Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dalam sejarah pemikiran islam, ijtihad telah banyak digunakan sejak dahulu. Esensi
ajaran Al-quran dan Hadits memang menghendaki adanya ijtiihad. Al-quran dan hadits
kebanyakan hanya menjelaskan garis besarnya saja, maka ulama berusaha menggali maksud
dan rinciannya dari kedua sumber tersebut melalui ijtihad.

Ijtihad sendiri merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada
zaman Rasulullah SAW. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh para
sahabat, tabiin serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada periode
tertentu apa yang kita kenal dengan masa taqlid, ijtihad tidak diperbolehkan. Tetapi pada
masa periode tertentu pula (kebangkitan atau pembaharuan), ijtihad mulai dibuka kembali.
Karena tidak bisa dipungkiri, ijtihad adalah suatu keharusan, untuk menanggapi tantangan
kehidupan yang semakin kompleks problematikanya.

Sekarang, banyak ditemui perbedaan-perbedaan madzab dalam hukum Islam yang itu
disebabkan dari ijtihad. Misalnya bisa dipetakan Islam kontemporer seperti Islam liberal,
fundamental, ekstrimis, moderat, dan lain sebagainya. Semuanya itu tidak lepas dari hasil
ijtihad dan sudah tentu masing-masing mujtahid berupaya untuk menemukan hukum yang
terbaik. Justru dengan ijtihad, Islam menjadi luwes, dinamis, fleksibel, cocok dalam segala
lapis waktu, tempat dan kondisi. Dengan ijtihad pula, syariat Islam menjadi tidak bisu
dalam menghadapi problematika kehidupan yang semakin kompleks.

Sesungguhnya ijtihad adalah suatu cara untuk mengetahui hukum sesuatu melalui
dalil-dalil agama yaitu Al-Qur'an dan Al-hadits dengan jalan istimbat. Adapun mujtahid itu
ialah ahli fiqih yang menghabiskan atau mengerahkan seluruh kesanggupannya untuk
memperoleh persangkaan kuat terhadap sesuatu hukum agama. Oleh karena itu kita harus
berterima kasih kepada para mujtahid yang telah mengorbankan waktu,tenaga, dan pikiran
untuk menggali hukum tentang masalah-masalah yang dihadapi oleh umat Islam baik yang

1
sudah lama terjadi di zaman Rasullullah maupun yang baru terjadi saat ini dan kita sebagai
umat islam harus mengetahui seberapa begitu pentingnya memahami ijtihad sebagai kunci
untuk menyelesaikan problem-problem yang dihadapi oleh umat islam sejak dulu, sekarang
dan yang akan mendatang. Ijtihad sebagai sumber ketiga setelah Al-quran dan Hadits inilah
yang membuat islam tidak kehilangan karakternya sebagai agama yang dinamis.

B. RUMUSAN MASALAH
Dalam penuluisan makalah ini, penulis merumuskan beberapa masalah diantaranya
sebagai berikut:
a) Pengertian Ijtihad
b) Dasar Hukum Ijtihad
c) Kedudukan Ijtihad
d) Hukum Berijtihad
e) Kebenaran Ijitihad
f) Ijtihad dalam Tinjauan Sejarah
g) Masalah yang Diijtihadkan
h) Macam-macam dan Cara-cara Ijitihad
i) Syarat-syarat Mujtahid
j) Tingkatan-tingkatan Mujtahid

C. TUJUAN PENULISAN
a) Untuk memenuhi tugas mata kuliah Modul PDPT bidang Pendidikan Agama
Islam
b) Menambah wawasan penulis dan pembacanya mengenai Ijtihad baik itu dari segi.
pengertian, dasar hukum, kedudukan, kebenaran, sejarah, masalah yang
diijitihadkan, macam cara, syarat menjadi Mujtahid hingga tingkatan dari
Mujthaid itu sendiri.

BAB II

PEMBAHASAN

2
A. Pengertian Ijtihad

Ijtihad berakar dari kata jahda secara etimologi berarti : mencurahkan segala
kemampuan (berpikir) untuk mendapatkan sesuatu (yang sulit), dan dalam prakteknya
digunakan untuk sesuatu yang sulit dan memayahkan1.
Namun dalam al-Quran kata Jahda sebagaimana dalam Q.S 16 : 38, 24 : 53,
35 : 42, semuanya mengandung arti Badzu al-Wusi wa al-Thoqoti (pengerahan segala
kesanggupan dan kekuatan) atau juga berarti al-Mubalaghah fi al-yamin (berlebih
lebihan dalam sumpah)2. Dengan demikian arti ijtihad adalah pengerahan segala
kesanggupan dan kekuatan untuk memperoleh apa yang dituju sampai batas puncaknya.
Makna ijtihad selalu diidentifikasikan dengan istinbath. Istinbath barasal dari kata
nabath (air yang mula-mula memancar dari sumber yang digali). Oleh karena itu menurut
bahasa arti istinbath sebagai muradif dari ijtihad yaitu mengeluarkan sesuatu dari
persembunyian (Husein, 1991).
Adapun definisi Ijtihad secara terminology cukup beragam dikemukakan oleh
ulama ushul fiqih. Namun secara umum adalah aktivitas untuk memperoleh pengetahuan
(Istinbath) hukum syara dari dalil terperinci dalam syariat. Dengan kata lain, ijtihad
adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih (pakar fiqih Islam) untuk
memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara (agama). Dalam
istilah inilah, ijtihad lebih banyak dikenal dan digunakan bahkan banyak para fuqaha
yang menegaskan bahwa ijtihad itu bisa dilakukan dibidang fiqih (Syafe'i, 1998).
Dari definisi diatas dapat ditarik kesimpulan mengenai pelaku, objek dan target
capaian ijtihad adalah :
1. Pelaku ijtihad adalah seorang ahli fiqh, bukan yang lain.
2. Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syari bidang amali (furuiyah)
yaitu hukum yang berhubungan dengan tingkah laku orang mukallaf.
3. Hukum syari yang dihasilkan oleh suatu ijtihad statusnya adalah dzhanni3.

