GANGGUAN SOMATIK
Kepaniteraan KlinikIlmuKesehatanJiwa
Disusun oleh:
Inayah
I 111 11 027
Pembimbing:
dr. Lollytha C. Simanjuntak, Sp. KJ
Telah disetujui,
BAB I
PENDAHULUAN
Gangguan somatisasi telah dikenal sejak jaman Mesir kuno. Nama awal
untuk gangguan somatisasi adalah histeria, suatu keadaan yang secara tidak tepat
diperkirakan hanya mengenai wanita, (kata Histeria di dapatkan dari kata
bahasa Yunani untuk rahim, Hystera). Pada abad ke-17 Thomas Syndenham
menemukan bahwa faktor psikologis yang dinamakannya penderitaan yang
mendahului (antecendent sorrow), terlibat dalam patogenesis gejala gangguan
somatisasi.
Pada tahun 1859 Paul Briquet, seorang dokter Prancis, mengamati
banyaknya gejala dan sistem organ yang terlibat dan perjalanan penyakit yang
biasanya kronis. Karena pengamatan klinis tersebut maka gangguan ini
dinamakan Sindroma Briquet. Akan tetapi sejak tahun 1980 sejak diperkenalkan
DSM edisi ketiga (DSM III) istilah Gangguan Somatisasi menjadi standar di
Amerika Serikat untuk gangguan yang ditandai oleh banyak keluhan fisik yang
mengenai banyak sistem organ.
Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki
gejala fisik (sebagai contohnya, nyeri, mual, dan pusing) dimana tidak dapat
ditemukan penjelasan medis yang adekuat. Gejala dan keluhan somatik ini cukup
serius untuk menyebabkan penderitaan emosional yang bermakna pada pasien
atau gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial
atau pekerjaan. Suatu diagnosis gangguan somatoform mencerminkan penilaian
klinisi bahwa faktor psikologis adalah suatu penyumbang besar untuk onset,
keparahan, dan durasi gejala. Gangguan somatoform tidak disebabkan oleh pura-
pura yang disadari atau gangguan buatan.1
Pada gangguan ini sering kali terlihat adanya perilaku mencari perhatian
(histrionik), terutama pada pasien yang kesal karena tidak berhasil membujuk
dokternya untuk menerima bahwa keluhannya memang penyakit fisik dan bahwa
perlu adanya pemeriksaan fisik yang lebih lanjut.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki
gejala fisik (sebagai contohnya, nyeri, mual, dan pusing) dimana tidak dapat
ditemukan penjelasan medis yang adekuat.1
Pada gangguan somatoform, orang memiliki simptom fisik yang
mengingatkan pada gangguan fisik, namun tidak ada abnormalitas organik yang
dapat ditemukan sebagai penyebabnya. Gejala dan keluhan somatik menyebabkan
penderitaan emosional/gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi di
dalam peranan sosial atau pekerjaan. Gangguan somatoform tidak disebabkan
oleh pura-pura yang disadari atau gangguan buatan.1
2.2 Epidemiologi
Prevalensi gangguan somatisasi pada populasi umum diperkirakan 0,1
0,2 %, walaupun beberapa kelompok penelitian percaya bahwa angka
sesungguhnya mungkin mendekati 0,5 %. Prevalensi gangguan somatisasi pada
wanita di populasi umum adalah 1 2 %. Rasio penderita wanita dibanding laki-
laki adalah 5 berbanding 1 dan biasanya gangguan mulai pada usia dewasa muda
(sebelum usia 30 tahun). 3,4
Beberapa peneliti menemukan bahwa gangguan somatisasi seringkali
bersama-sama dengan gangguan mental lainnya. Sifat kepribadian atau gangguan
kepribadian yang seringkali menyertai adalah yang ditandai oleh ciri
penghindaran, paranoid, mengalahkan diri sendiri dan obsesif konpulsif. 3
2.3 Etiologi
Terdapat faktor psikososial berupa konflik psikologis di bawah sadar yang
mempunyai tujuan tertentu. Pada beberapa kasus ditemukan faktor genetik dalam
transmisi gangguan ini. Selain itu, dihubungkan pula dengan adanya penurunan
metabolisme (hipometabolisme) suatu zat tertentu di lobus frontalis dan hemisfer
non dominan.1
Secara garis besar, faktor-faktor penyebab dikelompokkan sebagai
berikut:3,4
a. Faktor-faktor Biologis
Ditemukan adanya penurunan metabolisme (hipometabolisme) suatu zat
tertentu di lobus frontalis dan hemisfer nondominan. Selain itu diduga terdapat
regulasi abnormal sistem sitokin yang mungkin menyebabkan beberapa gejala
yang ditemukan pada gangguan somatisasi.
