Latar Belakang
Adalah wajar bagi Indonesia untuk berbangga diri sebagai negara dengan kekayaan
sumber daya alam yang begitu melimpah. Kekayaan alam yang kita miliki dengan jumlah
yang terbilang banyak adalah minyak bumi dan gas (Migas). Namun, hal ini menjadi ironi
saat sekarang kita terlihat kekurangan migas dan harus mengimpor dari luar, yang tentunya
berdampak pada meningkatnya beban anggaran negara.
Mungkin di awal perlu dijelaskan secara singkat bagaimana salah urus pengelolaan
Migas di Indonesia hingga tiba pada kondisi seperti sekarang ini. Di masa Orba,
kecenderungan negara dalam menguasai berbagai sektor terlihat begitu jelas. Ini dibuktikan
dengan kuatnya korporasi negara yang disebabkan oleh empat faktor, yaitu (1) korporasi
negara mencegah menguatnya pengaruh internasional; (2) korporasi negara menjadi penentu
dalam strategi industrialisasi nasional; (3) korporasi negara menjadi elemen tak tergantikan
dalam perkembangan kapital swasta di Indonesia; (4) korporasi negara memberi keuntungan
bagi elit politik dan militer.1
Demikian halnya pertamina yang menjadi kunci utama pengelolaan Migas pada waktu itu.
Kewenangan yang begitu besar yang diberikan ke tangan Presiden Direktur Pertamina untuk
mengelola dan mengontrol semua sektor yang berhubungan dengan minyak menjadi pemicu
begitu banyaknya pelanggaran yang menguntungkan para petinggi militer pada waktu itu dan
Singkat cerita, masalah yang dihadapi Pertamina dan berbagai sektor yang dijadikan
penggerak ekonomi oleh Orba membawa Indonesia ke dalam krisis hebat di tahun 1998.
Dalam buku Gagalnya Pembangunan karya Andrinof Chaniago, jika diuraikan secara
singkat, krisis menjelang runtuhnya Orba banyak banyak disebabkan oleh kesalahan strategi
ekonomi yang cenderung pragmatis dan mengakibatkan rapuhnya landasan ekonomi yang
dibangun. Perekonomian Indonesia dibangun dengan struktur ekonomi yang begitu buruk.
Pembangunan ekonomi masih didominasi oleh industri ekstraktif dan bukan justru bergerak
dalam pengembangan sektor sumber daya manusia dan teknologi.3
Krisis yang begitu parah kemudian menjadi pemicu yang memprovokasi Indonesia untuk
mau tidak mau menerima bantuan dari lembaga donor. Dalam tulisan ini, pembahasan
mengenai lembaga donor difokuskan pada IMF. Hutang Indonesia yang begitu banyak
kepada IMF mengahasilkan Letter of Intent antara Indonesia dan IMF di tahun 1998 yang
pada intinya berisi desakan untuk meliberalisasi berbagai sektor ekonomi di Indonesia,
termasuk untuk sektor Migas dalam hal ini.
Jauh sebelum kesepakatan ini muncul, IMF dan beberapa lembaga donor lainya
memang telah menjadi provokator yang secara berlebihan mendorong Indonesia dan
beberapa negara berkembang laiinya untuk melakukan liberalisasi dan swastanisasi. Untuk
konteks Indonesia, liberalisasi yang dilakukan cenderung prematur sehingga merusak tatanan
ekonomi yang telah dibangun sebelumnya.4 Untuk sektor migas, liberalisasi yang dilakukan
menghasilkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 yang poin utamanya adalah
pembentukan BP Migas, menggantikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971. Ini kemudian
menjadi babak baru pengelolaan migas di Indonesia yang bergeser dari pola etatisme ke
model yang lebih liberal.
Rumusan Masalah
Pada masa Orba, mekanisme pengelolaan migas diatur dalam Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1971 Tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara. Pada pasal
1, dijelaskan bahwa:
(2) Pengawasan termaksud pada ayat (1) pasal ini meliputi pengawasan produksi,
pengawasan keselamatan kerja dan kegiatan-kegiatan lainnya dalam pertambangan
minyak dan gas bumi yang menyangkut kepentingan umum.
