Perceptor :
dr. Cahyaningsih Fibri Rokhmani, Sp.KJ, M.Kes
Oleh :
Ayu Aprilia 1518012131
Ika Noverina Manik 1518012156
Nico Aldrin Avesina 1518012150
Puji Syukur penyusun haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat dan karuniaNya sehingga referat ini dapat diselesaikan. Penyusun juga
ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Cahyaningsih Fibri Rokhmani, Sp.KJ,
M.Kes sebagai pembimbing yang telah membantu dalam penyusunan referat ini.
Stress merupakan respon, stimulasi, dan interaksi dai fisiologik, psikologik, dan
perilaku dari seseorang individu dalam menyesuaikan diri dalam menyelesaikan
tekanan atau beban. Stress merupakan gabungan dari fungsi intelektual, perilaku,
metabolisme, kekebalan tubuh dan respon fisiologis lainnya terhadap stressor baik
yang berasal dari dalam tubuh (endogen) maupun luar tubuh (eksogen). Stress
dapat melibatkan pikiran dan perasaan yang mungkin menjadi ancaman yang
dirasakan atau beberapa kondisi lain seperti dingin.
Stress patologis adalah kondisi dimana usaha untuk mengatasi masalah tidak
dapat berfungsi dengan baik lagi, mungkin sampai dengan timbul gangguan jiwa
ataupun fisik (hipertensi, gangguan jantung koroner, dan lain sebagainya)
(Maramis, 2009). Gangguan jiwa yang terkait stress terbagi menjadi reaksi stress
akut, gangguan stress paska trauma dan gangguan penyesuaian (Maslim, 2013).
Gangguan stress akut merupakan reaksi abnormal terhadap stres yang mendadak
dan berlangsung maksimal satu bulan. Gangguan stress pasca trauma merupakan
reaksi yang berkepanjangan biasanya terjadi setelah mengalami peristiwa
traumatik yang ekstrim (Maramis, 2009). Gangguan penyesuaian adalah reaksi
maladaptif jangka pendek terhadap stressor yang dapat diidentifikasi, yang
muncul selama 3 bulan dari munculnya stressor tersebut (Kaplan & Sadock,
2010).
Mengingat penting dan banyaknya kasus dari gangguan jiwa terkait stress. Maka
dari itu tinjauan pustaka ini akan menjelaskan tentang definisi, klasifikasi,
gambaran klinis, diagnosis dan tatalaksana dari gangguan jiwa terkait stress.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Selye membagi stress menjadi dua yaitu (Saputri, 2010) dan (Maramis,
2009):
Eustress merupakan bentuk stress yang bernilai positif. Stress positif
merupakan situasi atau kondisi apapun yang dapat memotivasi atau
memberikan inspirasi individu untuk berusaha lebih keras untuk
mencapai tujuan. Eustress bersifat menyenangkan dan menstimulasi.
Eustress dapat mengaktivasi kesiagaan mental, kewaspadaan, kognisi,
dan performan si individu. Eustress juga dapat meningkatkan motivasi
individu untuk menciptakan sesuatu, misalnya karya seni.
Distress merupakan stress yang merusak atau bersifat tidak
menyenangkan. Distress dirasakan sebagai suatu keadaan stress yang
membuat marah, tegang, bingung, cemas, merasa bersalah, atau
kewalahan, ketakutan, khawatir atau gelisah. Sehingga hal tersebut
akan membuat individu mengalami keadaan psikologis yang negatif.
Distress dapat dibagi menjadi dua bentuk yaitu stress akut dan stress
kronik. Stress akut muncul cukup kuat, tetapi menghilang dengan
cepat, seperti stress mencari lahan parkir di tempat kerja, terburu-buru
mencari nomor telepon, dan terlambat datang ke rapat. Sedangkan
stress kronik munculnya tidak terlalu kuat, tetapi dapat bertahan
sampai berhari-hari sampai berbulan-bulan, contoh stress kronik
antara lain masalah keuangan dan kejenuhan kerja. Stress kronik yang
berulang kali dapat mempengaruhi kesehatan dan produktivitas
seseorang.
