Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN KASUS

BELLS PALSY

Pembimbing :

dr. Julintari Bidramnanta, Sp. S

Disusun oleh :

Agnes Amelia Elim

030.12.006

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 19 DESEMBER 2016 21 JANUARI 2017
JAKARTA
BAB I

PENDAHULUAN

Bells palsy adalah kelumpuhan nervus fasialis perifer yang terjadi secara akut
dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik).1,2 Bells palsy hampir selalu terjadi
secara unilateral dengan persentase tertinggi kelumpuhan wajah terjadi pada sisi
kanan (63%), namun juga dapat terjadi secara bilateral (23%), meskipun Bells palsy
yang mengenai sisi bilateral wajah sangat jarang terjadi. 2 Presentase kasus Bells
palsy sebagai salah satu bentuk kelumpuhan akut separuh wajah cukup tinggi, yaitu
sekitar 60-75%.2 Data insidensi kasus Bells palsy di Indonesia masih belum diteliti,
namun di Amerika Serikat insidensi Bells palsy terjadi sekitar 23 kasus per 100.000
penduduk.2,3

Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada
umur 20-60 tahun.2,3 Insidensi tertinggi terjadi pada usia lebih dari 60 tahun (59 kasus
per 100.000 penduduk).2 Peluang untuk terjadinya Bells palsy pada laki-laki sama
dengan peluang untuk terjadi pada wanita, namun beberapa studi mengatakan kaum
perempuan lebih sering terkena Bells palsy daripada kaum laki-laki, terutama jika
sedang hamil.1,2 Pada kehamilan trimester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan
kemungkinan timbulnya Bells palsy lebih tinggi dari pada wanita tidak hamil, bahkan
bisa mencapai 3 kali lipat.2

Terdapat banyak teori yang mencoba untuk menjelaskan etiologi Bells palsy,
namun secara keseluruhan etiologi pasti masih belum dapat ditentukan.1 Bells palsy
dapat terjadi sebagai akibat dari proses inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah
tulang temporal dan di sekitar foramen stilomastoideus, atau melalui inflamasi yang
terjadi sebagai akibat dari adanya infeksi viral seperti pada penyakit herpes simpleks,
Lyme disease, infeksi virus Epstein-Barr, sifilis, dan penderita human
immunodeficiency virus (HIV).1,2 Akibat adanya inflamasi pada nervus fasialis terjadi

2
gangguan regulasi sirkulasi darah ke N.VII akibat vasokontriksi arteriole yang
melayani N.VII sehingga N. VII mengalami iskemia.1,2,3

Biasanya penderita mengetahui kelumpuhan fasialis dari teman atau keluarga


atau pada saat bercermin. Yang sering dikeluhkan oleh penderita adalah terjadinya
kelumpuhan separuh wajah mendadak yang disertai berkurangnya kekuatan otot-otot
wajah untuk melakukan tindakan seperti menutup mata dengan rapat, mengangkat
alis, atau menyeringai.1,4 Penderita Bells palsy juga dapat mengeluhkan nyeri di
daerah telinga serta pengurangan rasa pengecapan.4

Permasalahan yang ditimbulkan Bells palsy cukup kompleks, diantaranya


masalah fungsional, kosmetika dan psikologis sehingga dapat menganggu kualitas
hidup penderita. Penatalaksanaan pada kasus Bells palsy memerlukan terapi secara
cepat dan tepat untuk mencapai pemulihan terbaik fungsi saraf wajah sehingga
penderita dapat kembali melakukan aktivitas kerja sehari-hari.

3
BAB II

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS

Nama : Ny. M

Usia : 58 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Status pernikahan : Menikah

Pekerjaan : Penjahit

Alamat : Kelurahan Bidara Cina RT 04 / RW 05, Cawang, Jakarta

Timur

Suku bangsa : Jawa

Agama : Islam

Pendidikan terakhir : SMA

No. Rekam Medis : 545296

B. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 26 Desember 2016


pada pukul 13.00 WIB d i poliklinik saraf RSUD Budhi Asih.