(3) Cara pengawasan dan pengaturan keselamatan kerja yang ditujukan untuk
keamanan, keselamatan kerja dan effisiensi pekerjaan dari pada pelaksanaan usaha
pertambangan minyak dan gas bumi, diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dari pasal di atas, jelas bahwa kontrol sepenuhnya terletak pada departemen yang
selanjutnya disebut Perusahaan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) pada pasal yang
kedua. Banyaknya pelanggaran dalam tubuh Pertamina yang menyebabkan kerugian negara
dan desakan IMF untuk meliberalisasi sektor migas kemudian melahirkan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi menggantikan undang-undang migas
yang telah dijelaskan sebelumnya.
Perbedaan mendasar di antara kedua undang-undang ini adalah perbedaan pola
pelaksanaan pengelolaan migas. Jika dalam UU No. 8 Tahun 1971 negara melalui Pertamina
menjadi kontrol pusat pengelolaan Migas, dalam UU No. 22 Tahun 2001 migas dikuasai oleh
negara namun, pelaksanaan dan pengelolaannya diserahkan kepada Badan Pelaksana
sebagaimana yang tertulis pada pasal 4:
(1) Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam strategis tak terbarukan yang
terkandung di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan
nasional yang dikuasai oleh negara.
(2) Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan
oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan.
Ini yang kemudian mendasari didirikannya BP Migas oleh pemerintah yang tugasnya
diatur pada pasal 44, yaitu:
(1) Pengawasan terhadap pelaksanaan Kontrak Kerja Sama Kegiatan Usaha Hulu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dilaksanakan oleh Badan Pelaksana
sebagaimana dimaksudd alam Pasal 4 ayat (3).
(2) Fungsi Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melakukan
pengawasan terhadap Kegiatan Usaha Hulu agar pengambilan sumber daya alam
Minyak dan Gas Bumi milik negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan
yang maksimal bagi negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(3) Tugas Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
a. memberikan pertimbangan kepada Menteri atas kebijaksanaannya dalam hal
penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerja Sama;
g. menunjuk penjual Minyak Bumi dan atau Gas Bumi bagian negara yang dapat
memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara
Gugatan ini diajukan oleh organisasi-organisasi Islam dan beberapa orang lainnya. 7
Keputusan yang dianggap paling luar biasa dalam putusan MK ini adalah dibubarkannya BP
5 Disampaikan dalam kuliah umum Ekonomi Poitik Pengelolaan Batubara, Untuk
Siapa?, Senin, 7 Mei 2014, FISIP UI
6 Ibid
Migas yang kemudian kewenangan dari lembaga ini diambil alih oleh SKK Migas.
Keberadaan SKK Migas diatur dalam Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral
Republik Indonesia Nomor 09 Tahun 2013 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Satuan Kerja
Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi.
Tugas dan tanggung jawab yang sebelumnya dipegang oleh BP Migas kemudian diserahkan
kepada SKK Migas sebagaimana. SKK Migas pada pasal satu menjadi penyelenggara
pengelolaan migas dan bertanggung jawab langsung kepada presiden. Rincian peran dan
fungsi SKK Migas yang tertulis dalam pasal 3 meliputi:
a. memberikan pertimbangan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral atas
kebijaksanaannya dalam hal penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak
Kerja Sarna;
g. menunjuk penjual minyak burni dan/ atau gas bumi bagian negara yang dapat
memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.
Jika diperhatikan dan dibandingkan secara langsung, tidak terdapat perbedaan tugas
yang mencolok antara BP Migas dan SKK Migas. Ini yang kemudian memicu lahirnya
argumen bahwa dua lembaga ini tidaklah berbeda dan hanya sekedar ganti baju. Argumen
ini kemudian terbukti dari kasus penyelewengan dalam bentuk tindak pidana korupsi di tubuh
SKK Migas yang menjerat Rudi Rubiandini. Melihat tidak adanya perubahan yang berarti
Analisis
Sebelum masuk ke pembahasan mengenai pasal 33, kita sebaiknya bertanya kembali,
sejauh mana intervensi negara ke sektor ekonomi dapat dijustifikasi? Kami mengajukan teori
liberalisme, baik liberalisme klasik mau pun neo-liberal, dan teori Keynesian. Kemudian
kami baru akan membahas perekonomian Indonesia dilihat dari pasal 33 UUD 1945.
