BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit kusta atau lepra disebut juga Morbus Hansen, adalah penyakit
infeksi menular kronis yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium leprae.
Mycobacterium leprae yang secara primer menyerang saraf tepi dan secara
sekunder menyerang kulit serta organ-organ lain (WHO, 2011). Kusta memiliki
dua macam tipe gejala klinis yaitu pausibasilar (PB) dan multibasilar (MB)
(WHO, 2011). Kusta tipe PB adalah tipe kusta yang tidak menular dan disebut
juga sebagai kusta kering. Sedangkan kusta tipe MB atau kusta basah adalah kusta
yang sangat mudah menular.
World Health Organization (2011) membatasi istilah dalam cacat kusta
sebagai berikut: impairment, disability, dan handicap. Sedangkan WHO Expert
Comittee on Leprosy dalam laporan yang dimuat dalam WHO Technical Report
Series No. 607 telah membuat klasifikasi cacat bagi penderita kusta. Klasifikasi
tersebut antara lain: Tingkat 0, tingkat 1, tingkat 2 (Kosasih, 2008).
Prevalensi penyakit kusta di dunia masih tinggi. World Health
Organization(WHO) mencatat pada tahun 2014, sebanyak 213.899 penemuan
kasus baru kusta terdeteksi di seluruh dunia dengan kasus tertinggi berada
diregional Asia Tenggara yakni sebesar 154.834 kasus. Prevalensi kusta pada awal
tahun 2015 didapatkan sebesar 0,31 per 100.000 penduduk. Indonesia menduduki
peringkat ketiga negara dengan endemik kusta terbanyak setelah India dan Brazil.
Kejadian Kusta masih sangat tinggi di beberapa negara, terutama negara
berkembang yang sangat erat kaitannya dengan tingkat kemiskinandan kepadatan
penduduk (Philipsborn, 2015). Studi epidemiologi di Cebu (Filiphina)
mendapatkan sebanyak 3288 kasus kusta pada tahun 2000-2010, dengan
penemuan terbanyak di daerah padat penduduk (Scheelbeek, 2013).
Penyakit kusta masih menjadi permasalahan di Indonesia. Indonesia
menempati peringkat ketiga dalam hal jumlah penderita kusta di dunia yaitu
sebesar 17.012 orang. Peringkat pertama yaitu India sebesar 126.600 orang dan
Brasil sebanyak 34.894 orang pada peringkat kedua (Kemenkes RI, 2010).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Kulit
Kulit merupakan organ terbesar pada tubuh manusia,dengan berat sekitar 5
kg dan luas pada seseorang dengan berat badan 70 kg. Kulit menjalankan
berbagai tugas dalam memelihara kesehatan manusia secara utuh yang meliputi
fungsi yaitu :
1. Perlindungan fisik (terhadap gaya menarik, sinarultraviolet, bahan kimia)
2. Perlindungan imunologik
3. Ekskresi
4. Pengindera
5. Pengatur suhu tubuh
6. Pembentukan vitamin D
7. Kosmetik (Rihatmadja RFKUI, 2015).
Kulit terdiri dari epidermis yang merupakan lapisan luar serta dermis atau
korium yang terletak lebih dalam dan merupakan jaringan penunjang pembuluh.
Epidermis tidak mengandung pembuluh getah bening. Lapisan itu tersusun dari
epitel skuamosa berlapis yang beragam tebalnya diberbagai bagian tubuh . di
telapak kaki dan telapak tangan, epitelnya tebal, keras dan berlapis tanduk
(Guyton, 2010).
1. Epidermis
Epidermis terdiri dari banyak lapisan sel epitel. Rata-rata, epidermis
mengganti dirinya sendiri setiap sekitar dua setengah bulan. Lapisan ini paling
tebal didaerah kulit yang mengalami tekanan paling besar, misalnya telapak kaki.
Lapisan berkeratin bersifat kedap udara, cukup kedap air, dan tidak dapat
ditembus oleh sebagian besar bahan. Lapisan ini memperkecil hilangnya air dan
konstituen penting lain dari tubuh serta mencegah sebagian besar benda asing
masuk kedalam tubuh (Sherwood L, 2013).
a. Sratum Korneum
Lapisan kelima dan paling luar. Semua nukleus dan organel telah lenyap
dari sel. Mempunyai Matriks lipid ektraseluler ampuh menahan kehilangan air dan
juga mengatur permeabilitas, deskuamasi, aktivitas peptida antimikroba, eksklusi
toksin dan penyerapan kimia secara selektif. Korneosit berperan dalam memberi
penguatan terhadap trauma mekanis, produksi sitokin yang memulai proses
peradangan serta perlindungan terhadap sinar ultraviolet (Rihatmadja R FKUI,
2015).
b. Stratum Lusidum
Lapisan ini kurang jelas hanya dapat ditemukan di kulit tebal. Lapisan ini
terletak tepat di atas stratum granulosum dan dibawah stratum korneum.
