Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Operasi penggantian tulang sendi panggul pada usia lanjut atau arthroplasty,
dewasa ini semakin sering dilakukan. Operasi ini dilakukan karena berbagai sebab
antara lain patah tulang panggul, Avaskular Nekrosis, Osteoarthritis, dll.
Patah tulang panggul umumnya terjadi pada orang tua yang menderita
osteoporosis, perbandingan wanita dan laki-laki adalah 4 berbanding 1. Patah
tulang ini jarang terjadi pada usia muda, kecuali terjadi dengan mekanisme trauma
energi tinggi. Bila terjadi dengan mekanisme trauma energi rendah dicurigai
berupa fraktur patologis 1. WHO menyebutkan sekitar 200 juta orang menderita
Osteoporosis diseluruh dunia. Pada tahun 2050, diperkirakan angka patah tulang
pinggul akan meningkat 2 kali lipat pada wanita dan 3 kali lipat pada pria3.
Diketahui dari Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia, insiden patah tulang panggul tertinggi pada jenis kelamin perempuan
terlihat pada umur 95-99 tahun yaitu sebanyak 1680 kasus dan terendah pada
umur 40-44 tahun yaitu sebanyak 8 kasus 2. Sedangkan insiden patah tulang
panggul tertinggi pada laki-laki terlihat pada umur 90-94 tahun sebanyak 718
kasus dan terendah pada umur 40-44 tahun sebesar 10 kasus2.
Berdasarkan data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun 2010, angka
insiden patah tulang paha atas tercatat sekitar 200/100.000 kasus pada wanita dan
pria diatas usia 40 tahun diakibatkan Osteoporosis. WHO menunjukkan bahwa
50% patah tulang paha atas ini akan menimbulkan kecacatan seumur hidup dan
menyebabkan angka kematian mencapai 30% pada tahun pertama akibat
komplikasi imobilisasi. Data ini belum termasuk patah tulang belakang dan
lengan bawah serta yang tidak memperoleh perawatan medis di Rumah Sakit3.
Pada usia lanjut, angka mortalitas dalam jangka waktu 1 bulan tinggi bahkan
setelah dilakukan operasi, 21% pada wanita dan 37 % pada pria1.
Sedangkan studi yang dilakukan Roberts, dkk, terhadap kasus-kasus fraktur
leher femur dari tahun 1968 1998 tercatat kejadian fatal setelah 30 hari
mencapai 31 %13

1
Di Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta, sejak tahun 1999 sampai tahun 2008
terdapat 84 kasus operasi penggantian sendi panggul, dimana 14 kasus
diantaranya bukan karena fraktur panggul, didapatkan mortalitas 16,9% dengan
waktu observasi rataan 35,7 3,34 bulan dengan faktor yang berpengaruh adalah
nilai albumin, jenis kelamin wanita dan durasi fraktur lebih dari 7 hari 14.
Studi yang dilakukan Paavolainen Pekka, dkk tahun 1980 1996 dari 24,638
pasien didapatkan mortalitas perioperasi sebesar 0,16 % dimana tidak ada
perbedaan signifikan antara pria dan wanita15.
Operasi bedah tulang merupakan operasi yang semakin sering dilakukan pada
usia lanjut dengan kematian 30 hari pasca operasi yang mencapai 8,3%. Diantara
1,6 juta pasien yang menderita fraktur tulang panggul per tahun dengan angka
mortalitas 30 hari pasca operasi mencapai 8,5 - 9,6 % per tahun 4. Infeksi prostetik
sendi adalah satu dari komplikasi paling serius pada pasien paska operasi
arthroplasty panggul mencapai 0,3- 1,7%5.
Pemeriksaan C-Reaktive Protein dan Prokalsitonin adalah dua pemeriksaan
laboratorium yang sangat berguna pada praktek klinis 5. Prokalsitonin adalah
prekursor dari kalsitonin. Produksinya meningkat karena akut kondisi seperti
sepsis, trauma dan operasi4.
C- Reaktive Protein diproduksi oleh hepatosit atas respon interleukin-6,
meningkat pada inflamasi, infeksi dan trauma, namun nilainya sangat rendah pada
kondisi normal. C-Reaktive Protein digunakan untuk monitor pasien paska operasi
pemasangan implant untuk mendeteksi infeksi5.
Prokalsitonin adalah penanda infeksi yang dalam serum normal ditemukan
dalam konsentrasi rendah. Pada studi klinis diketahui peningkatan kadar
prokalsitonin terjadi pada pasien-pasien sepsis, inflamasi dan paska operasi besar5.
Dari penelitian terdahulu diketahui bahwa nilai C-Reaktive Protein mencapai
nilai tertinggi hingga 33 kali lipat nilai normal pada hari ke 3 paska operasi patah
tulang panggul dan perlahan akan kembali menurun. Sedangkan nilai
prokalsitonin akan mencapai nilai tertinggi pada hari pertama paska operasi patah
tulang panggul hingga mencapai 3 kali lipat dibandingkan pre operasi dan
kemudian nilainya akan kembali menurun5.
Berbagai penelitian dilakukan untuk mendapatkan prediktor mortalitas terbaik

2
paska operasi panggul.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dirumuskan tema sentral masalah penelitian
sebagai berikut :
Penderita fraktur tulang panggul usia lanjut akan dinilai perubahan kadar C reaktif
protein dan prokalsitonin sebelum dan setelah operasi atas respon inflamasi
sistemik pada pasien, kadar ini akan menurun kembali dan dijadikan marker
prognostik mortalitas. Diharapkan dengan ditemukannya marker awal ini maka
dokter yang merawat dapat memberikan perhatian lebih dengan melakukan
evaluasi kesehatan pasien tertentu sebelum dipulangkan dari rumah sakit.

