Anda di halaman 1dari 37

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI,

DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Tinjauan Pustaka

Penelitian relevan dengan penelitian peneliti yang pertama adalah

penelitian yang dilakukan oleh Marini (2010: 149-150) dengan judul Analisis

Stilistika Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa keunikan pemilihan dan pemakaian kosakata terdapat

pada leksikon bahasa asing, leksikon bahasa Jawa, leksikon ilmu pengetahuan,

kata sapaan, pemilihan dan pemakaian kata konotasi pada judul. Kekhususan

aspek morfologis dalam novel Laskar Pelangi yaitu pada penggunaan afiksasi

leksikon bahasa Jawa dan bahasa Inggris serta reduplikasi dalam leksikon

bahasa Jawa. Aspek sintaksis meliputi penggunaan repetisi, kalimat majemuk

dan pola kalimat inversi. Pemanfaatan gaya bahasa figuratif yang unik dan

menimbulkan efek-efek estetis pada pembaca yaitu idiom, arti kiasan,

konotasi, metafora, metonimia, simile, personifikasi, dan hiperbola.

Penelitian Marini memiliki persaman dengan penelitian peneliti yaitu

mengkaji stilistika dalam novel. Aspek yang dikaji antara lain: diksi,

morfologis, sintaksis, dan bahasa figuratif. Perbedaan yang terdapat pada

penelitian peneliti dengan Marini adalah penggunaan aspek citraan. Pada

penelitiam Marini tidak menggunakan aspek citraan dalam mengkaji stilistika

dalam novel, sedangkan pada penelitian peneliti menggunakan aspek citraan

dalam mengkaji stilistika dalam novel.


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Penelitian kedua adalah penelitian yang dilakukan oleh Sugiarti (2010:

555) dengan judul Kajian Stilistika Novel Nayla Karya Djenar Maesa Ayu

Dan Petir Karya Dewi Lestari. Dari penelitian tesebut dapat diketahui bahwa

novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu dan Supernova (Petir) karya Dewi

Lestari lebih banyak menggunakan stilistika linguistik dan stilistika sastra

dalam mengeksplor gagasan yang tertuang dalam teks sastra. Kekhasan pilihan

kata serta efek estetik yang ingin dicapai dioptimalkan penggunaannya

sedemikian rupa sehingga menimbulkan daya tarik tersendiri bagi pembaca.

Penelitian yang dilakukan oleh Sugiarti terdapat persamaan dengan

penelitian peneliti yaitu pendekatan stilistika yang digunakan dalam mengkaji

novel. Perbedaan penelitian Sugiarti dengan penelitian peneliti adalah aspek

stilistika yang dikaji. Penelitian yang dilakukan oleh Sugiarti secara garis

besar mengkaji stilistika linguistik dan stilistika sastra. Penelitian yang

dilakukan oleh peneliti mencakup aspek-aspek stlistika meliputi; diksi, bahasa

figuratif, kalimat, wacana, dan citraan.

Penelitian ketiga adalah penelitian yang dilakukan oleh Yunanta (2013:

75) dengan judul Telaah Stilistika dalam Syair Burung Pungguk. Hasil

penelitian ini menunjukkan gaya bahasa yang digunakan pada teks Syair

Burung Pungguk berkaitan erat dengan nasehat yang terkandung di dalam bait

syair. Penyampaian nasehat dalam tiap bait syairnya dilakukan dengan diksi

dan bahasa yang indah. Nasehat yang terdapat pada teks Syair Burung

Pungguk ini bisa dijadikan bahan ajar atau upaya pembentukan karakter.

Penelitian yang dilakukan oleh Yunanta terdapat persamaan dengan penelitian


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

peneliti yaitu aspek kajian yang digunakan adalah pendekatan stilistika,

sedang perbedaan penelitian Yunanta dengan penelitian peneliti adalah jenis

teks sastra yang digunakan dalam penelitian. Pada penelitian Yunanta

menggunakan teks Syair Burung Pungguk sedangkan pada penelitian peneliti

menggunakan teks novel Pulang karya Leila S. Chudori.

Penelitian keempat adalah penelitian yang dilakukan oleh Umami (2009:

212) yang berjudul Analisis Wacana Penggunaan Gaya Bahasa dalam Lirik

Lagu-Lagu Ungu: Kajian Stilistika. Dari hasil penelitian lirik lagu-lagu Ungu

dapat disimpulkan bahwa lirik lagu Ungu tidak hanya didominasi oleh gaya

bahasa personifikasi dan hiperbola tetapi juga asonansi, aliterasi, repetisi,

pleonasme, simploke, inversi, klimaks, antitesis, dan sinekdok pars pro toto.

Penelitian yang dilakukan oleh Umami terdapat persamaan yaitu

menggunakan pendekatan stilistika. Meskipun terdapat perbedaan antara lain;

pada penelitian Umami teks yang dikaji adalah lirik lagu Ungu, sedangkan

pada penelitian peneliti teks novel Pulang karya Leila S. Chudori yang dikaji.

Penelitian kelima adalah penelitian yang dilakukan oleh Kurniasih

(2013: 36) dengan judul Kajian Stilistika dalam Serat Pamoring Kawula Gusti

Karya Raden Ngabehi Ranggawarsita. Dari hasil penelitian dan pembahasan

menunjukkan bahwa dalam Serat Pamoring Kawula Gusti ditemukan diksi

dan gaya bahasa. Diksi yang ditemukan antara lain dasa nama dan

purwakanthi. Gaya bahasa yang ditemukan dalam Serat Pamoring Kawula

Gusti karya Raden Ngabehi Ranggawarsita adalah gaya bahasa hiperbola dan

metafora. Terdapat persamaan penelitian yang dilakukan oleh Kurniasih


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dengan penelitian peneliti yaitu kajian stilistika. Meskipun dalam aspek

stilistika yang dikaji terdapat perbedaan. Pada penelitian yang dilakukan

Kurniasih menggunakan aspek diksi dan gaya bahasa, sedangkan pada

penelitian peneliti menggunakan aspek: diksi, bahasa figuratif, kalimat,

wacana, dan citraan.

Penelitian keenam adalah penelitian yang dilakukan oleh Munir (2013:

1) yang berjudul Diksi dan Majas dalam Kumpulan Puisi Nyanyian dalam

Kelam Karya Sutikno W. S: Kajian Stilistika. Hasil penelitian membuktikan

adanya wujud penggunaan diksi dan majas serta fungsinya. Diksi yang

dimaksud seperti kata serapan dari bahasa Jawa, bahasa asing, dan

pemanfaatan sinonim. Majas yang dimaksud seperti perbandingan, metafora,

perumpamaan, epos, personifikasi, metonemia, sinekdoke, dan alegori.

Penelitian yang dilakukan Munir terdapat persamaan dan perbedaan

dengan penelitian peneliti. Persamaannya terletak pada kajian stilistika yang

digunakan. Meskipun pada aspek stilistika terdapat perbedaan yang dikaji

yaitu pada penelitian Munir menggunakan aspek diksi dan majas, sedangkan

pada penelitian peneliti menggunakan aspek: diksi, bahasa figuratif, kalimat,

wacana, dan citraan. Perbedaan yang lain terletak pada jenis teks sastra yang

dikaji. Pada penelitian Munir teks sastra yang dikaji adalah puisi sedangkan

pada penelitian peneliti teks sastra yang dikaji adalah novel.

Penelitian ketujuh adalah penelitian yang dilakukan oleh Zhang (2010:

155) dengan judul The Interpretation of a Novel by Hemingway in Terms of

Literary Stylistics. Penelitian ini berusaha menginterpretasikan bentuk-bentuk


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

linguistik yang ada pada novel. Penelitian Zhiqin Zhang memiliki persamaan

dengan penelitian peneliti yaitu pendekatan stilistika. Meskipun terdapat

perbedaan dari segi aspek stilistika yang dikaji. Pada penelitian Zhiqin Zhang

bentuk-bentuk linguistik yang dikaji sedangkan pada penelitian peneliti aspek:

diksi, bahasa figuratif, kalimat, wacana, dan citraan yang dikaji.

