Anda di halaman 1dari 13

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Adalah kelainan mata dimana lapisan sensori retina terlepas dari lapisan epitel
pigmen retina. Antara kedua lapisan tersebut tidak terdapat taut yang erat, sehingga
terjadi akumulasi cairan subretinal di antara kedua lapisan tersebut (Kanski,
2011;Ilyas, 2004).

B. Klasifikasi
Terdapat empat klasifikasi pada ablasio retina, antara lain yaitu:

1. Rhegmatogenous

a. Etiologi
Faktor risiko lebih tinggi didapatkan pada kelompok orang-orang
dengan miopia berat, afakia, usia lanjut, dan trauma. Khususnya yang
disebabkan oleh trauma sering terjadi pada individu berusia 25-45
tahun. Miopia tinggi (>5-6 dioptri) berhubungan dengan 67 % kasus
ablasio retina dan cenderung terjadi lebih muda dari pasien non miopia.
15 % kemungkinan akan berkembang pula pada mata yang lainnya.
Risiko sekitar 25-30 % pada pasien yang telah menjalani operasi katarak
pada kedua mata (Ilyas, 2004; Larkin, 2006).

b. Klasifikasi
Ablasio retina regmatogenosa dapat diklasifikasikan berdasarkan
patogenesis, morfologi dan lokasi. Berdasarkan patogenesisnya, dibagi
menjadi; (1) Tears, disebabkan oleh traksi vitreoretina dinamik dan
memiliki predileksi di superior dan lebih sering di temporal daripada
nasal.(2) Holes, disebabkan oleh atrofi kronik dari lapisan sensori retina,
dengan predileksi di daerah temporal dan lebih sering di superior
daripada inferior, dan lebih berbahaya dari tears. Berdasarkan
morfologi, dibagi menjadi; (1) U-tearsm, terdapat flap yang menempel
pada retina di bagian dasarnya, (2) incomplete U-tears, dapat berbentuk
L atau J, (3) operculated tears, seluruh flap robek dari retina, (4)
dialyses: robekan sirkumferensial sepanjang ora serata, (5) giant tears.

Gambar 1. Morfologi robekan pada ablasio retina regmatogenosa

Berdasarkan lokasi, dibagi menjadi; (1) oral, berlokasi pada


vitreous base, (2) post oral, berlokasi di antara batas posterior dari
vitreous base dan equator, (3) equatorial, (4) post equatorial: di
belakang equator (5) macular, di fovea (Kanski, 2011).

c. Patogenesis (Kanski, 2011)


Ablasio jenis ini terjadi akibat adanya rhegma atau robekan pada
lapisan retina sensorik (full thickness) sehingga cairan vitreus masuk ke
dalam ruang subretina. Pada tipe ini, gaya yang mencetuskan lepasnya
perlekatan retina melebihi gaya yang mempertahankan perlekatan
retina. Tekanan yang mempertahankan perlekatan retina, antara lain
tekanan hidrostatik, tekanan onkotik, dan transpor aktif. Hal yang
mempertahankan perlekatan retina yaitu (1) Tekanan intraokular
memiliki tekanan hidrostatik yang lebih tinggi pada vitreus
dibandingkan koroid. (2) Koroid memiliki tekanan onkotik yang lebih
tinggi karena mengandung substansi yang lebih dissolved dibandingkan
vitreus. (3) Pompa pada sel epitel pigmen retina secara aktif
mentranspor larutan dari ruang subretina ke koroid. Robekan retina
terjadi sebagai akibat dari interaksi traksi dinamik vitreoretina dan
adanya kelemahan di retina perifer dengan faktor predisposisi nya yaitu
degenerasi. synchysis, yaitu pada traksi vitreoretina dinamik, terjadi
likuefaksi dari badan vitreus yang akan berkembang menjadi lubang
pada korteks vitreus posterior yang tipis pada fovea. Cairan synchytic
masuk melalui lubang ke ruang retrohialoid. Akibatnya terjadi
pelepasan permukaan vitreus posterior dari lapisan sensori retina. Badan
vitreus akan menjadi kolaps ke inferior dan ruang retrohialoid terisi oleh
cairan synchitic. Proses ini dinamakan acute rhegmatogenous PVD with
collapse (acute PVD). Selain itu juga dapat terjadi sebagai akibat dari
komplikasi akut PVD (posterior vitreal detachment). Robekan yang
disebabkan oleh PVD biasanya berbentuk huruf U, berlokasi di superior
fundus dan sering berhubungan dengan perdarahan vitreus sebagai hasil
dari ruptur pembuluh darah retina perifer.

