Anda di halaman 1dari 14

REFERAT

GANGGUAN SOMATIK

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Referat

Kepaniteraan KlinikIlmuKesehatanJiwa

Disusun oleh:
Inayah
I 111 11 027

Pembimbing:
dr. Lollytha C. Simanjuntak, Sp. KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA


RUMKIT TK. II 03.05.01 DUSTIRA CIMAHI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2017
LEMBAR PERSETUJUAN

Telah disetujui Referat dengan judul:


Gangguan Somatik

Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa

Telah disetujui,

Cimahi, Mei 2017

Pembimbing Disusun Oleh:

dr. Lollytha C. Simanjuntak, Sp. KJ Inayah


I11111027

BAB I
PENDAHULUAN

Gangguan somatisasi telah dikenal sejak jaman Mesir kuno. Nama awal
untuk gangguan somatisasi adalah histeria, suatu keadaan yang secara tidak tepat
diperkirakan hanya mengenai wanita, (kata Histeria di dapatkan dari kata
bahasa Yunani untuk rahim, Hystera). Pada abad ke-17 Thomas Syndenham
menemukan bahwa faktor psikologis yang dinamakannya penderitaan yang
mendahului (antecendent sorrow), terlibat dalam patogenesis gejala gangguan
somatisasi.
Pada tahun 1859 Paul Briquet, seorang dokter Prancis, mengamati
banyaknya gejala dan sistem organ yang terlibat dan perjalanan penyakit yang
biasanya kronis. Karena pengamatan klinis tersebut maka gangguan ini
dinamakan Sindroma Briquet. Akan tetapi sejak tahun 1980 sejak diperkenalkan
DSM edisi ketiga (DSM III) istilah Gangguan Somatisasi menjadi standar di
Amerika Serikat untuk gangguan yang ditandai oleh banyak keluhan fisik yang
mengenai banyak sistem organ.
Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki
gejala fisik (sebagai contohnya, nyeri, mual, dan pusing) dimana tidak dapat
ditemukan penjelasan medis yang adekuat. Gejala dan keluhan somatik ini cukup
serius untuk menyebabkan penderitaan emosional yang bermakna pada pasien
atau gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial
atau pekerjaan. Suatu diagnosis gangguan somatoform mencerminkan penilaian
klinisi bahwa faktor psikologis adalah suatu penyumbang besar untuk onset,
keparahan, dan durasi gejala. Gangguan somatoform tidak disebabkan oleh pura-
pura yang disadari atau gangguan buatan.1
Pada gangguan ini sering kali terlihat adanya perilaku mencari perhatian
(histrionik), terutama pada pasien yang kesal karena tidak berhasil membujuk
dokternya untuk menerima bahwa keluhannya memang penyakit fisik dan bahwa
perlu adanya pemeriksaan fisik yang lebih lanjut.2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki
gejala fisik (sebagai contohnya, nyeri, mual, dan pusing) dimana tidak dapat
ditemukan penjelasan medis yang adekuat.1
Pada gangguan somatoform, orang memiliki simptom fisik yang
mengingatkan pada gangguan fisik, namun tidak ada abnormalitas organik yang
dapat ditemukan sebagai penyebabnya. Gejala dan keluhan somatik menyebabkan
penderitaan emosional/gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi di
dalam peranan sosial atau pekerjaan. Gangguan somatoform tidak disebabkan
oleh pura-pura yang disadari atau gangguan buatan.1

2.2 Epidemiologi
Prevalensi gangguan somatisasi pada populasi umum diperkirakan 0,1
0,2 %, walaupun beberapa kelompok penelitian percaya bahwa angka
sesungguhnya mungkin mendekati 0,5 %. Prevalensi gangguan somatisasi pada
wanita di populasi umum adalah 1 2 %. Rasio penderita wanita dibanding laki-
laki adalah 5 berbanding 1 dan biasanya gangguan mulai pada usia dewasa muda
(sebelum usia 30 tahun). 3,4
Beberapa peneliti menemukan bahwa gangguan somatisasi seringkali
bersama-sama dengan gangguan mental lainnya. Sifat kepribadian atau gangguan
kepribadian yang seringkali menyertai adalah yang ditandai oleh ciri
penghindaran, paranoid, mengalahkan diri sendiri dan obsesif konpulsif. 3

