Anda di halaman 1dari 42

REFERAT

REAKSI TERHADAP STRESS YANG BERAT, GANGGUAN PENYESUAIAN DAN


POST TRAUMATIC STRESS DISORDER

Perceptor :
dr. Cahyaningsih Fibri Rokhmani, Sp.KJ, M.Kes

Oleh :
Ayu Aprilia 1518012131
Ika Noverina Manik 1518012156
Nico Aldrin Avesina 1518012150

KEPANITERAAN KLINIK KEDOKTERAN JIWA


RUMAH SAKIT JIWA LAMPUNG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2017
KATA PENGANTAR

Puji Syukur penyusun haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat dan karuniaNya sehingga referat ini dapat diselesaikan. Penyusun juga
ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Cahyaningsih Fibri Rokhmani, Sp.KJ,
M.Kes sebagai pembimbing yang telah membantu dalam penyusunan referat ini.

Penyusunan Referat ini disusun sebagai sarana diskusi dan pembelajaran


mengenai gangguan cemas, serta diajukan guna memenuhi tugas Kepaniteraan
Klinik Ilmu Kedokteran Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat. Dalam
makalah ini penyusun membahas Reaksi Terhadap Stress yang Berat, Gangguan
Penyesuaian dan Post Traumatic Stress Disorder
(PTSD). Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi para pembaca sehingga dapat
memberi informasi kepada para pembaca.

Penyusun menyadari dalam penyusunan referat ini masih banyak kekurangan.


Oleh karena itu, penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak sehingga lebih baik pada penyusunan referat
berikutnya. Terima kasih.

Bandar Lampung, Maret 2017


BAB I
PENDAHULUAN

Stress merupakan respon, stimulasi, dan interaksi dai fisiologik, psikologik, dan
perilaku dari seseorang individu dalam menyesuaikan diri dalam menyelesaikan
tekanan atau beban. Stress merupakan gabungan dari fungsi intelektual, perilaku,
metabolisme, kekebalan tubuh dan respon fisiologis lainnya terhadap stressor baik
yang berasal dari dalam tubuh (endogen) maupun luar tubuh (eksogen). Stress
dapat melibatkan pikiran dan perasaan yang mungkin menjadi ancaman yang
dirasakan atau beberapa kondisi lain seperti dingin.

Prevalensi gangguan mental emosional penduduk Indonesia berdasarkan


Riskesdas 2007 adalah 11,6% dan bervariasi diantara provinsi dan kabupaten/kota
(Riskesdas, 2013). Penelitian menunjukan bahwa kasus gangguan stress pasca
trauma merupakan salah satu kasus psikiatri yang cukup sering dijumpai. Kasus
ini dijumpai pada sekitar 10.3% untuk pria dan 18.3% untuk wanita. Prevalensi
untuk gangguan penyesuaian diperkirakan 2-8% dari populasi umum (Utama,
2013).

Stress patologis adalah kondisi dimana usaha untuk mengatasi masalah tidak
dapat berfungsi dengan baik lagi, mungkin sampai dengan timbul gangguan jiwa
ataupun fisik (hipertensi, gangguan jantung koroner, dan lain sebagainya)
(Maramis, 2009). Gangguan jiwa yang terkait stress terbagi menjadi reaksi stress
akut, gangguan stress paska trauma dan gangguan penyesuaian (Maslim, 2013).
Gangguan stress akut merupakan reaksi abnormal terhadap stres yang mendadak
dan berlangsung maksimal satu bulan. Gangguan stress pasca trauma merupakan
reaksi yang berkepanjangan biasanya terjadi setelah mengalami peristiwa
traumatik yang ekstrim (Maramis, 2009). Gangguan penyesuaian adalah reaksi
maladaptif jangka pendek terhadap stressor yang dapat diidentifikasi, yang
muncul selama 3 bulan dari munculnya stressor tersebut (Kaplan & Sadock,
2010).
Mengingat penting dan banyaknya kasus dari gangguan jiwa terkait stress. Maka
dari itu tinjauan pustaka ini akan menjelaskan tentang definisi, klasifikasi,
gambaran klinis, diagnosis dan tatalaksana dari gangguan jiwa terkait stress.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stress dan Stressor


1. Definisi
Stres adalah kondisi yang disebabkan oleh interaksi antara individu dengan
lingkungan, menimbulkan persepsi jarak antara berbagai tuntutan yang
berasal dari situasi pada sistem biologis, psikologis dan sosial dari
seseorang (Sarafino, 2011). Istilah stres digunakan untuk menunjukkan
adanya reaksi fisik dan psikis seseorang terhadap keadaan tertentu yang
mengancam (American Physhological Association, 2013).

Stress merupakan suatu fenomena universal yang terjadi dalam kehidupan


sehari-hari dan tidak dapat dihindari serta akan dialami oleh setiap orang.
Stres memberi dampak secara total pada individu yaitu dampak terhadap
fisik, psikologis, intelektual, sosial, dan spiritual. Stres adalah reaksi fisik
dan psikis yang berbeda-beda pada setiap individu dan terjadi dalam
keadaan tertentu yang mengancam (Davison G, 2012).

Stressor merupakan faktor yang dapat menyebabkan stres. Stressor


merupakan adanya penghalang, kesukaran dan aral melintang bagi kita.
Faktor-faktor yang menyebabkan stres berasal dari rangsangan fisik,
biologi, psikologis, atau dapat keduanya. Stress fisik disebabkan oleh
exposure stressor yang berbahaya bagi jaringan tubuh misalnya terpapar
pada keadaan dingin atau panas, penurunan konsentrasi oksigen, infeksi,
luka / injuries, dan latihan fisik yang berat dan lama. Stress psikologis
dapat berupa pada perubahan kehidupan, hubungan sosial, perasaan marah,
takut, dan depresi. Stressor sosial dan psikologik misalnya rasa tidak puas
terhadap diri sendiri kekejaman, rendah diri, emosi yang negatif dan
kehamilan.
2. Klasifikasi Stress dan Stressor
Keadaan yang dapat menjadi sumber stress akibat stressor berupa:
Frustasi, timbul bila ada aral melintang antara kita dan tujuan. Frustasi
dapat timbul karena stressor dari luar seperti bencana alam,
kecelakaan, kematian orang tercinta dan adat istiadat. Frustasi juga
dapat timbul karena stressor dari dalam seperti cacat badaniah, atau
kegagalan dalam usaha.
Konflik, timbul akibat tidak dapat memilih antara dua atau lebih
macam kebutuhan atau tujuan.
Tekanan juga dapat menimbulkan masalah penyesuaian. Tekanan
sehari-hari yang kecil, bila menumpuk dan berlangsung lama dapat
menimbulkan stress yang hebat.
Krisis, keadaan stressor mendadak dan besar yang menimbulkan stress
pada seorang individu ataupun suatu kelompok seperti kematian,
kecelakaan, penyakit yang memerlukan operasi dan masuk sekolah
pertama kali.

Menurut Lazarus dan Cohen, stressor dapat dibagi menjadi (Nasution,


2007):
Catalysmic Event yaitu fenomena besar atau tiba-tiba terjadi,
kejadian-kejadian penting yang mempengaruhi banyak orang, seperti,
bencana alam.
Personal Stressor yaitu kejadian-kejadian penting yang dapat
mempengaruhi diri sendiri dan/atau sejumlah orang, seperti krisis
keluarga.
Background Stressor yaitu pertikaian atau permasalahan yang biasa
terjadi setiap hari, seperti masalah dalam pekerjaan dan rutinitas
pekerjaan.

Selye membagi stress menjadi dua yaitu (Saputri, 2010) dan (Maramis,
2009):
Eustress merupakan bentuk stress yang bernilai positif. Stress positif
merupakan situasi atau kondisi apapun yang dapat memotivasi atau
memberikan inspirasi individu untuk berusaha lebih keras untuk
mencapai tujuan. Eustress bersifat menyenangkan dan menstimulasi.
Eustress dapat mengaktivasi kesiagaan mental, kewaspadaan, kognisi,
dan performan si individu. Eustress juga dapat meningkatkan motivasi
individu untuk menciptakan sesuatu, misalnya karya seni.
Distress merupakan stress yang merusak atau bersifat tidak
menyenangkan. Distress dirasakan sebagai suatu keadaan stress yang
membuat marah, tegang, bingung, cemas, merasa bersalah, atau
kewalahan, ketakutan, khawatir atau gelisah. Sehingga hal tersebut
akan membuat individu mengalami keadaan psikologis yang negatif.
Distress dapat dibagi menjadi dua bentuk yaitu stress akut dan stress
kronik. Stress akut muncul cukup kuat, tetapi menghilang dengan
cepat, seperti stress mencari lahan parkir di tempat kerja, terburu-buru
mencari nomor telepon, dan terlambat datang ke rapat. Sedangkan
stress kronik munculnya tidak terlalu kuat, tetapi dapat bertahan
sampai berhari-hari sampai berbulan-bulan, contoh stress kronik
antara lain masalah keuangan dan kejenuhan kerja. Stress kronik yang
berulang kali dapat mempengaruhi kesehatan dan produktivitas
seseorang.

