GAMBAR TRANSGENIK
Sejarah
Daun kacang non-transgenik (atas) dan transgenik yang tahan serangan hama (bawah).
Seleksi genetik untuk pemuliaan tanaman (perbaikan kualitas/sifat tanaman) telah dilakukan
sejak tahun 8000 SM ketika praktik pertanian dimulai di Mesopotamia.[6] Secara
konvensional, pemuliaan tanaman dilakukan dengan memanfaatkan proses seleksi dan
persilangan tanaman.[7] Kedua proses tersebut memakan waktu yang cukup lama dan hasil
yang didapat tidak menentu karena bergantung dari mutasi alamiah secara acak.[7] Contoh
hasil pemuliaan tanaman konvensional adalah durian montong yang memiliki perbedaan sifat
dengan tetuanya, yaitu durian liar.[3] Hal ini dikarenakan manusia telah menyilangkan atau
mengawinkan durian liar dengan varietas lain untuk mendapatkan durian dengan sifat unggul
seperti durian montong.[3]
Sejarah penemuan tanaman transgenik dimulai pada tahun 1977 ketika bakteri
Agrobacterium tumefaciens diketahui dapat mentransfer DNA atau gen yang dimilikinya ke
dalam tanaman.[6] Pada tahun 1983, tanaman transgenik pertama, yaitu bunga matahari yang
disisipi gen dari buncis (Phaseolus vulgaris) telah berhasil dikembangkan oleh manusia.[6][8]
Sejak saat itu, pengembangan tanaman transgenik untuk kebutuhan komersial dan
peningkatan tanaman terus dilakukan manusia.[9] Tanaman transgenik pertama yang berhasil
diproduksi dan dipasarkan adalah jagung dan kedelai.[9] Keduanya diluncurkan pertama kali
di Amerika Serikat pada tahun 1996.[9] Pada tahun 2004, lebih dari 80 juta hektare tanah
pertanian di dunia telah ditanami dengan tanaman transgenik dan 56% kedelai di dunia
merupakan kedelai transgenik.[7]
Pembuatan tanaman transgenik
Untuk membuat suatu tanaman transgenik, pertama-tama dilakukan identifikasi atau
pencarian gen yang akan menghasilkan sifat tertentu (sifat yang diinginkan).[2] Gen yang
diinginkan dapat diambil dari tanaman lain, hewan, cendawan, atau bakteri.[10] Setelah gen
yang diinginkan didapat maka dilakukan perbanyakan gen yang disebut dengan istilah
kloning gen.[11] Pada tahapan kloning gen, DNA asing akan dimasukkan ke dalam vektor
kloning (agen pembawa DNA), contohnya plasmid (DNA yang digunakan untuk transfer
gen).[12] Kemudian, vektor kloning akan dimasukkan ke dalam bakteri sehingga DNA dapat
diperbanyak seiring dengan perkembangbiakan bakteri tersebut.[12] Apabila gen yang
diinginkan telah diperbanyak dalam jumlah yang cukup maka akan dilakukan transfer gen
asing tersebut ke dalam sel tumbuhan yang berasal dari bagian tertentu, salah satunya adalah
bagian daun.[11] Transfer gen ini dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu metode
senjata gen, metode transformasi DNA yang diperantarai bakteri Agrobacterium tumefaciens,
dan elektroporasi (metode transfer DNA dengan bantuan listrik).[11][13]
Metode elektroporasi.[13] Pada metode elektroporasi ini, sel tanaman yang akan
menerima gen asing harus mengalami pelepasan dinding sel hingga menjadi protoplas
(sel yang kehilangan dinding sel).[13] Selanjutnya sel diberi kejutan listrik dengan
voltase tinggi untuk membuka pori-pori membran sel tanaman sehingga DNA asing
dapat masuk ke dalam sel dan bersatu (terintegrasi) dengan DNA kromosom tanaman.
[13]
Kemudian, dilakukan proses pengembalian dinding sel tanaman.[13]
Setelah proses transfer DNA selesai, dilakukan seleksi sel daun untuk mendapatkan sel yang
berhasil disisipi gen asing.[9] Hasil seleksi ditumbuhkan menjadi kalus (sekumpulan sel yang
belum terdiferensiasi) hingga nantinya terbentuk akar dan tunas.[9] Apabila telah terbentuk
tanaman muda (plantlet), maka dapat dilakukan pemindahan ke tanah dan sifat baru tanaman
dapat diamati.[9]
Contoh-contoh
Beberapa contoh tanaman transgenik yang dikembangkan di dunia tertera pada tabel di
bawah ini.
