Anda di halaman 1dari 16

Judul : Pengaruh Limbah Cair Karet Terhadap Pertumbuhan Mangrove di Sekitar

Sungai Liung Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis

TINJAUAN PUSTAKA

Membran secara umum dapat didefinisikan sebagai lapisan tipis

semipermiabel yang berfungsi sebagai alat pemisah berdasarkan sifat fisiknya.

Hasil pemisahan berupa retentate dan permeate. Ada dua parameter penting yang

paling menentukan kinerja membran yaitu fluks (permeabilitas) dan selektifitas

(faktor pemisah). Teknologi membran merupakan teknologi yang dapat digunakan

dalam penyisihan kadar zat-zat organik dalam limbah cair, salah satunya adalah

membran ultrafiltrasi yang sesuai untuk menahan suspensi koloid dan partikel

(bakteri). Prinsip dasar pemisahan dengan teknologi membran ultrafiltrasi adalah

pemisahan berdasarkan ukuran partikel (Notodarmajo dkk, 2014).

Membran secara umum dapat didefinisikan sebagai lapisan tipis

semipermiabel yang berfungsi sebagai alat pemisah berdasarkan sifat fisiknya.

Hasil pemisahan berupa retentate dan permeate. Ada dua parameter penting yang

paling menentukan kinerja membran yaitu fluks (permeabilitas) dan selektifitas

(faktor pemisah). Teknologi membran merupakan teknologi yang dapat digunakan

dalam penyisihan kadar zat-zat organik dalam limbah cair, salah satunya adalah

membran ultrafiltrasi yang sesuai untuk menahan suspensi koloid dan partikel

(bakteri). Prinsip dasar pemisahan dengan teknologi membran ultrafiltrasi adalah

pemisahan berdasarkan ukuran partikel (Notodarmajo dkk, 2004).

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Euphorbiales

Famili : Euphorbiaceae

Genus : Hevea

Spesies : Hevea braziliensis Muell. Arg.

Tanaman karet ( Hevea brasilliensis Muell Arg ) adalah tanaman getah-

getahan. Dinamakan demikian karena golongan ini mempunyai jaringan tanaman

yang banyak mengandung getah ( lateks ) dan getah tersebut mengalir keluar

apabila jaringan tanaman terlukai (Santosa, 2007).

Tanaman karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup

besar, tinggi pohon dewasa mencapai 15-25 meter. Batang tanaman biasanya

tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi diatas. Dibeberapa kebun

karet ada beberapa kecondongan arah tumbuh tanamanya agak miring kearah

utara. Batang tanaman ini mengandung getah yang dikenal dengan nama lateks

(Pujiatno, 2003).

Karet adalah polimer hidrokarbon yang terkandung pada lateks beberapa

jenis tumbuhan. Sumber utama produksi karet dalam perdagangan internasional

adalah para atau Hevea brasiliensis (suku Euphorbiaceae). Beberapa tumbuhan

lain juga menghasilkan getah lateks dengan sifat yang sedikit berbeda dari karet,

seperti anggota suku ara-araan (misalnya beringin), sawo-sawoan (misalnya getah

perca dan sawo manila), Euphorbiaceae lainnya, serta dandelion. Pada masa

Perang Dunia II, sumber-sumber ini dipakai untuk mengisi kekosongan pasokan

karet dari para. Sekarang, getah perca dipakai dalam kedokteran (guttapercha),

sedangkan lateks sawo manila biasa dipakai untuk permen karet (chicle). Karet
industri sekarang dapat diproduksi secara sintetis dan menjadi saingan dalam

industri perkaretan (hendra, 2013)

Karet adalah polimer dari satuan isoprena (politerpena) yang tersusun dari

5000 hingga 10.000 satuan dalam rantai tanpa cabang. Diduga kuat, tiga ikatan

pertama bersifat trans dan selanjutnya cis. Senyawa ini terkandung pada lateks

pohon penghasilnya. Pada suhu normal, karet tidak berbentuk (amorf). Pada suhu

rendah ia akan mengkristal. Dengan meningkatnya suhu, karet akan mengembang,

searah dengan sumbu panjangnya. Penurunan suhu akan mengembalikan keadaan

mengembang ini. Inilah al asan mengapa karet bersifat elastik (Dwi, 2003).