4
Keluhan utama

Pasien datang karena wajah sisi kanan dirasakan mendadak lumpuh.

Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang ke poliklinik saraf RSUD Budhi Asih dengan keluhan wajah
sisi kanan pasien tiba-tiba dirasakan lumpuh sejak 2 minggu sebelum berobat ke
poliklinik saraf. Pasien mengatakan bahwa pasien sadar wajah kanannya lumpuh
setelah bangun dari tidur pada hari Selasa, 13 Desember 2016 sekitar jam 6 pagi.
Pasien merasakan wajah sisi kanannya lebih tebal dan kebas jika dibandingkan
dengan wajah sisi kiri, serta pasien tidak mengeluhkan adanya nyeri di wajah sisi
kanannya. Pada saat melihat ke cermin, pasien mengatakan bahwa mata kanannya
tidak dapat tertutup dengan rapat serta pipi kanannya membengkak. Pada saat pasien
mencoba untuk bersenyum, pasien menemukan sudut mulut sebelah kanannya tidak
terangkat seperti sudut mulut di sebelah kiri. Keluarga pasien mengatakan dia mulai
berbicara sedikit pelo sejak pagi itu, namun pasien tetap lancar berkomunikasi dan
pembicaraannya masih dapat dipahami oleh keluarga. Sejak saat itu, pasien
mengeluhkan sulit memasukkan makanan dan minuman ke dalam mulut, namun
pasien mengatakan masih dapat menelan makanan dan minuman tanpa merasa
tersendak. Tidak ada keluhan lain seperti demam, nyeri kepala, nyeri telinga, pusing,
mual, muntah, pengurangan rasa pengecapan, penglihatan ganda, suara serak, batuk,
dan sesak.

Pasien mengatakan sebelumnya pasien tidak merasakan sakit apa-apa sebelum


wajah sisi kanannya lumpuh. Riwayat pernah demam atau ada pilek dan batuk
sebelumnya disangkal oleh pasien. Selama seminggu pertama pasien tidak mengobati
keluhan yang dialami dan hanya mencoba memijit sisi kanan wajah pasien. Karena
pasien merasa tidak ada perbaikan, pasien baru datang berobat ke puskesmas di hari
Senin, 19 Desember 2016 dan diberi surat rujukan untuk berobat ke poli saraf. Dari

5
puskesmas pasien hanya menerima obat penurun tekanan darah (captopril) dan
vitamin (pasien tidak hafal nama vitaminnya).

Riwayat penyakit dahulu

Riwayat pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya disangkal oleh pasien.


Pasien memiliki riwayat hipertensi yang terkontrol selama 10 tahun terakhir. Riwayat
penyakit diabetes, kolesterol tinggi, asam urat tinggi dan stroke disangkal oleh pasien.

Riwayat penyakit keluarga

Tidak didapatkan keluhan yang sama pada keluarga pasien. Hipertensi,


diabetes, dan stroke dalam keluarga disangkal oleh pasien.

Riwayat alergi

Riwayat alergi makanan dan obat disangkal oleh pasien.

Riwayat kebiasaan

Sehari-hari pasien hanya tinggal di rumah. Pasien jarang berolahraga, tidak


merokok dan tidak minum minuman beralkohol.

