Anda di halaman 1dari 20

1

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit kusta atau lepra disebut juga Morbus Hansen, adalah penyakit
infeksi menular kronis yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium leprae.
Mycobacterium leprae yang secara primer menyerang saraf tepi dan secara
sekunder menyerang kulit serta organ-organ lain (WHO, 2011). Kusta memiliki
dua macam tipe gejala klinis yaitu pausibasilar (PB) dan multibasilar (MB)
(WHO, 2011). Kusta tipe PB adalah tipe kusta yang tidak menular dan disebut
juga sebagai kusta kering. Sedangkan kusta tipe MB atau kusta basah adalah kusta
yang sangat mudah menular.
World Health Organization (2011) membatasi istilah dalam cacat kusta
sebagai berikut: impairment, disability, dan handicap. Sedangkan WHO Expert
Comittee on Leprosy dalam laporan yang dimuat dalam WHO Technical Report
Series No. 607 telah membuat klasifikasi cacat bagi penderita kusta. Klasifikasi
tersebut antara lain: Tingkat 0, tingkat 1, tingkat 2 (Kosasih, 2008).
Prevalensi penyakit kusta di dunia masih tinggi. World Health
Organization(WHO) mencatat pada tahun 2014, sebanyak 213.899 penemuan
kasus baru kusta terdeteksi di seluruh dunia dengan kasus tertinggi berada
diregional Asia Tenggara yakni sebesar 154.834 kasus. Prevalensi kusta pada awal
tahun 2015 didapatkan sebesar 0,31 per 100.000 penduduk. Indonesia menduduki
peringkat ketiga negara dengan endemik kusta terbanyak setelah India dan Brazil.
Kejadian Kusta masih sangat tinggi di beberapa negara, terutama negara
berkembang yang sangat erat kaitannya dengan tingkat kemiskinandan kepadatan
penduduk (Philipsborn, 2015). Studi epidemiologi di Cebu (Filiphina)
mendapatkan sebanyak 3288 kasus kusta pada tahun 2000-2010, dengan
penemuan terbanyak di daerah padat penduduk (Scheelbeek, 2013).
Penyakit kusta masih menjadi permasalahan di Indonesia. Indonesia
menempati peringkat ketiga dalam hal jumlah penderita kusta di dunia yaitu
sebesar 17.012 orang. Peringkat pertama yaitu India sebesar 126.600 orang dan
Brasil sebanyak 34.894 orang pada peringkat kedua (Kemenkes RI, 2010).
2

WHO (World Health Organization) menetapkan indikator eliminasi kusta


adalah angka penemuan penderita Newly Case Detection Rate (NCDR) yang
menggantikan indikator sebelumnya yaitu angka penemuan penderita terdaftar
(NCDR kurang dari 1 per 10.000 penduduk) (Depkes RI, 2009). Tahun 2010
Indonesia telah mencapai indikator eliminasi kusta dengan New Case Detection
Rate (NCDR) penyakit kusta di Indonesia sebesar 7,22 per 100.000 penduduk,
terdiri dari tipe Pausi basiler sebesar 3.278 kasus dan tipe Multi basiler sebesar
13.734 kasus (Kemenkes RI, 2011).
Berdasarkan laporan program penanggulangan penyakit kusta Dinas
Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, pada Januari-Desember 2010,dan 12 % dari
kasus tersebut adalah anak berumur kurang 15 tahun.Berdasarkan data, jumlah
penderita kusta disumut, masing-masing terdapat di Kabupaten Serdang Bedagai
sebanyak 10 penderita, Sibolga 13 penderita, Padang Lawas 10 penderita, Medan
42 penderita, Deli Serdang 15 penderita Simalungun 17 penderita, Asahan 12
penderita Labuhan Batu 12 penderita dan Tapanuli Selatan 13 penderita. Sumatera
Utara merupakan salah satu provinsi yang telah mencapai target eliminasi
nasional kusta, namun dari19 kabupaten/kota di Sumatera Utara, ternyata masih
ada satu daerah dengan angka penemuan kasus kusta cukup tinggi. Kecamatan
Belawan, tepatnya Rumah Sakit Pulau Sicanang menduduki peringkat pertama
berturut-turut pada tahun 2013 dan 2015 dengan prevalensi penderita kusta
terbanyak, yaitu sebesar 0,81 per 10.000 penduduk dan terdapat 306 penduduk
yang terkena penyakit kusta.
Maka dari itu, Peneliti tertarik ingin melakukan penelitian lebih lanjut
tentang Angka Kejadian Penderita Kusta Di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang
Medan Belawan Tahun 2015.
3