1.2 Rumusan Masalah


Dengan memperhatikan kondisi diatas dimana, masih belum didapatkan
prediktor yang benar-benar akurat sampai saat ini sehingga dirumuskan masalah,
apakah nilai Prokalsitonin dan C-Reaktif protein dapat digunakan sebagai
prognostik morbiditas dan mortalitas 30 hari paska operasi arthroplasti sendi
panggul pada pasien usia lanjut.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui apakah nilai Prokalsitonin dan C-Reaktif protein dapat
digunakan sebagai prognostik mortalitas dan morbiditas infeksi luka operasi 30
hari paska operasi arthroplasti sendi panggul pada pasien usia lanjut.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Mengetahui nilai Prokalsitonin sebelum dan setelah operasi arthroplasti
sendi panggul pada pasien usia lanjut
2. Mengetahui nilai C- Reaktif Protein sebelum dan setelah arthroplasti
sendi panggul pada pasien usia lanjut

1.4 Kegunaan Penelitian


1.4.1 Kegunaan Akademis
Hasil penelitian ini akan memperluas cakrawala pengetahuan Ilmu Bedah

3
khususnya dalam aspek biomolekular.

1.4.2 Kegunaan Praktis


Prognosis mortalitas morbiditas dini dengan pengukuran kadar prokalsitonin
dan C reaktif protein pada pasien arthroplasti sendi panggul usia lanjut.

4
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN
HIPOTESIS

2.1 KAJIAN PUSTAKA


Struktur anatomi Hip
Hip joint merupakan triaxial joint, karena memiliki 3 bidang gerak. Hip joint
merupakan hubungan proksimal dari ekstremitas inferior. Dibandingkan dengan
shoulder joint yang konstruksinya untuk mobilitas, hip joint sangat stabil yang
konstruksinya untuk menumpu berat badan. Hip joint dibentuk oleh kepala tulang
femur yang konveks bersendi dengan acetabulum yang konkaf. Hip joint adalah
ball and socket (spheroidal) triaxial joint6.

Gb 1. Hip joint

Acetabulum terbentuk dari penyatuan tulang ilium, ischium dan pubis 6,7 yang
terjadi pada akhir usia remaja7. Ketiga tulang ini digabungkan oleh tulangrawan
hyalin7.Seluruh acetabulum dilapisi oleh tulang rawan dan pusat acetabulum terisi
oleh suatu massa jaringan lemak yamg tertutup oleh membrane synovial6.
Jaringan fibrokartilago yang melingkar datar di acetabulum disebut dengan
labrum acetabular, yang melekat disekeliling margo acetabulum. Labrum
acetabular menutup tulang rawan hyaline dan sangat tebal pada sekeliling
acetabulum, hal ini menambah kedalaman acetabulum. Acetabulum terletak di
bagian pelvis, menghadap ke lateral, anterior dan inferior6.

5
Gb2. tulang ilium, ischium dan pubis

Tulang femur adalah tulang yang terpanjang pada tubuh manusia. Terbagi atas
bagian proksimal, bagian shaft dan bagian inferior. Tulang Femur bagian
proksimal terdiri atas bagian kepala, bagian leher, trochanter mayor dan minor.
Bagian kepala tulang femur membentuk sudut superiormedial saat berartikulasi
dengan acetabulum7. Batas superior dari tulang femur bagian leher dimulai persis
dari leteral tulang femur bagian kepala dan bagian distal berbatasan dengan
trochanter mayor. Batas inferior tulang femur bagian leher dimulai dari lateral
kepala tulang femur sampai ke trochanter minor. Batas superiornya lebih tebal dan
pendek daripada batas inferior. Tulang femur bagian kepala dan leher membentuk
sudut 130 (7) terhadap shaft. Sudut ini lebih lebar pada saat lahir dan makin
menyempit sesuai usia. Trochanter mayor adalah tonjolan tulang pada permukaan
anterolateral dari tulang femur bagian proksimal, terletak pada distal tulang femur
bagian leher. Disinilah terletak insersi dari otot gluteus medius dan gluteus
minimus. Trochanter minor adalah tonjolan tulang pada aspek medial dari tulang
femur bagian shaft persis di distal bagian leher femur, adalah tempat insersi otot
iliopsoas7.
Tulang Femur bagian proksimal terbagi atas bagian kepala tulang femur dan
bagian leher tulang femur1.

6
Gb 3. Anatomi tulang Femur proksimal

Sendi panggul ini mempunyai jangkauan gerak yang sangat luas1. Ada tiga
ligamen yang terbentuk dari penebalan kapsul sendi yaitu 1:
1. Ligamen iliofemoral1, disebut juga ligament Y dari Bigellow7, yang
terletak di anterior, adalah ligamen yang paling tebal dan terkuat dari
ligament lainnya, mempertahankan hiperekstensi sendi panggul pada saat
seseorang berdiri dengan memegang tulang femur bagian kepala dan
acetabulum7.
2. Ligamen pubofemoral, yang terletak di inferior. Ligamen ini
mempertahankan overabduksi dari sendi panggul7.
3. Ligamen ischiofemoral, yang terletak di posterior, adalah ligament yang
terlebar dari ligamen lainnya1. Ligamen ini juga mempertahankan
hyperekstensi dan memegang tulang femur bagian kepala dan
acetabulum7.

