Anda di halaman 1dari 47

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II

LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan kajian pustaka dari penelitian


sebelumnya. Penelitian-penelitian yang dapat menjadi rujukan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut.
Telaah Stilistika Puisi-puisi Rendra dan Taufik

puisi ciptaan Rendra dan Taufik Ismail, serta bentuk gaya pengungkapan kedua wacana
puisi tersebut. Hasil penelitian ini menggunakan data kuantitatif yang dimaksudkan
untuk mendeskripsikan ciri-ciri karakteristik kedua penyair tersebut. Mekanisme
penganalisisan data untuk menemukan hasil penelitian. Persamaan karya Lamusu
dengan penelitian penulis yaitu sama-sama mengkaji penelitian dalam stilistika.
Perbedaan ada pada objek kajian, yaitu puisi-puisi karya Rendra dan Taufik Ismail,
sedangkan pada objek penelitian ini objek kajiannya adalah Sepilihan Sajak Hujan
Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono.
Kusuma Yuda, Tesis 2014.
Polaria Karya H. Erman dan Danil: Kajian Stilistika dan Relevansinya Sebagai

penelitian tesis ini menunjukkan bahwa pada naskah film Kembang Polaria karya H.
Erman dan Danil terdapat unsur gaya kata, gaya kalimat, gaya wacana, bahasa figuratif
(figurative language), dan citraan (imagery). Gaya kata terdiri dari kata konotatif, kata
konkret, kata serapan dari bahasa asing, kata sapaan khas atau nama diri, dan kata
vulgar. Gaya kalimat terdiri dari kalimat yang susunan subjek predikatnya dibalik,
kalimat pendek dan kalimat repetisi (perulangan). Gaya wacana yang digunakan adalah
gaya wacana repetisi. Bahasa figuratif terdiri dari majas, tuturan idiomatik, dan
peribahasa. Citraan terdiri dari penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman, gerak,
pengecapan dan intelektual. Analisis penelitian ini penulis menonjolkan kemampuannya
menganalisis sebuah naskah film dengan menggunakan analisis stilistika dan
mengungkapkan beberapa gaya kata yang terdapat di dalam naskah drama tersebut.
Persamaan karya Ramadhan Kusuma Yuda dengan penulis yaitu sama-sama
mengkaji stilistika pada gaya bahasa, gaya kata (diksi), dan citraan. Perbedaan terletak

commit to user
9
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

10

pada objek kajian, penelitian Ramadhan Kusuma Yudha objek kajiannya naskah film
Kembang Polaria karya H. Erman dan Danil, sedangkan pada objek kajian penelitian
ini adalah puisi Sepilihan Sajak Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono.
Ramadhan Kusuma Yuda mengungkap tentang relevansi naskah film Kembang Polaria
karya H. Erman dan Danil sebagai pembelajaran kajian prosa fiksi di STKIP PGRI
Pontianak, sementara penelitian ini mengungkap relevansi puisi Sepilihan Sajak Hujan
Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono sebagai bahan pembelajaran Bahasa indonesia
di SMA dan mengungkapkan nilai-nilai karakter yang terdapat dalam puisi Sepilihan
Sajak Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono.
Analisis Stilistika Novel

pemilihan dan pemakaian kosakata terdapat pada leksikon bahasa asing, leksikon
bahasa Jawa, leksikon ilmu pengetahuan, kata sapaan, kata konotatif pada judul.
Kekhususan aspek morfologis dalam novel Laskar Pelangi yaitu pada penggunaan
afiksasi leksikon bahasa Jawa dan bahasa Inggris serta reduplikasi dalam leksikon
bahasa Jawa. Kemudian aspek sintaksis meliputi penggunaan repetisi, kalimat majemuk
dan pola kalimat inversi. Pemanfaatan gaya bahasa figuratif yang unik dan
menimbulkan efek-efek estetis pada pembaca yaitu idiom, arti kiasan, konotasi,
metafora, metonimia, simile, personifikasi, dan hiperbola. Analisis di atas menunjukkan
bahwa penulis mampu menonjolkan keunikan pemilihan dan pemakaian kosakata yang
spesifik dan lain dari yang lain. Keunikan tersebut dilatarbelakangi oleh faktor sosial
budaya dan pendidikan penulis. Hal itu menghasilkan style tersendiri yang menjadi ciri
khusus Andrea Hirata dalam menuangkan gagasannya melalui novel Laskar Pelangi.
Persamaan karya Eko Marini dengan penulis yaitu sama-sama mengkaji
pemanfaatan gaya bahasa figuratif yang unik dan menimbulkan efek-efek estetis pada
pembaca yaitu idiom, arti kiasan, konotasi, metafora, metonimia, simile, personifikasi,
dan hiperbola. Analisis di atas menunjukkan bahwa penulis mampu menonjolkan.
keunikan pemilihan dan pemakaian kosakata yang spesifik dan lain dari yang lain.
Keunikan tersebut dilatarbelakangi oleh faktor sosial budaya dan pendidikan penulis.
Hal itu menghasilkan style tersendiri. Perbedaannya adalah objek yang diteliti berbeda,
objek yang diteliti Eko Marini adalah Novel sedangkan penulis objek yang diteliti
adalah puisi. Selain itu dalam penelitian Eko Marini tidak ada nilai-nilai pendidikan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

11

sedangkan penulis menggunakan nilai-nilai pendidikan.


Penelitian yang dilakukan oleh Yuliawati tahun 2012 dengan judul Analisis
Stilistika dan Nilai Pendidikan Novel Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy
menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa pemanfaatan bentuk-bentuk retorika dalam
novel Bumi Cinta membuat pengungkapan maksud menjadi lebih menarik, lebih hidup,
dan lebih mengesankan. Selain itu, keunikan atau kekhasan pemakaian kosakata dan
idiom pada novel Bumi Cinta juga membuat deskripsi cerita tersebut menjadi semakin
menarik dan memiliki nilai estetik tersendiri. Habiburrahman El Shirazy mampu
memilih dan memanfaatkan idiom yang metaforis yang disesuaikan dengan makna
dalam kalimat.
Penggunaan bahasa dalam novel Bumi Cinta mampu menonjolkan keunikan
pemilihan dan pemakaian kosakata yang spesifik dan lain daripada yang lain, sehingga
hal tersebut membuat style tersendiri yang menjadi ciri khusus Habiburrahman El
Shirazy dalam menuangkan setiap ide melalui karya sastranya. Novel Bumi Cinta dapat
dikatakan sebagai novel yang bergenre religi. Pengarang menggunakan kemampuannya
dalam mengolah bahasa untuk mengungkapkan berbagai nilai-nilai pendidikan pada
pembaca yang bertujuan untuk mendidik manusia agar menjadi pribadi yang berbudi
luhur.
Dari kegiatan penelitian yang dilakukan oleh Yuliawati di atas, terdapat
persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini. Persamaan yang muncul dalam hal ini
ialah sama-sama mengangkat persoalan penelitian sastra, khususnya kajian stilistika.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Yuliawati yakni, penelitian ini menganalisis
aspek stilistika pada novel , keunikan dan kekhasan kosakata, nilai pendidikan karakter,
dan relevansinya dengan pembelajaran bahasa Indonesia di SMA dengan objek
penelitian berupa sekumpulan sajak Hujan Bulan Juni Karya Sapardi Djoko Damono
sementara penelitian yang dilakukan oleh Yuliawati menelaah pada pemanfaatan
bentuk-bentuk retorika, citraan, keunikan pemilihan kosakata dan idiom, dan nilai
pendidikan dalam novel Bumi Cinta karya Habiburrahman El Shirazy.
Penelitian dalam bentuk jurnal yang dilakukan oleh
2012 yang berjudul Performance stylistics: Deleuze and Guattari, poetry and (corpus)
linguistic . Penelitian ini tentang gaya bahasa pada puisi dan lingustik. Analisis gaya
bahasa telah digunakan untuk memberikan bukti linguistik untuk interpretasi dari karya

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

12

sastra. -sama
meneliti gaya bahasa pada puisi.

bahasa puisi dari segi linguistik.

oleh Zhiqin Zhang (2010: 155), penelitian ini dalam bentuk jurnal internasional yang
membahas interpretasi novel karya Hemingway dengan gaya literal. Hasil penelitian ini
menyatakan bahwa gaya bahasa dan sastra merupakan jembatan yang menghubungkan
antara linguistik dan kritik sastra. Penelitian ini menyebutkan bahwa tema, nada, sikap,
dan nilai estetik yang dihasilkan oleh bentuk-bentuk linguistik pengrang dapat
meningkatkan kekuatan afektif atau emitif dari pesan, sehingga berkontribusi untuk
karakterisasi dan membuat fungsi realitas fiksi menjadi efektif. Persamaan penelitian
Zhiqin Zhang dan penelitian ini sama-sama terfokus pada kajian stilistika pada aspek
pemanfaatan bahasa figuratif, pemanfaatan citraan, dan nilai pendidika karakter,
sementara itu perbedaan terletak pada objek kajian yang diteliti.
Penelitian dalam bentuk jurnal internasional yang dilakukan oleh Yeibo (2012:
180) dengan judul -
. Dalam penelitian tersebut Yeibo menjelaskan bahwa bahasa
kiasan bertindak sebagai penanda semantik dalam teks dan membantu seniman sastra
mencapai keindahan dalam bentuk. Konsentrasi penelitian tersebut terletak pada
hubungan tema dan bahasa figurasi karya sastra. Yeibo mengatakan lebih lanjut bahwa
studi mengenai gaya secara umum berkaitan dengan pemakaian bahasa figuratif yang
berfungsi untuk menghasilkan efek estetik. Persamaan penelitian Yeibo dengan
penelitian ini terletak pada objek kajian yaitu puisi. Sementara perbedaan penelitian
Yeibo dengan penelitian ini terletak pada aspek yang diteliti, pada penelitian Yeibo
mengkhususkan pada pemakaian bahasa kiaan untuk mendeskripsikan dan
menginterpretasi diolek penyair, selain itu pada penelitian ini mendeskripsikan nilai
pendidikan karakter serta relevansinya dengan pembelajaran bahasa Indonesia di SMA.
Persamaan penelitian Bilal dan Chemaa dengan penelitian ini adalah sama-sama
menelaah kajian stilistika. Namun perbedaannya dalam fokus permasalahan penelitian.
Bilal dan Chemaa menelaah pemanfaatan stilistika puisi Early Spiring yang mengkaji
aspek penyimpangan sintaksis dan semantik yang dilakukan oleh Wordsworth,

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

13

Sedangkan pada penelitian ini fokus permasalahan terletak pada pemanfaatan kajian
stilistika pada puisi karya Sapardi Djoko Damono Hujan Bulan Juni yang menyoroti
pemanfaatan pilihan kata, gaya bahasa, citraan, nilai pendidikan karakter dan
relevansinya dalam pelajaran bahasa Indonesia di SMA.
A. Landasan Teori
1. Kajian Stilistika dalam Sastra Puisi
a. Hakikat Stilistika
Stilistika adalah bagaimana bahasa disusun, digunakan, bahkan dengan
melakukan pelanggaran puitika, sehingga melahirkan keindahan Ratna (2009: 255).
Dilihat dari segi keindahan itu sendiri, jelas pemahamannya tidak tetap, berubah
sepanjang waktu, sesuai dengan proses hubungan antara karya sastra dengan subjek
penikmat. Menurut Satoto (2012: 54), Stilistika adalah ilmu yang meneliti penggunaan
bahasa di dalam teks sastra (istilah sastra disini dapat diartikan dalam arti sempit, dan
dalam arti luas. Begitu pula, arti istilah teks dan naskah perlu diluruskan. Leech dan
Short dalam Al-
wujud performansi kebahasaan, khususnya yang terdapat dalam karya sastra.
Kajian stilistika biasanya dibatasi pada kajian formal sebuah teks sastra dalam
pengertian yang extended, yang dimaksud dalam pengertian extended disini ialah bidang
linguistik terapan yang dikaitkan dengan bidang penggunaan bahasa sebagai unsur
penting (media bahasa utama) dan menerima teori linguistik sebagai yang tidak relevan,
tetapi dipakai sebagai teori atau metode pendekatannya Satoto (2012: 32). Pengertian
extended ini sebagai sisi lain dari pengertian restricted yaitu bidang linguistik terapan
yang dihubungkan khusus pada bidang bahasa itu berarti bahwa stilistika merupakan
bidang studi yang memiliki aspek seni (art) maupun ilmu pengetahuan (science)-begitu
juga sastra.
Keberadaan kreativitas seni sebagian dari aspek stilistika dalam karya sastra
mempermudah pernyataan keilmuan menemukan format ideal penyajiannya. Artinya,
bahwa stilistika keberadaannya memberikan sumbangsih pemahaman yang lebih
mendalam tentang makna karya sastra. Dengan menggunakan studi stilistika, ranah
pemakaian bahasa khas penyair dalam penulisan puisi-puisinya bisa diperdalam
sehingga ekspresi dan pemilihan kata-kata dalam puisi lebih dipahami. Meskipun bunyi
merupakan sarana stilistika. Orang beranggapan bahwa pengkajian stilistika lebih sering

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

14

dan tepat diterapkan pada karya beragam puisi.