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang diatas, yang menjadi permasalahan dalam penelitian
ini adalah bagaimana angka kejadian penderita kusta di Rumah Sakit Kusta Pulau
Sicanang Medan Belawan tahun 2015.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui angka kejadian penderita kusta di Rumah Sakit Kusta Pulau
Sicanang Medan Belawan mulai dari bulan Januari sampai dengan bulan
Desember tahun 2015.
1.3.2 Tujuan Khusus
Adapun yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui angka kejadian penderita kusta berdasarkan angka
kejadian di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan mulai dari
bulan Januari sampai dengan bulan Desember tahun 2015.
2. Untuk mengetahui angka kejadian penderita kusta berdasarkan usia, jenis
kelamin, suku dan pekerjaan di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan
Belawan mulai dari bulan Januari sampai dengan bulan Desember tahun
2015.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Bagi Peneliti
Menambah wawasan bagi peneliti tentang angka kejadian penderita kusta
dan menambah pengalaman dalam melakukan penelitian.
1.4.2 Bagi Peneliti Selanjutnya
Agar bisa dijadikan refrensi dan bahan acuan untuk melakukan penelitian
selanjutnya.
1.4.3 Bagi Masyarakat
Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai dampak-dampak negatif
yang akan timbul dari penyakit kusta dan dengan penelitian ini,
diharapkan bagi pembaca sanggup menangkap pengaruh yang merugikan
bagi dirinya sendiri maupun orang lain serta mampu menghadapi
tantangan secara efektif dalam kehidupannya.
4
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Kulit
Kulit merupakan organ terbesar pada tubuh manusia,dengan berat sekitar 5

kg dan luas pada seseorang dengan berat badan 70 kg. Kulit menjalankan

berbagai tugas dalam memelihara kesehatan manusia secara utuh yang meliputi
fungsi yaitu :
1. Perlindungan fisik (terhadap gaya menarik, sinarultraviolet, bahan kimia)
2. Perlindungan imunologik
3. Ekskresi
4. Pengindera
5. Pengatur suhu tubuh
6. Pembentukan vitamin D
7. Kosmetik (Rihatmadja RFKUI, 2015).
Kulit terdiri dari epidermis yang merupakan lapisan luar serta dermis atau
korium yang terletak lebih dalam dan merupakan jaringan penunjang pembuluh.
Epidermis tidak mengandung pembuluh getah bening. Lapisan itu tersusun dari
epitel skuamosa berlapis yang beragam tebalnya diberbagai bagian tubuh . di
telapak kaki dan telapak tangan, epitelnya tebal, keras dan berlapis tanduk
(Guyton, 2010).

Gambar 2.1 Anatomi Kulit


Dalam menjalankan berbagai fungsi diatas, ketiga lapisan tersebut
bertindak sebagai satu kesatuan yang saling terkait satu dengan lain. Sebagai
6

contoh, perlindungan imunologik terhadap infeksi dikerjakan bersama oleh


keratinosit dan sel penyaji antigen diepidermis yang berkomunikasi dengan
limfosit yang beredar disekitar pembuluh darah dermis (Rihatmadja R FKUI,
2015).