Gambar 2. Vitreous syneresis

Kebanyakan robekan terjadi di daerah perifer retina. Hal tersebut dapat


berhubungan dengan degenerasi retina perifer. Terdapat berbagai
macam degenerasi, antara lain:
1.) Degenerasi lattice
Biasa ditemukan pada pasien dengan sindrom Marfan,
sindrom Stickler, sindrom Ehler-Danlos. Ditandai dengan
bentuk retina yang sharply demarcated, circumferentially
orientated spindle shaped areas. Biasanya terdapat bilateral dan
lebih sering di daerah temporal dan superior.
2.) Degenerasi snailtrack
Degenerasi ini berbentuk snowflakes atau white frost like
appearance.
3.) Degenerasi retinoschisis
Pada degenerasi ini terjadi pemisahan antara lapisan sensori
retina menjadi 2 lapisan, yaitu lapisan koroidal dan lapisan
vitreus. Kejadian ini banyak berhubungan dengan hipermetrop.
4.) White-with-pressure, White-without-pressure.

Gambar 3. Degenerasi vitreoretinal


d. Gejala Klinis
Gejala utama yang ditimbulkan adalah fotopsia akibat stimulasi
mekanik pada retina. Fotopsia muncul dalam kurun waktu 24-48 jam
setelah terjadinya robekan retina. Fotopsia dapat diinduksi oleh gerakan
bola mata. Pasien akan merasa dapat melihat lebih jelas pada malam
hari. Biasanya fotopsia terdapat di bagian temporal perifer dari lapangan
penglihatan. Pada ablasio bagian supratemporal yang menyebabkan
terangkatnya macula, maka akan terjadi penurunan tajam penglihatan
yang mendadak. Keluhan lain yang khas adalah, floater, adanya
bayangan gelap pada vitreous akibat retina yang robek, darah dan sel
epitel pigmen retina yang masuk ke badan vitreus. Kekeruhan vitreus ini
terbagi atas 3 tipe, yaitu; (1) Weiss ring, floater yang soliter terdiri dari
annulus yang terlepas dari vitreus. (2) Cobwebs, disebabkan oleh
kondensasi serat kolagen di korteks vitreus yang kolaps. (3) Pancaran
seketika berupa titik hitam atau merah yang biasanya mengindikasikan
perdarahan vitreus akibat robekan pembuluh darah retina. Black
curtain, defek lapang penglihatan dirasakan oleh pasien mulai dari
perifer yang lama-lama hingga ke sentral. Keluhan ini dapat saja tidak
muncul di pagi hari karena cairan subretina diabsorbsi secara spontan
pada saat malam hari. Arah munculnya defek membantu dalam
menentukan lokasi dari robekan retina. Hilangnya penglihatan sentral
mungkin dikarenakan keterlibatan fovea.
Selanjutnya melalui pemeriksaan oftalmologis dapat ditemukan
adanya Marcus Gunn pupil, tekanan intraokular yang menurun, iritis
ringan, adanya gambaran tobacco dust atau Schaffer sign, robekan retina
pada funduskopi. Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat retina
yang terangkat berwarna pucat dengan pembuluh darah di atasnya dan
terlihat adanya robekan retina berwarna merah. Bila bola mata bergerak
akan terlihat retina yang terlepas bergoyang (Hardy, 2000; Kanski,2011;
Ilyas, 2004; Larkin, 2006)

Gambar 4. Tobacco dust

e. Tatalaksana
Prinsip penatalaksanaan dari ablasio retina adalah untuk melepaskan
traksi vitreoretina serta dapat menutup robekan retina yang ada.
Penutupan robekan dilakukan dengan melakukan adhesi korioretinal di
sekitar robekan melalui diatermi, krioterapi, atau fotokoagulasi laser.
Pembedahan yang sering dilakukan adalah scleral buckling, pneumatic
retinopexy dan intraocular silicone oil tamponade. Kebanyakan praktisi
lebih sering melakukan prosedur scleral buckling. Penempatan implan
diletakkan dalam kantung sklera yang sudah direseksi yang akan
mengeratkan sclera dengan retina (Hardy, 2000; Kanski, 2011; Ilyas,
2004).
f. Prognosis
Prognosis ditentukan oleh tatalkasana yang dini, mekanisme yang
mendasari terjadinya ablasio retina, dan adanya keterlibatan makula
(Gariano dan Kim, 2004).