Wilayah pantai dan pesisir memiliki arti yang strategis karena memiliki

daya tarik bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan secara langsung atau untuk

meregulasi pemanfaatannya karena secara sektoral memberikan sumbangan yang

besar dalam kegiatan ekonomi misalnya pertambangan, perikanan, kehutanan,

industri, pariwisata dan lain-lain. (Surya, 2012)

Wilayah pesisir adalah wilayah interaksi/peralihan (interface) antara

ekosistem darat dan laut yang merupakan ekosistem transisi yang dipengaruhi

daratan dan lautan, yang mencakup beberapa ekosistem, salah satunya adalah

ekosistem hutan mangrove (Mansur, 2011).

Lingkungan terdiri dari komponen biotik dan abiotik. Jika komponen

biotik berada dalam komposisi yang proporsional antara tingkat trofik dengan

komponen abiotik yang mendukung kehidupan komponen biotik, lingkungan

tersebut berada dalam keseimbangan atau stabil. Keseimbangan lingkungan dapat

menjadi rusak, artinya lingkungan menjadi tidak seimbang jika terjadi perubahan

yang melebihi daya dukung dan daya lentingnya (Umar, 2014).


Dewasa ini lingkungan di sekitar kita sudah sangat

memprihatinkan. Pencemaran air, pencemaran udara, dan pencemaran tanah

terjadi dimana-mana. Hal ini diakibatkan oleh aktivitas manusia yang telah

mengubah lingkungan yang tadinya nyaman menjadi tidak nyaman. Setiap hari

kita berinteraksi dengan asap rokok, asap kendaraan, suara bising, dan limbah

detergen. Lingkungan manusia sekarang telah berubah dengan masuknya zat-zat

pencemar ke dalam lingkungan hidup kita semua (Ferial, 2013).

Masih ada kondisi mangrove yang baik yang berada pada kawasan-

kawasan tertentu. Hutan mangrove Sungai Liung secara umum berada dalam

kondisi rusak namun masih memiliki tutupan vegetasi yang berada dalam kondisi

baik pada kawasan tertentu yang jarang diakses masyarakat dan tingkat

pemanfaatan kayu mangrove masih rendah. Masyarakat hanya mengambil kayu

mangrove berukuran besar seperti jenis L. racemosa untuk kebutuhan bahan baku

dalam pembuatan perahu. Kawasan yang masih terlihat baik adalah pada kawasan

hilir (sekitar Parit II Desa Selat Baru) dan bagian hulu (sekitar Desa Ulu Pulau).

(Wandri, 2011)

Adanya paradigma pengelolaan mangrove yang memajukan konsep

pembangunan berkelanjutan (Sobari et. al., 2006) dengan menitikberatkan pada

keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kualitas lingkungan, maka

pengelolaan kawasan penyangga mangrove mengarah pada memperluas kawasan

mangrove untuk mengurangi tekanan terhadap hutan mangrove yang ada saat ini

disamping untuk tetap memenuhi kebutuhan kayu mangrove di masyarakat

Bengkalis terutama untuk kayu cerocok dan kayu untuk bahan baku dalam

produksi arang (Martin dan Galle, 2009).


Air alam mengandung zat padat terlarut yang berasal dari mineral dan

garam-garam yang terlarut ketika air mengalir di bawah atau di permukaan tanah.