1. Epidermis
Epidermis terdiri dari banyak lapisan sel epitel. Rata-rata, epidermis
mengganti dirinya sendiri setiap sekitar dua setengah bulan. Lapisan ini paling
tebal didaerah kulit yang mengalami tekanan paling besar, misalnya telapak kaki.
Lapisan berkeratin bersifat kedap udara, cukup kedap air, dan tidak dapat
ditembus oleh sebagian besar bahan. Lapisan ini memperkecil hilangnya air dan
konstituen penting lain dari tubuh serta mencegah sebagian besar benda asing
masuk kedalam tubuh (Sherwood L, 2013).
a. Sratum Korneum
Lapisan kelima dan paling luar. Semua nukleus dan organel telah lenyap
dari sel. Mempunyai Matriks lipid ektraseluler ampuh menahan kehilangan air dan
juga mengatur permeabilitas, deskuamasi, aktivitas peptida antimikroba, eksklusi
toksin dan penyerapan kimia secara selektif. Korneosit berperan dalam memberi
penguatan terhadap trauma mekanis, produksi sitokin yang memulai proses
peradangan serta perlindungan terhadap sinar ultraviolet (Rihatmadja R FKUI,
2015).
b. Stratum Lusidum
Lapisan ini kurang jelas hanya dapat ditemukan di kulit tebal. Lapisan ini
terletak tepat di atas stratum granulosum dan dibawah stratum korneum.
(Eroschenko VP,2012).
c. Stratum Granulosum
Lapisan ini dibentuk oleh tiga sampai lima lapisan sel gepeng. Kombinasi
tonofilamen keratin dengan granula keratohialin disel ini menghasilkan keratin.
Keratin yang dibentuk dengan cara ini adalah keratin lunak kulit. Selain itu,
sitoplasma sel mengandung sel granula lamellosum yang dikeluarkan kedalam
ruang interselular stratum granulosum sebagai lapisan lemak dan menutup kulit.
Proses ini menyebabkan kulit relatif impermeable terhadap air (Eroschenko
VP,2012) (Rihatmadja R FKUI, 2015).
d. Stratum Spinosum
7

Keratinosit stratum spinosum memiliki bentuk poligonal, berukuran lebih


besar daripada keratinosit stratum basal. Pada pemeriksaan mikroskopik terlihat
struktur mirip taji (spina) pada permukaan karatinosit yang sebenarnya merupakan
penyambung antar keratinosit yang disebut desmosom. Struktur ini memberi
kekuatan pada epidermis untuk menahan trauma fisis di permukaan kulit
(Rihatmadja R FKUI, 2015).
e. Stratum Basal
Stratum basal adalah lapisan paling dalam atau dasar diepidermis. Lapisan
ini terdiri dari satu lapisan sel kolumnar hingga kuboid yang terletak pada
membran basalis yang memisahkan dermis dari epidermis. (Eroschenko VP,2012).
Memiliki sel merkel berfungsi sebagai reseptor mekanik , terutama
berlokasi pada kulit dengan sensitivitas raba yang tinggi, termasuk kulit yang
berambut maupun glabrosa (bibir dan jari) (Rihatmadja R FKUI, 2015).

2. Dermis
Dermis terdiri atas jaringan penunjang padat yang mengandung pembuluh
darah dan pembuluh getah bening. Lapisan ini melanjut ke dalam jaringan sub
kutan yang kurang padat. Elastisitas, sifat khas untuk kulit, disebabkan oleh
adanya serat serat elastic yang terdapat di lapisan dermis. Serat serat elastic
yang berdegenerasi pada usia lanjut dan kulit menjadi keriput (Green, 2010).
Batasan antara dermis dan epidermis tidak rata dengan adanya papilla
( tonjolan tonjolan ) dermis yang masuk ke epidermis. Hal itu mencegah
terpisahnya kedua lapisan bila terpotong. Disamping itu, epidermis masuk jauh
kedalam dermis ditempat tempat akar rambut. Bila kulit dibuang bersama
dengan lapisan germinativumnya, epidermis akan tetep tumbuh kembali melalui
proses poliferasi sel sel germinatif epidermal yang masih tersisa didalam folikel
folikel rambut dan kelenjar kelenjar keringat (Green, 2010).