2. Ablasio retina traksional

a. Etiologi
Penyebab utama dari ablasio retina tipe traksi yaitu retinopati
diabetes proliferative, retinopathy of prematurity, proliferative sickle
cell retinopathy
.
b. Patogenesis
Terjadi pembentukan yang dapat berisi fibroblas, sel glia, atau sel
epitel pigmen retina. Awalnya terjadi penarikan retina sensorik menjauhi
lapisan epitel di sepanjang daerah vascular yang kemudian dapat
menyebar ke bagian retina midperifer dan makula. Pada ablasio tipe ini
permukaan retina akan lebih konkaf dan sifatnya lebih terlokalisasi tidak
mencapai ke ora serata (Hardy, 2000).
Pada mata diabetes terjadi perlekatan yang kuat antara vitreus ke
area proliferasi fibrovaskular yang tidak sempurna. Selanjutnya terjadi
kontraksi progresif dari membran fibrovaskular di daerah perlekatan
vitreoretina yang apabila menyebabkan traksi pembuluh darah baru akan
menimbulkan perdarahan vitreus.
Traksi vitroretinal statis dibagi menjadi; (1) Traksi tangensial,
disebabkan oleh kontraksi membran fibrovaskular epiretina pada bagian
retina dan distorsi pembuluh darah retina. (2) Traksi anteroposterior,
disebabkan oleh kontraksi membran fibrovaskular yang memanjang dari
retina bagian posterior. (3) Traksi bridging disebabkan oleh kontraksi
membran fibrovaskular yang akan melepaskan retina posterior dengan
bagian lainnya atau arkade vascular (Kamski dan Bowling, 2011).
c. Gejala Klinis
Fotopsia dan floater sering kali tidak ditemukan. Sedangkan defek
lapang pandang biasanya timbul lambat. Melalui pemeriksaan
oftalmologis akan didapati bentukan yang konkaf dengan tanpa adanya
robekan, dengan elevasi retina tertinggi di daerah traksi vitreoretinal.
Pompa oleh retina akan menurun sehingga tidak terjadi turn over
cairan(Kamski dan Bowling, 2011).

d. Terapi
Pada vitrektomi pars plana dilakukan pengambilan agen penyebab
traksi. Selanjutnya dapat pula dilakukan tindakan retinotomi dengan
penyuntikan perfluorokarbon untuk meratakan permukaan
retina(Kamski dan Bowling, 2011).

3. Ablasio retina campuran antara regmatogenosa dengan traksional


Tipe campuran ini merupakan hasil traksi retina yang kemudian
menyebabkan robekan. Traksi fokal pada daerah proliferasi jaringan ikat
atau fibrovaskular dapat mengakibatkan robekan retina dan menyebabkan
kombinasi ablatio retinae regmatogenosa-traksional

4. Ablasio retina eksudatif

a. Etiologi
Etiologi dari ablasio eksudatif yaitu dapat terjadi secara spontan,
dengan trauma, uveitis, tumor, skleritis, DM, koroiditis, idiopatik, CVD,
Vogt-Koyanagi-Harada syndrome, kongenital, ARMD, sifilis, reumatoid
artritis, atau kelainan vaskular (Wu, 2010; Gariano dan Kim, 2004)
ditandai dengan adalanya akumulasi cairan pada ruang subretina dimana
tidak terjadi robekan retina dan traksi. Asal cairan ini dari pembuluh
darah retina, atau koroid, atau keduanya. Hal ini dapat terjadi pada
penyakit vaskular, radang, atau neoplasma pada retina, epitel berpigmen,
dan koroid dimana cairan bocor keluar pembuluh darah dan terakumulasi
di bawah retina. Selama epitel berpigmen mampu memompa cairan yang
bocor ini ke sirkulasi koroid, tidak ada akumulasi dalam ruang subretina
dan tidak akan terjadi ablasio retina. Akan teteapi, jika proses berlanjut
dan aktivitas pompa epitel berpigmen normal terganggu, atau jika
aktivitas epitel berpigmen berkurang karena hilangnya epitel berpigmen
atau penurunan suplai metabolik (seperti iskemia), kemudian cairan
mulai berakumulasi dan terjadi ablasio retina. Tipe ablasio retina ini
dapat juga disebabkan oleh akumulasi darah pada ruang subretina
(ablasio retina hemoragika. Penyakit radang dapat menyebabkan ablasio
retina serosa termasuk skleritis posterior, oftalmia simatetik, penyakit
Harada, pars planitis, penyakit pembuluh darah vaskular. Penyakit
vaskular adalah hipertensi maligna, toksemia gravidarum, oklusi vena
retina, penyakit Coat, penyakit angiomatosa retina, dan pembentukan
neovaskularisasi koroid (Ilyas, 2004).

b. Patogenesis
Terjadi akibat akumulasi cairan subretinal dengan tanpa danya
robekan retina ataupun traks pada retina. Pada penyakit vaskular, radang,
atau neoplasma retina, epitel pigmen, dan koroid, maka dapat terjadi
kebocoran pembuluh darah sehingga berkumpul di bawah retina. Hal ini
terjadi terutama bila pompa epitel terganggu akibat berbagai hal.
Gambar 5. Ablatio Retinae Eksudatif

c. Gejala Klinis
Fotopsia tidak ditemukan. Floater dapat ditemukan pada vitritis.
Defek lapang pandang terjadi cepat. Pada pemeriksaan oftalmologi,
ablatio retinae eksudatif memiliki bentukan yang konveks dengan
permukaan yang halus dan berombak. Retina yang terlepas bersifat
mobile sehingga menimbulkan fenomena shifting fluid. Leopard spots
yaitu area subretinal yang mendatar setelah terjadi ablatio retinae
(Kamski dan Bowling, 2011).

C. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dilakukan berdasarkan etiologi yang mendasarinya. Pada
kondisi yang disebabkan oleh inflamasi seperti pada penyakit Harada dan skleritis
posterior maka pemberian kortikosteroid sistemik diperlukan. Jika disebabkan oleh
keganasan, maka terapi radiasi dapat dilakukan. Pada korioretinopati bulosa sentral
serosa dapat dilakukan laser fotokoagulasi argon. Pada infeksi diberikan antibiotik.
Kelainan vaskular dapat diterapi dengan laser, krioterapi, aviterktomi. (Wu,
2010).

D. Komplikasi
Dapat terjadi glaukoma neovaskular dengan ptisis bulbi (Wu, 2010).

E. Diagnosis banding Ablasio Retina

1. Retinoskisis degenerative
Dengan gejala klinis yaitu fotopsia dan floater tidak ada, defek lapang
pandang jarang terjadi, gejala yang timbul dikarenakan adanya perdarahan
vitreus atau perkembangan ablasio retina yang progresif. Pada pemeriksaan
oftalmologis didapatkan gambaran elevasi yang konveks, licin, tipis dan
immobile.

2. Ablasio koroid (choroidal detachment)


Gejala klinis yang muncul yaitu fotopsia dan floater tidak ada, defek lapang
pandang dapat ada pada mata dengan ablasi koroid yang luas. Pada
pemeriksaan oftalmologis didapatkan tekanan intraokular yang sangat rendah
akibat adanya ablasi badan silier, gambaran elevasi coklat berbentuk konveks,
licin, bulosa dan relatif immobile, serta tidak meluas ke polus posterior. Retina
perifer dan ora serata tampak jelas.

3. Sindrom efusi uvea


kelainan yang bersifat idiopatik dengan gambaran ablasi koroid yang
berhubungan dengan ablasi retina eksudatif, terkadang adanya residual
mottling.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pasien laki-laki berusia 40 tahun datang dengan keluhan pandangan mata
kabur tiba-tiba pada mata kiri sejak 1 bulan SMRS. Ditemukan gejala floater,
fotopsia, mata seperti menebal, dan pasien melihat gambaran halo. Pada
pemeriksaan funduskopi ditemukan adanya robekan retina pada OS arah jam 5-
7, badan kaca terlihat keruh.
Pasien ini memiliki faktor risiko miopia berat sejak 15 tahun lalu. Diagnosis
pada pasien adalah retina tear suspek ablasio retina dengan miopia OD OS serta
astigmatisme OS. Direncanakan tindakan laser dan bedah lainnya seperti
pneumatic retinopexy dan intraocular silicone oil tamponade.

B. Saran
Dokter umum sebaiknya mengenali gejala-gejala ablasio retina sehingga dapat
memberikan penatalaksanaan lebih awal dan rujukan yang tepat bagi pasien
sehingga mengurangi risiko kebutaan.
DAFTAR PUSTAKA

Gariano RF, Kim CH. Evaluation and Management of Suspected


Retinal Detachment. American Academy of Family Physicians. [series online]
2004 April 1 [cited on 2017 May 20]; vol. 69, no. 7. Available from URL:
http://www.aafp.org/afp/20040401/1691.html.

Hardy RA,. Retina dan Tumor Intraokuler. In : Vaughan D.G, Asbury


T., Riordan E.P, editor. Oftalmologi Umum Edisi 14. Jakarta : Widya Medika.
2000.p. 38-43, 185-99.
Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. 2004. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Kanski JJ, Bowling B, editors. Clinical Ophthalmology: a systemic
approach. 7th ed. Elsevier, 2011
Larkin GL. Retinal Detachment. [series online] 2006 April 11 [cited on
2017 May 20]. Available from URL:
http://www.emedicine.com/emerg/topic504.htm.

Sidarta I,. Anatomi dan Fisiologi Mata. Dalam : Ilmu Penyakit Mata Edisi
kedua. Jakarta: BP-FKUI. 2002. p.10-5.
Wu L. Retinal Detachment Exudative. [series online] 2010 Agustus 2
[cited on May 20]. Available from URL:
http://www.emedicine.com/oph/topic407.htm.

Anda mungkin juga menyukai