Status dhanni pada hukum hasil ijtihad berarti kebenarannya tidak bersifat absolut,
ia benar tapi mengandung kemungkinan salah. Hanya saja menurut Mujtahid yang

1 Rachmat SyafeI, Ilmu Ushul Fiqih untuk IAIN, STAIN, PTAIS, Bandung : Pustaka
Setia, 1999, hal. 106

2 http://bulekh.blogspot.com/2012/10/normal-0-false-false-false-en-us-x-
none.html

3 Tim penyusun studi islam IAIN Sunan Ampel, Pengantar Studi Islam, Surabaya :
IAIN Ampel Press, 2004

3
bersangkutan porsi kebenarannya lebih absolut. Atau sebaliknya ia salah tapi
mengandung kemungkinan benar (Hanafi, 1970).

B. Dasar Hukum Ijtihad


Ijtihad bisa dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber hukum
Islam. Yang menjadi landasan dibolehkannya ijtihad, baik melalui pernyataan yang jelas
maupun berdasarkan isyarat, diantaranya :
1. Dalil Al-Quran
- Surah An-Nisa : 59

Artinya :
Wahai orang-orang yang beriman ! Taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) diantara kamu. Kemudian,
jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah
(Al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

- Surah Al-Hasyr: 2


Artinya :

Maka ambillah ibarat, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan.

2. Adanya keterangan sunnah, yang membolehkan berijtihad


- Sabda Rasulullah saw kepada Ibn Masud
Berhukumlah engkau dengan Al-Quran dan Al-Sunnah apabila sesuatu itu
engkau temukan pada dua sumber itu. Tapi jika engkau tidak
menemukannya pada kedua sumber tersebut, maka berijtihadlah.

- Hadits yang menerangkan dialog Rasulullah SAW dengan Muadz bin Jabal,
ketika Muadz diutus menjadi hakim di Yaman berikut ini:
Diriwayatkan dari penduduk homs, sahabat Muadz ibn Jabal, bahwa
Rasulullah saw. Ketika bermaksud untuk mengutus Muadz ke Yaman,
beliau bertanya: apabila dihadapkan kepadamu satu kasus hukum,

4
bagaimana kamu memutuskannya?, Muadz menjawab:, Saya akan
memutuskan berdasarkan Al-Quran. Nabi bertanya lagi:, Jika kasus itu
tidak kamu temukan dalam Al-Quran?, Muadz menjawab:,Saya akan
memutuskannya berdasarkan Sunnah Rasulullah. Lebih lanjut Nabi
bertanya:, Jika kasusnya tidak terdapat dalam Sunnah Rasul dan Al-
Quran?,Muadz menjawab:, Saya akan berijtihad dengan seksama.
Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Muadz dengan tangan beliau,
seraya berkata:, Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk
kepada utusan Rasulullah terhadap jalan yang diridloi-Nya.(HR.Abu
Dawud)

Dan hal itu telah diikuti oleh para sahabat setelah Nabi wafat. Mereka selalu
berijtihad jika menemukan suatu masalah baru yang tidak terdapat dalam Al-Quran dan
Sunnah Rasul.

C. Kedudukan Ijtihad

Ijtihad merupakan sumber ketiga yaitu sebagai sumber operasional ajaran agama
Islam. Berbeda dengan Al-Quran dan Al-Sunnah, ijtihad terikat dengan hal-hal sebagai
berikut4 :
a. Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan
yang mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia
yang relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relatif maka keputusan
daripada suatu ijtihad pun adalah relatif.
b. Hasil keputusunnya tidak mengikat, mungkin berlaku bagi seseorang tapi tidak
berlaku bagi orang lain, berlaku untuk satu masa atau tempat tapi tidak berlaku
pada masa atau tempat yang lain.
c. Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ibadah mahdhah. Sebab
urusan ibadah mahdhah hanya diatur oleh Allah dan Rasulullah.
d. Hasil keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Quran dan as-
Sunnah.
e. Dalam proses berijtihad harus diperhatikan faktor-faktor motivasi, risiko,
kemaslahatan umum, pemanfaatan bersama dan nilai-nilai yang menjadi ciri
serta jiwa ajaran Islam.
D. Hukum Berijtihad
Al-Toyyib Khuderi al-Syayid5, seorang ahli ushul fiqh berkebangsaan Mesir
berpendapat bahwa apabila syarat-syarat mujtahid telah cukup pada diri seseorang,

4 Modul Pendidikan Agama Islam hal 79

5http://zairifblog.blogspot.com/2010/11/hukum-berijtihad.html

5
hukum melakukan ijtihad baginya bisa fardhu ain, bisa fardhu kifayah, bisa sunnat dan
bisa pula haram.
1. Fardhu Ain apabila dilakukan oleh setiap orang yang mencukupi syarat-syarat
sebagai mujtahid bilamana terjadi pada dirinya sesuatu yang membutuhkan
jawaban hukumnya. Hasil ijtihadnya itu wajib diamalkannya. Ia tidak boleh
bertaklid kepada mujtahid lain. Melakukan ijtihad juga fardhu ain apabila
seseorang ditanya tentang suatu masalah yang sudah terjadi yang
menghendaki segera pendapat jawaban tentang hukumnya, padahal tidak ada
mujtahid lain yang akan menjelaskan hukumnya.
2. Fardhu kifayah apabila disampingnya ada lagi mujtahid lain yang akan
menjelaskan hukumnya. Apabila satu di antara mereka melakukan ijtihad,
berarti sudah memadai dan tuntutan sudah terbayar dari mujtahid yang
lainnya.
3. Berijtihad hukumnya sunat apabila dalam 2 (dua) hal :
Melakukan ijtihad dalam hal-hal yang belum terjadi tanpa ditanya,
seperti pernah dilakukan oleh Imam Abu Hanifah yang dikenal dengan
Fiqh iftiradhi (fikih pengandian).
Melakukan ijtihad pada masalah-masalah yang belum terjadi
berdasarkan pertanyaan seseorang.