Riwayat pengobatan

Pasien mengonsumsi obat penurun tekanan darah, yaitu captopril,

C. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum
Kesadaran : Compos mentis
Kesan sakit : Tampak sakit sedang

Tanda vital
Tekanan darah : 140/90 mmHg

6
Suhu : 36,70 C
Nadi : 80 x/menit
Respirasi : 16 x/menit

STATUS GENERALIS

Kepala :

Bentuk : Normosefali

Mata : Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, pupil


bulat, isokor, diameter pupil kanan/kiri 3mm / 3 mm, refleks
cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung +/+,
refleks kornea -/+

Hidung : Simetris, bentuk dalam batas normal

Telinga : Simetris, bentuk dalam batas normal, MAE lapang,

tidak ada sekret

Tenggorokan : Sulit dinilai

Mulut : Mencong ke arah kanan

Leher : Trakea ditengah, tidak teraba pembesaran kelenjar

Thorax

Jantung : Pergerakan dada simetris, BJ I, II reguler, murmur (-),


gallop (-)

Paru paru : Suara nafas vesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wheezing -/-

7
Abdomen : Datar, supel, nyeri tekan (-), bising usus (+) normal,
hepar tidak teraba membesar, lien tidak teraba
membesar, bising usus 2-3 kali permenit.

Ekstremitas : Akral hangat, tidak ada oedem

STATUS NEUROLOGIS

Kesadaran : Compos mentis

Tanda rangsang meningeal :

Kaku kuduk : Tidak dilakukan


Brudzinski I : Tidak dilakukan
Brudzinski II : Tidak dilakukan
Laseque : Tidak dilakukan
Kerniq : Tidak dilakukan

Nervus kranialis

N.I (Olfaktorius)

Subjektif Tidak Dilakukan

N. II (Opticus)

Tajam penglihatan Tidak dilakukan Tidak dilakukan


Lapang penglihatan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Melihat warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Pupil Isokor, D: 3mm Isokor, D: 3mm
Fundus Okuli Tidak dilakukan

8
N. III, IV, VI (Oculomotorik, Trochlearis, Abducens)

Nistagmus - -
Pergerakan bola mata Baik, ke segala Baik, ke segala
arah arah
Bola mata Ortoforia Ortoforia
Reflek Cahaya Langsung & Tidak
+ +
Langsung
Diplopia - -

N.V (Trigeminus)

Membuka mulut +

Menggerakan rahang +

Sensibilitas rasa nyeri Tidak dilakukan

Sensibilitas rasa raba Tidak dilakukan

N. VII (Fasialis)

Perasaan lidah ( 2/3 anterior ) Tidak dilakukan


Menutup mata Lagoftalmus Baik
Menyeringai Tertinggal Baik
Angkat alis Tidak terangkat Baik
Kerutan dahi Menghilang Baik

N.VIII (Vestibulokoklearis)

Tes pendengaran Tidak dilakukan


Tes keseimbangan Tidak dilakukan

N. IX,X (Glossopharyngeus, Vagus)

9
Perasaan lidah (1/3 belakang) Tidak dilakukan
Refleks menelan Baik
Refleks muntah Tidak dilakukan
Disfoni dan disartria -

N.XI (Assesorius)

Mengangkat bahu Baik


Menoleh Baik

N.XII (Hipoglosus)

Pergerakan Lidah Deviasi (-)


Disatria Tidak ada

Motorik

Ekstremitas Atas Ekstremitas Bawah


Pemeriksaan
Kanan Kiri Kanan Kiri

Atrofi - - - -
Tonus Normotonus Normotonus Normotonus Normotonus
Gerakan
- - - -
involunter
Kekuatan otot 5555 5555 5555 5555

Refleks Bisep/trisep Patella/Achilles


fisiologis +/+ +/+ +/+ +/+
Babinski - -
Chaddock - -
Refleks
Gordon - -
patologis
Oppenheim - -
Schaefer - -