3. Gambaran Klinis
Tanda-tanda stress yang perlu diperhatikan adalah (Maramis, 2009):
Merasa gelisah dan tidak dapat bersantai.
Menjadi lekas marah dan seperti akan meledak bila ada sesuatu yang
berjalan tidak sesuai dengan kemauan.
Ada waktu-waktu dengan perasaan sangat lelah atau lelah yang
berkepanjangan.
Sukar berkonsentrasi.
Kehilangan minat terhadap rekreasi yang sebelumnya dapat dinikmati
dan sudah biasa dilakukan.
Menjadi khawatir mengenai hal-hal yang sebenarnya tidak dapat
diselesaikan dengan perasaan khawatir saja.
Bekerja berlebihan biarpun tidak seluruhnya efektif.
Makin lama makin banyak pekerjaan yang dibawa pulang ke rumah.
Makin banyak merokok atau makin banyak memakai minuman keras
dibandingkan dengan sebelumnya.
Berulang kali merasa kehilangan perspektif atau merasa masa depan
suram mengenai apa yang sebenarnya penting dalam pekerjaan dan
keluarga atau mungkin juga dalam hidup.
2.1.2. Reaksi Terhadap Stres Berat dan Gangguan Penyesuaian (F43)
Karakteristik dari kategori ini adalah tidak hanya di atas identifikasi dasar
simtomatologi dan perjalanan penyakit akan tetapi juga atas dasar salah
satu dari dua faktor pencetus (Maslim, 2013):
Suatu stress kehidupan yang luar biasa, menyebabkan reaksi stress
akut atau
Suatu perubahan penting dalam kehidupan yang menimbulkan situasi
tidak nyaman yang berkelanjutan dengan akibat terjadi suatu
gangguan penyesuaian.
Gangguan dalam kategori ini selalu merupakan konsekuensi langsung
(direct consequence) dari stress akut yang berat atau trauma yang
berkelanjutan. Stress yang terjadi atau keadaan tidak nyaman yang
berkelanjutan merupakan faktor penyebab utama, dan tanpa hal itu
gangguan tersebut tidak akan terjadi (Maslim, 2013).
Tiap orang mempunyai cara sendiri untuk penyesuaian diri terhadap stress
karena penilaian terhadap stressor dan stress berbeda (faktor internal), dan
karena tuntutan terhadap tiap individu berbeda (faktor eksternal); ini antara
lain tergantung pada umur, seks, kepribadian, intelegensi, emosi, status
sosial, dan pekerjaan individu (Maramis, 2009).
5. Mekanisme Koping
Setiap individu berusaha untuk dapat memenuhi kebutuhannya, dengan
segala kemampuan fisik dan intelektual. Dalam upaya pemenuhan
kebutuhan, individu selalu atau senantiasa melakukan perbuatan dan
berperilaku sedemikian rupa demi tercapainya tujuan tersebut, dan
setidaknya menghindarkan atau meminimalkan kegagalan. Cara-cara
untuk menanggulangi masalah yang dihadapi ini yang disebut sebagai
mekanisme pertahanan (koping mekanisme) (Utama, 2013).
Problem focus coping merupakan usaha dalam mengatasi stres dengan cara
mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi dan lingkungan sekitarnya
yang menyebabkan tekanan meliputi usaha untuk memperbaiki suatu situasi
dengan membuat perubahan atau mengambil beberapa tindakan dan usaha
segera untuk mengatasi ancaman pada dirinya. Contohnya adalah negosiasi,
konfrontasi dan meminta nasehat. Strategi yang dipakai dalam problem
focused coping ini adalah sebagai berikut(Folkman S, Lazarus RS, 2010). :
Confronting coping : usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap
menekan dengan cara yang agresif, tingkat kemarahan yang cukup tinggi
dan pengambilan resiko.
Seeking social support : usaha untuk mendapatkan kenyamanan
emosional dan bantuan informasi dari orang lain.
Planful problem solving : usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap
menekan dengan cara yang hati-hati, bertahap dan analisis.