2.2 Kusta
2.2.1 Definisi Kusta
Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium leprae yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi,
8

selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa ( mulut ), saluran pernafasan bagian


atas, system retikulo endothelial, mata, otot, tulang dan testis (Marwali, 2000).
Kata kusta berasal dari bahasa India, Kustha, dikenal sejak 1400 tahun
sebelum Masehi. Kusta memiliki nama lain yaitu lepra dan Morbus Hansen.
Dinamakan Morbus Hansen karena kuman penyebab kusta, yaitu Mycobacterium
leprae (IAI, 2015).

2.2.2 Patofisiologi Kusta


M. laprae merupakan basil gram postif karena sitoplasma basil ini
mempunyai struktur yang sama dengan basil Gram yang lain, yaitu mengandung
DNA dan RNA dan berkembang biak secara perlahan dengan cara binary fision
yang membutuhkan waktu 11 13 hari. Sifat multiplikasi ini lebih lambat dari
pada Mycobacterium tuberculosis yang hanya membutuhkan waktu 20 jam
(Marwali, 2000).
Adanya distribusi lesi yang secara klinik preedominan pada kulit, mukosa
hidung dan saraf perifer superficial menunjukan pertumbuhan basil temperature
37 c. M. Laprae dapat bertahan hidup 7-9 hari, sedangkan pada temperature
kamar bisa hidup 46 hari (Marwali, 2000).

Gambar 2.1.2 Patofisiologi Kusta


9

Terdapat 2 tipe reaksi kusta dengan komplikasi yang dapat dikenali, yaitu :
1. Reaksi Reversal (RR)
Simptom RR dapat berupa lesi lama yang lebih udem dan eritematosa,
dapat muncul lesi baru, pembesaran saraf tepi disertai nyeri dengan peningkatan
gangguan fungsi, dan kadang-kadang disertai pembengkakan akral.
2. Reaksi Eritema Nodosum Leprosum (ENL)
Mempunyai bentuk karakteristik, berupa nodul-nodul eritematosa yang
terasa sakit, dan timbul mendadak. Pasien umumnya merasa sakit. Saraf pun dapat
nyeri. Kadang-kadang terjadi arthritis, limfadenitis, orkitis, iridosiklitis
dan glaukoma yang dapat diikuti dengan kebutaan. Keterlibatan berbagai organ
tersebut dapat terjadi terpisah atau secara bersamaan pada kusta dengan
komplikasi.

2.2.3 Manifestasi Klinis


Menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokan penyakit kusta menjadi
5 kelompok berdasarkan gambaran klinik, bakteriologik, histopatologik dan
imunologik.
10

1. Tipe tuberkoloid
Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula atau plakat, batas
jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang mengalami regresi atau
penyembuhan ditengah
2. Tipe borderline tuberkoloid
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula anastesi atau
plak yang sering disertai lesi satelit di pinggirnya, jumlah lesi satu atau beberapa,
tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak jelas seperti
pada tipe tuberkoloid.
a. Tipe borderline
Tipe ini tipe yang paling tidak stabil dari semua spectrum penyakit kusta. Tipe ini
disebut juga sebagai dimorfik dan jarang jumpai. Lesinya berbentuk makula
infiltrat. Permukaan lesi dapat mengkilat, batas lesi kurang jelas dengan jumlah
lesi yang melebihi borderline tuberkoloid dan cenderung sistematik.
b. Tipe borderline lepromatous ( BL )
Secara klasik lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya sedikit,
kemudian dengan cepat menyebar keseluruh badan.
c. Tipe leptomatous
Jumlah lesi sangat banyak, simetrik, permukaan halus, lebih eritem,
mengkilat, berbatas tidak tegas dan tidak ditemukan gangguan anhidrosis pada
stadium dini. Distribusi lesi khas, yakni diwajah, mengenai dahi, pelipis, dagu,
cuping telinga, sedangkan di badan mengenai bagian belakang yang dingin,
lengan, punggung tangan dan permukaan ekstensor tungkai bawah.