10
Sensorik
Normal di ke empat ekstremitas

Fungsi autonom
Miksi : baik

Defekasi : baik

Tes keseimbangan dan koordinasi

Tes Hasil

Disdiadokokinesis Tidak dilakukan

Tunjuk hidung dan jari Tidak dilakukan

Tunjuk jari kanan dan kiri Tidak dilakukan

Romberg Tidak dilakukan

Tandem gait Tidak dilakukan

D. RESUME

Pasien datang ke poliklinik saraf RSUD Budhi Asih pada hari Senin, 26
Desember 2016 pukul 13.00 WIB dengan keluhan kelumpuhan wajah sisi kanan yang
mendadak sejak 2 minggu sebelum berobat ke poliklinik saraf. Keluhan baru
dirasakan setelah pasien bangun tidur pada hari Selasa, 13 Desember 2016 sekitar jam
6 pagi. Pasien merasa wajah sebelah kanan lebih berat dan kebas jika dibandingkan
dengan wajah kiri. Pasien juga melihat mata sebelah kanan tidak bisa menutup rapat,
sudut mulut sebelah kanannya tidak terangkat seperti sudut mulut di sebelah kiri.
Keluarga pasien mengatakan pasien sedikit berbicara pelo namun pembicaraan pasien

11
masih dapat dipahami oleh keluarga. Pasien berobat ke puskesmas terdekat dan hanya
mendapat obat penurun tekanan darah (captopril) dan vitamin, serta mendapat
rujukan ke poliklinik saraf. Pasien sebelumnya tidak pernah mengalami keluhan
serupa. Pasien memiliki riwayat hipertensi yang terkontrol selama 10 tahun terakhir
dan rutin minum obat penurun tekanan darah berupa captopril.
Hasil pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, tekanan darah
140/90 mmHg, suhu 36,7oC, nadi 80 x/menit, dan pernafasan 16 x/menit. Didapatkan
reflex kornea mata kanan negatif dan mulut mencong ke kiri. Pada pemeriksaan
motorik nervus fasialis didapatkan kerutan dahi kanan menghilang, alis kanan tidak
bisa terangkat, lagoftalmus mata kanan, dan sudut mulut kanan tertinggal saat pasien
diminta menyeringai.

E. DIAGNOSIS

Diagnosis klinis : lagoftalmus oculi dextra, hilangnya kerutan dahi sisi


kanan, alis kanan tidak bisa diangkat, sudut mulut
kanan tidak terangkat.
Diagnosis topis : Nervus fasialis perifer dextra
Diagnosis etiologi : Idiopatik
Diagnosis patologi : Proses inflamasi dan iskemik pada nervus fasialis
perifer

F. TATALAKSANA
Non-medikamentosa:
o Edukasi
o Merujuk ke rehabilitasi medik supaya pasien dapat diajarkan latihan
untuk melatih otot-otot wajah.
Medikamentosa:
o Metilprednisolon tablet 16 mg selama 3 hari hari pertama dengan dosis
hari pertama 3x1 tablet, hari kedua 2x1 tablet, dan hari ketiga 1x1
tablet. Setelah itu metilprednisolon di tapering off menjadi 4 mg

12
selama 3 hari berikutnya dengan dosis hari keempat 3x1 tablet, hari
kelima 2x1 tablet, dan hari keenam 1x1 tablet.
o Mecobalamin capsul 500 g 3x1 capsul.
o Amlodipin tablet 5 mg 1x1 tablet.

G. PEMERIKSAAN ANJURAN
Pemeriksaan labaratorium lengkap
CT scan kepala
Magnetic resonance imaging (MRI) kepala

H. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad fungtionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