Koping yang berfokus pada emosi (emotion focused coping) yaitu usaha
untuk mengatasi stress dengan cara mengatur respon emosional dalam rangka
menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh situasi penuh
tekanan, meliputi usaha-usaha dan gagasan yang mengurangi distress
emosional. Mekanisme koping berfokus pada emosi tidak memperbaiki
situasi tetapi seseorang sering merasa lebih baik. Strategi yang digunakan
adalah :
Self control : usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi situasi
dengan tekanan.
Distancing : usaha untuk tidak terlibat dalam permasalahan.
Positive reappraisal : usaha untuk mencari makna positif dari
permasalahan dengan berfokus pada pengembangan diri.
Accepting responsibility : usaha untuk menyadari tanggung jawab dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi dan mencoba menerimanya.
Escape/avoidance : usaha untuk mengatasi situasi menekan dengan lari
dari situasi tersebut atau berusaha untuk menghindarinya.
2.2.2 Etiopatofisiologi
Stresor atau kejadian trauma merupakan penyebab utama dalam
perkembangan PTSD. Ketika kita dalam keadaan takut dan terancam,
tubuh kita mengaktifkan respon fight or flight. Dalam reaksi ini tubuh
mengeluarkan adrenalin yang menyebabkan peningkatan tekanan darah,
denyut jantung, glikogenolisis. Setelah ancaman bahaya itu mulai hilang
maka tubuh akan memulai proses inaktivasi respon stres dan proses ini
menyebabkan pelepasan hormon kortisol. Jika tubuh tidak melepaskan
kortisol yang cukup untuk menginaktivasi reaksi stres maka kemungkinan
kita masih akan merasakan efek stres dari adrenalin. Pada korban trauma
yang berkembang menjadi PTSD seringkali memiliki hormon stimulasi
(katekolamin) yang lebih tinggi bahkan pada saat kondisi normal. Hal ini
mengakibatkan tubuh terus berespon seakan bahaya itu masih ada. Setelah
sebulan dalam kondisi ini, dimana hormon stres meningkat dan pada
akhirnya akan menyebabkan terjadinya perubahan fisik (Paige, S.R.,
2005).
Stresor dapat berasal dari bencana alam, bencana yang diakibatkan oleh
ulah manusia, ataupun akibat kecelakaan. Stresor akibat bencana alam
antara lain: menjadi korban yang selamat dari tsunami, gempa bumi, badai.
Kejadian trauma akibat ulah manusia antara lain: menjadi korban banjir,
penculikan, perkosaan,kekerasan fisik, melihat pembunuhan, perang, dan
kejahatan kriminal lainnya dimana ia tinggal. Kejadian trauma juga dapat
terjadi akibat kecelakaan baik, yang menyebabkan cidera fisik maupun
yang tidak. Akan tetapi tidak semua orang akan mengalami PTSD setelah
suatu peristiwa traumatik, karena walaupun stresor diperlukan, namun
stresor sendiri tidaklah cukup untuk menyebabkan suatu gangguan. Maka
dari itu, menurut Kaplan & Sadock (2010), terdapat beberapa faktor lain
yang harus dipertimbangkan, diantaranya:
a. Faktor biologis
Teori biologis pada PTSD telah dikembangkan dari penelitian
praklinik model stres pada binatang yang didapatkan dari pengukuran
variabel biologis populasi klinis dengan PTSD. Banyak sistem
neurotransmitter telah dilibatkan dalam kumpulan data tersebut.
Model praklinik pada binatang tentang ketidakberdayaan,
pembangkitan, dan sensitisasi yang dipelajari telah menimbulkan teori
tentang norepinefrin, dopamin, opiate endogen, dan reseptor
benzodiazepine dan sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal. Pada
populasi klinis, data telah mendukung hipotesis bahwa sistem
noradrenergic dan opiate endogen, dan juga sumbu hipotalamus-
hipofisis-adrenal, adalah hiperaktif pada beberapa pasien dengan
gangguan stres pascatraumatik.