Adidaya Pasar
Bagi penganut liberalisme klasik, dan liberalisme baru sampai batas-batas tertentu,
haram hukumnya ketika negara masuk ke dalam persaingan pasar. Ada dua hal yang
menjustifikasi ini. Pertama adalah keniscayaan tentang pasar yang mampu meregulasi
diirnya sendiri, di mana terdapat tangan tak terlihat yang membuat pasar menjadi tempat
sempurna untuk memenuhi kebutuhan manusia. Pasar digerakkan oleh individu di dalamnya.
Mengacu pada apa yang ditulis Coparaso dan Levine (2008), individu di dalam pasar
tidak akan pernah membiarkan uang yang dimilikinya diam begitu saja. Uang tersebut akan
digunakan untuk keperluan konsumsi dan investasi, sebab di dalam pasar, baik pekerja mau
pun pemilik modal adalah pembeli dan penjual sekaligus. Pekerja menjual tenaganya dan
pemilik modal akan membelinya. Nanti ketika komoditas telah dihasilkan lewat proses
produksi, pemilik modal akan menjualnya di pasar. Proses itu akan terjadi terus-menerus
beriring dengan penumpukkan modal, yang dilakukan pemilik modal untu mencapai efisiensi.
Penumpukkan modal ini berasal dari asumsi kalau para pelaku pasar akan memaksimalkan
keuntungannya. Dengan menumpuk modal, pemilik modal akan semakin untung, karena
modal yang terakumalasi akan membantu perusahaan untuk bersaing di dalam pasar.
Pasar tidak mungkin gagal. Saat kita menemui individu yang kalah di dalam pasar,
maka hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai kegagalan pasar. Individu yang gagal itu
akan masuk ke sektor lain yang belum terjamah oleh pelaku pasar lain atau melakukan
inovasi agar dapat kembali bersaing di dalam pasar. Kalau ia gagal lagi dan seluruh modal
yang ia punya hilang, maka individu itu akan menjadi pekerja. Oleh karena itu, kebutuhan
akan selalu terpenuhi selama pelaku pasar melakukan hal ini. Lama-kelamaan modal akan
masuk ke berbagai sektor yang mengakibatkan terbukanya lapangan pekerjaan. Di sisi lain,
masuknya modal ke berbagai sektor ekonomi membuat terpenuhinya kebutuhan material
masyarakat. Justru para penganut liberalisme klasik menganggap kalau kegagalan pasar
hanya mungkin terjadi ketika ada faktor di luar pasar yang mengintervensi. Intervensi ke
dalam pasar hanya membuat pasar itu terganggu. Sampai sinilah kita bertemu dengan negara
dalam teori liberalisme klasik.
Kedua adalah karena negara memiliki kekuasaan politik. Menurut Budiardjo (2008),
kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk mengikuti keinginan
pemegang kekuasaan. Sementara itu, kekuasaan politik adalah kekuasaan yang terlegitimasi
secara politik, artinya segala instrumen yang digunakan oleh negara agar masyarakatnya
patuh diperbolehkan. Namun penggunaan ini hanya bisa sampai batas-batas tertentu. Batasan
ini tercipta lewat kontrak sosial, yaitu perjanjian antara masyarakat dan negara yang biasanya
tertulis di dalam konstitusi sebuah negara.8 Dan tentu, para pelaku pasar tidak menyukai
ketika negara terlalu masuk ke sektor ekonomi. Karena, dengan asumsi utilitarian, negara
akan menciptakan regulasi yang menguntungkan untuk dirinya sendiri. Regulasi ini sifatnya
koersif bagi setiap pelaku pasar. Keseimbangan pasar terganggu karena hal ini, sebab ketika
seharusnya negara, yang juga adalah pelaku pasar, kalah dalam persaingan, negara justru
tidak keluar dari pasar atau masuk ke sektor ekonomi lain, tetapi hal yang paling rasional
adalah negara akan menyelamatkan dirinya dengan regulasi yang mengikat. Regulasi inilah
yang membuat pasar jadi tidak efisien. Persaingan pasar adalah persaingan efisiensi. Pelaku
pasar yang tidak efisien harus angkat kaki dari pasar. Negara yang kalah dalam pasar tapi
tetap bertahan karena regulasi yang diciptakannya sendiri akan bertindak tidak efisien. Hal ini
justru merugikan pelaku pasar yang berhasil efisien. Hal ini akan memotivasi mereka untuk
bertindak tidak secara utilitarian lagi, karena peraturan terpenting dalam pasar dilanggar.