Otot-otot penunjang panggul


Otot-otot yang berada di sekitar sendi panggul tebal dan kuat dalam menunjang
pergerakan kepala femur.
Otot-otot ini terbagi menjadi 3 kelompok1:

7
1. Otot bagian anterior terdiri atas otot Iliopsoas, Tensorfasciae latae, Otot
Sartorius dan quadriceps femoris.
2. Otot bagian medial terdiri atas Pectineus, Gracilis, Obturator externus,
Adductor Magnus, Adductor brevis dan Adductor longus. Otot- otot
bagian medial ini berperan penting adduksi paha.
3. Otot bagian posterior terdiri atas Semitendinosus, Semimembranosus, dan
Biceps femoris. Otot-otot bagian posterior berperan penting untuk
meluruskan sendi panggul

Gb.4. Perdarahan pada sendi panggul

Vaskularisasi sendi panggul


Vaskularisasi sendi panggul terdiri atas 3 sumber utama yaitu:
1. Arteri Femoral circumflex dan Retinacular
2. Medullary Vasculature
3. Perdarahan yang berasal dari Ligamentum Teres

Arteri Circumflex Femoral mengelilingi dasar dari leher tulang femur dan
bercabang ke arah proximal menjadi Arteri Retinacular memperdarahi kepala
tulang femur.
Rusaknya Arteri Retinacular akan menyebabkan Avascular Necrosis (AVN) dari
kepala tulang femur pada 84% kasus. Pada kasus patah tulang leher femur tanpa
adanya pergeseran tulang yang ditemukan secara kebetulan, biasanya Retinacular
tidak rusak dan diagnosis yang cepat dapat mencegah terjadinya komplikasi.

8
Patah Tulang Panggul1
Patah tulang Femur Proksimal dan Patah tulang panggul diklasifikasikan
berdasarkan anatominya:
1. Fraktur intrakapsular, yaitu Fraktur dari kepala dan leher tulang femur
2. Fraktur ekstrakapsular, yaitu Fraktur dari intertrochanteric, trochanteric
dan subtrochanteric

Fraktur Femur bagian Kepala1


Fraktur ini adalah fraktur yang tidak umum, bisa terjadi bersama dengan dislokasi
ataupun tanpa deformitas apapun pada pasien.
Fraktur Femur bagian kepala terbagi atas 2 klasifikasi
1. Fragmen single
2. Fragmen kominutif

Gb 5. Fraktur Femur bagian kepala

Mekanisme trauma dari single fragmen biasanya disebabkan oleh karena tarikan
paksa yang terjadi pada saat terjadinya dislokasi. Dimana dislokasi anterior
dihubungkan dengan fraktur pada kepala femur bagian superior dan dislokasi
posterior dihubungkan dengan fraktur pada kepala femur bagian inferior.
Sedangkan fraktur yang kominutif biasanya dihubungkan dengan trauma direk
yang berat.

Terapi
Single Fragmen.

9
Dilakukan imobilisasi, pemberian analgetik dan reduksi dislokasi segera. Fragmen
yang kecil atau frakmen tulang pada posisi superior memerlukan tindakan operasi
untuk membuang frakmen atau arthroplasty
Kominutif fragmen.
Dilakukan tindakan imobilisasi,pemberian analgetik, dan stabilisasi dengan
arthroplasty.

Fraktur Tulang Femur bagian leher


Fraktur tulang Femur bagian leher adalah trauma yang sangat serius yang dapat
menyebabkan disabilitas sekunder karena rusaknya sumber perdarahan dari tulang
Femur bagian kepala akibat Avaskular Nekrosis.
Ada banyak klasifikasi fraktur ini berdasarkan anatomi dan terapinya.
Pauwels mengklasifikasikan fraktur ini berdasarkan sudut yang dibentuk dari
garis fraktur terhadap garis horizontal. Klasifikasi ini tidak banyak digunakan
karena arah dari sinar rontgen atau posisi dari pasien dapat membiaskan sudut
yang terbentuk.

Garden mengklasifikasikan fraktur femur bagian leher berdasarkan derajat


pergeseran segmen fraktur yang terlihat rontgen Antero Posterior menjadi 4 tipe :

Type I Inkomplit atau fraktur impaksi


Type II Komplit, tetapi tidak terjadi pergeseran segmen fraktur
Type III Pergeseran parsial atau segmen fraktur membentuk sudut
Type IV Pergeseran segmen, dimana tidak ada kontak antar segmen

10
Gb 6. Klasifikasi Garden

Terapi
Fraktur ini sangat nyeri dan menjadi salah satu tanggung jawab dari dokter bagian
gawat darurat untuk mengurangi nyeri tersebut dengan memberikan narkotik
analgetik atau blok pada saraf Femoral.

Fraktur tanpa pergeseran


Tatalaksanan non operatif pada pasien ini tidak sebaik tatalaksana operatif. Tanpa
interfensi fiksasi pada tatalaksananya, 10%-30% kasus akan terjadi pergeseran
segmen fraktur.
Fiksasi internal yang umum dipakai adalah 3 buah cannulated screw yang
ditempatkan dari lateral femur hingga ke kepala femur untuk menstabilisasi garis
fraktur. Beberapa sumber merekomendasikan hemiarthroplasty untuk pasien
diatas 80 tahun karena angka kejadian yang rendah dilakukannya operasi ulang.