(Eroschenko VP,2012).
c. Stratum Granulosum
Lapisan ini dibentuk oleh tiga sampai lima lapisan sel gepeng. Kombinasi
tonofilamen keratin dengan granula keratohialin disel ini menghasilkan keratin.
Keratin yang dibentuk dengan cara ini adalah keratin lunak kulit. Selain itu,
sitoplasma sel mengandung sel granula lamellosum yang dikeluarkan kedalam
ruang interselular stratum granulosum sebagai lapisan lemak dan menutup kulit.
Proses ini menyebabkan kulit relatif impermeable terhadap air (Eroschenko
VP,2012) (Rihatmadja R FKUI, 2015).
d. Stratum Spinosum
7
2. Dermis
Dermis terdiri atas jaringan penunjang padat yang mengandung pembuluh
darah dan pembuluh getah bening. Lapisan ini melanjut ke dalam jaringan sub
kutan yang kurang padat. Elastisitas, sifat khas untuk kulit, disebabkan oleh
adanya serat serat elastic yang terdapat di lapisan dermis. Serat serat elastic
yang berdegenerasi pada usia lanjut dan kulit menjadi keriput (Green, 2010).
Batasan antara dermis dan epidermis tidak rata dengan adanya papilla
( tonjolan tonjolan ) dermis yang masuk ke epidermis. Hal itu mencegah
terpisahnya kedua lapisan bila terpotong. Disamping itu, epidermis masuk jauh
kedalam dermis ditempat tempat akar rambut. Bila kulit dibuang bersama
dengan lapisan germinativumnya, epidermis akan tetep tumbuh kembali melalui
proses poliferasi sel sel germinatif epidermal yang masih tersisa didalam folikel
folikel rambut dan kelenjar kelenjar keringat (Green, 2010).
2.2 Kusta
2.2.1 Definisi Kusta
Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium leprae yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi,
8
Terdapat 2 tipe reaksi kusta dengan komplikasi yang dapat dikenali, yaitu :
1. Reaksi Reversal (RR)
Simptom RR dapat berupa lesi lama yang lebih udem dan eritematosa,
dapat muncul lesi baru, pembesaran saraf tepi disertai nyeri dengan peningkatan
gangguan fungsi, dan kadang-kadang disertai pembengkakan akral.
2. Reaksi Eritema Nodosum Leprosum (ENL)
Mempunyai bentuk karakteristik, berupa nodul-nodul eritematosa yang
terasa sakit, dan timbul mendadak. Pasien umumnya merasa sakit. Saraf pun dapat
nyeri. Kadang-kadang terjadi arthritis, limfadenitis, orkitis, iridosiklitis
dan glaukoma yang dapat diikuti dengan kebutaan. Keterlibatan berbagai organ
tersebut dapat terjadi terpisah atau secara bersamaan pada kusta dengan
komplikasi.
1. Tipe tuberkoloid
Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula atau plakat, batas
jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang mengalami regresi atau
penyembuhan ditengah
2. Tipe borderline tuberkoloid
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula anastesi atau
plak yang sering disertai lesi satelit di pinggirnya, jumlah lesi satu atau beberapa,
tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak jelas seperti
pada tipe tuberkoloid.
a. Tipe borderline
Tipe ini tipe yang paling tidak stabil dari semua spectrum penyakit kusta. Tipe ini
disebut juga sebagai dimorfik dan jarang jumpai. Lesinya berbentuk makula
infiltrat. Permukaan lesi dapat mengkilat, batas lesi kurang jelas dengan jumlah
lesi yang melebihi borderline tuberkoloid dan cenderung sistematik.
b. Tipe borderline lepromatous ( BL )
Secara klasik lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya sedikit,
kemudian dengan cepat menyebar keseluruh badan.
c. Tipe leptomatous
Jumlah lesi sangat banyak, simetrik, permukaan halus, lebih eritem,
mengkilat, berbatas tidak tegas dan tidak ditemukan gangguan anhidrosis pada
stadium dini. Distribusi lesi khas, yakni diwajah, mengenai dahi, pelipis, dagu,
cuping telinga, sedangkan di badan mengenai bagian belakang yang dingin,
lengan, punggung tangan dan permukaan ekstensor tungkai bawah.
Faktor- faktor yang mempengaruhi tibulnya penyakit kusta ialah (Siregar, 2005) :
1) Bangsa/ras : pada ras kulit hitam insidens bentuk tuberkuloid lebih tinggi pada
kulit putih lebioh cenderung tipe lepromatosa.
2) Sosial/ekonomi : Banyak pada negara-negara berkembang dan golongan sosial
ekonomi rendah
3) Kebersihan : Lingkungan yang kurang memenuhi kebersihan
b. Faktor penularan
b. Kortikosteroid
Kortikosteroid menjadi pilihan terapi ENL (Eritema Nodosum Leprosum),
antara lain prednison. Prednison merupakan kortikosteroid potensi sedang dengan
waktu paruh 12-36 jam. Dosisnya tergantung dari derajat ENL (Eritema Nodosum
Leprosum ). Pada awal pengobatan digunakan dosis 40 mg sehari selama 2
minggu dan dapat diturunkan bila keluhan atau gejala klinis berkurang.