Beberapa tanaman transgenik telah diaplikasikan untuk menghasilkan tiga macam sifat
unggul, yaitu tahan hama, tahan herbisida, dan buah yang dihasilkan tidak mudah busuk.[26][27]
Tanaman jagung dan kapas transgenik dengan sifat tahan hama telah diproduksi secara
massal dan dipasarkan di dunia.[27] Gen asing yang banyak digunakan untuk sifat resistensi
hama ini adalah gen penyandi toksin Bt dari bakteri Bacillus thuringiensis.[26] Sejak tahun
1996, Monsanto, salah satu perusahaan multinasional di bidang bioteknologi, telah menjual
benih kapas transgenik dengan merek dagang "Bollgard".[28] Selain itu, tanaman kedelai dan
kanola tahan herbisida juga telah dijual ke berbagai negara, termasuk Indonesia, dengan
merek "Roundup Ready".[29]
Tanaman tomat transgenik dengan sifat pematangan buah diperlambat pernah diproduksi oleh
Calgene pada tahun 1994 dan dipasarkan di Amerika Serikat dengan merek "Flavr Savr".[30]
Biasanya, tanaman tomat alami dipanen dalam keadaan masih hijau dan belum matang
kemudian disemprot dengan gas etilen untuk membuat buah matang dan berwarna merah.[30]
Namun, rasa tomat yang dihasilkan umumnya kurang terasa.[30] Tujuan pembuatan tomat
transgenik tersebut adalah untuk memperpanjang masa simpan dan menghindari pembusukan
buah selama transportasi dari lahan penanaman ke tempat penjualan.[31] Namun, penjualan
Flavr Savr ditarik dalam waktu kurang dari setahun karena alasan kesehatan dan
penjualannya mengalami kerugian.[30] Produk tersebut tidak banyak terjual karena harganya
dua kali lipat dari tomat biasa namun rasa yang dihasilkan sama.[30]
Aplikasi yang sedang dikembangkan
Kontroversi
Perkembangan tanaman transgenik dapat diterima dengan baik oleh Amerika Serikat,
Argentina, Cina, dan Kanada.[36] Namun, banyak negara Eropa yang menolak tanaman
transgenik karena kekhawatiran terhadap potensi gangguan kesehatan konsumen dan
kerusakan lingkungan.[36]
Dari segi etika, pihak yang kontra dengan tanaman transgenik menganggap bahwa rekayasa
atau manipulasi genetik tanaman merupakan tindakan yang tidak menghormati penciptaan
Tuhan.[44] Perubahan sifat tanaman dengan penambahan gen asing juga dianggap sebagai
tindakan "bermain sebagai Tuhan" karena mengubah makhluk yang telah diciptakan-Nya.[45]
Pemikiran teologis Katolik memandang bahwa manipulasi atau rekayasa genetik merupakan
suatu kemungkinan yang disediakan oleh Tuhan karena tanaman diberikan kepada manusia
untuk dipelihara dan dimanfaatkan.[44] Dalam sudut pandang agama tersebut, modifikasi
genetika tanaman tidak berlawanan dengan ajaran Gereja Katolik, namun kelestarian alam
juga harus diperhatikan karena merupakan tanggung jawab manusia.[46] Dalam menanggapi
isu tentang tanaman transgenik, Dewan Yuriprudensi Islam dan Badan Sertifikasi Makanan
Islam di Amerika (IFANCA) menyatakan bahwa makanan dari tanaman transgenik yang ada
telah dikembangkan bersifat halal dan dapat dikonsumsi oleh umat Islam.[47] Untuk tanaman
yang disisipi gen dari binatang haram, produk tanaman transgenik tersebut akan disebut
Masbuh, yang berarti masih diragukan (belum diketahui) status halal atau haramnya.[47]
Sertifikasi makanan yang telah dikeluarkan oleh IFANCA juga diakui dan diterima oleh
Majelis Ulama Indonesia (MUI), Majelis Ulama Islam Singapura (MUIS), Liga Muslim
Dunia, Arab Saudi, dan pemerintah Malaysia.[47]
Pihak yang mendukung tanaman transgenik menganggap bahwa transfer gen dari suatu
makhluk hidup ke makhluk lainnya merupakan hal yang alamiah dan biasa terjadi di alam
sejak pertama kali berlangsungnya kehidupan.[3] Mereka juga berargumen bahwa persilangan
berbagai jenis padi yang dilakukan untuk mendapatkan padi dengan sifat unggul telah
dilakukan para petani sejak dahulu.[3] Perkawinan berbagai varietas padi tanpa disadari telah
mencampur gen-gen yang ada di tanaman tersebut.[3] Para ilmuwan hanya mempercepat
proses transfer gen tersebut secara sengaja dan sistematis.[3]
Riset dan pengembangan tanaman transgenik membutuhkan biaya yang besar dan umumnya
dilakukan oleh perusahaan-perusahaan swasta maupun pemerintah di negara maju.[5] Untuk
mengembalikan biaya investasi perusahaan dan melindungi produk hasil investasinya,
tanaman transgenik yang telah diproduksi akan dipatenkan.[48] Di dalam salah satu laporan
kerja Komisi Eropa, disebutkan bahwa pemberlakuan paten pada produk transgenik dapat
mengakibatkan petani kehilangan kemampuan memproduksi benih secara mandiri dan harus
membeli pada produsen dari negara maju.[49] Ketergantungan para petani terhadap produsen
juga semakin meningkat dengan ditemukannya teknologi "gen bunuh diri".[5] Sebagian
tanaman transgenik disisipi "gen bunuh diri" yang menyebabkan tanaman hanya bisa ditanam
satu kali dan biji keturunan selanjutnya bersifat mandul (tidak dapat berkembang biak).[48] Hal
ini akan menyebabkan terjadinya arus modal dari negara berkembang ke negara maju untuk
pembelian bibit transgenik setiap kali akan melakukan penanaman.[5] Para petani di negara-
negara dunia ketiga khawatir bila harga benih akan menjadi mahal karena pemberlakuan
paten dan mekanisme "gen bunuh diri" yang dilakukan oleh produsen benih.[48] Jika petani
tersebut tidak mampu membeli benih transgenik maka kesenjangan ekonomi antara negara
penghasil tanaman transgenik dan negara berkembang sebagai konsumen akan semakin
melebar.[5] Salah satu usaha mencegah terjadinya kesenjangan tersebut pernah dilakukan oleh
Yayasan Rockefeller.[48] Yayasan yang berpusat di Amerika Serikat tersebut telah menjual
benih transgenik dengan harga yang lebih murah kepada negara-negara miskin.[48]
Pada tahun 1999, Indonesia pernah melakukan uji coba penanaman kapas transgenik di
Sulawesi Selatan.[51] Uji coba itu dilakukan oleh PT Monagro Kimia dengan memanfaatkan
benih kapas transgenik Bt dari Monsanto.[51] Hal itu mendatangkan banyak protes dari
berbagai LSM sehingga pada bulan September 2000, areal kebun kapas transgenik seluas
10.000 ha gagal dibuka.[51] Pada tahun yang sama, kampanye penerimaan kapas transgenik
diluncurkan dengan melibatkan petani kapas dan ahli dalam dan luar negeri.[51] Kasus tersebut
berlangsung dengan pelik hingga pada Desember 2003, pemerintah Indonesia menghentikan
komersialisasi kapas transgenik.[51] Suatu studi kelayakan finansial terhadap kapas transgenik
sempat dilakukan pada tahun 2001 di tiga kabupaten di Sulawesi Selatan, yaitu Bulukumba,
Bantaeng, dan Gowa.[52] Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa budidaya kapas transgenik
lebih menguntungkan secara finansial dibandingkan kapas nontransgenik.[52]
Pada tahun 2007, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Badan Litbang) telah
menargetkan Indonesia untuk memiliki padi dan jagung transgenik pada tahun 2010 sehingga
tidak perlu lagi melakukan impor beras dan jagung.[53] Menurut Dr. Ir. Sutrisno, Kepala Balai
Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB-Biogen), Indonesia
telah melakukan penelitian di bidang rekayasa genetika tanaman yang seimbang bila
dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya.[53] Namun, dalam hal komersialisasi
produk transgenik tersebut, Indonesia dinilai agak tertinggal.[53] Melalui BB-Biogen, berbagai
riset tanaman transgenik yang meliputi padi, kedelai, pepaya, kentang, ubi jalar, dan tomat,
masih terus dilakukan oleh Indonesia.[53][54] Pada tahun 2010, sebanyak 50% dari kedelai
impor yang digunakan di Indonesia merupakan produk transgenik yang di antaranya
didatangkan dari Amerika Serikat.[55][56] Hal ini menyebabkan sebagian besar produk olahan
kedelai, seperi tahu, tempe, dan susu kedelai telah terbuat dari tanaman transgenik.[56]
Untuk mengatur keamanan pangan dan hayati produk rekayasa genetika seperti tanaman
transgenik, Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Menteri Kesehatan, dan
Menteri Negara Pangan dan Hortikultura telah mengeluarkan keputusan bersama pada tahun
1999.[16] Keputusan tentang "Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan Produk Pertanian
Hasil Rekayasa Genetika Tanaman" No.998.I/Kpts/OT.210/9/99; 790.a/Kptrs-IX/1999;
1145A/MENKES/SKB/IX/199; 015A/Nmeneg PHOR/09/1999 tersebut mengatur dan
mengawasi keamanan hayati dan pangan. Di dalamnya juga diatur pemanfaatan produk
tanaman transgenik agar tidak merugikan, mengganggu, dan membahayakan kesehatan
manusia, keanekaragaman hayati, dan lingkungan.[16]
VIDIO