Penelitian kedelapan adalah penelitian yang dilakukan oleh Yeibo

(2011: 197) yang berjudul A Discourse-Stylistic Analysis of Mood Structures

in Selected Poems of J.P. Clark-Bekederemo. Penelitian ini bertujuan untuk

meneliti struktur gramatikal yang berkaitan dengan klausul dalam puisi, dalam

rangka untuk menentukan bagaimana bahasa digunakan untuk

mengekspresikan cara berbicara dari lawan bicara, dan peran mereka,

penilaian dan sikap dalam konteks wacana tertentu. Penelitian yang dilakukan

oleh Yeibo memiliki persamaan dengan penelitian peneliti yaitu kajian

stilistika. Selain itu, perbedaan yang terdapat dalam penelitian Yeibo dan

penelitian peneliti adalah jenis teks sastra yang digunakan. Pada penelitian

Yeibo teks sastra yang digunakan adalah puisi sedangkan pada penelitian

peneliti teks sastra yang digunakan adalah novel.

Penelitian kesembilan adalah penelitian yang dilakukan oleh Chen

(2013: 598) yang berjudul Analysis on Three Versions of if by Life You Were

Deceived from Perspective of Stylistics. Penelitian ini bertujuan untuk

membantu perbedaan bahasa puisi dalam bahasa Rusia, Inggris, dan China

supaya lebih jelas dan untuk membandingkan dua versi terjemahan dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

yang asli. Puisi tersebut dianalisis berdasarkan perspektif gaya bahasa yang

meliputi: leksikal, irama, sajak, pola kalimat.

Penelitian yang dilakukan oleh Chen memiliki persamaan dengan

penelitian peneliti yaitu pendekatan yang digunakan pendekatan stilistika.

Meskipun pada aspek stilistika yang dianalisis terdapat perbedaan yaitu

penelitian yang dilakukan oleh Chen menggunakan aspek: leksikal; irama;

sajak; dan pola kalimat, sedangkan penelitian peneliti menggunakan aspek:

diksi; bahasa figuratif; gaya kalimat; gaya wacana; dan citraan. Selain itu,

perbedaan yang terdapat dalam penelitian Chen dengan penelitian peneliti

adalah jenis teks sastra yang digunakan. Pada penelitian Chen menggunakan

puisi, sedangkan dalam penelitian peneliti menggunakan novel.

Penelitian kesepuluh adalah penelitian yang dilakukan oleh Galita

(2011: 36) dengan judul A Pragma-Stylistic Approach on Deixis. Penelitian

tersebut menggabungkan dua pendekatan yaitu pendekatan stilistika dan

pragmatik. Pendekatan stilistika yang dianalisis dalam penelitian Galita adalah

semua bahasa yang mencakup sarana ekspresi yang meliputi: fonetis;

morfologis; sintaksis; leksikal; dan semantik, sedang dalam pendekatan

pragmatik berfokus pada suasana hati pengguna bahasa pada waktu dan

tempat serta hal-hal lain yang dapat mempengaruhi proses komunikasi.

Melanjuti uraian sebelumnya, penelitian yang dilakukan oleh Galita

memiliki persamaan dengan penelitian peneliti yaitu stilistika. Meskipun,

dalam penelitian Galita terdapat dua pendekatan sekaligus yaitu stilistika dan

pragmatik. Selain itu, perbedaan yang terdapat dalam penelitian Galita dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

penelitian peneliti adalah aspek stilistika yang dikaji dan objek kajian. Pada

penelitian Galita aspek stilistika yang dikaji yaitu: fonetis; morfologis;

sintaksis; leksikal; dan semantik, sedang pada penelitian peneliti aspek

stilistika yang dikaji adalah diksi, bahasa figuratif, gaya kalimat, gaya wacana,

dan citraan. Objek kajian yang diteliti dalam penelitian Galita adalah deixis

sedang objek kajian yang diteliti dalam penelitian peneliti adalah teks sastra

yang berwujud novel.

Dari beberapa penelitian di atas, dapat diketahui penelitian ini

merupakan kajian stilistika terhadap novel Pulang karya Leila S. Chudori.

Aspek-aspek yang dikaji dalam penelitian ini adalah diksi, bahasa figuratif

(figurative language), gaya kalimat, gaya wacana, dan citraan. Selain itu,

dikaji pula nilai-nilai pendidikan karakter dalam novel Pulang karya Leila S.

Chudori.

B. Landasan Teori

1. Hakikat Stilistika

a. Pengertian Stilistika

Stilistika (stylistic) menurut Ratna (2009: 2) adalah ilmu tentang gaya,

sedangkan (style) secara umum adalah cara-cara khas, bagaimana segala

sesuatu diungkapkan dengan cara tertentu, sehingga tujuan yang dimaksudkan

dapat dicapai secara maksimal. Sejalan dengan pernyataan sebelumnya,

Verdonk (2003: 4) memberi definisi stilistika adalah ilmu yang membahas

gaya yang menggunakan bahasa sebagai penyampai ekspresi khusus untuk


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

gambaran maksud dan akibat dari gaya tersebut. Selanjutnya, Simpson

(2004:2) memberi definisi mengenai stilistika, yaitu stilistika adalah cara

menginterpretasi naskah atau teks yang keunggulannya menggunakan bahasa.

Bertemali dengan uraian sebelumnya, style

khas dipergunakan oleh seseorang untuk mengutarakan atau mengungkapkan

diri gaya pribadi. Cara pengungkapan tersebut bisa meliputi setiap aspek

kebahasaan: diksi, penggunaan bahasa kias, bahasa figuratif (figurative

language), struktur kalimat, bentuk-bentuk wacana, dan sarana retorik yang

lain (Satoto, 2012: 35). Sejalan dengan pernyataan sebelumnya, Sutejo (2010:

5) mengungkapkan style merupakan gaya bahasa termasuk di dalamnya

pilihan gaya pengekspresian sesorang pengarang untuk menuangkan apa yang

dimaksudkan yang bersifat individual dan kolektif. Selanjutnya, Fairclough

(2003:159) menyatakan bahwa gaya atau style adalah aspek dari tulisan yang

dapat memberi identitas dari tulisan. Identitas yang dimaksudkan adalah

kekhasan bahasa pengarang.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disintesiskan stilistika adalah

cabang ilmu sastra yang meneliti tentang gaya. Gaya tersebut merupakan gaya

seorang pengarang yang secara khas tertuang dalam karyanya baik itu novel,

puisi, maupun cerpen.

b. Objek Kajian Stilistika

Objek kajian stilistika menurut Ratna (2009: 16) adalah teks atau

wacana. Objek analisis bukan bahasa yang digunakan, bahasa dalam proses

penafsiran. Pada saat sebuah kalimat diucapkan, sebagai parole, pada saat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

itulah terjadi komunikasi antara objek dengan pembaca. Pada saat itu juga

terjadi proses penafsiran. Penafsiran itulah hasil dari analisis teks yang dapat

dituangkan ke dalam karya tulis. Tulisan tersebut kemudian menjadi bahasa

yang siap untuk diinterpretasikan kembali, baik oleh pembaca yang berbeda

maupun oleh pembaca yang sama pada saat yang berbeda. Selanjutnya, Ratna

(2009: 22) menyatakan bahwa stilistika modern menganalisis ciri-ciri formal,

diantaranya: a) fonologi, seperti; pola-pola bunyi ujaran, sajak, dan irama, b)

sintaksis, seperti; tipe-tipe struktur kalimat, c) leksikal, meliputi; kata-kata

abstrak dan konkret, frekuensi relatif kata benda, kata kerja, dan kata sifat, dan

d) retorika yaitu ciri penggunaan bahasa kiasan (figuratif) dan perumpamaan.