b. Faktor Psikososial
Terdapat faktor psikososial berupa konflik psikis dibawah sadar yang
mempunyai tujuan tertentu. Rumusan psikososial tentang penyebab gangguan
melibatkan interpretasi gejala sebagai suatu tipe komunikasi sosial, hasilnya
adalah menghindari kewajiban (sebagai contoh: mengerjakan ke pekerjaan
yang tidak disukai), mengekspresikan emosi (sebagai contoh: kemarahan pada
pasangan), atau untuk mensimbolisasikan suatu perasaan atau keyakinan
(sebagai contoh: nyeri pada usus seseorang). Beberapa pasien dengan
gangguan somatisasi berasal dari rumah yang tidak stabil dan telah mengalami
penyiksaan fisik. Faktor sosial, kultural dan juga etnik mungkin juga terlibat
dalam perkembangan gangguan somatisasi.
c. Faktor genetika
Data genetik menunjukkan bahwa, setidaknya dalam beberapa keluarga,
transmisi gangguan somatisasi memiliki komponen genetik. Gangguan
somatisasi cenderung berjalan dalam keluarga dan terjadi pada 10 sampai 20
persen dari tingkat pertama kerabat perempuan dari pasien dengan gangguan
somatisasi. Di dalam keluarga, tingkat pertama kerabat laki-laki rentan
terhadap penyalahgunaan zat dan gangguan kepribadian antisosial. Satu studi
juga melaporkan tingkat kesesuaian 29 persen pada kembar monozigot dan 10
persen pada anak kembar dizigotik, suatu indikasi efek genetik. (1)
Para kerabat laki-laki wanita dengan gangguan somatisasi menunjukkan
peningkatan risiko gangguan kepribadian antisosial dan kelainan terkait
penggunaan narkoba. Memiliki orang tua kandung atau angkat dengan salah
satu dari ketiga gangguan meningkatkan risiko mengembangkan gangguan
kepribadian antisosial, gangguan terkait penggunaan narkoba, atau gangguan
somatisasi. (1)
1. Riwayat banyak keluhan fisik, yang dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi
selama periode lebih dari beberapa tahun dan menyebabkan pencarian
pengobatan atau hendaya dalam fungsi sosial, pekerjaan dan fungsi penting
lainnya.
2. Tiap kriteria berikut harus memenuhi, dengan gejala individual yang terjadi
kapan pun selama perjalanan dari gangguan:
a. Empat gejala nyeri : riwayat nyeri berkaitan dengan sedikitnya 4 tempat
atau fungsi yang berbeda (mis: kepala, abdomen, punggung, sendi,
ekstremitas, dada, rektum, selama menstruasi, selama berhubungan seksual,
atau selama buang air kecil)
b. Dua gejala gastrointestinal : sedikitnya 2 riwayat gejala gastrointestinal
selain nyeri (mis: mual, kembung, muntah bukan karena kehamilan, diare,
atau intoleransi beberapa makanan berbeda)
c. Satu gejala seksual : sedikitnya 1 riwayat gejala seksual atau reproduktif
selain nyeri (mis: indiferens seksual, disfungsi ereksi atau ejakulasi, haid tak
teratur, perdarahan haid berlebihan, muntah sepanjang kehamilan)
2.6 Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan
1. Mencegah adopsi dari rasa sakit, invalidasi (tidak membenarkan
pemikiran/meyakinkan bahwa gejala hanya ada dalam pikiran tidak
untuk kehidupan nyata).
2. Meminimalisir biaya dan komplikasi dengan menghindari tes-tes
diagnossis, treatment, dan obat-obatan yang tidak perlu.
3. Melakukan kontrol farmakologis terhadap sindrom komorbid
(memperparah kondisi).
2.7 Prognosis
Gangguan somatisasi merupakan gangguan yang berlangsung kronik,
berfluktuasi, menyebabkan ketidakmampuan dan sering kali disertai dengan
ketidakserasian dari perilaku sosial, interpersonal dan keluarga yang
berkepanjangan.3
Episode peningkatan keparahan gejala dan perkembangan gejala yang baru
diperkirakan berlangsung 6 9 bulan dan dapat dipisahkan dari periode yang
kurang simtomatik yang berlangsung 9 12 bulan. Tetapi jarang seorang pasien
dengan gangguan somatisasi berjalan lebih dari satu tahun tanpa mencari suatu
perhatian medis. 3
Seringkali terdapat hubungan antara periode peningkatan stress atau stress
baru dan eksaserbasi gejala somatik. 3 Prognosis gangguan somatisasi umumnya
sedang sampai buruk. 4
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan, H.I., Saddock, B.J., dan Grebb J.A.. Kaplan-Sadock Sinopsis Psikiatri
Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis Jilid 2. Jakarta: Binanupa Aksara.
2010.
2. Departemen Kesehatan R.I. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa di Indonesia III Cetakan Pertama. Jakarta: Direktorat
Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI. 1995
3. Sadock BJ. Sadock VA. Kaplan & Sadocks Synopsis of Psychiatry 10 th ed.
Lippincott Williams and Wilkins: Philadelphia. 2007. Page 635-638
4. Mansjoer, A.A., dkk: Kapita Selekta Kedokteran, Jilid I, Edisi ke-3, Media
Aesculapius FK-UI, Jakarta, 1999, hal:216-7.
5. Elvira, S. D., dkk (editor). Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesi. 2010
6. Departemen Kesehatan R.I. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa di Indonesia III Cetakan kedua. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI. 2013.