13
BAB III

ANALISIS KASUS

Pasien adalah seorang perempuan berusia 58 tahun yang datang ke poliklinik


saraf dengan keluhan lumpuh wajah sisi kanan yang mendadak sejak dua minggu
sebelum berobat ke poliklinik. Keluhan dirasakan pasien saat pasien bangun dari tidur
pada hari Selasa, 13 Desember 2016 pukul 6 pagi dan sedang bercermin. Pasien
merasa wajah sebelah kanan lebih berat dan kebas jika dibandingkan dengan wajah
kiri. Pasien juga melihat mata sebelah kanan tidak bisa menutup rapat, pipi kanannya
membengkak sehingga mulutnya seakan monyong ke kiri, sudut mulut sebelah
kanannya tidak terangkat seperti sudut mulut di sebelah kiri. Kelumpuhan wajah di
sisi kanan tidak disertai dengan kelemahan anggota tubuh di sisi kanan, yang
umumnya dapat ditemukan pada penderita stroke. Pada saat ditanyakan kepada pasien
apakah sebelumnya pasien pernah menderita sakit tertentu sebelum mengalami
kelumpuhan wajah sisi kanan, pasien mengatakan bahwa pasien tidak sedang sakit
dan kelumpuhan wajah terjadi secara mendadak. Pasien juga menyangkal adanya
riwayat stroke sebelumnya.
Dari hasil anamnesis dan inspeksi awal, dapat diambil kesimpulan bahwa
pasien mengalami kelumpuhan wajah unilateral sisi kanan yang terjadi secara akut
tanpa adanya penyebab pasti (idiopatik) dan tanpa ada riwayat kelainan neurologis
lainnya. Kejadian yang dialami pasien mendeskripsikan ciri-ciri penderita Bells
palsy.
Berdasarkan definisi, Bells palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe
lower motor neuron yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar
sistem saraf pusat, tanpa adanya penyakit neurologik lainnya. 1,2 Bells palsy terjadi
secara akut, umumnya dalam onset 48 jam.2
Pasien ini memiliki faktor resiko untuk terkena Bells palsy, yaitu dari segi
umur, jenis kelamin, dan ada riwayat hipertensi. Insidensi Bells palsy meningkat

14
seiring dengan bertambahnya usia seseorang, dan sering terjadi pada usia 20 60
tahun.2,3 Insidensi Bells palsy tertinggi terjadi ketika usia sudah di atas 60 tahun (59
kasus per 100.000 penduduk).3 Mengingat usia pasien adalah 58 tahun, pasien
tergolong beresiko untuk terkena Bells palsy. Jenis kelamin pasien yang adalah
perempuan juga menjadi sebuah faktor resiko mengingat kaum perempuan
mempunyai kecenderungan untuk lebih sering terkena Bells palsy daripada kaum
laki-laki, meskipun peluang terjadinya Bells palsy pada laki-laki dan perempuan
sama rata.2,3 Sampai saat ini belum terdapat sebuah teori baku yang menjelaskan
mengapa kaum wanita lebih cenderung terkena Bells palsy.2
Pasien memiliki riwayat hipertensi terkontrol selama 10 tahun terakhir dan
hipertensi menjadi sebuah faktor resiko bagi pasien ini untuk terkena Bells palsy.2,5
Seseorang yang mengalami suatu gangguan mikrovaskular akibat hipertensi atau
diabetes mellitus lebih beresiko untuk terkena Bells palsy.2,5 Mekanisme yang
menjelaskan patogenesis hipertensi yang mengakibatkan gangguan nervus fasialis
masih belum terlalu jelas diketahui, namun ada yang berpendapat hipertensi
menyebabkan perubahan dinding vaskular yang menyuplai darah ke nervus fasialis. 5
Hipertensi mengakibatkan terjadinya perdarahan kecil di canalis fasialis serta dapat
mengakibatkan nekrosis parsial neuron-neuron pada nervus fasialis.6

Manifestasi klinis dari Bells palsy adalah akibat adanya lesi dari nucleus
sampai perifer N.VII.1,7 N.VII sendiri mempunyai dua subdivisi, yaitu nervus fasialis
yang murni motorik dan nervus intermedius yang mengandung serabut aferen viseral
dan somatik serta ser abut eferen viseral. 7 Fungsi dari nervus fasialis yang motorik
adalah untuk mempersarafi otot-otot ekspresi wajah.7 Fungsi dari serabut aferen
viseral adalah membawa rangsangan sensoris pengecapan dari 2/3 lidah bagian
depan.7 Serabut aferen somatik berfungsi untuk menghantarkan sensasi nyeri, suhu,
raba, tekan, dan propioseptif dari telinga luar, kanalis auditorius, dan permukaan luar
membrane timpani.7 Ringkasan fungsi nervus fasialis dapat dilihat pada gambar
berikut.