2.1.1. Tahapan Stres


Menurut Dr. Robert J. Van Amberg, Stres memiliki beberapa tahapan
antara lain sebagai berikut (Saputri, 2010):
Stres Tahap I
Tahapan ini merupakan tahap paling ringan. Ciri dari tahap ini, yaitu
semangat kerja besar atau berlebihan, awareness atau kewaspadaan
meningkat, merasa mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari
biasanya, merasa senang dengan pekerjaan dan bersemangat. Namun
tanpa disadari stres pada tahapan ini dapat menyebabkan cadangan
energi habis.
Stres Tahap II
Pada tahapan ini individu dapat merasakan letih saat bangun pagi,
mudah lelah terutama sesudah makan siang, mudah lelah menjelang
sore hari, sering mengeluh gangguan sistem pencernaan atau perut tidak
nyaman, detak jantung meningkat lebih dari biasanya, otot-otot daerah
punggung dan tengkuk terasa tegang serta tidak dapat relaks.
Stres Tahap III
Individu pada tahapan ini akan memperlihatkan keluhan-keluhan,
seperti gangguan sistem pencernaan yang makin menguat, peningkatan
ketegangan otot, perasaan tidak nyaman, suasana perasaan yang
semakin mudah berubah-ubah, gangguan pola tidur seperti sulit tidur,
terbangun tengah malam dan sulit kembali tidur, atau bangun dini hari
dan tidak dapat kembali tidur, gangguan pengendalian koordinasi tubuh
seperti badan terasa sempoyongan seakan ingin pingsan. Individu pada
tahapan ini sebaiknya berkonsultasi dengan tenaga profesional seperti
psikiater atau psikolog klinis untuk memperoleh tatalaksana yang
komprehensif.
Stres Tahap IV
Ciri-ciri stres pada tahap IV, antara lain kesulitan bertahan melakukan
aktivitas rutin, aktivitas yang semula menyenangkan dan mudah
menjadi membosankan dan terasa lebih sulit, semula tanggap terhadap
situasi menjadi kehilangan kemampuan untuk merespon secara
memadai, ketidakmampuan melaksanakan kegiatan sehari-hari,
gangguan pada pola tidur semakin meningkat disertai mimpi-mimpi
menegangkan, seringkali menolak ajakan karena tidak ada semangat
dan kegairahan, daya konsentrasi dan daya ingat menurun, timbul
perasaan ketakutan dan kecemasan yang tidak dapat dijelaskan
penyebabnya.
Stres Tahap V
Stres tahap V merupakan kelanjutan dari stres tahap IV yang memiliki
gambaran utama, seperti kelelahan fisik dan mental yang semakin
mendalam, ketidakmampuan menyelesaikan pekerjaan sehari-hari yang
ringan dan sederhana, gangguan sistem pencernaan semakin berat,
timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang semakin meningkat,
mudah bingung dan panik.
Stres Tahap VI
Tahapan ini disebut dengan tahapan klimaks karena seseorang
mengalami serangan panik dan perasaan takut mati. Ciri-ciri stres tahap
VI adalah debaran jantung teramat keras, sesak nafas, tubuh gemetar,
dingin dan keringat berkucuran, ketiadaan tenaga untuk hal ringan,
pingsan dan kolaps.

3. Gambaran Klinis
Tanda-tanda stress yang perlu diperhatikan adalah (Maramis, 2009):
Merasa gelisah dan tidak dapat bersantai.
Menjadi lekas marah dan seperti akan meledak bila ada sesuatu yang
berjalan tidak sesuai dengan kemauan.
Ada waktu-waktu dengan perasaan sangat lelah atau lelah yang
berkepanjangan.
Sukar berkonsentrasi.
Kehilangan minat terhadap rekreasi yang sebelumnya dapat dinikmati
dan sudah biasa dilakukan.
Menjadi khawatir mengenai hal-hal yang sebenarnya tidak dapat
diselesaikan dengan perasaan khawatir saja.
Bekerja berlebihan biarpun tidak seluruhnya efektif.
Makin lama makin banyak pekerjaan yang dibawa pulang ke rumah.
Makin banyak merokok atau makin banyak memakai minuman keras
dibandingkan dengan sebelumnya.
Berulang kali merasa kehilangan perspektif atau merasa masa depan
suram mengenai apa yang sebenarnya penting dalam pekerjaan dan
keluarga atau mungkin juga dalam hidup.
2.1.2. Reaksi Terhadap Stres Berat dan Gangguan Penyesuaian (F43)
Karakteristik dari kategori ini adalah tidak hanya di atas identifikasi dasar
simtomatologi dan perjalanan penyakit akan tetapi juga atas dasar salah
satu dari dua faktor pencetus (Maslim, 2013):
Suatu stress kehidupan yang luar biasa, menyebabkan reaksi stress
akut atau
Suatu perubahan penting dalam kehidupan yang menimbulkan situasi
tidak nyaman yang berkelanjutan dengan akibat terjadi suatu
gangguan penyesuaian.
Gangguan dalam kategori ini selalu merupakan konsekuensi langsung
(direct consequence) dari stress akut yang berat atau trauma yang
berkelanjutan. Stress yang terjadi atau keadaan tidak nyaman yang
berkelanjutan merupakan faktor penyebab utama, dan tanpa hal itu
gangguan tersebut tidak akan terjadi (Maslim, 2013).

Gangguan-gangguan ini dapat dianggap sebagai respon maladaptive


terhadap stress berat atau stress berkelanjutan, dimana mekanisme
penyesuaian (coping mechanism) tidak berhasil mengatasi sehingga
menimbulkan masalah dalam fungsi sosial-nya.

Reaksi terhadapt stress berat dan gangguan penyesuaian ini terbagi


menjadi beberapa subbab seperti (Maslim, 2013):
F43.0 Reaksi Stres Akut
F43.1 Gangguan Stress Pasca Trauma
F43.2 Gangguan Penyesuaian
o F43.20 Reaksi depresi singkat
o F43.21 Reaksi depresi berkepanjangan
o F43.22 Reaksi campuran anxietas dan depresi
o F43.23 Dengan predominan gangguan emosi lain
o F43.24 Dengan predominan gangguan perilaku
o F43.25 Dengan gangguan campuran emosi dan perilaku
F43.28 Dengan gejala predominan lainnya YDT
F43.8 Reaksi Stres Berat lainnya
F43.9 Reaksi Stres Berat YTT

4. Daya Tahan Stress


Daya tahan stress atau nilai ambang stress pada setiap orang berbeda-beda.
Hal ini tergantung pada keadaan somato-psiko-sosial orang itu. Menurut
teori, setiap orang dapat saja terganggu jiwanya, asal saja stressor itu
cukup besar, cukup lama atau cukup spesifik, bagaimana stabil pun
kepribadian emosinya.

Tiap orang mempunyai cara sendiri untuk penyesuaian diri terhadap stress
karena penilaian terhadap stressor dan stress berbeda (faktor internal), dan
karena tuntutan terhadap tiap individu berbeda (faktor eksternal); ini antara
lain tergantung pada umur, seks, kepribadian, intelegensi, emosi, status
sosial, dan pekerjaan individu (Maramis, 2009).

5. Mekanisme Koping
Setiap individu berusaha untuk dapat memenuhi kebutuhannya, dengan
segala kemampuan fisik dan intelektual. Dalam upaya pemenuhan
kebutuhan, individu selalu atau senantiasa melakukan perbuatan dan
berperilaku sedemikian rupa demi tercapainya tujuan tersebut, dan
setidaknya menghindarkan atau meminimalkan kegagalan. Cara-cara
untuk menanggulangi masalah yang dihadapi ini yang disebut sebagai
mekanisme pertahanan (koping mekanisme) (Utama, 2013).

Mekanisme pertahanan dalam arti luas yaitu semua cara penanggulangan


masalah, baik yang rasional maupun irasional, yang sadar maupun
nirsadar, dan yang realistic maupun yang fantastic. Dalam arti sempit ialah
mekanisme yang dipakai ego untuk menyingkirkan ansietas dan yang
mengandung potensi pathogen (gejala psikopatologis). Hal yang dilakukan
individu bila menghadapi masalah (Utama, 2013):
Mengadakan perubahan terhadap situasi yang dihadapi.
Menghindar dan menjauhkan diri dari situasi yang dihadapi
Berusaha dan belajar untuk hidup dengan ketidakamanan dan
ketidakpuasan.