Fraktur dengan pergeseran


Fraktur ini 40% akan mengalami AVN dalam 48 jam dan 100 % akan mengalami
AVN dalam 1 minggu. Terapi definitif tergantung dari usia pasien dan tingkat
aktifitasnya.
Pada pasien usia muda dilakukan internal fiksasi terbuka atau tertutup dengan
menggunakan cannulated screw untuk mempertahankan kepala dari tulang femur
walaupun mempunyai angka kejadian yang tinggi untuk terjadinya AVN, tulang
tidak menyambung dan operasi ulang.

11
Pada pasien usia tua dengan kegiatan fisik yang minimal, terdiagnosa lebih dari 1
minggu , fraktur patologis atau arthritis sendi panggul dilakukan penggantian
sendi panggul total.
Angka mortalitas pada pasien yang diterapi dengan internal fiksasi adalah 10 %
sedangkan angka mortalitas pada pasien yang diterapi dengan bed rest adalah
60%.
Pada usia lanjut, angka mortalitas dalam jangka waktu 1 bulan tinggi bahkan
setelah dilakukan operasi, 21% pada wanita dan 37 % pada pria diatas 84 tahun.

FRAKTUR INTERTROCHANTERIC
Fraktur intertrochanteric adalah fraktur pada ekstrakapsul yang melibatkan tulang
concellous yang terletak antara trochanter mayor dan minor. Fraktur ini biasanya
terjadi pada pasien usia lanjut dimana rasio wanita berbanding pria adalah 4:1
sampai 6:1
Klasifikasi fraktur terbagi atas 2,yaitu:
1. Fraktur intertrochanter stabil, dimana terdapat satu garis fraktur pada
korteks antar trochanter dan tidak terdapat pergeseran segmen fraktur.
2. Fraktur intertrochanter tidak stabil, dimana terdapat multipel garis fraktur
atau kominutif yang diasosiasikan dengan pergeseran antara shaft femur
dan leher femur1

Gb. 7 Klasifikasi fraktur throcanter


Fraktur trokanter tulang femur adalah jenis fraktur yang terbanyak pada tulang
femur proksimal, dimana didapatkan kematian peri operative yang tinggi pada
orang tua4.

12
RESPON FASE AKUT
Respon inflamasi sistemik terhadap infeksi, trauma jaringan lunak atau
inflamasi mencetuskan perubahan produksi plasma protein dari hati 5,8. Proses ini
berjalan dengan mediator Interleukin 6 (IL-6), dan sitokin lain yang disebut
Respon Fase Akut8.
Pada Respon Fase Akut, sintesis beberapa protein termasuk albumin,
transferrin dan prealbumin menurun. Protein-protein ini disebut sebagai Reaktan
fase akut negative. Konsentrasi albumin turun lebih cepat dari yang sintesanya.
Pada respon fase akut juga terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan
redistribusi albumin ke cairan extracellular8.
Produksi dari beberapa protein, 1-antitrypsin (AAT), 1-acid glycoprotein
(AAG), haptoglobin (Hp), ceruloplasmin, C4, C3 dan fibrinogen meningkat
beberapa kali lipat8.
Produksi C-Reaktif protein (CRP) dan serum amiloid A (SAA) meningkat sangat
hebat, dan konsentrasinya dalam plasma meningkat hingga 1000 kali lipat bahkan
lebih pada kasus yang ekstrim8. CRP mulai meningkat sejak 6 jam setelah inisiasi
akut respon dan mencapai puncak dalam 48 jam dan kembali turun lagi9.
Prokalsitonin adalah komponen lain yang digunakan untuk menilai respon
fase akut6. Prokalsitonin adalah polipeptida yang terdiri dari 116 asam
amino8,9yang berfungsi sebagai prekursor pembentukan kalsitonin pada sel C
thyroid8,9, dimana konsentrasinya dalam plasma meningkat pada fase akut
inflamasi. Prokalsitonin terdiri atas 3 bagian : N-ProCT, imatur calcitonin dan
Catacalcin10 . Saat respon inflamasi terjadi, prokalsitonin mulai disintesa oleh
berbagai organ seperti hati, ginjal dan pankreas dimana tidak dibagi lagi menjadi
komponen yang lebih kecil dan konsentrasinya dalam plasma meningkat cepat
dibanding reaktan lain dari nilai sebelumnya yang sangat rendah dalam plasma8.
Protein pada fase akut meningkat konsentrasi dalam plasma pada waktu yang
berbeda-beda. Procalcitonin, C reaktif protein, SAA dan 1- antichymotrypsin;
setelah 12 jam, AAG; setelah 24 sampai 48 jam, AAT, Hp, C4, dan fibrinogen;
dan terakhir C3 dan Cp. Semuanya mencapai maksimal pada kisaran 2-5 hari dan
menurun kembali dengan urutan yang sama8.