15
Gambar 1. Fungsi nervus fasialis1

Nervus fasialis yang murni motorik dan nervus intermedius saling berjalan
beriringan sebelum memisahkan diri untuk mempersarafi bagiannya masing-masing.
Perjalanan nervus fasialis dapat dilihat pada gambar 2.

16
Gambar 2. Perjalanan nervus fasialis1

Lesi dapat terjadi sepanjang perjalanan nervus fasialis. Lokasi lesi dapat
menentukan keluhan yang dialami penderita dapat berupa keluhan gangguan motorik,
gangguan sensorik, maupun campuran keduanya.

17
Gambar 3. Berbagai lokasi lesi nervus fasialis7

Gambar di atas dapat mendeskripsikan gangguan fungsi yang terjadi ketika


lesi terjadi di area tertentu. Jika lesi terjadi di area 1, yaitu di sepanjang perjalanan
meatus akustikus internus, maka akan terjadi kelumpuhan perifer otot-otot ekspresi
wajah, terjadi gangguan pendengaran atau tuli, dan penurunan eksitabilitas vestibular.
Lesi yang terjadi di area 2, dengan perbatasan sampai ganglion genikulatum, akan
mengakibatkan kelumpuhan perifer, gangguan pengecapan, lakrimasi, dan salivasi.
Area 3 dan 4 meliputi perjalanan serabut sebelum keluar melalui foramen
stilomastoideum. Jika terjadi lesi di sepanjang area ini, maka akan timbul gangguan
kelumpuhan perifer pada otot ekspresi wajah, gangguan pengecapan, salivasi, dan
pendengaran. Lesi pada daerah 5 ketika serabut keluar dari foramen stilomastoideum
akan mengakibatkan kelumpuhan perifer otot-otot ekspresi wajah.7

18
Berdasarkan hasil anamnesis, pasien lebih mengeluhkan adanya kelumpuhan
menggerakkan otot-otot wajah sisi kanan. Pasien tidak mengeluhkan adanya nyeri
telinga, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, pengurangan rasa
pengecapan, atau keluhan lakrimasi dan salivasi. Terdapat kemungkinan lesi nervus
VII pada daerah foramen stilomastoideus ke distal.
Pada saat pemeriksaan fisik, pasien menunjukkan ciri khas kelumpuhan
perifer otot-otot wajah yang dipersarafi N.VII, yaitu hilangnya kerutan dahi sisi
kanan, alis kanan tidak bisa terangkat, lagoftalmus mata kanan, serta kesulitan
mengangkat sudut mulut kanan pada saat pasien diminta menyeringai. Lagoftalmus
terjadi karena terdapat kelumpuhan muskulus orbicularis okuli.7 Kesulitan
menyeringai sehingga terjadi kesulitan mengangkat sudut mulut kanan terjadi karena
terdapat kelumpuhan muskulus businator dan muskulus orbicularis oris. 7 Kesulitan
mengangkat alis dan mengerutkan dahi terjadi karena kelumpuhan muskulus
frontalis.7