2.2.4 Faktor Faktor Kusta


a. Faktor risiko
Faktor risiko yaitu semua variabel yang berperan atas timbulnya kejadian
penyakit yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman penyebab, cara
penularan, keadaan sosial ekonomi, dan lingkungan, varian genetic yang
berhubungan dengan kerentanan, perubahan imunitas, dan kemungkinan adanya
reservoir diluar manusia (Kokasih dkk dalam Djuanda, 2010).
11

Faktor- faktor yang mempengaruhi tibulnya penyakit kusta ialah (Siregar, 2005) :
1) Bangsa/ras : pada ras kulit hitam insidens bentuk tuberkuloid lebih tinggi pada
kulit putih lebioh cenderung tipe lepromatosa.
2) Sosial/ekonomi : Banyak pada negara-negara berkembang dan golongan sosial
ekonomi rendah
3) Kebersihan : Lingkungan yang kurang memenuhi kebersihan

4) Turunan : Tampaknya faktor genetic berperan penting dalam penularan


penyakit ini. Penyakit ini tidak diturunkan pada bayi yang dikandung ibu yang
terkena penyakit lepra.

b. Faktor penularan

Suparyanto (2012) faktor yang berperan dalam hal penularan penyakit


kusta adalah:

1) Usia Anak-anak lebih peka di banding dengan orang dewasa perbandingan


3:2

2) Jenis kelamin Laki-laki lebih banyak di jangkiti oleh penyakit kusta


dibanding wanita (karena kontak lebih banyak pada laki-laki)

3) Keadaan sosial ekonomi Orang yang hidup dalam kemiskinan biasanya


mempunyai kesehatan yang buruk. Ini diantaranya disebabkan oleh tingginya
pemaparan infeksi akibat kepadatan penghuni, makanan yang tidak cukup ataupun
lingkungan kerja yang tidak sehat. Ekonomi rendah secara bersama-sama dengan
faktor lainnya menjadi prasyarat timbulnya sakit akan tetapi tidak dapat berdiri
sendiri-sendiri.

4) Lingkungan Fisik, biologis, sosial yang kurang sehat. Masa tunasnya


(inkubasi) penyakit kusta sangat lama. Umumnya berkisar antara 2 sampai 5
tahun, tetapi bisa mencapai puluhan tahun.
12

Penyakit berbasis lingkungan adalah ilmu yang memepelajari proses


kejadian atau fenomena penyakit yang terjadi pada sebuah kelompok masyarakat,
yang berhubungan, berakar (bounded) atau memiliki keterkaitan erat dengan satu
atau lebih komponen lingkungan pada sebuah ruang sehingga masyarakat tersebut
bertempat tinggal atau beraktivitas dalam jangka waktu tertentu. Penyakit tersebut
bisa dicegah atau dikendalikan, kalau kondisi lingkungan yang berhubungan atau
diduga berhubungan dengan penyakit tersebut dihilangkan (Achmadi, 2011).

2.2.5 Diagnosis Banding


hal penting dalam menentukan diagnosis banding lepra :
a. terdapat makula hipopigmentasi,
b. terdapat daerah anastesi,
c. pemeriksaan bakteriologi memperlihatkan basil tahan asam,
d. ada pembengkakan/ pengerasan saraf tepi atau cabang-cabangnya.
Tipe I (makula hipopigmentasi): tinea versikolor, vitiligo, pitiriasis rosea,
dermatitis seboroika atau dengan liken simpleks kronik.
Tipe TT ( makula eritematosadengan pinggir meninggi): tinea korporis, psoriasis,
lupus eritematosus tipe discoid, atau ptiriasis rosea.
Tipe BT, BB, BL (infiltrate merahtidak berbatas tegas): selulitis, erispelas, atau
psoriasis.
Tipe LL (bentuk nodula): lupus eritematosus sistemik, dermatomiositis, atau
erupsi obat (Siregar R.S, 2014).