Cara Penyesuaian diri Psikologi dapat dibagi menjadi (Maramis, 2009):


Bila kita merasa mampu mengatasi stres, maka perilaku kita
cenderung berorientasi pada tugas (task oriented), yang tujuan utama
adalah menghadapai tuntutan keadaan yang menjadi stressor. Cara
penyesuaian ini bertujuan menghadapi tuntunan secara sadar, realistik,
objektif dan rasional.
o Serangan atau menghadapi tuntutan secara frontal
o Penarikan diri atau tidak mau tahu lagi tentang keadaan
o Kompromi.
Bila stres itu mengancam kemampuan dan harga diri kita, maka reaksi
kita akan condong berorientasi pada pembelaan ego (Ego defense
oriented), yang tujuan utama untuk melindungi diri kita sendiri
terhadap rasa devaluasi diri dan meringankan ketegangan serta
kecemasan yang menyakitkan. Mekanisme pembelaan ego sebenernya
tidak realistik, karena secara riel tidak mengatasi masalah
penyesuaian, tetapi mengandung banyak unsur penipuan diri sendiri
dan distorsi realitas.
o Fantasi: keinginan yang tidak terkabul dipuaskan dalam imajinasi.
Fantasi produktif dipakai secara konstruktif untuk
mempertahankan motivasi dan untuk menyelesaikan masalah
segera. Fantasi nonproduktif hanya merupakan khayalan
pemuasan untuk menggantikan kekurangan kebutuhan.
o Penyangkalan: tidak berani melihat dan mengakui kenyataan yang
menakutkan. Penyangkalan terhadap kenyataan merupakan
pembelaan ego yang paling sederhana dan primitif. Dengan cara
ini kita berhasil melindungi diri terhadap banyak stres, akan tetapi
mungkin kita terhambat dalam melihat hal yang perlu sekali
untuk penyesuaian efektif.
o Rasionalisasi: membuktikan bahwa perbuatannya rasional (tetapi
sebenarnya tidak baik), supaya dibenarkan dan diterima.
o Identifikasi: menambah rasa harga diri dengan menyamakan
dirinya dengan orang atau hal yang dikagumi. Identifikasi dengan
pahlawan dapat memegang peranan penting dalam pembentukan
kepribadian anak.
o Introyeksi: merupakan identifikasi yang primitif. Individu
menerima dan memasukan ke dalam pendiriannya berbagai aspek
keadaan yang mengancam. Hal ini sudah dimulai sejak kecil,
sewaktu anak itu belajar mematuhi dan menerima sebagai
miliknya beberapa nilai serta peraturan masyarakat.
o Represi: secara tidak sadar menekan pikiran yang berbahaya,
menakutkan, atau menyedihkan, agar keluar dari alam sadar dan
masuk ke alam tak sadar. Represi merupakan mekanisme
pembelaan ego yang penting dalam perkembangan neurosis, dan
sering dipakai bersama mekanisme lain.
o Supresi: individu secara sadar menolak pikirannya ke luar dari
alam sadarnya dan memikirkan hal yang lain.
o Regresi: kembali ke taraf perkembangan yang sudah dilalui,
biasanya ke taraf yang kurang matang dan dengan kurang
aspirasi. Misalnya seorang anak yang tidak ngompol mulai
berbuat demikian lagi atau mulai mengisap jari atau berbicara
seperti bayi, setelah ia mendapat adik.
o Proyeksi: menyalahkan orang lain mengenai kesulitan sendiri atau
melemparkan kepada orang lain keinginananya sendiri yang tidak
baik.
o Penyusunan reaksi (Reaction Formation): supaya tidak menuruti
keinginan yang jelek, maka untuk menghalanginya diambil sikap
dan perilaku yang sebaliknya, tetapi secara berlebihan. Misalnya
seorang istri benci pada mertuanya, lalu bersikap hormat
berlebihan terhadap mertuanya untuk menghilangkan rasa
salahnya.
o Sublimasi: nafsu yang tidak terpenuhi (terutama sexual)
disalurkan kepada kegiatan lain yang dapat diterima oleh
masyarakat. Sublimasi merupakan penggunaan energi umum
untuk aktivitas yang baik, sehingga secara tidak langsung
ketengangan karena frustasi seksual atau dorongan lain dapat
dikurangi.
o Kompensasi: menutupi kelemahan dengan menonjolkan sifat
yang diinginkan atau pemuasan secara berlebihan dalam satu
bidang karena mengalami frustasi dalam bidang lain.
o Salah-pindah: melepaskan perasaan yang terkekang, biasanya
permusuhan pada objek yang tidak begitu berbahaya seperti yang
pada mulanya membangkitkan emosi itu
o Pelepasan: menebus dan dengan demikian meniadakan keinginan
untuk tindakan yang abnormal.
o Penyekatan emosional: mengurangi keterlibatan ego dan menarik
diri menjadi pasif untuk melindungi diri sendiri dari rasa sakit.
o Isolasi (intelektualisasi): memutuskan pelepasan afektif karena
keadaan yang menyakitkan atau memisahkan sikap-sikap yang
bertentangan dengan tembok-tembok yang tahan logika.
o Simpatisme: Berusaha memperoleh simpati dari orang lain dan
dengan demikian menyokong rasa harga diri, meskipun gagal
dalam suatu usaha.
o Pemeranan: mengurangi kecemasan yang dibangkitkan oleh
keinginan yang terlarang dengan membiarkan ekspresinya.

Jenis-jenis mekanisme pertahanan diklasifikasikan dari yang paling imatur


atau patologik hingga matur (merupakan kontinum) (Utama, 2013):
Mekanisme defensi yang tergolong matur (Vaillant)
o Supresi
o Altruisme: menangguhkan atau menganggap tidak penting
kebutuhan atau minat pribadi dibandingkan dengan orang lain
o Sublimasi
o Humor: kemampuan membuat hal-hal lucu untuk diri sendiri atau
pada situasi tempat individu berada.
Beberapa mekanisme defensi lain (yang potensial patologik):
o Denial (penyangkalan): menganggap tidak ada sensasi nyeri atau
antisipasi suatu peristiwa yang tidak menyenangkan.
o Represi
Proyeksi
o Introyeksi
o Pembentukan reaksi
o Undoing (Peniadaan)
o Isolasi
o Blocking (Penghalangan): bila seseorang tidak dapat mengatasi
emosinya dengan penyangkalan dan represi dengan demikian
fungsinya dihentikan. Emosi yang dihadang demikian dapat
disalurkan terhadap obyek atau situasi lain yang tampak tak
bersangkutan.
o Regresi
o Splitting: mekanisme defensif yang primitif. Banyak dijumpai
pada pasien dengan gangguan kepribadian ambang. Manifestasi
secara klinis dalam bentuk
Ekspresi perasaan dan perilaku yang berubah-ubah secara cepat.
Kemampuan pengendalian impuls berkurang secara selektif
Memisahkan orang-orang dilingkungan jadi dua macam
Representasi self yang berubah-ubah secara bergantian dari hari ke
hari
o Identifikasi proyektif: sarana masuknya splitting intrapsikik ke
dalam splitting interpersonal. Terdiri atas tiga tahap
Pasien memproyeksikan presentasi self dan obyek kepada terapis
Terapis secara nirsadar mengidentifikasi hal-hal yang diproyeksikan
itu dan mulai berperilaku sesuai atau seperti yang diproyeksikan dan
mulai berperilaku sesuai atau seperti yang diproyeksikan,
Materi yang diproyeksikan diolah secara psikologik dan dimodifikasi
oleh terapis dan dikembalikan kepada pasien. Materi yang
dikembalikan itu akan mengubah representasi self dan obyek dalam
pola hubungan interpersonal.

Koping adalah proses saat individu berusaha untuk mengatasi ketidaksesuaian


antara tuntutan-tuntutan dengan sumber-sumber pada situasi yang stressfull.
Individu melakukan perilaku koping sebagai upaya untuk mengurangi stres.
Respon koping yang dilakukan antara satu individu dengan individu yang lain
berbeda. Mekanisme koping menurut Lazarus dan Folkman, dibagi menjadi
dua tipe yaitu mekanisme koping berfokus pada masalah (problem focused
coping) dan mekanisme koping berfokus pada emosi (emotional focused
coping) (Folkman S, Lazarus RS, 2010).

Problem focus coping merupakan usaha dalam mengatasi stres dengan cara
mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi dan lingkungan sekitarnya
yang menyebabkan tekanan meliputi usaha untuk memperbaiki suatu situasi
dengan membuat perubahan atau mengambil beberapa tindakan dan usaha
segera untuk mengatasi ancaman pada dirinya. Contohnya adalah negosiasi,
konfrontasi dan meminta nasehat. Strategi yang dipakai dalam problem
focused coping ini adalah sebagai berikut(Folkman S, Lazarus RS, 2010). :
Confronting coping : usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap
menekan dengan cara yang agresif, tingkat kemarahan yang cukup tinggi
dan pengambilan resiko.
Seeking social support : usaha untuk mendapatkan kenyamanan
emosional dan bantuan informasi dari orang lain.
Planful problem solving : usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap
menekan dengan cara yang hati-hati, bertahap dan analisis.
Koping yang berfokus pada emosi (emotion focused coping) yaitu usaha
untuk mengatasi stress dengan cara mengatur respon emosional dalam rangka
menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh situasi penuh
tekanan, meliputi usaha-usaha dan gagasan yang mengurangi distress
emosional. Mekanisme koping berfokus pada emosi tidak memperbaiki
situasi tetapi seseorang sering merasa lebih baik. Strategi yang digunakan
adalah :
Self control : usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi situasi
dengan tekanan.
Distancing : usaha untuk tidak terlibat dalam permasalahan.
Positive reappraisal : usaha untuk mencari makna positif dari
permasalahan dengan berfokus pada pengembangan diri.
Accepting responsibility : usaha untuk menyadari tanggung jawab dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi dan mencoba menerimanya.
Escape/avoidance : usaha untuk mengatasi situasi menekan dengan lari
dari situasi tersebut atau berusaha untuk menghindarinya.

Koping berdasarkan penggolongannya dibagi menjadi dua yaitu mekanisme


koping adaptif (konstruktif) dan mekanisme koping maladaptif (destruktif).
Mekanisme koping adaptif adalah mekanisme koping yang mendukung
fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan. Kategorinya
adalah berbicara dengan orang lain, memecahkan masalah secara efektif,
teknik relaksasi, latihan seimbang dan aktivitas konstruktif. Sedangkan
mekanisme koping maladaptif adalah mekanisme koping yang menghambat
fungsi integrasi, memecah pertumbuhan, menurunnkan otonomi dan
cenderung menguasai lingkungan. Kategorinya adalah makan
berlebihan/tidak makan, bekerja berlebihan, menghindar(Folkman S, Lazarus
RS, 2010).