13
Pengukuran C Reactive protein dan SAA, dimana memiliki perubahan konsentrasi
terbesar, dapat dipakai sebagai monitoring perubahan reaksi inflamasi dan
responnya terhadap pengobatan. Konsentrasi CRP dapat meningkat hingga 30 kali
lipat dari nilai normal (N<5 mg/L) saat respon fase akut, dimana menjadi penanda
yang berharga dalam pengawasan pasien dengan kondisi inflamasi seperti
rheumatoid arthritis dan Crohns disease9.
Peningkatan Laju Endap Darah (LED) adalah indikator lain dari inflamasi, maka
LED berubah dari waktu ke waktu pada respon fase akut. Pemeriksaan CRP lebih
sensitive dan spesifik dari laju endap darah dan viskositas plasma 9. Infeksi virus
tidak menyebabkan peningkatan dari CRP demikian juga dengan penyakit
autoimun seperti Systemic Lupus Erythematosus dan Scleroderma9.
Respon fase akut terhadap infeksi bakteri biasanya lebih kuat dari pada
infeksi virus dan prokalsitonin atau reaktan fase akut lainnya kadang diukur pada
neonatus atau pada pada pasien dewasa untuk mengetahui adanya infeksi bakteri
secara dini sebelum hasil kultur didapat8.
Pengukuran prokalsitonin membantu dalam penilaian kapan antibiotik
dipakai. Konsentrasi prokalsitonin sangat rendah pada bayi baru lahir dan dengan
nilai potong 0,12 ng/ml direkomendasikan sebagai deteksi adanya infeksi bakteri
disertai demam8.
Sedangkan pada pasien dewasa pada unit perawatan intensif konsentrasi
prokalsitonin dibawah nilai potong 0,5 ng/ml mengindikasikan resiko rendah
terhadap sepsis. Liposakarida adalah reaktan dalam fase akut lain yang digunakan
sebagai penanda infeksi, konsentrasinya meningkat jelas pada pasien endokarditis.
Perubahan protein kualitatif juga terlihat pada respon fase akut, dimana perubahan
glycosilasi dari immunoglobulin menyebabkan perubahan imunomodulator8.
Pengukuran procalsitonin bukan pengganti pengukuran CRP sebagai penanda
respon fase akut, tapi penilaiannya dipakai sebagai pelengkap informasi, karena
memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dari CRP sehingga
prokalsitonin menjadi indicator prognosis yang lebih baik9.

14
Gb 8. Procalcitonin10
OSTEOPOROSIS
Osteoporosis menyebabkan tulang menjadi lemah dan rapuh. Sedemikian
rapuhnya sehingga pada saat jatuh atau trauma yang ringan seperti tekanan pada
saat seseorang terbatuk bisa menyebabkan patah tulang11.
Tulang adalah jaringan yang hidup yang secara konstan hancur dan berganti
dengan yang baru, osteoporosis terjadi saat pergantian tulang yang baru tidak
dapat menutup yang telah hancur11. Tidak ada gejala-gejala khusus dari
osteoporosis.
Pada saat usia muda pembentukan tulang yang baru lebih cepat dari
penghancurannya, seseorang mencapai tingkat kepadatan tulang tertinggi rata-rata
pada usia 20an11. Seberapa cepat seseorang menjadi osteoporosis tergantung dari
seberapa banyak massa tulang telah kita tabung di usia muda. Semakin banyak
disimpan massa tulang semakin lama seseorang mendapat osteoporosis11.

Gb. Perbedaan kondisi tulang normal dan osteoporosis

15
Faktor resiko Osteoporosis
Ada beberapa faktor resiko yang tidak bisa diubah para penderita
osteoporosis, yaitu11:
1. Jenis kelamin, dimana wanita lebih sering menderita osteoporosis
dibandingkan laki-laki.
2. Umur, semakin tua seseorang, semakin rentan osteoporosis.
3. Ras, resiko tinggi pada orang asia.
4. Riwayat keluarga, resiko osteoporosis sangat tinggi bila pada keluarganya
ada yang menderita osteoporosis, apalagi bila orang tuanya mempunyai
riwayat menderita patah tulang panggul.
5. Bentuk tubuh yang kecil, resiko osteoporosis lebih tinggi pada pria dan
wanita yang mempunyai tubuh yang kecil.

Osteoporosis umum terjadi pada seseorang yang mempunyai hormone terlalu


banyak atau terlalu sedikit jumlahnya. Contohnya :

Hormon Seks. Penurunan kadar estrogen pada wanita menopause adalah


salah satu faktor resiko terkuat terjadinya osteoporosis. Sedangkan pada
pria penurunan testosterone terjadi bertahap sesuai usianya. Pengobatan
prostat dengan menurunkan testosteron pada pria dan pengobatan kanker
payudara dengan menurunkan estrogen dapat menjadi faktor kehilangan
massa tulang yang cepat.

Masalah tiroid. Terlalu banyak hormone tiroid menyebabkan massa tulang


berkurang. Ini terjadi bila tiroid seseorang terlalu aktif atau bila seseorang
dengan hipotiroid mengkonsumsi terlalu banyak pengobatan hormone
tiroid.

Organ lain. Osteoporosis juga diasosikan dengan paratiroid yang terlalu


aktif dan kelenjar adrenal.

Faktor Diet

16
Seseorang akan semakin tinggi kemungkinan osteoporosis bila seseorang dengan
asupan kalsium yang rendah, malnutrisi, dan seseorang dengan operasi usus.

Faktor obat-obatan yang dikonsumsi11.

Penggunaan kortikosteroid baik oral maupun injeksi dalam waktu lama seperti
prednisone dan cortisone dapat mempengaruhi proses regenerasi tulang.

Faktor penyakit yang dapat mempercepat osteoporosis.

Penyakit usus, Inflammatory bowel disease, penyakit hati dan ginjal, kanker,
Lupus, multiple myeloma, dan rheumatoid arthritis.

Faktor gaya hidup11

Seseorang yang mempunyai mobilitas yang tinggi pada saat bekerja lebih jarang
terjadi osteoporosis dibandingkan dengan seseorang yang terbiasa hanya duduk
pada saat bekerja. Dan seseorang dengan kebiasaan merokok dan minum alkohol
lebih rentan terjadi osteoporosis.