2.2.6 Penatalaksanaan Kusta


a. Antipiretik dan Analgetik
Antipiretik dan analgetik, seperti parasetamol dan metampiron, dapat
diberikan untuk mengurangi gejala demam atau nyeri sendi, baik pada pasien
reaksi reversal maupun ENL (Eritema Nodosum Leprosum). Pada pasien yang
dirawat inap dapat diberikan obat golongan sedatif.
13

b. Kortikosteroid
Kortikosteroid menjadi pilihan terapi ENL (Eritema Nodosum Leprosum),
antara lain prednison. Prednison merupakan kortikosteroid potensi sedang dengan
waktu paruh 12-36 jam. Dosisnya tergantung dari derajat ENL (Eritema Nodosum
Leprosum ). Pada awal pengobatan digunakan dosis 40 mg sehari selama 2
minggu dan dapat diturunkan bila keluhan atau gejala klinis berkurang.
Pemakaian kortikosteroid untuk reaksi reversal adalah fakultatif jika ditemukan
adanya neuritis. Hal ini sangat penting dilakukan untuk mencegah kerusakan saraf
permanen. Pemakaian kortikosteroid harus memperhatikan kontraindikasi, seperti
TB, tukak lambung berat, dan infeksi berat pada ekstremitas yang memburuk.
Pasien hendaknya diedukasi dengan baik untuk mencegah efek samping jangka
panjang atau penghentian obat mendadak.
c. Klofazimin
Merupakan turunan fenazin yang memiliki efek bakterisida setelah 50 hari
terapi pada pasien kusta. Selain itu, klofazimin memiliki efek anti-radang ringan
untuk mengobati ENL. Awitan kerjanya lambat, yaitu baru muncul setelah 2-3
minggu. Dosis untuk ENL lebih tinggi dibandingkan pada pasien kusta tanpa
reaksi, yaitu 200-300 mg/hari. Klofazimin merupakan pilihan terapi untuk ENL
berat dengan episode berulang (2 kali) yang dapat menyebabkan ketergantungan
seperti kortikosteroid.
d. Thalidomid
Thalidomid dalam sejarah menimbulkan efek teratogenik berupa
fokomelia, jarang ditemukan di Indonesia. Efek terapi thalidomid pada ENL
diperkirakan berhubungan dengan stimulasi imun sementara, obat ini bisa
mempromosikan imunoregulator secara aktif. Obat ini tersedia dalam bentuk
kapsul 50 mg. Mengingat efek teratogeniknya, obat ini tidak dipergunakan dalam
program di Indonesia( Djuanda, 2010 ).
14

2.3 Kerangka Teori

Infeksi kulit oleh bakteri


Mycobacterium leprae

Kusta

Faktor Internal : Faktor Eksternal :

1. Usia 1. Pekerjaan

2. Jenis Kelamin

3. Suku

Diagnosa

Kusta multibasilar Kusta pausibasilar


(Lepramatosa, Borderline (Tuberkuloid, Borderline
lepramatous, Mid tuberculoid,
borderline) Indeterminate)

Penatalaksanaan :

1. Farmakologis

2. Non Farmakologis

Gambar 2.1 Kerangka Teori


15

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Kerangka konsep
Kerangka konsep adalah suatu uraian dari visualitas hubungan atau kaitan
antara konsep satu terhadap konsep lainnya, atau antara variabel yang suatu
dengan variabel yang lain dari masalah yang ingin diteliti (Notoatmodjo. 2010).
Variabel independen dalam penelitian ini adalah usia, jenis kelamin, pekerjaan,
dan suku. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kusta.

Variabel Independen Variabel Dependen


1. Usia

2. Jenis Kelamin Kejadian Kusta


3. Suku

4. Pekerjaan

Gambar 3.1. kerangka konsep

3.2 Jenis penelitian


Penelitian ini adalah observasional yang bersifat deskriptif dengan
retrospectif, untuk mengetahui angka kejadian penderita kusta di Rumah Sakit
Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan tahun 2015 (Notoatmodjo, 2010).