Strukturnya yang singkat padat dengan kata yang umum terdapat pada puisi,
terutama dalam pengkajian struktural, pengkajian dilakukan pada tataran linguistik.
pendiksian yang bernas memudahkan kita dalam membuat telaah. Tetapi dengan
perluasan cakupan pengamatan dari kalimat ke wacana, teks prosa yang susunannya
lebih cair atau terurai, tetap dapat dijadikan bahan pengkajian stilistik. Tetapi perlu kita
sadari bahwa efek gaya bahasa dalam ragam prosa kurang menonjol bila dibandingkan
dengan metafora dalam puisi yang umumnya singkat padat itu.
Ciri-ciri gaya bahasa baru dapat ditemukan pada teks prosa yang relatif panjang
itu setelah orang-orang membacanya berulang-ulang. Uraian tersebut senada dengan
Ratna (2008: 19) Ciri khas puisi adalah kepadatan pemakaian bahasa sehingga paling
besar kemungkinannya untuk menampilkan ciri-ciri stilistika. Stilistika tidak hanya
merupakan studi tentang gaya bahasa dalam kesusasatraan saja, tetapi juga studi gaya
bahasa pada umumnya. Satoto (2012: 36) mengatakan bahwa stilistika sebagai bidang
linguistik tera adalah cara untuk mengungkapkan teori
dan metodologi penganalisisan formal sebuah teks sastra, sedang dalam pengertian
, linguistik terapan dikaitkan khusus pada bidang pendidikan bahasa. Sangat
menarik, bahwa dalam perkembangan linguistik akhir-akhir ini, khususnya bidang
lingusitik terapan, bahwa muncullah minat bahkan kesungguhan hati para linguis untuk
menerapkan teori dan pendekatan linguistik dalam rangka pengkajian sastra. Yang jelas,
teori linguistik memberi kemungkinan sebagai faktor penyumbang yang sangat
berharga, lewat aplikasinya dalam rangka pengkajian cipta sastra, sebagai karya kreatif.
sumbangan lingustik terhadap karya sastra meliputi bidang pengkajian, analisis,
penelitian, kritik dan apresiasi sastra.
Analisis stilistika tidak berpretensi menggantikan kritik sastra, tetapi stilistika
diharapkan dapat membuka jalan untuk kritik sastra yang lebih efektif. Kita terpukau
menikmati pesona karya sastra secara intuitif. Dalam konteks ini, pengkajian stilistika
yang dilakukan tidak bermaksud mematikan intuisi itu atau menggantikan interpretasi
intuitif itu.
Stilistika secara sederhana didefinisikan sebagai kajian (yang bersifat linguitis)
terhadap gaya, yang jarang dikaji secara murni dengan tujuan demi gaya itu sendiri,
adalah sebuah latihan untuk menggambarkan atau melukiskan proses penggunaan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

15

sesuatu atau apa yang terciptakan dalam suatu bahasa. Kita secara normal mempelajari
gaya karena kita ingin menjelaskan sesuatu.
Secara umum stilistika sastra memiliki tujuan mmberikan penggambaran
hubungan antara bahasa dan fungsi artistiknya. Uraian tersebut seperti dungkapkan
Satoto (2012: 37) yang mengatakan bahwa begitu eratnya pengkajian bahasa dan sastra,
sehingga bidang studi Stilistika menjadi incaran yang menggairahkan bagi para ahli
bahasa dan ahli sastra. konsekuensiny, studi stilistika ada yang memasukkan ke dalam
bidang Ilmu Sastra-Stilistika adalah bidang ilmu studi yang sadar berupaya
menjembatani pengkajian bahasa dan sastra dengan mengkaji apa sebenarnya hubungan
fundamental antara bidang studi bahasa dan sastra.
Stilistika adalah tempat pertemuan di antara maksro-analisis sastra dan
makroanalisis bahasa. Ratna (2008: 5) mengatakan bahwa pada dasarnya gaya ada dan
digunakan dalam kehidupan praktis sehari-hari. Hampir setiap tingkah laku dan
perbuatan, sejak bangun pagi hingga tidur di malam hari, disadari atau tidak, dilakukan
dengan menggunakan cara tertentu. Demikian juga semua hasil aktivitas manusia, yang
disebut sebagai kebudayaan, diwujudkan melalui cara tertentu, sesuai dengan minat,
selera, dan kemauan penciptanya.
Stilistika berkaitan dengan pengertian ilmu tentang gaya secara umum, meliputi
seluruh aspek kehidupan manusia. Maka dari itu, Stilistika memiliki corak modern
begitu memberikan gairah dalam artian positif, juga dikembangkan di dalam upaya
untuk pengembangbiakkan sebuah subdisiplin di mana metode stilistika akhirnya makin
berkembang dan makin kaya oleh teori-teori seperti teori wacana, budaya, dan
masyarakat.
Seperti yang diungkapkan dalam penelitian Louise Hide, Joanna Bourke, and
Carmen Mangion (2005) yang mengatakan bahwa pikiran dan budaya untuk
mendapatkan wawasan berubah-pengalaman sejarawan sosial dan budaya, serta
akademisi, memeriksa dan menganalisis implikasi dari pergeseran wacana dalam narasi
pribadi serta komunitas religius, dan dalam teks-teks filosofis, medis dan psikiatris.
Ratna (2008: 381) mengatakan bahwa di satu pihak, bahasa adalah simbol, tanda, dan
lambang, tergantung dari teori yang digunakan untuk memahaminya, di pihak lain
bahasa adalah alat komunikasi. Pada adasarnya tidak ada perbedaan antara bahasa sastra
dengan bahasa sehari-hari, termasuk ilmu pengethuan. Keseluruhan kosakata dapat

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

16

diidentifikasi dalam kamus, keseluruhan penulisan juga harus menggunakan cara-cara


tertentu, sebagai tata bahasa, tata sastra, dan tata budaya.
Berangkat dari uraian tersebut peneliti dapat menguraikan bahwa stilistika telah
menjadi sebuah metode dalam bahasa yang paling banyak mendapat penilaian dan
diapresiasi terkhusus dalam metode pengajaran dan pembelajaran bahasa. Dalam
pedagogi yang tersamar, stilistika dengan perhatian yang luas pada sumber yang lebih
luas dalam siste
uraian Lotman dalam
Ratna (2008: 381) mengatakan bahwa sastra dianggap sebagai sistem model kedua
setelah bahasa, di dalamnya bahasa dimanfaatkan, dieksploitasi secara maksimal.
Stilistika sebagai ilmu pengetahuan mengenai gaya bahasa dipihak lain, maka
sumber penelitiannya adalah semua jenis komunikasi yang menggunakan bahasa, baik
lisan maupun tulisan. jadi, meliputi baik karya sastra dan karya seni pada umumnya,
maupun bahasa sehari-hari Ratna (2008: 13). Darbyshire dalam Ratna (2008: 13)
menunjukkan dua cara untuk mengidentifikasi gaya bahasa, yaitu: a) secara teoretis,
dilakukan dengan penelitian ilmiah, misalnya pada saat menganalisis sebuah karya
sastra, b) secara praktis, melalui pengamatan langsung terhadap pemakaian bahasa
sehari-hari, misalnya, melalui pemakaian berbagai perumpamaan. Keduanya tidak dapat
dipisahkan sebab baik secara pertama maupun kedua dapat digunakan sebagai penelitian
ilmiahatau semata-mata sebagai pengamatan sepintas.
Dikaitkan dengan relevansinya, sebagai kekhasan itu sendiri, bahasa yang
diciptakan dengan sengaja, bahkan sebagai bahasa yang artifisial maka stilistika pada
umumnya dibatasi pada karya sastra. Berangkat dari uraian diatas, peneliti dapat
mendeskripsikan bahwa Stilistika adalah metode interpretasi di mana tujuan utamanya
diletakkan pada bahasa. Bahasa begitu penting dalam stilistika karena keragaman
bentuk dalam bahasa, pola bahasa, dan tingkat yang menyatakan struktur linguistik
merupakan indeks yang penting dari fungsi sebuah teks sebagai sebuah wacana adalah
sebuah pintu gerbang dari penafsirannya. Objek utama kajian stilistika adalah sastra,
baik sastra yang dinisbatkan secara institusional
penulisan non-kanonik yang lebih popular. Melakukan stilistika ditujukan untuk
mengeksplorasi kreativitas dalam berbahasa. Melakukan stilistika dengan demikian
akan mampu memperkaya cara kita berpikir tentang bahasa dan sebagaimana telah

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

17

diobservasi, melakukan eksplorasi terhadap bahasa akan memberikan pemahaman dan


manfaat yang substansial di dalam upaya memahami sebuah teks (termasuk di dalamnya
sastra) yang kita miliki.
Kesatuan keseluruhan model bahasa pada persediaan yang dimiliki, metode ini
mampu memperjelas secara inheren dan akan mencerminkan dengan sendirinya.
Metode ini memiliki kapasitas refleksif yang amat penting sebagaimana ini bisa
memperjelas sistem gaya bahasa yang menjadi asalnya atau derivasinya. Uraian tersebut
sesuai dengan penelitian dalam jurnal internasional University of Singapore yang
mengatakan bahwa Stilistika telah menjadi sebuah metode dalam bahasa yang paling
banyak mendapat penilaian dan diapresiasi terkhusus dalam metode pengajaran dan
pembelajaran bahasa. Dalam pedagogi tersamar, stilistika dengan perhatian yang luas
pada sumber yang lebih luas dalam sistem bahasa, menikamati harga diri dan tempat
yang baik dalam kosa pengetahuan para pembelajar bahasa kedua.
Stilistika merupakan sebuah metode analisis karya sastra. Ia dimaksudkan untuk
menggantikan kritik yang bersifat subjektif dan impresif dengan analisis stile teks
kesastraan yang lebih objektif dan ilmiah, Abram dalam Nurgiyantoro (2012: 280).
Metode teknik analisis ini akan menjadi penting karena dapat memberikan informasi
tentang karakteristik khusus dalam sebuah karya. Tanda-tanda stilistika itu sendiri dapat
berupa (a) fonologi, misalnya pola suara ucapan dan irama. (b) sintaksis, misalnya jenis
struktur kalimat, (c) leksikal, misalnya penggunaan kata abstrak atau konkret, frekuensi
penggunaan kata benda, kata kerja, sifat dan (d) penggunaan bahasa figuratif, misalnya
bentuk-bentuk pemajasan, permainan struktur, pencitraan, dan sebagainya
(Nurgiyantoro, 2012: 280).

b. Gaya Bahasa dalam Kajian Stilistika


Berbicara tentang fungsi puitik suatu bahasa, kita akan langsung berasosiasi
pada karya sastra dan ekspresi berbahasa seseorang, terutama yang berkaitan dengan
dunia kesusastraan, tidak bisa dilepaskan dari persoalan gaya bahasa. Gaya bahasa
merupakan salah satu perwujudan pendiksian yang akurat dan sugestif dari pengarang
atau penyair. Lebih semarak dalam wacana-wacana informative dan ilmiah, dalam karya
sastra, prosa fiksi, puisi, dan naskah drama, banyak kita temukan pemakaian gaya
bahasa yang beraneka ragam dan berwarna-warni. Tanpa eksistensi karya sastra,

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

18

pembicaraan tentang gaya bahasa terasa kurang semarak.


Gaya seorang pengarang dapat dicermati melalui bahasa karyanya. Gaya
dibentuk dengan pilihan kata (diksi), ungkapan, dan simbol. Hal ini sejalan dengan
pendapat Eddy (1991: 83) yang menerangkan tentang gaya bahasa yang pemakaiannya
lebih spesifik, khususnya dalam dunia sastra. Dalam kesusastraan, gaya berarti cara
seseorang pengarang mengekspresikan atau mengungkapkan perasaan, pikiran, dan
pengalamannya melaui karya sastra yang ditulisnya. Gaya bahasa berkaitan dengan
aspek keindahan. Perbedaannya, dalam kehidupan sehari-hari, dalam aktivitas nonseni
gaya menduduki posisi skunder, sedangkan dalam karya sastra dan karya seni tanpa
keindahan. Proses penciptaan gaya bahasa jelas disadari oleh penulisnya. Dalam
penulisan, dalam rangka memperoleh aspek keindahan secara maksimal, untuk
menemukan satu kata atau kelompok kata yang dianggap tepat penulis melakukannya
secara berulang-ulang.
Gaya seorang pengarang merupakan ekspresi pribadi pengarang itu. Kekhasan
tidak mungkin dijumpai pada pengarang lain. Tidak ada pengarang yang memiliki gaya
yang persis sama dengan pengarang lain. Gaya penulisan yang khas dari seorang
pengarang atau penyair sangat erat kaitannya dengan gaya bahasa yang dipakainya
dalam berekspresi dan dalam tataran ilmiah. Hal ini dikaji dalam stilistika. Menurut
Sayuti (2001 : 161), stilistika diartikan sebagai bagian dari linguistik yang memusatkan
perhatiannya pada variasi penggunaan bahasa, walaupun tidak secara eksklusif,
terutama pemakaian bahasa dalam sastra. Memang stilistics yang diterjemahkan sebagai
ilmu gaya bahasa itu tentu saja mengacu pada pemakaian atau penggunaan bahasa
dalam karya sastra, ini berarti studi tentang stilistika dalam praktiknya harus mendalami
keberagaman seluk-belik dan pernik-pernik gaya bahasa. Stilistika terfokus pada karya
sastra, baik prosa maupun puisi, nyaris tidak pernah beranjak dari karya sastra, karena
dalam karya sastralah persoalan style mendapatkan aksentuasi dan eksplorasinya yang
maksimal, meskipun dalam wacana-wacana bukan sastra, kadang-kadang kita jumpai
juga pemakaian gaya bahasa.
Dengan demikian stilistika adalah penyelidikan wacana sastra atau cara
pengungkapan dalam sastra yang potensinya terdapat di dalam setiap bahasa itu sendiri,
dalam kemungkinan untuk koherensi yang diberikan oleh setiap bahasa untuk ungkapan
sehari- hari : pembentukan rumus bahasa supaya rumus itu cocok dengan konteksnya

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

19

yang baru (Satoto, 2012: 106).