Mekanisme koping dikatakan adaptif atau konstruktif bila kecemasan


diperlakukan sebagai sinyal peringatan dan individu menerimanya sebagai
tantangan untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapainya tersebut.
Mekanisme koping adaptif adalah mekanisme koping yang mendukung
fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan. Dalam hal ini,
seorang individu akan mengeksplorasi berbagai macam alternatif pemecahan
masalah yang dianggap paling menguntungkan serta akan memusatkan
konsentrasinya secara penuh terhadap masalah yang dihadapi. Selain itu,
terdapat sisi humor dimana dalam melihat suatu permasalahan dengan tenang
dan tidak dirasakan sebagai suatu beban yang menekan (Folkman S, Lazarus
RS, 2010).

Mekanisme koping dikatakan maladaptive saat kondisi dimana individu


mempunyai pengalaman yang membuatnya tidak mampu menghadapi
stressor. Ciri-ciri dari koping maladaptif ini adalah menyatakan tidak
mampu, perasaan lemas, takut dan tegang. Sedangkan mekanisme koping
adaptif merupakan kejadian dimana individu dapat mengatur berbagai tugas
mempertahankan konsep diri, mempertahankan emosi dan pengaturan
terhadap stress (Folkman S, Lazarus RS)..

2.2 Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)


2.2.1 Definisi
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan sindrom kecemasan,
labilitas otonomik, dan mengalami kilas balik dari pengalaman yang amat
pedih setelah stres fisik maupun emosi yang melampaui batas ketahanan
orang biasa. Selain itu, PTSD dapat pula didefinisikan sebagai keadaan
yang melemahkan fisikdan mental secara ekstrem yang timbul setelah
seseorang melihat, mendengar,atau mengalami suatu kejadian trauma yang
hebat dan atau kejadian yang mengancam kehidupannya (Kaplan &
Sadock, 2010).

Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, (DSM-


IVTR), PTSD didefinisikan sebagai suatu kejadian atau beberapa kejadian
trauma yang dialami atau disaksikan secara langsung oleh seseorang
berupa kematian atau ancaman kematian, cidera serius, ancaman terhadap
integritas fisik atas diri seseorang. Kejadian tersebut harus menciptakan
ketakutan yang ekstrem, horor, rasa tidak berdaya (Kaplan & Sadock,
2010). Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan reaksi dari
individu terhadap kejadian yang luar biasa akibat dari pengalaman
seseorang pada suatu peristiwa yang bersifat amat hebat dan luar biasa,
jauh dari pengalaman yang normal dialami oleh seseorang tersebut.

Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa PTSD merupakan


gangguan yang diakibatkan satu atau lebih kejadian traumatik yang
dialami atau disaksikan oleh seseorang baik ancaman kematian, kematian,
cidera fisik yang mengakibatkan ketakutan ekstrem, horor, rasa tidak
berdaya hingga berdampak mengganggu kualitas hidup individu dan
apabila tidak ditangani dengan benar dapat berlangsung kronis dan
berkembang menjadi gangguan stres pascatrauma yang kompleks dan
gangguan kepribadian.

2.2.2 Etiopatofisiologi
Stresor atau kejadian trauma merupakan penyebab utama dalam
perkembangan PTSD. Ketika kita dalam keadaan takut dan terancam,
tubuh kita mengaktifkan respon fight or flight. Dalam reaksi ini tubuh
mengeluarkan adrenalin yang menyebabkan peningkatan tekanan darah,
denyut jantung, glikogenolisis. Setelah ancaman bahaya itu mulai hilang
maka tubuh akan memulai proses inaktivasi respon stres dan proses ini
menyebabkan pelepasan hormon kortisol. Jika tubuh tidak melepaskan
kortisol yang cukup untuk menginaktivasi reaksi stres maka kemungkinan
kita masih akan merasakan efek stres dari adrenalin. Pada korban trauma
yang berkembang menjadi PTSD seringkali memiliki hormon stimulasi
(katekolamin) yang lebih tinggi bahkan pada saat kondisi normal. Hal ini
mengakibatkan tubuh terus berespon seakan bahaya itu masih ada. Setelah
sebulan dalam kondisi ini, dimana hormon stres meningkat dan pada
akhirnya akan menyebabkan terjadinya perubahan fisik (Paige, S.R.,
2005).

Stresor dapat berasal dari bencana alam, bencana yang diakibatkan oleh
ulah manusia, ataupun akibat kecelakaan. Stresor akibat bencana alam
antara lain: menjadi korban yang selamat dari tsunami, gempa bumi, badai.
Kejadian trauma akibat ulah manusia antara lain: menjadi korban banjir,
penculikan, perkosaan,kekerasan fisik, melihat pembunuhan, perang, dan
kejahatan kriminal lainnya dimana ia tinggal. Kejadian trauma juga dapat
terjadi akibat kecelakaan baik, yang menyebabkan cidera fisik maupun
yang tidak. Akan tetapi tidak semua orang akan mengalami PTSD setelah
suatu peristiwa traumatik, karena walaupun stresor diperlukan, namun
stresor sendiri tidaklah cukup untuk menyebabkan suatu gangguan. Maka
dari itu, menurut Kaplan & Sadock (2010), terdapat beberapa faktor lain
yang harus dipertimbangkan, diantaranya:
a. Faktor biologis
Teori biologis pada PTSD telah dikembangkan dari penelitian
praklinik model stres pada binatang yang didapatkan dari pengukuran
variabel biologis populasi klinis dengan PTSD. Banyak sistem
neurotransmitter telah dilibatkan dalam kumpulan data tersebut.
Model praklinik pada binatang tentang ketidakberdayaan,
pembangkitan, dan sensitisasi yang dipelajari telah menimbulkan teori
tentang norepinefrin, dopamin, opiate endogen, dan reseptor
benzodiazepine dan sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal. Pada
populasi klinis, data telah mendukung hipotesis bahwa sistem
noradrenergic dan opiate endogen, dan juga sumbu hipotalamus-
hipofisis-adrenal, adalah hiperaktif pada beberapa pasien dengan
gangguan stres pascatraumatik.

b. Faktor psikologi
Classical dan operant conditioning dapat diimplikasikan pada
perkembangan terjadinya PTSD. Stresor yang ekstrem secara tipikal
menimbulkan emosi yang negatif (sedih, marah, takut) sebagai bagian
dari gejala hiperarousal akibat aktivasi dari sistem saraf simpatis (fight
or flight response). Classical conditioning terjadi pada saat seseorang
yang mengalami peristiwa trauma kembali ke tempat terjadinya
trauma maka akan timbul reaksi psikologi yang tidak disadari dan
merupakan respon refleks yang spesifik. Misalnya, pada anak yang
mengalami kecelakaan mobil yang serius akan timbul respon berupa
ketakutan, berkeringat, takikardi setiap kali dia melewati tempat
kejadian tersebut. Operant conditioning terjadi sebagai hasil dari
pengalaman kejadian trauma yang dialaminya sehingga didapatkan
tingkah laku yang tidak disukai dan tidak akan diulangi. Misalnya,
pada anak yang mengalami kecelakaan mobil maka ia akan berusaha
untuk menghindari berada di dalam mobil. Modelling merupakan
mekanisme psikologikal lainnya yang turut berperan dalam
perkembangan gejala PTSD. Respon emosional orang tua terhadap
pengalaman traumatik anak merupakan prediksi terhadap keparahan
gejala PTSD anak.

c. Faktor sosial
Dukungan sosial yang tidak adekuat dari keluarga dan lingkungan
meningkatkan risiko perkembangan PTSD setelah seseorang
mengalami kejadian traumatik. Penyebab gangguan bervariasi, tetapi
stresor harus sedemikian berat sehingga cenderung menimbulkan
trauma psikologis pada kebanyakan orang normal, walaupun tidak
berarti bahwa semua orang harus mengalami gangguan akibat trauma
ini. Macam-macam stresor traumatik:
1) Menyaksikan peristiwa yang berakibat luka fisik atau kematian
yang menakutkan seperti korban tergulung ombak, tertimpa tanah
longsor, terlindas kendaraan, penganiayaan, terkena granat atau
bom, kepala terpancung, tertembak, pembunuhan masal atau
tindakan brutal di luar batas kemanusiaan.
2) Pengalaman berada dalam situasi terancam kematian atau
keselamatan jiwanya, misalnya huru-hara kerusuhan, bencana,
tsunami, air bah atau gunung meletus, peperangan, berbagai
tindak kekerasan, usaha pembunuhan, penganiayaan fisik dan
mental-emosional, penyanderaan, penculikan, perampokan
ataupun kecelakaan.

3) Mengalami tindak kekerasan dalam keluarga.


4) Mengalami secara aktual atau terancam mengalami perkosaan,
pelecehan, seksual yang mengancam integritas fisik dan harga diri
seseorang.
5) Dipaksa atau terpaksa melakukan tindak kekerasan.
6) Kematian mendadak/berpisah dari anggota keluarga/orang yang
dikasihi.
7) Berhasil selamat dari tindak kekerasan, bencana alam/kecelakaan
hebat.
8) Terpaksa pindah atau terusir dari kampung halaman.
9) Mendadak berada dalam keadaan terasing, tercabut dari lingkungan
fisik, budaya, kerabat, teman sebaya yang dikenal.
10) Terputusnya hubungan dengan dunia luar, dilarang melakukan
berbagai adat istiadat atau kebiasaan.
11) Kehilangan harta benda, sumber penghidupan, privasi (hak
pribadi).
12) Berada dalam kondisi serba kekurangan pangan, tempat tinggal,
kesehatan.