Melanjuti uraian sebelumnya, Satoto (2012: 37) menyatakan stilistika

adalah tempat pertemuan diantara makroanalisis sastra dan makroanalisis

bahasa. Stilistika, sebagai cabang ilmu sastra yang meneliti stail atau gaya,

dibedakan ke dalam: stilistika deskriptif, dan stilistika genetik. Stilistika

deskriptif (Ch Bally), mendekati (approach) gaya (style) sebagai keseluruhan

daya ungkapan psikis yang terkandung dalam suatu bahasa, dan meneliti nilai-

nilai ekspresif khusus yang terkandung dalam suatu bahasa (language), yaitu

secara morfologis, sintaksis, dan semantis. Dalam pandangan ini, pengarang

membangkitkan beberapa kemungkinan yang terkandung dalam sistem bahasa

yang bersangkutan. Silistika genetis atau silistika individual (L. Spitzer)

memandang stail, gaya (style) sebagai suatu ungkapan yang khas pribadi

(Satoto, 2012: 37).


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Bertemali dengan uraian sebelumnya, Nurgiyantoro (2009: 280)

menyatakan analisis style teks kesastraan dilakukan dengan mengkaji bebagai

bentuk dan tanda-tanda linguistik yang dipergunakan seperti terlihat dalam

struktur lahir. Dengan cara ini akan diperoleh bukti-bukti konkret tentang style

sebuah karya. Metode (teknik) analisis ini akan menjadi penting karena dapat

memberikan informasi tentang karakteristik khusus sebuah karya. Tanda-tanda

stilistika itu sendiri dapat berupa: a) fonologi, misalnya pola suara ucapan dan

irama, b) sintaksis, misalnya jenis struktur kalimat, c) leksikal, misalnya

pengggunaan kata benda, kerja, sifat, dan d) penggunaan bahasa figuratif,

misalnya bentuk-bentuk pemajasan, permainan struktur, pencitraan, dan

sebagainya.

Berdasarkan pemaparan di atas dapat dikatakan bahwa bidang kajian

stilistika secara umum membicarakan hal-hal yang mengandung ciri-ciri

linguistik. Berbeda dengan Al- : 93) yang membatasi kajian

stilistika terhadap lima aspek yaitu: gaya diksi, bahasa figuratif (figurative

language), gaya kalimat, gaya wacana, dan citraan. Dari beberapa teori yang

telah diungkapkan mengenai kajian stilistika, penelitian ini menggunakan teori

Al- -

mengkaji stilistika dalam karya sastra. Adapun objek kajian stilistika dalam

penelitian ini meliputi: 1) diksi, 2) bahasa figuratif (figurative language), 3)

gaya kalimat, 4) gaya wacana, dan 5) citraan. Berikut penjelasan mengenai

objek kajian stilistika.


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

1) Diksi

Al- 09: 49) menyatakan diksi diartikan sebagai pilihan kata-

kata yang dilakukan oleh pengarang dalam karyanya guna menciptakan efek

makna tertentu. Kata merupakan unsur bahasa yang paling penting dalam

karya sastra. Oleh karena itu, dalam pemilihannya pengarang berusaha agar

kata-kata yang digunakannya mengandung kepadatan agar selaras dengan

sarana komunikasi puitis lainnya. Hal tersebut senada yang diungkapkan oleh

Waluyo (2010: 83), penyair sangat cermat memilih kata-kata sebab kata-kata

yang ditulis harus dipertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam rima

dan irama, serta kedudukan kata dengan kata lainnya. Sejalan dengan

pernyataan sebelumnya, Nuroh (2011: 21) menyatakan ketepatan pemilihan

kata berkaitan dengan makna kata. Dalam hal ini merujuk pada makna

denotasi dan makna konotasi yang harus dipertimbangkan. Denotasi

merupakan arti yang sesuai dengan kamus (arti lugas), sedangkan konotasi

merupakan yang diasosiasikan atau disarankan (arti kias).

Pandangan lain juga diungkapan oleh Keraf (2006: 22-23). Diksi bukan

saja dipergunakan untuk menyatakan kata-kata mana yang dipakai untuk

menggunakan suatu ide atau gagasan, tetapi juga dapat meliputi persoalan

fraseologi, gaya bahasa, dan ungkapan. AL- 09: 53) menjelaskan

mengenai jenis diksi yang terdapat dalam karya sastra antara lain kata

konotatif, konkret, kata sapaan khas dan nama diri, kata seru khas Jawa, kata

serapan, kata asing, kata arkaik, kata vulgar, kata dengan objek realitas alam,

dan kosakata bahasa daerah. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

disintesiskan diksi adalah pilihan kata yang khas oleh pengarang dalam

menciptakan suatu karyanya. Adapun jenis-jenis diksi yang dianalisis dalam

penelitian ini adalah kata konotatif, konkret, kata sapaan khas, kata serapan,

kata asing, kata vulgar, dan kosakata bahasa daerah.

2) Bahasa figuratif (figurative language)

Bahasa figuratif menurut Waluyo (2010: 96) adalah bahasa yang

digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa,

yakni secara tidak langsung mengungkapkan makna. Kata atau bahasanya

bermakna kias atau makna lambang. Sesuai dengan pendapat tersebut untuk

memahami bahasa figuratif menurut Waluyo (2010: 97) pembaca harus

menafsirkan kiasan dan lambang yang dibuat penyair baik lambang

konvensional maupun lambang nonkonvensional.

Senada dengan pendapat sebelumnya, Al- : 60) menyatakan

bahasa figuratif merupakan cara pengarang dalam memanfaatkan bahasa untuk

mendapatkan efek estetis melalui pengungkapan gagasan secara kias yang

menyaran pada makna literal (literal meaning). Berkaitan dengan hal tersebut,

Al- : 61) mengungkapkan bahasa figuratif di dalam penelitian

stlitistika karya sastra meliputi majas, idiom, dan peribahasa. Hal tersebut

karena ketiga hal tersebut banyak dimanfaatkan sastrawan untuk

mengungkapkan gagasan dan meningkatkan nilai estetis karnyanya. Bahasa

figuratif (figurative language) yang dianalisis dalam penelitian ini adalah

majas. Berikut dibahas mengenai pemajasan tersebut.


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Pemajasan (figure of thought) menurut Nurgiyantoro (2009: 296-297)

adalah teknik pengungkapan bahasa, penggayabahasaan, yang maknanya tidak

menunjuk pada makna harfiah kata-kata yang mendukungnya, melainkan pada

makna yang ditambahkan, makna yang tersirat. Jadi, majas merupakan gaya

yang sengaja mendayagunakan penuturan dengan memanfaatkan bahasa kias.

Selanjutnya, Nurgiyantoro (2009: 298) menegaskan bahwa bentuk-bentuk

pemajasan yang banyak digunakan pengarang adalah bentuk perbandingan

atau persamaan, yaitu membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain

melalui ciri-ciri kesamaan antara keduanya, misalnya yang berupa ciri fisik,

sifat, sikap, keadaan, suasana, tingkah laku, dan sebagainya. Selain bentuk

pemajasan tersebut, Nurgiyantoro (2009: 298-299) juga menyebutkan bentuk

pemajasan lain antara lain: simile, metafora, personifikasi, metonemia,

sinekdoke, hiperbola, dan paradoks.

Sejalan dengan pernyataan sebelumnya, Keraf (2006: 136) menyebutkan

gaya bahasa kiasan dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan.