c. Gaya Bahasa
Keraf (2005: 112) mengatakan bahwa Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal
dalam retorika dengan istilah style. Kata style diturunkan dari kata latin stilus, yaitu
semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian menggunakan alat ini akan
mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi. Kelak pada waktu
penekanan dititikberatkan pada keahlian untuk menulis indah, maka style lalu berubah
menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara
indah. Hakikat gaya (style) tidak lain adalah cara mengungkapkan diri sendiri, entah
melalui bahasa, tingkah laku, berpakaian dan sebagaiany. Maka, kita lalu mengenal
,gaya bahasa , gaya berpakaian dan sebagainya (Keraf, 2005: 150).
Gaya bahasa dapat digunakan dalam segala ragam bahasa baik ragam lisan, tulis,
non sastra dan ragam sastra, karena gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa
dalam konteks tertentu oleh orang tertentu untuk maksud tertentu, Sudjiman (1993: 13)
menyatakan bahwa sesungguhnya. Akan tetapi, secara tradisional gaya bahasa selalu
ditautkan dengan teks sastra, khususnya teks sastra tertulis. Gaya bahasa mencakup
diksi atau pilihan leksikal, struktur kalimat, majas dan citraan, pola rima, matra yang
digunakan seorang sastrawan atau yang terdapat dalam sebuah karya sastra.
Gaya bahasa adalah bagaimana seorang pengarang menyatakan mengenai apa
yang ingin dikatakan atau disampaikan dalam Nurgiantoro (2002: 276). Keraf (2000:
113) berpendapat bahwa gaya bahasa sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui
bahasa yang khas dengan memperlihatkan jiwa dan kepribadian pemakai bahasa. Suatu
gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur berikut: a) kejujuran : kejujuran
dalam bahasa berarti, mau mengikuti aturan-aturan, kaidah-kaidah yang baik dan benar
dalam berbahasa. Pemakaian kata-kata yang kabur dan tak terarah serta penggunaan
kalimat yang berbelit-belit adalah jalan untuk mengundang ketidakjujuran. Bahasa
adalah alat untuk kita bertemu dan bergaul. Sebab itu ia harus digunakan pula secara
tepat dengan memperhatikan sendi kejujuran; b) sopan santun : memberi penghargaan
atau menghormati orang yang diajak bicara khususnya pendengar atau pembaca. Rasa
hormat dalam gaya bahasa ditunjukkan melalui kejelasan dan kesingkatan.
Menyampaikan sesuatu secara jelas berarti tidak membuat pembaca memeras keringat

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

20

untuk mencari tahu apa yang ditulis. Kesingkatan sering jauh lebih efektif daripada
jalinan yang berliku-liku.Kesingkatan dapat dicapai melalui usaha untuk
mempergunakan kata-kata secara efisien. Diantara kejelasan dan kesingkatan sebagai
ukuran sopan santun syarat kejelasan masih jauh lebih penting daripada syarat
kesingkatan; c) menarik : sebuah gaya bahasa harus pula menarik. Sebuah gaya bahasa
yang menarik dapat diukur melalui beberapa komponen : variasi, humor yang sehat,
pengertian yang baik, vitalitas, dan penuh daya khayal. Gaya bahasa adalah cara atau
teknik mengungkapkan pikiran atau perasaan dalam bentuk lisan atau tulisan dengan
menggunakan bahasa kias sehingga memperlihatkan jiwa dan kepribadian pengarang,
menghasilkan suatu pengertian yang jelas, menarik bagi pembaca. Nurgiantoro (2002:
296), pemajasan adalah bentuk pengungkapan bahasa yang maknanya tidak menunjuk
pada makna harfiah, melainkan pada makna yang ditambahkan atau makna yang
tersirat.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa yang digunakan pengarang antara
satu dengan yang lainnya berbeda. Gaya bahasa adalah cara dalam pengungkapan
gagasan pengarang yang digunakan dengan media bahasa agar menimbulkan keindahan
yang akan menunjukkan sikap dan kepribadian pengarang.

d. Jenis-jenis Gaya Bahasa


Gaya bahasa dapat ditinjau dari sudut pandangan. Oleh sebab itu, sulit diperoleh
kata sepakat mengenai suatu pembagian ang bersifat menyeluruh dan dapat diterima
oleh semua pihak. Pandangan-pandangan atau pendapat- pendapat tentang gaya bahasa
sejauh ini sekurang-kurangnya dapat dibedakan, pertama, dilihat dari segi non bahasa,
dan kedua dilihat dari segi bahasanya sendiri. Untuk melihat gaya secara luas, maka
pembagian berdasakan masalah non bahasa tetap diperlukan. Tetapi untuk memberi
keterampilan, maka uraian mengenai gaya dilihat dari aspek kebahasaan akan lebih
diperlukan.
Gaya bahasa menurut Keraf (2000: 116) dibagi menjadi empat, yaitu: 1) gaya
bahasa berdasarkan pilihan kata; 2) gaya bahasa berdasarkan nada yang terkandung
dalam wacana; 3) gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat; dan 4) gaya bahasa
berdasarkan langsung tidaknya makna.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

21

1. Gaya Bahasa Berdasarkan Pilihan Kata


Gaya bahasa ini membahas ketepatan dan kesesuaian dalm situasi- situasi
tertentu. Kata yang paling tepat untuk posisi dalam kalimat dan tepat tidaknya
pemakaian kata tersebut dari lapisan pemakai bahasa dalam masyarakat. Gaya bahasa
ini meliputi: a) gaya bahasa resmi : gaya dalam bentuknya yang lengkap, yang
digunakan dalam kesempatan yang resmi, diharapkan yang mempergunakannya dengan
baik dan terpelihara, dengan gaya tulisan dengan tingkat tertinggi, yang semuanya
diambil dari bahasa standar yang terpilih; b) gaya bahasa tak resmi : dipergunakan
dalam bahasa standar, khususnya dalam kesempatan yang kurang formal, lebih variasi,
lebih santai serta pilihan kata-katanya lebih sederhana, kalimatnya lebih singkat; c) gaya
bahasa percakapan: kata-katanya adalah popular dan kata-kata percakapan.
2. Gaya Bahasa Berdasarkan Nada
Gaya bahasa ini didasarkan pada sugesti yang dipancarkan dari rangkaian kata-
kata yang terdapat dalam sebuah wacana. Gaya bahasa ini meliputi: a) gaya sederhana
adalah gaya yang dipakai untuk memberi intruksi, perintah, pelajaran. Gaya bahasa ini
tepat untuk menyampaikan fakta dan pembuktian, b) gaya mulia dan bertenaga adalah
gaya bahasa yang penuh dengan vitalitas dan energi. Nada yang agung dan mulia dapat
menggerakkan emosi pendengar, c) gaya menengah adalah gaya bahasa yang digunakan
untuk menciptakan suasana senang dan damai yang bisanya disisipi dengan humor.
Gaya ini bersifat lemah lembut dan sopan santun dengan menggunakan metafora dalam
pemilihan katanya sehingga menarik.

3. Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat


Struktur kalimat bersifat periodik, kendur, dan berimbang. Periodik apabila
bagian yang terpenting mendapatkan penekanan di akhir kalimat. Kendur apabila
penekanan dilakukan di awal kalimat. Berimbang apabila dua bagian kalimat atau lebih
memiliki kedudukan sederajat. Gaya bahasa ini meliputi: a) klimaks: diturunkan dari
kalimat yang bersifat periodik, mengandung urutab urutan pikiran yang setiap kali
semakin meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya; b) antiklimaks:
dihasilkan oleh kalimat yang berstruktur mengendur. Merupakan suatu acuan yang
gagasan-gagasannya diurutkan dari yang terpenting berturut-berturut ke gagasan yang
kurang penting; c) pararelisme: semacam gaya bahasa yang berusaha mencapai

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

22

kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi yang
sama dalam bentuk gramatikal yang sama; d) antitesis: sebuah gaya bahasa yang
mengandung gagasan yang bertentangan dengan mempergunakan kata-kat atau
kelompok kata yang berlawanan; e) repetisi: perulangan bunyi, suatu kata, kata atau
bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam konteks yang
sesuai
4. Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna
yang berarti penyimpangan. Gaya
berdasarkan makna diukur dari langsung tidaknya makna, yaitu acuan yang dipakai
masih mempertahankan makna denotasi atau sudah ada penyimpangan. Gaya bahasa ini
dibagi menjadi dua , yaitu gaya retoris dan gaya kiasan.

e. Pengelompokan Gaya Bahasa atau Majas


Gaya bahasa yang sering juga dengan majas (figurative language) bersifat
prismatis, memancarkan makna yang lebih dari satu. Hal tersebut dipergunakan
pengarang untuk membangkitkan imajinasi pembaca atau pendengarnya. Dalam
penggunaannya, figurative language mempertalikan sesuatu dengan cara
menghubungkannya dengan sesuatu yang lain. Fungsi puitis figurative language ialah
dapat memperjelas, menjadikan sesuatu lebih menarik, dan memberikan daya hidup
dalam karya sastra (Sutejo, 2010:59). Secara garis besar majas dibedakan menjadi
empat macam yaitu (a) penegasan, (b) perbandingan, (c) pertentangan, dan (d) sindiran,
(dihimpun dari berbagai sumber, khususnya Keraf dalam Ratna (2013), disusun secara
alfabetis).
a) Majas Penegasan, meliputi:
1) aferesis: merupakan jenis gaya bahasa yang menyatakan sebuah penegasan
dengan menghilangkan huruf atau suku kata awal. Contoh: Raden Ajeng Kartini
tuk (untuk) kemajuan kaum perempuan,
2) aforisme: sebuah gaya bahasa yang menghadirkan sebuah pernyataan sebagai
kebenaran umum atau kata-kata arif. Contoh: Tidak ada pekerjaan yang sulit,
alah bisa karena biasa,
3) alonim: sebuah majas yang pemakaiannya dengan menggunakan varian nama.
Contoh: Tono (Sukartono), Tini (Sumartini), Sam (Samsulbahri),

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

23

4) anagram: merupakan sebuah gaya bahasa yang melakukan pertukaran huruf


dalam kata sehingga menimbulkan makna baru. Contoh: Semua barang disulap
sehingga menjadi palsu,
5) antiklimaks: sebuah majas yang mengandung sebuah pernyataan secara berturut-
turut yang intensitasnya semakin menurun. Contoh: Jangankan emas, perak,
tembaga, logam tiruan yang lain pun aku tak punya,
6) apofasis/ Preterisio: sebuah majas yang isinya seolah-olah mengingkari apa yang
telah dijelaskan. Contoh: Saya merahasiakan peristiwa ini bahwa sesungguhnya
sayalah yang mencuri uang itu,
7) aposiopesis: sebuah majas yang cara pemakaiannya dengna cara memberi
penghentian di tengah-tengah kalimat. Contoh: Ah, orang seperti itu tak usah
dipercaya....., nyatanya.....,
8) arkhaisme: salah satu majas yang menggunakan kata-kata yang sudah usang atau
jarang dipakai. Contoh: Maafkanlah kesalahan hamba, duli tuanku,
9) bombastis: sebuah gaya bahasa yang menggunakan keterangan secara
berlebihan. Contoh: Setelah suaminya meninggal, ia menjadi seorang janda yang
amat sangat miskin,
10) elipsis: sebuah gaya bahasa yang kalimatnya tidak lengkap (ada bagian yang
dihilangkan dalam tuturannya tetapi maksudnya sudah jelas). Contoh: Pergi!
(maksudnya memerintah seseorang untuk pergi sekarang juga),
11) enumerasio/ Akumulasio: sebuah gaya bahasa yang menyebutkan beberapa
peristiwa yang saling berhubungan dan disebut satu demi satu. Contoh: Ia
sekarang menjadi dosen, di samping itu sebagai konsultan, pantas mobilnya
baru,
12) esklamasio: sebuah gaya bahasa yang penggunaannya memakai kata seru
seperti wah, aduh, amboi, astaga, awas, dan sebagainya. Contoh: Wah, indah
sekali pemandangan ini,
13) interupsi: merupakan sebuah gaya bahasa penegasan yang menggunakan kata-
kata atau bagian kalimat yang disisipkan di antara kalimat pokok. Contoh:
Perempuan desa, yang lugu dan hanya mengerti cinta sejati, tertipu oleh lelaki
hidung belang,

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

24

14) inversi/ Anastrof: gaya bahasa penegasan yang susunan (struktur) kalimatnya
sengaja dibuat terbalik. Contoh: Rindang sekali pohon-pohon yang tumbuh di
depan kampusku,
15) invokasi: sebuah majas yang mempergunakan kata seru dengan maksud
memohon kepada adi kodrati. Contoh: Izinkanlah permohonanku, Ya, Tuhan!
16) klimaks: sebuah gaya bahasa yang yang menyatakan beberapa hal secara
berturut-turut yang semakin tinggi atau memuncak, lawan dari antiklimaks.
Contoh: Semua orang mulai anak kecil, dewasa, sampai orang tua berkumpul
menyaksikan pertandingan sepak bola di stadion,
17) kolokasi: sebuah gaya bahasa yang menyatakan asosiasi permanen satu kata
dengan kata yang lain. Contoh: Jangan bergaul dengan buaya darat itu!,
18) koreksio/ Epanortosis: merupakan gaya bahasa yang maksud atau isinya berupa
pembetulan atau memperbaiki atas kata-kata atau pernyataan sebelumnya yang
dianggap salah. Contoh: Kaki anak yang kecelakaan itu retak, ah tidak retak,
tetapi sudah patah,
19) paralelisme: sebuah majas yang memiliki kesejajaran kata-kata atau frasa
dengan fungsi yang sama. Contoh: semua bentuk korupsi, tidak semata-mata
dikutuk, tetapi harus diberantas,
20) pararima: majas penegasan yang menggunakan perulangan konsonan awal dan
akhir dalam kata-kata tertentu. Contoh: Sambil mondar-mandir, ia membeli
beberapa pernak-pernik,
21) pleonasme: sebuah majas yang memberikan sebuah keterangan secara
berlebihan dari apa yang diperlukan. Contoh: kita harus dan wajib saling
menghormati,
22) praterio: gaya bahasa penegasan yang menyembunyikan maksud sesungguhnya.
Contoh: Bagaimana indahnya pernikahan itu, nanti Anda akan merasakan
sendiri,
23) repetisi: gaya bahasa penegasan dengan cara melakukan perulangan kata atau
kelompok kata berkali-kali. Gaya bahasa repetisi dibagi menjadi beberapa jenis
yakni sebagai berikut:
a) aliterasi: perulangan konsonan awal. Contoh: Bukan beta bijak berperi,

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

25

b) anadiplosis:/Epanadiplosis/Epanastof/Anastrof: kata atau kelompok kata


terakhir diulang pada kalimat berikutnya, seperti pantun berkait. Contoh:
Dalam bahasa ada kata, dalam kata ada makna, dalam makna semuanya tidak
ada,
c) anafora: pengulangan kata atau kelompok kata pertama atau pengulangan
yang dilakukan di awal kalimat. Contoh: tingkah lakumu melanggar tata
susila. Tingkah lakumu juga mencoreng nama baik keluarga,
d) antanaklasis: gaya bahasa perulangan yang dengan makna yang berlainan.
Contoh: ia naik darah setelah melihat lukanya berdarah,
e) asonansi: perulangan bunyi vokal. Contoh: Ada tubi ada talas, ada budi ada
balas,
f) epanalepsis: gaya bahasa perulangan dengan cara kata pertama diulang pada
akhir kalimat. Contoh: Berdoalah kepada Tuhan pencipta langit dan bumi,
berdoalah!,
g) epifora/ Epistrofa: pengulangan yang dilakukan di akhir kalimat. Contoh:
Nasi yang kumakan adalah berkat-Mu, Tuhan. Rumah yang kutempati adalah
berkat-Mu, Tuhan,
h) epizeuksis: perulangan langsung. Contoh: Supaya kita lulus dengan baik, kita
harus belajar, belajar, dan belajar!,
i) katafora: perulangan melalui pronomina disusul oleh anteseden. Contoh:
Dengan mobil baru (nya), gadis itu mengelilingi seluruh kota,
j) kiasmus: gaya bahasa pengulangan yang memakai skema a-b-a-b. Contoh:
Kita harus memasyarakatkan olah raga sekaligus mengolahragakan
masyarakat,
k) mesidiplosis: gaya bahasa pengulangan yang dilakukan di tengah baris.
Contoh: Masyarakat dilarang keras berjudi. Para pemimpin dilarang keras
korupsi,
l) Simploke: merupakan sebuah gaya bahasa pengulangan yang dilakukan di
awal dan akhir baris dalam beberapa baris. Contoh: Berkatalah sepuas-
puasmu, aku tak peduli. Berkatalah sepanjang hari, aku tak peduli,

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

26

m) tautotes: gaya bahasa pengulangan yang dilakukan dalam sebuah konstruksi.