2.2.3 Epidemiologi
Gangguan PTSD sudah sering terjadi. Dari studi yang dilakukan,
ditemukan prevalensi PTSD sebesar 7,8% selama masa hidup ( wanita
10,4% dan pria 5,0%), menggunakan kriteria DSM-III. Perkiraan untuk
prevalensi 12 bulan berkisar antara 1,3% dan 3,6%. Perkiraan untuk
prevalensi 1 bulan berkisar antara 1,5%-1,8% menggunakan kriteria DSM-
IV dan 3,4% menggunakan kriteria ICD-10. Kessler et al (1995)
menemukan bahwa resiko terjadinya PTSD setelah suatu kejadian
traumatic adalah sebesar 8,1% untuk pria dan 20,4% untuk wanita. Breslau
et al (1997) menemukan resiko sebesar 13% untuk pria dan 30,2% untuk
wanita.

2.2.4 Gambaran Klinis


Gambaran klinis PTSD adalah mengalami kembali suatu peristiwa yang
menyakitkan, suatu pola menghindari dan mematikan emosi, serta keadaan
terus terjaga yang cukup konstan. Gangguan ini dapat tidak timbul sampai
berbulanbulan atau bahkan bertahun-tahun setelah peristiwa tersebut.
Pemeriksaan status mental sering mengungkapkan rasa bersalah,
penolakan, dan cemoohan. Pasien juga menggambarkan disosiatif dan
serangan panik, bahkan ilusi dan halusinasi juga dapat ditimbulkan sebagai
akibat dari PTSD. Uji kognitif dapat menunjukkan bahwa pasien memiliki
penurunan daya memori dan perhatian. Gejala terkait dapat mencakup
agresi, kekerasan, kendali impuls yang buruk, depresi dan gangguan terkait
zat (Kaplan & Sadock, 2010).

Gejala utama PTSD yaitu mengalami kembali secara involunter peristiwa


traumatik dalam bentuk mimpi atau bayangan yang intrusif, yang
menerobos masuk ke dalam kesadaran secara tiba-tiba (kilas balik atau
flashback). Hal ini sering dipicu oleh hal-hal yang mengingatkan penderita
akan peristiwa traumatik yang pernah dialami. Kelompok gejala lainnya
adalah tanda-tanda meningkatnya keterjagaan (arousal) berupa kecemasan
yang hebat, iritabilitas, insomnia, dan konsentrasi yang buruk. Gangguan
cemas akan bertambah parah pada saat terjadi kilas balik. Gejala-gejala
disosiatif merupakan kelompok gejala lainnya yang terdiri dari kesulitan
mengingat kembali bagian-bagian penting dari peristiwa itu (detachment),
ketidakmampuan untuk merasakan perasaan (emotional numbness).
Kadang-kadang terjadi depersonalisasi dan derealisasi. Perilaku
menghindar juga merupakan bagian dari gejala PTSD. Pasien biasanya
akan menghindari hal-hal yang dapat mengingatkan dia akan peristiwa
traumatik tersebut. Gejala-gejala depresi kerap kali didapatkan dan
penyintas (survivor) sering merasa bersalah. Perilaku maladaptif sering
terjadi berupa rasa marah yang persisten, penggunaan alkohol atau obat-
obatan berlebihan dan perbuatan mencederai diri yang sebagian berakhir
dengan bunuh diri (Maramis, 2009).

2.2.5 Diagnosis dan Klasifikasi


Kriteria diagnosis DSM-IV-TR untuk PTSD merinci bahwa gejala
mengalami, menghindari, dan terus terjaga lebih dari 1 bulan. Untuk
pasien yang gejalanya ada, tetapi kurang dari 1 bulan, diagnosis yang
sesuai adalah gangguan stres akut. Kriteria diagnosis DSM-IV-TR, PTSD
memungkinkan klinisi untuk merinci apakah gangguan tersebut akut (jika
gejala kurang dari 3 bulan) atau kronis (jika gejala telah ada selama 3
bulan atau lebih). DSM-IV-TR juga memungkinkan klinisi merinci bahwa
gangguan tersebut adalah dengan awitan yang tertunda jika awitan gejala 6
bulan atau lebih setelah peristiwa yang memberikan stres (Kaplan &
Sadock, 2010).
Menurut DSM-IV-TR, kriteria diagnosis bagi penderita gangguan stres
pascatrauma:

a. Kejadian traumatik
1) Satu atau banyak peristiwa yang membuat seseorang mengalami,
menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian yang berupa
ancaman kematian, cidera yang serius sehingga mengancam
integritas fisik dirinya sendiri atau orang lain.
2) Tanggapan individu terhadap pengalaman tersebut dengan ketakutan
atau ketidakberdayaan yang sangat kuat.

b. Mengalami kembali satu atau lebih gejala di bawah ini:


1) Teringat kembali akan kejadian trauma menyedihkan yang
dialaminya dan bersifat mengganggu (bisa berupa gambaran,
pikiran, persepsi).
2) Mimpi buruk yang berulang tentang peristiwa trauma yang
dialaminya (yang mencemaskan).
3) Mengalami kilas balik trauma (merasa seakan kejadian trauma yang
dialaminya terjadi kembali, hal ini bisa terjadi karena ilusi,
haluinasinya).
4) Kecemasan psikologis dan fisik bersamaan dengan hal yang
mengingatkan terhadap kejadian trauma (kenangan akan peristiwa
trauma).
c. Menghindari secara persisten stimulus yang berkaitan dengan trauma
dan mematikan perasaan/tidak berespon terhadap suatu hal sehingga
akan berdampak pada perubahan rutinitas pribadi (Bison, J., 2009).
Gejala ini meliputi tiga atau lebih hal di bawah ini:
1) Kemampuan untuk menghindari pikiran, perasaan, percakapan yang
berhubungan dengan kejadian trauma.
2) Kemampuan menghindari aktivitas, tempat, orang yang dapat
membangkitkan kembali kenangan akan trauma yang dialaminya.
3) Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari peristiwa trauma.
4) Kurangnya ketertarikan dalam berpartisipasi terhadap peristiwa
penting.
5) Merasa terasing dari orang di sekitarnya.
6) Terbatasnya rentang emosi (tidak dapat merasakan cinta dan
dicintai).
7) Perasaan bahwa masa depannya suram.

d. Gejala hiperarousal yang persisten meliputi dua atau lebih gejala di


bawah ini:
1) Sulit untuk memulai tidur/sulit mempertahankannya.
2) Sulit berkonsentrasi.
3) Mudah kesal dan meledak-ledak emosinya.
4) Hypervigilance (kewaspadaan yang berlebihan).
5) Reaksi kaget yang berlebihan.

e. Durasi dari gangguan (gejala di kriteria B, C, D) lebih dari sebulan.


f. Gangguan/gejala di atas ini menyebabkan kecemasan dan gangguan
fungsional dalam berhubungan sosial, pekerjaan, dan fungsi penting
lainnya.

Sedangkan pedoman diagnostik PTSD menurut Pedoman Penggolongan


dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III dalam F 43.1 yaitu:

a. Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun


waktu enam bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang
berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai
melampaui enam bulan). Kemungkinan diagnosis masih dapat
ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian dan onset
gangguan melebihi waktu enam bulan, asal saja manifestasi klinisnya
adalah khas dan tidak didapat alternatif kategori gangguan lainnya.

b. Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang


atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-
ulang kembali (flashback).

c. Gangguan otonomik, gangguan afek, dan kelainan tingkah laku


semuanya dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas.

d. Suatu sequelae menahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar
biasa, misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasi
dalam kategori F 62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama
setelah mengalami katastrofia).

Kriteria diagnosis PTSD dibuat untuk orang dewasa dan tidak sepenuhnya
semua kriteria di atas dapat dipergunakan bagi anak-anak. Anak-anak
memilki keterbatasan dalam kemampuan verbalnya dan memiliki cara
yang berbeda dalam bereaksi terhadap stres. Hal ini menunjukkan bahwa
anak-anak mungkin tidak memenuhi kriteria DSM-IV-TR secara penuh
meskipun secara jelas anak tersebut memiliki gangguan psikiatri yang
analog dengan PTSD pada dewasa. Biasanya anak seringkali tidak
memiliki tiga tanda dari numbing (mematikan perasaannya) dan withdrawl
(menarik diri) seperti pada orang dewasa karena kemampuan verbal untuk
mengekspresikan perasaannya masih kurang. Anak-anak mungkin
mengalami perubahan antara hiperarousal dan numbing/withdrawl.