4. berijtihad haram hukumnya dalam dua hal, yakni :


Berijtihad dalam hal-hal yang ada nash secara tegas (qathi) baik
berupa ayat atau hadis Rasullullah atau hasil ijtihad itu menyalahi
ijma. Ijtihad hanya dibolehkan pada hal-hal yang selain itu.
Berijtihad bagi seseorang yang tidak melengkapi syarat-syarat seorang
mujtahid.. Orang yang tidak memenuhi syarat, ijtihadnya tidak akan
menemukan kebenaran, tetapi bisa menyesatkan dan berarti berbicara
dalam agama Allah tanpa ilmu dan hukumnya adalah haram.

E. Kebenaran Ijtihad
Hakim apabila berijtihad kemudian dapat mencapai ebenaran, maka ia mendapat
dua pahala. Apabila ia berijtihad kemudian tidak mencapai kebenaran, maka ia
mendapatkan satu pahala (HR. Bukhari dan Muslim)

6
F. Ijtihad dalam Tinjauan Sejarah

Ditinjau dari segi historis ijtihad pada dasarnya telah tumbuh sejak zaman nabi
muhammad SAW, kemudian berkembang pada masa sahabat, dan tabiin, serta generasi
berikutnya hingga kini dan mendatang dengan memiliki ciri khusus masing-masing.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari amr ibn al-ash ra. Ia mendengar rosulullah
bersabda: apabila seorang hakim hendak menetapkan suatu hukum, kemudian dia
berijtihad dan ternyata ijtihadnya benar, maka baginya dua pahala, dan apabila ijtihadnya
salah baginya satu ganjaran.

Demikian juga sebuah hadits yang sangat populer di kala nabi muhammad SAW,
hendak mengutus muadz sebagai hadis qodli (hukum) di Yaman, nabi bertanya
kepadanya:dengan apa kamu memutuskan perkara muadz ? lalu muadz menjawab :
dengan sesuatu yang terdapat dalam kitabullah. Kalau kamu tidak menemukannya dalam
kitabullah?pertanyaan nabi selanjutnya. Aku akan memutuskan menurut hukum yang
ada dalam sunnah rasulullah, jawab muadz lagi kalau tidak kamu jumpai dalam
kitabullah maupun dalam sunnah rasulullah? Beliau mengakhiri pertanyaannya, muadz
menjawab:aku akan berijtihad dengan pikiranku sendiri. Mendengar jawaban itu
rasulullah mengakhiri dialognya sambil menepuk dada muadz seraya beliau bersabda:
segala puji bagi allah yang telah memberikan petunjuk pada utusan rasulnya ke jalan
yang di ridhai oleh rasulullah

Menyimak beberapa riwayat di atas dapat di pahami bahwa terjadinya ijtihad pada
masa nabi muhammad SAW bukan semata-mata disebabkan atas dorongan nabi sendiri,
namun juga lahir atas inisiatif dari sebagian sahabat, sebagaimana tergambar dari hadits
muadz di atas, baru pada masa sahabat, ijtihad benar-benar mulai berfungsi sebagai alat
penggali hukum guna menyelesaikan berbagai kasus yang dihadapi umat islam yang
hukumnya tidak secara tegas di jumpai dalam al-quran dan sunnah, maka muncullah para
sahabat terkemuka, seperti abu bakar, umar, utsman, dan ali, sebagai pelopor melakukuan
ijtihad. Oleh karena itu mereka selalu bersikap:

a. Hanya berijtihad terhadap masalah-masalah yang terjadi.

b. Saling tukar menukar informasi

c. Sering bermusyawarah untuk memecahkan masalah(ijma).

7
d. Tidak menganggap pendapatnya paling benarsendiri, tetapi menghargai
pendapat orang lain.

e.Segera menarik fatwanya setelah mengetahui beberapa sunnah yang


bertentangan dengan fatwanya.

Pada masa daulat bani umayyah(661-750) atau periode tiga, berlakunya ijtihad
sama dengan priode-priode sebelimnya meskipun situasi dalam keadaan perpecahan
politik, banyak pemalsuan hadits dan tersebarnya fatwa yang berlawanan. Sebagai
puncaknya, muncullah beberapa mujtahid pada periode IV (bani Abbasiyah), dimana pada
fase ini fiqih islam mencapai puncak kejayaan bersama dengan kemajuan islam di
berbagai bidang. Sehingga periode ini sering di sebut ijtihad dan lahir para mujtahid
seperti:

a. Imam abu hanifah(150 H) di kuffah

b. Imam Malik bin Anas(179H) di madinah.

c. Imam Syafii (240 H) di Baghdad dan pindah ke mesir

d. Imam Ahmad bin Hambal(241 H) di baghdad

Selain empat imam madzhab di atas, sejarah juga mencatat mujtahid-mujtahid


terkenal lainnya seperti: imam zay ibn ali ibn al-khusain(80-122 H), imam jafar al
shoddiq(80-148 H), dan masih banyak lainnya.

Sesungguhnya apabila ijtihad itu tidak ada maka akan memberikan dampak
negatif pada umat islam karena hukum-hukum islam yang semula dinamis menjadi statis
dan kaku, sehingga islam tertinggal zaman, bahkan masih banyak kasus baru yang
hukumnya belim di jelaskan oleh al-quran dan sunnah, serta belum di bahas oleh ulama-
ulama terdahulu. Demikian juga akan menutup kesempatan bagi para ulama untuk
menciptakan pemikiran-pemikiran baik dalam memanfaatkan dan menggali sumber
hukum islam sebagaimana diungkapkan oleh ibn taimiyah bahwa seorang tidak berhak
untuk memaksa orang lain dan mewajibkan sesuatu pada mereka, selain yang telah di
wajibkan Allah dan rasulullah, dan tidak boleh pula melarang kecuali sesuatu yang telah
dilarang oleh Allah dan Rasulnya, termasuk berijtihad6.
6 http://bulekh.blogspot.com/2012/10/normal-0-false-false-false-en-us-x-
none.html

8
G. Masalah yang Diijtihadkan

Menurut Al-Ghazali (dalam SyafeI, 1999 : 106), objek atau masalah ijtihad adalah
setiap hukum syara yang tidak memiliki dalil yang qathi. Dari pendapatnya itu,
diketahui ada permasalahan yang tidak bisa dijadikan objek atau masalah ijtihad.
Dengan demikian, syariat Islam dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi dalam dua
bagian :
1. Syariat yang tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum-hukum yang
telah dimaklumi sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil
yang qathi seperti kewajiban melaksanakan shalat, zakat, puasa, ibadah haji, atau
haramnya melakukan zina, mencuri, dan lain-lain. Semua itu telah ditetapkan
hukumnya di dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
Kewajiban shalat dan zakat berdasarkan firman Allah SWT
Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat (QS. An-Nur -56)

Ayat tersebut tidak boleh dijadikan masalah yang diijtihadkan untuk mengetahui
maksud shalat.

2. Syariat yang bisa dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum yang didasarkan pada
dalil-dalil yang bersifat Dzhanni (tidak pasti), baik dari segi maksudnya,
keberadaannya (wurud), maupun dari segi penunjukannya terhadap hukum
(dalalah), serta hukum-hukum yang belum ada nash-nya dan ijma para ulama.

Pembagian tersebut dapat di simpulkan bahwa wilayah ijtihad hanya sebatas pada
masalah yang hukumnya ditunjukkan oleh dalil dzanni, kemudian dikenal dengan istilah
masalah fiqih dan masalah hukumnya sama sekali tidak di singgung oleh al-Quran,
sunnah maupun ijtima. Hal ini merupakan masalah baru atau hukum baru.
Apabila ijtima ini bertentangan dengan nash, maka ijtihad itu batal, karena tidak ada
ijtihad terhadap nash.
Apabila ada nash yang keberadaannya masih Dzhanni, hadits ahad misalnya, maka
yang menjadi lapangan ijtihad atau masalah yang diijtihadkan diantaranya adalah meneliti
bagaimana sanadnya, derajat para perawinya, dan lain-lain.
Nash yang petunjuknya masih Dzhanni, maka yang menjadi lapangan ijtihad, antara
lain bagaimana maksud dari nash tersebut, misalnya dengan memakai kaidah am, khas,
mutlaq muqqayyad, dan lain-lain.

9
Permasalahan yang tidak ada nashnya, maka yang menjadi lapangan ijtihad adalah
dengan cara menggunakan kaidah-kaidah yang bersumber dari akal, seperti qiyas,
istihsan, mashalah mursalah, dan lain-lain7.

H. Macam-Macam dan Cara-Cara Ijtihad


1. Macam-Macam Ijtihad
Dr. Dawalibi (dalam Syafei, 1999 : 104) membagi ijtihad menjadi tiga bagian, yang
sebagiannya sesuai dengan pendapat Asy-Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqat, yaitu :
a. Ijtihad Al-Batani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara dari nash.
b. Ijtihad Al-qiyasi, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam
Al-Quran dan As-Sunah dengan menggunakan metode qiyas.
c. Ijtihad Al-istishlah, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam
Al-Quran dan As-Sunnah dengan menggunakan rayu berdasarkan metode
Istishlah.
Pembagian di atas masih belum sempurna, Muhammad Taqiyu al-Hakim membagi
ijtihad menjadi dua bagian saja, yaitu :
a. Ijtihad al-aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada akal, dan tidak
menggunakan dali syara. Mujtahid dibebaskan untuk berpikir, dengan mengikuti
kaidah-kaidah yang pasti. Misalnya, menjaga kemadaratan, hukuman itu jelek bila
tidak disertai penjelasan, dan lain-lain.
b. Ijtihad syari yaitu ijtihad yang didsarkan pada syara termasuk dalam pembagian
ini adalalah ijma, qiyas, istihsan, istishlah, urf, istishhab, dan lain-lain.
2. Cara-cara Ijtihad
Beberapa cara/metode ijtihad untuk menetapkan suatu ketentuan/keputusan hukum
yang rinci tidak disebutkan secara eksplisit oleh Al-Quran dan Sunnah antara lain8 :
a. Qiyas
Qiyas (reasoning by analogy) adalahn menetapkan sesuatu hukum terhadap
sesuatu hal yang belum diterangkan oleh al-Qur'an dan as-Sunnah, dengan
dianalogikan kepada hukum sesuatu yang sudah diterangkan hukumnya oleh al-
Qur'an / as-Sunnah, karena ada sebab yang sama.
Contoh : - Menurut al-Qur'an surat al-Jum'ah 9; seseorang dilarang jual beli pada saat
mendengar adzan Jum'at. Bagaimana hukumnya perbuatan-perbuatan lain
( selain jual beli ) yang dilakukan pada saat mendengar adzan Jum'at?
Dalam al-Qur'an maupun al-Hadits tidak dijelaskan. Maka hendaknya kita

7 Rachmat SyafeI, Ilmu Ushul Fiqih untuk IAIN, STAIN, PTAIS, Bandung : Pustaka
Setia, 1999, hal. 106

8 Modul Pendidikan Agama Islam, hal. 81

10
berijtihad dengan jalan analogi. Yaitu : kalau jual beli karena dapat
mengganggu shalat Jum'at dilarang, maka demikian pula halnya
perbuatan-perbuatan lain, yang dapat mengganggu shalat Jum'at, juga
dilarang.
- Menurut surat al-Isra' 23; seseorang tidak boleh berkata uf ( cis ) kepada
orang tua. Maka hukum memukul, menyakiti dan lain-lain terhadap orang
tua juga dilarang, atas dasar analogi terhadap hukum cis tadi. Karena
sama-sama menyakiti orang tua. Pada zaman Rasulullah saw pernah
diberikan contoh dalam menentukan hukum dengan dasar Qiyas tersebut.
Yaitu ketika Umar bin Khathabb berkata kepada Rasulullah saw : Hari ini
saya telah melakukan suatu pelanggaran, saya telah mencium istri, padahal
saya sedang dalam keadaan berpuasa. Tanya Rasul : Bagaimana kalau
kamu berkumur pada waktu sedang berpuasa ? Jawab Umar : tidak apa-
apa. Sabda Rasul : Kalau begitu teruskanlah puasamu.