Pada akhirnya, efisiensi tidak lagi menjadi tujuan mereka. Dampak yang terjadi digambarkan
secara mengerikan: tertutupnya lapangan pekerjaan dan berkurangnya pasokan komoditas
material untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Penarikan pajak juga tidak diperkenankan bagi negara jika menginginkan pasar selamat.
Pajak menambah beban yang ditanggung sebuah perusahaan. Untuk tetap bertindak efisien,
Oleh karena itu, di dalam teori ini, peran negara harus dibatasi seminimal mungkin sampai
batas-batas tertentu. Namun, penganut neo-liberal tidak terlalu resisten terhadap negara. neo-
liberal berfokus pada usaha penyetaraan dan keadilan. Menurut Rawls, seperti yang
diungkapkan Gaust dan Courtlan (2010), distribusi pemerataan pendapatan dan kekayaan
oleh negara tidak diperkenankan, kecuali bagi mereka yang paling tidak beruntung. Itulah
keadilan menurut Rawls. Oleh karena itu, negara hanya boleh bertindak selama dimotivasi
untuk keadilan. Tapi tetap saja, peran negara dibatasi dalam hal ini.
Keynesian
Inti dari teori Keynesian adalah bagaimana pengaruh permintaan agregat terhadap
hasil keluaran (output) dan inflasi. Sebagaimana ditulis Blinder (tanpa tahun), ada enam (6)
pokok pemikiran Ekonomi Keynesian. Pertama, seorang Keynesianis menganggap kalau
9 James A. Coparaso dan David P. Levine. Teori-teori Ekonomi Politik. terj. Suraji.
(Pustaka Pelajar: 2008), halaman 97
permintaan agregat dipengaruhi oleh keputusan ekonomi, baik oleh pemerintah mau pun
swasta. Permintaan agregat adalah akumulasi permintaan secara keseluruhan. Kebijakan
fiskal dan moneter pemerintah mempengaruhi ini. Kedua, permintaan agregat mempengaruhi
hasil keluaran rill (real output) dan jumlah tenaga kerja, bukan pada harganya. Sebagai misal,
ketika pemerintah menaikkan pajak, maka hal yang paling mungkin dilakukan perusahaan,
menurut Keynesian, adalah menurunkan hasil produksinya, ketimbang menaikkan harga, dan
mengurangi jumlah pekerja. Ketiga, harga dan pendapatan merespon secara perlahan
perubahan permintaan dan penawaran, yang membawa dampak pada kerugian dan
keuntungan, terutama bagi para pekerja. Keempat, tidak ada toleransi bagi Keynesian
terhadap jumlah penganggur, sebab tenaga kerja merupakan subjek utama dalam permintaan
agregat. Kelima, umumnya seorang Keynesianis akan menuntut kebijakan stabilitas ekonomi
dari pemerintah. Terakhir, usaha yang dilakukan Keynesianis adalah untuk mengurangi
tenaga kerja, bukan angka inflasi. Dengan demikian, dari keenam tipikal tersebut, maka dapat
disimpulkan kalau peran negara di dalam teori Keynesian sentral. Negara semestinya, dalam
teori ini, mengontrol tingkat tenaga kerja lewat kebijakan fiskal dan moneter.
Pasal 33
Ada lima poin atau ayat yang tertera di pasal 33 UUD 1945:
Hal yang menarik dari pasal itu adalah kata-kata usaha bersama berdasar asas
kekeluargaan, sebesar-besar kemakmuran rakyat, dan demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan. Merujuk pada keempat hal itu, maka pola liberalisme klasik jauh dari
kemiripan dari konstitusi kita. Tradisi Barat itu bukanlah diri kita. Kegiatan ekonomi,
khususnya di cabang-cabang produksi penting bagi negara, bukanlah dianggap sebagai
sektor privat, di mana setiap pelakunya bertindak untuk kepentingan diri sendiri. Kegiatan
ekonomi didasarkan atas komunalisme, serta negara punya tanggung jawab yang besar.
Ekonomi Indonesia secara genologis adalah sosialis. Usaha bersama dan asas
kekeluargaan pada pasal pertama jelas memperkuat argumen ini. Menurut Hatta (tanpa
tahun), yang dimaksud usaha bersama dalam pasal tersebut adalah, tak lain, koperasi.