Pemakaian kortikosteroid untuk reaksi reversal adalah fakultatif jika ditemukan
adanya neuritis. Hal ini sangat penting dilakukan untuk mencegah kerusakan saraf
permanen. Pemakaian kortikosteroid harus memperhatikan kontraindikasi, seperti
TB, tukak lambung berat, dan infeksi berat pada ekstremitas yang memburuk.
Pasien hendaknya diedukasi dengan baik untuk mencegah efek samping jangka
panjang atau penghentian obat mendadak.
c. Klofazimin
Merupakan turunan fenazin yang memiliki efek bakterisida setelah 50 hari
terapi pada pasien kusta. Selain itu, klofazimin memiliki efek anti-radang ringan
untuk mengobati ENL. Awitan kerjanya lambat, yaitu baru muncul setelah 2-3
minggu. Dosis untuk ENL lebih tinggi dibandingkan pada pasien kusta tanpa
reaksi, yaitu 200-300 mg/hari. Klofazimin merupakan pilihan terapi untuk ENL
berat dengan episode berulang (2 kali) yang dapat menyebabkan ketergantungan
seperti kortikosteroid.
d. Thalidomid
Thalidomid dalam sejarah menimbulkan efek teratogenik berupa
fokomelia, jarang ditemukan di Indonesia. Efek terapi thalidomid pada ENL
diperkirakan berhubungan dengan stimulasi imun sementara, obat ini bisa
mempromosikan imunoregulator secara aktif. Obat ini tersedia dalam bentuk
kapsul 50 mg. Mengingat efek teratogeniknya, obat ini tidak dipergunakan dalam
program di Indonesia( Djuanda, 2010 ).
14
Kusta
1. Usia 1. Pekerjaan
2. Jenis Kelamin
3. Suku
Diagnosa
Penatalaksanaan :
1. Farmakologis
2. Non Farmakologis
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Kerangka konsep
Kerangka konsep adalah suatu uraian dari visualitas hubungan atau kaitan
antara konsep satu terhadap konsep lainnya, atau antara variabel yang suatu
dengan variabel yang lain dari masalah yang ingin diteliti (Notoatmodjo. 2010).
Variabel independen dalam penelitian ini adalah usia, jenis kelamin, pekerjaan,
dan suku. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kusta.
4. Pekerjaan
Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan dari bulan Januari sampai dengan bulan
Desember tahun 2015 sebanyak 75 orang.
3.4.2 Sampel Penelitian
Sampel adalah sebagian dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu
hingga dianggap dapat mewakili populasi tersebut (Arikunto, 2013). Sampel
penelitian ini adalah seluruh pasien yang menderita kusta di Rumah Sakit Kusta
Pulau Sicanang Medan Belawan dari bulan Januari sampai Desember tahun 2015
yang berjumlah 75 orang. Pada penelitian ini, pengambilan besar sampel
ditentukan dengan menggunakan teknik total sampling.
3.4.3 Teknik Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dalam penelitian ini tidak berdasarkan peluang (non
probability sampling). Dalam penelitian ini akan memakai teknik total sampling
yaitu teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai
sampel (Sugiyono, 2009). Sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini
berasal dari data sekunder yaitu rekam medis pasien yang menderita penyakit
kusta dari bulan Januari hingga Desember tahun 2015 di Rumah Sakit Kusta
Pulau Sicanang Medan Belawan.
Data rekam medis yang diperlukan dicetak dan dimasukkan kedalam checklist
form yang telah disediakan.
DAFTAR PUSTAKA
Eroschenko, VP. 2012. Sistem Integumen. In: Dharmawan, D., Yesdelita, N.Atlas
Histologi Difiore. Ed11th. Jakarta: EGC:223-224Harahap, M. 2000. Ilmu
Penyakit Kulit. Jakarta ; Hipokrates
Koes, I., 2012. Anatomi dan Fisiologi untuk mahasiswa. Bandung ; Alfabetta.
Hal: 320-324.
Kokasih et.al dalam Djuanda. 2010. Ilmu penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Listiyawan, Y., 2013. Menuju Bebas Kusta. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit
Dan Kelamin.
Ramaswari, Y., 2015. Masalah Reaksi Reversal dan Eritema Nodosum Leprosum
pada Penyakit Kusta. Cermin Dunia Kedoktera,. Volume 42 No. 9, pp. 654-
656.
20
Rihatmadja, R. 2015. Anatomi Dan Faat Kulit. In: Menaldi, SL., Bramono, K.,
Indriatmi, W., editors. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Ed 7th. Jakarta:
FKUI:3-7.
Utama, H., 2015. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Jakarta ; FKUI
Widodo, R., 2012. Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Kiai Terkait Kusta. Jakarta ;
Komnas HAM