2.2.6 Tatalaksana
Sebelum menjalani terapi atau program-program apapun, ada baiknya
dilakukan evaluasi psikologis pada terlebih dahulu. Tindakan ini untuk
memahami kepribadian, trauma yang dialami, dan dampak dari trauma
tersebut pada dirinya. Evaluasi juga dapat membantu terapis untuk
memahami berbagai risiko tambahan dan menemukan kekuatan dari klien.
Hal ini harus sangat diperhatikan karena proses evaluasi dapat dialami
sebagai proses yang sangat berat dan dapat menimbulkan trauma sekunder.
Setelah dilakukan evaluasi ada dua macamterapi pengobatan yang dapat
dilakukan pada penderita PTSD yaitu, dengan menggunakan psikoterapi
dan farmakoterapi. Hasil pengobatan akan lebih efektif jika kedua terapi
ini dikombinasikan sehingga tercapai penanganan yang holistik dan
komprehensif (Kaplan & Sadock, 2010).

a. Psikoterapi
Psikoterapi adalah suatu bentuk dari perawatan (treatment) terhadap
masalah-masalah yang dasarnya emosi, dimana seseorang yang terlatih
dengan seksama membentuk hubungan profesional dengan pasien
dengan tujuan memindahkan, mengubah, atau mencegah munculnya
gejala dan menjadi perantara untuk menghilangkan pola-pola perilaku
yang terhambat (Wolberg, 1954). Dengan demikian, perawatan
menggunakan teknik psikoterapi ini merupakan perawatan yang secara
umum menggunakan intervensi psikis dengan pendekatan psikologis
terhadap pasien yang mengalami gangguan psikis atau hambatan
kepribadian. Adapun macam-macam psikoterapi diantaranya adalah:
1) Cognitive Behavioral Therapy (CBT)
Menurut penelitian Cognitive Behavioral Therapy (CBT)
merupakan pendekatan yang paling efektif dalam mengobati PTSD.
Dalam CBT, terapis membantu untuk mengubah kepercayaan yang
tidak rasional yang mengganggu emosi dan menganggu kegiatan-
kegiatan penderita PTSD misalnya, pada seorang anak korban
kejahatan mungkin akan menyalahkan diri sendiri karena
ketidakhati-hatiannya. Prinsip-prinsip CBT digunakan untuk
modifikasi perilaku dan proses relearning. Tujuan terapi ini
adalah mengidentifikasi pikiran-pikiran yang tidak rasional,
mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional untuk
melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang
lebih realistik untuk membantu mencapai emosi yang lebih
seimbang.

Psikoterapi psikodinamik dapat berguna dalam terapi pada banyak


kasus PTSD. Di sejumlah kasus, rekonstruksi peristiwa traumatik
dengan abreaksi dan katarsis terkait dapat bersifat terapeutik, tetapi
psikoterapi harus diindividualisasi karena mengalami kembali
trauma dapat terlalu berat untuk sejumlah pasien. Intervensi
psikoterapeutik PTSD mencakup terapi perilaku, terapi kognitif,
dan hipnosis. Di samping teknik terapi individual terapi kelompok
dan terapi keluarga sering dilaporkan efektif pada kasus PTSD.
Keuntungan terapi kelompok mencakup saling berbagi pengalaman
traumatik dan dukungan antar anggota. Untuk lebih lengkapnya
CBT ini akan dibahas pada sub bab berikutnya.

2) Eye Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR)


EMDR adalah sebuah pendekatan psikoterapi yang bertumpu pada
model pemrosesan informasi di dalam otak. Jaringan memori
dilihat sebagai landasan yang mendasari patologi sekaligus
kesehatan mental, karena jaringan-jaringan memori adalah dasar
dari persepsi, sikap dan perilaku kita. Untuk memproses kembali
informasi di dalam otak/jaringan memori yang telah ada, EMDR
dijalankan dengan melakukan kegiatan fisik yang merangsang
aktivasi pemrosesan informasi di dalam otak (dalam konteks
EMDR disebut sebagai stimulasi bilateral) melalui indra
pengelihatan/pendengaran/perabaan.

3) Playtherapy
Playtherapy merupakan cara yang dapat digunakan untuk
mengobati PTSD pada anak periode awal/young children. Pada
terapi ini bertujuan untuk memahami trauma anak dan memberikan
kebebasan untuk berekspresi dalam mengurangi tekanan emosional
ynag dialami. Bermain peran, menggambar, bermain dengan
boneka atau benda-benda figural dapat dijadikan cara untuk
menyesuaikan diri dan memberi kesempatan pada terapis untuk
melakukan reexposure yaitu, membahas peristiwa traumatiknya
dalam situasi yang mendukung.

b. Farmakoterapi
Farmakoterapi merupakan terapi dengan menggunakan obat-obatan.
Terapi ini diperlukan untuk menstabilkan zat-zat di otak yang
menyebabkan kecemasan, kekhawatiran, dan depresi atau dengan kata
lain merupakan terapi simptomatik pada PTSD. Terapi obat ini
bukanlah lini pertama dalam penanganan PTSDtetapi dapat dijadikan
sebagai terapi pendukung (adjuvan) psikoterapi agar tercapai hasil
yang optimal dalam menangani kasus PTSD. Adapun beberapa contoh
farmakoterapi yang sering digunakan dalam kasus PTSD, antara lain:
1) Golongan benzodiazepin: Chlordiazepoxide, Diazepam,
Lorazepam.
2) Golongan non-benzodiazepin: Buspirone, Sulpiride, Hydroxyzine.
3) Golongan antidepresan: Trisiklik, Amitriptyline, Imipramine.
4) Golongan Monoamin Oksidase Inhibitor (MAOI): Moclobemide
5) Golongan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI):
Sertraline, Paroxetine, Fluvoxamine, Fluoxetine.

2.2.7 Prognosis
Prognosis pada kasus PTSD sulit untuk ditentukan, karena itu bervariasi
secara signifikan dari pasien ke pasien. Beberapa individu yang tidak
menerima perawatan secara bertahap pulih dalam periode tahun. Prognosis
yang baik diramalkan oleh onset gejala yang cepat, durasi gejala yang
singkat (kurang dari enam bulan), fungsi pramorbid yang baik, dukungan
sosial yang kuat, dan tidak adanya gangguan psikiatrik, medis, atau
berhubungan zat lainnya. Pada umumnya, orang yang sangat muda atau
sangat tua memiliki kesulitan lebih banyak terhadap peristiwa traumatik
dibandingkan mereka yang dalam usia pertengahan (Kaplan & Sadock,
2010).

2.3 Gangguan Penyesuaian


2.3.1 Definisi
Gangguan penyesuaian (adjustment disorder) merupakan reaksi maladaptif
jangka pendek terhadap stressor yang dapat diidentifikasi, yang muncul
selama tiga bulan dari munculnya stressor tersebut. Gangguan ini
merupakan respon patologis terhadap apa yang oleh orang awam disebut
sebagai kekurang beruntungan, atau yang menurut para psikiater disebut
sebagai stressor psikososial. Gangguan ini bukan merupakan kondisi lebih
buruk dari gangguan psikiatrik yang sudah ada. (Kaplan & Sadock, 2010).

Reaksi maladaptif terlihat dari adanya hendaya yang bermakna (signifikan)


dalam fungsi sosial, pekerjaan, akademis, atau adanya kondisi distress
emosional yang melebihi batas normal. Hendaya tersebut muncul dalam 3
bulan setelah adanya stressor. Reaksi maladaptif dalam bentuk gangguan
penyesuaian ini, mungkin teratasi bila stressor dipindahkan atau individu
belajar mengatasi stressor. Bila reaksi maladaptif ini berlangsung lebih dari
enam bulan setelah stressor (konsekuensinya) dialihkan, diagnosis
gangguan penyesuaian perlu diubah.

ICD-10 dan DSM-IV mendefinisikan gangguan penyesuaian sebagai


keadaan sementara yang ditandai dengan munculnya gejala dan
terganggunya fungsi seseorang akibat tekanan pada emosi dan psikis, yang
muncul sebagai bagian adaptasi terhadap perubahan hidup yang signifikan,
kejadian hidup yang penuh tekanan, penyakit fisik yang serius, atau
kemungkinan adanya penyakit yang serius.

2.3.2 Etiopatofisiologi
Berdasarkan definisi yang diungkapkan, gangguan penyesuaian selalu
didahului oleh satu atau lebih stressor. Kadar kekuatan dari stressor
tersebut tidak selalu sebanding dengan kadar kekuatan gangguan yang
dihasilkan. Kadar dari stressor tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor
yang kompleks, seperti derajat stressor, kuantitas, durasi, lingkungan
maupun konteks pribadi yang menerima stressor tersebut. Misalnya, reaksi
dari anak berusia 10 tahun dan 40 tahun tentu sangat berbeda terhadap
peristiwa meninggalnya orang tua. Faktor kepribadian, norma kelompok,
serta budaya setempat juga sangat berpengaruh terhadap cara seseorang
menanggapi sebuah stressor (Kaplan & Sadock, 2010).

Berikut adalah beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya gangguan


penyesuaian pada seseorang.
Peran stress
Seseorang harus mengalami kejadian yang penuh tekanan untuk
dianggap mengalami gangguan penyesuaian. Stressor yang
menyebabkan gangguan penyesuaian bisa jadi berbeda tipe dan bobot.
Paykel et al mengklasifikasikan kejadian hidup menjadi
desirable/undesirable (seperti kemajuan karir atau penyakit),
penerimaan/kehilangan (seperti pernikahan/kematian seseorang yang
dicintai).