Gambar 4. Wajah penderita Bells palsy2

19
Pasien juga menunjukkan hilangnya refleks kornea pada mata kanan. Refleks
kornea berawal dari impuls somatosensorik dari membrane mukosa mata, berjalan di
nervus oftalmikus (N. V cabang I) ke nucleus sensorik prinsipalis nervi trigemini
(lengkung aferen).7 Setelah membentuk sinaps, impuls berjalan menuju nuclei nervus
fasialis dan kemudian melalui nervus fasialis ke mm. orbicularis okuli kedua sisi
(lengkung eferen).7 Lesi pada komponen aferen (N. V) atau pada komponen
eferennya (N. VII) akan menghilangkan refleks kornea, yaitu sentuhan pada kornea
menginduksi terpejamnya kedua mata. Pada penderita Bells palsy, refleks kornea
akan hilang pada sisi yang terkena, namun mata yang kontralateral akan tetap
mengedip ketika dilakukan pemeriksaan refleks kornea pada sisi yang terkena.2,7
Pasien mendapatkan terapi kortikosteroid berupa metilprednisolon tablet 16
mg selama 3 hari pertama dan di tapering off menjadi 4 mg selama 3 hari selanjutnya.
Sekalipun penderita Bells palsy dapat sembuh tanpa diberi pengobatan, pemberian
metilprednisolon terbukti efektif dapat mempercepat proses pemulihan fungsi nervus
fasialis.8,9,10 Amlodipin diberikan untuk mengatasi hipertensi pada pasien ini.
Pemeriksaan penunjang yang dapat di sarankan untuk dilakukan pada pasien
ini adalah pemeriksaan laboratorium darah lengkap dan melakukan pencitraan
radiologi berupa CT scan atau MRI kepala.2 Pemeriksaan darah lengkap dilakukan
untuk melihat adanya kemungkinan infeksi pada pasien. Pemeriksaan pencitraan
berupa CT scan dan MRI kepala umumnya tidak dianjurkan jika keluhan Bells palsy
masih tergolong onset baru. Indikasi pemeriksaan menggunakan pencintraan CT scan
dan MRI dilakukan jika paresis secara progresif memburuk dan tidak membaik
setelah diberikan pengobatan yang adekuat.2 Tujuan pemeriksaan pencitraan adalah
untuk melihat penyebab paresis serta menyingkirkan kemungkinan patologis lainnya
yang menyertai keluhan paresis nervus fasialis.1,2
MRI merupakan pencitraan yang paling disarankan untuk dilakukan. Pada
pemeriksaan MRI dapat dilihat penebalan nervus fasialis di daerah sekitar ganglion
genikulatum. Dari MRI dapat dilihat juga ada kemungkinan terdapat neoplasma yang

20
mengkompresi nervus fasialis, seperti adanya schwannoma, hemangioma,
meningioma, dan sclerosing hemangioma.2
Prognosis penderita Bells palsy umumnya baik. Tingkat kesembuhan spontan
penderita Bells palsy mencapai 80 90% dalam rentang waktu 6 minggu sampai 3
bulan.2,4 Prognosis penderita Bells palsy dapat juga ditentukan berdasarkan grading
House & Brackmann yang mengkategorikan Bells palsy dari grade I sampai VI.2,3
Grade I : fungsi fasialis normal.
Grade II (mild dysfunction) : terdapat kelumpuhan ringan, ada sinkin esis
ringan, masih terdapat kesimetrisan wajah saat dalam keadaan istirahat,
gerakan dahi masih bagus, dapat menutup mata dengan usaha minimal,
terdapat asimetris mulut yang ringan.
Grade III (moderate dysfunction) : bentuk wajah kanan dan kiri tidak sama
(adanya disfiguring appearance) namun masih dapat terlihat simetris saat
wajah dalam keadaan istirahat, terdapat sinkinesis atau spasme hemifasial,
gerakan dahi mulai berkurang, dapat menutup mata dengan adanya usaha
tambahan, terdapat asimetris mulut yang sedang saat pasien diminta
menyeringai.
Grade IV (moderately severe dysfunction) : bentuk wajah kanan dan kiri
tidak sama (adanya disfiguring appearance) namun masih dapat terlihat
simetris saat wajah dalam keadaan istirahat, tidak ada gerakan dahi,
penutupan mata tidak rapat, terdapat asimetris mulut yang berat ketika pasien
diminta menyeringai.
Grade V (severe dysfunction) : terlihat gerakan minimal, asimetris wajah
terlihat bahkan pada saat istirahat, tidak ada gerakan dahi, penutupan mata
tidak rapat, ha nya terdapat sedikit gerakan pada mulut.
Grade VI (total paralysis) : gross asymmetry, tidak ada gerakan sama
sekali.