2.3 Etiologi
Terdapat faktor psikososial berupa konflik psikologis di bawah sadar yang
mempunyai tujuan tertentu. Pada beberapa kasus ditemukan faktor genetik dalam
transmisi gangguan ini. Selain itu, dihubungkan pula dengan adanya penurunan
metabolisme (hipometabolisme) suatu zat tertentu di lobus frontalis dan hemisfer
non dominan.1
Secara garis besar, faktor-faktor penyebab dikelompokkan sebagai
berikut:3,4
a. Faktor-faktor Biologis
Ditemukan adanya penurunan metabolisme (hipometabolisme) suatu zat
tertentu di lobus frontalis dan hemisfer nondominan. Selain itu diduga terdapat
regulasi abnormal sistem sitokin yang mungkin menyebabkan beberapa gejala
yang ditemukan pada gangguan somatisasi.
b. Faktor Psikososial
Terdapat faktor psikososial berupa konflik psikis dibawah sadar yang
mempunyai tujuan tertentu. Rumusan psikososial tentang penyebab gangguan
melibatkan interpretasi gejala sebagai suatu tipe komunikasi sosial, hasilnya
adalah menghindari kewajiban (sebagai contoh: mengerjakan ke pekerjaan
yang tidak disukai), mengekspresikan emosi (sebagai contoh: kemarahan pada
pasangan), atau untuk mensimbolisasikan suatu perasaan atau keyakinan
(sebagai contoh: nyeri pada usus seseorang). Beberapa pasien dengan
gangguan somatisasi berasal dari rumah yang tidak stabil dan telah mengalami
penyiksaan fisik. Faktor sosial, kultural dan juga etnik mungkin juga terlibat
dalam perkembangan gangguan somatisasi.
c. Faktor genetika
Data genetik menunjukkan bahwa, setidaknya dalam beberapa keluarga,
transmisi gangguan somatisasi memiliki komponen genetik. Gangguan
somatisasi cenderung berjalan dalam keluarga dan terjadi pada 10 sampai 20
persen dari tingkat pertama kerabat perempuan dari pasien dengan gangguan
somatisasi. Di dalam keluarga, tingkat pertama kerabat laki-laki rentan
terhadap penyalahgunaan zat dan gangguan kepribadian antisosial. Satu studi
juga melaporkan tingkat kesesuaian 29 persen pada kembar monozigot dan 10
persen pada anak kembar dizigotik, suatu indikasi efek genetik. (1)
Para kerabat laki-laki wanita dengan gangguan somatisasi menunjukkan
peningkatan risiko gangguan kepribadian antisosial dan kelainan terkait
penggunaan narkoba. Memiliki orang tua kandung atau angkat dengan salah
satu dari ketiga gangguan meningkatkan risiko mengembangkan gangguan
kepribadian antisosial, gangguan terkait penggunaan narkoba, atau gangguan
somatisasi. (1)

2.4 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis gangguan ini adalah adanya keluhan-keluhan gejala
fisik yang berulang disertai permintaan pemeriksaan medik, meskipun sudah
berkali-kali terbukti hasilnya negatif dan juga telah dijelaskan dokternya bahwa
tidak ada kelainan yang mendasari keluhannya.1,4
Pasien dengan gangguan somatisasi memiliki banyak keluhan somatic dan
riwayat medis yang rumit dan panjang. Mual dan muntah (selain selama
kehamilan), kesulitan menelan, nyeri di lengan dan tungkai, nafas pendek tidak
berkaitan dengan olahraga, amnesia, dan komplikasi kehamilan serta menstruasi
adalah gejala yang paling lazim ditemui. Pasien sering meyakini bahwa mereka
telah sakit selama sebagian besar hidup mereka. 3
Beberapa orang biasanya mengeluhkan masalah dalam bernafas atau
menelan, atau ada yang menekan di dalam tenggorokan. Masalah-masalah
seperti ini dapat merefleksikan aktivitas yang berlebihan dari cabang simpatis
sistem saraf otonomik, yang dapat dihubungkan dengan kecemasan. Kadang kala,
sejumlah simptom muncul dalam bentuk yang lebih tidak biasa, seperti
kelumpuhan pada tangan atau kaki yang tidak konsisten dengan kerja sistem
saraf. Dalam kasus-kasus lain, juga dapat ditemukan manifestasi dimana
seseorang berfokus pada keyakinan bahwa mereka menderita penyakit yang
serius, namun tidak ada bukti abnormalitas fisik yang dapat ditemukan.1,5
Pada gangguan ini sering kali terlihat adanya perilaku mencari perhatian
(histrionik), terutama pada pasien yang kesal karena tidak berhasil membujuk
dokternya untuk menerima bahwa keluhannya memang penyakit fisik dan bahwa
perlu adanya pemeriksaan fisik yang lebih lanjut.6
Dalam kasus-kasus lain, orang berfokus pada keyakinan bahwa mereka
menderita penyakit serius, namun tidak ada bukti abnormalitas fisik yang dapat
ditemukan.1