b. Ijma
Ijma (consensus) adalah kesepakatan ulama dalam menentukan sesuatu masalah
ijtihadiyah. Contohnya ulama sepakat bahwa orang yang azan diutamakan untuk
iqamat.

c. Istihsan
Istihsan (preference) adalah menetapkan suatu hukum terhadap persoalan
ijtihadiyah atas dasar prinsip-prinsip umum ajaran Islam, seperti : keadilan, kasih
saying, dll. Istihsan disebut juga Qiyas Khafy (analogi samar-samar), karena
merupakan pengalihan kepada hukum lain demi kemashlahatan umum. Landasannya
QS. Al-Zumar : 18. Contohnya adalah pengambilan suara terbanyak dalam pemilihan
dengan melalui voting sebagai bentuk lain dari musyawarah.

d. Mashalihul Mursalah
Mashalihul Mursalah (utility) adalah menetapkan suatu hukum terhadap persoalan
ijtihadiyah atas pertimbangan kegunaan dan pemanfaatan yang sesuai dengan tujuan
syariat. Landasannya QS. Ali Imran : 110. Istihsan berdasarkan kepada dalil umum
Quran/Hadits, sedangkan mashalihul mursalah berdsasarkan kepada kegunaan saja
tanpa ada dalil. Contohnya wajib mentaati rambu-rambu jalan untuk keselamatan
orang banyak.

e. Sadduz Zariat

11
Sadduz Zariat diberlakukan terhadap sesuatu yang secara alamiyah atau asal
mulanya bernilai mubah/boleh, tetapi cenderung untuk mengakibatkan munculnya
tindakan-tindakan merusak bagi yang melihat, mendengar, atau menggunakannya.
Contohnya adalah gambar-gambar porno yang dapat merusak mentalitas, tulisan-
tulisan yang dapat merusak pikiran, film-film blue yang dapat merusak moralitas,
dll. Hal-hal pada contoh tersebut pelanggarannya tidak bersifat mutlak, bergantung
kepada tingkat kerusakan yang ditimbulkan.
Menurut Abu Zahrah (dalam Modul PAI : 82) zariat (sesuatu yang dapat
membawa kepada tindakan yang terlarang) terbagi kepada empat macam :
1. Zariat yang pasti mengakibatkan tindakan merusak. Zariat ini disepakati ulama
wajib dilarang (haram)
2. Zariat yang jarang membawa kepada tindakan merusak,tidak dilarang.
3. Zariat yang diduga kuat sering mengakibatkan tindakan merusak, harus dilarang.
4. Zariat yang diduga tidak kuat mengakibatkan perbuatan merusak, terjadi
perbedaan ulama tentang pelarangannya.

f. Urf
Urf adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan
masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-
aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis. Contohnya dalah dalam hal jual beli. Si
pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya
tanpa mengadakan ijab kabul karena harga telah dimaklumi bersama antara penjual
dan pembeli.

I. Syarat-Syarat Mujtahid

Setiap orang yang hendak menjadi Imam Mujtahid, yaitu orang-orang yang bertugas
mengeluarkan hukum dari dalam Al-Quran dan Hadits, maka orang itu harus memenuhi
beberapa syarat. Syarat-syarat itu adalah9 :
1. Mengetahui bahasa Arab sedalam-dalamnya karena Al-Quran dan Hadits, diturunkan
Tuhan dalam bahasa Arab yang fasih, yang mutunya tinggi dan pengertiannya luas
dan dalam.
Allah berfirman :

9 http://imron-busfa.blogspot.com/2012/04/makalah-ijtihed-dan-mujtahid.html

12
Artinya : "Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur'an dengan berbahasa
Arab, agar kamu memahaminya (QS Yusuf : 2).

Allah berfirman pula:



Artinya : "Dan demikianlah, Kami telah menurunkan Al Qur'an itu sebagai peraturan
(yang benar) dalam bahasa Arab . Dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu
mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak ada pelindung
dan pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah. (QS Ar Ra'd : 37)

Orang yang tidak belajar bahasa Arab tidak mungkin akan dapat menggali hukum-
hukum dalam Al-Quran. Karena itu tidak mungkin ia menjadi Imam Mujtahid. Jadi ia
harus mengikuti salah satu Imam, tidak boleh tidak. Al-Quran itu dalam bahasa yang
fasih dan bermutu tinggi, tidak sama dengan bahasa pasaran atau bahasa-bahasa
daerah yang sekarang banyak terpakai di daerah-daerah negeri Arab, atau katakanlah
tidak sama dengan "bahasa Arab Tanah Abang". Orang Arab sendiri yang tidak
mendalami bahasa Arab dan tidak belajar undang-undang bahasa Arab, tidak akan
bisa menjadi Imam Mujtahid karena ia tidak akan pandai menggali isi Al-Quran
sedalam-dalamnya.
Jadi harus dipelajari semahir-mahirnya, bukan saja arti bahasa, tetapi ilmu-ilmu
yang bersangkutan dengan bahasa, seumpanya Nahwu, Sharaf, Bayan, Badi',
Balaghah, Arudh dan Qawafi karena dengan ilmu-ilmu itu baru bisa diketahui yang
mana dalam ayat ayat itu yang sifatnya umum, yang sifatnya khusus, yang suruhan,
yang larangan, yang pertanyaaan, yang nash (nyata), yang majaz (tersirat), yang
muthlaq, yang muqayad, yang berita, yang hikayat dan lain-lain sebagainya.
Di dalam Al-Quran ada firman yang pada lahirnya Nampak menyuruh", tetapi
pada hakikatnya melarang seumpama firman Allah :

13
Artinya : "Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Kami, mereka
tidak tersembunyi dari Kami. Maka apakah orang-orang yang dilemparkan
ke dalam neraka lebih baik ataukah orang-orang yang datang dengan
aman sentosa pada hari kiamat? Perbuatlah apa yang kamu kehendaki;
sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS Fushilat :
40)

