Anda di halaman 1dari 3

MARGINALISASI PEREMPUAN DI NEGERI PEREMPUAN

Oleh : Merry Kurnia

Bicara tentang perempuan tidak akan pernah ada habisnya, topik ini selalu
saja renyah untuk di bahas, apalagi di negeri perempuan ini yang konon katanya
perempuan di pandang agung, dengan bukti garis keturunan menurut ibu,kita
layangkan pandang jauh kebelakang secara historis memang perempuan
mendapatkan tempat yang sangat istimewa di Minangkabau, Nama bundo
kanduang, mande rubiah seakan sakral dan mengandung magis yang kuat bagi
masyarakat minangkabau. Tambo meninggalkan potonga-potongan dari besarnya
pengaruh perempuan di negeri perempuan ini, dimana di tanah ini mengibaratkan
laki-laki (urang sumando) serupa langau di ekor kerbau, atau seperti abu diatas
tunggul, angin kencang abu melayang.

Dalam adat secara normatif minnagkabau menganut siistem matrilineal ,


dalam sistem matrilineal, terdapat beberapa karakteristik yang khas dalam posisi
kaum ibu diataranya keturunan diatur menurut sistem turunan darah menurut garis
ibu, sumber ekonomi sawah ladang pemanfaatannya terutama untuk kaum ibu,
kunci hasil ekonomi sawah ladang (kunci rangkiang) dipegang oleh ibu.
Perempuan yang secara gamblang disebut sebagai pemegang kunci rangkiang,
secara otomatis mempunyai pengaruh yang kuat terhadap fondasi ekonomi dalam
rumah tangga, namun mereka tidak diberi tanggung jawab sebagai pencari nafkah,
perempuan di tempatkan di tempat yang tinggi, mereka pemegang penuh harta
pusako turun temurun, dan yang mengolah adalah laki-laki atau urang sumando
dalam rumah tersebut jadi perempuan adalah pemilik dari semua harta pusako
tinggi, adat Minangkabau hanya mengenal kesatuan menurut keturunan ibu dan
seorang suami dari seorang perempuan hanya urang sumando dan bukanlah
termasuk kedalam golongan kesatuan keluarga si istri dan harta pusako adalah
milik dari kesatuan menurut ibu. (M. Nasroen)

Tidak berhaknya laki-laki atas tanah pusako, mengharuskan mereka


merantau, sehingga menyebabkan minangkabau kental dengan tradisi merantau,
sisitem sosial Minangkabau merangsang keinginan orang laki-laki untuk pergi
meninggalkan desanya, terutama pemuda yang belum kawin, pengawasan tanah
pertanian yang dipegang oleh kaum wanita, dan setelah pubertas pemuda tidak
dapat lagi tidur di rumah orang tuanya justru mereka tidur disurau pada malam
harinya. Kekayanan yang didapatnya di rantau tidaklah dipergunakan di negeri
asing itu, tetapi di bawa pulang, dalam hal ini terjadilah perlombaan yang sehat
diantara laki-laki Minagkabau dalam memperbaiki keadaan kaum dan negerinya
masing-masing, rantau juga bertujuan untuk perkawinan yang bahagia dan
perestise.

Karantau madang diulu


Babungo babuah balun
Marantau dagang daulu
di kampung paguno balun.

Adat yang digadang-gadang indak lakang dek paneh, indak lapuk dek
hujan, terkikis jiwa zaman, hingga terjadi pergerseran yang sangat mencolok,
kususnya terhadap perempuan, jika dulunya perempuan berada diposisi yang
aman, sekarang perempuan berada di tempat yang memprihatinkan. Mamak
kepala waris yang dulunya sifatnya hanya mengawasi sekarang beralih fungs
menjadi menguasai bahkan sampai mengekploitasi sehingga perempuan tidak
mendapatkan apa-pa lagi.

Kekuasaan mamak sebenarnya dibatasi hanya pengawas harta pusako, dan


harta pusako tidak bisa diperjual belikan atau lebih tepatnya tidak dibolehkan di
perjual belikan, pusako hanya bisa digadaikan itupun dengan sarat sarat tertentu
dan bukan untuk kepentingan individu, sarat harta pusako bisa digadaikan sebagai
berikut, mambangkik batang tarandam, gadih gadang tak balaki, rumah gadang
katirisan, maik tabujua di tangah rumah.

Namun sekarang ini banyak tanah pusako yang digadaikan bahkan dijual
dengan tidak lagi memperhitungkan nasib perempuan yang menjadi pewaris
dikaumnya, kasus penjualan dan penggadaian harta pusako oleh mamak ini
ibaratkan cendawan di musim hujan. Bahkan penjualan tanpa persetujuan
kemenakan membuat kasus kekerasan karena masalah tanah meningkat.
Pembunuhan terhadap mamak, pembunuhan terhadap kemenakan, hilangnya
marwah mamak dan penghulu terjadi karena kasus tanah. Dengan alasan punah,
pihak laki-laki dari satu kaum menjual harta pusakanya, sebenarnya Minangkabau
sebenarnya tidak mengenal kata punah, tidak ada dunsanak dekat pasti ada
dunsanak perempuan jauh yang berhak atas harta pusako.

Habisnya harta pusako berdampak buruk bagi ekonomi perempuan, istilah


pamacik kunci rangkiang, menguap, kunci mana rangkiang yang mana mau di
pegang sedangkan pengisi rangkiang sudah raib tergadaikan bahkan terjual. Jiwa
zaman menggeser peran perampuan jauh terpinggirkan, hak mereka terhisap di
tanah mereka sendiri. Adat yang sejatinya pelindung bagi perempuan, telah
beralih fungsi, sebab adat sudah dikangkangi oleh orang yang tak beradat,
perempuan tidak lagi terlindungi seperti dulu.

Harta pusaka yang telah terjual dan tergadai membuat perempuan


terpaksa menjadi sentra produksi dengan berbagai cara, salah satunya menjadi
buruh. Dengan mayoritas pendidikan yang rendah, perempuan akhirnya
menceburkan diri menjadi penjual tenaga, dengan tulang salapan karek sebagai
modalnya.

Anda mungkin juga menyukai