2.5 Klasifikasi dan Diagnosis


Gangguan Somatoform berdasarkan PPDGJ III dibagi menjadi:6
F.45.0 gangguan somatisasi
1. Ada banyak dan berbagai gejala fisik yang tidak dapat dijelaskan adanya
kelainan fisik yang sudah berlangsung sekitar 2 tahun.
2. Selalu tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter
bahwa tidak ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan-keluhannya.
3. Terdapat disabilitas dalam fungsinya di masyarakat dan keluarga, yang
berkaitan dengan sifat keluhan-keluhannya dan dampaak daari perilakunya.

F.45.1 gangguan somatoform tak terperinci


1. Ada banyak keluhan-keluhan fisik yang bermacam-macam yang tidak dapat
dijelaskan atas dasar adanya kelainan fisik, yang sudah berlangsung sedikitnya
2 tahun.
2. Tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari bebarapa dokter bahwa tidak
ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhannya.
3. Terdapat disabilitas dalam fungsinya dimasyarakat dan keluarga, yang
berkaitan dengan sifat keluha-keluhannya dan dampak dari prilakunya

F.45.2 gangguan hipokondriasis


1. Keyakinan yg menetap adanya sekurang-kurangnya satu penyakit fisik yg
serius yg melandasi keluhan-keluhannya, meskipun pemerikasaan yg berulang-
ulang tidak menunjang adanya alasan fisik yg memadai, ataupun adanya
peokupasi yg menetap kemungkinan deformitas atau perubahan bentuk
penampakan fisiknya ( tidak sampai waham);
2. Tidak mau menerima nasehat atau dukungan penjelasan dari bebearap
dokter bahwa tidak ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yg melandasi
keluhan.

F.45.3 disfungsi otonomik somatoform


1. Adanya gejala-gejala bangkitan otonomik, seperti palpitasi, berkeringat,
tremor, muka panas/flushing, yg menetap dan mengganggu;
2. Gejala subjektif tambahan mengacu pada sistem atau orgab tertentu (gejala
tidak khas);
3. Preokupasi dengan dan penderitaan (disterss) mengenai kemungkinan
adanya gangguan yang serius (sering tidak begitu khas) dari sistem atau organ
tertentu, yg tidak terpengaruh oleh hasil pemeriksaan berulang, maupun
penjelasan dari para dokter;
4. Tidak terbukti adanya gangguan yg cukup berarti para struktur/fungsi dari
sistem atau organ yg dimaksud.

F.45.4 gangguan nyeri somatoform menetap


1. Keluhan utama adalah nyeri berat, menyiksa dan menetap, yang tidak
dapat dijelaskan sepenuhnya atas dasar proses fisiologik maupun adanya
gangguan fisik.
2. Nyeri timbul dalam hbungan dengan adanya konflik emosional atau
problem psikososial yg cukup jelas untuk dapat dijadikan alasan dalam
mempengaruhi terjadinya gangguan tersebut.
3. Dampaknya adalah meningkatnya perhatian dan dukungan, baik personal
maupun medis, untuk yang bersangkutan.

F.45.5 gangguan somatoform lainnya


1. Pada gangguan ini keluhan-keluhannya tidak melalui sistem saraf otonom,
dan terbatas secara spesifik pada bagian tubuh atau sistem tertentu. Ini sangat
berbeda dengan gangguan Somatisasi (F45.0) dan Gangguan Somatoform Tak
Terinci (F45.1) yg menunjukkan keluhan yg banyak dan berganti-ganti
2. Tidak ada kaitan dengan adanya kerusakan jaringan.
3. Gangguan berikut juga dimasukkan dalam kelompok ini:
a. globus hystericus (perasaan ada benjolan di kerongkongan yg
menyebabkan disfagia) dan bentuk disfagia lainnya.
b. Tortikolis psikogenik, dan gangguan gerakan spasmodik lainnya (kecuali
sindrom Tourette);
c. Pruritus psikogenik;
d. Dismenore psikogenik;
e. teet grinding