Stressor bisa single/tunggal bisa multiple/banyak, single misalnya,


kehilangan orang yang dicintai, sedangkan yang multiple misalnya
selain kehilangan orang yang dicintai, juga di PHK, dan mengidap
suatu penyakit. Selain itu stressor juga dapat berupa sesuatu yang
berulang, misalnya kesulitan bisnis di masa sulit, serta dapat berupa
sesuatu yang terus menerus, misalnya kemiskinan dan penyakit kronis.
Perselisihan dalam keluarga dapat menyebabkan gangguan
penyesuaian yang berpengaruh terhadap semua anggota keluarga,
namun dapat juga gangguan hanya terbatas pada satu anggota keluarga
yang mungkin menjadi korban, atau secara fisik, menderita penyakit.
Terkadang, gangguan penyesuaian juga dapat muncul pada konteks
kelompok atau komunitas, dimana sumber stresnya mempengaruhi
beberapa orang sekaligus, seperti yang terjadi pada komunitas yang
mengalami bencana alam. Selain itu tahap perkembangan tertentu
seperti, mulai masuk sekolah, meninggalkan rumah untuk merantau,
menikah, menjadi ayah/ibu, gagal dalam meraih cita-cita, maupun
ditinggal oleh anak untuk merantau, sering diasosiasikan dengan
gangguan penyesuaian (Kaplan & Sadock, 2010).

Vulnerabilitas individu
Masing-masing individu memiliki vulnerabilitas yang berbeda
terhadap gangguan penyesuaian, tergantung dari karakteristik
kepribadian dan latar belakang masing-masing. Tidak semua orang
yang mengalami stress akan memiliki gangguan penyesuaian. Berikut
adalah hal-hal yang mempengaruhi vulnerabilitas seseorang terhadap
stress:
- Variabilitas individu: usia, jenis kelamin, tingkat kesehatan atau
komorbiditas kejiwaan.
- Faktor hubungan, seperti tingkat instruksi; etik, politik, kepercayaan.
- Lingkungan keluarga: keberadaan dukungan, kekuatan hubungan,
dan status ekonomi.
- Kejadian di masa kecil: seorang ibu yang mengontrol anaknya atau
seorang ayah yang suka meng-abuse anaknya, berhubungan dengan
peningkatan risiko gangguan penyesuaian. Faktor personal dari
tingginya neurotisme dan rendahnya ekstraversi mungkin
berhubungan dengan gangguan penyesuaian.
- Level pendidikan: Level pendidikan yang tinggi dapat melindungi
diri dari distress psikologis.
- Status pernikahan: Pernikahan dianggap sebagai faktor yang dapat
melindungi diri dari gangguan penyesuaian.
- Hubungan antara kelainan kepribadian dan gangguan penyesuaian
masih tidak jelas. Meskipun gangguan kepribadian dapat
meningkatkan risiko berkembangnya gangguan penyesuaian,
pasien dengan gangguan penyesuaian lebih jarang untuk memiliki
kelainan kepribadian dibandingkan dengan pasien depresi.

2.3.3 Epidemiologi
Berdasarkan DSM-IV TR prevalensi dari gangguan penyesuaian diantara 2
sampai 8 persen dari total populasi. Wanita didiagnosa dua kali lebih
sering dibanding dengan pria, dan wanita single secara umum memiliki
resiko yang paling tinggi. Pada anak-anak dan remaja, tidak ada perbedaan
kecenderungan gangguan penyesuaian antara anak laki-laki dan anak
perempuan. Pada remaja, baik laki-laki maupun perempuan, stressor yang
umum menyebabkan gangguan penyesuaian diantaranya masalah sekolah,
penolakan dari orang tua, perceraian orang tua, dan tindak kekerasan yg
diterima. Sedangkan pada orang dewasa, sumber stressor yang umum
diantaranya, masalah keluarga, perceraian, berpindah ke lingkungan yang
baru, dan masalah finansial (Kaplan & Sadock, 2010).
Gangguan penyesuaian merupakan salah satu gangguan yang paling
banyak ditemukan pada pasien yang dirawat di rumah sakit, baik yang
dirawat karena penyakit fisik, maupun juga pasien yang hendak
mengalami operasi. Pada suatu penelitian ditemukan bahwa 5 persen dari
semua pasien yang dirawat pada suatu rumah sakit selama masa 3 tahun
didiagnosis mengalami gangguan penyesuaian. Kemudian juga ditemukan
bahwa 50 persen dari orang-orang yang memiliki riwayat penyakit medis,
didiagnosis mengalami gangguan penyesuaian (Utama, 2013.

2.3.4 Gambaran Klinis


Gangguan penyesuaian didiagnosis saat seseorang memiliki gejala
kejiwaan saat menyesuaikan diri terhadap keadaan baru. Gejala-gejala
yang muncul bervariasi, misalnya depresi, kecemasan, atau campuran di
antara keduanya. Gejala campuran ini yang paling sering ditemukan pada
orang dewasa. Berikut adalah gabungan dari beberapa gejala gangguan
penyesuaian:
Gejala psikologis meliputi depresi, cemas, khawatir, kurang
konsentrasi, dan mudah tersinggung.

Gejala fisik meliputi berdebar-debar, nafas cepat, diare, dan tremor.

Gejala perilaku meliputi agresif, ingin menyakiti diri sendiri, alcohol


abuse, penggunaan obat-obatan yang tidak tepat, kesulitan sosial, dan
masalah pekerjaan.

Gejala-gejala tersebut muncul bertahap setelah adanya kejadian yang


penuh tekanan, dan biasanya berlangsung dalam waktu sebulan (ICD-10)
atau 3 bulan (DSM IV). Gangguan ini jarang terjadi lebih dari 6 bulan.
Contoh kejadian yang penuh tekanan antara lain putusnya hubungan,
pemutusan hubungan kerja, perselisihan dalam pekerjaan, kehilangan,
sakit dan perubahan besar.
Seseorang yang menderita gangguan penyesuaian akan memiliki kesulitan
dalam fungsi sosial dan pekerjaan; kerja dan hubungan antara sesama akan
terganggu akibat stress yang berlangsung atau kurangnya konsentrasi.
Bagaimanapun juga kesulitan yang terjadi tidak akan mengganggu
kehidupan sehari-hari seseorang sampai level yang signifikan. Gejala tidak
selalu menghilang segera setelah stressor menghilang dan jika stressor
berlanjut, gangguan mungkin akan menjadi kronik.

2.3.5 Diagnosis dan Klasifikasi


ICD-10
Gangguan penyesuaian dikode ke dalam F43.2, golongan Reaction to
severe stress, and adjustment disorders (F43). Menurut ICD 10, terdapat
bermacam-macam manifestasi klinis dari gangguan penyesuaian, termasuk
mood depresi, cemas, khawatir (atau gabungan antara ketiganya), perasaan
tidak mampu untuk mengatasi perasaan, merencanakan masa depan, atau
melanjutkan kondisi saat ini, dan beberapa tingkatan atas ketidakmampuan
dalam penampilan sehari-hari. Mungkin saja akan terjadi gangguan
perilaku (seperti agresivitas dan disosial), terutama pada orang dewasa.
Tidak ada gejala yang predominan untuk masuk ke dalam diangosis
spesifik lainnya. Pada anak-anak biasanya terdapat fenomena regresif,
seperti mengompol, berbicara seperti bayi, atau menghisap jempol.

Onset biasanya terjadi dalam 1 bulan sejak terjadinya kejadian yang penuh
dengan tekanan atau mengubah kehidupan, dan biasanya durasi dari gejala
tersebut tidak melebihi 6 bulan, kecuali masuk ke dalam kasus reaksi
depresi berkepanjangan (F 43.21). Jika gejala yang muncul berlangsung
lama, maka diagnosis sebaiknya diubah sesuai dengan gambaran klinis
yang muncul. Jika penyebabnya adalah kehilangan, maka harus
dipertimbangkan juga sebagai reaksi normal dari kehilangan
(bereavement), yang sesuai dengan budaya seseorang dan biasanya tidak
lebih dari 6 bulan. Untuk diagnosis tersebut biasanya dikode dengan Z63.4
(menghilangnya atau meninggalnya anggota keluarga).
Reaksi kehilangan dalam berbagai waktu, yang dianggap tidak normal
karena bentuk atau isinya, harus dikode sebagai F43.22, F43.23, F43.24,
atau F43.25, dan yang mana masih selalu muncul dan bertahan hingga 6
bulan dapat dikode sebagai F43.21 (reaksi depresi berkepanjangan).

Pedoman Diagnosis
a. Diagnosis tergantung pada evaluasi terhadap hubungan antara:
Bentuk, isi, dan beratnya gejala;
Riwayat dan corak kepribadian sebelumnya; dan
Kejadian , situasi yang penuh tekanan, atau krisis kehidupan.

b. Keberadaan ketiga faktor ini harus jelas dan mempunyai bukti yang
kuat bahwa gangguan tersebut tidak akan terjadi bila tidak mengalami
hal tersebut.

c. Jika stressornya dianggap minimal, atau jika merupakan sebuah


hubungan sementara (kurang dari 3 bulan), kelainan tersebut harus
diklasifikasikan di tempat lain, sesuai dengan gejala yang muncul.
Includes:
- Culture shock
- Grief reaction
- Hospitalism in children
Excludes:
Gangguan cemas terpisah pada anak (F93.0)