Contoh: Siang berganti malam, malam berganti siang, siang dan malam
akhirnya menjadi bagian kehidupan manusia,
n) retoris: gaya bahasa yang di dalamnya terdapat sebuah kalimat tanya yang
sebenarnya tidak membutuhkan jawaban. Contoh: Di antara kamu semua,
siapa yang ingin menjadi miskin?
o) sigmatisme: gaya bahasa yang memperg
menimbulkan efek tertentu. Contoh: Gadis manis sekarang mati sendiri,
p) silepsis: merupakan gaya bahasa penegasan yang mempergunakan satu kata
dengan banyak makna dalam konstruksi sintaksis yang berbeda. Contoh: Ia
marah dengan melemparkan buku kas, tanggung jawab secara keseluruhan,
q) sindenton; gaya bahasa penegasan yang memberi penjelasan kata-kata setara
secara berturut-turut. Gaya bahasa ini dibagi menjadi dua macam yakni (a)
asindenton dan (b) polisidenton,
r) asindenton: sebuah gaya bahasa penegasan tanpa menggunakan kata
penghubung untuk memberi penjelasan. Contoh: Ia meminta maaf dengan
cara memeluk, mencium, dan mengelus-elus rambutnya,
s) polisidenton: sebuah gaya bahasa penegasan dengan menggunakan kata
penghubung untuk memberi penjelasan, lawan dari asindenton. Contoh:
Wajah tampan, dengan pendidikan akademis yang tinggi, disertai dengan
tutur bahasa yang menawan, telah menarik perhatian banyak perempuan,
t) sinkope/ Kontraksi: gaya bahasa penegasan yang menghilangkan suatu suku
kata di tengah kata. Contoh: Mentari (matahari) sudah menuju ke
peraduannya,
u) tautologi: perulangan kata, kelompok kata, atau sinonimnya, yang kadang-
kadang tidak perlu. Contoh: Pendapat seperti itu sesungguhnya pada
dasarnya tidak perlu dikemukakan di sini, v) zeugma: gaya bahasa penegasan
yang seolah-olah tidak logis dan tidak gramatikal, rancu. Contoh: Ia sangat
marah, lalu membelakkan mata dan telinganya.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

27

b) Majas Perbandingan, meliputi:


1) alegori: Perbandingan suatu keadaan atau peristiwa dengan beberapa kiasan yang
membentuk suatu kesatuan. Contoh: Agama adalah kompas kita dalam
mengarungi samudra kehidupan yang penuh badai dan gelombang,
2) alusio: gaya bahasa perbandingan yang menggunakan ungkapan, peribahasa,
atau sampiran pantun. Contoh:Mengapa sejak tadi kamu menggantang asap
saja?,
3) asosiasi: Perbandingan terhadap suatu hal atau benda sehingga muncul suatu
gambaran/ asosiasi terhadap keadaan yang sebenarnya. Contoh: Mukanya pucat
bagai bulan kesiangan,
4) antonomasia: gaya bahasa yang sering digunakan sebagai sebutan untuk
menggantikan nama orang. Contoh: Yang Mulia sedang memberikan tugas
kepada seluruh prajurit,
5) disfemisme: majas yang menonjolkan atau menyebutkan kekurangan yang
dimiliki seorang tokoh. Contoh: Datuk Maringgih merupakan orang yang
bertubuh jangkung seperti pensil,
6) epitet: majas perbandingan yang dijadikan acuan untuk menunjukkan sifat
khusus seseorang atau hal lain. Contoh: Putri malam (bulan) sudah bangun dari
peraduannya,
7) eponim: majas perbandingan yang memakai sebuah nama untuk menunjukkan
ciri-ciri tertentu. Contoh: Kecantikan gadis itu seperti Cleopatra,
8) eufimisme: Pengungkapan secara halus untuk hal-hal yang dianggap tabu atau
pantang. Contoh: Anak Bapak belum waktunya naik kelas (bodoh),
9) hipalase/ Enalase: keterangan yang seolah-olah ditempatkan pada tempat yang
salah. Contoh: Akhirnya ia tidur di rumah yang tertipu,
10) hiperbola: merupakan gaya bahasa yang dipakai untuk melukiskan sesuatu
keadaan secara berlebihan daripada yang sesungguhnya. Contoh: Sorak-sorai
penonton membahana membelah angkasa,
11) litotes: Pengungkapan yang berkebalikan dengan keadaan yang sebenarnya
untuk merendahkan diri. Contoh: Silakan mampir di gubug kami,

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

28

12) metafora: majas yang membandingkan suatu benda dengan benda lain yang
memiliki kesamaan sifat. Contoh: Para pemuda merupakan tulang punggung
bangsa,
13) metonimia: penyebutan merk (nama barang) untuk mengacu pada benda yang
sesungguhnya. Contoh: Ayah berangkat ke kantor naik Yamaha,
14) parabel: gaya bahasa perbandingan dengan mempergunakan perumpamaan
dalam hidup. Gaya bahasa ini terkandung dalam seluruh isi karangan. Dengan
tersimpul berupa pedoman hidup. Contoh: Bhagawat Gita, Mahabarata, Bayan
Budiman mengandung gaya bahasa ini,
15) paronomasia: sebuah gaya bahasa perbandingan berupa pemakaian kata yang
sama tetapi menampilkan makna yang berbeda. Contoh: Engkau ini orang besar,
tetapi besar mulut,
16) perifrasis: gaya bahasa perbandingan dengan mengganti sebuah kata dengan
beberapa kata atau kalimat, dengan kata lain, suatu kata diperluas dengan
ungkapan. Contoh: Liburan keluarga tahun ini kami akan berkunjung ke Negeri
Sakura,
17) personifikasi: gaya bahasa perbandingan yang membandingkan benda mati
seolah-olah bernyawa dan berperilaku seperti manusia. Contoh: Ombak
berkejar-kejaran di tepi pantai,
18) simbolik: majas perbandingan dengan menggunakan simbol. Contoh: Kita
harus berhati-hati terhadap lintah darat,
19) simile: gaya bahasa perbandingan yang memakai kata-katapembanding: seperti,
laksana, umpama. Contoh: Sifat kedua anak itu seperti bumi dan langit,
20) sinekdoke: merupakan sebuah bahasa kiasan yang menyebutkan sesuatu bagian
yang penting dari suatu benda (hal) untuk benda atau hal itu sendiri. Majas ini
dibedakan menjadi dua macam yaitu sinekdoke pars prototo dan sinekdoke
totem proparte: a) sinekdoke pars prototo: penyebutan sebagian untuk
keseluruhan. Contoh: Mulai sekarang setiap kepala harus membayar pajak,
b) sinekdoke totem proparte: penyebutan keseluruhan untuk bagian. Contoh:
Dunia menghadapi krisis ekonomi.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

29

21) sinestesia: merupakan gaya bahasa yang melibatkan penggunaan alat indera.
Contoh: Pandangannya yang dingin dan menyejukkan menyebabkan para
karyawan merasa segan,
22) tropen: majas yang memakai istilah lain dengan makna sejajar. Contoh: Ia
mencari uang sebagai kuli tinta (sejajar dengan menjadi wartawan).

c) Majas Pertentangan, meliputi:


1) anakronisme: sebuah gaya bahasa pertentangan yang isinya tidak sesuai dengan
peristiwa. Contoh: Candi Borobudur dibangun dengan menggunakan teknologi
modern,
2) antitesis: jenis gaya bahasa yang mempergunakan kata-kata secara berlawanan
untuk menegaskan maksud. Contoh: Besar kecil, tua muda semua ikut
menonton,
3) kontradiksio: berlawanan secara situasional. Contoh: Malam sunyi, kecuali suara
burung hantu,
4) oksimoron: majas yang berlawanan dalam kelompok kata yang sama. Contoh:
Masalah itu sudah menjadi rahasia umum,
5) okupasi: sebuah pernyataan yang menyangkut pertentangan tetapi diberi
penjelasan. Contoh: Anak itu tidak cerdas, tetapi ia rajin, sehingga berhasil
lulus,
6) paradoks: pengungkapan yang seolah-olah bertentangan. Contoh: Tutur katanya
halus tetapi menyayat hati,
7) prolepsis/ Antisipasi: kata-kata seolah-olah mendahului peristiwanya. Contoh:
Pada malam maut itu ia sedang bercumbu dengan istrinya.

d) Majas Sindiran, meliputi:


1) anifrasis: sebuah sindiran dengan makna yang berlawanan. Contoh: Si miskin
sudah datang (padahal ia kaya),
2) Inuendo: sebuah majas sindiran dengan maksud mengecilkan keadaan yang
sesungguhnya. Contoh: Ia menjadi sangat kaya setelah sedikit korupsi,
3) ironi: sindiran dengan mengungkapkan kebalikan dari kenyataan yang
sebenarnya. Contoh: Corat-coret tembok itu bagus sekali (jelek),

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

30

4) permainan kata: sindiran yang disertai humor dengan cara mengubah urutan kata.
Contoh: Ia bukan luar biasa, melainkan biasa di luar,
5) sarkasme: gaya bahasa sindiran yang paling kasar dengan mempergunakan kata-
kata tertentu yang cenderung tidak sopan. Contoh: Lelaki itu, anjing, yang tidak
tahu terima kasih,
6) sinisme: sindiran agak kasar. Contoh: Suaramu sangat merdu sehingga
memecahkan anak telingku.

f. Citraan
Altenbernd dalam Pradopo (1997: 89) mengemukakan bahwa citraan adalah
salah satu alat kepuitisan yang terutama dengan itu kesusastraan mencapai sifat-sifat
konkret, khusus, mengharukan, dan menyarankan. Sementara itu, menurut Wellek dan
Warren (1990: 236) pencitraan adalah topik yang termasuk dalam bidang psikologi dan
masa
lalu yang bersifat indrawi dan berdasarkan persepsi-persepsi dan tidak selalu bersifat
visual.
-195) bahwa citraan meliputi
tujuh jenis, yakni: 1) citraan penglihatan (visual imagery), 2) citraan pendengaran
(auditory imagery ), 3) citraan perabaan (tactile/ thermal imagery), 4) citraan
penciuman (smeel imagery), 5) citraan gerak (movement/ kinesthetic imagery), 6)
citraan pengecapan (tante imagery), 7) citraan intelektual (intelectual imagery). Senada
dengan hal tersebut, Pradopo (1997: 81-87) menyatakan tentang gambaran-gambaran
angan itu ada bermacam-macam, dihasilkan oleh indera penlihatan, pendengaran,
perabaan, pengecapan, dan penciuman. Bahkan diciptakan juga oleh pemikiran dan
gerakan. Penjelasan tentang gambaran angan (citraan) yaitu, sebagai berikut.
Pertama, citraan penglihatan. Citra penglihatan adalah jenis yang paling sering
digunakan oleh penyair dibandingkan dengan jenis citraan yang lain. Citraan
penglihatan memberikan rangsangan kepada inderaan penglihatan, hingga sering hal-hal
yang tidak terlihat seolah-olah terlihat. Kedua, citraan pendengaran. Citraan penglihatan
(auditory imagery), juga sangat sering digunakan oleh penyair. Citraan itu dihasilkan
dengan menyebutkan atau menguraikan bunyi suara. Ketiga, citraan perabaan.
Meskipun tidak sering dipakai seperti citraan penglihtan dan pendengaran, citraan
perabaan (tactile/thermal imagery) banyak dipakai oleh penyair juga. Keempat, citraan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

31

intelektual. Citraan dapat dihasilkan dengan asosiasi-asosiasi intelektual. Kelima,


citraan gerak. Ada juga citraan gerak (movement imagery atau kinesthetic imagery).
Imagery ini menggambarkan sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak, tetapi
dilukiskan sebagai sesuatu yang dapat bergerak, ataupun gambaran gerak pada
umumnya. Citraan gerak ini membuat hidup dan gambaran menjadi dinamis.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa citraan
(imagery) adalah sebuah gambaran-gambaran angan sebagai alat kepuitisan yang
bersifat indrawi (berhubungan dengan berbagai indra yang dimiliki oleh manusia).
Citraan yang dikaji di dalam penelitian ini adalah citraan penglihatan, pendengaran,
perabaan, penciuman, gerak, pengecapan, dan intelektual.

2. Pengertian Puisi
Secara etimologi, istilah puisi berasal dari bahasa Yunani pocima
atau poeisis , dan dalam bahasa Inggris disebut poem atau poetry. Puisi
diartikan membuat dan pembuatan karena lewat puisi pada dasarnya seorang telah
menciptakan suatu dunia tersendiri, yang mungkin berisi pesan atau gambaran suasana-
suasana tertentu, baik fisik maupun batiniah (Aminudin, 2011: 134).
Puisi adalah bentuk kasusastraan yang paling tua, Waluyo (2010: 10). Definisi
puisi sulit diberikan. Untuk memahami puisi biasanya diberikan ciri-ciri karakteristik
puisi dan unsur-unsur yan membedakan puisi dari karya sastra yang lainnya. Sejak
kelahirannya, puisi memang sudah menunjukkan ciri-ciri khas seperti yang kita kenal
sekarang, meskipun puisi telah mengalami perkembangan dan perubahan tahun demi
tahun. Bentuk karya sastra puisi memang dikonsep oleh penulis atau penciptanya
sebagai puisi dan bukan bentuk prosa yang kemudian dipuisikan. Tipografi puisi sejak
kelahirannya menunjukkan baris-baris putus yang tidak membentuk kesatuan sintaksis
seperti dalam prosa, baris-baris prosa berkesinambungan membentuk kesatuan sintaksis.
Dalam puisi terjadi kesenyapan antara baris yang satu dengan baris yang lain karena
konsentrasi bahasa yang begitu kuat (Waluyo, 2010: 3-4).
Puisi adalah ekspresi tidak langsung dalam kata-kata atau lebih tepatnya kata-
kata berirama dari beberapa emosi yang menguasai atau rasa yang berkuasa atau
perasaan yang langsung muncul dalam diri penyair, Abrams (1979:48). Selanjutnya
Abrams menyatakan bahwa puisi dari hampir segala usia ditulis dalam bahasa khusus,

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

32

dari sekadar percakapan biasa.


Mengutip Mc. Caulay, Hudson dalam Aminudin (1987:134) diungkapkan bahwa
puisi adalah salah satu cabang sastra yang menggunakan kata-kata sebagai media
penyampaian untuk membuahkan ilusi dan imajinasi, seperti halnya lukisan yang
menggunakan garis dan warna dalam menggambarkan gagasan pelukisnya. Rumusan
pengertian puisi diatas, sementara ini dapatlah kita terima karena kita sering kali dirajuk
oleh ilusi tentang keindahan, terbawa dalam suatu angan-angan, sejalan dengan
keindahan penataan unsur bunyi, penciptaan gagasan, maupun suasana tertentu sewaktu
membaca suatu puisi.
Puisi adalah karya sastra. Semua karya sastra bersifat imajinatif. Bahasa sastra
bersifat konotatif karena banyak digunakan makna kias dan makna lambang (majas).
Dibandingkan dengan bentuk karya sastra yang lain, puisi lebih bersifat konotatif.
Bahasanya lebih memiliki kemungkinan banyak makna. Hal ini disebabkan adanya
pengkonsentrasian atau pemadatan segenap kekuatan bahasa didalam puisi. Struktr fisik
dan struktur batin puisi juga padat. Keduanya bersenyawa secara padu bagaikan telur
dan adonan roti (Reeves, 1978:26). Selanjutnya Thomas Caelyle menyatakan bahwa
puisi merupakan ungkapan pikiran yang bersifat musikan (Kennedy, 1971: 331).
Pendapat Clive Sansome (1960: 6), bahwa batasan puisi sebagai bentuk
pengucapan bahasa yang ritmis, yang mengungkapkan pengalaman intelektual yang
bersifat imajinatif dan emosional. Coleridge (1960) dalam Waluyo (2010: 26)
mengatakan bahwa bahasa puisi adalah bahasa pilihan, yakni bahasa yang benar-benar
diseleksi penentuannya secara ketat oleh penyair karena bahasanya harus bahasa
pilihan, maka gagasan yang dicetuskan harus diseleksi dan dipilih yang terbagus pula.
Orang yang paling primitif telah menggunakannya, dan yan paling beradab telah
dibudidayakan dalam segala zaman dan semua negara, puisi yan telah ditulis dan dibaca
atau litened dengan penuh semangat oleh semua jenis atau kondisi orang, oleh tentara,
negarawan, pengacara, petani, dokter, ilmuwan,rohaniawan, filsuf, raja-raja, dan ratu.
Hal ini sependapat dengan Waluyo (2010: 27), menambahkan bahwa puisi adalah
bahasa universal dan hampir sama kuno. Dalam segala usia ini terutama keprihatinan
berpendidikan, cerdas, dan sensitif, dan mengimbau, dlam bentuk sederhana, untuk
yang tidak berpendidikan atau bagi anak- anak.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

33

Puisi dan bentuk sastra imajinatif tidak ada perbedaan yang tajam. Puisi dapat
diakui oleh susunan garis-garis pada halaman atau penggunaan bahasa. Puisi adalah
semacam multidimensi. Bahasa biasa seperti yang kita gunakan untuk berkomunikasi
informasi pada dimensi itu ditujukkan hanya sebagian dari pendengar, pemahamannya.
Salah satu dimensi adalah intelektual. Puisi, bahasa yang digunakan untuk
berkomunikasi pengalaman setidaknya empat dimensi, (1) dimensi intelektual, (2)
dimensi sensual; (3) dimensi emosional; dan (4) dimensi imajinatif.
Puisi mencapai dimensi yang ekstra dengan menggambar leih lengkap dan lebih
knsisten daripada bahasa yang biasa sejumlah sumber daya bahasa lebih dari yang khas
puisi. Di antara berbagai sumber daya adalah konotasi, perumpamaan, metafora, simbol,
paradoks, ironi, kiasan, repetisi, ritme, dan pola. Sementara itu Waluyo (2010: 29)
menyatakan bahwa puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungapkan pikiran dan
perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan pengkonsentrasian struktur fisik
dan struktur batinnya. Struktur fisik atau metode puisi tersebut juga dipengaruhi pula
oleh penyimpangan bahasa dan sintaksis dalam puisi. Adapun struktur batin adalah
struktur yang berhubungan dengan tema, perasaan, nada dan suasana, amanat dan pesan.
Puisi adalah bentuk karya sastra yang menggunakan kata-kata yang indah dan
kaya makna. Keindahan sebuah puisi disebabkan oleh diksi, majas dan irama yang
terkandung didalam karya sastra itu. Adapun kekayaan makna yang terkandung dalam
puisi dikarenakan oleh pemadatan segala unsur bahasa. Bahasa yang digunakan dalam
puisi berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Puisi
menggunakan bahasa yang ringkas, namun maknanya sangat kaya. Kata-kata yang
digunakannya adalah kata-kata konotatif, yang mengandung banyak penafsiran dan
pengertian (Koesasih, 2003: 206). Satoto (2012: 115) mengemukakan beberapa
sukarnya untuk menyebutkan ciri-ciri khusus bahasa puisi, karena adanya persamaan
penggunannya dengan bahasa nonpuisi. Mukarovsky menyangkal pendapat yang
mengatakan bahwa hanya ada satu sifat tertentu dalam bahasa puisi.
(ornamental expression);
bukan juga keindahan yang menjadikan ciri khasnya; tidak pula identik dengan bahasa
emosional; dan tidak sepenuhnya bercirikan secara khusus oleh kekongkritannya atau
keplaktisan; ini berarti kemenduaan (ambiguity). Bahasa puisi menempatkan fungsi
sebagai ciri khusus yang tetap. Fungsinya merupakan madus pemanfaatan (mode of

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

34

utillizing) sifat-sifat dari gejala-gejala (fenomena) yang dikemukakan. Secara fungsional


bahasa puisi.

3. Struktur Lahir Puisi

Struktur lahir puisi menurut Waluyo (2008: 83- 103) disebut juga dengan
metode puisi terdiri dari (1) diksi, (2) pengimajian, (3) kata konkret, (4) bahasa figurasi
atau majas, (5) Versifikasi, dan (6) tata wajah atau tifografi. Struktur fisik atau metode
puisi tersebut juga dipengaruhi pula oleh penyimpangan bahasa dan sintaksis dalam
puisi.
a. Metode puisi
1) Diksi
Gaya kata (diksi) dapat diartikan sebagai pilihan kata-kata yang digunakan
pengarang dalam karyanya guna menciptakan efek tertentu. Diksi adalah kata-kata
mana yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide yang meliputi persoalan fraseologi,
majas dan ungkapan. Diksi adalah pilihan kata atau rase dalam karya sastra (Abrams,
1979: 48). Setiap penyair akan memilih kata-kata yang tepat, sesuai dengan maksud
yang ingin diungkapkan dan efek puitis yang ingin dicapai. Diksi sering kali juga
menjadi ciri khas seorang penyair atau zaman tertentu. Dengan demikian diksi bukan
saja dipergunakan untuk menyatakan kata mana yang perlu dipakai untuk
mengungkapkan suatu gagasan, tetapi juga meliputi persoalan gaya bahasa, dan
ungkapan-ungkapan.
Sejalan dengan uraian di atas diksi merupakan pilihan kata dan kejelasan lafal
untuk memperoleh efek tertentu dalam berbicara di depan umum atau dalam karang-
mengarang, Al- kan diksi dalam konteks sastra merupakan
pilihan kata pengarang untuk mengungkapkan gagasannya guna untuk mencapai efek
tertentu dalam karya sastranya.
Pemilihan kata berkaitan erat dengan hakikat karya sastra yang penuh dengan
intensitas. Sastrawan dituntut cermat dalam memilih kata-kata karena kata-kata yang
ditulis harus dipertimbangkan maknanya, komposisinya dalam kalimat dan wacana,
kedudukan kata tersebut di tengah kata lain., dan kedudukan kata dalam keseluruhan
karya sastra. Dalam proses pemilihan kata-kata inilah sering terjadi pergumulan
sastrawan dengan karyanya bagaimana dia memilih kata-kata yang benar-benar

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

35

mengandung arti yang sesuai dengan keinginannya. Dalam karya sastra terdapat banyak
diksi antara lain kata konotatif, kata konkret, kata sapaan, kata vulgar, dan sebagainya.
Kata konotatif sangat dominan dalam karya sastra. Menurut Leech (2003: 23),
arti konotatif merupakan nilai komunikatif suatu ungkapan menurut apa yang diacu,
melebihi di atas isinya yang murni konseptual . kata konotatif adalah kata yang
memiliki makna tambahan yang terlepas dari makna harfiahnya yang didasarkan pada
perasaan atau pikiran yang timbul pada pengarang atau pembaca. Jadi kata konotatif
adalah kata yang mengandung makna komunikatif yang terlepas dari makna harfiahnya
yang didasarkan atas perasaan atau pikiran pengarang tentang sesuatu yang
dibahasakan.

2) Bahasa Figuratif dan Majas


Bahasa figuratif merupakan penyimpangan dari pemakaian bahasa yang biasa,
yang rangkaian katanya digunakan dengan tujuan untuk mencapai efek tertentu
(Abrams, 1974: 4). Bahasa figurasi atau majas sering juga disebut bahasa kias, memiliki
beberapa jenis, yaitu personifikasi, metafora, perumpamaan (simile), metonimia,
sinekdoke, dan alegori (pradopo, 2005: 93).
Bahasa figuratif retorika sastra yang sangat dominan. Bahasa figuratif
merupakan cara pengarang dalam memanfaatkan bahasa untuk memperoleh efek estetis
dengan pengungkapan gagasan secara kias yang menyaran pada makna literal. Bahasa
figuratif dalam penelitian kajian stilistika karya sastra dapat mencakup majas, idiom,
dan peribahasa. Pemilihan tiga bentuk bahasa figuratif tersebut didasarkan pada alasan
bahwa ketiganya merupakan sarana sastra yang dipandang representatif dalam
mendukung gagasan pengarang. Selain itu, ketiga bentuk bahasa figuratif itu diduga
cukup banyak dimanfaatkan oleh para sastrawan dalam karyanya.
Majas terbagi menjadi daua jenis, yaitu 1) figure of thouch: tuturan figuratif
yang terkait dengan pengolahan dan pembayangan gagasan, dan 2) rethorical figure:
tuturan figuratif yang terkait dengan penataan dan pengurutan kata-kata dalam kontruksi
kalimat. (Aminuddin, 1995: 249). Pemajasan (figure of thouch), merupakan teknik
untuk pengungkapan bahasa, penggayabahasaan yang maknanya tidak menunjuk pada
makna harfiah kata-kata yang mendukungnya, melainkan pada makna yang
ditambahkan, makna yang tersirat.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

36

3) Pengimajian
Pengimajian merupakan gambaran-gambaran angan dalam puisi yang
ditimbulkan melalui kata-kata (Pradopo, 2005: 79). Ada bermacam-macam jenis citraan,
sesuai dengan indra yang menghasilkannya, yaitu 1) citraan penglihatan, 2) citraan
pendengaran, 3) citraan rabaan, 4) citraan pengecapan, 5) citraan penciuman, 6) citraan
gerak.
4) Kata Konkret
Berdasarkan bentuk dan isi, kata-kata konkret dalam puisi dapat dibedakan
antara (1) lambang, yakni bila kata-kata itu mengandung makna seperti makna dalam
kamus (makna leksikal) sehingga semua maknanya tidak menunjuk pada berbagai
macam kemungkinan lain (makna denotatif), (2) utterance atau indice, yakni kata-kata
yang mengandung makna sesuai dengan keberadaan dalam konteks pemakaian, dan (3)
symbol, yakni bila kata-kata itu mengandung makna ganda (makna konotatif) dengan
melihat bagaimana hubungan makna kata terebut dengan makna kata lainnya (analisis
kontekstual), sekaligus berusaha menemukan fitur semantisnya lewat kaidah proyeksi,
mengembalikan kata ataupun bentuk larik (kalimat) ke dalam bentuk yang lebih
sederhana lewat pendekatan parafrastis.
Lambang dalam puisi mungkin dapat berupa kata tugas, kata dasar, maupun kata
bentukan. Sedangkan simbol dapat dibedakan antara (1) blank symbol, yakni bila simbol
itu, meskipun acuan maknanya bersifat konotatif, pembaca tidak perlu menafsirkannya

natural symbol, yakni bila symbol itu menggunakan

private symbol, yakni bila symbol itu secara khusus diciptakan

. Batas antara private symbol dengan natural symbol dalam hal


ini sering kali kabur. Sejalan dengan telaah kata di atas, Effendi (1973: 141)
mengemukakan adanya istilah pengimajian, yakni penataan kata yang menyebabkan
makna-makna abstrak menjadi konkret dan cermat. Adanya kekongkretan dan
kecermatan makna kata-kata dalam puisi membuat pembaca lebih mampu
mengembangkan daya imajinasinya sekaligus mengembangkan daya kritisnya dalam
upaya memahami totalitas makna suatu puisi.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

37

Kata konkret ialah kata yang dapat dilukiskan dengan tepat, membayangkan

(2009: 53) mengatakan bahwa kata konkret mengandung makna yang merujuk kepada
pengertian langsung atau memiliki makna harfiah, sesuai dengan konveksi tertentu. Jika
pengarang mampu mengkonkretkan kata-kata maka pembaca seolah-olah melihat,
mendengar, atau merasakan apa yang dilukiskan oleh pengarang. Jika citraan pembaca
merupakan akibat dari pencitraan kata-kata yang diciptakan oleh pengarang, maka
katakata konkret ini merupakan syarat atau sebab terjadinya pengimajian tersebut.

4. Nilai Pendidikan Karakter


a. Pengertian Pendidikan Karakter
Proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan masyarakat sehingga
membuat orang dan masyarakat menjadi beradab disebut dengan pendidikan.
Pendidikan bukan merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas
lagi, yaitu sebagai sarana pembudayaan dan penyaluran nilai. Anak harus mendapatkan
pendidikan yang menyentuh dimensi dasar kemanusiaan. Dimensi kemanusiaan
mencakup tiga hal paling mendasar, yaitu (1) afektif yang tercermin pada kualitas
keimanan, ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian
unggul, dan kompetensi estetis; (2) kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan
daya intelektualitas untuk menggali dan mengembangkan serta menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi; dan (3) psikomotorik yang tercermin pada kemampuan
mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi konesitas.

Pendidikan merupakan usaha-usaha yang dilakukan untuk menumbuh


kembangkan potensi-potensi yang terdapat dalam diri manusia, baik rohani dan jasmani,
sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalaam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai yang
ditanam itu akan diwariskan kepada tiap generasi sebagai usaha untuk melestarikan
hidup dan mengembangkan budaya bangsa. Indar (1994:16-17) mengemukakan bahwa
pendidikan pada dasarnya merupakan suatu hasil peradaban bangsa yang dikembangkan
berdasarkan falsafah bangsa itu sendiri, yaitu nilai dan norma masyarakat yang
berfungsi sebagai filsafat pendidikannya atau sebagai cita-citanya.

Hal ini menunjukkan bahwa proses pendidikan yang terangkum dalam nilai-nilai

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

38

dan norma-norma tersebut juga merupakan bukti bagaimana warga negara suatu bangsa
berpikir dan berperilaku hingga mencapai peradaban yang tinggi dan pembinaan
kehidupan yang lebih sempurna. Selain itu, seperti yang dikutip dari Santoso (dalam
Hidayatullah, 2010:20), pendidikan juga dapat dimaknai sebagai usaha untuk
mengembangkan potensi individu semaksimal mungkin dalam batas-batas
kemampuannya, sehingga terbentuk manusia yang pandai, terampil, jujur, tahu
kemampuan dan batas kemampuannya, serta mempunyai kehormatan diri. Dengan
demikian, pembinaan watak merupakan tugas utama pendidikan.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan bertujuan itu


sendiri adalah sebagai pembentuk karakter yang terwujud dalam perilaku sikap hidup
yang dimiliki oleh seseorang. Samani dan Hariyanto (2012:41) yang mengemukakan
bahwa karakter dapat diartikan sebagai cara berpikir dan berperilaku yang khas tiap
individu untuk hidup dan bekerja sama dalam berbagai lingkungan. Dalam hal ini
Foerster (dalam Wibowo, 2012: 26) menyebutkan bahwa karakter merupakan sesuatu
yang mengkualifikasikan pribadi seseorang dan menjadi identitas dalam mengatasi
perubahan dan pengalaman hidup. Karakter sendiri berasal dari suatu nilai, nilai yang
diwujudkan dalam bentuk perilaku itulah yang disebut karakter. Lickona (dalam
Wibowo, 2013: 12-13) berpendapat bahwa pendiidkan karakter mengandung tiga unsur
pokok, yaitu mengetahui kebikan (knowing the good), mencintai kebaikan (desiring the
good), dan melakukan kebaikan (doing the good).

Menurut Kemendiknas (dalam Wibowo, 2013: 13) pendidikan karakter adalah


pendidikan yang menanamkan dan mengembangkan karakter-karakter luhur kepada
peserta didik, sehingga mereka memiliki karakter luhur itu, menerapkan dan
mempratikkan dalam kehidupannya, entah dalam keluarga, sebagai anggota masyarakat,
dan warga negara. Pendidikan karakter adalah upaya yang dilakukan dengan sengaja
untuk mengembangkan karakter yang baik (good character) berlandaskan kebajikan-
kebajikan inti (core virtues) yang secara objektif baik bagi individu maupun masyarakat
(Saptono, 2011: 23). Pendidikan karakter menurut Ki Hajar Dewantara adalah Ing
ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.

Karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors),


motivasi (motivations), dan keterampilan (skills) (Naim, 2012: 55). Karakter meliputi

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

39

sikap seperti keinginan untuk melakukan hal yang terbaik, kapasitas intelektual, seperti
berpikir kritis dan alasan moral, perilaku seperti jujur dan bertanggung jawab,
mempertahankan prinsip-prinsip moral dalam situasi penuh ketidakadilan, kecakapan
interpersonal dan emosional yang memungkinkan seseorang berinteraksi seacara efektif
dalam berbagai keadaan, dan komitmen untuk berkontribusi dengan komunitas dan
masyarakatnya. Individu yang berkarakter baik adalah seseorang yang berusaha
melakukan hal yang terbaik.

Pendidikan karakter adalah hal positif apa saja yang dilakukan guru dan
berpengaruh kepada karakter siswa yang diajarnya. Pendidikan karakter adalah upaya
sadar dan sungguh-sungguh dari seorang guru untuk mengajarkan nilai-nilai kepada
para siswanya Winton (dalam Samani & Hariyanto, 2013: 43-48). Pendidikan karakter
telah menjadi sebuah pergerakan pendidikan yang mendukung pengembangan sosial,
emosional dan etika. Pendidikan karakter merupakan suatu upaya proaktif yang
dilakukan baik oleh sekolah maupun pemerintah untuk membantu siswa
mengembangkan inti pokok dari nilai-nilai etika dan nilai-nilai kinerja, seperti
kepedulian, kejujuran, kerajinan, keuletan, dan ketabahan, tanggung jawab, menghargai
diri sendiri dan orang lain. Pendidikan karakter merupakan bagian dari pembelajaran
yang baik dan merupakan bagian yang fundamental dari pendidikan yang baik.
Pendidikan karakter juga dapat didefinisikan sebagai pendidikan yang mengembangkan
karakter yang mulia dari peserta didik dengan mempraktikkan dan mengajarkan nilai-
nilai moral dan pengambilan keputusan yang beradab dalam hubungan dengan sesama
manusia maupun dalam hubungannya dengan Tuhannya.

Lebih lanjut lagi, Muslich (2011:71) mengungkapkan bahwa karakter adalah


sesuatu yang berkaitan dengan moral dan berkonotasi positif. Kemudian lebih jauh
Muslich menjelaskan pula bahwa orang yang berkarakter adalah orang yang mempunyai
kualitas moral atau budi pekerti yang positif sehingga seharusnya pendidikan
merupakan pembangun karakter, yang berarti juga membangun sifat atau pola perilaku
yang berkaitan dengan dimensi moral yang positif. Mengacu pada berbagai pengertian
di atas, maka dapat disimpulkan karakter adalah nilai-nilai yang unik yang terdapat
dalam diri seseorang dan terwujudkan dalam perilaku sehari-hari. Selain itu juga dapat
disimpulkan bahwa seseorang dengan karakter yang baik adalah yang dapat membuat

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

40

keputusan dan mampu mempertanggungjawabkan keputusannya tersebut, apapun


resikonya.

Dengan demikian dapat dijelaskan dalam artian sederhana bahwa pendidikan


karakter merupakan pendidikan moral, budi pekerti, atau akhlak yang menggabungkan
beberapa aspek didalamnya, seperti kognitif, afektif dan psikomotorik. Dalam hal ini,
Dewantara (1977:93) menyiratkan pendidikan karakter sebagai pengajaran yang paling
luhur yang terkandung dalam kodrat- alam. Untuk mengetahui kodrat-alam itu perlu
memiliki hati dan budi yang bersih, yang terdapat dari kuatnya cita-cita, halusnya rasa,
suci, dan kuatnya kemauan, yaitu sempurnanya cipta, rasa, dan karsa. Maksud
pendidikan itu ialah sempurnanya hidup manusia, hingga dapat memenuhi segala
keperluan hidup lahir dan batin. Sedikit berbeda dengan Dewantara, Suyanto (dalam
Wibowo, 2012:33) mengungkapkan pengertian pendidikan karakter sebagai pendidikan
budi pekerti plus, yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling),
dan tindakan (action).

Hal serupa dinyatakan oleh Saptono (2011: 26), Pendidikan karakter


menekankan pentingnya tiga komponen karakter yang baik (components of good
character) yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau
perasaan tentang moral, dan moral action atau perbuatan moral. Hal ini diperlukan agar
anak mampu memahami, merasakan dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebajikan.
Moral knowing merupakan hal yang penting untuk diajarkan. Moral knowing ini terdiri
dari enam hal yaitu: (1) moral awareness (kesadaran moral), (2) knowing moral values
(mengetahui nilai-nilai moral), (3) perspective taking, (4) moral reasoning, (5) decision
making, (6) self knowledge.

Moral feeling adalah aspek yang lain yang harus ditanamkan kepada anak yang
merupakan sumber energi dari diri manusia untuk bertindak sesuai dengan prinsip-
prinsip moral. Terdapat enam hal yang merupakan aspek emosi yang harus mampu
dirasakan oleh seseorang untuk menjadi manusia berkarakter, yakni (1) concience
(nurani), (2) self esteem (percaya diri), (3) empathy (merasakan penderitaan orang lain),
(4) loving the good (mencintai kebenaran), (5) self control (mampu mengontrol diri) dan
(6) humility (kerendahan hati).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

41

Moral action adalah bagaimana membuat pengetahuan moral dapat diwujudkan


menjadi tindakan nyata. Perbuatan tindakan moral ini merupakan hasil (outcome) dari
dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang
dalam perbuatan yang baik (act morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari
karakter, yaitu kompetensi (competence), keinginan (will) dan kebiasaan (habit).

Meneruskan pembicaraan di atas, nilai pendidikan dalam karya sastra tidak akan

nilai pendidikan dalam karya sastra tidak selalu berupa nasihat atau petuah bagi
pembaca, tetapi juga dapat berupa kritikan pedas bagi seseorang, kelompok atau sebuah
struktur sosial yang sesuai dengan harapan pengarang dalam kehidupan nyata. Semi
(1993: 20) mengungkapkan bahwa nilai didik dalam karya sastra memang banyak
diharapkan dapat memberi solusi atas sebagaian masalah dalam kehidupan
bermasyarakat. Sastra merupkan alat penting bagi pemikir-pemiki untuk menggerakkan
pembaca pada kenyataan dan menolong suatu keputusan apabila menghadapi masalah.

Merujuk pada beberapa paparan pengertian dan penjelasan diatas, dapat


disimpulkan bahwa pendidikan karakter merupakan sebuah kegiatan dalam rangka
mengukir kesadaran dan sikap individu dengan nilai yang melekat kuat menjadi bagian
yang tidak akan terpisahkan dalam kondisi apapun. Pendidikan karakter adalah proses
pembelajaran yang menekankan pembentukan karakter dan mengembangkan nilai-nilai
karakter bangsa pada diri peserta didik, membangun nilai dan karakter dalam dirinya
dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai anggota
masyarakat dan warga negara yang religius, nasional, produktif dan kreatif. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa esensi dari pendidikan karakter itu sendiri bukan hanya pada
pengetahuan, namun juga perasaan dan tindakan yang nyata sehingga materi
pembelajaran tidak bersifat kognitif tetapi aplikatif. Nilai-nilai pendidikan karakater
dapat ditangkap manusia melalui berbagai hal diantaranya melalui pemahaman dan
penikmatan sebuah karya sastra digunakan sebagai media dalam mentransformasi
sebuah nilai termasuk nilai pendidikan karakter.

b. Fungsi dan Tujuan Pendidikan Karakter

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

42

Tujuh alasan mengapa pendidikan karakter penting untuk ditumbuhkembangkan


,Lickona (dalam Sudrajat, 2011:49). Ketujuh alasan tersebut antara lain; 1) cara terbaik
untuk menjamin anak-anak (siswa) memiliki kepribadian yang baik dalam
kehidupannya; 2) cara untuk meningkatkan prestasi akademik; 3) sebagian siswa tidak
dapat membentuk karakter yang kuat bagi dirinya di tempat lain; 4) persiapan siswa
untuk menghormati pihak atau orang lain dan dapat hidup dalam masyarakat yang
beragam; 5) berangkat dari akar masalah yang berkaitan dengan problem moral-sosial,
seperti ketidaksopanan, ketidakjujuran, kekerasan, pelanggaran kegiatan seksual, dan
etos kerja (belajar) yang rendah; 6) Persiapan terbaik untuk menyongsong perilaku di
tempat kerja; dan 7) pembelajaran nilai-nilai budaya yang merupakan bagian dari kerja
peradaban.

Secara umum, fungsi pendidikan karakter adalah meningkatkan kualitas


perilaku, akhlak, budi pekerti setiap anak dalam menjalani kehidupan sebagai anggota
masyarakat dan makhluk Tuhan, sedangkan secara akademik berfungsi sebagai; 1)
pengembangan, pengembangan potensi peserta didik untuk menjadi pribadi berperilaku
baik, ini bagi peserta didik yang telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan
budaya dan karakter bangsa; 2) perbaikan, memperkuat kiprah pendidikan nasional
untuk bertanggung jawab dalam pengembangan potensi peserta didik yang lebih
bermartabat; dan 3) penyaring, untuk menyaring budaya bangsa sendiri dan budaya
bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang
bermartabat (Halomoan, 2011:4).

Tujuan dari pendidikan karakter pada dasarnya adalah mendorong lahirnya


genarasi yang baik. Tumbuh dan berkembangnya karakter yang baik akan mendorong
peserta didik tumbuh dengan kapasitas dan komitmennya untuk melakukan berbagai hal
yang terbaik dan melakukan segalanya dengan benar serta memiliki tujuan hidup.
Dalam dunia akademik, pendidikan karakter memiliki tujuan-tujuan tertentu. Kesuma
(2011:9-11) menjelaskan tujuan pertama pendidikan karakter adalah memfasilitasi
penguatan dan pengembangan nilai-nilai tertentu sehingga terwujud dalam perilaku
anak, baik dalam proses sekolah maupun setelah proses sekolah berakhir. Penguatan
dan pengembangan ini memiliki makna bahwa pendidikan di sekolah bukan hanya
seputaran nilai yang diberikan kepada peserta didik, tetapi juga merupakan proses yang

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

43

membawa peserta didik untuk memahami dan merefleksi nilai-nilai yang telah diterima
atau pelajari untuk diterapkan dalam perilakunya sehari-hari.

Tujuan selanjutnya pendidikan karakter adalah memperbaiki kesalahan perilaku


peserta didik yang tidak sesuai dengan tujuan pendidikan atau bahkan sekolah. Artinya,
pendidikan karakter menjadi dasar bagi sekolah untuk memperbaiki atau mengubah
perilaku anak dari negatif menjadi positif. Terakhir, pendidikan karakter bertujuan
membangun koneksi yang harmoni dengan keluarga dan masyarakat dengan
memerankan tanggung jawab pendidikan karakter bersama-sama. Tujuan ini memiliki
pengertian bahwasanya keluarga memiliki peranan penting dalam pengembangan
pendidikan karakter anak, bukan hanya pada interaksi antara peserta didik dengan guru
atau teman sebayanya. Hal ini dapat dipahami karena pendidikan karakter tidak hanya
persoalan rentangan waktu sesaat, namun harus dalam penguatan menyeluruh atau
holistik.

Pendidikan karakter pada dasarnya memiliki relasi yang positif dengan


perkembangan akademik siswa. Hal ini sejalan dengan penelitian Benninga, Berkowitz,
Kuehn, dan Smith (2003:28) yang menyatakan komposit skor pendidikan karakter
memiliki korelasi yang positif dengan skor akademik akhir tahun. Selanjutnya,
Halomoan (2011:3) menyatakan tujuan pendidikan karakter dalam bidang akademik,
yaitu 1) mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan
warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa melalui aspek
pedagogis; 2) mengembangkan kebiasaan dan perilaku terpuji sejalan dengan nilai-nilai
universal dan tradisi budaya bangsa yang religius; 3) menanamkan jiwa kepemimpinan
dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa; 4) mengembangkan
kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan
kebangsaan; dan 5) mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan
belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa
kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity).

c. Nilai-nilai Pendidikan Karakter


Sastra mempunyai peran sebagai salah satu alat pendidikan yang seharusnya
dimanfaatkan dalam dunia pendidikan, dapat difokuskan pada peran dalam usaha untuk

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

44

membentuk dan mengembangkan kepribadian anak, peran sebagai character building


(Nurgiyantoro, 2013: 434). Dalam karya sastra tersimpan nilai atau pesan yang berisi
amanat atau nasihat melalui karyanya. Karya sastra diciptakan bukan sekedar untuk
dinikmati, akan tetapi untuk dipahami dan diambil manfaatnya. Karya sastra tidak
sekedar benda mati yang tidak berarti, tetapidi dalamnya termuat suatu ajaran berupa
nilai-nilai hidup dan pesan-pesan luhur yang mampu menambah wawasan manusia
dalam memahami kehidupan. Dalam karya sastra, berbagai nilai hidup dihadirkan
karena hal ini merupakan hal positif yang mampu mendidik manusia sehingga manusia
mencapai hidup yang positif yang mampu mendidik manusia sehingga manusia
mencapai hidup yang lebih baik sebagai makhluk yang dikaruniai oleh akal, pikiran, dan
perasaan. Platform pendidikan karakter (Aqib, 2011:41-42) bangsa Indonesia telah
dipelopori oleh tokoh pendidikan kita Ki Hadjar Dewantara yang tertuang dalam tiga
konsep yang berbunyi: Ing Ngarsa Sung Tuladha (Di depan memberikan teladan).
Ketika berada di depan dapat memberikan teladan, contoh, dan panutan. Sebagai
seorang yang terpandang dan terdepan atau berada di depan di antara para muridnya,
guru senantiasa memberikan panutan-panutan yang baik sehingga dapat dijadikan
teladan bagi peserta didiknya. Ing Madya Mangun Karsa (Di tengah membangun
kehendak). Ketika di tengah peserta didik hendaknya guru bisa menjadi penyatu tujuan
dan cita-cita peserta didiknya. Seorang guru di antara peserta didiknya berkonsolidasi
memberikan bimbingan dan mengambil keputusan dengan musyawarah dan mufakat
yang mengutamakan kepentingan peserta didik di masa depannya. Tut Wuri handayani

(dipercaya dan dicontoh) secara tidak langsung juga memberikan pendidikan karakter
kepada dicontoh) secara tidak langsung juga memberikan pendidikan karakter kepada
peserta didiknya. Oleh karena itu, profil dan penampilan guru seharusnya memiliki sifat
yang membawa peserta didiknya ke arah pembentukan karakter yang kuat.

Pendidikan Karakter adalah hal positif apa saja yang dilakukan oleh guru dan
berpengaruh kepada karakter siswa yang diajarnya. Pendidikan karakter adalah upaya
sadar dan sungguh-sungguh dari seorang guru untuk mengajarkan nilai-nilai kepada
siswanya. Pendidikan karakter telah menjadi sebuah pergerakan pendidikan yang
mendukung pengembangan sosial, pengembangan emosional, dan pengembangan etik
para siswa (Samani dan Hariyanto, 2012:43).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

45

Selanjutnya juga ditulis oleh Arthur bahwa Anne Lockwood (dalam Samani dan
Hariyanto, 2012:45) memerinci ada tiga proporsi sentral dalam pendidikan karakter.
Pertama, bahwa tujuan pendidikan moral dapat dikejar atau dicapai, tidak semata-mata
membiarkan sekadar sebagai kurikulum tersembunyi yang tidak terkontrol, dan bahwa
tujuan pendidikan karakter telah memiliki dukungan yang nyata dari masyarakat dan
telah menjadi konsensus bersama. Kedua, bahwa tujuan-tujuan behavioral tersebut
adalah bagian dari pendidikan karakter, dan ketiga, perilaku antisosial sebagai bagian
kehidupan anak-anak adalah sebagai hasil dari ketidakhadiran nilai-nilai dalam
pendidikan.

Adapun nilai-nilai yang hendak diinternalisasikan terhadap anak didik melalui


pendidikan karakter menurut kemendiknas (2010 dalam Wibowo 2013:15-17),
tercantum dalam tabel berikut.

No Nilai Deskripsi

1. Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran


agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan
ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk
agama lain.

2. Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya


sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam
perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3. Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama,
suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang
berbeda dari dirinya.
4. Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh
pada berbagai ketentuan dan peraturan.
5. Kerja Keras Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh
dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas,

serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.


6. Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan
cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

46

7. Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada


orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
8. Demokratis Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama
hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
9. Rasa Ingin Tahu Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk
mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang
dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
10. Semangat Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang
menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas
Kebangsaan
kepentingan diri dan kelompoknya.
11. Cinta Tanah Air Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan
kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi
terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya,
ekonomi, dan politik bangsa.
12. Menghargai Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk
Prestasi menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan
mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
13. Bersahabat/ Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara,
bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
Komuniktif
14. Cinta Damai Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang
lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.

15. Gemar Membaca Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai


bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.

16. Peduli Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah


Lingkungan kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan
mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki
kerusakan alam yang sudah terjadi.
17. Peduli Sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan
pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

47

18. Tanggung-jawab Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas


dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap
diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan
budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
Tabel 2.1 Nilai Pendidikan Karater (dalam Wibowo, 2013:15-17).

Upaya implementasi nilai pendidikan karakter tersebut harus disesuaikan


dengan kondisi, sarana prasarana, dan kemampuan. Jangan sampai justru akan
membebani guru maupun siswa. Jadi, dipilah dan dipilih sejumlah nilai utama sebagai
pangkal tolak bagi penanaman nilai-nilai lainnya (Wibowo, 2013: 17). Setiap mata
pelajaran memfokuskan pada penanaman nilai-nilai utama tertentu, yang dipandang
paling dekat dan realistis dengan mata pelajaran bersangkutan.

Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa komponen nilai-nilai pendidikan


karakter yang telah dijelaskan. Dalam penelitan ini, nilai-nilai pendidikan karakter yang
akan digunakan adalah nilai pendidikan yang bersumber dari Kemendiknas. Dengan
demikian, penelitian ini akan menggunakan kedelapan belas nilai pendidikan karakter
Kemendiknas dalam menganalisis puisi Sekumpulan Sajak Hujan Bulan Juni Karya
Sapardi Djoko Damono.

d. Pendidikan Karakter dalam Karya Sastra


Sastra dapat berfungsi sebagai media pemahaman budaya suatu bangsa, di mana
terkandung di dalamnya yaitu pendidikan karakter. Sastra mengandung makna yang
luas dan bernilai. Nilai-nilai yang dikandung di dalamnya menyepakati bahwa sastra
juga dapat menjadi sarana pendidikan. Sarana mendidik tentunya melalui pengajaran.
Dengan kaitan seperti itu, pengajaran mengenai sastra dapat pula memiliki upaya
internalisasi nilai-nilai pendidikan karakter. Sastra dalam pendidikan anak dapat
berperan mengembangkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik, mengembangkan
kepribadian dan mengembangkan pribadi sosial (Wibowo, 2013: 19-20). Pendapat di
atas didukung oleh Noor (2011:40-41) fungsi dari media sastra anak tentu saja untuk
memberikan pendidikan. Dengan demikian anak akan lebih mudah menyerap ajaran
moral, etika, sosial, dan lain-lain. Karakter yang dibangun juga disesuaikan dengan
karakter anak. Senada dengan itu, Ghufron (2010:17) menjelaskan bahwa

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

48

pengintegrasian nilai-nilai karakter bangsa ke dalam kegiatan pembelajaran berarti


memadukan, memasukkan, dan menerapkan nilai-nilai yang diyakini baik dan benar
dalam rangka membentuk, mengembangkan, dan membina tabiat atau kepribadian
peserta didik sesuai jatidiri bangsa tatkala kegiatan pembelajaran berlangsung.
Sastra sangat berkaitan dengan imajinasi. Pengalaman kehidupan, hubungan
antarmanusia, hubungan dengan alam, dan hubungan kepada Sang Kuasa. Setiap
aktivitas manusia mempunyai sikap dan karakter dalam menghadapi kehidupan.
Sederhananya, menurut Zuchdi (2013: 222) imajinasi moral merupakan wahana pikiran
dan hati untuk berani menyenangi, memimpikan, mengevaluasi, dan memilih akhir
kehidupan yang baik (khusnul khotimah).

Imajinasi moral memiliki empat bentuk, yaitu visi moral, latihan moral, identitas
moral, dan keputusan moral. Karya sastra menolong pembaca mewujudkan visi moral
dan dapat memiliki konsekuensi sepanjang hidup. Selain itu, sastra juga dapat
merefleksikan kehidupan baik pada bentuk praktik maupun mental yang diejawantahkan
dalam keadaan yang serupa dalam hidupnya (Zuchdi, 2013: 223). Sastra dapat menjadi
semacam permainan menyeimbangkan segenap kemampuan mental manusia,
berhubung dengan adanya kelebihan energi yang harus disalurkan. Permainan yang
diintegrasikan dengan nilai-nilai sastra semakin menarik bagi seseorang. Dengan ilmu
sastra, seorang diasah kreativitas, perasaan, dan sensivitas kemanusiaannya sehingga
terhindar dari tindakan-tindakan yang destruktif, sempit kerdil dan picik (Schiller dalam
Wibowo, 2013: 20).

Daya imajinasi dan pembentukan karakter manusia memiliki relevansi yang


kuat. Imajinasi adalah sarana berkarakter. Imajinasi adalah salah satu kunci kebaikan.
Setiap orang tidak cukup hanya mengetahui kebaikan, tetapi harus senang berbuat baik.
Kesenangan berbuat baik ini diarahkan oleh imajinasi. Secara teoretis, alasan berbuat
baik baiklah yang membimbing pilihan moral tetapi dalam praktik, imajinasilah yang
lebih banyak mengarahkan pilihan moral.

Mengacu penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa karya sastra dapat


mengandung nilai-nilai pendidikan karakter. Sastra dapat juga menjadi sarana mendidik.
Melalui bahan ajar yang sesuai, nilai pendidikan karakter diimplisitkan dalam
pembelajaran di kelas. Selain melatih berimajinasi, pemilihan sastra sebagai media

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

49

penanaman nilai pendidikan karakter bermanfaat pula untuk membentuk siswa yang
kreatif sekaligus berakhlak mulia.

5. Relevansi Pengkajian Stilistika dalam Sepilihan Sajak Hujan Bulan Juni Puisi
karya Sapardi Djoko Damono sebagai materi pembelajaran bahasa Indonesia
di SMA.
a. Pengertian Pembelajaran Sastra
Menurut Ardianto (2007: 58) pembelajaran sastra pada umumnya akan
berhadapan dengan dua kemungkinan yaitu pembelajaran teori sastra, termasuk sejarah
sastra, dan pembelajaran apresiasi sastra. Sastra dapat berbentuk karya seni dan juga
sastra dalam bidang keilmuan. Hal inilah yang harus dipahami dalam pembelajaran
sastra. Pendidikan tentang sastra adalah pendidikan yang membahas hal ihwal tentang
sastra. Pendidikan semacam ini bertujuan mengembangkan kompetensi teori sastra.
Aspek yang dikembangkan lebih pada aspek kognitif peserta didik. Siswa dituntut untuk
lebih banyak menghafalkan pengertian, definisi, atau klasifikasi tentang karya sastra dan
sejarah sastra (Siswanto, 2008: 167). Mereka tidak dibelajarkan untuk secara langsung
mengapresiasi dan mengkritik karya sastra. Peserta didik, terutama di jenjang sekolah
menengah pertama dan sekolah menengah atas, dituntut untuk menguasai dan
menghafal teori sastra. Saat mereka membahas sastra, yang dibahas lebih pada
menghafal pengertian, definisi, atau klasifikasi tentang puisi, cerita pendek, novel,
roman dan sejarah sastra.
Menurut Disick (dalam Wardani, 1981: 1), apresiasi berhubungan dengan sikap
dan nilai. Apresiasi digolongkan dalam tingkatan terakhir yang dapat dicapai dalam
domain afektif yang pencapaiannya memerlukan waktu yang sangat panjang serta
prosesnya berlangsung terus setelah pendidikan formal berkhir. Karena itu apresiasi
sastra yang sempurna sukar dicapai dibangku sekolah. Apresiasi yang dibina di bangku
sekolah merupakan proses menuju apresiasi yang sebenarnya. Proses ini dapat dibagi
dalam beberapa tingkatan, yaitu: (a) tingkat menggemari, yang ditandai dengan sikap
seperti adanya rasa tertarik pada buku-buku sastra serta ingin membacanya (seperi
buku-buku yang terkait dengan sastra seperti teori sastra, sejarah sastra, kritik sastra,
sastra perbandingan, dan seterusnya); (b) tingkat menikmati, yang ditandai dengan sikap

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

50

seperti dapat menikmati musikalisasi puisi, menikmati cerpen yang dibacanya,


menikmati novel yang dibacanya, dan seterusnya; (c) tingkat mereaksi, yang ditandai
dengan sikap seperti mulai adanya keinginan untuk menyatakan pendapat tentang cipta
sastra yang dinikmati, misalnya dengan menulis resensi di media massa, dengan
berpendapat dalam diskusi-diskusi sastra, sarasehan, debat, seminar, simposium atau
wahana lain, dan adanya keinginan ikut berpartisipasi dalam berbagai kegiatan sastra;
(d) tingkat mereproduksi, yang ditandai dengan sikap seperti mulai ikut menghasilkan
cipta sastra, baik secara profesional maupun amatiran. Misalnya dapat menulis puisi,
cerpen, novel, drama, dan seterusnya, dan dipublikasikan secara regioanl, nasional, atau
bahkan dunia.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
n atau
penilaian cipta sastra melainkan juga berbagai tingkatan yang dapat dicapai dalam
proses menuju apresiasi sastra yang sebenarnya.

b. Pendidikan Sastra
Pendidikan sastra menurut Siswanto (2008: 168) adalah pendidikan yang
mencoba untuk mengembangkan kompetensi apresiasi sastra, kritik sastra, dan proses
kreatif sastra. Kompetensi apresiasi yang diasah dalam pendidikan ini adalah
kemampuan menikmati dan menghargai karya sastra. Dengan pendidikan semacam ini,
peserta didik diacak untuk langsung membaca, memahami, menganalisis, dan
menikmati karya sastra swcara langsung. Siswa memahami dan menikmati unsur-unsur
karya sastra bukan melalui hafalan pengertiannya, tetapi langsung dapat memahami
sendiri melalui berhadapan dan membaca langsung karya sastranya. Saat membahas
unsur ekstrinsik karya sastra, siswa bisa langsung berhadapan dan berbicara dengan
sastrawan.
Pendidikan sastra yang mengapresiasi prosa rekaan akan mengembangkan
kompetensi anak untuk memahami dan menghargai keindahan karya sastra yang
tercermin pada setiap unsur prosa rekaan dengan secara langsung membaca karya
sastranya. Dengan pendidikan karya sastra, peserta didik tidak hanya diajak untuk
memahami dan menganalisis berdasarkan bukti nyata yang ada di dalam karya sastra
dan kenyataan yang ada di luar karya sastra, tetapi juga diajak untuk mengembangkan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

51

sikap positif terhadap karya sastra. Pendidikan semacam ini akan mengembangkan
kemampuan pikir, sikap, dan keterampilan peserta didiknya.

c. Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas


Berbicara persoalan pembelajaran bahasa Indonesia tentu tidak terlepas dengan
masalah sastra. Hal ini dikarenakan dua hal tersebut sesungguhnya saling berkaitan.
Oleh sebab itu, acuan dari pembelajaran sastra itu sendiri disesuaikan dengan silabus
atau RPP yang di dalamnya terdapat SK (Standar Kompetensi) dan Kompetensi Dasar
(KD). Berkaitan dengan materi bahasa indonesia tersebut, perlu diketahui bahwa
terdapat empat keterampilan berbahasa yang mencakup keterampilan menyimak,
keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan keterampilan menulis.

Menyinggung tentang masalah relevansi antara analisis atau penelitian sastra ini
dengan pembelajaran bahasa indonesia yang ada di Sekolah Menengah Atas (SMA),
diketahui bahwa terdapat SK (Standar Kompetensi) pada kelas X semester II yang
menerangkan tentang mengungkapkan pendapat terhadap puisi melalui diskusi. Dari SK
tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut pada Kompetensi Dasar (KD) 14.1 yakni
membahas isi puisi berkenaan dengan gambaran penginderaan, perasaan, pikiran dan
imajinasi melalui diskusi, Kompetensi Dasar (KD) 14.2 Menghubungkan isi puisi
dengan realitas alam, sosial budaya, dan masyarakat melalui diskusi. Sehubungan
dengan hal tersebut, maka pelajaran bahasa indonesia bertujuan agar peserta didik
memiliki kemampuan dalam menikmati serta memanfaatkan karya sastra untuk
memperluas wawasan, memperluas budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan berbahasa.

Pembahasan mengenai sastra telah disinggung sedikit pada uraian sebelumnya.


Sastra sebagai produk budaya adalah manifestasi pikiran dan perasaan manusia yang
dikolaborasi dengan daya fantasi dan imajinasi (Kurniawan, 2012: 3). Fantasi dan
imajinasi inilah yang membedakan sastra dengan karya tulis lainnya. Hal yang hampir
serupa dinyatakan oleh Abidin (2012: 208) bahwa sastra merupakan karangan faktual
yang bersifat menyenangkan dan bermanfaat yang disusun pengarang dengan
menggunakan bahasa sebagai media utamanya. Berdasarkan pengertian dari kedua ahli

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

52

tersebut dapat disimpulkan sastra bukan hanya merupakan bentuk karya yang selalu
bersifat fantasi dan imajinasi, tetapi sastra juga dilandasi oleh data-data faktual
mengenai kehidupan manusia sehingga pembaca dapat menikmati serta memaknai
sastra sebagai pengalaman hidup.
Dengan demikian, karya sastra bukan saja sesuatu yang dapat dinikmati, tetapi
juga perlu dimengerti, dipahami, dihayati dan ditafsirkan. Untuk itulah diperlukan
kegiatan apresiasi sastra. Di dalam kegiatan apresiasi sastra terjadi proses pengenalan
dan pengakraban karya sastra, sehingga pada akhirnya akan melahirkan penghayatan,
pemahaman, penafsiran dan juga penerapan. Abidin (2012: 11) menambahkan dalam
kegiatan apresiasi sastra terdapat kriteria yang akan dijadikan pegangan penilaian, serta
nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra tersebut.
Sehubungan dengan uraian di atas, pembelajaran sastra di sekolah maupun
perguruan tinggi juga sering disebut sebagai pembelajaran apresiasi. Hal ini disebabkan
pengajaran sastra bukan hanya bertujuan agar peserta didik lebih mengenal karya sastra,
tetapi juga bagaimana peserta didik dapat memahami, menafsirkan dan memaknai karya
sastra tersebut. Dengan begitu, diperlukan kegiatan apresiasi untuk memahami,
menafsirkan dan memaknai karya sastra. dalam hal ini, Abidin juga menambahkan
bahwa kegiatan apresiasi sastra dapat meningkatkan kemampuan intelektual, emosional,
dan spritual. Pembelajaran apresiasi sastra bukan hanya akan berpengaruh pada
kemampuan intelektual peserta didik, tetapi juga pada tingkah laku peserta didik yang
dapat terwujud secara nyata.
Berdasarkan penjelasan di atas, pembelajaran sastra atau pembelajaran apresiasi
sastra adalah serangkaian aktivitas yang dilakukan peserta didik untuk menemukan
makna dan pengetahuan yang terkandung dalam karya sastra di bawah bimbingan guru
dengan cara bersentuhan dengan karya sastra tersebut secara langsung, juga secara tidak
langsung (Abidin, 2012: 212). Bertolak pada pandangan tersebut dapat disimpulkan
bahwa peserta didik harus bersentuhan atau benar-benar menggauli karya sastra secara
langsung untuk menemukan makna yang terdapat dalam karya sastra. pengetahuan dan
teori dapat dijadikan pelengkap secara tidak langsung bagi peserta didik untuk
menambah bekalnya ketika mengapresiasi karya sastra.
Hakikat pembelajaran sastra adalah mengajak siswa untuk lebih mengenal,
menghayati, memahami nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra. Oemarjati yang

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

53

dikutip oleh Abidin (2012: 213-214) secara lebih khusus memaprkan tujuan
pembelajaran sastra yaitu untuk mengembangkan kepekaan siswa terhadap nilai-nilai
indrawi, nilai akali, nilai afektif, nilai keagamaan, dan nilai sosial secara sendiri-sendiri
atau gabungan dari keseluruhan itu sebagaimana yang terdapat dalam karya sastra.
dengan begitu, pembelajaran sastra dapat mengembangkan sikap dan perilaku peserta
didik dalam wujud yang lebih konkret.
Selain tujuan yang telah dipaparkan di atas, tujuan pembelajaran sastra dalam
pelajaran Bahasa Indonesia menurut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
adalah; (1) agar siswa bisa menikmati dan menfaatkan karya sastra untuk memperluas
wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
berbahasa; dan (2) siswa mampu menghargai dan membanggakan sastra Indonesia
sebagai khazanah budaya dan intelektual manusa Indonesia. Kedua tujuan di atas
mengajak siswa untuk mencintai, menghargai, dan bangga terhadap karya sastra
Indonesia serta membentuk sikap positif terhadap karya sastra. Melalui tujuan tersebut
siswa diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai karya sastra,
membentuk tingkah laku dan budi pekerti yang baik, santun, bermoral dan berkarakter,
serta dapat mengembangkan kemampuan berbahasa, terutama kemampuan berbahasa
sastra.
Melanjuti uraian di atas, Rahmanto (dalam Sunaryo, 158-159) menjelaskan
sejumlah fungsi pengajaran sastra di sekolah yaitu; 1) membantu keterampilan
berbahasa, empat keterampilan berbahasa dapat dikembangkan dan diintegrasikan
dalam berbagai pembelajaran sastra seperti drama, puisi, prosa, dan diskusi sastra; 2)
meningkatkan pengetahuan budaya, fakta-fakta yang disajikan dalam karya sastra
dianggap mampu memberikan pengetahuan yang mendalam tentang kehidupan manusia
lengkap dengan konteks budaya yang melatarbelakangi; 3) mengembangkan cipta dan
rasa, pembelajaran sastra dapat mengembangkan kecakapan siswa yang bersifat indra,
penalaran, afektif, sosial, dan religius; 4) menunjang pembentukan watak, pembelajaran
sastra diharapkan dapat mengembangkan berbagai kualitas kepribadian, seperti tumbuh
cita, rasa, dan kepekaannya terhadap sesuatu yang bernilai dan yang tidak benilai.
Dengan demikian akan tumbuh kualitas pribadi siswa sebagaiman yang dicita-citakan.
Menurut Wibowo (2013: 19) pembelajaran sastra memiliki pertautan erat dengan
pendidikan karakter, karena pembelajaran sastra dan sastra pada umumnya, secara

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

54

hakiki membicarakan nilai hidup dan kehidupan yang mau tidak mau berkaitan
langsung dengan pembentukan karakter manusia. Sastra dalam pendidikan anak bisa
berperan mengembangkan aspek kognitif, afektif, psikomotorik, mengembangkan
kepribadian dan mengembangkan pribadi sosial.
B. Kerangka Berpikir
Dalam Sepilihan sajak Hujan Bulan Juni Karya Sapardi Djoko Damono yang
akan dianalisis penulis, yaitu: diksi, gaya bahasa,citraan, nilai-nilai pendidikan karakter
yang terdapat didalamnya. Hasil analisis tersebut mampu menjelaskan gaya bahasa yang
digunakan oleh pengarang yaitu dalam puisinya, secara dapat mengetahui karakteristik
dari pengarang untuk menarik para pembaca dalam memahaminya. Pemahaman puisi
melalui beberapa gaya bahasa dalam kumpulan Puisi Hujan Bulan Juni Karya Sapardi
Djoko Damono juga akan menghasilkan atau memetik beberapa nilai-nilai pendidikan
karakter yang terdapat dalam puisi tersebut. Adapun nilai-nilai pendidikan yang terdapat
dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni Karya Sapardi Djoko Damono meliputi empat
macam nilai pendidikan, yaitu: nilai pendidikan moral, religius, sosial, dan budaya.
Semua nilai yang ditemukan tersebut akan dapat bermanfaat bagi para pembaca
kumpulan puisi Hujan Bulan Juni Karya Sapardi Djoko Damono. Dari deskripsi di atas,
dapat dilihat dalam kerangka berikut ini.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

55

Sepilihan Sajak Hujan Bulan Juni Karya


Sapardi Djoko Damono

Kajian Stilistika Nilai- nilai


dalam sastra puisi Pendidikan Karakter

Diksi Gaya Citraan


Bahasa

Relevansinya sebagai
pembelajaran Bahasa
Indonesia di SMA

Simpulan

Bagan 1. Kerangka Berpikir

commit to user

Anda mungkin juga menyukai