F.45.6 gangguan somatoform YTT


Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder
(DSM), kriteria gangguan somatisasi sebagai awitan gejala sebelum usia 30
tahun. Selama perjalanan gangguan, keluhan pasien harus memenuhi 4 gejala
nyeri, 2 gejala gastrointestinal, 1 gejala seksual, dan 1 gejala pseudoneurologik,
serta tak satu pun dapat dijelaskan melalui pemeriksaan fisik dan laboratorik.
Berikut kriteria diagnosis gangguan somatisasi menurut DSM-IV-TR:3

1. Riwayat banyak keluhan fisik, yang dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi
selama periode lebih dari beberapa tahun dan menyebabkan pencarian
pengobatan atau hendaya dalam fungsi sosial, pekerjaan dan fungsi penting
lainnya.
2. Tiap kriteria berikut harus memenuhi, dengan gejala individual yang terjadi
kapan pun selama perjalanan dari gangguan:
a. Empat gejala nyeri : riwayat nyeri berkaitan dengan sedikitnya 4 tempat
atau fungsi yang berbeda (mis: kepala, abdomen, punggung, sendi,
ekstremitas, dada, rektum, selama menstruasi, selama berhubungan seksual,
atau selama buang air kecil)
b. Dua gejala gastrointestinal : sedikitnya 2 riwayat gejala gastrointestinal
selain nyeri (mis: mual, kembung, muntah bukan karena kehamilan, diare,
atau intoleransi beberapa makanan berbeda)
c. Satu gejala seksual : sedikitnya 1 riwayat gejala seksual atau reproduktif
selain nyeri (mis: indiferens seksual, disfungsi ereksi atau ejakulasi, haid tak
teratur, perdarahan haid berlebihan, muntah sepanjang kehamilan)

d. Satu gejala pseudoneurologik : sekurangnya 1 riwayat gejala atau defisit


pseudoneurologik yang memberikan kesan adanya kondisi neurologik tak
terbatas pada nyeri (gejala konversi seperti gangguan koordinasi atau
keseimbangan, paralisis atau kelemahan lokal, sulit menelan atau merasa
ada gumpalan tenggorokan, afonia, retensi urin, halusinasi, kehilangan
sensasi rasa sakit dan raba, penglihatan kabur, buta, tuli, bangkitan; gejala
disosiatif seperti amnesia, hilang kesadaran bukan karena pingsan)

3. Baik (1) atau (2) :


a. Setelah penelusuran yang sesuai, tiap gejala pada kriteria b tak dapat
sepenuhnya dijelaskan sebagai akibat kondisi medik umum atau merupakan
efek langsung dari zat (mis: penyalahgunaan obat, pengobatan)
b. Apabila terdapat konsisi medik umum yang terkait, keluhan fisik atau
hendaya sosial atau pekerjaan yang diakibatkannya melebihi dari pada yang
diharapkan berdasarkan riwayat, penemuan fisik dan laboratorium
4. Gejala dihasilkan tanpa disengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan
buatan atau malingering).

2.6 Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan
1. Mencegah adopsi dari rasa sakit, invalidasi (tidak membenarkan
pemikiran/meyakinkan bahwa gejala hanya ada dalam pikiran tidak
untuk kehidupan nyata).
2. Meminimalisir biaya dan komplikasi dengan menghindari tes-tes
diagnossis, treatment, dan obat-obatan yang tidak perlu.
3. Melakukan kontrol farmakologis terhadap sindrom komorbid
(memperparah kondisi).

Strategi dan teknik psikoterapi dan psikososial


1. Pengobatan yang konsisten, ditangani oleh dokter yang sama
2. Buat jadwal regular dengan interval waktu kedatangan yang memadai
3. Memfokuskan terapi secara gradual dari gejala ke personal dan ke
masalah sosial.

