Anda di halaman 1dari 8

BED SITE TEACHING

PTERIGIUM

Oleh:
Rizka Desti Ayuni 130112140003
Ari Sri Wulandari 130112140020
Rangga Arya Pamungkas 130112140005
Agung Putra Pramana 130112140024

Preceptor:
Susi Heriyati,dr., SpM (K)
Andrew Maximilian H K, dr., SpM (K), M.Kes

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT CICENDO
BANDUNG
2015
A. KETERANGAN UMUM
Nama : Ny. ID
Usia : 42 tahun
Alamat : Jl. Cikaso Bandung
Pekerjaan : Koki Rumah Makan
Status : Sudah Menikah
Tanggal pemeriksaan : 30 Desember 2015

B. ANAMNESIS
Keluhan utama: Mata merah di kedua mata

Anamnesa khusus:
Sejak 1 minggu sebelum masuk RS, pasien mengeluhkan mata merah di kedua
matanya. Tidak ada keluhan penglihatan buram. Keluhan disertai juga oleh rasa perih
pada mata, gatal-gatal, silau, dan mata yang lebih berair daripada biasanya.
Keluhan yang sama juga dirasakan oleh pasien pada kedua matanya sejak 6 bulan yang
lalu. Keluhan sempat membaik setelah membeli obat tetes mata di warung dekat rumah,
namun mulai terasa lagi 1 bulan lalu, diberikan obat tetes mata, dan terasa membaik
kembali
Terdapat riwayat aktifitas sering terpapar debu, AC, Udara panas pada saat memasak.
Riwayat kucek-kucek mata (+). Riwayat muntah, pusing, alergi, trauma, operasi mata,
tidak ada. Pasien tidak menggunakan kacamata. Riwayat Keluarga memiliki keluhan
yang serupa tidak ada. Riwayat darah tinggi, kencing manis, operasi sistemik, alergi
obat-obatan dan makanan tidak ada. Pasien sudah pernah mencoba mengobatinya dengan
obat tetes mata dari warung, namun kembali berulang. Karena keluhannya, pasien datang
ke PMN RS Cicendo.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
- Kesadaran : Compos mentis
- Kesan : Tampak sakit ringan
- Tanda Vital : Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80x/menit
Respirasi : 20x/menit
Suhu : 36,50C

Status Ophtalmologikus
I. Pemeriksaan Subjektif:
Visus
VOD SC: 5/5 VOS SC : 5/5

II. Pemeriksaan Objektif:


* Inspeksi

Mata OD OS
Muscle Balance Ortotropia Ortotropia

1
Pergerakan bola Duksi: Baik Duksi: Baik
mata Versi: Baik Versi: Baik
Silia Trikiasis (-) Trikiasis (-)
Palpebra superior Tenang Tenang
Palpebra inferior Tenang Tenang
Apparatus Lakrimasi (-) Lakrimasi (-)
lakrimalis
Konjungtiva Tenang Tenang
tarsalis superior
Konjungtiva Tenang Tenang
tarsalis inferior
Konjungtiva bulbi Selaput putih (+), pterigium Selaput putih (+), pterigium
grade II, injeksi konjungtiva (+) grade I, injeksi konjungtiva
(+)
Kornea Selaput (+) Selaput (+)
COA Sedang Sedang
Pupil Refleks cahaya (+), isokor Refleks cahaya (+), isokor
Iris Tenang Tenang
Lensa Jernih Jernih
- Pemeriksaan Biomikroskop (slit lamp) : Tidak dilakukan
- Pemeriksaan TIO Palpasi : OD (N) OS (N)
- Pemeriksaan Objektif dengan alat lain : Tidak dilakukan

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Tidak dilakukan

IV. DIAGNOSIS
Diagnosis Banding:
* Pterigium grade II OD, pterigium grade I OS
* Pinguekula ODS

Diagnosis Kerja:
* Pterigium grade II OD, pterigium grade I OS

V. PENATALAKSANAAN
Umum:
1. Edukasi: hindari paparan matahari dan debu
2. Menggunakan kacamata pelindung bila keluar
3. Menggunakan helm berkaca saat berkendaraan dengan sepeda motor

Khusus:
1. Artificial Tears 1-2 tetes, 4-6x/hari
2. Dekongestan (pseudoefedrin)
3. Eksisi pterigium jika sudah mengganggu penglihatan

VI. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam

2
VII. PEMBAHASAN
Mata adalah salah satu indera dari pancaindera yang sangat penting untuk kehidupan
manusia. Mata merupakan bagian badan yang sangat peka, sehingga trauma seperti debu
sekecil apapun yang masuk kedalam mata dapat menimbulkan gangguan, terutama pada
konjungtiva yang mudah terpapar terhadap berbagai mikroorganisme dan substansi lain
yang merusak. Paparan kronis sinar UV & debu dapat menyebabkan kelainan pada
konjungtiva sehingga menyebabkan pterigium.

A. Definisi
Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif. Pterigium sendiri dapat tumbuh menutupi seluruh permukaan
kornea atau bola mata.

B. Epidemiologi
- Prevalensi terbesar > 40 thn
- Insidensi 20-40 thn terutama tinggal di iklim tropis.
- Laki-laki > perempuan

C. Etiologi
Masih tidak diketahui secara jelas, diperkirakan karena iritasi kronis akibat debu,
sinar ultraviolet, udara yang panas, lingkungan dengan angin yang banyak dan
berpolusi udara, maupun aktifitas outdoor.

D. Patofisiologi
Paparan sinar UV merupakan faktor yang signifikan dalam pertumbuhan
pterigium. Mekanisme sinar UV yang menginduksi penyakit ini masih cukup sulit
dijelaskan, namun menurut penelitian yang dilakukan Pathol (2003), terdapat efek
iradiasi UVB terhadap growth factor pada kultur sel epitel pterigium. Peneliti
mengkultur sel epitel pterigium yang diekspos UVB 20 mJ/cm2 dengan enzyme-
linked immunosorbent assay (ELISA). Pada analisis immunohistochemistry,
dilakukan evaluasi distrubusi HB-EGF jaringan pterigium. Analisis tanda hibridisasi
menunjukan adanya encoding HB-EGF, fibroblast growth factor 3, cytotoxic trail
ligand receptor akan meningkat setelah pajanan UVB selama 6-12 jam. Peneliti
menyatakan bahwa growth factor tersebut merupakan pengendali utama dari
pterigium, sehingga menyimpulkan bahwa radiasi UV merupakan penyebab
patogenesis dari pterigium.
Agen-agen penyebab lain dalam pembentukan pterigium dapat berupa alergen,
bahan kimia dan iritan berbahaya (contoh: angin , lumpur, debu, polusi udara).
Apapun etiologi yang ada, hal ini menyebabkan stroma konjungtiva yang digantikan
dengan penebalan serat elastis yang berliku-liku. Fibroblast yang teraktivasi akan
berperan dalam perkembangan batas invasi pterigium.

E. Klasifikasi
- Tipe 1: meluas kurang dari 2 mm di atas kornea. Timbunan besi (Stocker line)
terlihat di epitel kornea bagian anterior pterygium.
- Tipe 2: melebar hingga 4 mm dari kornea, dapat kambuh (recurrent) sehingga
perlu tindakan pembedahan.

3
- Tipe 3: meluas hingga lebih dari 4 mm dan melibatkan daerah penglihatan (visual
axis). Lesi/jejas yang luas (extensive), jika kambuh, dapat berhubungan dengan
fibrosis subkonjungtiva dan meluas hingga ke fornix.

Secar a klinis dapat dibedakan menjadi:

Kelompok 1
proliferasi minimal
pertumbuhannya cenderung lebih lambat
insiden kekambuhan yang kecil setelah
dilakukan eksisi

Kelompok 2
pertumbuhan komponen fibrovaskular yang
cepat dan sangat signifikan.
gejala klinis yang lebih nyata
angka kekambuhan setelah eksisi lebih besar

F. Gejala dan Tanda


- Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah
kornea dan basis di konjungtiva bulbi, di fissura palpebra bagian nasal ataupun
temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea.
- Asimtomatik
- Sebagian besar penderita mengeluhkan masalah kosmetik.
- Keluhan lain:
- Iritasi
- Kemerahan
- Berair
- Astigmatisme
- Penurunan visual
- Dapat disertai dengan keratitis pungtata dan dellen (penipisan kornea akibat
kering) dan garis besi (iron line dari Stocker) yang terletak di ujung pterigium.

G. Diagnosis Banding
1. Pseudopterigiun
Pseudopterigium dikenal sebagai perlekatan konjungtiva dengan kornea yang
cacat. Hal ini dapat berupa ulkus kornea yang sedang mengalami proses
penyembuhan, terlihat konjungtiva menutupi luka kornea tersebut, seolah-olah
konjungtiva menjalar ke kornea. Hal ini tidak memerlukan pengobatan serta
pembedahan, kecuali sangat mengganggu visus atau alasan kosmetik.
2. Pannus

4
Terdapatnya sel radang dengan adanya
pembuluh darah yang membentuk tabir
pada kornea. Hal ini dikarenakan adanya
infiltrasi fibrovaskuler di superficial,
subepitel, kornea perifer sebagai
extension atau perpanjangan pembuluh
darah limbus.
Contoh: trakoma, hipoksia kronik karena pemakaian lensa kontak yang salah,
atau keratokonjungtivis limbic superior.
3. Pinguekula

Terdapat pada
konjungtiva bulbi, baik
bagian nasal maupun
temporal, berupa bercak
yang menonjol bewarna
putih-kuning keabuan,
berupa hipertrofi yaitu penebalan konjungtiva. Secara histologik piguekula
merupakan degenerasi hialin jaringan submukosa konjungtiva.

H. Penatalaksanaan
Tergantung pada gejala yang timbul. Jika ukuran pterigium kecil, dapat
dibiarkan saja. Namun bila pterigium meradang dapat diberikan steroid ringan
(contoh: FML, Vexol) atau suatu tetes mata dekongestan (contoh: Naphcon-A)
dengan dosis sehari 4 kali satu tetes. Bila terdapat tanda radang beri air mata buatan
bila perlu dapat diberi steroid. Bila terdapat delen (lekukan kornea) beri air mata
buatan dalam bentuk salep.
Pembedahan ekisisi pterigium dapat dilakukan apabila ada gangguan
penglihatan dan pterigium yang telah menutupi media penglihatan. Indikasi
pembedahan termasuk:
* Iritasi mata kronis
* Gangguan penglihatan
* Kosmetik.
Pembedahan eksisi pterigium memerlukan anestesi lokal atau topikal dengan
sedasi, jika perlu. Setelah operasi, mata akan terasa nyeri selama beberapa hari. Tetes
mata dalam bentuk antibiotik dan atau kombinasi dengan steroid dapat diberikan
selama beberapa minggu. Kemerahan pada mata biasanya menetap setelah beberapa
bulan. Kekambuhan dapat terjadi beberapa minggu atau bulan setelah operasi 5
10 %.

I. Komplikasi
1. Selama operasi
- Pemilihan teknik operasi apapun pada pterigium relatif aman karena hanya
mengangkat lapisan luar mata.
- Saat operasi salah satu otot mata dapat tertekan, walaupun hal tersebut jarang
terjadi hal tersebut dapat mengakibatkan otot rusak sehingga diplopia.
- Sangat jarang terjadi kerusakan pada struktur internal mata yang akhirnya
terjadi hilangnya penglihatan atau loss of eyesight.
2. Sesudah operasi
- Nyeri dan perasaan tidak nyaman.

5
- Kosmetik
- Recurrence pterigium
- Infeksi
- Komplikasi yang jarang terjadi: perforasi bola mata, ulserasi kornea.

J. Prognosis
Prognosis dari pterigium sendiri cukup baik, tidak mengganggu fungsi pengelihatan
apabila ditangani dengan cepat.

K. Pencegahan
- Lindungi mata dari beberapa faktor penyebab antaralain sinar matahari , debu
dan udara kering dengan menggunakan helm, kacamata pelindung.
- Selain itu sedapat mungkin mengurangi waktu terpajannya mata dari
sinamatahari maupun debu.

6
DAFTAR PUSTAKA

Ilyas Sidharta, Prof, dr, DSM. Ilmu Penyakit Mata. 2000.Edisi I. Cetakan IV.
Jakarta:Balai Penerbit FKUI; . p.266-77
Wijana Nana S.D. 1993. Ilmu Penyakit Mata. Cetakan VI.
Am J Pathol. 2003. The role of ultraviolet irradiation and heparin-binding epidermal
growth factor-like growth factor in the pathogenesis of pterygium. Feb;162(2):567-74.
www.davidobrart.co.uk. Pterygium.
www.harvardeye.com. Pterygium No-Stitch Surgery
Kanski JJ. Clinical Ophthalmology: A Systemic Approach. 6th Edition. Elsevier. 2006
Dalam Tips Praktis Memahami Pinguekula dan Pterigium. www.kabarindonesia.com.
www.revoptom.com. Handbook of Occular Disease Management
www.sdhct.nhs.uk. Pterygium and Pterygium Surgery.

Anda mungkin juga menyukai