b. Jenis Anestesi : anestesi umum
c. Teknik Anestesi : Semi Closed Circuit System dengan LMA no. 3
d. Mulai Anestesi : pukul 10.45 WIB
e. Mulai Operasi : pukul 10.55 WIB
f. Premedikasi : Granicentron 1 mg IV
g. Medikasi : Propofol 100 mg dan fentanyl 150 mcg
h. Medikasi tambahan : Tramadol 100 mg dan ketorolac 30 mg
i. Respirasi : Pernapasan spontan dan terpasang O2 2L/m,
N2O 2L/m dan isofluram 2%
j. Cairan durante operasi : RL 500 cc
k. Pemantauan TD dan HR : terlampir
l. Selesai operasi : Pukul 11.15 WIB

Post operatif
Operasi berakhir pukul 11.15, kemudian pasien dipindahkan ke ruang
pemulihan (recovery room) dengan terpasang guedel dan diberikan bantuan
O2 3L/m dengan menggunakan canule melalui guedel., melanjutkan
pemberian cairan, dan diobservasi hingga pasien sadar penuh.
Observasi tanda-tanda vital dalam batas normal :
Keadaan umum : tampak sakit ringan
Kesadaran : compos mentis
TD : 125/70 mmHg
Nadi : 64x /menit
Saturasi oksigen : 99%

Pemeriksaan fisik :
Warna kulit sawo matang, airway paten, nafas spontan, akral hangat,
CRT<2 detik
Pasien dapat dipindahkan ke ruang rawat inap. Penilaian ini
berdasarkan Skor Aldrete. Parameter ini berfungsi untuk mengetahui
apakah pasien sudah dapat dipindahkan ke ruangan berdasarkan
beberapa keadaan pasca operasi. Pada pasien didapatkan total skor 10.
10
BAB IV

ANALISA KASUS

Ny. S datang ke kamar operasi pada pukul 10.30 untuk menjalani operasi
pengangkatan kelenjar getah bening di leher kanan pasien. Kondisi pasien saat itu tampak
sakit ringan, compos mentis dan status fisik ASA 1. Pada pasien ini dikatakan ASA 1
dikarenakan berdasarkan pemeriksaan tidak terdapat tanda-tanda adanya kelainan sistemik
akibat dari penyakitnya tersebut. Pasien dilakukan anestesi menggunakan general anestesi

11
dengan teknik anestesi nafas kendali menggunakan LMA. Teknik anestesi umum ini dipilih
karena lokasi operasi berada di daerah leher sehingga akan lebih mudah jika menggunakan
teknik anestesi umum.

Pada saat di kamar operasi, pasien diposisikan di meja operasi dalam posisi terlentang
dan leher diekstensikan di atas meja operasi. Kemudian dilakukan pemasangan monitor tanda-
tanda vital seperti tensi meter dan pulse oksimetri yang berguna untuk monitoring selama
operasi. Selain itu juga pada pasien terpasang infus ringer laktat dengan tetesan cepat. Hal ini
dimaksudkan untuk mencegah syok hipovolemik saat operasi berlangsung. Tensi awal pasien
adalah 115/72 mmHg; HR 84x/menit; dan SpO2 99%

Sebelum anestesi dimulai, diberikan premedikasi berupa injeksi Granon 1 mg secara


bolus intravena. Hal ini bertujuan untuk mengurangi rasa mual, karena obat-obat anestesi
dapat merangsang muntah pada pasien. Sel-sel mukosa enterochromaffin melepaskan
serotonin yang menstimulasi reseptor-reseptor 5-HT3. Hal ini menimbulkan rangsangan
aferen n. vagus dan dapat menyebabkan vomitus. Granon mengandung Granisentron.
Granisetron merupakan antiemetik yang potent dimana efek antiemetiknya dicapai melalui
kerja antagonis pada reseptor-reseptor 5-hydroxitryptamine (5-HT3) di dalam chemoreceptor
trigger zone dan mungkin pada saluran cerna bagian atas. Reseptor-reseptor serotonin tipe 5-
HT3 terletak secara perifer pada terminal nervus vagus dan sentral di dalam chemoreceptor
trigger zone di area postrema. Granisetron diindikasikan untuk pencegahan dan pengobatan
pada keadaan Nausea dan vomitus akut maupun tertunda yang berhubungan dengan
kemoterapi dan radioterapi serta mual dan muntah pasca operasi