Diagnosis osteoporosis

Kepadatan tulang bisa diperiksa dengan menggunakan sebuah mesin yang


menggunakan sinar Xray yang ringan untuk menilai mineral tulang11.

PENGGOLONGAN USIA
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan lanjut usia menjadi 4 yaitu :
Usia pertengahan (middle age) 45 -59 tahun, Lanjut usia (elderly) 60 -74 tahun,
lanjut usia tua (old) 75 90 tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun12.

Kriteria Infeksi Luka Operasi


Kriteria infeksi luka operasi, berdasarkan Infection Control and Hospital
Epidemiology terbagi atas 3:
1. Superficial Incissional Surgical Site Infection
2. Deep Incisional SSI

17
3. Organ/Space Surgical Site Infection

2.2 KERANGKA TEORI

OPERASI ARTHROPLASTI PANGGUL PADA USIA LANJUT

RESPON FASE AKUT

Mediator inflamasi

Peningkatan: Penurunan:
CRP Albumin
Serum Amyloid A, Apolipoprotein A-1
-1Acid glycoprotein Apolipoprotein B
1-Antitrypsin 2-HS glycoprotein
1-Antichymotrypsin IGF-I
Antithrombin III Prealbumin
C3, C4, and C9 Retinol-binding protein
C1 inhibitor Thyroxine-binding globulin
C4b-binding protein Transferrin
Ceruloplasmin
Factor B
Ferritin
Fibrinogen
Haptoglobin
Hemopexin
Lipopolysaccharide-binding protein
Mannan-binding protein (lectin)
Plasminogen
Procalcitonin

2.3 Hipotesis Penelitian

Proklasitonin dan C- Reaktif protein dapat digunakan sebagai


prognostik kematian dan morbiditas 30 hari paska operasi patah tulang
panggul elektif pada pasien usia lanjut.

18
BAB III
SUBJEK DAN METODE PENELITIAN

3.1 Subjek Penelitian


Populasi subjek penelitian adalah penderita yang datang berobat ke poli dan
instalasi gawat darurat bedah ortopedi RS Muhammad Hoessin, Palembang yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dan bersedia megikuti penelitian dengan
mengisi lembar persetujuan ( Informed Consent).

3.1.1 Kriteria Inklusi


1. Pasien berusia 60 tahun atau lebih dengan deformitas pada sendi panggul
yang direncanakan arthroplasty
2. Pasien sudah dilakukan pemeriksaan evaluasi bagian Penyakit Dalam dan
anestesi, dilakukan optimalisasi persiapan operasi serta dinyatakan layak
operasi.
3. Pasien minimal dirawat 7 hari paska operasi.
4. Bersedia menjadi sampel penelitian dengan menandatangani formulir
persetujuan.

3.1.2 Kriteria Eksklusi


Untuk pasien trauma, mengalami lebih dari satu macam trauma fisik.

3.1.3 Kriteria drop out


Pasien yang lost follow up (pasien yang tidak dapat dipantau kurang dari 30 hari
paska operasi)

3.1.4 Pemilihan Sampel


Sampel penelitian adalah penderita deformitas regio panggul yang datang ke
Instalasi Rawat Jalan Departemen Bedah Orthopedi RS. Dr.Mohammad Hoesin,
Palembang dan Instalasi Gawat Darurat RS Dr. Mohammad Hoesin, Palembang
yang telah memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk kriteria eksklusi dan

19
besar sampel minimal.
Sampel penelitian diambil berdasarkan consecutive sampling (urutan datang
pasien) sampai terpenuhi besar sampel minimal.

3.1.5 Besar Sampel


Besar sampel penelitian ditentukan dari Rumus

n = 10 x VB /l
n= 10 x 1 / 0,3 = 33,33, pembulatan 34 pasien

Besar sampel ditambahkan 10 % untuk memenuhi sampel yang drop out yaitu 3,4
pasien, total pasien menjadi 38 pasien sampel.
Keterangan:
N : besar sampel
VB : Variabel bebas
I : Insiden

3.2 Metode Penelitian


3.2.1 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang diambil adalah Studi Kohort prospektif.

3.2.2 Variabel dan Definisi Operasional Penelitian


3.2.2.1 Variabel penelitian
1. Variabel bebas adalah kadar C reaktif protein dan kadar Prokalsitonin
pasien sampel.
2. Variabel terikat adalah mortalitas dan infeksi luka operasi yang terjadi
hingga 30 hari paska operasi.

20
3.2.2.2 Definisi Operasional

Kadar CRP Nilai hasil pengukuran Laboratorium pq/mL Numerik


kuantitatif yang diambil dari darah biomolekuler FK
pasien UNSRI

Kadar Nilai hasil pengukuran Laboratorium pq/mL Numerik


prokalsitonin yang diambil dari darah biomolekuler FK
pasien UNSRI
Mortalitas Akhir hidup seseorang Ya/Tidak Nominal
yang dihitung sejak
operasi selesai
Infeksi luka Kriteria infeksi luka Pemeriksaan fisik Ya/Tidak Nominal
operasi operasi berdasarkan
Guideline

Kerangka Konsep

Arthroplasty

Aktifasi

Respon Fase Akut

Prokalsitonin C Reaktif protein

meningkat Meningkat

21
3.3. Cara Kerja
3.3.1 Persiapan
1. Setelah persiapan protokol, formulir penelitian serta izin dari komite etik
penelitian, peneliti melakukan persiapan sebagai berikut:
a. Pencatatan identitas pasien yang memenuhi kriteria inklusi yang
datang berobat ke Instalasi Rawat Jalan dan Instalasi Gawat Darurat
Departemen Bedah Ortopedi RS. Dr. Mohammad Hoesin, Palembang.
b. Dilakukan penjelasan mengenai penelitian ini serta menandatangani
persetujuan megikuti penelitian.
2. Dilakukan pengambilan darah sebanyak 5 cc untuk pemeriksaan kadar C
reaktif protein kuantitatif dan kadar prokalsitonin. Sampel darah dikirim
ke Instalasi Laboratorium RS Dr. Mohammad Hoesin, Palembang dan
Laboratorium Biomolekuler Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya,
Palembang.

3.3.2 Pengambilan bahan pemeriksaan laboratorium pertama


Pada subjek penelitian diambil sampel darah sebanyak 1 cc untuk pemeriksaan C
Reaktif kuantitatif dan Prokalsitonin, dilakukan 1 hari sebelum dilaksanakan
operasi.

3.3.3 Operasi Arthroplasty


Pada subjek penelitian dilakukan operasi Arthroplasty sendi panggul yang
dilakukan oleh ahli bedah orthopedi sebagai operator sekaligus dokter
penanggung jawab pasien di instalasi bedah sentral RS Dr. Mohammad Hoesin,
Palembang dengan menggunakan spinal anestesi dan perkiraan lama waktu
operasi kurang dari 2 jam.

3.3.4 Pengambilan bahan pemeriksaan laboratorium kedua


Pada subjek penelitian diambil sampel darah sebanyak 1 cc untuk pemeriksaan C
Reaktif Protein kuantitatif dan Prokalsitonin, dilakukan hari ke 2 setelah
dilaksanakan operasi.

22
3.3.5 Pengambilan bahan pemeriksaan laboratorium ketiga
Pada subjek penelitian diambil sampel darah sebanyak 1 cc untuk pemeriksaan C
Reaktif Protein kuantitatif dan Prokalsitonin, dilakukan hari ke 7 setelah
dilaksanakan operasi.

3.3.6 Prosedur Pengukuran Kadar Procalcitonin


Pengukuran kadar Procalcitonin/C Reactif Protein dilakukan dengan
metode sandwich ELISA. Sampel yang digunakan ialah plasma. Adapun prosedur
pemeriksaan, sebagai berikut:

Alat dan Bahan :


1. Human Prokalsitonin/C Reaktif protein ELISA Kit : terdiri atas 96
well microplate, standard, Biotin-antibody, HRP-avidin, Biotin-
antibody Diluent, HRP-avidin Diluent, sample dilluent, Wash Buffer,
TMB substrate, Stop solution.
2. Microplate reader
3. Pipet dan pipet tips
4. Inkubator

Prosedur :
1. Persiapan sampel : plasma disentrifugasi 3000 rpm selama 20 menit.
Kemudian, supernatan diambil dan dimasukkan ke dalam tabung
eppendorf.
2. Persiapan reagen :
o Biotin-antibody (1x) : 10 L biotin-antibody + 990 L biotin-
antibody diluent.
o HRP-aidin (1x) : 10 L HRP-avidin + 990 L HRP-avidin
diluent.
o Wash buffer (1x) : larutkan 20 ml wash buffer ke dalam 500 ml
aquadest.
o Standard : siapkan standard dengan serial konsentrasi 2000,
1000, 500, 250, 125, 62,5 , 31,25 dan 0 pg/ml.
3. Pemeriksaan Kadar :

23
o Tambahkan 100 l standard dan sampel pada tiap sumuran.
Tutup mikroplate dengan adhesive strip. Inkubasi selama 2 jam
pada 37oC.
o Buang cairan yang ada pada tiap sumuran, tetapi jangan
mencuci sumuran.
o Tambahkan 100 l biotin-antibody (1x) pada tiap sumuran.
Tutup mikroplate dengan adhesive strip. Inkubasi selama 1 jam
pada 37oC.
o Aspirasi cairan pada tiap sumuran dan cuci dengan wash buffer
(200l), ulangi sebanyak 3 kali.
o Tambahkan 100 l HRP-avidin (1x) pada tiap sumuran. Tutup
mikroplate dengan adhesive strip. Inkubasi selama 1 jam, pada
suhu 37oC.
o Aspirasi cairan pada tiap sumuran dan cuci dengan wash buffer
(200l), ulangi sebanyak 5 kali.
o Tambahkan 90 l TMB substrate pada tiap sumuran. Inkubasi
selama 15-30 menit pada 37oC.
o Tambahkan 50 l stop solution pada tiap sumuran.
o Tentukan nilai OD dengan mikroplate reader pada panjang
gelombang 450nm.
o Pemeriksaan kadar dilakukan secara duplo pada tiap sumuran
dan cuci dengan wash buffer (200l), ulangi sebanyak 5 kali.
o Tambahkan 90 l TMB substrate pada tiap sumuran. Inkubasi
selama 15-30 menit pada 37oC.
o Tambahkan 50 l stop solution pada tiap sumuran.
Tentukan nilai OD dengan mikroplate reader pada panjang gelombang 450nm

3.4 Kerangka Penelitian


Bagan tata cara penelitian ini dapat dilihat pada gambar di bawah :

POPULASI PASIEN BEDAH ORTOPEDI

24
Kriteria inklusi Kriteria eksklusi

SAMPEL PENELITIAN BUKAN SAMPEL

Pengukuran kadar CRP kuantitatif & prokalsitonin

OPERASI

Pengukuran kadar CRP kuantitatif & prokalsitonin


Hari ke 2 dan hari ke 7 paska operasi

Follow up mortalitas morbiditas pasien

Ya Tidak

3.5 Pengolahan dan Analisa Data


1. Pengumpulan Data
Data diperoleh dengan menggunakan metode anamnesis dan
pemeriksaan kadar prokalsitonin dan C reactive protein untuk
menentukan subjek penelitan yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi.
2. Pengolahan data.
Seluruh data yang diperoleh dicatat pada formulir penelitian, dan
dilakukan pengkodean sesuai dengan kebutuhan dan selanjutnya
dilakukan data entry dan analisis data dengan menggunakan piranti
lunak SPSS versi 18.0
3. Analisis data dan penyajian data
Analisis data meliputi analisis deskriptif dan uji hipotesis. Pada
analisis deskriptif, data yang berskala kategorial seperti umur, jenis
kelamin dan sebagainya akan dinyatakan sebagai distribusi frekuensi
dan proporsi/persen. Data yang berskala numerik dinyatakan sebagai
rerata dan simpang baku (SB) atau median apabila berdistribusi tidak

25
normal. Deskripsi data menggunakan tabel dan diagram.

Analisa data bivariat di lakukan dengan mencari nilai potong


kadar prokalsitonin dan C reaktif protein kuantitatif hari ke 7, yang
kemudian di tampilkan hubungannya terhadap mortalitas 30 hari
paska operasi dalam tabel 2x2.
Nilai p dianggap bermakna apabila p < 0.05 dengan 95%
interval kepercayaan.

3.6 Tempat penelitian


Instalasi Rawat Jalan dan Instalasi Gawat Darurat Departemen Bedah Orthopedi
RS Dr. M. Hoesin, Palembang.

3.7 Waktu Penelitian


Pengumpulan dan pemeriksaan laboratorium bahan/sampel : Tahun 2017
Pengolahan data : Tahun 2017
Penyusunan laporan : Tahun 2017

3.8 Aspek Etik Penelitian


3.8.1 Prosedur Informed Consent
1. Peneliti akan secara jujur mengatakan apa yang akan dilakukan terhadap
penderita.
2. Setelah diberikan penjelasan cukup tentang apa yang akan dilakukan
terhadapnya, penderita yang akan diikutsertakan dalam penelitian
dimintakan kesediaannya.
3. Tidak ada unsur paksaan, penderita/keluarga boleh menolak atau
mengundurkan diri kapanpun dalam penelitian dan tetap mendapat
pelayanan dan penanganan penyakitnya sesuai standar pelaksanaan di
RSUP Dr. Mohammad Hoesin, Palembang.
4. Penderita/keluarga menandatangani informed consent.
5. Kerahasiaan data penderita akan dijaga walaupun penderita meninggal
dunia.

26
6. Semua biaya yang timbul akibat penelitian ini menjadi tanggung jawab
peneliti.

3.8.3 Perkiraan biaya penelitian


Perkiraan biaya
1. Biaya print, kertas dan jilid Rp 250.000,-
2. Biaya izin penelitian di RSMH Rp 300.000,-
3. Biaya kit reagen Rp 10.500.000,-

3.8.4 Analisis Kelayakan Etik


Kiranya peneliti telah mempunyai landasan ilmiah yang kuat sehingga dapat
diperkirakan akan memberikan hasil sesuai dengan tujuan dan akan bermanfaat.
Tidak ada beban khusus yang akan ditanggung subjek dengan keikutsertaannya
dalam penelitian. Dengan demikian penderita akan dilakukan adil tanpa
diskriminasi. Pemeriksaan dan penatalaksanaan penderita serta pengambilan
subjek melalui informed consent kiranya menjamin kebebasan subjek untuk
menentukan pilihannya. Kerahasiaan data penderita dijaga walaupun penderita
meninggal dunia.

3.8.3 Simpulan
Peneliti meyakini bahwa penelitian akan dilakukan dengan landasan keilmuan
yang kuat, dilaksanakan dengan cara yang baik berdasarkan manfaat, tidak
membahayakan objek serta memperlakukan objek penelitian dengan sebaik-
baiknya. Oleh karena itu peneliti berkeyakinan bahwa penelitian ini layak etik
untuk dilaksanakan.

3.9 Dummy Tabel Hasil Analisa Data


Tabel 3.1. Karakteristik umum subjek penelitian
Variabel Jumlah (n) Persentase (%)
Jenis Kelamin
Umur
Diagnosis

27
Tabel 3.2. Karakteristik Laboratorium

Variabel Rerata Standar Deviasi


Prokalsitonin
C Reactive Protein

Tabel 3.3. Tabel 2x2 nilai titik potong prokalsitonin untuk prognosis kematian 30
hari paska operasi

Nilai Prokalsitonin Mortalitas RR


Ya Tidak 95 % CI
Kelompok Risiko (> Cut Off) a b
Kelompok Pembanding ( Cut Off) c d
Total
Chi square Test, p = 0,05

Tabel 3.4. Tabel 2x2 nilai titik potong C-Reactive Protein untuk prognosis
kematian 30 hari paska operasi

Nilai C Reactive Protein Mortalitas RR


Ya Tidak 95 % CI
Kelompok Risiko (> Cut Off) a b
Kelompok Pembanding ( Cut Off) c d
Total
Chi square Test, p = 0,05

Gambar .3.1 Kurva ROC Kadar PCT/CRP


kematian 30 hari

28
Gambar 3.2 Kurva perpotongan sensitivitas, spesifisitas, dan nilai PCT/CRP

29

Anda mungkin juga menyukai