3.3 Lokasi dan waktu penelitian


Penelitian bertempat di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan
Belawan dan dilaksanakan dari bulan November 2016 sampai dengan Februari
2017.

3.4 Populasi dan Sampel Penelitian


3.4.1 Populasi Penelitian
Populasi adalah keseluruhan dari subyek penelitian (Arikunto, 2013).
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita kusta di Rumah Sakit
16

Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan dari bulan Januari sampai dengan bulan
Desember tahun 2015 sebanyak 75 orang.
3.4.2 Sampel Penelitian
Sampel adalah sebagian dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu
hingga dianggap dapat mewakili populasi tersebut (Arikunto, 2013). Sampel
penelitian ini adalah seluruh pasien yang menderita kusta di Rumah Sakit Kusta
Pulau Sicanang Medan Belawan dari bulan Januari sampai Desember tahun 2015
yang berjumlah 75 orang. Pada penelitian ini, pengambilan besar sampel
ditentukan dengan menggunakan teknik total sampling.
3.4.3 Teknik Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dalam penelitian ini tidak berdasarkan peluang (non
probability sampling). Dalam penelitian ini akan memakai teknik total sampling
yaitu teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai
sampel (Sugiyono, 2009). Sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini
berasal dari data sekunder yaitu rekam medis pasien yang menderita penyakit
kusta dari bulan Januari hingga Desember tahun 2015 di Rumah Sakit Kusta
Pulau Sicanang Medan Belawan.

3.5 Variabel Penelitian


3.5.1 Variabel Bebas
Variabel bebas (independen, kausa, risiko) merupakan variabel yang
apabila ia berubah akan mengakibatkan perubahan pada variabel tergantung
(Sastroasmoro, 2013). Variabel bebas pada penelitian ini adalah usia, jenis
kelamin, suku dan pekerjaan.
3.5.2 Variabel Terikat
Variabel terikat (dependen, efek, hasil, outcome) merupakan variabel yang
nilainya akan berubah dengan perubahan variabel bebas (Sastroasmoro, 2013).
Variabel terikat pada penelitian ini adalah kejadian kusta.

3.6 Definisi Operasional


17

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Skala Hasil Ukur


dan Cara Ukur
Ukur
Usia Lama waktu hidup dan Rekam medik Ordinal 1. < 18 tahun
2. 18 20
terserang penyakit
tahun
kusta
3. 20 35
tahun
4. > 35 tahun
Jenis Kelamin Jenis kelamin Rekam medik Ordinal 1. Laki-laki
2. Perempuan
penderita kusta yang
tercatat di Rekam
Medik
Suku Suatu golongan suku Rekam medis Ordinal 1. Jawa
2. Batak
manusia yang sering
3. Aceh
terkena kusta tercatat 4. Melayu
5. China
di Rekam Medik
Pekerjaan Pekerjaan yang Rekam medik Nominal 1. Ibu rumah
dimiliki pasien tangga
2. Wiraswasta
3. Pensiunan
4. Mahasiswa

3.7 Instrumen Penelitian


Instrumen penelitian adalah alat-alat yang digunakan pada waktu
penelitian untuk mengumpulkan data (Arikunto, 2013). Instrumen yang digunakan
dalam penelitian ini adalah hasil rekam medis dan checklist form.

3.8 Tehnik Pengumpulan Data


Data yang digunakan dalam penelitian ini hanya data sekunder yaitu hasil
rekam medis pasien kusta dari bulan Januari sampai dengan Desember tahun 2015
di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan. Data ini diperoleh dari
bagian Rekam Medis Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan
kemudian data yang ingin diteliti yaitu pasien yang mempunyai kejadian kusta.
18

Data rekam medis yang diperlukan dicetak dan dimasukkan kedalam checklist
form yang telah disediakan.