b. Faktor psikologi
Classical dan operant conditioning dapat diimplikasikan pada
perkembangan terjadinya PTSD. Stresor yang ekstrem secara tipikal
menimbulkan emosi yang negatif (sedih, marah, takut) sebagai bagian
dari gejala hiperarousal akibat aktivasi dari sistem saraf simpatis (fight
or flight response). Classical conditioning terjadi pada saat seseorang
yang mengalami peristiwa trauma kembali ke tempat terjadinya
trauma maka akan timbul reaksi psikologi yang tidak disadari dan
merupakan respon refleks yang spesifik. Misalnya, pada anak yang
mengalami kecelakaan mobil yang serius akan timbul respon berupa
ketakutan, berkeringat, takikardi setiap kali dia melewati tempat
kejadian tersebut. Operant conditioning terjadi sebagai hasil dari
pengalaman kejadian trauma yang dialaminya sehingga didapatkan
tingkah laku yang tidak disukai dan tidak akan diulangi. Misalnya,
pada anak yang mengalami kecelakaan mobil maka ia akan berusaha
untuk menghindari berada di dalam mobil. Modelling merupakan
mekanisme psikologikal lainnya yang turut berperan dalam
perkembangan gejala PTSD. Respon emosional orang tua terhadap
pengalaman traumatik anak merupakan prediksi terhadap keparahan
gejala PTSD anak.
c. Faktor sosial
Dukungan sosial yang tidak adekuat dari keluarga dan lingkungan
meningkatkan risiko perkembangan PTSD setelah seseorang
mengalami kejadian traumatik. Penyebab gangguan bervariasi, tetapi
stresor harus sedemikian berat sehingga cenderung menimbulkan
trauma psikologis pada kebanyakan orang normal, walaupun tidak
berarti bahwa semua orang harus mengalami gangguan akibat trauma
ini. Macam-macam stresor traumatik:
1) Menyaksikan peristiwa yang berakibat luka fisik atau kematian
yang menakutkan seperti korban tergulung ombak, tertimpa tanah
longsor, terlindas kendaraan, penganiayaan, terkena granat atau
bom, kepala terpancung, tertembak, pembunuhan masal atau
tindakan brutal di luar batas kemanusiaan.
2) Pengalaman berada dalam situasi terancam kematian atau
keselamatan jiwanya, misalnya huru-hara kerusuhan, bencana,
tsunami, air bah atau gunung meletus, peperangan, berbagai
tindak kekerasan, usaha pembunuhan, penganiayaan fisik dan
mental-emosional, penyanderaan, penculikan, perampokan
ataupun kecelakaan.
2.2.3 Epidemiologi
Gangguan PTSD sudah sering terjadi. Dari studi yang dilakukan,
ditemukan prevalensi PTSD sebesar 7,8% selama masa hidup ( wanita
10,4% dan pria 5,0%), menggunakan kriteria DSM-III. Perkiraan untuk
prevalensi 12 bulan berkisar antara 1,3% dan 3,6%. Perkiraan untuk
prevalensi 1 bulan berkisar antara 1,5%-1,8% menggunakan kriteria DSM-
IV dan 3,4% menggunakan kriteria ICD-10. Kessler et al (1995)
menemukan bahwa resiko terjadinya PTSD setelah suatu kejadian
traumatic adalah sebesar 8,1% untuk pria dan 20,4% untuk wanita. Breslau
et al (1997) menemukan resiko sebesar 13% untuk pria dan 30,2% untuk
wanita.
a. Kejadian traumatik
1) Satu atau banyak peristiwa yang membuat seseorang mengalami,
menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian yang berupa
ancaman kematian, cidera yang serius sehingga mengancam
integritas fisik dirinya sendiri atau orang lain.
2) Tanggapan individu terhadap pengalaman tersebut dengan ketakutan
atau ketidakberdayaan yang sangat kuat.
d. Suatu sequelae menahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar
biasa, misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasi
dalam kategori F 62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama
setelah mengalami katastrofia).
Kriteria diagnosis PTSD dibuat untuk orang dewasa dan tidak sepenuhnya
semua kriteria di atas dapat dipergunakan bagi anak-anak. Anak-anak
memilki keterbatasan dalam kemampuan verbalnya dan memiliki cara
yang berbeda dalam bereaksi terhadap stres. Hal ini menunjukkan bahwa
anak-anak mungkin tidak memenuhi kriteria DSM-IV-TR secara penuh
meskipun secara jelas anak tersebut memiliki gangguan psikiatri yang
analog dengan PTSD pada dewasa. Biasanya anak seringkali tidak
memiliki tiga tanda dari numbing (mematikan perasaannya) dan withdrawl
(menarik diri) seperti pada orang dewasa karena kemampuan verbal untuk
mengekspresikan perasaannya masih kurang. Anak-anak mungkin
mengalami perubahan antara hiperarousal dan numbing/withdrawl.
