Anda di halaman 1dari 6

NICE Clinical Guideline 127: Clinical Management of Primary Hypertension

in Adults

- Setiap peningkatan sistol sebanyak 2 mmHg, meningkatkan 7 % risiko


kematian akibat penyakit jantung iskemik, dan meningkatkan 10 % risiko
kematian akibat stroke.
- White coat hypertension: perbedaan tekanan darah klinis dengan tekanan
darah menggunakan ABPM atau HBPM yaitu sebanyak 10/5 mmHg atau
lebih.
- ABPM: cuff dan bladder tersambung dengan sensor elektronik.
- HBPM: dapat mengukur tekanan darah di lengan, pergelangan tangan, atau
jari.

a. Derajat Hipertensi:
1) Hipertensi derajat 1: tekanan darah klinis sama dengan atau di atas
140/90 mmHg, atau di atas 135/85 mmHg pada pengukuran ABPM
atau HBPM.
2) Hipertensi derajat 2: tekanan darah klinis sama dengan atau di atas
160/100 mmHg, atau di atas 150/95 mmHg pada pengukuran ABPM
atau HBPM.
3) Hipertensi berat: tekanan darah klinis untuk sistolik sama dengan
atau di atas 180 mmHg, atau tekanan diastolik sama dengan atau di
atas 110 mmHg.

b. Cara mendiagnosis hipertensi:


1) Apabila tekanan darah klinis adalah 140/90 mmHg atau lebih, maka
dapat digunakan Ambulatory Blood Pressure Monitoring (ABPM)
atau Home Blood Pressure Monitoring (HBPM) untuk
mengonfirmasi diagnosis hipertensi.
2) Jika menggunakan ABPM, maka tekanan darah harus diukur
setidaknya 2x dalam 1 jam ketika orang tersebut dalam jam bangun
tidur (misalnya jam 08.00 22.00).

1
3) Hitung setidaknya sampai 14 kali pengukuran, lalu dirata ratakan
untuk mendiagnosis hipertensi.
4) Jika menggunakan HBPM, maka dalam setiap pengukuran tekanan
darah dilakukan 2 kali dengan jeda 1 menit, dan diukur 2x sehari, yaitu
pada pagi dan malam hari.
5) Pengukuran dilakukan setidaknya selama 4 hari, lalu hasil pengukuran
hari pertama dikeluarkan dari penghitungan, dan hasil pengukuran hari
hari berikutnya dirata ratakan untuk mendiagnosis hipertensi.
6) Catatan: pengukuran sebaiknya dilakukan pada kedua lengan. Apabila
terdapat perbedaan > 20 mmHg di kedua lengan, lakukan pemeriksaan
ulang. Apabila hasilnya tetap sama, maka ambil hasil pengukuran yang
lebih tinggi.

c. Hipertensi Sekunder: (terjadi pada 10 % kasus hipertensi)


1) Apabila terjadi peningkatan kreatinin atau penurunan GFR
mengindikasikan penyakit ginjal (terjadi sebanyak 2 5 %).
2) Apabila terjadi postural hypotension, sakit kepala, palpitasi, atau pucat
menandakan pheochromocytoma (tumor yang menyebabkan
tingginya rilis hormon adrenalin dan noradrenalin di dalam darah).
Pheochromocytoma berkontribusi sebesar 0.04 1 % kasus.
3) Apabila terdapat hipokalemia, abdominal bruit, atau peningkatan
kreatinin ketika mulai menggunakan ACEI atau ARB renovascular
hypertension.
4) Apabila terjadi isolated hypokalemia hyperaldosteronism (terjadi
sebanyak 0.01 0.03 % kasus).

d. Memulai terapi:
1) Apabila pasien berusia di bawah 80 tahun, memiliki hipertensi derajat
1 dan memiliki salah satu hal di bawah ini:
a) Kerusakan target organ (Hipertrofi ventrikel kiri, gagal ginjal
kronis, hypertensive retinopathy).
b) Penyakit jantung dan pembuluh darah.

2
c) Penyakit ginjal.
d) Diabetes
Maka terapi obat antihipertensi dapat mulai diberikan.
2) Apabila pasien memiliki hipertensi derajat 2 dengan usia berapapun,
terapi obat antihipertensi dapat diberikan.
3) Apabila pasien berusia < 40 tahun dan memiliki hipertensi derajat 1
namun tidak ada kerusakan target organ, serta riwayat penyakit
kardiovaskular, ginjal, dan diabetes, maka disarankan untuk konsultasi
kepada dokter spesialis untuk menemukan penyebab sekunder dari
hipertensi tersebut.
4) Pasien berusia 55 80 tahun dan di atas 80 tahun dapat diberikan
pengobatan antihipertensi yang sama.
5) Target pengobatan:
a) Tekanan darah < 140/90 mmHg pada orang berusia di bawah 80
tahun dengan melakukan pengobatan.
b) Tekanan darah < 150/90 pada orang berusia 80 tahun atau lebih
dengan melakukan pengobatan.
c) Pada orang yang menggunakan ABPM atau HBPM untuk
monitoring, maka targetnya menjadi < 135/85 mmHg pada orang
di bawah 80 tahun, serta < 145/85 mmHg pada orang berusia 80
tahun atau lebih.