Koperasi, menurutnya, merupakan dasar budaya dari bangsa Indonesia. Seperti perkataan
Soepomo yang ia tuturkan, adat Indonesia didasarkan oleh, dalam bahasanya, cita-cita
perkauman. Berbeda dengan tradisi Barat, tidak ada pembedaan antara privat dan publik
dalam hukum adat kita. Meski gelombang kapitalisme telah sampai ke Indonesia saat itu,
yang membawa nilai-nilai individualistik, cita-cita perkauman ini tidak akan pernah hilang
menurut Hatta. Cita-cita perkauman datang dari tingkat yang paling bawah, yaitu desa. Itulah
bentuk koperasi sosial. Kemudian, Hatta melanjutkan, koperasi sosial adalah landasan yang
kuat untuk membangun koperasi ekonomi. Oleh karena itu, pengukuhan UUD 1945, terutama
pasal 33, adalah penting untuk menjaga hal ini. Koperasi bukan berarti menghilangkan unsur
individualisme di dalam masyarakat, sehingga tiap orang harus meleburkan diri di dalam
komunalisme, tetapi justru memberikan kesempatan kepada tiap individu untuk melakukan
inisiatif atas setiap pemutusan kebijakan.
Di dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 09 Tahun 2013
pasal 2 tertulis tugas SKK Migas. Hal penting yang perlu dilihat dalam pasal itu adalah frasa
berdasarkan kontrak kerja sama, yang berarti penyelenggaraan pengelolaan kegiatan hulu
diselenggarakan oleh perusahaan yang ditunjuk atas dasar kontrak kerja sama. Kontrak kerja
sama kami maknai sebagai hubungan timbal-balik yang setara. Hal ini berbeda dengan cita-
cita dari pasal 33 itu sendiri. Pasal 33 menyaratkan agar pemerintah berdiri di atas perusahaan
penyelenggara pengelolaan Migas. Ini dapat dibuktikan jika kita merujuk pada interpretasi
Hatta tadi, bahwasannya perusahaan penyelenggara bertanggung-jawab kepada pemerintah
dan utamanya, tentu, dikontrol pemerintah. Kontrak kerja sama berbeda dari cita-cita itu.
Pemerintah bertanggung-jawab kepada kontrak-kerja sama, begitu pula dengan perusahaan
penyelenggara. Padahal perusahaanlah yang semestinya bertanggung-jawab kepada
pemerintah, sementara tanggung-jawab pemerintah adalah kepada rakyat Indonesia, karena
sumber daya alam harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk rakyat Indonesia
Kesimpulan
Dengan demikian, perlu dipurifikasi lagi pemahaman mengenai pasal 33 UUD 1945,
beserta cita-cita yang diselipkan para pendiri negara sebagai cita-cita untuk membebaskan
masyarakat Indonesia dari keterpurukan. Keberadaan SKK Migas jelas membuat pemerintah
harus rukuk kepada perusahaan swasta, baik nasional mau pun asing. Padahal pemerintah
harus berdiri lebih tinggi, sehingga kedaulatan rakyat dapat terjamin.
Setelah itu, liberalisasi yang ada telah melanggar cita-cita awal pendirian negara
Indonesia. Individualisme secara genologis bukanlah hakikat dari bangsa Indonesia. Itu jelas
dipaparkan oleh pendiri bangsa kita, seperti Hatta dan Soepomo. Oleh karena itu, pengelolaan
Migas tidak boleh diserahkan pada prinsip-prinsip pasar. Sebab, seperti teori yang telah
dikemukakan, unsur yang paling penting di dalam pasar adalah individualisme dan
utilitarianisme. Kedua hal itu merupakan syarat utama untuk menjamin pasar dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat, sebagaimana angan-angan Adam Smith. Lewat kedua hal
itu, modal akan mengalir tanpa-henti, kemudian masuk ke sektor-sektor ekonomi untuk
memenuhi permintaan.
Daftar Pustaka
Buku
Rousseau, Jean-Jacques. 1913.The Social Contract and The Discourse. J.M. Dent &
Sons: New York
Sumber Lain
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 09 Tahun 2013
Gaus, Gerald and Courtland, Shane D., "Liberalism", The Stanford Encyclopedia of
Philosophy (Spring 2011 Edition), Edward N. Zalta (ed.),
http://plato.stanford.edu/archives/spr2011/entries/liberalism, diakses tanggal 11 Mei 2014,
19:35 WIB
Kuliah Umum Ekonomi Poitik Pengelolaan Batubara, Untuk Siapa?, Senin, 7 Mei
2014, FISIP UI