2.2.6 Tatalaksana
Sebelum menjalani terapi atau program-program apapun, ada baiknya
dilakukan evaluasi psikologis pada terlebih dahulu. Tindakan ini untuk
memahami kepribadian, trauma yang dialami, dan dampak dari trauma
tersebut pada dirinya. Evaluasi juga dapat membantu terapis untuk
memahami berbagai risiko tambahan dan menemukan kekuatan dari klien.
Hal ini harus sangat diperhatikan karena proses evaluasi dapat dialami
sebagai proses yang sangat berat dan dapat menimbulkan trauma sekunder.
Setelah dilakukan evaluasi ada dua macamterapi pengobatan yang dapat
dilakukan pada penderita PTSD yaitu, dengan menggunakan psikoterapi
dan farmakoterapi. Hasil pengobatan akan lebih efektif jika kedua terapi
ini dikombinasikan sehingga tercapai penanganan yang holistik dan
komprehensif (Kaplan & Sadock, 2010).
a. Psikoterapi
Psikoterapi adalah suatu bentuk dari perawatan (treatment) terhadap
masalah-masalah yang dasarnya emosi, dimana seseorang yang terlatih
dengan seksama membentuk hubungan profesional dengan pasien
dengan tujuan memindahkan, mengubah, atau mencegah munculnya
gejala dan menjadi perantara untuk menghilangkan pola-pola perilaku
yang terhambat (Wolberg, 1954). Dengan demikian, perawatan
menggunakan teknik psikoterapi ini merupakan perawatan yang secara
umum menggunakan intervensi psikis dengan pendekatan psikologis
terhadap pasien yang mengalami gangguan psikis atau hambatan
kepribadian. Adapun macam-macam psikoterapi diantaranya adalah:
1) Cognitive Behavioral Therapy (CBT)
Menurut penelitian Cognitive Behavioral Therapy (CBT)
merupakan pendekatan yang paling efektif dalam mengobati PTSD.
Dalam CBT, terapis membantu untuk mengubah kepercayaan yang
tidak rasional yang mengganggu emosi dan menganggu kegiatan-
kegiatan penderita PTSD misalnya, pada seorang anak korban
kejahatan mungkin akan menyalahkan diri sendiri karena
ketidakhati-hatiannya. Prinsip-prinsip CBT digunakan untuk
modifikasi perilaku dan proses relearning. Tujuan terapi ini
adalah mengidentifikasi pikiran-pikiran yang tidak rasional,
mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional untuk
melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang
lebih realistik untuk membantu mencapai emosi yang lebih
seimbang.
3) Playtherapy
Playtherapy merupakan cara yang dapat digunakan untuk
mengobati PTSD pada anak periode awal/young children. Pada
terapi ini bertujuan untuk memahami trauma anak dan memberikan
kebebasan untuk berekspresi dalam mengurangi tekanan emosional
ynag dialami. Bermain peran, menggambar, bermain dengan
boneka atau benda-benda figural dapat dijadikan cara untuk
menyesuaikan diri dan memberi kesempatan pada terapis untuk
melakukan reexposure yaitu, membahas peristiwa traumatiknya
dalam situasi yang mendukung.
b. Farmakoterapi
Farmakoterapi merupakan terapi dengan menggunakan obat-obatan.
Terapi ini diperlukan untuk menstabilkan zat-zat di otak yang
menyebabkan kecemasan, kekhawatiran, dan depresi atau dengan kata
lain merupakan terapi simptomatik pada PTSD. Terapi obat ini
bukanlah lini pertama dalam penanganan PTSDtetapi dapat dijadikan
sebagai terapi pendukung (adjuvan) psikoterapi agar tercapai hasil
yang optimal dalam menangani kasus PTSD. Adapun beberapa contoh
farmakoterapi yang sering digunakan dalam kasus PTSD, antara lain:
1) Golongan benzodiazepin: Chlordiazepoxide, Diazepam,
Lorazepam.