e. Pemeriksaan risiko kerusakan target organ:


1) Pemeriksaan urin: lihat rasio albumin:kreatinin serta pemeriksaan
hematuria. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan test strip
selama 30 60 detik lalu dibandingkan warnanya. Apabila
menginginkan pemeriksaan yang lebih sensitif, dapat dilakukan di
laboratorium untuk melihat mikroalbumin.
2) Pemeriksaan darah: lihat glukosa darah, elektrolit, kreatinin, estimasi
GFR, kolesterol total dan kolesterol HDL. Pemeriksaan elektrolit yaitu
Natrium dan Kalium dilakukan untuk mengeksklusi hipertensi akibat
penyakit adrenal.

3
3) Periksa fundus untuk melihat apakah terdapat hypertensive retinopathy
atau tidak.
4) Periksa EKG.

f. Pengobatan Tahap 1:
1) Pada pasien berusia < 55 tahun, berikan ACE inhibitor atau ARB.
Apabila dengan penggunaan ACE inhibitor pasien mengeluhkan batuk,
dapat diganti dengan ARB. ACE inhibitor dan ARB tidak boleh
digabungkan.
2) Pada pasien berusia > 55 tahun, berikan antihipertensi kelas CCB.
Apabila ada ketidakcocokan (misalnya intoleransi) atau ada risiko
gagal jantung, ganti diuretik mirip thiazide.
3) Apabila akan diberikan terapi diuretik, berikan diuretik mirip thiazide,
seperti chlortalidone (12.5 25 mg, 1x sehari) atau indapamine (1.5
2.5 mg, 1x sehari).
4) Apabila pasien sebelumnya sudah diobati dengan diuretik thiazide
konvensional dan tekanan darahnya terkontrol dengan baik, maka
terapinya tetap dilanjutkan.
5) Beta blocker bukan merupakan pilihan yang disarankan, namun dapat
bermanfaat pada pasien yang lebih muda, terutama apabila terdapat
intoleransi terhadap ACE inhibitor dan ARB, atau pada wanita hamil.
6) Apabila terapi dimulai dengan beta blocker dan memerlukan obat
kedua, CCB lebih disarankan dibandingkan diuretik mirip thiazide.

g. Pengobatan Tahap 2:
1) Jika tekanan darah tidak dapat dikontrol dengan pengobatan tahap 1,
maka diberikan pengobatan tahap 2 yaitu CCB dikombinasikan dengan
ACE inhibitor atau ARB.
2) Jika pasien tidak cocok dengan obat CCB (misalnya terdapat
intoleransi atau risiko gagal jantung), maka CCB diganti dengan
diuretik mirip thiazide.

4
h. Pengobatan Tahap 3:
1) Sebelum memasuki tahap 3, pastikan dulu bahwa pengobatan tahap 2
sudah sampai di dosis maksimal yang dapat ditoleransi pasien.
2) Apabila diperlukan 3 jenis obat, maka pilihannya adalah kombinasi
ACE inhibitor atau ARB, dengan CCB dan diuretik mirip thiazide.

i. Pengobatan Tahap 4:
1) Apabila tekanan darah tetap di atas 140/90 mmHg walaupun sudah
menggunakan pengobatan tahap 3 dengan dosis maksimal, maka
pertimbangkan untuk menggunakan obat antihipertensi keempat dan
konsultasi dengan ahli.
2) Untuk pengobatan hipertensi yang menetap pada tahap 4,
pertimbangkan penggunaan terapi diuretik.
3) Jika kalium darah < 4.5 mmol/L, berikan spironolactone dosis rendah
25 mg, 1x sehari).
4) Jika kalium darah > 4.5 mmol/L, berikan diuretik mirip thiazide
dengan dosis yang lebih tinggi.
5) Selama menggunakan terapi diuretik, harus dilakukan monitoring
kadar natrium dan kalium darah serta fungsi ginjal dalam 1 bulan dan
diulang jika perlu.
6) Apabila pasien tidak dapat mentoleransi pengobatan diuretik, maka
berikan alfa-blocker atau beta-blocker.
7) Apabila dengan penggunaan 4 jenis obat dengan dosis maksimal tidak
ada perbaikan, konsultasikan dengan ahli.

j. Intervensi gaya hidup:


1) Poin yang paling penting dalam intervensi gaya hidup adalah exercise
dan diet, serta penghentian perilaku merokok.
2) Intervensi dalam diet:
a) Kurangi konsumsi alkohol.
b) Kurangi minum kopi dan produk yang berkafein lainnya.

5
c) Kurangi asupan garam, dengan mengurangi konsumsinya atau
menggunakan pengganti garam natrium.
d) Jangan berikan suplemen kalsium, magnesium, ataupun kalium
untuk menurunkan tekanan darah.

Anda mungkin juga menyukai