Jika kriteria untuk gangguan penyesuaian sudah tepat, bentuk klinis atau
fitur-fitur yang dominan dapat dispesifikan ke dalam 5 karakter:
F43.20 Brief depressive reaction
Suatu keadaan depresi yang ringan dan sementara dengan durasi
tidak melebihi 1 bulan.
F43.21 Prolonged depressive reaction
Suatu keadaan depresi ringan yang terjadi sebagai respon dari
pajanan situasi penuh tekanan yang berkepanjangan, namun durasi
tidak melebihi 2 tahun.
F43.22 Mixed anxiety and depressive reaction
Baik gejala depresi maupun cemas cukup banyak, namun pada
level yang tidak lebih tinggi dari mixed anxiety and depressive
disorder (F41,2) atau gangguan cemas campuran lainnya (F41.3).
F43.23 With predominant disturbance of other emotions
Gejalanya biasanya berupa emosi yang parah, seperti cemas,
khawatir, tegang, dan marah. Kategori ini juga dapat digunakan
pada anak-anak yang memiliki perilaku regresif, seperti
mengompol atau menghisap ibu jari.
F43.24 With predominant disturbance of conduct
Gangguan paling utama adalah yang meliputi perilaku, seperti
reaksi kehilangan orang dewasa yang mengakibatkan terjadinya
perilaku agresif atau disosial.
F43.25 With mixed disturbance of emotions and conduct
Baik gejala emosional maupun gangguan perilaku, keduanya
muncul dalam bentuk yang prominent.
F43.28 With other specified predominant symptoms

PPDGJ-III:
a. Diagnosis tergantung pada evaluasi terhadap hubungan antara:

bentuk, isi, dan beratnya gejala

riwayat sebelumnya atau corak kepribadian

kejadian, situasi yang penuh stres, atau krisis kehidupan

b. Adanya ketiga faktor di atas harus jelas dan mempunyai bukti yang kuat
bahwa gangguan tersebut tidak akan terjadi bila tidak mengalami hal
tersebut.
c. Manifestasi gangguan bervariasi dan mencakup afek depresi, anxietas,
campuran depresi dan anxietas, gangguan tingkah laku disertai adanya
disabilitas dalam kegiatan rutin sehari-hari.

d. Biasanya mulai terjadi dalam satu bulan setelah terjadinya kejadian


yang penuh stres, dan gejala-gejala biasanya tidak bertahan melebihi 6
bulan kecuali dalam hal reaksi depresi berkepanjangan.

2.3.6 Tatalaksana
a. Psikoterapi
Intervensi psikoterapi pada gangguan penyesuaian bertujuan untuk
mengurangi efek dari stressor, meningkatkan kemampuan mengatasi
(coping) stressor yang tidak bisa dikurangi, dan menstabilkan status
mental dan system dukungan untuk memaksimalkan adaptasi.
Psikoterapi dapat berupa: terapi perilaku-kognitif, terapi interpersonal,
upaya psikodinamik atau konseling.

Tujuan utama dari psikoterapi ini untuk menganalisa stressor yang


mengganggu pasien kemudian dihilangkan atau diminimalkan. Sebagai
contoh, amputasi kaki dapat menghancurkan perasaan seseorang
tentang dirinya, terutama jika individu tersebut adalah seorang atlet lari.
Perlu diperjelas bahwa pasien tersebut tetap memiliki suatu kemampuan
besar, dimana ia dapat menggunakannya untuk pekerjaan yang berguna,
tidak perlu kehilangan hubungan yang berharga, dapat bereproduksi,
dan ini tidak berarti bagian tubuh yang lain juga akan hilang. Jika tidak,
pasien tersebut dapat berfantasi ( bahwa semuanya hilang) dan stressor
(amputasi) dapat mengambil alih, membuat disfungsional (pekerjaan,
seks) pada pasien, dan menyebabkan disforia yang menyakitkan atau
kecemasan.

Beberapa stressor dapat menyebabkan reaksi yang berlebihan


(misalnya, pasien memutuskan untuk bunuh diri atau melakukan
pembunuhan setelah ditinggalkan oleh kekasihnya). Pada kasus seperti
reaksi berlebihan dengan perasaan, emosi atau perilaku, terapis akan
membantu individu menempatkan perasaan dan kemarahannya melalui
kata-kata daripada melakukan tindakan destruktif dan memberikan
perspektif. Peran verbalisasi dan gabungan afek dan konflik yang tidak
berlebihan dalam upaya mengurangi stressor dan meningkatkan coping.
Obat-obatan dan alkohol tidak dianjurkan.

Psikoterapi, konseling krisis medis, intervensi krisis, terapi keluarga,


terapi kelompok, terapi perilaku-kognitif, dan terapi interpersonal
semua mendorong individu untuk mengekspresikan pengaruh,
ketakutan, kecemasan, kemarahan, rasa tidak berdaya, dan putus asa
terhadap stressor. Mereka juga membantu individu untuk menilai
kembali realitas dalam beradaptasi. Sebagai contoh, hilangnya kaki
bukan berarti kehilangan nyawa. Tetapi itu adalah kerugian besar.
Psikoterapi singkat berusaha untuk membingkai makna stressor
tersebut, cara meminimalkannya dan mengurangi defisit psikologis
terhadap kejadian tersebut.

b. Farmakoterapi
Biasanya, penggunaan terapi farmakologi oleh individu dengan
gangguan penyesuaian adalah untuk mengurangi gejala seperti
insomnia, kecemasan dan serangan panik. Yang paling umum
diresepkan untuk agen individu dengan gangguan penyesuaian adalah
benzodiazepine dan anti-depresan. Stewart et al merekomendasikan
percobaan antidepresan pada pasien dengan depresi ringan atau berat
yang belum memberi respon atau intervensi psikoterapi suportif lainnya
selama 3 bulan.

2.3.7 Prognosis
Gangguan penyesuaian biasanya membaik setelah beberapa bulan, jarang
yang menjadi berkepanjangan. Belum ada penelitian yang menginvestigasi
efektivitas dari pengobatan. Gangguan penyesuaian tidak separah
dibandingkan kondisi kejiwaan lainnya dalam hal durasi sakit yang lebih
pendek, lebih mudah kembali untuk keefektifan kerja dan sedikit yang
harus masuk ke rumah sakit, atau jika masuk ke rumah sakit,
membutuhkan waktu yang lebih pendek dalam perawatan. Dalam sebuah
penelitian yang dilakukan terhadap personel Sri Lankan Air Force, 45
pasien dengan gangguan penyesuaian kembali bekerja dalam 6 bulan.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di US, 5 tahun setelah


didiagnosis gangguan penyesuaian, 79 % pasien dewasa kembali baik,
meskipun 8% dari mereka mengalami gejala yang relaps. Dua puluh satu
persen dari yang tidak membaik, kebanyakan dari mereka mengalami
depresi atau masalah alkohol. Dari penelitian ditemukan bahwa kurang
dari 18% individu yang mengalami gangguan penyesuaian jangka panjang.

Berhubungan dengan risiko bunuh diri, beberapa penelitian juga


menunjukkan 2% dari pasien dengan gangguan penyesuaian melakukan
bunuh diri dalam waktu 5 tahun. Meskipun angka tersebut lebih tinggi dari
risiko bunuh diri pada populasi umum, angka ini masih lebih rendah
dibandingkan bentuk lainan gangguan psikiatrik.

Beberapa penelitian menyarankan jika stressornya berlanjut (contoh, sakit


yang berkepanjangan, atau tekanan finansial), gangguan penyesuaian dapat
berkepanjangan. Gangguan penyesuaian dapat sembuh tanpa intervensi
medis. Penanganannya biasanya suportif, membantu pasien untuk
mengekspresikan perasaannya dan menyelesaikan masalah mereka.
Adakalanya, pengobatan antidepressant atau anti cemas bisa digunakan.
BAB III
KESIMPULAN

Stres adalah kondisi yang disebabkan oleh interaksi antara individu dengan
lingkungan, menimbulkan persepsi jarak antara berbagai tuntutan yang berasal
dari situasi pada sistem biologis, psikologis dan sosial dari seseorang. Apabila
terjadi suatu stres maka sebagaian besar orang akan menyesuaikan diri dan
mengatasi keadaan tersebut, tetapi sebagian mungkin akan mengalami, yaitu
gangguan stres akut apabila terjadi segera setelah peristiwa yang menimbulkan
stres, gangguan pasca trauma apabila terjadi setelah suatu stres yang sangat hebat,
dan gangguan penyesuaian apabila stresornya adalah perubahan situasi kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA

American Psychological Association.2013. Stress in America : Missing the Health


Care Connection. (https://www.apa.org/news/press/releases/stress/2012/full-
eport.pdf)

Davison G, Naele J & Kring A. 2012. Psikologi Abnormal. Edisi ke-12. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada

Folkman S, Lazarus RS. 2010. Coping and emotion. Psychological and


bioplogical approaches to emotion. From https://books.google.co.id/books?
hl=en&lr=&id=iZGMWf2-
CoAC&oi=fnd&pg=PA313&dq=coping+and+emotion+folkman+S,
+Lazarus+RS&ots=wN1KUtqIaz&sig=N11qEN1adV8t2vGF-
z3ebQqhq6A&redir_esc=y#v=onepage&q=coping%20and%20emotion
%20folkman%20S%2C%20Lazarus%20RS&f=false

Kaplan, Sadock, Grebb MD. 2010. Sinopsis Psikiatri. Jilid ke-2. Jakarta: Binapura
Angkasa

Maramis WF. 2009. Catatan ilmu kedokteran jiwa (Edisi 2). Surabaya: Airlangga
University Press

Maslim R. 2013. Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III


dan DSM -5. Jakarta: PT Nuh Jaya

Nasution IK. 2007. Stress pada remaja. Medan: Universitas Sumatra Utara

Saputri DE. 2010. Hubungan stress dengan hipertensi pada penduduk di Indonesia
tahun 2007 [Tesis]. Depok: Universitas Indonesia

Sarafino EP. 2011. Health Psychology:Biopsychosocial Interactions Seventh


Edition. Canada: John Willey and Sons, Inc

Utama H. 2013. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai