Anda di halaman 1dari 5

Gaya Berbusana Arab pada Kalangan Muslim Jawa di Surakarta

Sebuah Tinjauan Sosiokultural

Oleh Nugroho Ponco Santoso


S841702010
Pendidikan Bahasa Indonesia Pascasarjana UNS

1. Pendahuluan
Setiap wilayah dimanapun di dunia pasti memiliki sebuah ciri khas dalam gaya
berbusana. Beberapa diantaranya bahkan dipengaruhi oleh status sosial yang dimiliki setiap
individu, seperti misalnya kimono di Jepang yang umumnya dijual dengan harga relatif mahal
dan dengan teknik pembuatan menggunakan jahit tangan (tidak menggunakan mesin jahit). Hal
tersebut diungkapkan oleh Wada (2011) bahwa Fashion is like a barometer of social change
hal tersebut menegaskan bahwa gaya berbusana akan selalu berkaitan dengan perubahan sosial
dalam sebuah sistem kemasyarakatan.
Salah satu hal yang menarik untuk diamati adalah gaya berbusana orang Jawa Tengah,
terutama daerah Surakarta. Karena merupakan bekas wilayah utama kerajaan Mataram Islam,
tentu seluruh aspek perikehidupan masyarakat Surakarta akan sangat dipengaruhi oleh segala
macam kebudayaan kerajaan, salah satunya adalah gaya berbusana. Surakarta sendiri pada
khususnya memiliki berbusana khas yang dapat dikenali dengan mudah yaitu pakaian batik.
Dijelaskan oleh Ngatinah (2008) bahwa pakaian batik pada awalnya hanya digunakan oleh
kalangan bangsawan, lantas kemudian mulai menyebar ke masyarakat luas termasuk rakyat
jelata sehingga banyak menumbuhkan pengrajin dan perdagangan batik di Surakarta. Meskipun
begitu, batik itu sendiri mengalami berbagai perkembangan dan tersebar luas hampir di seluruh
provinsi di Indonesia, sehingga masing-masing daerah memiliki motif batiknya masing-masing.
Batik Indonesia sendiri sudah mendapatkan pengakuan dari UNESCO dan dimasukkan
ke dalam Daftar Representatif sebagai Budaya Tak-benda Warisan Manusia pada tahun 2009
melalui Sidang ke-4 Komite Antar-Pemerintah (Fourth Session of the Intergovernmental
Committee) tentang Warisan Budaya Tak-benda di Abu Dhabi (Antaranews.com, 2009) sehingga
dapat dikatakan bahwa batik sudah menjadi gaya berbusana yang lazim digunakan oleh
masyarakat di Indonesia.
Surakarta sebagai salah satu kota pengrajin batik di Indonesia menjadikan batik tak
hanya sebagai aspek sentral perekonomian, namun juga sebagai identitas. Pada praktiknya,
batik berkembang mulai dari pakaian simbolis yang hanya digunakan oleh keluarga bangsawan,
berkembang menjadi identitas masyarakat. Orang-orang tak lagi mengenal batik hanya sebagai
baju maupun pakaian, tapi juga sebagai sebuah karya seni yang mampu diaplikasikan ke dalam
berbagai macam media.
2. Pengaruh agama dalam kebudayaan

Agama berperan penting dalam membentuk pola pikir masyarakat, dan pola pikir tersebut akan
berkembang jauh menjadi sebuah nilai yang tidak dapat dibantah maupun ditolak
keberadaannya. Kebudayaan sendiri lahir dari berbagai pengembangan pola pikir masyarakat
yang disetujui bersama, sehingga apabila dijabarkan secara luas maka sebenarnya agama dan
kebudayaan itu berjalan seiringan. Dijelaskan oleh Sasaki dan Kim (2011) bahwa agama adalah
komponen bulat dan berpengaruh terhadap kebudayaan yang menyerap kehidupan dalam
hubungan kemasyarakatan di seluruh dunia. Jadi tidak dapat dipungkiri bahwa agama akan
selalu mempengaruhi kebudayaan, demikian sebaliknya. Greetz (1993) membagi beberapa
penjabaran mengenai agama yaitu:

(1) a system of symbols which acts to (2) establish powerful, pervasive, and long-lasting moods
and motivations in men by (3) formulating conceptions of a general order of existence and (4)
clothing these conceptions with such an aura of factuality that (5) the moods and motivations
seem uniquely realistic.

Sebagai sebuah sistem, agama punya peran yang mengatur segala macam aspek kehidupan
masyarakat, mulai dari hal-hal remeh seperti mencukur rambut sampai dengan hal-hal yang
sifatnya punya daya efek memengaruhi perkembangan kemasyarakatan. Bahkan, dalam
kaitannya dengan budaya, agama punya cara-cara tersendiri untuk bisa masuk dan diserap oleh
suatu masyarakat. Contoh sederhananya adalah penggunaan bahasa jawa dalam kaitannya
dengan ibadah umat beragama. Misalnya pada umat muslim dan Kristen, pada masing-masing
ibadahnya terdapat pengadaptasian kebudayaan jawa yang punya tujuan tertentu agar bisa
masuk dan diserap oleh pemeluknya.

Hal lain yang penulis amati adalah penggunaan gaya berbusana dalam kaitannya dengan
kebudayaan dan agama. Hasil pengamatan penulis mulai dari era sekitar tahun 2010 ke bawah,
batik digunakan sebagai baju untuk melakukan ibadah. Misalnya adalah ibadah salat jumat bagi
umat muslim. Kombinasi pakaian yang paling sering ditemui adalah penggunaan baju batik
dengan model lengan panjang maupun pendek dipadupadankan dengan sarung sampai batas
mata kaki.

Ini hal yang menarik, karena ternyata menurut ihwal penulis batik mempunyai daya tarik
tersendiri dalam berbagai macam penggunaan. Dalam kaitannya dengan ibadah keagamaan,
batik dapat menjadi sesuatu yang terkesan agung dan mewah, sehingga nuansa ibadah
keagamaan yang penuh dengan simbol-simbol tertentu terasa bisa menyatu dengan
kebudayaan jawa.

3. Perubahan gaya berbusana muslim Jawa

Dalam kaitannya dengan produk kebudayaan, sastra juga punya peran yang cukup berpengaruh
terhadap perubahan tingkah laku manusia, salah satunya gaya berbusana. Meledaknya novel
Ayat-ayat Cinta karya dari Habiburahman El Shirazy menandai perubahan signifikan terhadap
berbagai macam aspek, seperti misalnya mulai masuknya beberapa kebudayaan Islam khas
timur tengah ke dalam kehidupan orang Indonesia khususnya masyarakat Surakarta. Bahkan,
muncul istilah-istilah baru yang selama ini tidak terlacak akibat efek tersebut, seperti misalnya
perubahan penyebutan jilbab menjadi hijab, kemudian muncul terminology jilbab syari, hijrah,
dan lain sebagainya. Berbagai perubahan tersebut didasarkan pada tahun 2007 semenjak
Kementrian Agama merilis translasi mengenai Alquran yang mengubah interpretasi perempuan
tentang apa yang mereka butuhkan untuk menutup auratnya (Salim, 2015:140).

Selain itu, Menarik untuk dipahami, bahwa efek dari sebuah karya tertentu mampu untuk
membuat kebudayaan lain masuk dan diserap ke dalam sistem kemasyarakatan. Bahkan,
perubahan tersebut mampu membuat interpretasi antara individu kepada individu lain juga
berubah. Salim (2015:130) berpendapat :

Moreover, unlike the old interpretation, which refers the function of womens dress
as identifying them in public, the new translation equates the adoption of correct
dress with their social status in the community as respectable women.

Dalam kasus ini, dapat diambil contoh mengenai tren gaya berbusana perempuan menggunakan
model jilbab syari. Selain karena tren agama, model tersebut dipandang sebagai model yang
menunjukkan kelas-kelas tertentu dalam tingkat keimanan terhadap keislaman. Muncul
pendapat bahwa perempuan dengan model jilbab syari adalah perempuan dengan tingkat dan
kualitas keimanan tinggi terhadap agama. Hal tersebut juga berlaku sama dengan pria, dimana
gaya berbusana yang syari dapat memunculkan interpretasi pada masyarakat mengenai tingkat
keimanan tinggi terhadap agama islam.

gambar 1.1 gaya berbusana syar'i pria dan perempuan

4. Tinjauan sosiokultural

Dalam kaitannya dengan hubungan sosial kemasyarakatan, gaya berbusana Arab pada kalangan
muslim Jawa dapat dilihat dari berbagai macam sisi. Pertama, dalam kaitannya dengan agama
Islam itu sendiri, masyarakat cenderung melihat tampilan gaya berbusana ini sebagai sesuatu
yang menambah nilai keimanan itu sendiri, sehingga muncul fenomena terminologi dalam
bahasa Jawa berupa Kathok cingkrang (celana cingkrang) untuk kaum laki-laki serta Ninja untuk
kaum perempuan. Pendapat ini dapat berujung pada konsepsi negatif mengenai individu yang
melakukan hal tersebut, seperti misalnya sebutan kaum ekstrimis, garis keras, bahkan teroris.
Kedua, dalam kaitannya dengan kebudayaan terutama kebudayaan Jawa, para individu
dipandang sebagai orang-orang yang tidak mampu menghargai kebudayaannya sendiri. Dampak
dari hal tersebut adalah munculnya jurang pemisah diantara masing-masing kelompok, yang
diantaranya masih belum mampu menerima keseragaman dan keberagaman. Hal itu juga
dituliskan oleh Greetz (1993: 106)

The vexation here is the gap between things as they are and as they ought to be if our
conceptions of right and wrong make sense, the gap between what we deem various
individuals deserve and what we see that they get

Simpulan
Kebudayaan, dalam bentuk apapun akan selalu dinamis terhadap perubahan zaman karena
manusia yang membentuknya juga akan selalu berganti generasi. Agama, sebagai salah satu
komponen yang berperan penting dalam kebudayaan juga akan membatu mengarahkan
manusia sesuai dengan apa yang diharapkannya. Keduanya akan terus bergerak berdampingan
karena saling mempengaruhi. Selain itu gaya berbusana Arab yang ditunjukkan oleh sebagian
kalangan muslim diakibatkan pengaruh kebudayaan itu sendiri dan memberikan berbagai
macam interpretasi kepada masyarakat.
Kepustakaan
Greetz, Clifford. 1993. The Interpretation of Cultures: Selected Essay. New York: Basic Book.inc
Salim, Delmus Puneri. 2015. The Transnasional and the Local in the Politics of Islam: the Case of
West Sumatra, Indonesia. New York: Springer International Publishing AG Switzerland .
Yoshiko Iwamoto Wada Masanao Arai , (2011)." Kimono Mode and Marketing: Popular Textiles
or Women in Early Twentieth Century Japan ", Research Journal of Textile and Apparel,
Vol. 15 Iss 1 pp. 108 123 Permanent link to this document:
http://dx.doi.org/10.1108/RJTA-15-01-2011-B012
Sasaki, J.Y. and Kim, H.S. (2011). At the intersection of culture and religion: a cultural analysis of
religions implications for secondary control and social affiliation, Journal of Personality
and Social Psychology, Vol. 101 No. 2, pp. 401-414.
Antaranews.com. Batik Indonesia Diakui Unesco.
http://www.antaranews.com/berita/156389/batik-indonesia-resmi-diakui-unesco.
Diakses pada tanggal 06 Maret 2017 pukul 22.00 WIB.

Anda mungkin juga menyukai