Setelah itu masuk dalam tahap anestesi. Pada tahap pertama, pasien diberikan induksi
secara inhalasi dan intravena. Pemberian obat inhalasi berupa N2O dan isoflurane. Diberikan
pula O2. Perbandingan N2O dan O2 adalah 50:50, dengan konsentrasi 2L/m. N2O atau
dinitrogen monoksida merupakan suatu gas yang memiliki efek yang baik untuk induksi
anestesi. Begitu pula zat isoflurane. Isoflurane memiliki lebih banyak keuntungan dan sedikit
efek samping dibanding jenis obat inhalasi yang lain. Pemberian oksigen bertujuan untuk
menjaga system respirasi dan kardiovaskular selama proses anestesi. Pemberian obat secara
intravena berupa obat Propofol 100mg. Pemberian dosis ini disesuaikan dengan dosis
propofol yaitu 2-2.5mg/kgBB dan pasien ini memiliki berat badan 50kg, sehingga dosis
pemberian obatnya adalah 100mg. Propofol merupakan salah satu obar hipnotik sedative.
Sehingga efek dari pemberian obat ini adalah ketidaksadaran. Pada saat pemberian propofol

12
secara bolus intravena, pasien langsung tertidur. Keuntungan dari pemberian obat ini adalah
efek samping minimal, onset cepat, waktu pemulihan kesadaran, psikomotor dan kognitif
cepat.

Setelah pasien tidak sadar dan otot-otot lemas, dilakukan intubasi. Intubasi ini
menggunakan LMA no 3. Indikasi sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai
berikut : menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun, mempermudah ventilasi positif dan
oksigenasi, misalnya saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien,
ventilasi jangka panjang, dan pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi. Teknik anestesi
yang dipakai adalah SCCS (Semi Closed Systemic Circuit). Metode ini memungkinkan
adanya sedikit rebreathing. Apparatus untuk closed methode dapat dipakai untuk semi
closed methode, dengan jalan membiarkan sebagian gas yang berlebihan keluar
melalui valve yang dibuka . Sirkuit anestesi atau dikenal dengan sistem pernafasan
merupakan sistem yang berfungsi menghantarkan oksigen dan gas anestesi dari mesin anestesi
kepada pasien yang dioperasi. Sirkuit anestesi merupakan suatu pipa/tabung yang merupakan
perpanjangan dari saluran pernafasan atas pasien. Komponen sirkuit anestesi pada saat
sekarang ini terdiri dari kantong udara, pipa yang berlekuk-lekuk, celah untuk aliran udara
segar, katup pengatur tekanan dan penghubung pada pasien. Aliran gas dari sumber gas
berupa campuran oksigen dan zat anestesi akan mengalir melalui vaporizer dan bersama zat
anestesi cair tersebut keluar menuju sirkuit. Campuran oksigen dan zat anestesi yang berupa
gas atau uap ini disebut sebagai fresh gas flow (FGF) (aliran gas segar). Sistem pernafasan
atau sirkuit anestesi ini dirancang untuk mempertahankan tersedianya oksigen yang cukup di
dalam paru sehingga mampu dihantarkan darah kepada jaringan dan selanjutnya mampu
mengangkut karbondioksida dari tubuh. Sistem pernafasan ini harus dapat menjamin pasien
mampu bernafas dengan nyaman, tanpa adanya peningkatan usaha bernafas, tidak menambah
ruang rugi (dead space) fisiologis serta dapat menghantarkan gas / agen anestesi secara lancar
pada sistem pernafasan pasien.