Selanjutnya, Keraf (2006: 138) menguraikan macam-macam gaya bahasa

kiasan, yaitu: (1) persamaan atau simile; (2) metafora, (3) alegori, parabel, dan

fabel; (4) personifikasi atau prosopopoeia; (5) alusi; (6) eponim; (7) epitet; (8)

sinekdoke; (9) metonimia; (10) antonomasia; (11) hipalase; (12) ironi,

sinisme, dan sarkasme; (13) satire; (14) inuendo; dan (15) antifrasis. Senada

dengan pernyataan tersebut, Waluyo (2010: 98) membagi enam gaya bahasa

(kiasan) yaitu: metafora (kiasan langsung), persamaan (kiasan tidak langsung),

personifikasi, hiperbola (overstatment), ironi, dan sinekdoke.


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Al- : 62) menyatakan penggunaan style yang berwujud

majas, dapat mempengaruhi gaya dan keindahan bahasa karya sastra.

Selanjutnya, merujuk pandangan dari Scott dan Pradopo, Al- :

62) mengungkapkan majas yang ditelaah dalam kajian stilistika karya sastra

meliputi metafora, simile, personifikasi, metonimia, dan sinekdone (pars pro

toto dan totem pro parte). Berdasarkan uraian tersebut dapat disintesiskan

majas adalah bahasa yang mempunyai makna literal (litreal meaning) yang

digunakan pengarang dalam menciptakan karyanya. Adapun jenis-jenis majas

yang dianalisis dalam penelitian ini yaitu: (1) metafora, (2) simile, (3)

hiperbola, (4) personifikasi, (5) sinekdoke, (6) sarkasme, (7) metonemia.

Berikut penjelasan mengenai beberapa majas dari gaya bahasa figuratif.

Majas pertama adalah metafora. Waluyo (2010: 98) menyatakan

metafora adalah kiasan langsung, artinya benda-benda yang dikiaskan itu tidak

disebutkan. Jadi, ungkapan itu langsung berupa kiasan, sebagai contoh: lintah

darat, bunga bangsa, kambing hitam, bunga sedap malam, dan sebagainya.

Sependapat dengan pernyataan sebelumnya, Keraf (2006: 139)

mengungkapkan metafora adalah sejenis analogi yang membandingkan dua

hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat. Berbeda dengan

pernyataan sebelumnya, metafora menurut Nurgiyantoro (2009: 299)

merupakan perbandingan yang bersifat tidak langsung dan implisit. Hubungan

antara sesuatu yang dinyatakan pertama dengan yang kedua hanya bersifat

sugestif, tidak ada kata-kata penunjuk perbandingan eksplisit.


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Bertemali dengan uraian sebelumnya, Wiyatmi (2006: 65-66) membagi

dua jenis metafora yaitu: metafora eksplisit dan metafora implisit. Metafora

ekplisit apabila unsur pembanding dan yang dibandingkan disebutkan,

misalnya cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar. Cinta sebagai hal yang

dibandingkan dan bahaya yang lekas jadi pudar sebagai pembandingnya.

Metafora implisit, apabila hanya memiliki unsur pembanding saja, misalnya

sambal tomat pada mata, untuk mengatakan mata yang merah, sebagai hal

yang dibandingkan.

Majas kedua adalah simile. Nurgiyantoro (2009: 298) menyatakan simile

menyaran pada adanya perbandingan yang langsung dan implisit, dengan

mempergunakan kata-kata tugas tertentu sebagai penanda keeksplisitan

seperti: seperti, bagai, bagaikan, sebagai, laksana, mirip dan sebagainya.

Sejalan dengan pernyataan sebelumnya Keraf (2006: 138) menjelaskan simile

adalah perbandingan yang langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal

yang lain. Selain itu, terdapat kata-kata yang menandai kesamaan tersebut.

Kata-kata tersebut adalah seperti, sama, sebagai, bagaikan, dan laksana.

Adapun contoh dari penggunaan kata tersebut dalam majas ini adalah sebagai

berikut. Bibirnya seperti delima merekah (menyebut objek pertama yang

dibandingkan). Seperti menating minyak penuh (tanpa menyebut objek

pertama yang dibandingkan).

Senada dengan pernyataan sebelumnya, simile (perumpamaan) menurut

Wiyatmi (2006: 67) merupakan kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal

lain dengan menggunakan kat-kata pembanding seperti: bagai, seperti,


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

laksana, semisal, seumpama, sepantun, atau kata-kata pembanding lainnya.

Lain halnya Waluyo (2010: 99), yang mengungkapkan simile atau

perbandingan adalah kiasan yang tidak lansung. Benda-benda yang dikiaskan

kedua-duanya ada bersama pengiasnya dan digunakan kata-kata seperti,

laksana, bak, dan sebagainya. Dari beberapa pendapat di atas dapat

disintessikan bahwa majas simile adalah kiasaan yang membandingkan suatu

hal dengan hal lain secara tidak langsung dengan penanda seprtii, bak, seolah

dan lain-lain.

Majas ketiga adalah hiperbola. Nurgiyantoro (2009: 300) menyatakan

hiperbola adalah suatu cara penuturan yang bertujuan menekankan maksud

dengan sengaja melebih-lebihkan. Gaya ini banyak dijumpai dalam karya

sastra, khusunya fiksi. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Waluyo (2010: 99)

menjelaskan hiperbola adalah kiasan yang berlebih-lebihan, sebagai contoh:

bekerja membanting tulang, menunggu seribu tahun, hatinya bagai dibelah

sembilu, serambut dibagi tujuh, dan sebagainya. Senada dengan pernyataan

sebelumnya, Sutejo (2010: 29) mengungkapkan hiperbola merupakan gaya

bahasa yang dipakai untuk melukiskan sesuatu keadaan secara berlebihan

daripada sesungguhnya, sebagai contohnya: Hatinya terbakar, kepalaku

pecah, nadiku putus, mendengar dia memutuskan cinta.

Majas keempat adalah personifikasi. Personifikasi menurut Waluyo

(2010: 99) adalah keadaan atau peristiwa alam sering dikiaskan sebagai

keadaan atau peristiwa yang dialami oleh manusia. Dalam hal ini benda mati
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

digunakan untuk memperjelas penggambaran peristiwa keadaan itu. Hal itu

ditegaskan oleh Keraf (2006: 140) yang menyatakan personifikasi adalah gaya

bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang

yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan. Selanjutnya,

contoh dari majas tersebut adalah angin yang meraung di tengah malam yang

gelap itu menambah lagi ketakutan kami.

Sejalan dengan pernyataan sebelumnya, Nurgiyantoro (2009: 299)

mengungkapkan personifikasi merupakan gaya bahasa yang memberi sifat-

sifat benda mati dengan sifat-sifat seperti yang dimiliki manusia sehingga

dapat bersikap dan bertingkah laku sebagaimana halnya manusia. Jadi, dalam

personifikasi terdapat persamaan sifat antara benda mati dengan sifat-sifat

manusia. Selaras dengan pernyataan sebelumnya, Sutejo (2010: 31)

menjelaskan personifikasi merupakan gaya bahasa perbandingan yang

membandingkan benda mati atau tidak bergerak seolah-olah bernyawa dan

dapat berperilaku seperti manusia. Contoh: matanya berbicara, hanya dialah

lelaki yang dia cintainya.

Bertemali dengan uraian sebelumnya, Wiyatmi (2006: 65) menegaskan

personifikasi adalah kiasan yang menyamakan benda dengan manusia, benda-

benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir, dan sebagainya seperti manusia.

Personifikasi mempunyai efek untuk memperjelas imaji (gambaran angan)

pembaca karena dengan menyamakan hal-hal nonmanusia dengan manusia,

empati pembaca mudah ditimbulkan karena pembaca merasa akrab dengan

hal-hal yang digambarkan atau disampaikan.


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Majas kelima adalah sarkasme. Keraf (2006: 143) menyatakan sarkasme

merupakan suatu acuan yang lebih kasar dari ironi dan sinisme. Sarkasme

adalah suatu acuan yang mengandung kepahitan dan celaan getir. Sarkasme

dapat saja bersifat ironis, dapat juga tidak, tetapi yang jelas adalah bahwa gaya

ini selalu akan menyakiti hati dan kurang enak didengar. Sejalan dengan

pernyataan sebelumnya, Sutejo (2010: 32) mengungkapkan sarkasme adalah

gaya bahasa sindiran yang paling kasar dengan mempergunakan kata-kata

tertentu yang cenderung tidak sopan, sebagai contoh: Lelaki itu, anjing, yang

tidak pernah tahu balas kasih.

Majas keenam adalah sinekdoke. Sinekdoke menurut Keraf (2006: 142)

adalah suatu istilah yang diturunkan dari kata Yunani synekdechesthai yang

berarti menerima bersama-sama. Sinekdoke adalah semacam bahasa figuratif

yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan

keseluruhan (pars pro toto) atau mempergunakan keseluruhan untuk

menyatakan sebagian (totum pro parte). Sejalan dengan pernyataan

sebelumnya, Waluyo (2010: 100) menjelaskan sinekdoke adalah menyebutkan

sebagian untuk maksud keseluruhan, atau menyebutkan keseluruhan untuk

maksud sebagian. Lain halnya Wiyatmi (2006: 67) yang menyatakan

sinekdoke merupakan bentuk kiasan yang mirip dengan metonemia, yaitu

pengertian yang satu dipergunakan sebagai pengertian yang lain.

Majas ketujuh adalah metonimia. Kata metonimia berasal dari kata

Yunani meta yang berarti menunjukkan perubahan dan onoma yang berarti

nama. Atas dasar itu, metonimia dapat dinyatakan sebagai suatu gaya bahasa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

yang menggunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena

mempunyai pertalian yang sangat dekat. Bentuk hubungan tersebut dapat

berupa penemu untuk hasil, penemuan, pemilik untuk barang yang dimiliki,

akibat untuk sebab, sebab untuk akibat, isi untuk menyatakan kulitnya, dan

sebagainya (Keraf, 2006: 142). Sependapat dengan pernyataan tersebut,

Nurgiyantoro (2009: 299-300) menyatakan metonimia adalah sebuah gaya

yang menunjukkan adanya pertautan atau pertalian yang dekat. Misalnya,

seseorang suka membaca karya-

3) Gaya Kalimat

Al- : 57-58) menyatakan gaya kalimat adalah penggunaan

suatu kalimat untuk memperoleh efek tertentu, misalnya inversi, gaya kalimat

tanya, perintah, dan elips. Selanjutnya, Al- : 58) berpendapat

penyiasatan struktur kalimat dapat bermacam-macam wujudnya, mungkin

berupa pembalikan, pemendekan, pengulangan, penghilangan unsur tertentu,

dan sebagainya. Ada pula penyimpangan kalimat seperti konjungsi di awal

kalimat guna memperoleh efisiensi dan menekankan pesan tertentu.

Bertemali dengan uraian sebelumnya, yang termasuk dalam gaya kalimat

menurut Al- : 58) adalah penggunaan sarana retotika, seperti

kalimat klimaks, antiklimaks, koreksio, hiperbola, dan antitesis.

Kesemuaannya itu dimaksudkan pengarang untuk mencapai efek estetis

tertentu di samping untuk menekankan gagasan tertentu. Hal itulah yang

dikenal sebagai foregrounding, yang dipandang sebagai salah satu ciri bahasa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Di dalam penelitian ini gaya kalimat yang analisis adalah kalimat, klimaks,

kalimat antiklimaks, kalimat repetisi, kalimat paralelisme, dan kalimat

antitetsis.

Gaya kalimat yang pertama adalah kalimat klimaks. Keraf (2006: 124)

menjelaskan klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung urutan-

urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya dari

gagasan sebelumnya. Keraf (2006: 125) menyatakan klimaks disebut juga

sebagai gradasi. Istilah ini dipakai sebagai istilah umum yang sebenarnya

merujuk kepada tingkat atau gagasan tertinggi. Bila klimaks itu terbentuk dari

beberapa gagasan yang berturut-turut semakin tinggi kepentingannya, maka ia

disebut anabias.

Gaya kalimat yang kedua adalah kalimat antiklimaks. Keraf (2006: 125)

mengungkapkan antiklimaks dihasilkan oleh kalimat yang berstruktur

mengendur. Anti klimaks sebagai gaya bahawa merupakan suatu acuan yang

gagasan-gagasannya diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan

yang kurang penting. Keraf (2006: 125) berpendapat antiklimaks sering

kurang efektif karena gagasan yang penting ditempatkan pada awal kalimat,

sehingga pembaca atau pendengar tidak lagi memberi perhatian pada bagian-

bagian berikutnya dalam kalimat itu. Gaya kalimat yang ketiga adalah kalimat

repetisi. Repetisi menurut Keraf (2006: 127) adalah perulangan bunyi, suku

kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk meberi tekanan

dalam sebuah konteks yang sesuai. Repetisi, seperti halnya paralelisme dan

antitesis, lahir dari kalimat yang berimbang.


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Gaya kalimat yang keempat adalah kalimat paralelisme. Paralelisme

adalah semacam gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam

pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi yang sama dalam

bentuk gramatikal yang sama (Keraf, 2006: 126). Selanjutnya, Keraf (2006:

126) menyatakan kesejajaran tersebut dapat pula berbentuk anak kalimat yang

bergantung pada sebuah induk kalimat yang sama. Gaya kalimat ini lahir dari

kalimat yang berimbang. Gaya kalimat yang kelima adalah kalimat antitesis.

Keraf (2006: 126) menjelaskan antitesis adalah sebuah gaya bahasa yang

mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan, dengan mempergunakan

kata-kata atau sekelompok kata yang berlawanan. Gaya ini timbul dari kalimat

yan berimbang.

4) Gaya Wacana

Al- : 58) menyatakan gaya wacana adalah gaya bahasa

dengan penggunaan lebih dari satu kalimat, kombinasi kalimat, baik dalam

prosa maupun puisi. Selain itu, gaya wacana dapat berupa paragraf (dalam

prosa atau fiksi), bait (dalam puisi atau sajak), keseluruhan karya sastra,

maupun kesuluruhan puisi. Di dalam penelitian ini gaya wacana yang

dianalisis meliputi gaya wacana repetisi, gaya wacana klimaks, gaya wacana

antiklimaks, gaya wacana campur kode, dan gaya wacana alih kode.

5) Citraan

Waluyo (2010: 91) menyatakan citraan atau pengimajian (imagery)

adalah kata atau susunan kata yang dapat mengungkapkan pengalaman

sensoris, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Selanjutnya, Waluyo


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(2010: 91) membagi citraan atau imaji ke dalam tiga jenis, yaitu: citraan atau

imaji penglihatan (visual), citraan atau imaji pendengaran (auditif), dan citraan

atau imaji perasaan (taktil). Senada dengan pendapat sebelumnya, Sayuti

(2000: 174) menjelaskan citraan adalah suatu kata atau serangkaian kata yang

dapat membentuk gambaran mental atau dapat membangkitkan pengalaman

tertentu. Dalam fiksi citraan dibedakan menjadi citraan literal dan citraan

figuratif (Sayuti, 200: 174). Citraan literal tidak menyebabkan perubahan atau

perluasan arti kata-kata sedangkan citraan figuratif (majas) merupakan citraan

yang harus dipahami dalam beberapa arti. Wiyatmi (2006: 68) membagi jenis

citraan sesuai dengan indra yang menghasilkannya, yaitu citraan penglihatan

(visual imagery), citraan pendengaran (auditory imagery), citraan rabaan

(thermal imagery), citraan pencecapan (tactile imagery), citraan penciuman

(alfactory imagery), citraan gerak (kinesthetic imagery).