Strategi dan teknik farmakologikal dan fisik


1. Diberikan hanya bila indikasinya jelas
2. Hindari obat-obatan yang bersifat adiksi
3. Anti anxietas dan antidepressant.
a. Golongan obat anxietas:
Golongan Benzodiazepin
1) Diazepam (Lovium, Mentalium, Valium dll.)
2) Chlordiazepoxide ( Cetabrium, Tensinyl, dll.)
3) Bromazepam (Lexotan)
4) Lorazepam (Ativan, Renaquil, Merlopan)
5) Alprazolam (Xanax, Alganax, Calmlet, dll.)
6) Clobazam (Frisium)
Golongan Non- Benzodiazepin
1) Buspirone (Buspar, Tran-Q, Xiety)
2) Sulpiride (Dogmatil-50)
3) Hydroxyzine (Iterax)

b. Golongan obat antidepresan


Golongan Tricyclic Compound
1) Amitriptyline (Amitriptyline)
2) Imipramine (Tofrani)
3) Clomipramine (Anafranil)
4) Tianeptine (stablon)
Golongan Tetracyclic Compound
1) Maprotiline (Ludiomil)
2) Mianserin (Tolvon)
3) Amoxapine (asendin)
Golongan Mono-Amine-Oxydase Inhibitor (MAOI)- Reversible
1) Moclobemide (Aurorix)
Golongan Selective Serotonin Re-Uptake Inhibitor (SSRI)
1) Sertraline (Zoloft)
2) Paroxetine (Seroxat)
3) Fluvoxamine (Luvox)
4) Fluoxetine (Prozac, Nopres)
5) Citalopram (Cipram)
Golongan atypical Antidepresants
1) Trazodone (Trazone)
2) Mirtazapine (Remeron)

2.7 Prognosis
Gangguan somatisasi merupakan gangguan yang berlangsung kronik,
berfluktuasi, menyebabkan ketidakmampuan dan sering kali disertai dengan
ketidakserasian dari perilaku sosial, interpersonal dan keluarga yang
berkepanjangan.3
Episode peningkatan keparahan gejala dan perkembangan gejala yang baru
diperkirakan berlangsung 6 9 bulan dan dapat dipisahkan dari periode yang
kurang simtomatik yang berlangsung 9 12 bulan. Tetapi jarang seorang pasien
dengan gangguan somatisasi berjalan lebih dari satu tahun tanpa mencari suatu
perhatian medis. 3
Seringkali terdapat hubungan antara periode peningkatan stress atau stress
baru dan eksaserbasi gejala somatik. 3 Prognosis gangguan somatisasi umumnya
sedang sampai buruk. 4

BAB III
KESIMPULAN

Gangguan somatisasi adalah salah satu gangguan somatoform spesifik


yang ditandai oleh banyaknya keluhan fisik/gejala somatik yang mengenai banyak
sistem organ yang tidak dapat dijelaskan secara adekuat berdasarkan pemeriksaan
fisik dan laboratorium. Prevalensi gangguan somatisasi pada populasi umum
diperkirakan 0,1 0,2 % dan biasanya gangguan mulai pada usia dewasa muda
(sebelum usia 30 tahun).
Penyebab ganggguan somatisasi tidak diketahui secara pasti tetapi diduga
terdapat faktor-faktor yang berperan terhadap timbulnya gangguan somatisasi
yakni faktor psikososial, faktor biologis dan faktor genetic. Ciri utama gangguan
somatisasi adalah adanya gejala-gejala fisik yang bermacam-macam (multiple),
berulang dan sering berubah-ubah, yang biasanya sudah berlangsung beberapa
tahun sebelum pasien datang ke psikiater. Jika gangguan somatisasi telah
didiagnosis, dokter yang mengobati pasien harus mendengarkan keluhan somatik
sebagai ekspresi emosional, bukannya sebagai keluhan medis. Pengobatan
psikofarmakologis diindikasikan bila gangguan somatisasi disertai dengan
gangguan penyerta.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan, H.I., Saddock, B.J., dan Grebb J.A.. Kaplan-Sadock Sinopsis Psikiatri
Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis Jilid 2. Jakarta: Binanupa Aksara.
2010.
2. Departemen Kesehatan R.I. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa di Indonesia III Cetakan Pertama. Jakarta: Direktorat
Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI. 1995
3. Sadock BJ. Sadock VA. Kaplan & Sadocks Synopsis of Psychiatry 10 th ed.
Lippincott Williams and Wilkins: Philadelphia. 2007. Page 635-638
4. Mansjoer, A.A., dkk: Kapita Selekta Kedokteran, Jilid I, Edisi ke-3, Media
Aesculapius FK-UI, Jakarta, 1999, hal:216-7.
5. Elvira, S. D., dkk (editor). Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesi. 2010
6. Departemen Kesehatan R.I. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa di Indonesia III Cetakan kedua. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI. 2013.

Anda mungkin juga menyukai