Selanjutnya pada pasien diberikan Fentanyl 150mg. Dosis basal fentanyl sendiri
adalah 20-50mg/kgBB. Pemberian fentanyl ini digunakan untuk pemeliharaan anestesi saat
tindakan operasi. Fentanyl merupakan obat dari golongan opioid. Obat ini juga bertujuan
untuk memberikan efek anti analgesic. Ketika operasi hampir selesai, diberikan ketorolac
30mg. Ketorolac adalah obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID). Ketorolac selain digunakan
sebagai anti inflamasi juga memiliki efek anelgesik yang bisa digunakan sebagai pengganti
morfin pada keadaan pasca operasi ringan dan sedang. Efeknya menghambat biosintesis

13
prostaglandin. Kerjanya menghambat enzim siklooksogenase (prostaglandin sintetase). Selain
menghambat sintese prostaglandin, juga menghambat tromboksan A2. ketorolac
tromethamine memberikan efek anti inflamasi dengan menghambat pelekatan granulosit pada
pembuluh darah yang rusak, menstabilkan membrane lisosom dan menghambat migrasi
leukosit polimorfonuklear dan makrofag ke tempat peradangan. Pada pasien ini juga diberikan
tramadol 100mg. tramadol merupakan analgesic yang bekerja secara sentral, yang
mempengaruhi transmisi impuls nyeri dengan mengubah mekanisme re-uptake monoamine,
digunakan untuk mengatasi nyeri akut maupun nyeri kronik seperti nyeri postoperative.

Pasien dapat bernapas spontan dan operasi hampir selesai. Setelah operasi selesai,
dilakukan ekstubasi dan dipasang guedel. Isoflurane dan N2O dimatikan, namun O2 tetap
dipertahankan pada konsentrasi 2L/m untuk memaksimalkan pernapasan spontannya. Pasien
tetap dijaga pernapasannya supaya tidak terjadi aspirasi sampai dibawa ke ruang pemulihan.
Pada ruang pemulihan, pasien tetap dimonitor kesadaran dan tanda-tanda vital.

BAB V

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Anestesia adalah hilangnya sensasi dengan atau tanpa hilangnya kesadaran.
Anestesia umum adalah ketidaksadaran yang dihasilkan oleh medikasi (Torpy, 2011).
Anestesi umum adalah keadaan fisiologis yang berubah ditandai dengan hilangnya
kesadaran reversibel, analgesia dari seluruh tubuh, amnesia, dan beberapa derajat
relaksasi otot (Morgan et al., 2006).

Stadium

14
Suatu keadaan anesthesia umum idealnya memiliki karakteristik dari hilangnya
seluruh sensasi termasuk analgesic dan pelumpuh otot. Adanya depresi neuronal pada
area yang spesifik di system saraf pusat bertanggung jawab terhadap keadaan
anesthesia umum tersebut. Guedel pada tahun 1920 membagi tahapan anesthesia
tersebut kedalam empat stadium
Stadium I : Analgesia
Dimulai dengan keadaan sadar dan diakhiri dengan hilangnya kesadaran. Sulit
untuk bicara; indra penciuman dan rasa nyeri hilang. Mimpi serta halusinasi
pendengaran dan penglihatan mungkin terjadi. Tahap ini dikenal juga sebagai
tahap induksi
Stadium II : Delirium
Terjadi kehilangan kesadaran akibat penekananan korteks serebri. Kekacauan
mental, eksitasi, atau delirium dapat terjadi. Selain itu proses penekanan saraf
inhibitor di formation retikularis menyebabkan esksitasi dari motor
neuronsehingga akan terjadi gerakan otot involunter seperti berkemih,
delirium, pergerakan otot yang tak terkontrol, meningkatnya denyut jantung,
tekanan darah dan respirasi.
Stadium III : Pembedahan

Pada stadium ini dibagi menjadi 4 planes yaitu hilangnya reflex spinal,
menurunnya reflex otot skeletal, paralisis otot intercostalis, dan yang terakhir
hilangnya tonus otot. Pada stadium ini terjadi pernapasan teratur pada pasien.

Stadium IV : Paralisis pernapasan


Tahap toksik dari anestesi. Pernapasan hilang dan terjadi kolaps sirkular. Perlu
diberikan bantuan ventilasi. Secara normal, keadaan ini tidak dialami oleh
pasien karena seorang anestesiologis secara hati-hati memonitor pernapsan
abdominal pasien untuk mencegah terjadinya apneu, tekanan darah untuk
mencegah terjadinya hipotensi, dan denyut jantung untuk mencegah timbulnya
asistol.

15
Gambar 1. Stadium Anestesi
Tahapan
Tindakan
Anestesi
Tahapan tindakan
pemberian
obat anestesi terdapat tiga bagian, yaitu :
Induksi (induction)
Induksi anestesi adalah pemberian obat atau kombinasi obat pada saat
dimulainya anestesi yang menyebabkan suatu stadium anestesi umum atau
suatu fase dimana pasien melewati dari sadar menjadi tidak sadar. Idealnya
induksi harus berjalan dengan lembut dan cepat, ditandai dengan hilangnya
kesadaran. Keadaan ini dinilai dengan tidak adanya respon suara dan
hilangnya reflek bulu mata dan hemodinamik tetap stabil.
Konduksi (maintenance)
Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total) atau dengan
inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesi mengacu
pada trias anestesi yaitu tidur rinan (hypnosis) sekedar tidak sadar, analgesia
cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan
relaksasi otot lurik yang cukup. Rumatan intravena biasanya menggunakan
opioid dosis tinggi, fentanil 10-50 g/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan
pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi
pelumpuh otot. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara
+ O2 atau N2O + O2. Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O
dan O2 dengan perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran

16
2-4% atau isofluran 2-4 vol% atau sevofluran 2-4% bergantung apakah pasien
bernapas spontan, dibantu atau dikendalikan.

Pemulihan anestesi (emergence)


Periode pulih sadar dimulai segera setelah pasien meninggalkan meja operasi
dan langsung diawasi oleh ahli anestesi. Semua komplikasi dapat terjadi setiap
saat, termasuk pada waktu pemindahan pasien dari kamar operasi ke ruang
pemulihan. Ruang pemulihan (Recovery Room) atau disebut juga Post
Anesthesia Care Unit (PACU) adalah ruangan tempat pengawasan dan
pengelolaan secara ketat pada pasien yang baru saja menjalani operasi sampai
dengan keadaan umum pasien stabil.
Pasca anestesia merupakan periode kritis, yang segera dimulai setelah
pembedahan dan anestesia diakhiri sampai pasien pulih dari pengaruh
anestesia. 12 Risiko pasca anestesi dapat di bedakan berdasarkan masalah-
masalah yang akan dijumpai pasca anestesia/bedah dapat dikelompokkan
menjadi 3 kelompok :
1) Kelompok I Pasien yang mempunyai risiko tinggi gagal napas dan
gangguan hemodinamik pasca anestesia/bedah, sehingga perlu napas kendali
pasca anestesia/bedah. Pasien yang termasuk dalam kelompok ini langsung
dirawat di Unit Terapi Intensif pasca anestesia/bedah tanpa menunggu
pemulihan di ruang pulih.
2) Kelompok II Sebagian besar pasien pasca anestesia/bedah termasuk dalam
kelompok ini, tujuan perawatan pasca anestesia/bedah adalah menjamin agar
pasien secepatnya mampu menjaga keadekuatan respirasinya dan kestabilan
kardiovascular.
3) Kelompok III Pasien yang menjalani operasi kecil, singkat dan rawat jalan.
Pasien pada kelompok ini bukan hanya fungsi respirasinya tetapi harus bebas
dari rasa ngantuk, ataksia, nyeri dan kelemahan otot, sehingga pasien bisa
kembali pulang. (USU)

Sifat Anestesia
Sifat anestesi umum yang ideal adalah: (1) bekerja cepat, induksi dan pemilihan baik,
(2) cepat mencapai anestesi yang dalam, (3) batas keamanan lebar; (4) tidak bersifat
toksis. Untuk anestesi yang dalam diperlukan obat yang secara langsung mencapai
kadar yang tinggi di SSP (obat intravena) atau tekanan parsial yang tinggi di SSP (obat
ihalasi). Kecepatan induksi dan pemulihan bergantung pada kadar dan cepatnya
perubahan kadar obat anastesi dalam SSP (Munaf, 2008).

17
Pembagian Obat Anestesia Umum
Obat anesthesia umum dibagi dalam 3 kelompok, yaitu:
Inhalasi
Beberapa obat anestesi inhalasi yang masih digunakan sampai saat ini adalah
Nitro Oksida (N2O), halotan, isoflurane, desfluran, dan sevoflurane. Obat
halotan dan sevoflurane biasanya digunakan sebagai induksi pada pasien anak.
Syarat suatu obat anestesi yang ideal adalah: tidak berbau, onset cepat, tidak
mudah larut dalam darah melainkan cepat dibawa ke otak, tidak mudah
terbakar/meledak, cepat dieliminasi dalam tubuh, dan tidak menyebabkan efek
depresi terhadap system kardiovaskular dan pernapasan.
Intravena
Anestesi umum dapat diinduksi dengan menggunakan obat yang dimasukan
melalui oral, rektal, transdermal, transmukosal, intramuskukar, atau intravena.
Sedasi sebelum operasi pada pasien dewasa biasanya menggunakan obat yang
melalui intravena ataupun oral. Sedangkan untuk tahap induksi lebih sering
menggunakan obat yang dimasukan secara intravena. Obat obat intravena
yang sering digunakan untuk membuat keadaan hypnosis adalah seperti:
barbiturate, benzodiazepine, ketamine, etomidate, dan propofol.
Kombinasi keduanya

Deskripsi Obat
Nitrogen Oksida
Sering disebut sebagai laughing gas. N2O poten digunakan sebagai
anesthesia inhalasi dan tidak cepat larut dalam darah.

Isofluran
Isofluren diperkenalkan di Amerika pada tahun 1981 dan merupakan obat
anestesi inhalasi yang poten dengan ciri-ciri tidak mudah terbakar, larut dalam
darah. Efek kardiovaskular dari isofluren lebih rendah dibanding dengan
enfluren dan dapat digunakan secara aman bersamaan dengan epinefrin.
Isofluren memiliki aroma yang tajam sehingga dapat menyebabkan iritasi
saluran pernapasan yang memicu batuk dan spasme laring.

Propofol
Propofol memberikan efek sedatif hipnotik melalui interaksi reseptor GABAA.
GABA adalah neurotransmiter penghambat utama dalam susunan saraf pusat.
Ketika reseptor GABAA diaktifkan, maka konduksi klorida transmembran
akan meningkat, mengakibatkan hiperpolarisasi membran sel postsinap dan

18
hambatan fungsional dari neuron postsinap. Interaksi propofol dengan
komponen spesifik reseptor GABAA terlihat mampu meningkatkan laju
disosiasi dari penghambat neurotransmiter, dan juga mampu meningkatkan
lama waktu dari pembukaan klorida yang diaktifkan oleh GABA dengan
menghasilkan hiperpolarisasi dari membran sel. (USU)
Obat anesthesia yang sangat baik untuk induksi dan pemeliharan selama
operasi. Dosis yang diperlukan untuk mencapai keadaan hypnosis adalah 2-
2.5mg/kgBB dan onset waktu 30-60 detik serta durasi kerjanya adalah 5-10
menit. Durasi kerja dari propofol dapat diperpanjang dengan menambah
dosisnya. Efek samping dari obat ini adalah tekanan darah dan denyut jantung
menurun. Propofol berikatan secara kuat dengan protein plasma. Metabolisme
dari obat ini melaui hepar.

Ketamine
Ketamin termasuk golongan hidroklorida. Durasi kerjanya adalah 10-25 menit.
Ketamine memiliki efek emergence delirium atau sering disebut
dissociative amnesia. Ketika pasien pulih dari anestesi, pasien akan
mengalami keadaan ilusi secara visual, auditorik dan kesadaran. Halusinasi dan
mimpi buruk juga biasa terjadi dalam 24 jam setelah diberikan ketamine.
Kurang digemari karena sering menimbulkan takikardia, hipertensi,
hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat menimbulkan mual-muntah,
pandangan kabur dan mimpi buruk. Sebelum pemberian sebaiknya diberikan
sedasi midazolam (dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis0,1 mg/kg
intravena dan untuk mengurangi salvias diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg.
Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg.

Fentanyl
Fentanyl biasa digunakan sebagai induksi atau pemeliharaan. Dapat
memberikan efek sedasi. Efek samping dapat menyebabkan depresi
pernapasan, rigiditas muscular pada dosis tinggi dan mual muntah pasca
operasi. Namun obat ini tidak menggaggu kardiovaskular, sehingga banyak
digunakan untuk induksi pasien dengan kelianan jantung. Untuk anestesia
opioid digunakan fentanil dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1
mg/kg/menit.

Rocoronium bromide

19
Rocuronium bromide adalah pelumpuh otot non-depolarisasi (inhibitor
kompetitif) yang berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak
menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetil kolin menempatinya,
sehingga asetil kolin tidak dapat bekerja. Pemberian obat ini adalah
untuk Intubasi trakea dan relaksasi otot selama pembedahan dan ventilasi
mekanik. Dosis yang diberikan adalah untuk intubasi rutin adalah 0,6 mg/kg.
Untuk induksi cepat dosis rocuronium 1,0 mg/kg, lakukan intubasi setelah 90
detik pemberian rocuronium. Dosis pemeliharaan disarankan 0,15 mg/kg,
untuk inhalasi harus dikurangi 0,075-0,1 mg/kg. Awitan aksi : 45-90 detik,
efek puncak : 1-3 menit, lama aksi : 15-150 menit (tergantung dosis)

Efedrin
Efedrin (ephedrine) merupakan simpatomimetik yang didapat dari tanaman
genus Ephedra (misalnya Ephedra vulgaris) dan telah digunakan luas di Cina
dan India Timur sejak 5000 tahun yang lalu. Efedrin bekerja pada reseptor
dan , termasuk 1, 2, 1 dan 2, baik bekerja langsung ataupun tidak
langsung. Efek tidak langsung yaitu dengan merangsang pelepasan
noradrenalin. Selain itu efedrin juga digunakan untuk mengatasi hipotensi
akibat induksi dengan propofol. Efedrin juga mampu mempercepat mula kerja
rokuronium. Efedrin mencegah nyeri akibat injeksi propofol. Pencampuran
efedrin dengan propofol dapat menjaga kestabilan hemodinamik dan mencegah
nyeri akibat suntikan propofol. Pemberian efedrin 10-25 mg iv pada orang
dewasa sebagai pilihan simpatomimetik mengatasi blokade susunan saraf
simpatis yang disebabkan anestesi regional ataupun untuk mengatasi efek
hipotensi yang disebabkan obat-obat anestesi. Lama kerja terhadap efek
tekanan darah bertahan sampai 1 jam pada pemberian parenteral. Efek puncak
efedrin terhadap curah jantung dicapai sekitar 4 menit setelah injeksi.

Sulfas atropine
Menghambat aksi asetilkolin pada bagian parasimpatik otot halus, kelenjar
sekresi dan SSP, meningkatkan cardiac output. Obat ini diindaksikan untuk
keadaan bradikardi selama masa operasi. Dosis pemberian secara intravena
adalah 300-600mcg. Efek samping anti muskarinik sering terjadi setelah
pemberian obat ini.

20
H. Tahapan Tindakan Anastesi Umum
Penilian dan Persiapan Pra Anastesi
Persiapan prabedah yang kurang merata merupakan factor terjadinya
kecelakaan dalam anatesi. Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan kunjungan
pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien dibedah dalam keadaan bugar.
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anastesi sebelumnya
sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat
perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal, atau sesak
nafas pasca bedah, sehingga dapat dirancang anastesi berikutnya dengan lebih baik.
Beberapa penelitian sebelumnya menganjurkan obat yang kiranya menimbulakn
masalah dimasa lampau sebaiknya tidak digunakan kembali, misalnya halotan
sebaiknya tidak digunakan dalam waktu 3 bulan, suksinilkolin yang menimbulkan
apnoe berkepanjangan juga jangan diulang. Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan
sejak 1-2 hari sebelum operasi.
Pemeriksaan gigi, tindakan buka mulut, ukuran lidah sangat penting untuk
diketahui apakah menyulitkan pada saat pemasangan laringoskop dalam tindakan
intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan tindakan intubasi.
Pemeriksaan umum seperti inpeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi secara sistemik
tidak boleh dilupakan.
Pemeriksaan laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan
penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan
darah rutin dan urinalisis. Pasien yang usianya diatas 50 tahun dianjurkan untuk
pemeriksaan EKG dan foto thoraks.
Klasifikasi yang digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang adalah
yang berasal dari The American Society of Anasthesiologist (ASA). Klasifikasi fisik
ini bukan alat perkiraan resiko anastesi karena efek samping anastesi tidak bisa
dipisahkan dari efek samping pembedahan. Berikut klasifikasi ASA:

Kelas I : pasien sehat organik, fisiologik, psikiatri, biokimia


Kelas II : pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang
Kelas III : pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga akttivita rutin
terbatas. Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya
setiap saat
Kelas IV : pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam

21
Kelas V : pasien yang sudah dinyatakan mengalami kematian batang otak dan
dilakukan pemebedahan untuk diambil organnya dalam proses donor

Premedikasi
Tujuan utama pemberian premedikasi tidak hanya untuk mempermudah
induksi ataupun mengurangi jumlah obat-obat yang digunakan namun yang terpenting
adalah mengurangi resiko morbiditas perioperatif sehingga akan mempercepat proses
pemulihan setelah anestesi dan pembedahan. Selain itu pemberian obat premedikasi
adalah untuk mengurangi kecemasan/ketakutan pasien terhadap proses operasi,
menenangkan pasien, dan memberi efek amnesia terhadap proses operasi tersebut.
Premedikasi adalah tindakan awal anestesia dengan memberikan obat-obatan
pendahuluan yang terdiri dari obat-obat golongan antikholinergik, sedasi/trankuilizer,
dan analgetik. Premedikasi dapat menggunakan satu obat atau kombinasi dari
beberapa obat. Pemilihan obat untuk premedikasi tergantung tujuan dari premedikasi
itu sendiri (Mangku G dkk., 2010).

I. Tatalaksana Jalan Nafas

Hubungan jalan napas dan dunia luar melalui 2 jalan:


Hidung Menuju nasofaring
Mulut Menuju orofaring. Hidung dan mulut dibagian depan dipisahkan oleh palatum
durum dan palatum molle dan dibagian belakang bersatu di hipofaring. Hipofaring
menuju esophagus dan laring dipisahkan oleh epiglotis menuju ke trakea.

A Manuver tripel jalan napas


Terdiri dari:
1 Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital.
2 Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibula
3 Mulut dibuka
Dengan maneuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan napas bebas, sehingga gas
atau udara lancer masuk ke trakea lewat hidung atau mulut.
B Jalan napas faring
Jika maneuver tripel kurang berhasil, maka dapat dipasang jalan napas mulut-faring
lewat mulut (oro-pharyngeal airway) atau jalan napas lewat hidung (naso-pharyngeal
airway).
C Sungkup muka
Mengantar udara / gas anestesi dari alat resusitasi atau system anestesi ke jalan napas
pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa sehingga ketika digunakan untuk bernapas

22
spontan atau dengan tekanan positif tidak bocor dan gas masuk semua ke trakea
lewat mulut atau hidung.
D Sungkup laring (Laryngeal mask)
Merupakan alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar berlubang
dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat dikembang-kempiskan
seperti balon pada pipa trakea. Tangkai LMA dapat berupa pipa kerasdari polivinil
atau lembek dengan spiral untuk menjaga supaya tetap paten.
Dikenal 2 macam sungkup laring:
1 Sungkup laring standar dengan satu pipa napas
2 Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan lainnya pipa
tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan esophagus.
E Pipa trakea (endotracheal tube)
Mengantar gas anestesi langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan
standar polivinil-klorida. Pipa trakea dapat dimasukan melalui mulut (orotracheal
tube) atau melalui hidung (nasotracheal tube).
F Laringoskopi dan intubasi
Fungsi laring ialah mencegah bedan asing masuk paru. Laringoskop merupakan alat
yang digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita dapat memasukkan
pipa trakea dengan baik dan benar.

Indikasi Intubasi Trakea


Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea
melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea
antara pita suara dan bifurkasio trakea. Indikasi sangat bervariasi dan umumnya
digolongkan sebagai berikut:
1 Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun.
2 Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi, misalnya saat resusitasi,
memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka panjang.
3 Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi
Kesulitan Intubasi
1. Leher pendek berotot
2. Mandibula menonjol
3. Maksila/gigi depan menonjol
4. Uvula tak terlihat
5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
6. Gerak vertebra servikal terbatas

Komplikasi Intubasi
1. Selama intubasi c Merangsang saraf simpatis
a Trauma gigi geligi d Intubasi bronkus
b Laserasi bibir, gusi, laring e Intubasi esophagus

23
fAspirasi b Aspirasi
gSpasme bronkus c Gangguan fonasi
2. d Edema glottis-subglotis
2 Setelah ekstubasi e Infeksi laring, faring, trakea
a Spasme laring
3. Ekstubasi
1 Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika:
a Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan
b Pasca ekstubasi ada risiko aspirasi
2 Ekstubasi dikerjakan pada umumnya pada anestesi sudah ringan dengan catatan tak akan
terjadi spasme laring.
3 Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari sekret dan cairan lainnya.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22. BAB VI
23. KESIMPULAN
24.
25. Pasien Tn M usia 37 tahun datang ke poli RSUD Cilegon dengan keluhan
terdapat benjolan di daerah leher kanan. Benjolan dirasa membesar sejak setahun yang
lalu namun bersifat hilang timbul. Benjolan hanya timbul saat pasien merasakan
sedang sakit dan menderita demam. Pasien mengkonsulkan keadaan ini kepada dokter
spesialis bedah dan direncanakan jadwal operasi untuk mengangkat benjolan serta
memastikan apakah jaringan tersebut jinak atau ganas.
26. Setelah dilakukan pemeriksaan secara menyeluruh baik fisik maupun
penunjang, maka pasien diklasifikasikan ke dalam ASA 1 dikarenakan tidak ada
penyakit/kelainan sistemik yang terjadi pada pasien dikarenakan benjolan tersebut.
Sebelum pasien dioperasi, dipuasakan selama 6-8 jam. Pasien direncanakan diberikan
anestesi umum dengan teknik anestesi SCCS (Semi Closed Circuit System)

24
menggunakan LMA no. 3. Sebelum pasien diinduksi, pasien diberikan obat
premedikasi berupa Granon 1 mg untuk mengurangi efek mual dan muntah akibat
pemberian obat-obat anestesi umum.
27. Pasien diinduks/i dengan menggunakan obat Propofol 100mg secara intravena
dan N2O dan Isofluran secara inhalasi sampai pasien tidak sadar/tertidur. Diberikan
pula O2 2L/m untuk menjaga system respirasi. Pada proses pemeliharaan, pasien
diberikan fentanyl 150 mcg, ketorolac 30mg, dan tramadol 100mg. Selama proses
operasi, keadaan pasien dalam kondisi stabil sampai operasi selesai, pasien sadar dan
masuk dalam tahap pemulihan anestesi.
28. Fase pemulihan anestesi dilakukan monitoring tekanan darah, yaitu
125/70mmHg, nadi 64x/menit, SpO2 99%, dan pasien benar-benar sadar beberapa
menit setelah operasi selesai. Pasien dapat langsung dibawa ke ruangan rawat inap
berdasarkan penilaian fisik dari skor Aldrete. Pada pasien didapatkan nilai Aldrete 10
sehingga dapat langsung dibawa ke ruang rawat inap.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37. DAFTAR PUSTAKA
38.
1. Morgan and Mikhail. Clinical Anesthesiology. 5th ed. McGraw Hill: USA.2013
2. Maher J.T. Anesthetic Agents: General and Local Anesthetics. Chapter 16.
3. Derek M. Steinbacher. Propofol: A Sedative-Hypnotic Anesthetic Agent for
Use in Ambulatory Procedures. Anesth Prog 48:66-71. 2001. American Dental
Society of Anesthesiology
4. Dachlan R, dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: Bagian
Anestesiologi dan Terapi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
5. Stoelting RK, Miller, RD. Basics of Anesthesia, 5th Ed. Philadelphia: Elsevier
Health Sciences, 2007
6. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk praktis anastesiologi, edisi
kedua. Jakarta: Bagian anastesiologi dan terapi intensif FKUI; 2002.
7. Goodman & Gillman. Dasar farmakologi dan terapi, edisi sepuluh. Jakarta:
EGC
8. Mangku G, Gde AST. Ilmu anastesi dan reminasi. Jakarta: PT. Macan Jaya
Cemerlang. 2010.p.24-36.
9. De WJ, Sessler DI. Perioperative shivering: physiology and pharmacology.
Anesthesiology 2002; 96(2): 467-84.
25
10. Smith T, Pinnock C, Lin T. fundamentals of anesthesia. 3 rd. Post operative
management. Cambridge: Cambridge University Press. 2009;67.S
39.

40.

26

Anda mungkin juga menyukai