Apabila air dicemari oleh limbah yang berasal dari industri pertambangan dan

pertanian, kandungan zat padat tersebut akan meningkat. Jumlah zat padat terlarut

ini dapat digunakan sebagai indikator terjadinya pencemaran air. Selain jumlah,

jenis zat pencemar juga menentukan tingkat pencemaran. Air yang bersih adalah

jika tingkat DO nya tinggi, sedangkan BOD dan zat padat terlarutnya rendah

(Setiawan, 2011).

Pencemaran air dapat dikelompokkan kedalam 2 jenis yaitu, sumber

langsung dan sumber tidak langsung. Sumber langsung adalah buangan (effluent)

yang berasal dari sumber pencemarnya yaitu limbah hasil pabrik atau limbah dari

hasil kegiatan domestik berupa buangan hasil cucian atau sampah, pencemaran

terjadi karena buangan ini langsung dibuang ke badan air (sistem) seperti sungai,

danau, kanal, parit atau selokan. Sumber-sumber tidak langsung adalah

kontaminan yang masuk melalui air tanah akibat adanya pencemaran pada air

permukaan baik dari limbah domestik maupun dari limbah industri/pabrik

(Yusuf, 2008).

Untuk dapat meningkatkan perekonomian secara nasional, pemerintah saat

ini sedang menggalakkan pembangunan industri kecil dan menengah, industri itu

sendiri mempunyai hubungan erat dengan masalah lingkungan. Salah satu industri

yang erat hubungannya dengan masalah lingkungan adalah industri karet (Danis,

2011).

Kebutuhan bahan baku karet tersebut dipenuhi oleh petani karet berupa

bahan olah karet berbentuk kepingan atau bentuk balok, dari proses pengolahan
karet ini dihasilkan limbah cair yang banyak mengandung senyawa organik.

Pengendalian pencemaran yang ditimbulkan oleh limbah pabrik karet perlu

mendapat perhatian yang serius untuk dipelajari dan teliti agar tingkat pencemaran

limbah yang dibuang ke perairan berada di bawah baku mutu lingkungan (BML)

yang ditetapkan, hal ini memerlukan penanganan yang terpadu antara pihak

pemerintah, industri dan masyarakat, juga doperlukan teknologi pengolahan

limbah karet yang murah dan mudah penanganannya, seperti melalui proses aerasi

dan koagulasi (Lelawati, 2008).

Penanganan limbah cair pabrik pengolahan karet alam di Indonesia

umumnya menggunakan kolam anaerobik dan fakultatif yang belum memadai

untuk menurunkan tingkat pencemaran limbah, karena hanya menurunkan

kandungan karbon saja sedangkan senyawa nitrogen dan fosfor masih relatif

tinggi. Selain itu, limbah cair pabrik karet di Indonesia pada umumnya belum

menggunakan proses deamonifikasi untuk menghilangkan nitrogen amonia,

sehingga kandungan amonium limbah yang telah diolah masih relatif tinggi.

Kandungan senyawa fosfor dalam bentuk ortofosfat dapat meningkatkan karena

pada proses anaerobik secara biologis menyebabkan terjadi proses pelepasan

ortofosfat ke dalam cairan oleh mikroorganisme.(andra, 2011)

Senyawa nitrogen nitrat dan otrofosfat pada pada limbah cair

menimbulkan dampak berupa pengkayaan badan air (eutrofikasi) yang ditandai

dengan pertumbuhan ganggang secara pesat, rendahnya oksigen terlarut pada

sistem perairan tersebut, selain itu nitrat dapat menyebabkan gangguan pada balita

(Blue babbies), sedangkan nitrogen dalam bentuk amonia bersifat racun terhadap
mamalia dengan konsentrasi 0,2 mg/l dan juga berbahaya terhadap berbagai jenisn

organisme akuatik (Tanto, 2013).

Bentuk pengembangannya melalui konsep agroforestri yang merupakan

manajemen pemanfaatan lahan secara optimal dan lestari, dengan cara

mengkombinasikan kegiatan kehutanan dan pertanian pada unit pengelolaan lahan

yang sama. Pengembangan ini diarahkan untuk meningkatkan produktivitas hasil

hutan, kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat (Triwanto, et. al., 2012).