2) Golongan non-benzodiazepin: Buspirone, Sulpiride, Hydroxyzine.
3) Golongan antidepresan: Trisiklik, Amitriptyline, Imipramine.
4) Golongan Monoamin Oksidase Inhibitor (MAOI): Moclobemide
5) Golongan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI):
Sertraline, Paroxetine, Fluvoxamine, Fluoxetine.
2.2.7 Prognosis
Prognosis pada kasus PTSD sulit untuk ditentukan, karena itu bervariasi
secara signifikan dari pasien ke pasien. Beberapa individu yang tidak
menerima perawatan secara bertahap pulih dalam periode tahun. Prognosis
yang baik diramalkan oleh onset gejala yang cepat, durasi gejala yang
singkat (kurang dari enam bulan), fungsi pramorbid yang baik, dukungan
sosial yang kuat, dan tidak adanya gangguan psikiatrik, medis, atau
berhubungan zat lainnya. Pada umumnya, orang yang sangat muda atau
sangat tua memiliki kesulitan lebih banyak terhadap peristiwa traumatik
dibandingkan mereka yang dalam usia pertengahan (Kaplan & Sadock,
2010).
2.3.2 Etiopatofisiologi
Berdasarkan definisi yang diungkapkan, gangguan penyesuaian selalu
didahului oleh satu atau lebih stressor. Kadar kekuatan dari stressor
tersebut tidak selalu sebanding dengan kadar kekuatan gangguan yang
dihasilkan. Kadar dari stressor tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor
yang kompleks, seperti derajat stressor, kuantitas, durasi, lingkungan
maupun konteks pribadi yang menerima stressor tersebut. Misalnya, reaksi
dari anak berusia 10 tahun dan 40 tahun tentu sangat berbeda terhadap
peristiwa meninggalnya orang tua. Faktor kepribadian, norma kelompok,
serta budaya setempat juga sangat berpengaruh terhadap cara seseorang
menanggapi sebuah stressor (Kaplan & Sadock, 2010).
Vulnerabilitas individu
Masing-masing individu memiliki vulnerabilitas yang berbeda
terhadap gangguan penyesuaian, tergantung dari karakteristik
kepribadian dan latar belakang masing-masing. Tidak semua orang
yang mengalami stress akan memiliki gangguan penyesuaian. Berikut
adalah hal-hal yang mempengaruhi vulnerabilitas seseorang terhadap
stress:
- Variabilitas individu: usia, jenis kelamin, tingkat kesehatan atau
komorbiditas kejiwaan.
- Faktor hubungan, seperti tingkat instruksi; etik, politik, kepercayaan.
- Lingkungan keluarga: keberadaan dukungan, kekuatan hubungan,
dan status ekonomi.
- Kejadian di masa kecil: seorang ibu yang mengontrol anaknya atau
seorang ayah yang suka meng-abuse anaknya, berhubungan dengan
peningkatan risiko gangguan penyesuaian. Faktor personal dari
tingginya neurotisme dan rendahnya ekstraversi mungkin
berhubungan dengan gangguan penyesuaian.
- Level pendidikan: Level pendidikan yang tinggi dapat melindungi
diri dari distress psikologis.
- Status pernikahan: Pernikahan dianggap sebagai faktor yang dapat
melindungi diri dari gangguan penyesuaian.
- Hubungan antara kelainan kepribadian dan gangguan penyesuaian
masih tidak jelas. Meskipun gangguan kepribadian dapat
meningkatkan risiko berkembangnya gangguan penyesuaian,
pasien dengan gangguan penyesuaian lebih jarang untuk memiliki
kelainan kepribadian dibandingkan dengan pasien depresi.
2.3.3 Epidemiologi
Berdasarkan DSM-IV TR prevalensi dari gangguan penyesuaian diantara 2
sampai 8 persen dari total populasi. Wanita didiagnosa dua kali lebih
sering dibanding dengan pria, dan wanita single secara umum memiliki
resiko yang paling tinggi. Pada anak-anak dan remaja, tidak ada perbedaan
kecenderungan gangguan penyesuaian antara anak laki-laki dan anak
perempuan. Pada remaja, baik laki-laki maupun perempuan, stressor yang
umum menyebabkan gangguan penyesuaian diantaranya masalah sekolah,
penolakan dari orang tua, perceraian orang tua, dan tindak kekerasan yg
diterima. Sedangkan pada orang dewasa, sumber stressor yang umum
diantaranya, masalah keluarga, perceraian, berpindah ke lingkungan yang
baru, dan masalah finansial (Kaplan & Sadock, 2010).
Gangguan penyesuaian merupakan salah satu gangguan yang paling
banyak ditemukan pada pasien yang dirawat di rumah sakit, baik yang
dirawat karena penyakit fisik, maupun juga pasien yang hendak
mengalami operasi. Pada suatu penelitian ditemukan bahwa 5 persen dari
semua pasien yang dirawat pada suatu rumah sakit selama masa 3 tahun
didiagnosis mengalami gangguan penyesuaian. Kemudian juga ditemukan
bahwa 50 persen dari orang-orang yang memiliki riwayat penyakit medis,
didiagnosis mengalami gangguan penyesuaian (Utama, 2013.
Onset biasanya terjadi dalam 1 bulan sejak terjadinya kejadian yang penuh
dengan tekanan atau mengubah kehidupan, dan biasanya durasi dari gejala
tersebut tidak melebihi 6 bulan, kecuali masuk ke dalam kasus reaksi
depresi berkepanjangan (F 43.21). Jika gejala yang muncul berlangsung
lama, maka diagnosis sebaiknya diubah sesuai dengan gambaran klinis
yang muncul. Jika penyebabnya adalah kehilangan, maka harus
dipertimbangkan juga sebagai reaksi normal dari kehilangan
(bereavement), yang sesuai dengan budaya seseorang dan biasanya tidak
lebih dari 6 bulan. Untuk diagnosis tersebut biasanya dikode dengan Z63.4
(menghilangnya atau meninggalnya anggota keluarga).
Reaksi kehilangan dalam berbagai waktu, yang dianggap tidak normal
karena bentuk atau isinya, harus dikode sebagai F43.22, F43.23, F43.24,
atau F43.25, dan yang mana masih selalu muncul dan bertahan hingga 6
bulan dapat dikode sebagai F43.21 (reaksi depresi berkepanjangan).
Pedoman Diagnosis
a. Diagnosis tergantung pada evaluasi terhadap hubungan antara:
Bentuk, isi, dan beratnya gejala;
Riwayat dan corak kepribadian sebelumnya; dan
Kejadian , situasi yang penuh tekanan, atau krisis kehidupan.
b. Keberadaan ketiga faktor ini harus jelas dan mempunyai bukti yang
kuat bahwa gangguan tersebut tidak akan terjadi bila tidak mengalami
hal tersebut.
Jika kriteria untuk gangguan penyesuaian sudah tepat, bentuk klinis atau
fitur-fitur yang dominan dapat dispesifikan ke dalam 5 karakter:
F43.20 Brief depressive reaction
Suatu keadaan depresi yang ringan dan sementara dengan durasi
tidak melebihi 1 bulan.
F43.21 Prolonged depressive reaction
Suatu keadaan depresi ringan yang terjadi sebagai respon dari
pajanan situasi penuh tekanan yang berkepanjangan, namun durasi
tidak melebihi 2 tahun.
F43.22 Mixed anxiety and depressive reaction
Baik gejala depresi maupun cemas cukup banyak, namun pada
level yang tidak lebih tinggi dari mixed anxiety and depressive
disorder (F41,2) atau gangguan cemas campuran lainnya (F41.3).
F43.23 With predominant disturbance of other emotions
Gejalanya biasanya berupa emosi yang parah, seperti cemas,
khawatir, tegang, dan marah. Kategori ini juga dapat digunakan
pada anak-anak yang memiliki perilaku regresif, seperti
mengompol atau menghisap ibu jari.
F43.24 With predominant disturbance of conduct
Gangguan paling utama adalah yang meliputi perilaku, seperti
reaksi kehilangan orang dewasa yang mengakibatkan terjadinya
perilaku agresif atau disosial.
F43.25 With mixed disturbance of emotions and conduct
Baik gejala emosional maupun gangguan perilaku, keduanya
muncul dalam bentuk yang prominent.
F43.28 With other specified predominant symptoms
PPDGJ-III:
a. Diagnosis tergantung pada evaluasi terhadap hubungan antara:
b. Adanya ketiga faktor di atas harus jelas dan mempunyai bukti yang kuat
bahwa gangguan tersebut tidak akan terjadi bila tidak mengalami hal
tersebut.
c. Manifestasi gangguan bervariasi dan mencakup afek depresi, anxietas,
campuran depresi dan anxietas, gangguan tingkah laku disertai adanya
disabilitas dalam kegiatan rutin sehari-hari.
2.3.6 Tatalaksana
a. Psikoterapi
Intervensi psikoterapi pada gangguan penyesuaian bertujuan untuk
mengurangi efek dari stressor, meningkatkan kemampuan mengatasi
(coping) stressor yang tidak bisa dikurangi, dan menstabilkan status
mental dan system dukungan untuk memaksimalkan adaptasi.
Psikoterapi dapat berupa: terapi perilaku-kognitif, terapi interpersonal,
upaya psikodinamik atau konseling.
b. Farmakoterapi
Biasanya, penggunaan terapi farmakologi oleh individu dengan
gangguan penyesuaian adalah untuk mengurangi gejala seperti
insomnia, kecemasan dan serangan panik. Yang paling umum
diresepkan untuk agen individu dengan gangguan penyesuaian adalah
benzodiazepine dan anti-depresan. Stewart et al merekomendasikan
percobaan antidepresan pada pasien dengan depresi ringan atau berat
yang belum memberi respon atau intervensi psikoterapi suportif lainnya
selama 3 bulan.
2.3.7 Prognosis
Gangguan penyesuaian biasanya membaik setelah beberapa bulan, jarang
yang menjadi berkepanjangan. Belum ada penelitian yang menginvestigasi
efektivitas dari pengobatan. Gangguan penyesuaian tidak separah
dibandingkan kondisi kejiwaan lainnya dalam hal durasi sakit yang lebih
pendek, lebih mudah kembali untuk keefektifan kerja dan sedikit yang
harus masuk ke rumah sakit, atau jika masuk ke rumah sakit,
membutuhkan waktu yang lebih pendek dalam perawatan. Dalam sebuah
penelitian yang dilakukan terhadap personel Sri Lankan Air Force, 45
pasien dengan gangguan penyesuaian kembali bekerja dalam 6 bulan.
Stres adalah kondisi yang disebabkan oleh interaksi antara individu dengan
lingkungan, menimbulkan persepsi jarak antara berbagai tuntutan yang berasal
dari situasi pada sistem biologis, psikologis dan sosial dari seseorang. Apabila
terjadi suatu stres maka sebagaian besar orang akan menyesuaikan diri dan
mengatasi keadaan tersebut, tetapi sebagian mungkin akan mengalami, yaitu
gangguan stres akut apabila terjadi segera setelah peristiwa yang menimbulkan
stres, gangguan pasca trauma apabila terjadi setelah suatu stres yang sangat hebat,
dan gangguan penyesuaian apabila stresornya adalah perubahan situasi kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA
Davison G, Naele J & Kring A. 2012. Psikologi Abnormal. Edisi ke-12. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada
Kaplan, Sadock, Grebb MD. 2010. Sinopsis Psikiatri. Jilid ke-2. Jakarta: Binapura
Angkasa
Maramis WF. 2009. Catatan ilmu kedokteran jiwa (Edisi 2). Surabaya: Airlangga
University Press
Nasution IK. 2007. Stress pada remaja. Medan: Universitas Sumatra Utara
Saputri DE. 2010. Hubungan stress dengan hipertensi pada penduduk di Indonesia
tahun 2007 [Tesis]. Depok: Universitas Indonesia
Utama H. 2013. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia