Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Hidung
1. Kerangka Hidung
Hidung terdiri atas nasus externus dan cavum nasi. Nasus externus
mempunyai ujung yang bebas yang dilekatkan ke dahi melalui radix nasi.
Lubang luar hidung disebut nares. Kedua nares dibatasi oleh ala nasi dibagian
lateral dan oleh septum nasi dibagian medial. Rangka nasus externus dibagian
atas dibatasi oleh os nasale, processus frontalis ossis maxillaris pars nasalis
ossis frontalis. Dibagian bawah dibentuk oleh lempeng tulang rawan yaitu
cartilago nasi superior dan inferior, dan cartilago septi nasi.4

Gambar 1.Anatomi Nasal Externus5

Cavum nasi terletak dari nares sampai choana. Dasar dari cavum nasi
dibentuk oleh processus palatinus maxillae dan lamina horizontalis ossis
palatini yaitu permukaan atas palatum durum. Bagian atap dibentuk oleh
corpus os sphenoidalis, lamina cribrosa, os ethmoidalis, os frontale, os nasale
dan cartilago nasi. Dinding lateral dari cavum nasi terdapat tiga tonjolan yaitu
concha nasalis superior, media dan inferior. Area dibawah stiap concha disebut
meatus. Recessus sphenoethmoidalis adalah daerah kecil yang terletak diatas
concha nasalis superior dan di depan corpus os sphenoidalis. Daerah ini
terdapat muara dari sinus sphenoidalis.4

2
Meatus nasi superior terletak dibawah dan lateral dari concha nasalis
superior dan terdapat muara dari sinus ethmoidalis posterior. Metaus nasi
media terletak di bawah dan lateral concha media. Pada dinding lateralnya
terdapat bulla ethmoidalis. Sebuah celah yang melengkung disebut hiatus
semilunaris yang terletak tepat di bawah bulla. Ujung anterior hiatus masuk ke
dalam saluran yang berbentuk corong disebut infundibulum. Sinus maxillaris
bermuara pada meatus nasi media melalui hiatus semilunaris. Sinus frontalis
dan sinus ethmoidales anterior bermuara pada infundibulum.4

Meatus nasi inferior terletak di bawah dan lateral concha inferior dan
terdapat muara dari ductus nasolacrimalis. Dinding medial atau septum nasi
merupakan osteocartilago yang ditutupi membrana mukosa. Membrana
mukosa melapisi cavum nasi kecuali vestibulum. Terdapat dua jenis
membrana mukosa yaitu mukosa olfactorius dan respiratorius. Membrana
mukosa olfactorius melapisi permukaan atas concha nasalis superior dan
recessus sphenoethmoidalis; juga melapisi daerah septum nasi septum nasi
yang berdekatan dengan atap. Fungsinya adalah menerima rangsangan
penghidu dan untuk fungsi ini mukosa memiliki sel-sel penghidu
khusus.permukaan membrana mukosa tetap basah oleh sekret kelenjar serosa
yang berjumlah banyak.4

Gambar 2.Anatomi Cavum Nasi5

Membrana mukosa respiratorius melapisi bagian bawah cavum nasi.


Fungsinya adalah menghangatkan, melembabkan, dan membersihkan udara

3
inspirasi. Proses menghangatkan terjadi oleh adanya plexus venosus di dalam
jaringan submukosa. Proses melembabkan berasal dari banyaknya mukus
yang di produksi oleh kelenjar-kelenjar dan sel goblet. Partikel debu yang
terinspirasi akan menempel pada permukaan mukosa yang basah dan lengket.
Persarafan cavum nasi berasal dari N. Olfactorius yang mempersarafi
membrana mukosa olfactorius. Saraf ini naik ke atas melalui lamina cribrosa
dan mencapai bulbus olfactorius4

Saraf-saraf sensasi umum berasal dari nervus trigeminus cabang


ophtalmica dan maxillaris. Persarafan bagian anterior cavum nasi berasal dari
n. Ethmoidalis anterior. Persarafan bagian posterior cavum nasi berasal dari
ramus nasalis, ramus nasopalatinus, dan ramus palatina ganglion
pterygopalatinum. Suplai arteri untuk cavum nasi berasal dari cabang-cabang
a. maxillaris. Cabang yang terpenting yaitu a. sphenopalatina yang
beranastomosis dengan cabang septalis a.labialis superior yang merupakan
cabang dari arteri facialis di daerah vestibulum. Vena-vena membentuk plexus
yang luas di dalam mukosa. Plexus ini dialirkan oleh vena-vena yang
menyertai arteri. Pembuluh limfe mengalirkan limfe dari vestibulum ke nodi
submandibulares. Bagian lain dari cavum nasi mengalirkan limfenya ke nodi
cervicales profundi superior.

2. Vaskularisasi Hidung
Vaskularisasi cavum nasi berasal dari system carotis interna dan eksterna.
Arteri carotis interna bercabang menjadi arteri oftalmika yang kemudian
bercabang lagi menjadi arteri etmoidalis anterior dan posterior, yang
mendarahi septum dan dinding lateral superior. Arteri karotis eksterna
memberikan suplai darah terbanyak pada cavum nasi melalui :2

a. Arteri sphenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris yang berjalan


melalui foramen sphenopalatina yang memperdarahi septum tiga perempat
posterior dan dinding lateral hidung.

4
b. Arteri palatina desenden memberikan cabang arteri palatina mayor, yang
berjalan melalui kanalis incisivus palatum durum dan menyuplai bagian
inferoanterior septum nasi.
Dua area pada kavum nasi merupakan tempat tersering perdarahan hidung
yaitu pleksus Kiesselbach dan pleksus Woodruff
a. Pleksus Kiesselbach adalah wilayah anastomosis yang berlokasi pada
dinding anterior-inferior septum yang memberikan lebih dari 90% episode
perdarahan. Dibentuk oleh pleksus dari arteri sphenopalatina, palatina
mayor, labialis superior, dan ethmoidalis anterior. Wilayah ini mudah
terlihat dan terjangkau, menjadikan perdarahan anterior lebih mudah
untuk dikontrol.
b. Pleksus Woodruff adalah anastomosis posterior dari hidung posterior,
arteri sphenopalatina dan pharyngeal asenden melalui posterior konka
medial. Wilayah ini sukar dilihat sehingga sulit untuk ditangani. Tempat
perdarahan tersering dari bagian posterior adalah cabang posterior lateral
dari arteri sphenopalatina.

Gambar 3. Pleksus Kiesselbach dan Pleksus Woodruff

5
B. Epistaksis
1. Definisi
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung yang merupakan gejala atau
manifestasi penyakit lain, penyebabnya bisa lokal atau sistemik. Perdarahan
bisa ringan sampai serius dan bila tidak segera ditolong dapat berakibat fatal.
Sumber perdarahan biasanya berasal dari bagian depan atau bagian belakang
hidung.6
2. Epidemiologi
Epistaksis atau perdarahan hidung dilaporkan timbul pada 60% populasi
umum. Puncak kejadian dari epistaksis didapatkan berupa dua puncak
(bimodal) yaitu pada usia <10 tahun dan >50 tahun. Kira-kira 10% dari
penduduk dunia mempunyai riwayat hidung berdarah beberapa kali dalam
hidupnya. Sekitar 30% anak-anak umur 0-5 tahun, 56% umur 6-10 tahun, dan
64 % berumur 11-15 tahun mengalami sekurang-kurangnya satu kali
epistaksis. Sebagai tambahan, 56% orang dewasa dengan perdarahan hidung
berulang pernah mengalami kejadian serupa pada saat kecil.7
Epistaksis jarang terjadi pada bayi, namun terdapat kecenderungan
peningkatan insiden epistaksis seiring dengan pertambahan usia. Epistaksis
anterior lebih sering terjadi pada anak-anak dan dewasa muda, sedangkan
epistaksis posterior lebih sering terjadi pada usia yang lebih tua, terutama pada
laki-laki berusia 50 tahun dengan penyakit hipertensi dan arteriosklerosis.
Pasien yang menderita alergi, inflamasi hidung, dan penyakit sinus lebih
rentan terhadap resiko terjadinya epistaksis karena mukosanya lebih mudah
kering dan hiperemis yang disebabkan oleh reaksi inflamasi.7
3. Etiologi
Perdarahan hidung diawali dengan pecahnya pembuluh darah di selaput
mukosa hidung. Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh
darah pleksus Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach terletak di septum nasi bagian
anterior, di belakang persambungan mukokutaneus tempat pembuluh darah
yang kaya anastomosis.
Epistaksis dapat disebabkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau
kelainan sistemik.2
1. Lokal
a. Trauma

6
-
Epistaksis dapat terjadi setelah trauma ringan, misalnya waktu
mengeluarkan ingus dengan kuat, bersin, mengorek hidung atau sebagai
akibat trauma yang hebat, seperti terpukul, jatuh, kecelakaan lalu lintas.
-
Trauma yang terus menerus dapat merusak perikondrium sehingga
menyebabkan tulang rawan terekspos dan terjadinya perforasi. Aliran
udara terganggu, terjadi turbulensi dan kekeringan lebih jauh,
menyebabkan terbentuknya keropeng dan perdarahan.
b. Infeksi
Infeksi hidung dan sinus paranasal, rhinitis, sinusitis, serta granuloma
spesifik seperti sifilis, lepra, dan lupus dapat menyebabkan epistaksis.
c. Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan
intermiten, kadang-kadang disertai mucus yang bernoda darah.
Hemangioma, karsinoma, dan angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis
berat.
d. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah
teleangiektasis hemoragik herediter. Penyakit ini adalah penyakit
autosomal dominan. Kelainannya terletak pada minimnya elemen
kontraktil (jaringan elastik dan muskular) pada dinding pembuluh darah
mulai dari kapiler hingga arteri, yang kemudian menimbulkan formasi
telengiektasia (dilatasi venula dan kapiler) dan malformasi arteriovenous
pada kulit atau lapisan mukosa saluran aerodigestivus. Keadaan ini
menyebabkan mudahnya terjadi perdarahan, bahkan oleh trauma kecil
sekalipun.
e. Sebab-sebab lain termasuk benda asing dan perforasi septum
Perforasi septum dan benda asing hidung dapat menjadi predisposisi
perdarahan hidung. Bagian anterior septum nasi, bila mengalami deviasi
atau perforasi, akan terpapar aliran udara pernafasan yang cenderung
mengerikan aliran sekresi hidung. Pembentukan krusta yang keras dan
usaha pelepasan krusta dengan jari dapat menimbulkan trauma.
Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi membrane mukosa
septum dan menyebabkan perdarahan. Epistaksis sering juga terjadi karena
adanya spina septum yang tajam. Perdarahan dapat terjadi di tempat spina

7
itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan bila konka itu sedang
mengalami pembengkakan.
f. Faktor lingkungan
Misalnya tinggal di daerah tinggi, tekanan udara rendah atau lingkungan
udaranya sangat kering.
2. Sistemik
a. Kelainan darah
Kelainan darah penyebab epistaksis, misalnya trombositopenia, hemofilia
dan leukemia. Obat-obatan seperti terapi antikoagulan, aspirin dan
fenilbutazon dapat pula mempredisposisi epistaksis berulang.
b. Penyakit kardiovaskular
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada arteriosklerosis,
nefritis kronis, sirosis hepatis, sifilis, diabetes melitus dapat menyebabkan
epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi biasanya hebat, sering kambuh dan
prognosinya kurang baik.
c. Infeksi sistemik
Yang paling sering menyebabkan epistaksis adalah demam berdarah
dengue, selain itu juga morbili, demam tifoid dan influensa dapat juga
disertai adanya epistaksis.
d. Gangguan endokrin
Wanita hamil, menars dan menopause sering juga dapat menimbulkan
epistaksis.
e. Perubahan tekanan atmosfir
Contoh dalam hal ini adalah Caisson Disease (pada penyelam)

f. Alkohol
Efek dari alkohol dapat berupa mengurangi agregasi trombosit dan
memperpanjang waktu perdarahan dan juga perubahan hemodinamik
seperti vasodilatasi dan perubahan tekanan darah.
4. Klasifikasi
Epistaksis dibedakan atas dasar sumber pendarahan atau tempat
pendarahan. Sumber perdarahan dapat berasal dari bagian anterior atau bagian
posterior hidung.2
Epistaksis Anterior
Epistaksis ini dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach, merupakan sumber
perdarahan paling sering dijumpai pada anak-anak. Perdarahan dapat

8
berhenti sendiri (spontan) dan dapat dikendalikan dengan tindakan
sederhana.
Epistaksis Posterior
Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina (area Woodruff,
dibawah bagian posterior konka nasalis inferior) atau arteri etmoid
posterior. Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan
sendirinya. Pasien terus mengeluhkan darah mengalir dibelakang
tenggorokkannya. Epistaksis ini sering ditemukan pada pasien hipertensi,
arteriosclerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler.

Gambar 4. Epistaksis anterior (atas) dan Epistaksis posterior (bawah)

5. Diagnosis
Anamnesis yang lengkap sangat membantu dalam menentukan sebab-
sebab perdarahan. Keadaan umum, tensi dan nadi perlu diperiksa. Dan untuk
pemeriksaan, alat-alat yang diperlukan adalah lampu kepala, spekulum hidung
dan alat penghisap. Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan penunjang
laboratorium yaitu pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hemostatis.1
a. Anamnesis
Suatu anamnesis yang cermat akan sangat membantu penanganan
epistaksis secara tepat . Beberapa hal penting yang harus ditanyakan
pada pasien epistaksis, antara lain:
Apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorok (posterior) atau
keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak

9
Lama perdarahan dan frekuensinya
Riwayat perdarahan sebelumnya
Kecenderungan perdarahan
Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
Riwayat trauma hidung yang belum lama
Riwayat hipertensi
Riwayat diabetes mellitus
Riwayat penyakit hati
Riwayat penggunaan alcohol dan obat-obatan, misalnya; aspirin dan
fenilbutazon atau penggunaan anti koagulan
Trauma hidung yang belum lama
Aspek anamnesis yang mungkin penting dalam melokalisasi tempat
perdarahan bisa didapat dengan menanyakan :
1. Sewaktu anda membungkuk apakah ada darah yang keluar dari
hidung? (menggambarkan sumber perdarahan anterior)
2. Apakah darah menuruni tenggorokan anda? (menggambarkan
perdarahan dari sisi posterior cavitas nasalis)
Pada pasien yang telah mengalami epistaksis berulang harus ditanyakan
mengenai riwayat keluarga dengan kelainan perdarahan, riwayat perdarahan
berlebihan pasca pencabutan gigi atau sirkumsisi, serta riwayat menstruasi
berlebihan.
Riwayat trauma harus ditanyakan secara terperinci pada pasien epistaksis.
Kebanyakan kasus epistaksis timbul sekunder trauma yang disebabkan oleh
mengorek hidung menahun atau mengorek krusta yang telah terbentuk akibat
pengeringan mukosa hidung berlebihan.
Pada pasien epistaksis juga untuk penting mengetahui riwayat pengobatan
atau penyalahgunaan alkohol terperinci harus dicari. Banyak pasien minum
aspirin secara teratur untuk banyak alasan. Aspirin merupakan penghambat
fungsi trombosit dan dapat menyebabkan pemanjangan atau perdarahan.
Penting mengenal bahwa efek ini berlangsung beberapa waktu dan bahwa
aspirin ditemukan sebagai komponen dalam sangat banyak produk. Alkohol
merupakan senyawa lain yang banyak digunakan, yang mengubah fungsi
pembekuan secara bermakna.
b. Pemeriksaan Fisik

10
Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi
dan ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai
untuk mengobservasi atau mengeksplorasi sisi dalam hidung. Dengan
spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan semua kotoran
dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku;
sesudah dibersihkan semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari
tempat dan faktor-faktor penyebab perdarahan. Setelah hidung dibersihkan,
dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu larutan
lidokain 4% yang ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk
menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah
sehingga perdarahan dapat berhenti untuk sementara. Sesudah 10 sampai 15
menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi. 8
Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari
hidung yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda
dengan pasien dengan perdarahan hidung aktif yang prioritas utamanya adalah
menghentikan perdarahan.
Pemeriksaan yang diperlukan berupa:8
a. Rinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke
posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral
hidung dan konkha inferior harus diperiksa dengan cermat.
b. Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien
dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk
menyingkirkan neoplasma.
c. Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi,
karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering
berulang.
d. Rontgen sinus
Rontgen sinus penting mengenali neoplasma atau infeksi.

11
e. Skrining terhadap koagulopati
Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu
tromboplastin parsial, jumlah platelet dan waktu perdarahan.
6. Tata Laksana2
Prinsip penatalaksanaan epistaksis ialah memperbaiki keadaan umum,
mencari sumber perdarahan, menghentikan perdarahan, mencari faktor
penyebab untuk mencegah berulangnya perdarahan
Bila pasien datang dengan epistaksis perhatikan keadaan umumnya, nadi,
pernafasan serta tekanan darahnya. Bila ada kelainan atasi terlebih dahulu,
misalnya dengan memasang infus. Jalan nafas dapat tersumbat oleh darah atau
bekuan darah, perlu dibersihkan atau dihisap.
Prinsip dari penatalaksanaan epistaksis yang pertama adalah menjaga
ABC, yakni:
- A (airway) : pastikan jalan napas tidak tersumbat/bebas, posisikan duduk
menunduk
- B (breathing) : pastikan proses bernapas dapat berlangsung, batukkan atau
keluarkan darah yang mengalir ke belakang tenggorokan
- C (circulation) : pastikan proses perdarahan tidak mengganggu sirkulasi
darah tubuh, pastikan pasang jalur infus intravena (infus) apabila terdapat
gangguan sirkulasi.
Menghentikan perdarahan secara aktif, seperti kaustik dan pemasangan
tampon lebih baik daripada pemberian obat hemostatik sambil menunggu
epistaksis berhenti dengan sendirinya.
Pasien sendiri dapat menghentikan perdarahan bagian depan hidungnya
dengan menjepit bagian itu dengan sebuah jari tangan dan ibu jari serta
meletakkan sebuah cawan untuk menampung tetesan darah dari hidungnya.
Pasien dilarang menelan karena dapat menggeser bekuan darah yang
terbentuk. Menelan dapat dicegah dengan menempatkan sebuah gabus
diantara kedua barisan gigi depan (metode Trotter).
Jika seorang pasien datang dengan epistaksis maka pasien harus diperiksa
dalam keadaan duduk, sedangkan jika terlalu lemah dapat dibaringkan dengan
meletakkan bantal di belakang punggungnya kecuali bila sudah dalam keadaan
syok.

12
Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap dan untuk
membersihkan hidung dari bekuan darah. Kemudian tampon kapas yang telah
dibasahi dengan adrenalin 1/10.000 dan lidocain atau pantocain 2%
dimasukkan ke dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan
mengurangi rasa nyeri pada waktu tindakan selanjutnya . Tampon ini
dibiarkan selama 3-5 menit. Dengan cara ini dapatlah ditentukan apakah
sumber perdarahan letaknya di bagian anterior atau di bagian posterior.
a. Perdarahan anterior
Perdarahan anterior seringkali berasal dari septum bagian depan.
Apabila tidak berhenti dengan sendirinya, perdarahan anterior terutama
pada anak dapat dicoba dihentikan dengan menekan hidung dari luar
selama 10-15 menit dan seringkali berhasil.
Semprotan dekongestif dan aplikasi topikal gulungan kapas yang
dibasahi kokain biasanya akan cukup menimbulkan efek anestesi dan
vasokonstriksi. Sekarang bekuan darah dapat di aspirasi. Bila sumbernya
terlihat tempat asal perdarahan dikaustik dengan larutan Nitras Argenti 20-
30% atau dengan Asam Trikolasetat 10% atau dapat juga dengan
elektrokauter. Jika pembuluh menonjol pada kedua sisi septum diusahakan
agar tidak mengkauter daerah yang sama pada kedua sisi. Sekalipun
menggunakan zat kauterisasi dengan penetrasi rendah, namun daerah yang
dicakup kauterisasi harus dibatasi. Sebaliknya, maka dengan rusaknya silia
dan pembentukan epitel gepeng diatas jaringan parut sebagai jaringan
pengganti mukosa saluran nafas normal, akan terbentuk titik-titik
akumulasi dalam aliran lapisan mucus. Dengan melambatnya atau
terhentinya aliran mukus pada daerah-daerah yang sebelumnya mengalami
kauterisasi, akan terbentuk krusta pada septum. Pasien kemudian akan
mengorek hidungnya dengan megelupaskan krusta, mencederai lapisan
permukaan dan menyebabkan perdarahan baru. Menentukan lokasi
perdarahan mungkin semakin sulit pada pasien dengan deviasi septum
yang nyata dan perforasi septum
Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka
diperlukan pemasangan tampon anterior, dengan kapas atau kain kasa yang

13
diberi vaselin atau salap antibiotika. Tampon mudah dibuat dari lembaran
kasa steriil bervaselin, berukuran 72 x 0,5 inchi disusun dari dasar hingga
atap hidung meluas hingga keseluruh panjang rongga hidung. Pemakaian
vaselin atau salep pada tampon berguna agar tampon tidak melekat, untuk
menghindari berulangnya perdarahan ketika tampon dicabut. suatu tampon
hidung anterior harus memenuhi seluruh rongga hidung.

Gambar 5. Tampon anterior

Tampon dimasukkan sebanyak 2-4 buah, disusun dengan teratur dan


harus dapat menekan asal perdarahan. Tampon dipertahankan selama 2x24
jam, harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung. Jika lokasi
perdarahan telah ditemukan, vasokonstriktor harus diberikan bersamaan
dengan obat-obat topikal seperti larutan kokain 4% atau oxymetazolin atau
phenylephrine. Perdarahan yang lebih aktif perlu diberikan anestesi topikal
yang adekuat. Obat-obat intravena bisa diberikan pada kasus yang sulit
atau pada penderita yang cemas.2
b. Perdarahan Posterior
Tempat perdarahan tidak mudah dikenal pada epistaksis posterior.
Penting menempatkan pasien dengan tepat. Kecuali hipovolemia, ia harus
duduk tegak, sehingga darah tidak menuju kembali ke tenggorokkannya
Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pemasangan
tampon posterior yang disebut tampon bellocq. Tampon ini harus tepat
menutup koana (nares posterior). Tampon Bellocq terbuat dari kassa pada
berbentuk bulat atau kubus dengan ukuran 3x2x2 cm. Pada tampon ini

14
terdapat 3 utas benang , yaitu 2 utas pada satu sisi dan seutas benang pada
sisi yang lain.
Untuk memasang tampon Bellocq dimasukkan kateter karet melalui
nares anterior sampai tampak di orofaring dan kemudian ditarik ke luar
melalui mulut. Ujung kateter kemudian diikat pada dua buah benang yang
terdapat pada satu sisi tampon Bellocq dan kemudian kateter ditarik keluar
hidung. Benang yang telah keluar melalui hidung kemudian ditarik,
sedang jari telunjuk tangan yang lain membantu mendorong tampon ini
kearah nasofaring. Jika masih terjadi perdarahan dapat dibantu dengan
pemasangan tampon anterior, kemudian diikat pada sebuah kain kasa yang
diletakkan didepan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di
nasofaring tidak bergerak. Benang yang terdapat pada rongga mulut terikat
pada sisi lain dari tampon Bellocq, diletakkan pada pipi pasien.Gunanya
untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. Hati-hati
mencabut tampon karena dapat menyebabkan laserasi mukosa. Selama
pemasangan itu pasien akan terganggu kenyamananya dan perlu diberi
sedative dan analgetika.
Sebagai pengganti tampon bellocq, dapat digunakan kateter folley
dengan balon. Akhir-akhir ini juga banyak tersedia tampon buatan pabrik
dengan balon yang khusus untuk hidung atau tampon dari bahan gel
hemostatik.
Pada epistaksis yang berat dan berulang yang tidak dapat diatasi
dengan pemasangan tampon anterior maupun posterior, dilakukan ligasi
arteri. Ligasi arteri etmoid anterior dan posterior dapat dilakukan dengan
membuat sayatan didekat kantus medius dan kemudian mencari kedua
pembuluh darah tersebut didinding medial orbita. Ligasi arteri maksila
interna yang tetap di fossa pterigomaksila dapat dilakukan melalui operasi
Caldwell-Luc dan kemudian mengangkat dinding posterior sinus maksila.
Dengan semakin meningkatnya pemakaian endoskop, akhir-akhir ini
juga dikembangkan teknik kauterisasi atau ligasi arteri sfenopalatina
dengan panduan endoskop.

15
Gambar 6. Tampon Posterior

7. Komplikasi 2
Dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha
penanggulangannya. Sebagai akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan
anemia. Tekanan darah yang turun mendadak dapat menimbulkan iskemia
otak, insufisiensi koroner dan infark miokard dan akhirnya kematian. Harus
segera dilakukan pemberian infus atau transfusi darah.
Komplikasi lain terjadi aspirasi yaitu darah tersedak masuk ke dalam paru-
paru.Pemasangan tampon dapat menimbulkan sinustis, otitis media, bahkan
septikemia. Oleh karena itu pada setiap pemasangan tampon harus selalu
diberikan antibiotik dan setelah 2-3 hari harus dicabut meskipun akan
dipasang tampon baru bila masih berdarah. Selain itu dapat juga terjadi
hemotimpanum sebagai akibat mengalirnya darah retrograd melalui tuba
Eustachius dan air mata yang berdarah (bloody tears) sebagai akibat
mengalirnya darah secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis. Pada waktu
pemasangan tampon Bellocq dapat terjadi laserasi palatum mole dan sudut
bibir karena benang terlalu kencang dilekatkan.

8. Prognosis

16
Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri.
Pada pasien hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan
hebat, sering kambuh dan prognosisnya buruk.

C. Massa Cavum Nasi


Tumor jinak pada hidung dan sinus paranasal sering ditemukan, tetapi
tumor yang ganas termasuk jarang, hanya 3% dari tumor kepala dan leher atau
kurang dari 1% dari seluruh tumor ganas. Gejala-gejala dan tanda klinis semua
tumor hidung dan sinus paranasal hampir mirip sehingga seringkali hanya
pemeriksaan histopatologi saja yang dapat menentukan jenisnya. Lokasi
hidung dan sinus paranasal (sinonasal) merupakan rongga yang dibatasi oleh
tulang-tulang wajahyang merupakan daerah yang terlindung sehingga
karsinoma yang timbul di daerah ini sulit diketahuisecara dini. Hidung dan
sinus paranasal merupakan rongga yang saling berhubungan dan seringkali
tumor ditemukan pertama kali pada stadium yang sudah lanjutdan sudah
memenuhi rongga hidung dan seluruh sinus paranasal. 9,10
Lokasi rongga hidung dan sinus paranasal membuat tumor sangat dekat
dengan struktur vital. Masalah ini diperburuk oleh fakta bahwa manifestasi
awal yang terjadi (misalnya epistaksis unilateral, obstruksi nasi) mirip dengan
kondisi awal yang umum dikeluhkan tanpa adanya keluhan spesifik lainnya.
Oleh karena itu, pasien dan dokter sering mengabaikan atau meminimalkan
presentasi awal dari tumor dan mengobati tahap awal tumor ganassebagai
gangguan sinonasal jinak. Tumor ganas hidung dan sinus paranasal termasuk
tumor yang sukar diobati secara tuntas dan angka kesembuhan masih sangat
rendah. Pasien dengan tumor ganas sinonasal ditangani oleh tim spesialis
menggunakan pendekatan holistik multidisiplin ilmu. Pengobatan dapat
berupa pembedahan, kemoterapi dan radioterapi. 9,10
1. Etiologi dan Faktor Resiko 11
Perubahan dari sel normal menjadi sel kanker dipengaruhi oleh banyak
faktor (multifaktor) dan bersifat individual atau tidak sama pada setiap
orang. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya tumor
sinonasal antara lain :

17
1. Penggunaan tembakau. Penggunaan tembakau (termasuk di dalamnya
adalah rokok, cerutu, rokok pipa, mengunyah tembakau, menghirup
tembakau) adalah faktor resiko terbesar penyebab kanker pada kepala
dan leher.
2. Alkohol. Peminum alkohol berat dengan frekuensi rutin
3. Inhalan spesifik. Menghirup substansi tertentu, terutama pada
lingkungan kerja, dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker kavum
nasi dan sinus paranasal, termasuk diantaranya adalah :
a. Debu yang berasal dari industri kayu, tekstil, pengolahan kulit/kulit
sintetis, dan tepung.
b. Debu logam berat : kromium, asbes
c. Uap isoprofil alkohol, pembuatan lem, formaldehyde, radium
d. Uap pelarut (gas mustard dan isopropanolol) yang digunakan
dalam memproduksi furniture dan sepatu.
4. Sinar ionisasi : Sinar radiasi; Sinar UV
5. Virus : Virus HPV, Virus Epstein-barr
6. Usia. Penyakit keganasan ini lebih sering didapatkan pada usia antara
45 tahun hingga 85 tahun.
7. Jenis Kelamin. Keganasan pada kavum nasi dan sinus paranasalis
ditemukan dua kali lebih sering pada pria dibandingkan pada wanita.
8. Paparan terhadap thorotrast yang merupakan zat kontras untuk
pemeriksaan radiologi sinus maxilla karena mengandung thorium
radioaktif.
2. Patofisiologi12
Perubahan dari sel normal menjadi sel kanker dipengaruhi oleh
multifaktor seperti yang sudah dipaparkan diatas dan bersifat individual.
Faktor resiko terjadinya tumor sinonasal semisal bahan karsinogen seperti
bahan kimia inhalan, debu industri, sinar ionisasi dan lainnya dapat
menimbulkan kerusakan ataupun mutasi pada gen yang mengatur
pertumbuhan tubuh yaitu gen proliferasi dan diferensiasi. Dalam proses
diferensiasi ada dua kelompok gen yang memegang peranan penting, yaitu
gen yang memacu diferensiasi (proto-onkogen) dan yang menghambat
diferensiasi (anti-onkogen). Untuk terjadinya transformasi dari satu sel
normal menjadi sel kanker oleh karsinogen harus melalui beberapa fase
yaitu fase inisiasi dan fase promosi serta progresi.

18
Pada fase inisiasi terjadi perubahan dalam bahan genetik sel yang
memancing sel menjadi ganas akibat suatu onkogen, sedangkan pada fase
promosi sel yang telah mengalami inisiasi akan berubah menjadi ganas
akibat terjadinya kerusakan gen. Sel yang tidak melewati tahap inisiasi
tidak akan terpengaruh promosi sehingga tidak berubah menjadi sel
kanker. Inisiasi dan promosi dapat dilakukan oleh karsinogen yang sama
atau diperlukan karsinogen yang berbeda.Sejak terjadinya kontak dengan
karsinogen hingga timbulnya sel kanker memerlukan waktu induksi yang
cukup lama yaitu sekitar 15-30 tahun. Pada fase induksi ini belum timbul
kanker namun telah terdapat perubahan pada sel seperti displasia. Fase
selanjutnya adalah fase in situ dimana pada fase ini kanker mulai timbul
namun pertumbuhannya masih terbatas jaringan tempat asalnya tumbuh
dan belum menembus membran basalis. Fase in situ ini berlangsung
sekitar 5-10 tahun.
Sel kanker yang bertumbuh ini nantinya akan menembus membrane
basalis dan masuk ke jaringan atau organ sekitarnya yang berdekatan atau
disebut juga dengan fase invasif yang berlangsung sekitar 1-5 tahun. Pada
fase diseminasi (penyebaran) sel-sel kanker menyebar ke organ lain seperti
kelenjar limfe regional dan atau ke organ-organ jauh dalam kurun waktu 1-
5 tahun.Sel-sel kanker ini akan tumbuh terus tanpa batas sehingga
menimbulkan kelainan dan gangguan. Sel kanker ini akan mendesak
(ekspansi) ke sel-sel normal sekitarnya, mengadakan infiltrasi, invasi, serta
metastasis bila tidak didiagnosis sejak dini dan di berikan terapi.

3. Diagnosis
a. Anamnesis 9
Anamnesis yang lengkap dan menyeluruh sangat diperlukan dalam
penegakkan diagnosis keganasan di hidung dan sinus paranasal. Kurang
lebih 9-12 % keganasan di hidung dan sinus paranasalstadium awal
bersifat asimptomatis. Riwayat terpapar bahan-bahan kimia karsinogen

19
yang dihubungkan dengan pekerjaan atau lingkungan perlu diketahui
untuk mencari kemungkinan faktor resiko.
Gejala yang dikeluhkan oleh pasien tergantung dari asal primer tumor
serta arah dan perluasannya. Tumor di dalam sinus maxilla biasanya tanpa
gejala. Gejala yang timbul setelah tumor besar mendorong atau menembus
dinding tulang meluas ke rongga hidung, rongga mulut, pipi atau orbita.
Gejala yang dikeluhkan dapat dikategorikan sebagai berikut:
1 Gejala nasal.
Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rinorea. Jika ada
Sekret, sering sekret yang timbul bercampur darah atau terjadi epistaksis.
Tumor yang besar dapat mendesak tulang hidung sehingga terjadi
deformitas hidung. Khas pada tumor ganas ingusnya berbau karena
mengandung jaringan nekrotik.
2 Gejala orbital.
Perluasan tumor kearah orbita menimbulkan gejala diplopia, proptosis
atau penonjolan bola mata, oftalmoplegia, gangguan visus dan epifora.
3 Gejala oral.
Perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan penonjolan atau ulkus
di palatum atau di prosesus alveolaris. Pasien mengeluh gigi palsunya
tidak pas lagi atau gigi geligi goyah. Seringkali pasien datang ke dokter
gigi karena nyeri di gigi, tetapi tidak sembuh meskipun gigi yang sakit
telah dicabut.
4 Gejala fasial
Perluasan tumor akan menyebabkan penonjolan pipi, disertai nyeri,
anesthesia atau parestesia muka jika sudah mengenai nervus trigeminus.
5 Gejala intracranial
Perluasan tumor ke intrakranial dapat menyebabkan sakit kepala hebat,
oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat disertai likuorea, yaitu cairan
otak yang keluar melalui hidung ini terjadi apabila tumor sudah
menginvasi atau menembus basis cranii. Jika perluasan sampai ke fossa
kranii media maka saraf otak lainnya bisa terkena. Jika tumor meluas ke
belakang, terjadi trismus akibat terkenanya muskulus pterigoideus disertai

20
anestesia dan parestesia daerah yang dipersarafi nervus maksilaris dan
mandibularis.
b. Pemeriksaan Fisis
Saat memeriksa pasien, pertama-tama perhatikan wajah pasien apakah
terdapat asimetri atau distorsi. Jika ada proptosis, perhatikan arah
pendorongan bola mata. Jika mata terdorong ke atas, berarti tumor berasal
dari sinus maxilla, jika ke bawah dan lateral berarti tumor berasal dari
sinus frontal atau etmoid. Selanjutnya periksa dengan seksama kavum nasi
dan nasofaring melalui rinoskopi anterior dan posterior. Permukaan yang
licin merupakan pertanda tumor jinak sedangkan permukaan yang
berbenjol-benjol, rapuh dan mudah berdarah merupakan pertanda tumor
ganas.
Jika dinding lateral kavum nasi terdorong ke medial berarti tumor
berada di sinus maksila. Untuk memeriksa rongga oral, disamping inspeksi
lakukan juga palpasi gusi rahang atas dan palatum, apakah ada nyeri tekan,
penonjolan atau gigi goyang. Pemeriksaan nasoendoskopi dan sinuskopi
dapat membantu menemukan tumor padastadium dini. Kita juga harus
memeriksa telinga adakah tuli konduktif unilateral tanpa kelainan telinga
dan kelainan saraf cranial. Adanya pembesaran kelenjar leher juga perlu
dicari meskipun tumor ini jarang bermetastasis ke kelenjar leher.
c. Pemeriksaan Penunjang12
1) Pemeriksaan Biopsi
Biopsi adalah pengangkatan sejumlah kecil jaringan untuk
pemeriksaan dibawah mikroskop. Apusan sampel di ambil untuk
mengevaluasi sel, jaringan, dan organ untuk mendiagnosa penyakit. Ini
merupakan salah satu cara untuk mengkonfirmasi diagnosis apakah tumor
tersebut jinak atau ganas. Untuk yang ukuran kecil, tumor dapat diangkat
seluruhnya, sedangkan untuk ukuran besar maka tumor hanya diambil
sebagian untuk contoh pemeriksaan tumor yang sudah diangkat.
Hasil pemeriksaan patologi anatomi (PA) dengan cara seperti inilah
yang dijadikan gold standart atau diagnosis pasti suatu tumor. Bila
hasilnya jinak, maka selesailah pengobatan tumor tersebut, namun bila

21
ganas atau kanker, maka ada tindakan pengobatan selanjutnya apakah
berupa operasi kembali atau diberikan kemoterapi atau radioterapi.
2) Pemeriksaan X-ray
Pada pemeriksaan X-ray sinus paranasal ada 4 macam posisi yang
perlu untuk mendapat hasil yang baik. Pertama, posisi waters paling baik
untuk melihat sinus maxilla. Kedua, posisi Caldwell untuk melihat sinus
etmoid dan orbita. Ketiga, posisi lateral untuk melihat sinus sphenoid dan
dinding anterior dan posterior sinus frontal dan maxilla. Keempat, posisi
submentovertex untuk melihat sinus sphenoid dan etmoid posterior.Normal
sinus x-ray dapat menunjukkan sinus dipenuhi dengan gambaran seperti
udara.. Tanda-tanda kanker pada pemeriksaan x-ray sebaiknya
dikonfirmasi dengan pemeriksaan CT scan.

Gambar 7 .Foto polos kepala tampak kista didalam sinus maksilaris

3) CT - Scan
CT-Scan lebih akurat dari pada plain film untuk menilai struktur tulang
sinus paranasal. Pasien beresiko tinggi dengan riwayat terpapar
karsinogen, nyeri persisten yang berat, neuropati kranial, eksoftalmus,
kemosis, penyakit sinonasal dan dengan gejala persisten setelah
pengobatan medis yang adekuat seharusnya dilakukan pemeriksaan
dengan CT scan axial dan coronal dengan kontras. CT scan merupakan
pemeriksaan superior untuk menilai batas tulang traktus sinonasal dan
dasar tulang tengkorak. Penggunaan kontras dilakukan untuk menilai
tumor, vaskularisasi dan hubungannya dengan arteri karotis.

22
Gambar 8. CT Scan Sinus Paranasal menunjukkan sebuah tumor yang
berbentuk lobus tajam sehingga terjadi peningkatan di kedua rongga
hidung yang dapat meluas ke sinus etmoid, sinus sphenoid dan nasofaring.
Lesi menonjol ke dalam orbita kiri dan kedua sinus maksilaris

4) Pemeriksaan MRI
MRI menggunakan medan magnet. Dipergunakan untuk
membedakan daerah sekitar tumor dengan jaringan lunak, membedakan
sekret di dalam nasal yang tersumbat yang menempati rongga nasal,
menunjukkan penyebaran perineural, membuktikan temuan imaging pada
sagital plane, dan tidak melibatkan paparan terhadap radiasi ionisasi.
Coronal MRI image terdepan untuk mengevaluasi foramen rotundum,
vidian canal, foramen ovale dan kanalis optik. Sagital image berguna
untuk menunjukkan replacement signal berintensitas rendah yang normal
dari Meckel cave signal berintensitas tinggi dari lemak di dalam fossa
pterygopalatine oleh signal tumor yang mirip dengan otak. (1,12)

23
Gambar 9. a.CT-Scan terlihat karsinoma sinonasal ekstensif dengan
destruksi tulang anterior dan sekitar tulang orbita;b Coronal MRI;c Sagittal
MRI;d Axial MRI.

5) Pemeriksaan Positron Emission Tomography (PET)


PET scan adalah cara untuk membuat gambar organ dan jaringan
dalam tubuh. Sejumlah kecil zat radioaktif disuntikkan ke tubuh pasien.
Zat ini diserap terutama oleh organ dan jaringan yang menggunakan lebih
banyak energi. Karena kanker cenderung menggunakan energi secara aktif,
sehingga menyerap lebih banyak zat radioaktif. Scanner kemudian
mendeteksi zat ini untuk menghasilkan gambar bagian dalam tubuh.Sering
digunakan untuk keganasan kepala dan leher untuk staging dan
surveillance.
d. Staging12
Sistem TNM adalah suatu cara untuk melukiskan stadium kanker.
Sistem TNM didasarkan atas 3 kategori. Masingmasing kategori dibagi
lagi menjadi subkategori untuk melukiskan keadaan masing masing pada
T(tumor, sampai dimana perluasannya), N (nodul, kelenjar limfe regional
yang terkena), dan M (metastasis). Pembuatan sistem klasifikasi berguna
untuk mrencanakan terapi, meramalkan prognosis, mengevaluasi hasil
pengobatan, keseragaman informasi antar sentra di dunia dan membantu
penelitian mengenai tumor ganas.

24
e. Penatalaksanaan12
Pasien dengan kanker sinus paranasal biasanya dirawat oleh tim
spesialis menggunakan pendekatan holistik multidisiplin ilmu. Setiap
pasien menerima rencana pengobatan yang disesuaikan untuk memenuhi
kebutuhannya. Pilihan pengobatan utama untuk tumor sinus paranasal
meliputi:
1) Pembedahan
Terapi bedah yang dilakukan biasanya adalah terapi kuratif dengan
reseksi bedah. Pengobatan terapi bedah ini umumnya berdasarkan staging
dari masing-masing tumor. Secara umum, terapi bedah dilakukan pada lesi
jinak atau lesi dini (T1-T2). Terkadang, pembedahan dengan margin/batas
yang luas tidak dapat dilakukan karena dekatnya lokasi tumor dengan
struktur-struktur penting pada daerah kepala, serta batas tumor yang
tidakjelas. Radiasi post operatif sangat dianjurkan untuk mengurangi
insiden kekambuhan lokal. Pada beberapa kasus eksisi paliatif ataupun

25
debulking perlu dilakukan untuk mengurangi nyeri yang hebat, ataupun
untuk membebaskan dekompresi saraf optik dan rongga orbita, serta untuk
drainase sinus paranasalis yang mengalami obstruksi.
Tumor yang berlokasi di kavum nasi dapat dilakukan berbagai
pendekatan bedah seperti reseksi endoskopi nasal, transnasal, sublabial,
sinus paranasalis, lateral rhinotomy atau kombinasi dari bedah endoskopi
dan bedah terbuka (open surgery). Dalam memilih terapi bedah yang
optimal, seorang ahli harus mempertimbangkan dengan seksama dalam
memilih pendekatan endonasal daripada prosedur klasik yaitu melalui
pendekatan rhinostomi lateral, rhinostomi medial, transfasial, transoral,
dan midfacial degloving. Jenis reseksi pada tumor rongga hidung dan
sinus paranasal ditentukan oleh lokasi lesi dan perluasannya. Tumor yang
berasal dari dalam sinus maxilaris diangkat dengan cara maxilektomi.
Menurut MSKCC, maksilektomi dibagi menjadi IV yaitu defek tipe 1 (
maksilektomi terbatas) terdiri dari reseksi pada satu atau dua dinding
maksila kecuali palatal. Pada kebanyakan pasien, dinding anterior
sebagian dibuang beserta dengan salah satu dinding tengah atau dasar
orbita. Defek tipe II (maksilektomi subtotal) meliputi reseksi pada
lengkung maksila, palatal, dinding anterior dan lateral (lima dinding
dasar), dengan tetap menjaga dasar orbita. Defek tipe III (maksilektomi
total) meliputi reseksi keenam dinding maksila. Defek tipe ini dibagi
menjadi 2 tipe yaitu tipe IIIa, dimana isi orbita tetap dijaga dan tipe IIIb,
dimana isi orbita diikutsertakan. Defek tipe IV (orbitomaksilektomi)
meliputi reseksi pada isi orbita dan kelima dinding atas maksila dengan
tetap menjaga bagian palatal. (1,7,12)

26
Gambar 10. Jenis Maksilektomi

Kontraindikasi absolut untuk terapi pembedahan adalah pasien dengan


gangguan nutrsi, adanya metastasis jauh, invasi tumor ganas ke fascia
prevertebral, ke sinus kavernosus, dan keterlibatan arteri karotis pada
pasien-pasien dengan resiko tinggi, serta adanya invasi bilateral tumor ke
nervus optik dan chiasma optikum. Keuntungan dari pendekatan bedah
endoskopik adalah mencegah insisi pada daerah wajah, angka morbiditas
rendah, dan lamanya perawatan di rumah sakit lebih singkat.
Reseksi luas dari tumor kavum nasi dan sinus paranasalis dapat
menyebabkan kecacatan/kerusakan bentuk wajah, gangguan berbicara dan
kesulitan menelan. Tujuan utama dari rehabilitasi post pembedahan adalah

27
penyembuhan luka, penyelamatan/preservasi dan rekonstruksi dari bentuk
wajah, restorasi pemisahan oronasal, hingga memfasilitasi kemampuan
berbicara, menelan, dan pemisahan kavum nasi dan kavum cranii.
2) Radioterapi
Terapi radiasi juga disebut radioterapi kadang-kadang digunakan
sendiri pada stadium I dan II, atau dalam kombinasi dengan operasi dalam
setiap tahap penyakit sebagai adjuvant radioterapi (terapi radiasi yang
diberikan setelah dilakukannya terapi utama seperti pembedahan).Pada
tahap awal kanker sinus paranasal, radioterapi dianggap sebagai
terapilokal alternatif untuk operasi. Radioterapi melibatkan penggunaan
energi tinggi, penetrasi sinar untuk menghancurkan sel-sel kanker di zona
yang akan diobati. Terapi radiasi jugadigunakan untuk terapi paliatif pada
pasien dengan kanker tingkatlanjut. Jenis terapi radiasi yang diberikan
dapat berupa teleterapi (radiasi eksternal) maupun brachyterapi (radiasi
internal).Pemberian radioterapi didasarkan pada jenis histopatologi karena
ada yang bersifat radiosensitif dan sebaliknya.
3) Kemoterapi
Kemoterapi biasanya diperuntukkan untuk terapi tumor stadium lanjut.
Selain terapi lokal, upaya terbaik untuk mengendalikan sel-sel kanker
beredar dalam tubuh adalah dengan menggunakan terapi sistemik (terapi
yang mempengaruhi seluruh tubuh) dalam bentuk suntikan atau obat oral.
Bentuk pengobatan ini disebut kemoterapi dan diberikan dalam siklus
(setiap obat atau kombinasi obat-obatan biasanya diberikan setiap tiga
sampai empat minggu). Tujuan kemoterapi untuk terapi tumor sinonasal
adalah sebagai terapi tambahan (baik sebagai adjuvant maupun
neoadjuvant), kombinasi dengan radioterapi (concomitant), ataupun
sebagai terapi paliatif.
Kemoterapi dapat mengurangi rasa nyeri akibat tumor, mengurangi
obstruksi, ataupun untuk debulking pada lesi-lesi masif eksternal.
Pemberian kemoterapi dengan radiasi diberikan pada pasien-pasien dengan
resiko tinggi untuk rekurensi seperti pasien dengan hasil PA margin tumor

28
positif setelah dilakukan reseksi, penyebaran perineural, ataupun
penyebaran ekstrakapsular pada metastasis regional.
f.
Komplikasi13,14
Komplikasi keganasan sinus terkait dengan pembedahan dan
rekonstruksi. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi yaitu :
1 Perdarahan : untuk menghindari perdarahan arteri etmoid anterior
dan posterior dan arteri sfenopalatina dapat dikauter atau diligasi.
2 Kebocoran cairan otak : cairan otak dapat bocor dekat dengan basis
cranii.Tanda dan gejala yang terjadi termasuk rinorhea yang jernih,
rasa asin dimulut, dan tanda halo. Perawatan konservatif dengan tirah
baring dandrainase lumbal dapat dilakukan selama 5 hari bersama
antibiotik. Jika gagal, harus dilakukan intervensi pembedahan.
3 Epifora : hal ini sering terjadi saat pembedahan disebabkan oleh
obstruksi pada aliran traktus lakrimalis. Endoskopik lanjutan dan
tindakan dakriosisto rhinostomi mungkin perlu dilakukan.
4 Diplopia : perbaikan dasar orbita yang tepat adalah kunci
untuk menghindari komplikasi ini. Jika terjadi diplopia, penggunaan
kacamata prisma merupakan terapi yang paling sederhana.
g.
Prognosis13,14
Pada umumnya prognosis kurang baik. Banyak sekali faktor yang
mempengaruhi prognosis keganasan pada sinonasal. Faktor-faktor tersebut
seperti perbedaan diagnosis histologi, asal tumor primer, perluasan tumor,
pengobatan yang diberikan sebelumnya, status batas sayatan, terapi
adjuvan yang diberikan, status imunologis, lamanya follow up dan banyak
lagi faktor lain yang dapat berpengaruh terhadap agresifitas penyakit dan
hasil pengobatan yang tentunya berpengaruh juga terhadap prognosis
penyakit ini. Pengobatan multimodalitas akan memberikan hasil yang
terbaik dalam mengontrol tumor primer dan akan meningkatkan angka
ketahanan hidup 5 tahun sebesar 75% untuk seluruh stadium tumor.

29

Anda mungkin juga menyukai