Kalau kita tidak mengetahui ilmu ma'ni maka akan tersesatlah kita dalam memberikan
arti kepada ayat ini karena bisa difahamkan bahwa Allah mengizinkan dan bahkan
menyuruh supaya orang mengerjakan apa yang disukainya saja, biar pekerjaan jahat
sekali pun. Padahal Allah dalam ayat ini bukan menyuruh, tetapi melarang dan mengecam
supaya orang jangan berbuat sesuka hatinya saja dengan tidak memikirkan halal dan
haramnnya.
Ada orang bertanya, bahwa di Indonesia sekarang sudah banyak kitab-kitab
terjemahan Al-Quran dalam bahasa Indonesia yang disusun dan dikarang oleh
penterjemah bangsa Indonesia. Sudah bolehkah kita menggali hukum fiqih dari dalam Al-
Quran, sedang kita hanya baru mengetahui arti ayat-ayat Al-Quran dari kitab-kitab
terjemahan itu ? Memang sudah ada beberapa kitab terjemahan Al-Quran, dalam bahasa
Indonesia, tetapi dengan tegas pertanyaan di atas dapat dijawab dengan "Belum bisa",
karena:

a. Ada kemungkinan terjemahan itu tersalah atau salah, sedang kita tidak mengetahui
karena kita tidak mempunyat alat untuk mengoreksi kesalahan itu.
b. Kalau kita hanya mengikut saja kepada terjemahan pengarang-pengarang itu, maka
artinya kita masih bertaqlid, belum Mujtahid.
c. Dalam kenyataannya terjemahan-terjemahan Al-Quran dalam bahasa Indonesia yang
sudah ada di Indonesia, terdapat perbedaan-perbedaan arti satu sama lain dari satu
ayat. Masing-masingnya memberikan arti menurut pendapatnya saja. Misalnya
perkataan "laamas-tum" dalam Surat Nisa', ayat ke 43, terdapat terjemahan yang
berlain-lainan.
Dalam terjemahan A berbunyi : "Atau kamu telah menyentuh perempuan" . (halaman
125).
Dalam terjemahan B berbunyi : "Atau kamu sentuh perempuan-perempuan".
(halaman 159).

14
Dalam terjemahan C berbunyi : 'Atau kamu sudah campur dengan isterimu". (halaman
71).
Dalam terjemahan D berbunyi: "Atau kamu campur dengan perempuan". (halaman
119).
.Ayat ini ialah tentang soal yang membatalkan wudhu''.
Menurut terjemahan A, berarti bahwa sekalian persentuhan dengan perempuan
membatalkan wudhu. Tidak perduli apakah perempuan itu ibu, saudara, anak, mertua
dan lain-lain sebagainya, karena dalam terjemahan itu hanya dikatakan : atau kamu
telah menyentuh perempuan".
Menurut terjemahan B, timbul hukum bahwa bersentuh dengan seorang perempuan
tidak membatalkan wudhu'. Yang membatalkan ialah bersentuhan dengan banyak
perempuan, karena dalam terjemahannya dlkatakan : atau kamu sentuh perempuan-
perempuan".
Menurut terjemahan C, menimbulkan pengertian bahwa bercampur dengan isteri
membatalkan wudhu'. Apakah arti "bercampur dalam bahasa Indonesia ? Artinya
ialah bergaul atau berkumpul. Nah ! Menurut terjemahan C, bergaul saja dengan isteri
sudah membatalkan wudhu, tetapi bergaul dengan perempuan lain tidak
membatalkan wudhu, karena terjemahannya "atau kamu sudah campur dengan
isterimu. Tetapi kalau yang dimaksudkan dengan "bercampur" itu bersetubuh dengan
isteri, maka yang membatalkan wudhu, hanya bersetubuh dengan isteri. Adapun
bersetubuh dengan orang lain tidak membatalkan wudhu. Apakah begitu
maksudnya ?
Menurut terjemahan D menimbulkan pengertian sama dengan terjemahan C. Akan
tetapi bagi terjemahan D adalah bercampur dengan perempuan, bukan dengan isteri
saja seperti terjemahan C.
Jadi, belumlah mungkin orang menggali hukum fiqih hanya bersandarkan dan
berpedoman kepada arti ayat yang diberikan oleh pengarang-pengarang terjemahan
Al-Quran dalam bahasa Indonesia. Sekali lagi ditekankan bahwa syarat mutlaq bagi
seorang Imam Mujtahid ialah mengetahui bahasa Arab dalam segala seginya, karena
Al Quran dan Hadits itu ditulis atau diturunkan oleh Tuhan dalam bahasa Arab yang
mutunya sangat tinggi.

d. Harus diketahui, bahwa ayat ayat AL-Quran itu ditafsirkan artinya dengan hadits-
hadits Nabi, atau dengan kata lain bahwa tafsiran Al-Quran haruslah menurut yang

15
diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam tidak boleh semaunya
saja menurut kemauan kita. Karena itu adalah syarat muthlaq bagi setiap Imam
Mujtahid mengetahui seluruh hadits yang bersangkutan dengan ayat itu, yaitu hadits-
hadits yang termaktub dalam kitab-kitab hadits yang 6 yaitu, Bukhari, Muslim, Abu
Daud, Tirmidzi, Nisai dan Ibnu Majah. Dus, tidak cukup kalau baru hanya mengetahui
tafsir Al-Quran dari Kitab-kitat Tafsir atau Kitab-kitab Terjemahan bahasa Indonesia
itu.

2. Syarat yang kedua bagi Imam Mujtahid ialah mahir dalam hukum-hukum Al-
Quran, yakni diketahui lebih dahulu mana di antara ayat Al-Quran itu yang umum
sifatnya, yang khusus, yang mujmal, yang mubayan, yang muthlaq, yang
muqayad, yang zahir, yang nash, yang nasikh, yang mansukh, yang muhakkam
yang mutasyabih dan lain-lain sebagainya. Untuk mengetahui hal ini semuanya
calon Imam Mujtahid harus mengerti Ilmu ushul Fiqih, kalau tidak, tidaklah
mungkin menjadi Imam Mujtahid, tetapi harus menjadi orang bertaqlid saja
kepada salah seorang Imam Mujtahid.
Memang berat syarat-syarat ini, karena seperti yang dikatakan di atas, bahwa
jabatan Imam Mujahid itu adalah jabatan yang sangat tinggi, karena ia adalah
sebagai pengganti Rasulullah dalam membentuk hukum agama .

3. Syarat yang ketiga bagi lmam Mujtahid ialah mengerti akan isi dan maksud Al-
Quran keseluruhannya, ke 30 juznya. Pada ketika ia berijtihad dalam sesuatu
masalah semua isi dari Al-Quran terbayang di kepalanya, sehingga tidak
menimbulkan hukum yang bertentangan dengan salah satu dai ayat-ayat Al-Quran
itu. Imam Syafi'i rahimahullah dalam usia 9 tahun telah hafal keseluruhan ayat
Al-Quran di luar kepala, begitu juga Imam Hanafi telah hafal seluruh ayat Al-
Quran di luar kepala semasa beliau masih kecil. Adalah tidak mungkin bagi
seseorang Imam Mujtahid kalau ia hanya mengetahui 10, 20 atau 100 ayat saja,
karena ayat-ayat Al-Quran sangkut-bersangkut antara satu dengan yang lainnya.
Seperti yang dikatakan Imam Ibnul Arabi al Maliki, pengarang kitab Tafsir
"Ahkamul Quran", bahwa gurunya mengatakan kepadanya, bahwa dalam surat Al
Baqarah saja terdapat seribu perintah, seribu larangan, seribu hukum, seribu berita
(Ahkamul Quran jilid I, halaman 8).

16
4. Syarat yang ke-empat bagi seorang Imam Mujtahid ialah mengetahui 'Asbabun-
nuzul" bagi setiap ayat itu, yakni mengetahui sebab maka ayat-ayat itu diturunkan.
Seperti dimaklumi bahwa ayat-ayat suci Al-Quran bukan diturunkan sekaligus,
tetapi berangsur-angsur selama 23 (duapuluh tiga) tahun.
Setiap ayat itu diturunkan karena ada perlunya, umpamanya untuk menjawab
suatu pertanyaan dari rakyat, untuk mengalahkan sesuatu hujjah musuh, untuk
suatu kabar yang diperlukan dan lain-lain sebab turunnya ayat-ayat Al-Quran itu.
Ini dinamai Asbabun-nuzul", yaitu sebab-sebabnya turun. Setiap Imam Muitahid
harus mengetahui Asbabun-nuzul, kalau tidak maka ia akan tersalah dalam
mengartikan ayat-ayat itu.

Sebagai contoh dikemukakan, peristiwa-peristiwa di bawah ini:

a. Tersebut dalam Kitab. "Ahkamul Quran", juz l,halaman 28, bahwa dulu ada
orang yang tersalah dalam mengartikan ayat, karena tidak tahu sebabnya maka
ayat iru dirurunkan. Mereka membolehkan minum arak berdalilkan ayat Al
Quran yang tersebut dalam surat Al Maidah, ayat 93 begini :





Artinya : "Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka
makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan
mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap
bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan
berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan." (QS AI Maidah : 93).
Menurut mereka ayat ini membolehkan memakan atau meminum apa saja,
kalau sudah mu'min dan sudah beramal saleh. Mereka salah dalam memberi
arti kepada ayat ini karena tidak mengetahui asbabun-nuzul", sebab-sebabnya
maka ayat ini diturunkan.

17
Ayat ini justru untuk melarang minum arak, bukan untuk membolehkannya.
Dulu orang-orang Islam banyak minum arak, yakni sebelum dilarang.
Kemudian turun ayat tersebut dalam surat Ar Baqarah : 219, yang menyuruh
berhenti meminum arak itu. Sekumpulan orang Islam bertanya kepada
Rasulullah : "Bagaimana-halnya kami yang sudah banyak minum arak dulu
itu, yakni sebelum dilarang? Maka turunlah ayat Al Maidah 93 ini, bahwa
yang telah termakan atau terminum yang dulu-dulu itu tidak berdosa asal
sekarang sudah iman dan sudah beramal saleh. Maka ayat ini turunnya untuk
mencukupkan keterangan larangan, bukan untuk membolehkan apa saja untuk
dimakan atau diminum.

b. Allah berfirman :



Artinya : "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu
menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas
(rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS AI Baqarah : 115).
Kalau menurut lahir atau lafazh ayat ini saja bisa timbul hukum, bahwa
menghadap kiblat dalam sembahyang tidak wajib, karena wajah Allah ada di
mana-mana. Pengertian semacam itu salah. Ummat Islam dari dulu sampai
sekarang telah ijma' (sepakat) mewajibkan menghadap kiblat dalam shalat yang
lima waktu dan shalat yang sunnat yang lain. Kesalahan pengertian ayat itu
timbul karena tidak mengetahui 'Asbabun-nuzul" yaitu sebab maka ayat itu
diturunkan. Sebab turunnya ayat ini adalah :
- Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam membutuhkan banyak shalat
sunnat, tetapi beliau dalam perjalanan mengendarai onta dari Mekkah ke
Madinah. Pada ketika itu turun ayat tadi yang memberi izin untuk
menghadap kemana saja pada ketika shalat sunnat dalam perjalanan di atas
kendaraan. Jadi ayat ini khusus untuk shalat sunnat dalam perjalanan.
Seseorang berlayar dengan kapal api, atau terbang dengan pesawat udara,
atau berjalan jauh dengan mobil, sedang ia akan shalat sunnat. Pada ketika
itu ia boleh menghadap dalam shalat kemana kendaraannya menghadap

18
karena wajah Allah itu ada di mana-mana. Inilah arti ayat ini yang
sebenarnya,yang mana kalau tidak tahu kisah ini, niscaya akan tersalah
dalam menggali hukum dalam ayat ini.
Kesimpulannya : Ilmu Asbabun-nuzul adalah syarat bagi seseorang yang
menjadi Imam Muitahid!

5. Syarat yang kelima bagi seseorang Imam Mujtahid ialah mengetahui hadits-hadits
Nabi, sekurangnya apa yang telah termatub dalam Kitab-kitab Hadits yang 6,
yaitu: 1. Sahih Bukhari, 2. Sahih Muslim. 3. Sahih Tirmidzi. 4. Sunan Nisai, 5.
Sunan Abi Daud dan ke 6. Sunan Ibnu Majah. Dan sebaiknya mengerti juga
hadits-hadits yang tersebut dalam Musnad Ahmad bin Hanbal, Mustadrak Hakim,
Sahih Ibnu Hibban, SahihTabhrani, Sunan Daruquthni dan lain sebagainya.
Hal ini sangat perlu, karena hukum-hukum fiqih ini bersumber kepada Quran dan
Hadits, bukan kepada Quran saja atau kepada aqal saja, atau pendapat manusia
saja. Karena itu setiap Imam Mujtahid harus mengerti Quran dan Hadits.

6. Syarat yang ke-enam bagi setiap lmam Mujtahid ialah berkesanggupan


menyisihkan mana hadits-hadits yang sahih mana yang maudhu' (yang dibuat-buat
oleh musuh-musuh Islam), mana hadits yang kuat, dan mana hadits yang lemah.
Hal ini dapat diketahui dengan mengetahui pula si"Rawi yakni keadaannya orang
yang meriwayatkan hadits itu. Ini penting, kalau tidak, kita akan terjerumus
kepada mengambil hadits-hadits yang palsu, yang bercacat, yang lemah dan lain-
lain sebagainya.
7. Mengerti dan tahu pula fatwa-fatwa Imam Mujtahid yang terdahulu dalam
masalah-masalah yang dihadapi. Ini sangat perlu, agar setiap Imam Mujtahid tidak
terjerumus kepada mengeluarkan hukum yang melawan ijma', yaitu kesepakatan
Imam-imam Mujtahid dalam suatu zaman. Oleh karena itu sekurangnya ia harus
membaca dan memahami kitab-kitab karangan Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam
syafii, dan Imam Hanbali, yang semuanya bisa didapat waktu sekarang, karena
sudah banyak dicetak pada percetakan-percetakan di Mesir.

Demikianlah diantaranya syarat-syarat yuridis bagi seorang Imam Mujtahid, di


samping ada pula syarat-syarat yang lain, yaitu shaleh dan bertaqwa kepada Allah,
berakhlak yang tinggi, tidak sombong dan tidak takabbur, tidak melakukan pekerjaan-
pekerjaan yang keji yang dilarang oleh agama Islam.

19
J. Tingkatan-tingkatan Ijtihad

Para mujtahid mempunyai tingkatan-tingkatan10 :

1. Mujtahid mutlaq atau mujtahid mustakhil yaitu mujtahid yang


mempunyai pengetahuan lengkap untuk berisbad dengan Al-qur'an dan Al-hadits
dengan menggunakan kaidah mereka sendiri dan diakui kekuatannya oleh tokoh
agama yang lain. Para mujtahid ini yang paling terkenal adalah imam empat madzhab.

2. Mujtahid muntasib yaitu mujtahid yang terkait oleh imamnya seperti keterkaitan
murid dan guru mereka adalah imam Abu Yusuf, Zarf binHuzail yang merupakan
murid imam Abu Hanifah

3. Mujtahid fil madzhab yaitu para ahli yang mengikuti para imamnya baik dalam usul
maupun dalam furu' misalnya imam Al-Muzani adalah mujtahid fil madzhab Syafi'i

4. Mujtahid tarjih yaitu mujtahid yang mampu menilai memilih pendapat sebagai imam
untuk menentukan mana yang lebih kuat dalilnya atau mana yang sesuai dengan
situasi kondisi yang ada tanpa menyimpang dari nash-nash khot'i dan tujuan syariat,
misalnya Abu Ishaq al syirazi, imam Ghazali

10 http://tabligh-sejarahmadzhabsyafii.blogspot.com/2011/05/6-uraian-fatwa-
ijtihaj-mujtahid-madzhab.html,

20
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Ijtihad berarti mencurahkan segala kemampuan untuk mendapatkan sesuatu (yang


sulit) dan dalam prakteknya digunakan untuk sesuatu yang sulit dan memayahkan.
Ijtihad adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan
berbagai metode yang diterapkan beserta syarat-syarat yang telah ditentukan untuk
menggali dan mengetahui hukum Islam. Tujuan ijtihad dilakukan adalah upaya
pemenuhan kebutuhan akan hukum karena permasalahan manusia semakin hari semakin
kompleks di mana membutuhkan hukum Islam sebagai solusi terhadap problematika
tersebut.

B. SARAN

Penulis menyarankan agar umat Islam bersatu dalam menyelesaikan masalah di


zaman modern sat ini karena banyak masalah-masalah baru yang tidak atau kurang jelas
diatur dalam Al-Quran dan Hadits. Tetap berjuang menegakkan syariat Islam.

21
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Hukum Berijtihad. http://zairifblog.blogspot.com/2010/11/hukum-


berijtihad.html. Diakses pada 17 Oktober 2013.

Anonim. 2011. Syarat utuk Menjadi Imam Mujtahid. http://tabligh-


sejarahmadzhabsyafii.blogspot.com/2011/05/6-uraian-fatwa-ijtihaj-
mujtahid-madzhab.html. Diakses pada 10 September 2013.

Anonim. 2012. Ijtihad. http://bulekh.blogspot.com/2012/10/normal-0-false-false-


false-en-us-x-none.html. Diakses pada 10 September 2013.

Anonim. 2012. Makalah Ijtihed dan Mujtahid Imron. http://imron-


busfa.blogspot.com/2012/04/makalah-ijtihed-dan-mujtahid.html. Diakses
pada 10 September 2013.

Hanafi, A. 1970. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Husein, I. 1991. Ijtihad dalam Sorotan. Bandung: Mizan.

Syafe'i, Rachmat. 1998. Ilmu Ushul Fiqih untuk IAIN, STAIN, PTAIS. Bandung:
Pustaka Setia.

Tim penyusun studi islam IAIN Sunan Ampel. 2004. Pengantar Studi Islam,
Surabaya : IAIN Ampel Press.

22
23

Anda mungkin juga menyukai