Bertemali dengan uraian sebelumnya, Al- 09: 79)

menyimpulkan citraan dari pendapat Pradopo dan Brett yang terbagi atas tujuh

citraan antara lain: 1) citraan penglihatan, 2) citraan pendengaran, 3) citraan

penciuman, 4) citraan pencecapan, 5) citraan gerak, 6) citraan intelektual, 7)

citraan perabaan. Dari beberapa pendapat tersebut dapat disintesiskan, citraan

merupakan sebuah pengalaman keinderaan dalam berimajinasi sehingga

pembaca seolah-olah melihat, mendengar, dan merasakan sesuatu yang

dihasilkan oleh kata-kata. Selanjutnya, jenis-jenis citraan yang disintesiskan

dari beberapa ahli yaitu: citraan penglihatan, citraan pendengaran, citraan


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

gerak, citraan perabaan, citraan penciuman, dan citraan pencecapan. Berikut

penjelasan mengenai jenis citraan tersebut.

Citraan pertama adalah citraan penglihatan (visual imagery). Al-

(2009: 79) menjelaskan citraan penglihatan adalah citraan yang timbul oleh

penglihatan. Citraan visual dapat mengusik indera penglihatan pembaca

sehingga akan membangkitkan imajinasinya untuk memahami karya sastra.

Perasaan estetis akan lebih mudah terangsang melalui citraan visual ini. Selain

itu, dalam karya sastra pengarang melukiskan karakter tokoh, melukiskan

keadaan tempat, pemandangan, atau bangunan dalam menciptakan citraan

visual ini. Citraan kedua adalah citraan pendengaran (auditory imagery).

Citraan pendengaran adalah citraan yang ditimbulkan oleh pendengaran (Al-

09: 80). Di samping itu, citraan pendengaran akan lebih mudah

melukiskan keadaan untuk merangsang imaji pembaca dalam mencapai efek

estetis.

Citraan ketiga adalah citraan gerak (kinesthetic imagery). Citraan gerak

sangat produktif digunakan dalam karya sastra karena mampu membangkitkan

imaji pembaca. Hal tersebut dapat terjadi karena di dalam pikiran pembaca

terdapat imaji gerakan itu. Citraan gerak adalah citraan yang melukiskan

sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak tetapi dilukiskan sebagai dapat

bergerak ataupun gambaran gerak umumnya (Al- 09: 82). Citraan

keempat adalah citraan perabaan (tactile imagery). Citraan perabaan menurut

Al- 09: 83) adalah citraan yang ditimbulkan melalui perabaan.

Biasanya, citraan perabaan digunakan untuk menghidupkan imaji pembaca


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dalam memahami karya sastra sehingga timbul efek estetis. Dalam fiksi, citra

perabaan terkadang dipakai untuk melukiskan keadaan emosianal tokoh.

Citraan peraban agak sedikit dipakai oleh pengarang dalam karya sastra,

berbeda dengan citraan penglihatan dan pendengaran yang produktif.

Citraan kelima adalah citraan penciuman (smell imagery). Al-

(2009: 84) menjelaskan citraan penciuman adalah pelukisan imajinasi yang

diperoleh dari indera penciuman. Citraan penciuman dipakai pengarang untuk

membangkitkan imaji pembaca dalam hal memperoleh pemahaman yang utuh

atas teks sastra yan dibacanya melalui indera penciumannya. Citraan keenam

adalah citraan pencecapan (taste imagery). Al-

citraan pencecapan adalah pelukisan imajinasi yang ditimbulkan oleh

pengalaman indera pencecapan dalam hal ini lidah. Jenis citraan pencecapan

dalam karya sastra dipergunakan untuk menghidupkan imajinasi pemabaca

dalam hal-hal yang berkaitan dengan rasa di lidah atau membangkitkan selera

makan.

2. Hakikat Nilai Pendidikan Karakter

a. Pengertian Karakter

Hidyatullah (2010: 16) menyatakan karakter adalah kualitas atau

kekuatan mental atau moral, akhlak atau budi pekerti individu yang

merupakan kepribadian khusus yang menjadi pendorong dan penggerak, serta

yang membedakan dengan individu lain. Dengan demikian, karakter pendidik

adalah kualitas mental atau kekuatan moral, akhlak atau budi pekerti pendidik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

yang merupakan kepribadian khusus yang harus melekat pada pendidik dan

yang menjadi pendorong dan pengerak dalam melakukan sesuatu. Sejalan

dengan pernyataan tersebut, Samani (2013: 43) menjelaskan karakter adalah

nilai dasar yang membangun pribadi seseorang, terbentuk baik karena

pengaruh hereditas maupun pengaruh lingkungan, yang membedakannya

dengan orang lain, serta diwujudkan dalam sikap dan perilakunya dalam

kehidupan sehari-hari.

Senada dengan pernyataan sebelumnya, Mulyasa (2012: 3)

mengungkapkan karakter merupakan sifat alami seseorang dalam merespons

situasi secara bermoral, yang diwujudkan dalam tindakan nyata melalui

perilaku baik, jujur, bertanggung jawab, hormat terhadap orang lain, dan nilai-

nilai karakter mulia lainnya. Berdasarkan beberapa definisi karakter, dapat

disintesakan karakter adalah perwujudan seseorang yang dapat dilihat dan

diamati oleh orang lain melalui proses sosialisasi dan komunikasi antar

individu yang tercipta dari pembawaan dan pembiasaan dari masing-masing

individu dalam ruang lingkup kejadian yang dialami individu tersebut baik di

lingkungan sosial, keluarga, maupun sekolah.

b. Pengertian Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter menurut Samami (2013: 45-46) adalah proses

pemberian tuntunan kepada peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya

yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa. Selain

itu, pendidikan karakter dapat dimaknai pula sebagai pendidikan nilai,

pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan

baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam

kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Sejalan dengan pernyataan

tersebut, Kemendiknas dalam Wibowo (2012: 35) menyatakan pendidikan

karakter adalah pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai karakter bangsa

pada diri peserta didik, sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai

karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya,

sebagai anggota masyarakat, dan warga negara religius, nasionalis, produktif

dan kreatif.

Senada dengan pernyataan sebelumnya, Wibowo (2012: 48)

menjelaskan pendidikan karakter adalah upaya-upaya yang dirancang dan

dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-

nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri

sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam

pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma

agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Selaras dengan

pernyataan tersebut, Maksudin (2013: 56) mengungkapkan pendidikan

karakter adalah penanaman dan pengembangan nilai-nilai dalam diri peserta

didik yang tidak harus merupakan satu program atau pelajaran khusus.

Penanaman dan pengembangan nilai itu merupakan suatu dimensi dari seluruh

usaha pendidikan yang tidak hanya terfokus pada pengembangan ilmu,

keterampilan, teknologi, tetapi juga pengembangan aspek-aspek lainnya,

seperti kepribadian, etik-moral, dan yang lainnya.


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Bertemali dengan uraian sebelumnya, Mulyasa (2012: 3) menyatakan

pendidikan karakter memiliki makna lebih tinggi dari pendidikan moral,

karena pendidikan karakter tidak hanya berkaitan dengan masalah benar salah,

tetapi bagaimana menanamkan kebiasaan (habit) tentang hal-hal yang baik

dalam kehidupan, sehingga anak/peserta didik memiliki kesadaran, dan

pemahaman yang tinggi, serta kepedulian dan komitmen untuk menerapkan

kebajikan dalam kehidupan sehari-hari. Lain halnya Sudrajat (2011: 49), yang

mengungkapkan pendidikan karakter dapat didefinisikan sebagai segala usaha

yang dapat dilakukan untuk mempengaruhi karakter siswa. Dari beberapa

pendapat tersebut, dapat disintesiskan pendidikan karakter adalah wujud

kepribadian yang dilandasi dengan nilai dan karakter luhur untuk dapat

diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, baik bermasyarakat, beragama, dan

bernegara.

c. Komponen Nilai Pendidikan Karakter

Lickona (2013: 74) menjelaskan tiga komponen karakter yang baik.

Pertama adalah pengetahuan moral yang meliputi: kesadaran moral,

pengetahuan nilai-nilai moral, pengambilan perspektif, keberalasan moral,

pengambilan keputusan, pemahaman diri. Kedua adalah perasaan moral yang

meliputi: hati nurani, penghargaan diri, empati, menyukai kebaikan, kontrol

diri, kerendahan hati. Ketiga adalah tindakan moral yang meliputi:

kompetensi, kemauan, kebiasaan.

Sejalan dengan pernyataan sebelumnya, Mulyasa (2012: 14-15)

menyatakan pendidikan karakter bergerak dari kesadaran (awareness),


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pemahaman (understanding), kepedulian (concern), dan komitmen

(commitment), menuju tindakan (doing atau acting). Aspek pertama moral

understanding memiliki enam unsur yaitu: a) kesadaran moral (moral

awareness), b) pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing about moral

values), c) penentuan sudut pandang (perspective taking), d) logika moral

(moral reasoning), e) keberanian mengambil keputusan (decision making),

dan pengenalan diri (self knowledge). Aspek selanjutnya moral loving/moral

feeling meliputi: kesadaran akan jati diri, percaya diri (self esteem), motivasi

diri (self motivation), disiplin diri (self discipline), kepekaan terhadap

penderitaan orang lain (emphaty), cinta kebenaran (loving the good),

pengendalian diri (self control), dan kerendahan hati (humility). Jika kedua

aspek sudah terwujud, maka moral acting sebagai outcome akan mudah

dilakukan oleh peserta didik.

Berbeda dengan pernyataan sebelumnya, Samani (2013: 144) membagi

dua cara dalam memahami nilai karakter. Pertama melihat hubungan nilai-

nilai tersebut dengan prinsip empat olah (olah hati, olah pikir, olah raga, olah

rasa dan karsa). Kedua melihat hubungan nilai-nilai dengan kewajiban

terhadapt Tuhan Sang Maha Pencipta, dengan kewajiban terhadap diri sendiri,

dengan kewajiban terhadap keluarga, dengan kewajiban terhadap masyarakat

dan bangsa, dan kewajiban terhadap alam sekitar.

Hidayatullah (2010:85) menjelaskan butir-butir karakter yang terdapat di

dalam kehidupan meliputi: 1) adil, 2) amanah, 3) pengampunan, 4) antisipatif,

5) arif, 6) baik sangka, 7) kebajikan, 8) keberanian, 9) bijaksana, 10) cekatan,


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

11) cerdas, 12) cerdik, 13) cermat, 14) pendaya guna, 15) demokratis, 16)

dermawan, 17) dinamis, 18) disiplin, 19) efisien, 20) empan papan, 21)

empati, 22) fair play, 23) gigih, 24) gotong royong, 25) hemat, 27) hormat, 28)

kehormatan, 29) ikhlas, 30) inisiatif, 31) inovatif, 32) kejujuran, 33)

pengendalian diri, 34) kooperatif, 35) kreatif, 36) kukuh hati, 37) lugas, 38)

mandiri, 39) kemurahan hati, 40) pakewuh, 41) peduli, 42) penuh perhatian,

43) produktif, 44) rajin, 45) ramah, 46) sabar, 47) saleh, 48) santun, 49) setia,

50) sopan, 51) susila, 52) ketaatan, 53) tabah, 54) tangguh, 55) tanggap, 56)

tanggung jawab, 57) bertaqwa, 58) tegar, 59) tegas, 60) tekad atau komitmen,

61) tekun, 62) tertib, 63) ketertiban, 64) tahu berterima kasih, 65) trengginas,

66) ketulusan, 67) tepat waktu, 68) toleran, 69) ulet, dan 70) berwawasan jauh

ke depan.

Bertemali dengan uraian sebelumnya, Kemendiknas dalam Wibowo

(2012: 43) menyatakan delapan belas komponen nilai pendidikan karakter.

Nilai pertama adalah religius yang meliputi: sikap dan perilaku yang patuh

dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap

pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.

Nilai kedua adalah jujur yang meliputi: perilaku yang didasarkan pada upaya

menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam

perkataan, tindakan, dan pekerjaan. Nilai ketiga adalah toleransi yang

meliputi: sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis,

pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. Nilai

keempat adalah disiplin yang meliputi: tindakan yang menunjukkan perilaku


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. Nilai kelima adalah

kerja keras yang meliputi: perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-

sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta

menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.

Nilai keenam adalah kreatif yang meliputi: berpikir dan melakukan

sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah

dimiliki. Nilai ketujuh adalah mandiri yang meliputi: sikap dan perilaku yang

tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.

Nilai kedelapan adalah demokratis yang meliputi: cara berfikir, bersikap, dan

bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. Nilai

kesembilan adalah rasa ingin tahu yang meliputi: sikap dan tindakan yang

selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu

yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. Nilai kesepuluh adalah semangat

kebangsaan yang meliputi: cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang

menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan

kelompoknya.

Nilai kesebelas adalah cinta tanah air yang meliputi: cara berfikir,

bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan

penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya,

ekonomi, dan politik bangsa. Nilai kedua belas adalah menghargai prestasi

yang meliputi: sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk

menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta

menghormati keberhasilan orang lain. Nilai ketiga belas adalah


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

bersahabat/berkomunikatif yang meliputi: tindakan yang memperlihatkan rasa

senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain. Nilai keempat

belas adalah cinta damai yang meliputi: sikap, perkataan, dan tindakan yang

menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.

Nilai kelima belas adalah gemar membaca yang meliputi: kebiasaan

menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan

kebajikan bagi dirinya. Nilai keenam belas adalah peduli lingkungan yang

meliputi: sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada

lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk

memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. Nilai ketujuh belas adalah

peduli sosial yang meliputi: sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi

bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. Nilai kedelapan

belas adalah tanggung jawab yang meliputi: sikap dan perilaku seseorang

untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan,

terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya),

negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

Dari beberapa pendapat tentang pendidikan karakter yang telah

dijelaskan sebelumnya, maka nilai-nilai yang perlu diinternalisasikan kepada

peserta didik dalam pengembangan karakter adalah: 1) Religius, 2) Jujur 3)

Toleransi, 4) Disiplin, 5) Kerja keras, 6) kreatif, 7) Mandiri, 8) Demokratis, 9)

Rasa ingin tahu, 10) Semangat kebangsaan, 11) Cinta tanah air, 12)

Menghargai prestasi, 13) Bersahabat atau komunikatif, 14) Cinta damai, 15)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Gemar membaca, 16) peduli lingkungan, 17) Peduli sosial, dan 18) Tanggung

jawab.

3. Hakikat Novel

a. Pengertian Novel

Novel menurut Waluyo (2011: 5) adalah bentuk karya sastra cerita fiksi

yang paling baru. Nurgiyantoro (2009: 9-10) menjelaskan novella

mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelet yang

berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu

panjang, juga tidak terlalu pendek (Nurgiyantoro, 2009: 9-10). Novel dapat

mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak,

lebih rinci, lebih detail, dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan

yang lebih kompleks. Hal itu mencakup berbagai unsur cerita yang

membangun novel itu (Nurgiyantoro, 2009: 11).

Sayuti (2000: 7) mengategorikan novel dalam bentuk karya fiksi yang

bersifat formal. Bagi pembaca umum, pengategorian ini dapat menyadarkan

bahwa sebuah fiksi apapun bentuknya diciptakan dengan tujuan tertentu.

Dengan demikian, pembaca dalam mengapresiasi sastra akan lebih baik.

Pengategorian ini berarti juga bahwa novel yang kita anggap sulit dipahami,

tidak berarti bahwa novel tersebut memang sulit. Pembaca tidak mungkin

meminta penulis untuk menulis novel dengan gaya yang menurut anggapan

pembaca luwes dan dapat dicerna dengan mudah, karena setiap novel yang

diciptakan dengan suatu cara tertentu mempunyai tujuan tertentu pula.


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Bertemali dengan uraian sebelumnya, novel biasanya memungkinkan

adanya penyajian secara meluas (expands) tentang tempat atau ruang,

sehingga tidak mengherankan jika keberadaan manusia dalam masyarakat

selalu menjadi topik utama (Sayuti, 2000: 6-7). Masyarakat tentunya berkaitan

dengan dimensi ruang atau tempat, sedangkan tokoh dalam masyarakat

berkembang dalam dimensi waktu semua itu membutuhkan deskripsi yang

mendetail supaya diperoleh suatu keutuhan yang berkesinambungan.

Perkembangan dan perjalanan tokoh untuk menemukan karakternya, akan

membutuhkan waktu yang lama, apalagi jika penulis menceritakan tokoh

mulai dari masa kanak-kanak hingga dewasa. Novel memungkinkan untuk

menampung keseluruhan detail untuk perkembangkan tokoh dan

pendeskripsian ruang. Dari beberapa pendapat tersebut dapat disintesiskan

novel merupakan sebuah cerita rekaan yang berusaha menggambarkan

kehidupan tokoh-tokoh dengan menggunakan alur.

b. Jenis-jenis Novel

Nurgiyantoro (2009: 16) membedakan novel menjadi novel populer dan

novel serius. Pada kenyataanya sungguh tidak mudah untuk menggolongkan

sebuah novel ke dalam kategori serius atau populer. Berikut penjelasan

mengenai jenis-jenis novel tersebut.

1) Novel Populer

Nurgiyantoro (2009: 18) menjelaskan novel populer adalah novel yang

populer pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya pembaca di

kalangan remaja. Novel populer tidak menampilkan permasalahan kehidupan


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

secara intens, tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan. Oleh karena itu,

novel populer bersifat artifisial, bersifat sementara, cepat ketinggalan zaman,

dan tidak memaksa orang untuk membacanya sekali lagi. Novel populer

biasanya cepat dilupakan orang, apalagi dengan munculnya novel-novel baru

yang lebih populer pada masa sesudahnya.

Bertemali dengan uraian sebelumnya, pengategorian novel sebagai novel

serius atau novel populer bukanlah menjadi hal baru dalam dunia sastra. Usaha

ini sangat dipengaruhi oleh hal subjektif yang muncul dari pengamat, juga

banyak faktor dari luar yang menentukan. Misalnya, novel yang diterbitkan

oleh penerbit yang biasa menerbitkan karya sastra yang telah mapan, karya

tersebut akan dikategorikan sebagai karya yang serius, karya yang bernilai

tinggi, padahal pengamat belum membaca isi novel.

2) Novel Serius

Nurgiyantoro (2009: 18) mengungkapkan dalam membaca novel serius,

jika ingin memahaminya dengan baik diperlukan daya konsentrasi yang tinggi

disertai dengan kemauan untuk itu. Novel jenis ini, di samping memberikan

hiburan juga terimplisit tujuan memberikan pengalaman yang berharga kepada

pembaca atau paling tidak mengajak pembaca untuk meresapi dan

merenungkan secara lebih sungguh-sungguh tentang permasalahan yang

dikemukakan. Nurgiyantoro (2009: 21) menjelaskan kecenderungan yang

muncul pada novel serius memicu sedikitnya pembaca yang berminat pada

novel sastra ini.


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Berkaitan dengan uraian sebelumnya, meskipun demikian, hal ini tidak

menyebabkan popularitas novel serius menurun. Justru novel ini mampu

bertahan dari waktu ke waktu. Misalnya, karya Sutan Takdir, Armin Pane,

Sanusi Pane yang memunculkan polemik yang muncul pada dekade 30-an

yang hingga saat ini masih dianggap relevan dan belum ketinggalan zaman.

Namun, sebenarnya ada juga novel yang tergolong serius dan sekaligus laris

yaitu novel Pengakuan Pariyem, Burung-burung Manyar, Para Priyayi, dan

lain-lain (Nurgiyantoro, 2009: 21). Novel serius biasanya berusaha

mengungkapkan sesuatu yang baru. Hal tersebut yang coba diungkapkan

Nurgiyantoro (2009: 21) bahwa novel serius mengambil realitas kehidupan ini

dan tokoh-tokoh dalam situasi khusus.

C. Kerangka Berpikir

Penelitian ini mengkaji bahasa dan nilai pendidikan karakter novel

Pulang karya Leila S. Chudori. Penelitian mengenai bahasa di dalam novel

Pulang menggunakan pendekatan stilistika. Pendekatan stilistika tersebut

dapat membuat peneliti mengetahui karakteristik bahasa, keindahan, dan

maksud yang terdapat di dalam novel tersebut. Hal tersebut tergambarkan dari

kajian aspek-aspek stilistika novel Pulang karya Leila S. Chudori. Aspek-

aspek stilistika tersebut meliputi: diksi, bahasa figuratif (figurative language),

gaya kalimat, gaya wacana, dan citraan.


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Bagian kedua di dalam penelitian ini berkaitan dengan nilai pendidikan

karakter di dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori. Untuk mengtahui nilai

pendidikan karakter tersebut digunakan konsep nilai pendidikan karakter dari

Kemendiknas. Komponen tersebut meliputi: 1) Religius, 2) Jujur, 3) Toleransi,

4) Disiplin, 5) Kerja keras, 6) Kreatif, 7) Mandiri, 8) Demokratis, 9) Rasa

ingin tahu, 10) Semangat kebangsaan, 11) Cinta tanah air, 12) Menghargai

prestasi 13) Bersahabat atau komunikatif, 14) Cinta damai, 15) Gemar

membaca, 16) Peduli lingkungan, 17) Peduli sosial, 18) Tanggung jawab.

Langkah awal yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

mendeskripsikan dan menjelaskan kelima aspek stilistika yang terdapat dalam

novel Pulang karya Leila S. Chudori. Selanjutnya mendeskripsikan dan

menjelaskan nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam novel tersebut.

Setelah itu, diperoleh aspek-aspek silistika dan nilai pendidikan karakter

dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori. Untuk memperjelas, dapat dilihat

skema kerangka berpikir berikut. Bertitik tolak dari uraian mengenai kerangka

berpikir peneliti tersebut, berikut ini adalah skema alur pemikiran peneliti.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ANALISIS STILISTIKA DAN


NILAI PENDIDIKAN KARAKTER
DALAM NOVEL PULANG KARYA
LEILA S. CHUDORI

ANALISIS NILAI
STILISTIKA PENDIDIKAN
KARAKTER

1. Diksi 1) Religius, 2) Jujur, 3) Toleransi, 4)


2. Bahasa figuratif Disiplin, 5) Kerja keras, 6) Kreatif, 7)
(figurative Mandiri, 8) Demokratis, 9) Rasa ingin
language) tahu, 10) Semngat kebangsaan, 11) Cinta
3. Gaya kalimat tanah air, 12) menghargai prestasi, 13)
4. Gaya wacana Bersahabat atau komunikatif, 14) Cinta
5. Citraan damai, 15) Gemar membaca, 16) peduli
lingkungan, 17) Peduli sosial, 18)
Tanggung jawab

1. Aspek-aspek Stilistika dalam


novel Pulang karya Leila S.
Chudori
2. Nilai Pendidikan Karakter dalam

3. Aspek-aspek Stilistika dalam novel


Pulang karya Leila S. Chudori
4. Nilai Pendidikan Karakter dalam novel
Pulang karya Leila S. Chudori

Gambar 1 Skema Kerangka berpikir

Anda mungkin juga menyukai