21
Grade I dan II memiliki prognosis yang baik dan tingkat kesembuhan tanpa
sequelae cukup tinggi, Grade III dan IV tergolong disfungsi yang memiliki resiko
sedang untuk terjadi sequelae pada saat proses penyembuhan, sedangkan grade V dan
VI memiliki prognosis yang buruk karena tingkat kesembuhan cukup rendah dengan
fungsi fasialis yang buruk.2,3 Menurut hasil inspeksi dan pemeriksaan fisik, pasien
tergolong dalam grade III, yaitu beresiko untuk mengalami sequelae.
Ad vitam pada pasien ini adalah bonam karena kasus Bells palsy tidak
mengancam kehidupan.1,2 Ad functionam pada pasien ini adalah dubia ad bonam. Hal
ini disebabkan karena walaupun sebagian besar fungsi nervus fasialis pada penderita
Bells palsy dapat kembali normal tanpa ada gejala sequelae, terdapat kondisi yang
dapat memperburuk ad functionam pasien sehingga beresiko untuk terjadi sequelae
dan kesembuhan yang tidak permanen, yaitu karena faktor usia. Penderita Bells palsy
yang berusia di atas 60 tahun memiliki resiko sebesar 40% untuk menderita sequelae
karena sering di dapati regenerasi serabut motorik dan sensorik yang tidak komplit
serta adanya resiko reinervasi abnormal nervus fasialis.1,2 Resiko sequelae bertambah
berat jika pasien ada mengeluhkan kelumpuhan wajah yang total atau ada gangguan
lakrimasi dan salivasi.2 Ad sanationam pasien adalah dubia ad bonam karena
persentase untuk terjadinya rekurensi cukup kecil, yaitu sekitar 4 14%, namun tidak
menutup kemungkinan dapat terjadi rekurensi di kemudian hari.11

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Lowis H, Gaharu MN. Bells palsy, Diagnosis dan Tata Laksana di Pelayanan
Primer. J Indon Med Assoc 2012;62:32-7.
2. Taylor DC. Bell Palsy. [Updated July 8, 2016: cited December 28, 2016].
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1146903-overview#a6
3. Holland J, Bernstein J. Bells palsy. BMJ Clin Evid 2011;2011:1204.
4. Seta DD, Mancini P, Minni A, et al. Bells palsy: symptoms preceding and
accompanying the facial paresis. ScientificWorldJournal 2014;2014:801971
5. Savadi-Oskouei D, Abedi A, Sadeghi-Bazarani H. Independent role of
hypertension in Bells palsy: a case-control study. Eur Nurol 2008;65:253-7.
6. Kumar S, Jain S, Diwan SK, Mahajan SN. Severe systemic hypertension
presenting with infranuclear facial palsy. Int J Nutr Pharmacol Neurol Dis
2011;1:83-4
7. Baehr M, Frotscher M. Diagnosis Topik Neurologi DUUS Anatomi, Fisiologi,
Tanda, Gejala. Edisi 4. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2016.p.148-
55.
8. De Almeida JR, Guyatt GH, Sud S, et al. Management of Bells palsy: Clinical
Practice Guideline. CMAJ 2014;186:917-22.
9. Zandian A, Osiro S, Hudson R, et al. The neurologists dilemma: A
comprehensive clinical review of Bells palsy, with emphasis on current
management trends. Med Sci Monit 2014;20:83-97.
10. Finsterer J. Management of peripheral facial nerve palsy. Eur Arch
Otorhinolaryngol 2008;265:743-52.
11. Cirpaciu D, Goanta CM, Cirpaciu MD. Recurrences of Bells palsy. J Med
Life 2014;&:68-77.

23

Anda mungkin juga menyukai