3.9 Pengelolahan data


Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan menggunakan program
komputer. Pengolahan data dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut:
a. Menyunting Data (data editing)
Editing dilakukan setiap kali responden selesai mengisi kuesioner. Bila ada
kesalahan atau yang tidak lengkap peneliti kembali menemui responden untuk
klarifikasi, Editing ini dilakukan untuk memeriksa kelengkapan dan kebenaran
data seperti kelengkapan pengisian, kesalahan pengisian, konsistensi pengisian
setiap jawaban kuesioner.
b. Mengkode data (data coding)
Proses pemberian kode kepada setiap variabel yang telah dikumpulkan untuk
memudahkan dalam memasukkan.
c. Membersihkan data (data cleaning)
Setelah data dimasukkan dilakukan pengecekan kembali untuk memastikan
data tersebut tidak ada yang salah sehingga dengan demikian data tersebut
telah siap diolah dan dianalisis.
d. Memasukkan data (data entry)
Memasukkan data yang telah diberikan kode dalam program software
computer
.
19

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi U F. 2011. Dasar-dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. Jakarta:


Rajawali Pers.

Arikunto, S. 2013. Prosedur Penelitian Suatu Pendektan Praktik. Jakarta: PT


Rineka Cipta.

Depkes RI. 2007. Pedoman Penentuan Klasifikasi Penyakit Kusta. Jakarta:


Depkes RI.

Eroschenko, VP. 2012. Sistem Integumen. In: Dharmawan, D., Yesdelita, N.Atlas
Histologi Difiore. Ed11th. Jakarta: EGC:223-224Harahap, M. 2000. Ilmu
Penyakit Kulit. Jakarta ; Hipokrates

Kemenkes . 2011. Profil Kesehatan Tahun 2011. Jakarta: P2PL.

Koes, I., 2012. Anatomi dan Fisiologi untuk mahasiswa. Bandung ; Alfabetta.
Hal: 320-324.

Kokasih et.al dalam Djuanda. 2010. Ilmu penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Listiyawan, Y., 2013. Menuju Bebas Kusta. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit
Dan Kelamin.

Notoatmodjo, S., 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta ; Rineka Cipta

Profil Kesehatan Sumatera Utara. Available From : www.depkes.go.id [Accessed:


20 December 2016]

Ramaswari, Y., 2015. Masalah Reaksi Reversal dan Eritema Nodosum Leprosum
pada Penyakit Kusta. Cermin Dunia Kedoktera,. Volume 42 No. 9, pp. 654-
656.
20

Rihatmadja, R. 2015. Anatomi Dan Faat Kulit. In: Menaldi, SL., Bramono, K.,
Indriatmi, W., editors. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Ed 7th. Jakarta:
FKUI:3-7.

Riset Kesehatan Dokter Indonesia. Infondation Kasus. Available From ;


www.kemenkesRI.go.id [ Accssed at 22 December 2016 ].

Sastroasmoro, S. 2013. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis Edisi ke-5.


Jakarta: Sagung Seto.

Siregar. 2005. Saripati Penyakit kulit. Jakarta: EGC. Hal: 154-159.

Suparyanto. 2012. Pengobatan Dan Kecacatan Penyakit Kusta/ Lepra. Jakarta:


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Syaifuddin., 2012. Anatomi dan Fisiologi. Jakarta ; EGC. Hal: 48-61.

Utama, H., 2015. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Jakarta ; FKUI

Widiyono. 2010. Penyakit Tropis. Jakarta ; Erlangga

Widodo, R., 2012. Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Kiai Terkait Kusta. Jakarta ;
Komnas HAM

World Health Organization, 2011, Weekly Epidemiological Record Leprosy


Update 2011. (Online). No. 36, September 2011, 86, 398-400,
(http://www.ilep.org.uk/fileadmin/uploads/Documents/WER/wer8636revise
d.pdf)[Accessed: 02 Februari 2017]

Anda mungkin juga menyukai