Pengalihan sumber pemanfaatan kepada lahan diluar kawasan secara tidak

langsung mampu melakukan perluasan kawasan mangrove. Menurut Indrayani

(2002), secara ekologis dengan terjadinya penambahan luasan akan memberikan

pengaruh terhadap kondisi hutan mangrove di Pulau Bengkalis. Lahan yang

tersedia ini, dalam arti sempit

Kondisi sungai yang tercemari olah limbah karet pada parameter BOD

pada tingkat tercemar sedang, sedangkan pada parameter lain (suhu, pH,

Kecerahan, DO, COD) mendekati nilai ideal untuk kegiatan perikanan, maka

perlu adanya perhatian dari pemerintah Kabupaten dan Instansi terkait untuk

melakukan kajian khusus yaitu pengelolaan termasuk didalamnya perbaikan

lingkungan perairan, baik yang belum tercemar maupun yang sudah tercemar

sehingga fungsi dan peruntukannya dapat terus terjaga. Namun pada umumnya

tanah sekitar aliran yang dialiri limbah cair karet bersifat gembur, dan disana

terdapat banyak sekali cacing yang dapat menyuburkan tanah (Redy, 2000).

Produksi Bersih (Cleaner Production) merupakan suatu strategi untuk

menghindari timbulnya pencemaran industri melalui pengurangan timbulan

limbah (waste generation) pada setiap tahap dari proses produksi untuk
meminimalkan atau mengeliminasi limbah sebelum segala jenis potensi

pencemaran terbentuk. Istilah-istilah seperti Pencegaha Pencemaran (Pollution

Prevention), Pengurangan pada sumber (Source Reduction), dan Minimasi

Limbah (Waste Minimization) sering disertakan dengan istilah Produksi Bersih

(Cleaner Production) Cleaner Production berfokus pada usaha pencegahan

terbentuknya limbah. Dimana limbah merupakan salah satu indikator inefisiensi,

karena itu usaha pencegahan tersebut harus dilakukan mulai dari awal (Waste

avoidance), pengurangan terbentuknya limbah (waste reduction) dan pemanfaatan

limbah yang terbentuk melalui daur ulang (recycle). Keberhasilan upaya ini akan

menghasilkan pebghematan (saving) yang luar biasa karena penurunan biaya

produksi yang signifikan sehingga pendekatan ini menjadi sumber pendapatan

(revenue generator) (Intan, 2011).

Limbah cair industri karet perlu dilakukan pengolahan terlebih dahulu untuk

menanggulangi pencemaran. Perkembangan teknologi membran sebagai unit

pengolah limbah saat ini sangat pesat dan banyak digunakan dalam proses

pemisahan. Teknologi membran mempunyai berbagai keunggulan dibandingkan

metode pemisahan yang konvensional, di antaranya proses kontinyu, tidak

memerlukan zat kimia tambahan, konsumsi energi rendah, mudah dalam scale up,

tidak membutuhkan kondisi yang ekstrim, material membran bervariasi dan

mudah dikombinasikan dengan proses pemisahan lainnya (Kusumawati dan Tania,

2012).

Metode pengembangan yang digunakan adalah SWOT (Rangkuti, 2009)

untuk menentukan strategi pengelolaan kawasan penyangga mangrove Sungai

Liung yang terdiri dari Strenghts (kekuatan), Weaknesses (kelemahan)


Opportunities (peluang) dan Threats (ancaman). Metode ini bertujuan untuk

mengidentifikasi berbagai faktor internal dan eksternal secara sistematis yang

hasilnya digunakan dalam merumuskan strategi pengelolaan. Model analisis yang

dipakai dalam mengolah data adalah matrik EFAS dan IFAS. Untuk menganalisis

hasil pengolahan data digunakan matrik TOWS dan matrik IE. Rumusan strategi

prioritas diperoleh dari proses pemeringkatan dengan memilih alternative strategi

dengan total skor pembobotan > 1.

Kata mangrove merupakan kombinasi anatara kata Mangue (bahasa

portugis) yang berarti tumbuhan dan kata Grove (bahsa Inggris) yang berarti

belukar atau hutan kecil. Ada yang menyatakan mangrove dengan kata Mangal

yang menunjukan komunitas suatu tumbuhan. Atau mangrove yang berasal dari

kata Mangro, yaitu nama umum untuk Rhizophora mangle di Suriname. Di

Prancis padanan yang digunakan untuk mangrove adalah kata Manglier

(Phurnomobasuki dalam Ghufran :2012).

Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting sebab

produktivitasnya tinggi, menghasilkan sejumlah besar zat organik tersedia sebagai

makanan organisme lain. Partikel-partikel organik sekitar 80 % mengalir keluar

dari rawa bakau dan 50 % daripadanya berasal dari dalam bakau (Bengen,2011)

Ekosistem mangrove merupakan salah satu sumberdaya pesisir yang

terdapat di Indonesia. Ekosistem mangrove ini merupakan ekosistem yang

memiliki keanekaragaman yang sangat tinggi. Kawasan ekosistem mangrove

memiliki 3 fungsi utama yaitu (1). fungsi fisis meliputi pencegah abrasi,

perlindungan terhadap angin, pencegah instrusi garam dan penghasil energi serta

hara, (2). fungsi biologis meliputi sebagai daerah tempat bertelur dan sebagai
asuhan biota, tempat bersarang burung dan habitat alami biota lainnya, (3). fungsi

ekonomis meliputi sebagai sumber bahan bakar kayu dan arang, perikanan,

pertanian, makanan, minuman, bahan baku kertas, keperluan rumah tangga,

tekstil, serat sintesis, penyamakan kulit dan obat-obatan (Kordi, 2012)

Ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme

(tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungannya di dalam

suatu habitat mangrove. Mangrove merupakan ekosistem hutan yang unik karena

merupakan perpaduan antara ekosistem darat dan ekosistem perairan. Hutan

mangrove mempunyai peranan yang sangat penting terutama bagi kehidupan

masyarakat sekitarnya dengan memanfaatkan produksi yang ada di dalamnya,

baik sumberdaya kayunya maupun sumberdaya biota air (udang, kepiting, ikan)

yang biasanya hidup dan berkembang biak di hutan mangrove (Santono, et al.,

2005).

Hal ini disebabkan karena dosis koagulan Aluminium Sulfat 250 mg/l

lebih banyak menyisihkan beban pencemar di dalam limbah cair industri karet.

Persentase penyisihan yang didapat pada penelitian ini lebih besar dibandingkan

dengan penelitian yang dilakukan oleh Rizal dkk (2013).

Limbah cair industri karet perlu dilakukan pengolahan terlebih dahulu

untuk menanggulangi pencemaran. Perkembangan teknologi membran sebagai

unit pengolah limbah saat ini sangat pesat dan banyak digunakan dalam proses

pemisahan. Teknologi membran mempunyai berbagai keunggulan dibandingkan

metode pemisahan yang konvensional, di antaranya proses kontinyu, tidak

memerlukan zat kimia tambahan, konsumsi energi rendah, mudah dalam scale up,

tidak membutuhkan kondisi yang ekstrim, material membran bervariasi dan


mudah dikombinasikan dengan proses pemisahan lainnya (Kusumawati dan Tania,

2012).

Untuk melakukan tindakan alternatef terhadap pengurangan secara

kuantitas dan kualitas hutan mangrove dari pemanfaatan langsung terhadap kayu

mangrove, perlu dilakukan upaya pengalihan sumber pemanfaatan agar dapat

memberikan kesempatan pemulihan terhadap hutan mangrove yang ada,

diantaranya melalui pengembangan hutan rakyat (Kusmana et. al., 2003) berupa

hutan tanaman mangrove.

Perubahan tata guna dan konversi lahan untuk beragam aktivitas ekonomi

telah pula menyumbangkan pengurangan luasan hutan mangrove. Hutan

mangrove di Kabupaten Bengkalis terus mengalami penurunan secara luasan.

Menurut Fikri (2006), perubahan luas hutan mangrove Pulau Bengkalis sebesar

2.012,129 hektar selama 1992-2002 dari 8.182,080 hektar pada tahun 1992

menjadi 6.115,950 hektar pada tahun 2002 atau sebesar 201,213 hektar per tahun.

Pembangunan industri-industri baru pada saat ini dapat meningkatkan

kemakmuran bagi masyarakat, namun membawa dampak negatif terhadap

lingkungan hidup. Permasalahan tersebut perlu dipertimbangkan beberapa

efeknya seperti limbah yang dihasilkan. Industri yang menghasilkan limbah salah

satunya adalah industri karet. Industri karet menghasilkan limbah cair yang

mengandung senyawa organik yang relatif tinggi. Adanya bahan-bahan organik

tersebut menyebabkan nilai BOD (Biochemical Oxygent Demamd) dan COD

(Chemical Oxygent Demamd) pada limbah cair industri karet menjadi tinggi

(Yulianti dkk, 2005).


Hutan mangrove merupakan ekosistem yang berfungsi penting secara

ekologis (Kusmana, 1996; Walters et. al., 2008; Nagelkerken et. al., 2008).

Selain itu, secara ekonomi telah memberikan manfaat besar baik langsung

maupun tidak langsung (Walters et. al., 2008; Tampubolon, 2008).

Peningkatan kapasitas masyarakat diperhatikan dari rendahnya wawasan

dan pengetahuan masyarakat tentang pelestarian mangrove. Susilo (2007)

menyebutkan bahwa tingkat pendidikan masyarakat yang relative rendah

merupakan salah satu faktor kelemahan dan dapat menjadi kendala dalam

pengelolaan ekosistem mangrove yang lestari dan berkelanjutan.

Pengembangan model penanaman mangrove dipertimbangkan dari adanya

lahan di kawasan penyangga yang mulai ditanami mangrove oleh masyarakat.

Menurut Candrasyah (2011), karakteristik lingkungan bagi tumbuhnya jenis

mangrove dapat dilihat dari kondisi tanah dengan salinitas tinggi atau adanya air

asin dan zonasi dengan jenis tanaman mangrove yang masih dapat tumbuh.

Penanaman mangrove yang telah dilakukan masyarakat tersebut, menurut

Weinstock (2011) berbentuk rhizophora mangrove agroforestry.

Pengembangan sumber pemanfaatan diperhatikan dari besarnya

ketergantungan masyarakat Akit terhadap kayu mangrove sehingga

memungkinkan untuk dapat dialihkan sumber pemanfaatannya kepada hutan

mangrove buatan dalam bentuk hutan rakyat (Kusmana et. al., 2003).

Adanya masyarakat yang telah mulai sadar melakukan penanaman

mangrove merupakan kekuatan yang cukup potensial untuk peningkatan

pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan kawasan penyangga sebagai


hutan cadangan mangrove karena masyarakat harus dilibatkan dalam setiap

kegiatan pengelolaannya (Hendarto, 2003).

Handoyo (2008) menyebutkan bahwa kelestarian hasil hutan dan

diversifikasinya dapat dilakukan dengan alternatif pengelolaan berbasis

masyarakat dalam mengelola kawasan sekitar hutan. Pengelolaan lahan sekitar

hutan mangrove ini diharapkan mampu dilakukan untuk menunjang perbaikan

ekosistem mangrove saat ini.

Adanya paradigma pengelolaan mangrove yang memajukan konsep

pembangunan berkelanjutan (Sobari et. al., 2006) dengan menitikberatkan pada

keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kualitas lingkungan, maka

pengelolaan kawasan penyangga mangrove mengarah pada memperluas kawasan

mangrove untuk mengurangi tekanan terhadap hutan mangrove yang ada saat ini

disamping untuk tetap memenuhi kebutuhan kayu mangrove di masyarakat

Bengkalis terutama untuk kayu cerocok dan kayu untuk bahan baku dalam

produksi arang (Martin dan Galle, 2009).

Umumnya kayu mangrove yang dimanfaatkan dari jenis Rhizophora,

Xylocarpus dan Lumnitzera. Mangrove dari jenis Rhizophora apiculata,

Xylocarpus granatum dan Lumnitzera racemosa merupakan jenis yang banyak

dimanfaatkan. Jenis R. apiculata paling banyak digunakan sebagai kayu cerocok,

bahan baku arang dan kayu bakar untuk energi biomassa rumah tangga serta kayu

bakar untuk produksi arang meskipun dalam jumlah kecil. Jenis X. granatum,

selain digunakan sebagai kayu cerocok sebagian besar digunakan sebagai kayu

bakar dalam produksi arang bersama jenis L. racemosa. Kondisi tersebut

didukung karena ketersediaan di alam yang cukup memadai.(Saputra, 2011)


Membran secara umum dapat didefinisikan sebagai lapisan tipis

semipermiabel yang berfungsi sebagai alat pemisah berdasarkan sifat fisiknya.

Hasil pemisahan berupa retentate dan permeate. (Wigunna, 2011)

Ada dua parameter penting yang paling menentukan kinerja membran

yaitu fluks (permeabilitas) dan selektifitas (faktor pemisah). Teknologi membran

merupakan teknologi yang dapat digunakan dalam penyisihan kadar zat-zat

organik dalam limbah cair, salah satunya adalah membran ultrafiltrasi yang sesuai

untuk menahan suspensi koloid dan partikel (bakteri). Prinsip dasar pemisahan

dengan teknologi membran ultrafiltrasi adalah pemisahan berdasarkan ukuran

partikel (Notodarmajo dkk, 2004).

Bentuk pengembangannya melalui konsep agroforestri yang merupakan

manajemen pemanfaatan lahan secara optimal dan lestari, dengan cara

mengkombinasikan kegiatan kehutanan dan pertanian pada unit pengelolaan lahan

yang sama. Pengembangan ini diarahkan untuk meningkatkan produktivitas hasil

hutan, kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat (Triwanto, et. al., 2012).

Pengalihan sumber pemanfaatan kepada lahan diluar kawasan secara tidak

langsung mampu melakukan perluasan kawasan mangrove. Menurut Indrayani

(2002), secara ekologis dengan terjadinya penambahan luasan akan memberikan

pengaruh terhadap kondisi hutan mangrove di Pulau Bengkalis. Lahan yang

tersedia ini, dalam arti sempit disebut dengan kawasan penyangga mangrove.
Kordi, M.G.H., 2012. Jurus Jitu Pengelolaan Tambak untuk Perikanan Ekonomis.

Lily Publishers. Yogyakarta. 394 hal.

Kartaharja, S., 2011. Potensi Ekowisata di Kawasan Ekosistem Mangrove Desa

Teluk Pambang Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis. Tesis. Program

Pascasarjana Universitas Riau. 110 hal.

Setiawan, H., 2012, Polusi Domestik, http://hasansetiawan.blogspot.com,

diaksespada hari Rabu, 8 Aprils 2014 pukul 19.21 WITA, Makassar.

Tim Dosen Biologi. 2010. Biologi Umum II. Medan: FMIPA UNIMED.

Yusuf,M., 2008, Pengertian dan Sumber Pencemaran Perairan,Gramedia, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai