Anda di halaman 1dari 57

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka berisi penelitian terdahulu yang relevan sebagai penunjang

penelitian ini, baik dari objek atau fokus kajian maupun sumber data yang

digunakan. Kajian pustaka dilakukan guna mengidentifikasi penelitian yang telah

dilaksanakan, dan sebagai bukti orisinalitas bahwa penelitian ini belum pernah

dilaksanakan. Penelitian yang relevan sebagai penunjang penelitian ini di

antaranya berupa makalah seminar, artikel jurnal ilmiah dan skripsi. Adapun

pustaka yang relevan dijadikan rujukan penelitian ini, antara lain artikel ilmiah

yang ditulis N. Eduardus (2017) dan Wijaya & Kartika (2018), serta skripsi yang

disusun Nurnaningsih (2013), Nugroho (2015), dan Husa (2017). Berikut

penjelasan pustaka yang dijadikan rujukan penelitian ini.

Penelitian yang relevan dengan penelitian ini berupa artikel ilmiah yang

ditulis N. Eduardus (2017) yang berjudul Bahasa Gaul Remaja dalam Media

Sosial Facebook, dimuat dalam jurnal Bastra volume 1 nomor 4 pada halaman 1-

19. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan bahasa gaul apa saja dan makna

bahasa gaul yang terdapat dalam media sosial facebook. Penelitian ini merupakan

penelitian deskriptif kualitatif. Data penelitian merupakan data tertulis berupa

ujaran atau tuturan yang terdapat pada status dan komentar di facebook. Sumber

data penelitian ialah penggunaan bahasa gaul yang terdapat dalam media sosial

pada pemilik akun facebook yang tergolong remaja berusia 17-21 tahun. Data

6
diperoleh menggunakan teknik observasi, baca, dan dokumentasi. Analisis data

dilakukan menggunakan metode sosiolinguistik.

Hasil penelitian bahasa gaul dalam media sosial facebook pada pemilik

akun yang tergolong remaja menunjukkan bahwa (1) bahasa gaul berdasarkan

jenis slang yang terdapat dalam interaksi di media sosial facebook di antaranya

adalah jargon, prokem dan kolokial (colloquial), dan (2) mengkaji makna bahasa

gaul yang terdapat dalam media sosial facebook berdasarkan konteksnya.

Penelitian N. Eduardus (2017) memiliki persamaan dengan penelitian ini,

yaitu mengkaji bahasa gaul. Berkaitan dengan perbedaannya, terletak pada fokus

dan sumber data penelitian. Penelitian N. Eduardus (2017) hanya berfokus pada

jenis bahasa gaul, sedangkan penelitian ini berfokus pada jenis slang atau bahasa

gaul dan pola pembentukan kata slang. Selain itu, data penelitian yang digunakan

N. Eduardus (2017) bersumber dari tuturan yang terdapat pada status dan

komentar di facebook, sedangkan data penelitian ini bersumber dari tuturan yang

terdapat dalam dialog pada novel Ubur-Ubur Lembur karya Raditya Dika.

Penelitian yang relevan selanjutnya merupakan artikel ilmiah yang ditulis

Wijaya & Kartika (2018), mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surabaya,

berjudul Analisis Bahasa Gaul dalam Novel Ayat Amat Cinta karya Asma Nadia,

Boim Lebon, Fahri Asizah, Birulaut-Taufan E. Prast, Lian Kagura, Rex-Ratno

Fadillah, dimuat dalam jurnal Stilistika volume 11 nomor 2 pada halaman 97-115.

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan proses morfologis bahasa gaul dalam

novel Ayat Amat Cinta karya Asma Nadia, dkk., yang meliputi afiksasi,

reduplikasi, dan pemendekan kata. Data penelitian ini berbentuk kosakata bahasa

gaul dalam novel Ayat Amat Cinta karya Asma Nadia, dkk. Penelitian ini

7
merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Data penelitian dikumpulkan

menggunakan teknik dasar membaca dan mencatat. Teknik analisis data yang

digunakan yaitu analisis interaktif dengan tahapan reduksi, penyajian, dan

penarikan kesimpulan.

Hasil penelitian proses pembentukan kata dalam novel Ayat Amat Cinta

karya Asma Nadia, dkk., terdiri atas afiksasi, reduplikasi, dan pemendekan.

Afiksasi berupa bentuk kata kerja aktif dan pasif. Bentuk kerja aktif, yaitu (a)

pembentuk kata kerja aktif {N-, be-}, {N-/-in} (b) perubahan prefiks {men-}

menjadi bentuk {n-, m-, ng-, ny-}, (c) perubahan konfiks {men- + -kan/-i}

menjadi {n-, m-, ng-, ny- + {-in}}, (d) perubahan prefiks {ber-} menjadi {be-}.

Selanjutnya bentuk kata kerja pasif bahasa gaul, yaitu (a) konfiks {di-+in} dan

prefiks {ke-}, (b) perubahan prefiks {di- + -kan/i} menjadi {di- + -in}, dan (c)

perubahan prefiks {ter-} menjadi {ke}, dan (d) perubahan sufiks {kan-} menjadi

{-in}. Reduplikasi berupa reduplikasi seluruh (penuh), reduplikasi sebagian,

reduplikasi dengan afiksasi dan reduplikasi perubahan fonem serta diikuti gejala

fonologis. Pemendekan kata berupa penggalan, singkatan dan akronim.

Penelitian Wijaya & Kartika (2018) memiliki persamaan dengan penelitian

ini, yaitu mengkaji pembentukan kata bahasa gaul dengan pola pembentukannya.

Berkaitan dengan perbedaannya, terletak pada fokus dan sumber data penelitian.

Penelitian Wijaya & Kartika (2018) berfokus pada pembentukan kata bahasa gaul

dengan pola pembentukannya saja, sedangkan penelitian ini selain berfokus pada

pembentukan kata bahasa gaul dengan pola pembentukan, juga berfokus pada

jenis slangnya. Selain itu, data penelitian yang digunakan Wijaya & Kartika

(2018) bersumber dari tuturan tertulis pada novel Ayat Amat Cinta karya Asma

8
Nadia, dkk., sedangkan data penelitian ini bersumber dari tuturan tertulis pada

novel Ubur-Ubur Lembur karya Raditya Dika.

Penelitian selanjutnya merupakan skripsi yang ditulis Nurnaningsih

(2013), mahasiswa Universitas Mataram, yang berjudul Analisis Pemakaian

Bahasa Gaul dalam Dialog pada Film Remaja Catatan Akhir Sekolah dan

Hubungannya dengan Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA. Penelitian ini

bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk kata bahasa gaul, struktur

penggunaan kata bahasa gaul, serta hubungan pemakaian kata bahasa gaul dengan

pembelajaran bahasa Indonesia di SMA. Jenis penelitian ini adalah deskriptif.

Data dikumpulkan dengan metode simak dengan teknik catat dan dokumentasi

serta dianalisis menggunakan metode deskriptif.

Berdasarkan hasil penelitian ada beberapa bentuk kata bahasa gaul dalam

film Catatan Akhir Sekolah yaitu kata, frase, akronim dan singkatan. Struktur kata

dalam dialog pada film remaja Catatan Akhir Sekolah berupa pemendekan,

penyisipan, dan penambahan kata. Hubungan bahasa gaul dengan pembelajaran

bahasa Indonesia di kelas XI SMA adalah dikaitkan dengan pembelajaran

semester gasal sesuai dengan kurikulum satuan tingkat pendidikan (KTSP) pada

standar kompetensi (SK) mengungkapkan wacana sastra dalam bentuk

pementasan drama dan kompetensi dasar (KD) mengekspresikan dialog para

tokoh dalam pementasan drama, sebagai materi pembelajaran bermain peran dan

mengekspresikan dialog para tokoh dalam pementasan drama.

Penelitian Nurnaningsih (2013) memiliki persamaan dengan penelitian ini,

yaitu mengkaji kata bahasa gaul dan pemanfaatannya secara praktis dalam

pengajaran bahasa Indonesia di SMA. Meskipun demikian, terdapat pula

9
perbedaannya, yaitu penelitian Nurnaningsih (2013) diimplementasikan sebagai

materi pembelajaran bermain peran dan mengekspresikan dialog para tokoh dalam

pementasan drama di kelas XI SMA, sedangkan penelitian ini diimplementasikan

sebagai bahan ajar materi kebahasaan mengenai jenis dan pola pembentukan kata

slang untuk melengkapi belum terpenuhinya aspek variasi bahasa di dalam bahan

ajar yang digunakan kelas X SMA. Perbedaan lainnya terletak pada fokus dan

sumber data penelitian. Penelitian Nurnaningsih (2013) berfokus pada tiga objek,

yaitu bentuk, struktur penggunaan, serta hubungannya dengan pembelajaran

bahasa Indonesia di SMA, sedangkan penelitian ini berfokus pada jenis dan pola

pembentukan kata slang. Selanjutnya, data penelitian Nurnaningsih (2013)

bersumber dari tuturan lisan pada film remaja Catatan Akhir Sekolah, sedangkan

data penelitian ini bersumber dari tuturan tertulis pada novel Ubur-Ubur Lembur

karya Raditya Dika.

Penelitian berupa skripsi yang juga relevan dengan penelitian ini adalah

penelitian yang ditulis Nugroho (2015), mahasiswa Universitas Negeri

Yogyakarta, yang berjudul Pembentukan Kosakata Slang dalam Komunitas

JKBoss pada Akun Twitter @JakartaKeras. Penelitian ini bertujuan

mendeskripsikan bentuk, proses pembentukan, makna, dan tujuan penggunaan

bahasa slang yang terdapat dalam komunitas JKBoss pada akun twitter

@JakartaKeras. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Data

penelitian berupa ujaran atau tuturan yang terdapat pada twitt dan mention dengan

sumber data penelitian yaitu penggunaan bahasa slang yang terdapat dalam

komunitas JKBoss pada akun twitter @JakartaKeras. Data diperoleh

menggunakan metode simak dengan teknik simak bebas libat cakap (SBLC).

10
Analisis data dilakukan menggunakan metode padan dan distribusional. Instrumen

yang digunakan adalah human instrument, dan keabsahan data diperoleh dengan

ketekunan pengamatan dan debriefing.

Hasil penelitiannya yaitu bentuk kosa kata slang berupa kata dan frase.

Proses pembentukannya berupa perubahan struktur fonologi, melalui (1)

pembalikan suku kata, (2) pembalikan kata secara utuh, (3) penghilangan suku

pertama, serta (4) penggantian vokal; dan proses morfologi berupa abreviasi,

berbentuk (1) akronim, yaitu dengan (a) pengekalan suku pertama pada tiap

komponen, (b) pengekalan suku kata pertama dan suku kedua pada tiap

komponen, dan (c) pengekalan suku pertama pada awal suku pertama dan suku

terakhir kata pembentuknya, dan (2) singkatan, yaitu dengan cara pengekalan

huruf pertama pada tiap kata. Jenis makna kosa kata slang meliputi makna

denotatif dan makna konotatif. Tujuan penggunaannya digunakan sebagai

kejenakan, sindiran, umpatan, keakraban, dan pernyataan.

Penelitian Nugroho (2015) memiliki persamaan dengan penelitian ini,

yaitu mengkaji slang atau bahasa gaul. Berkaitan dengan perbedaannya, terletak

pada fokus dan sumber data penelitian. Penelitian Nugroho (2015) berfokus pada

empat objek, yaitu bentuk, proses pembentukan, makna, dan tujuan

penggunaannya, sedangkan penelitian ini berfokus pada pembentukan dengan

pola pembentukan kata slangnya. Selain itu, data penelitian yang digunakan

Nugroho (2015) bersumber dari tuturan tertulis di komunitas JKBoss pada akun

twitter @JakartaKeras, sedangkan data penelitian ini bersumber dari tuturan

tertulis pada novel Ubur-Ubur Lembur karya Raditya Dika.

11
Penelitian berupa skripsi terakhir yang relevan dengan penelitian ini

adalah penelitian yang ditulis Husa (2017), mahasiswi Universitas Diponegoro,

yang berjudul Bentuk dan Pemakaian Slang pada Media Sosial Line (Akun

Batavia Undip). Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan bentuk, pola

pembentukan, dan pemakaian slang yang digunakan oleh grup Batavia Undip.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Data penelitian ini

meliputi tuturan langsung maupun tidak langsung yang bersumber dari para

anggota komunitas Batavia Undip. Data diperoleh menggunakan metode simak

dengan teknik simak libat cakap (SLC), teknik simak bebas libat cakap (SBLC),

teknik catat, dan teknik rekam (screenshot). Data dianalisis secara deskriptif dan

disajikan dengan metode penyajian formal dan metode penyajian informal.

Hasil penelitian ditemukan slang pada tuturan para anggota Batavia Undip

berbentuk kata dasar dan kata turunan. Slang itu dapat dibentuk berdasarkan pola

pembentukan kata itu, antara lain, (1) pola pembentukan perubahan struktur

fonologis, yang terdiri atas perubahan fonem dan pertukaan posisi fonem, (2) pola

pembentukan abreviasi, yang terdiri atas bentuk singkatan, kontraksi, akronim

serta pemenggalan, (3) pola pembentukan kata baru, dan (4) pola pembentukan

kata pelesetan. Berdasarkan pembentukan, ditemukan pola pembentukan slang

yang bersifat tetap dengan rumus K1V–K2V → K2V–VK1, dan K1V–K2VK3 →

K3V–KVK1.

Penelitian Husa (2017) memiliki persamaan dengan penelitian ini, yaitu

berusaha mengungkap pola pembentukan kata slang. Berkaitan dengan

perbedaannya, terletak pada fokus dan sumber data penelitian. Penelitian Husa

(2017) berfokus pada tiga objek, yaitu bentuk, pembentukan, dan pemakaian

12
slang, sedangkan penelitian ini berfokus pada jenis dan pola pembentukan kata

slang. Sumber data yang digunakan juga berbeda, data penelitian Husa (2017)

bersumber dari tuturan langsung dan tuturan tidak langsung dari para anggota

komunitas Batavia Undip, sedangkan data penelitian ini bersumber dari tutran

tertulis pada novel Ubur-Ubur Lembur karya Raditya Dika.

Berdasarkan identifikasi keseluruhan penelitian yang relevan dengan

penelitian ini, perbedaan yang mendasar sebagai bukti orisinalitas dari penelitian

ini terletak pada fokus penelitian, sumber data yang digunakan dan penerapan

hasil penelitian dalam kehidupan praktis, yaitu pengajaran bahasa. Penelitian ini

berfokus pada jenis dan pola pembentukan kata slang atau bahasa gaul.

Selanjutnya data penelitian ini bersumber dari tuturan tertulis pada novel Ubur-

Ubur Lembur karya Raditya Dika. Selain itu, hasil penelitian ini untuk

melengkapi belum terpenuhinya aspek variasi bahasa di dalam bahan ajar yang

digunakan kelas X SMA, yang diintegrasikan dalam KD 3.2 menganalisis isi dan

aspek kebahasaan dari minimal dua teks laporan hasil observasi, dan KD 4.2

mengkonstruksikan teks laporan dengan memerhatikan isi dan aspek kebahasaan

baik lisan maupun tulis.

2.2 Landasan Teori

Landasan teori merupakan dasar ilmiah yang menjadi acuan berpikir

dalam penelitian, sehingga penelitian yang dilaksanakan berlandaskan kebenaran

ilmiah yang telah teruji. Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu

(1) sosiolinguistik, (2) morfologi, (3) novel, (4) bahan ajar, dan (5) pembelajaran

bahasa Indonesia.

13
2.2.1 Sosiolinguistik

Pada awal abad ke-20, de Saussure (1916) menyebutkan bahwa bahasa

adalah suatu lembaga kemasyarakatan, sebagaimana juga perkawinan, pewarisan

harta, peninggalan, dan sebagainya (Chaer & Agustina, 2010, p. 2-3; Nababan,

1993, p. 1-2). Kemudian semakin disadari para ahli bahasa bahwa perlu diberikan

lebih banyak perhatian kepada dimensi kemasyarakatan bahasa. Dimensi

kemasyarakatan bukan hanya memberikan makna kepada bahasa, tetapi juga

menyebabkan terjadinya ragam-ragam bahasa yang bukan hanya sebagai petunjuk

perbedaan golongan kemasyarakatan penuturnya, tetapi juga memberikan indikasi

situasi berbahasa, serta mencerminkan tujuan, topik, kaidah-kaidah, dan modus

penggunaan bahasa.

Charles Morris (1946) membicarakan bahasa sebagai sistem lambang,

membedakan adanya tiga macam kajian bahasa berkenaan dengan fokus perhatian

yang diberikan. Kalau perhatian difokuskan pada hubungan antara unsur-unsur

bahasa dengan maknanya disebut semantik (semantics). Kalau fokus perhatian

diarahkan pada hubungan antarunsur bahasa disebut sintaktik (syntactics); ahli-

ahli bahasa memakai istilah linguistik, dan kalau fokus perhatian diarahkan pada

hubungan antara unsur-unsur bahasa dengan para penuturnya disebut pragmatik

(pragmatics). Fokus perhatian yang ketiga ini, yaitu kajian bahasa dengan dimensi

kemasyarakatan, khususnya mempelajari aspek-aspek sosial dari pemakainya dan

aturan pemakaiannya disebut sosiolinguistik (Chaer & Agustina, 2010, p. 3).

Sosiolinguistik merupakan ilmu interdisipliner antara sosiologi dan

linguistik (Chaer, 2014, p. 16). Istilah sosiolinguistik terdiri dari dua unsur, yaitu

sosio- dan linguistic. Linguistik adalah ilmu yang mempelajari atau

14
membicarakan bahasa, khususnya unsur-unsur bahasa (fonem, morfem, kata,

kalimat) dan hubungan antara unsur-unsur itu (struktur), termasuk hakekat dan

pembentukan unsur-unsur itu. Unsur sosio- adalah seakar dengan sosial, yaitu

yang berhubungan dengan masyarakat, kelompok-kelompok masyarakat, dan

fungsi-fungsi kemasyarakatan. Jadi, sosiolinguistik adalah studi atau pembahasan

dari bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat

(Nababan, 1993, p. 2).

Istilah sosiolinguistik ini baru muncul pada tahun 1952 dalam karya Haver

C. Currie yang menyarankan perlu adanya penelitian mengenai hubungan antara

perilaku ujaran dengan status sosial (Chaer & Agustina, 2010, p. 5). Jadi,

sosiolinguistik adalah subdisiplin linguistik yang mempelajari bahasa dalam

hubungan pemakaiannya di masyarakat. Sosiolinguistik dibicarakan pemakai dan

pemakaian bahasa, tempat pemakaian bahasa, tata tingkat bahasa, pelbagai akibat

adanya kontak dua buah bahasa atau lebih, dan ragam serta waktu pemakaian

ragam bahasa itu (Chaer, 2014, p. 16).

Sebagai objek dalam sosiolinguistik, bahasa dilihat atau didekati sebagai

sarana interaksi atau komunikasi dengan dimensi kemasyarakatan, seperti yang

dikemukakan Nababan (1993, p. 2) bahwa sosiolinguistik adalah pengkajian

bahasa dengan dimensi kemasyarakatan. Selain itu, menurut pandangan

sosiolinguistik, bahasa itu mempunyai ciri sebagai alat interaksi sosial dan sebagai

alat mengidentifikasikan diri (Chaer, 2010, p. 14). Sebagai alat interaksi manusia,

bahasa adalah suatu sistem yang bersifat sistematis dan sekaligus sistemis.

Sistematis, maksudnya, bahasa itu tersusun menurut suatu pola tertentu; tidak

tersusun secara acak atau sembarangan. Sementara sistemis, artinya, bahasa itu

15
bukan merupakan sistem tunggal, melainkan terdiri dari sejumlah sub-subsistem;

atau sistem bawahan.

Sosiolinguistik tidak akan terlepas dari persoalan hubungan bahasa dengan

kegiatan-kegiatan atau aspek-aspek kemasyarakatan, seperti yang dikemukakan

Kridalaksana (1974) yang mendefinisikan sosiolinguistik sebagai cabang

linguistik yang berusaha menjelaskan ciri-ciri variasi bahasa dan menetapkan

korelasi ciri-ciri variasi bahasa itu dengan ciri-ciri sosial kemasyarakatan (Chaer

& Agustina, 2010, p. 61). Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik

adalah cabang ilmu linguistik yang bersifat interdisipliner dengan ilmu sosiologi,

dengan objek penelitian hubungan antara bahasa dengan faktor-faktor sosial di

dalam suatu masyarakat tutur (Chaer & Agustina, 2010, p. 4).

2.2.1.1 Variasi Bahasa

Variasi bahasa merupakan bahasan pokok dalam studi sosiolinguistik,

sehingga Kridalaksana (1978) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai ilmu yang

mempelajari ciri-ciri variasi bahasa, serta hubungan di antara para penutur bahasa

dengan ciri fungsi variasi bahasa itu di dalam suatu masyarakat bahasa. Mengutip

pendapat Fishman (1972), Chaer dan Agustina (2010, p.3) mengatakan bahwa

sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi-fungsi variasi

bahasa, dan pemakai bahasa karena ketiga unsur ini selalu berinteraksi, berubah,

dan saling mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat tutur.

Bahasa mempunyai dua aspek mendasar, yaitu bentuk, baik bunyi dan

tulisan maupun strukturnya, dan makna, baik leksikal maupun fungsional dan

struktural. Bahasa itu dalam bentuk dan maknanya menunjukkan perbedaan-

16
perbedaan kecil ataupun besar antara pengungkapannya yang satu dengan

pengungkapan yang lain, sehingga menghasilkan keanekaragaman dalam bahasa

yang disebut variasi bahasa. Soeparno (2003, p. 55) berpendapat bahwa variasi

bahasa adalah keanekaragaman bahasa yang disebabkan oleh faktor tertentu.

Umpamanya antara satuan bunyi /a/ yang diucapkan seseorang dari waktu yang

satu ke waktu yang lain, atau lafal seseorang dari perkataan /tuliskan/ dari waktu

yang satu ke waktu yang lain. Perbedaan-perbedaan bentuk bahasa seperti itu dan

yang lain-lain yang disebut variasi bahasa (Nababan, 1993, p. 13).

Wardhaugh (1990) dikutip Jaelani (2014, p. 339) membedakan variasi

bahasa menjadi variasi regional dan variasi sosial. Hartman dan Stork (1972)

membedakan variasi berdasarkan kriteria (a) latar belakang geografi dan sosial

penutur, (b) medium yang digunakan, dan (c) pokok pembicaraan. Preston dan

Shuy (1979) membagi variasi bahasa, khususnya untuk bahasa Inggris Amerika

berdasarkan (a) penutur, (b) interaksi, (c) kode, dan (d) realisasi. Halliday (1970,

1990) membedakan variasi bahasa berdasarkan (a) pemakai, dan (b) pemakaian.

Mc David (1969) membagi variasi bahasa berdasarkan (a) dimensi regional, (b)

dimensi sosial, dan (c) dimensi temporal (Pateda, 2015, p. 62; Chaer & Agustina,

2010, p. 62).

Pakar lain, Nababan (1993, p. 14) membedakan dimensi variasi bahasa

berdasarkan (a) variasi geografis, (b) variasi sosiologis, (c) variasi fungsional, dan

(d) variasi perjalanan waktu. Soeparno (2003, p. 55) membagi variasi bahasa

berdasarkan (a) variasi kronologis, (b) variasi geografis, (c) variasi sosial, (d)

variasi fungsional, (e) variasi gaya/style, (f) variasi kultural, (g) variasi individual.

Chaer dan Agustina (2010, p. 62) membedakan variasi bahasa berdasarkan (a)

17
penutur, dan (b) penggunaannya. Pateda (2015, p. 62) membagi variasi bahasa

berdasarkan (a) tempat, (b) waktu, (c) pemakai, (d) situasi, (e) dialek yang

dihubungkan dengan sapaan, (f) status, dan (g) pemakaiannya.

Di samping itu, terdapat hal yang sebenarnya berbeda dari variasi bahasa,

tetapi kenyataannya tidak pernah dapat dipisahkan darinya, yaitu yang disebut -lek

(atau istilah lainnya, yaitu varian, varietas, ragam) (Soeparno, 2003, p. 55). Pada

kenyataannya bahasa itu kaya dengan ragam-ragam (variety) aktualisasinya,

seperti pendapat Soeparno (2003, p. 55), yang dimaksudkan dengan -lek adalah

wujud nyata dari suatu variasi. Manifestasi-manifestasi bahasa sangatlah jembar,

tampaknya beragam tanpa batas (infinite). Meskipun para penutur memakai

macam-macam bentuk yang berbeda, tetapi bentuk-bentuk itu merupakan satu

bahasa yang sama. Hal itu yang dimaksudkan dengan ragam bahasa (variety),

seperti pendapat C.A. Ferguson dan J.D. Gumperz (Alwasilah, 1990, p. 65;

Pateda, 2015, p. 61) yang mengatakan,

A variety is any body of human speech patterns which is


sufficiently homogeneous to be analysed by available
techniques of synchronic description and which has a
sufficiently large repertory of elements and their arrangements
or processes with broad enough semantic scope to function in
all normal contexts of communication.

Sebuah ragam bahasa adalah keseluruhan pola-pola ujaran


manusia yang cukup dan serbasama untuk dianalisis dengan
teknik-teknik pemerian sinkronik yang ada dan memiliki
perbendaharaan unsur-unsur yang cukup besar dan penyatuan-
penyatuannya atau proses-proses dengan cakupan semantik
yang cukup jembar untuk berfungsi dalam segala konteks
komunikasi yang normal.

18
Dari definisi itu dapat dilihat bahwa ada pola-pola bahasa (a) yang sama,

(b) dapat dianalisis secara deskriptif, (c) dibatasi oleh makna, dan (d) digunakan

oleh penuturnya untuk berkomunikasi (Pateda, 2015, p. 62).

Sebagai sebuah langue, sebuah bahasa mempunyai sistem dan subsistem

yang dipahami sama oleh semua penutur bahasa itu. Namun, karena penutur

bahasa yang heterogen, dengan latar belakang sosial dan kebiasaan yang berbeda,

mempunyai kelompok sosial, hidup dalam tempat dan waktu tertentu, serta

kegiatan interaksi sosial yang dilakukan pun sangat beragam, meskipun berada

dalam masyarakat tutur, maka wujud bahasa yang bersifat konkret, yaitu parole,

bahasa itu menjadi beragam. Umpamanya, kalau dibandingkan lafal bunyi /a/ atau

perkataan /tuliskan/ dalam percakapan dua penutur yang berlainan, akan lebih

jelas perbedaan-perbedaannya. Apalagi kalau kedua penutur itu datang atau

berasal dari (a) daerah yang berlainan, (b) kelompok atau keadaan sosial yang

berbeda, (c) situasi berbahasa dan tingkat formalitas yang berlainan, ataupun (d)

tahun atau zaman yang berlainan yang berlainan, maka akan lebih nyata

perbedaannya.

Perbedaan-perbedaan bahasa yang menghasilkan istilah-istilah yang

berlainan sehubungan dengan daerah asal penutur, kelompok sosial atau keadaan

sosial, situasi berbahasa atau tingkat formalitas, dan zaman penggunaan bahasa itu

yang disebut ragam bahasa (Nababan, 1993, p. 13-14).

Berkaitan dengan ragam bahasa, Alwasilah (1990, p. 65) membedakan

ragam bahasa berdasarkan (a) idiolek, (b) dialek, (c) sosiolek, (d) register, dan (e)

style. Nababan (1993, p. 14) membagi ragam bahasa berdasarkan (a) dialek, (b)

sosiolek, (c) fungsiolek, (d) bahasa yang lain-lain, dan (e) kronolek. Soeparno

19
(2003, p. 55-61) membedakan ragam bahasa berdasarkan (a) kronolek, (b)

dialek/dialek regional, (c) sosiolek, (d) fungsiolek/register, (e) ragam gaya/style,

(f) varietas kultural, dan (g) idiolek.

Sementara Chaer dan Agustina (2010, p. 62-68), membedakan ragam-

ragam atau varietas-varietas bahasa dilihat dari segi penuturnya terdiri atas (a)

idiolek, (b) dialek, (c) sosiolek, dan (d) kronolek, sedangkan ragam-ragam atau

varietas-varietas bahasa dilihat dari segi penggunaannya terdiri atas (a) bidang

penggunaan, (b) gaya atau tingkat keformalan, dan (c) sarana penggunaan. Hal itu

diperkuat oleh pendapat Halliday (1968, 1970, 1978, 1990) yang membedakan

ragam-ragam atau varietas-varietas bahasa menurut pemakainya disebut dialek,

dibedakan menjadi dialek regional yang bersifat geografis atau regional dan dialek

sosial (atau sosiolek) yang bersifat sosial. Sementara ragam-ragam atau varietas-

varietas bahasa menurut pemakaiannya disebut register, dibedakan menjadi

bidang (field), tenor (tenor), dan cara (mode). Bidang mengacu pada latar sosial

dan maksud komunikasi; tenor mengacu pada hubungan antara para peserta

komunikasi; dan cara mengacu pada sarana komunikasi (Chaer & Agustina, 2010,

p. 62; Suhardi, 2009, p. 16, Mahsun, 2017, p. 259).

2.2.1.1.1 Sosiolek

Variasi sosial merupakan variasi bahasa yang disebabkan oleh perbedaan

sosiologis. Realisasi variasi sosial ini berupa sosiolek. Sosiolek adalah ragam

bahasa yang sehubungan dengan kelompok sosial (Nababan, 1993, p. 14). Ragam

bahasa ini berkenaan dengan tingkat, golongan, status, dan kelas sosial para

penuturnya. Sehubungan dengan sosiolek, Soeparno (2003, p. 56-57)

20
mengemukakan ragam bahasa yang disebut akrolek, basilek, vulgar, slang,

kolokial (colloquial), jargon, argot, dan ken (cant). Ada juga yang menambahkan

dengan yang disebut bahasa prokem. Ada juga yang menambahkan dengan yang

disebut bahasa prokem (Chaer & Agustina, 2010, p. 66).

Ragam ini menyangkut masalah pribadi para penuturnya, seperti usia,

pendidikan, seks, pekerjaan, tingkat kebangsawanan, dan keadaan sosial ekonomi.

Korelasi sosiolek terhadap masalah pribadi para penuturnya ini dijelaskan sebagai

berikut.

Berdasarkan usia, dapat dilihat perbedaan ragam bahasa yang digunakan

oleh kanak-kanak, para remaja, orang dewasa dan orang lansia (lanjut usia).

Perbedaan ragam bahasanya bukanlah yang berkenaan dengan isinya; isi

pembicaraan, melainkan perbedaan dalam bidang morfologi, sintaksis, dan

kosakata.

Berdasarkan pendidikan, dapat dilihat adanya variasi sosial ini. Ragam

bahasa yang digunakan oleh para penutur yang berpendidikan tinggi akan berbeda

dengan para penutur yang berpendidikan menengah, rendah, atau yang tidak

berpendidikan sama sekali. Perbedaannya dalam bidang kosakata, pelafalan,

morfologi, dan sintaksis.

Berdasarkan seks (jenis kelamin), penutur dapat pula dilihat adanya dua

jenis ragam bahasa. Percakapan yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswi atau

ibu-ibu akan berbeda dengan percakapan yang dilakukan oleh sekelompok

rnahasiswa atau bapak-bapak. Hal ini dapat juga dicatat adanya ragam bahasa

yang digunakan oleh para waria dan kaum gay, dua kelompok manusia yang

mempunyai penyimpangan seks (Chaer & Agustina, 2010, p. 65).

21
Perbedaan pekerjaan, profesi jabatan, atau tugas para penutur dapat pula

menyebabkan adanya variasi sosial. Ragam bahasa yang digunakan para buruh

atau tukang, para pedagang kecil, para pengemudi kendaraan umum, para guru,

para mubalig, dan para pengusaha akan berbeda antara satu dengan lainnya.

Perbedaan bahasanya terutama dikarenakan lingkungan tugas dan kegiatan atau

pekerjakan. Perbedaan ragam bahasanya terutama tampak pada bidang kosakata

yang digunakan.

Di dalam masyarakat tutur yang (masih) mengenal tingkat-tingkat

kebangsawanan dapat pula dilihat ragam bahasa yang berkenaan dengan tingkat-

tingkat kebangsawanan itu. Bahasa Jawa, bahasa Bali, dan bahasa Sunda

mengenal ragam kebangsawanan ini, tetapi bahasa Indonesia tidak. Bahasa

Melayu dulu ada yang disebut bahasa raja-raja, yang diperbedakan dengan bahasa

umum terutama dari bidang kosakatanya. Orang biasa tidur, mandi, dan mati,

maka raja-raja beradu, bersiram, dan mangkat. Ragam bahasa berkenaan dengan

tingkat kebangsawanan ini dalam bahasa Jawa disebut undak usuk atau dalam

bahasa Bali disebut sor singgih.

Keadaan sosial ekonomi para penutur dapat juga menyebabkan adanya

ragam bahasa. Pembedaan kelompok masyarakat berdasarkan status sosial

ekonomi ini tidak sama dengan pembedaan berdasarkan tingkat kebangsawanan.

Sebab dalam zaman modern ini pemeroleh status sosial ekonomi yang tinggi tidak

lagi identik dengan status kebangsawanan yang tinggi. Bisa saja terjadi orang

yang berdasarkan keturunan memiliki status kebangsawanan yang tinggi, tetapi

tidak memiliki status sosia1 ekonomi yang tinggi. Sebaliknya, tidak sedikit yang

tidak berketurunan bangsawan, tetapi kini memiliki status sosial ekonomi yang

22
tinggi. Penelitian yang telah dilakukan oleh Labov menunjukkan adanya ragam

bahasa berkenaan dengan status sosial ekonomi ini. Malah telah dibuktikan pula

adanya korelasi antara tingkat sosial ekonomi itu dengan tingkat penguasaan

bahasa.

2.2.1.1.1.1 Slang

Slang adalah wujud atau realisasi variasi sosial yang bersifat khusus dan

rahasia, artinya, variasi ini digunakan oleh kalangan tertentu yang sangat terbatas,

dan tidak boleh diketahui oleh kalangan di luar kelompok itu. Oleh karena itu,

sebagai langkah menjaga kerahasiaannya, kosakata yang digunakan dalam slang

ini selalu diubah atau berubah-ubah, maka slang bersifat temporal (Soeparno,

2003, p. 56; Chaer & Agustina, 2010, p. 67). Namun, kebiasaan bahasa (linguistic

habits) seseorang atau kelompok akan diketahui pihak lain. Dengan kata lain,

kebiasaan-kebiasaan itu dengan sendirinya akan diasosiasikan pihak lain dengan

seseorang atau kelompok itu, sehingga mengakibatkan slang tidak hanya

digunakan oleh kelompok-kelompok sosial tertentu, tetapi slang lebih umum telah

digunakan para kaula muda, meskipun kaula tua pun ada pula yang

menggunakannya.

Hal itu sejalan dengan pendapat dari Kridalaksana (2011, p. 225) bahwa

slang adalah ragam bahasa tak resmi yang dipakai oleh kaum remaja atau

kelompok-kelompok sosial tertentu untuk komunikasi intern sebagai usaha supaya

orang-orang kelompok lain tidak mengerti; berupa kosakata yang serba baru dan

berubah-ubah.

23
Di kalangan remaja Indonesia, slang lebih dikenal dengan istilah bahasa

gaul, yang penggunaannya dikenalkan para remaja Jakarta (Noehilasari, 2014, p.

1). Definisi itu sejalan dengan pendapat Kridalaksana (2011, p. 25-26) yang

merumuskan bahasa gaul adalah ragam nonstandard bahasa Indonesia yang lazim

di Jakarta pada tahun 1980-an hingga abad ke-21 ini yang menggantikan bahasa

prokem yang lebih lazim pada tahun-tahun sebelumnya; ragam ini semula

diperkenalkan oleh generasi muda yang mengambilnya dari kelompok waria dan

masyarakat terpinggir lain. Sintaksis dan morfologi ragam ini memanfaatkan

sintaksis dan morfologi bahasa Indonesia dan dialek Betawi.

Prestise slang atau bahasa gaul ini semakin kuat dengan digunakannya

ragam bahasa ini oleh para pembawa acara di stasiun televisi. Bahkan slang ini

biasa pula digunakan oleh orang-orang tingkat tinggi. Beberapa petinggi dan

pengamat tampak mulai gemar menggunakan slang itu di sela-sela bahasa

Indonesia dalam acara-acara gelar wicara (talkshow). Maka dapat disimpulkan

bahwa slang juga dipakai oleh orang-orang tingkat tinggi—bukan hanya milik

orang-orang rendahan/pinggiran (marginal), atau tak berpendidikan. Hal itu

sejalan dengan pendapat dari Hartmann dan Stork (1972) yang dikutip Alwasilah,

1990, p. 57).

A variety of speech characterized by newly coined and rapidly


changing vocabulary, used by the young or by social and
professional groups for ‘in group’ communication and thus
tending to prevent understanding by the rest of the speech
community.

Satu variasi ujaran yang dicirikan dengan kosakata yang baru


ditemukan dan cepat berubah, dipakai oleh kaula muda atau
kelompok-kelompok sosial dan profesional untuk komunikasi
‘di dalam’, jadi cenderung untuk tidak diketahui oleh pihak lain
dalam masyarakat ujaran.

24
Mulanya istilah slang memang diacukan pada kosakata khusus dalam

berbagai kejahatan untuk tidak diketahui atau dimengerti orang banyak. Sifatnya

yang khusus dan rahasia itu, maka timbul kesan bahwa slang adalah bahasa

rahasianya para pencoleng dan para penjahat, atau bahasa khusus dalam berbagai

kejahatan. Padahal sebenarnya tidaklah demikian, kata-kata atau frase-frase slang

serba baru dan sering kali berubah menyesuaikan dengan gagasan dan kebiasaan

baru yang tumbuh dalam masyarakat. Hal itu sejalan dengan pendapat dari Pei dan

Gaynor (1954) yang dikutip Alwasilah (1990, p. 56-57).

A style of language in faitly common use, produced by popular


adaptation and extension of the meaning of existing words and
by coining new words with disregard for scholastic standards
and linguistic principles of the formation of words; generally
peculiar to certain classes and social or age groups.

Suatu bentuk bahasa dalam pemakaian umum, dibuat dengan


adaptasi yang populer dan pengluasan makna dari kata-kata
yang ada dan dengan menyusun kata-kata baru tanpa
memperhatikan standar-standar skolastik dan kaidah-kaidah
linguistik dalam pembentukan kata-kata; pada umumnya
terbatas pada kelompok-kelompok sosial atau kelompok usia
tertentu.

Kata-kata slang yang dipakai secara lebih luas bisa menjadi kosakata

umum dan pemakainya tidak lagi mengenal asal mula kata-kata tersebut. Misalnya

seperti yang dikemukakan Robins (1992) yang telah diterjemahkan Djajanegara

(1992, p. 496). Robins (1992) mengemukakan bahwa slang bersajak di London,

sepasang kata sering diganti dengan satu kata, dan kata kedua bersajak dengan

kata asalnya, misalnya trouble and strife ‘wife (istri)’; rabbit and pork ‘talk

(berbicara)’; bird lime ‘time (waktu (yang dihabiskan di penjara))’; kemudian kata

kedua yang bersajak dihilangkan.

25
Banyak penutur bahasa Inggris (Britania), menggunakan kata rabbit (on)

untuk talk (to much) ‘berbicara (terlalu banyak)’ dan kata-kata tuturan serupa

dalam bahasa sehari-hari. Kaum muda, khususnya di lingkungan universitas pada

akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, mengganti nomina tertentu dengan bentuk

serupa berakhiran -er atau -gger, misalnya nogger (agnostik), dan variasi

ungkapan wager pager bagger (waste paper basket ‘tempat sampah’). Bentuk-

bentuk ini, soccer dan rugger masih bertahan dan menjadi istilah umum untuk

menggantikan istilah formalnya, yaitu Association football dan Rugby football.

Contoh lain slang dalam bahasa Inggris (Amerika) seperti yang dikutip

Alwasilah (1990, p. 57-58) dari Fromkin dan Rodman (1983) yaitu spaced out,

right on, hang up, dan rip off, (kata lama dengan makna baru), pig dan fuzz

(policeman), rop, cool, dig, stoned, bread, dan split. Sementara contoh kosakata

bahasa Indonesia yang berasal dari slang dan sekarang lazim dipakai, misalnya bis

(berasal dari vehiculum omnibus), oto (berasal dari auto), taksi (berasal dari taxi

cab), bom-H (berasal dari bom hidrogenium), rapi jali, mana tahan, O.K. boss,

salome, ada aja, dan ungkapan eh ketemu lagi (Alwasilah, 1990, p. 58).

1. Karakteristik Slang

Terdapat dua situasi dalam pemakaian bahasa di dalam masyarakat, yaitu

resmi dan tidak resmi. Situasi tidak resmi itu akan memunculkan suasana

penggunaan gaya bahasa tidak resmi atau informal style. Kaidah dan aturan dalam

bahasa baku tidak lagi diperhatikan. Prinsip yang dipakai dalam informal style

adalah asalkan mitra bicara bisa mengerti pesan yang disampaikan. Situasi

semacam ini dapat terjadi pada situasi komunikasi remaja di tempat-tempat

26
keramaian atau pusat perbelanjaan. Satu hal yang mencirikan informal style ini

yaitu seringnya penggunaan slang.

Alwasilah (1990, p. 56) menyatakan bahwa penggunaan slang adalah

memperkenalkan kata-kata baru, jadi memperkaya kosakata bahasa dengan

mengomunikasikan kata-kata lama dengan makna baru. Kosakata yang sama

sekali baru sangat jarang ditemui, tetapi sering menggunakan kata lama dengan

arti yang sama sekali baru. Di samping itu, D. Firman, dkk. (2008, p. 14) juga

menuturkan bahwa kosakata slang dapat berupa pemendekan kata dan pembalikan

tata bunyi sehingga kosakata yang lazim dipakai di masyarakat menjadi aneh,

lucu, bahkan ada yang berbeda dari makna sebenarnya.

Slang atau bahasa gaul memiliki karakteristik tersendiri. Kosakata slang

memiliki ciri yang singkat, berubah-ubah, dan kreatif. Kata-kata yang digunakan

cenderung pendek, sementara kata yang panjang akan diperpendek melalui proses

morfologi atau menggantinya dengan kata yang lebih pendek. Dengan

menggunakan struktur yang pendek, pengungkapan makna menjadi lebih cepat

yang sering membuat pendengar di luar kelompoknya mengalami kesulitan untuk

memahaminya. Selain proses morfologis, slang memiliki kosakata khusus yang

kurang beraturan. Oleh karena itu, untuk mengetahui dan memahami slang,

penutur harus berupaya untuk menghafal setiap kali muncul kosakata baru.

2. Jenis-jenis Slang

Menurut Sumarsono dan Partana (Laili, 2012, p. 3-4) berdasarkan

bentuknya, slang dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis, yaitu prokem,

jargon, argot, kolokial (colloquial), dan ken (cant).

27
a. Prokem

Salah satu tutur remaja yang khas dan muncul di Jakarta yaitu bahasa

prokem. Meskipun bahasa prokem itu sekarang dikatakan menjadi milik remaja di

Jakarta, sebenarnya pencipta aslinya adalah para pencoleng, pencopet, bandit, dan

sebangsanya, atau disebut kaum preman. Hal itu sejalan dengan pendapat

Kridalaksana (2011, p. 28) yang menyatakan bahasa prokem berasal dari bahasa

khusus yang digunakan oleh para narapidana.

Bahasa prokem merupakan jenis slang yang termasuk di dalam variasi

sosial yang bersifat khusus dan rahasia. Variasi ini digunakan oleh kalangan

tertentu yang sangat terbatas, dan tidak boleh diketahui oleh kalangan di luar

kelompok itu. Faktor kerahasian ini menyebabkan pula kosakata yang digunakan

dalam prokem sering kali berubah, dan bersifat temporal. Slang ini memang lebih

merupakan bidang kosakata daripada bidang fonologi maupun gramatika. Slang

lebih umum digunakan oleh para kaula muda, meski kaula tua pun ada pula yang

menggunakannya. Hal ini yang oleh Rahardjo dan Loir (1988) dan Kawira (1990)

disebut bahasa prokem dan dapat dikategorikan sebagai slang (Chaer & Agustina,

2010, p. 67).

Bahasa prokem atau biasa juga disebut bahasa sandi, yaitu bahasa yang

dipakai dan digemari oleh kalangan remaja tertentu. Sintaksis dan morfologi

bahasa prokem memanfaatkan sintaksis dan morfologi bahasa Indonesia atau

dialek Betawi. Ada banyak ragam bentukan bahasa prokem. Saleh (2007)

merumuskan metode membentuk atau memodifikasi kata, yaitu pembubuhan

awalan ko-, kombinasi e + ong, dan pembubuhan sisipan pa/pi/pu/pe/po (D.

Firman, dkk., 2008, p. 12).

28
Sumarsono dan Partana (2002, p. 154-158) juga merumuskan

pembentukan bahasa sandi itu, di antaranya yaitu (1) sebagian memakai

penyisipan -ok- di tengah kata yang sudah disusutkan, (2) variasi penyisipan -ok-

(menghilangkan vokal terakhir, kemudian disisipi -ok- di belakang tiga fonem

pertama), (3) penyisipan konsonan V + vokal, (4) penggantian suku akhir dengan

–sye, (5) ragam walikan (membalik fonem-fonem dalam kata atau metatesis pada

tingkat suku kata), (6) variasi ragam walikan (membalik fonem-fonem dalam kata

disertai penyisipan bunyi-bunyi tertentu dalam kata itu yang diubah), (7)

singkatan-singkatan dari kata-kata umum, singkatan atau akronim, (8) singkatan

berwujud akronim (singkatan berbentuk kata), (9) penafsiran kepanjangan atau

etimologi dari kata yang sudah ada, dan (10) kata-kata dialek Betawi, dan (11)

kosakata khusus yang tidak berumus.

Berkaitan dengan ragam bentukan bahasa prokem, Saleh (2007) dalam

membentuk atau memodifikasi kata dengan rumus pembentuk berupa

pembubuhan sisipan pa/pi/pu/pe/po (D. Firman, dkk., 2008, p. 12). Setiap kata

dimodifikasi dengan penambahan pa/pi/pu/pe/po pada setiap suku katanya.

Maksudnya, bila suku kata itu bervokal a, maka dibubuhi pa; bila suku kata itu

bervokal i, maka dibubuhi pi; bila suku kata itu bervokal u, maka dibubuhi pu;

bila suku kata itu bervokal e, maka dibubuhi pe; bila suku kata itu bervokal o,

maka dibubuhi po. Misalnya, sipiapa (siapa), dipi manapa (di mana), kapamupu

(kamu).

Selanjutnya, Saleh merumuskan pembentukan bahasa prokem dengan

rumus pembentuk berupa pembubuhan awalan ko-. Awalan ko- sebagai dasar

pembentukan kata. Pembentukannya yaitu setiap kata dasar yang diambil hanya

29
suku kata pertamanya, tetapi suku kata pertama ini huruf terakhirnya wajib

konsonan. Misalnya, kata preman, yang diambil bukannya pre tapi prem. Setelah

itu dibubuhi awalan ko-, maka menjadi koprem. Kemudian kata koprem ini

dimodifikasi dengan mengubah posisi konsonan kata, sehingga menjadi prokem.

Hal ini, Sumarsono dan Partana mempunyai pandangan yang berbeda mengenai

rumus pembentukan bahasa prokem ini. Meskipun demikian, tetapi konsep yang

dihasilkan sama. Sumarsono dan Partana (2002, p. 154) merumuskan

pembentukan bahasa prokem dengan rumus pembentuk sebagai berikut.

1) Sebagian memakai penyisipan -ok- di tengah kata yang sudah disusutkan. Kata

prokem itu sendiri berasal dari kata preman.

(a) Setiap kata diambil 3 fonem (gugus konsonan dianggap satu) pertama,

yaitu preman menjadi prem-;

(b) Bentuk itu disisipi -ok-, di belakang fonem (atau gugus fonem) yang

pertama, menjadi pr - ok - em atau prokem. Contoh lainnya, yaitu.

bapak  bap  b -ok- ap  bokap


ngumpet  ngum  ng -ok- um  ngokum ‘bersembunyi’

Rumusan itu sejalan dengan pendapat dari Kridalaksana (2011, p. 28)

yang merumuskan bahasa prokem ditandai oleh kata-kata Indonesia atau kata

dialek Betawi yang dipotong dua fonemnya yang paling akhir kemudian

disisipi bentuk -ok- di depan fonem terakhir yang tersisa, misalnya kata bapak

dipotong menjadi bap, kemudian disisipi -ok-, jadilah kata prokem bokap.

Rumus pembentukan bahasa prokem ini mirip dengan bahasa

rahasianya kaum waria dan gay di Surabaya dan tutur remaja di Malang. Pada

30
bahasa waria dan gay ada rumus pembentuk sebagai berikut (Sumarsono &

Partana, 2002, p. 154).

(a) Setiap kata diambil 3 fonem, misalnya banci diambil ban-

(b) Vokal di tengah diubah menjadi /e/, menjadi ben-;

(c) Bentuk terakhir itu lalu ditambah dengan -ong, menjadi bencong.

Rumus pembentuk itu sejalan dengan rumusan dari Saleh (2007)

dengan rumus pembentuknya berupa kombinasi e+-ong (D. Firman, dkk.,

2008, p. 12). Kata bencong merupakan bentukan dari kata banci yang disisipi

bunyi e dan dibubuhi akhiran -ong. Huruf vokal pada suku kata pertama

diganti dengan e, dan huruf vokal pada suku kata kedua diganti -ong.

Ragam bentukan bahasa prokem lainnya dari Sumarsono dan Partana

(2002, p. 151-159) adalah sebagai berikut.

2) Variasi penyisipan -ok-. Variasi ini dibentuk dengan menghilangkan vokal

terakhir, kemudian disisipi -ok- di belakang 3 fonem pertama, misalnya.

begitu  begit  beg -ok- it begokit


segini  segin  seg -ok- in segokin

3) Penyisipan konsonan V + vokal. Vokal di belakang v itu sesuai dengan vokal

suku kata yang disisipi. Konsonan v + vokal itu ditempatkan di belakang

setiap suku kata, baik dalam bahasa daerah maupun bahasa Indonesia,

misalnya.

mata = ma + ta  (ma + va) + (ta + va)  mavatava


mati = ma + ti  (ma + va) + (ti + vi)  mavativi
matang = ma + tang  (ma + va) + (ta + va + ng)  mavatavang

4) Penggantian suku akhir dengan –sye.

31
Setiap kata diambil hanya suku pertamanya saja, suku yang lain dihilangkan,

diganti dengan -sye, misalnya.

kunci  kunsye
tambah  tamsye

Jika suku kata pertama terbuka, konsonan pertama pada suku berikutnya

diambil sehingga sebelum ditambah -sye suku kata itu tetap tertutup, misalnya.

sepeda  sepsye

5) Ragam walikan. Dasarnya bisa bahasa Jawa atau bahasa Indonesia. Aturan

umum pembentukan dalam bahasa rahasia ini ialah kata-kata dibaca terbalik

menurut urutan fonem dari belakang (Jawa = Walikan).

mata  atam
sari  iras
tidak  kadit

Model lain adalah metatesis pada tingkat suku kata, misalnya.

besok  sobek
piring  riping
bener  neber

6) Variasi ragam walikan. Model pembalikan divariasikan dengan disertai (a)

penghilangan fonem, (b) penambahan fonem, (c) penggantian fonem, (d)

penyisipan fonem-fonem tertentu dalam kata itu yang diubah), dan (e) model

pembalikan pada tingkat suku kata yang disertai penghilangan fonem dan

penambahan tanda petik (’). Secara berurutan dicontohkan sebagai berikut.

(a) lihat  tail


(b) utang  genatu (bukan ngatu)
(c) wedok  kodeb (bukan kodew)
(d) tidak  kadit  kadodit
sehat  tahes  tahohes

32
nakam  naskim  naskokim
raija  ojir  ajojir
(e) mabok  baok
habis  ba’is
ambil  ba’il

7) Singkatan dari kata-kata umum. Singkatan-singkatan yang dimunculkan dari

kata-kata umum, singkatan atau akronim, misalnya.

tapol  tahu polos (bukan tahanan politik)


AC  adegan cinta
BP7  bapak pergi pagi pulang petang penghasilan pas-pasan
HUT  hanya untuk cinta
PKI  perawan katek item
bodo  bosan tapi doyan
botol  bodoh dan tolol
fanta  fanatik tapi agresif

8) Singkatan yang berwujud akronim (singkatan yang berbentuk kata) yang

dilakukan orang dewasa, khususnya para pejabat, misalnya.

Manipol  Manifesto Politik


Manikebu  Manifesto Kebudayaan
Menko  Menteri Koordinator
tubapi  tujuh bahan pokok indoktrinasi
koti  komandan tertinggi

Ada juga akronim yang kemudian sekarang tidak dirasakan (karena

sudah banyak orang yang tidak mengetahuinya) sebagai akronim, yaitu bemo.

Kata ini muncul ketika pada tahun 1960-an ada gagasan untuk meningkatkan

taraf hidup tukang becak dengan cara mengubah becak menjadi kendaraan

bermotor kecil, yang akan disebut becak motor. Kata ini kemudian disingkat

menjadi bemo. Semula mengacu kepada kendaraan kecil beroda tiga (satu di

depan dan dua di belakang), tetapi di daerah-daerah bemo mengacu juga pada

kendaraan untuk angkutan kota yang beroda empat.

33
Akronim-akronim itu kadang-kadang sulit untuk diucapkan atau terasa

asing bagi telinga orang Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah

penggunaan gugus konsonan yang tidak biasa ada dalam bahasa Indonesia,

seperti tj (Ditjen), kb (Dikbud), pk (kopkamtib), nw (Menwa), tb (litbang).

Dari segi sosiolinguistik, gejala bahasa ini berkaitan dengan kelompok sosial

tertentu dalam masyarakat Indonesia, yaitu kelompok-kelompok pejabat

pemerintah karena singkatan seperti ini muncul dari penguasa, akronim-

akronim itu menjadi istilah formal dan dianggap baku.

9) Penafsiran kepanjangan atau etimologi dari kata yang sudah ada. Kalangan

remaja sendiri dalam membuat akronim dengan tidak menciptakan kata baru,

melainkan menggunakan kata-kata lama yang sudah ada dan dikenal dalam

bahasa Indonesia, menjadi akronim yang agak menggelitik, nakal, atau porno.

Misalnya kondisi dan domisili disingkat kondom. Karena ungkapan kondisi

dan domisili itu sebenarnya tidak bisa atau jarang ada dalam sebuah kalimat,

maka bisa saja orang akan menafsirkan lain. Tafsiran itu ialah orang bukan

membuat akronim, melainkan menguraikan atau memanjangkan kata yang

memang singkat atau pendek, misalnya.

semampai  semester tidak sampai


kalap  nakal pada waktu gelap
pendekar  pendek tapi kekar
tante  tanpa tekanan
rindu  mikirin duit

Penguraian dan penafsiran ini hampir mirip dengan yang dalam bahasa

Jawa dikenal dengan kerata basa. Dengan cara ini orang menafsirkan kata-

kata, lalu dicari-cari kepanjangan dari kata itu, agar tampak logis, misalnya.

piring  sepi nek miring ‘sepi kalau miring’

34
dubang  idu abang ‘ludah merah’
kerikil  keri ing sikil ‘geli di kaki’

Kerata basa diciptakan oleh orang-orang tua, sedangkan kata-kata

seperti semampai tersebut diciptakan oleh para remaja. Remaja memang suka

memberontak, dan hal ini tergambar dalam ekspresi tuturnya. Pemberontakan

itu tercermin pada penggunaan tutur nonbaku, bahkan mungkin pada

penciptaan bentuk-bentuk nonbaku. Oleh karena itu, bahasa prokem ini sulit

untuk diprediksikan, sebab proses pembentukannya yang bersifat seporadis

atau serampangan, sehingga bentuk kata asli yang lazim digunakan

masyarakat umum berubah menjadi aneh, lucu, terasa asing, dan tidak mudah

untuk dipahami masyarakat di luar kelompoknya.

10) Kata-kata dialek Betawi. Salah satu ciri bahasa remaja adalah kreativitas.

Ragam seperti itu tidak bisa dilihat hanya dari sudut linguistik melainkan dari

segi sosialnya. Kemunculan kata-kata baru itu, dilihat dari segi kebahasaan,

menambah kekayaan perbendaharaan kata, setidaknya untuk kalangan remaja.

Beberapa kata yang berasal dari dialek Betawi yang sudah meluas, tidak hanya

pada kalangan remaja saja, dan tidak hanya di kalangan remaja Jakarta. Kata-

kata hasil kreativitas remaja yang termasuk meluas adalah cowok ‘pemuda’

dan cewek ‘gadis’, caem ‘cantik, tampan’, badung ‘nakal’, bawel ‘cerewet’,

berlagu ‘berlagak’, berlagak pilon ‘pura-pura tak tahu’, dan kreativitas lain

barangkali mengarah kepada ragam bahasa yang menggelitik telinga orang.

11) Di samping itu, ada pula kosakata khusus yang rumusannya tidak ada,

misalnya. amsyong (celaka, hancur), asyci (asyik, nikmat, menyenangkan),

gout atau ogut (saya), item (kopi), ji (kamu), dan tikus (polisi).

35
b. Jargon

Jargon adalah wujud variasi sosial yang pemakainya terbatas pada

kelompok-kelompok sosial tertentu. Istilah-istilah yang dipakai sering tidak

dimengerti oleh masyarakat umum dan masyarakat di luar kelompoknya.

Kelompok sosial pemakai Jargon ini biasanya menggunakan istilah-istilah khusus,

tetapi tidak bersifat rahasia (Soeparno, 2003, p. 57; Chaer & Agustina, 2010, p.

68). Dengan kata lain, Jargon adalah pemakaian bahasa dalam setiap bidang

kehidupan tertentu, seperti bidang keahlian, jabatan, lingkungan pekerjaan, dan

sebagainya. Masing-masing bidang itu mempunyai bahasa khusus yang sering

tidak dimengerti oleh kelompok lain (Kridalaksana, 2011, p. 98-99; Pateda, 2015,

p. 82).

Definisi itu sejalan dengan Hartmann dan Stork (1972) yang

mengemukakan “A set of terms and expressions used by a social or accupational

group; but not used and often not understood by the speech community as a

whole”. Artinya seperangkat istilah-istilah dan ungkapan-ungkapan yang dipakai

satu kelompok sosial atau kelompok pekerja, tapi tidak dipakai dan sering tidak

dimengerti oleh masyarakat ujaran secara keseluruhan (Alwasilah, 1990, p. 61).

Dalam disipin ilmu, profesi, perdagangan, dan jabatan selalu ada seperangkat

istilah yang sering kali dipergunakan dalam lingkungan kelompoknya sendiri,

sedangkan orang di luar kelompoknya (outsider) tidak mengerti. Misalnya

kelompok tukang batu, montir, kernet dan sopir, guru bahasa, dan sebagainya.

Umpamanya, kelompok montir atau perbengkelan terdapat ungkapan-

ungkapan, seperti roda gila, didongkrak, dices, dibalans, dan dipoles. Kelompok

tukang batu dan bangunan pun ada ungkapan-ungkapan, seperti disipat, diekspos,

36
didiku, dan ditimbang. Kelompok guru bahasa atau peminat linguistik juga

memiliki jargon-jargon linguistik, seperti fonem (phoneme), morfem (morpheme),

sintaksis (syntax), semantik (semantics), komunitas bahasa (speech community),

dan sebagainya. Kalau mahasiswa bahasa sewaktu mengobrol dengan mahasiswa

kedokteran menggunakan istilah-istilah linguistik, besar kemungkinan mahasiswa

kedokteran tidak mengerti semua itu. Begitu juga sebaliknya. Bila mahasiswa

kedokteran menggunakan istilah-istilah kedokteran, besar kemungkinan

mahasiswa bahasa tidak akan mengerti istilah-istilah tersebut.

Tadinya jargon dipakai secara terbatas pada kelompok-kelompok kecil,

kemudian berangsur-angsur dipergunakan kelompok besar karena disebarluaskan

oleh orang atau kelompok yang terkenal melalui berbagai media popular. Hal itu

sejalan dengan pendapat dari Sumarsono dan Partana (Laili, 2012, p. 3) bahwa

jargon merupakan istilah atau ungkapan berupa kata atau kalimat pendek yang

dipopulerkan oleh orang atau kelompok yang terkenal melalui media populer,

seperti televisi, radio, perfilman, koran, majalah, novel. Ungkapan ini dapat pula

berupa reklame/iklan, potongan lirik lagu, dialog dalam film atau gaya bicara dari

tokoh masyarakat atau seorang pesohor atau selebriti, dan digunakan sebagai

publikasi yang ditujukan untuk kalangan remaja. Misalnya saja jargon “So what

gitu lho” yang dipopulerkan oleh Saykoji. Ungkapan itu merupakan judul dan

potongan lirik lagu hip-hopnya.

c. Argot

Argot adalah seperti yang dikemukakan Certa (2001) “L’argot est une

langue familière et originale inventée par un milieu fermé et dont de nombreux

mots passent dans la langue commune”. Artinya argot adalah suatu bentuk bahasa

37
keakraban dan bahasa unik yang diciptakan oleh kalangan terbatas di mana

banyak kosakata argot yang diserap ke dalam bahasa umum (Andika, 2016, p. 15).

Selanjutnya diperkuat pendapat dari Sumarsono dan Partana (Laili, 2012,

p. 4) yang menyatakan bahwa argot merupakan dialek dari suatu golongan,

biasanya berhubungan dengan lingkungan pekerjaan atau profesi. Misalnya dialek

dalam lingkungan politik, bidang hukum, bidang ekonomi, bidang sastra dan

bidang-bidang lainnya. Hal itu sejalan dengan pemikiran Soeparno (2003, p. 57)

dan Chaer dan Agustina (2010, p. 68) yang menyatakan bahwa argot adalah

wujud variasi bahasa yang pemakaiannya terbatas pada profesi-profesi tertentu

dan bersifat rahasia. Dengan kata lain, argot dapat diartikan sebagai slang profesi.

Asal mula kata argot pada awal abad ke-17, seperti yang dikutip

Rahmawati (2017, p. 9) dari Merle (2000) yang menerangkan bahwa argot bukan

merupakan sebuah bahasa, malainkan merujuk pada suatu populasi, yaitu

korporasi pengemis. Oleh karena itu, bahasa argot pada awalnya dipakai oleh

golongan para pengemis dan pencuri di Prancis.

Hal itu sejalan dengan pendapat dari Kridalaksana (2011, p. 19) yang

menyatakan bahwa argot adalah bahasa dan perbendaharaan kata suatu kelompok

orang, seperti bahasa para pencuri, pencopet, penggarong, dan sebagainya.

Kekhususan argot terletak pada kosakatanya. Umpamanya dalam dunia kejahatan

(penggarong, pencopet, dan pencuri) pernah digunakan ungkapan seperti barang

dalam arti ‘mangsa’, kacamata dalam arti ‘polisi’, daun dalam arti ‘uang’, gemuk

dalam arti ‘mangsa besar’, dan tape dalam arti ‘mangsa yang empuk’.

38
d. Kolokial

Soeparno (2003, p. 57) mengemukakan bahwa kolokial (colloquial) adalah

bahasa percakapan sehari-hari yang biasanya dipergunakan oleh kelompok sosial

kelas bawah. Selanjutnya, Sumarsono dan Partana (Laili, 2012, p. 4)

mengemukakan bahwa kolokial (colloquial) adalah bahasa nonformal atau tidak

resmi, juga disebut sebagai bahasa sehari-hari. Chaer dan Agustina (2010, p. 67)

mengemukakan kolokial adalah ragam sosial yang digunakan dalam percakapan

sehari-hari. Kolokial (Inggris: colloquial) adalah bahasa yang dipakai sehari-hari

oleh masyarakat yang tinggal di daerah tertentu. Kolokial biasa juga disebut

bahasa sehari-hari, bahasa percakapan, dan kadang-kadang disebut bahasa pasar

(Pateda, 2015, p. 65).

Slang ini berkelindan dengan kolokial (colloquial). Kolokial berasal dari

bahasa Latin colloquium (conversation). Jadi, batasan kolokial (colloquial) adalah

kata atau frase yang lazim dipakai dalam percakapan, tidak dalam bahasa tulisan.

Tidaklah benar mengartikan kolokial (colloquial) sebagai bahasa (orang)

kampungan dan bahasa kelas golongan bawah. Pada derajat yang paling rendah,

kolokial (colloquial) ini menyentuh ukuran slang. Kolokial (colloquial) yang

mengandung kata-kata yang kurang enak didengar disebut slang.

Sekarang kolokial (colloquial) lazim diacukan pada bahasa yang cocok

pada pemakaian informal, baik dalam ujaran maupun tulisan, sehingga menjadi

ucapan popular yang biasa didengar sehari-hari di daerah tertentu. Ditafsirkan

pula sebagai kosakata yang kena untuk diterapkan pada daerah antara slang

dengan informal tinggi. Banyak ungkapan yang kini disebut kolokial (colloquial)

dalam kamus berasal dari ungkapan-ungkapan slang yang terus menerus dipakai.

39
Bahasa Inggris sering ditemukan ungkapan-ungkapan kolokial (colloquial) seperti

don’t, I’d, We’ll, fixed (bribed), pretty (very), funny (peculiar), take stock in

(believe) dan ungkapan O.K!

Berikut contoh lain ungkapan kolokial (colloquial) dari Willis (1964)

dalam bahasa Inggris dengan padanan bakunya yang dikutip Chaer dan Agustina

(2010, p. 67) dan Alwasilah (1990, p. 59-60).

Slang Bahas Baku


join up enlist
give up reliquish
gine in acquisce
put up with tolerate
split up separate
full up filled to capacity
peaked pale
know-how technical skill
the law a policeman
a natural one who is naturally expert
needle to goad or provoke
patter meaningless talk
outside of except
ride to torment or tease
fleece to cheat or swindle

Pemakaian kata-kata tersebut bukan sesuatu yang jelek, sebab yang

penting adalah konteks dalam pemakaiannya. Ciri khas dari kolokial yaitu

pengurangan pemakaian fitur-fitur linguistik. Pengurangan pemakaian fitur

linguistik ini bertujuan agar komunikasi bahasa dapat lebih ringkas dan praktis,

bersifat akrab dan menciptakan suasana yang santai atau tidak kaku. Kolokial

lazim digunakan untuk penulisan dalam sebuah pesan elektronik, seperti e-mail,

short message service, chatting, dan lain-lain (Laili, 2012, p. 4). Bahasa

Indonesia, percakapan banyak digunakan bentuk-bentuk kolokial, seperti dok

(dokter), prof (profesor), let (letnan), ndak ada (tidak ada), trusah (tidak usah),

40
kap (kapten), dan sebagainya (Chaer & Agustina, 2014, p. 67; Alwasilah, 1990, p.

60).

e. Ken

Ken (cant) adalah wujud variasi bahasa yang dipakai oleh kelompok sosial

tertentu dengan lagu yang dibuat merengek-rengek, bernada memelas, dan penuh

kepura-puraan. Cant ialah sejenis slang, tetapi sengaja dibuat untuk merahasiakan

sesuatu kepada kelompok lain. Pada lingkungan muda-mudi hal ini terasa sekali.

Selain itu, kekhususan lain cant yaitu dipakai terutama pada strata sosial yang

rendah, seperti tercermin dalam ungkapan the cant of beggar (bahasa pengemis).

Hal ini tampak pada pemakaian bahasa oleh para pengemis atau peminta-minta

(Soeparno, 2003, p. 57; Chaer & Agustina, 2010, p. 68; Alwasilah, 1990, p. 62;

Pateda, 2015, p. 81).

2.2.2 Morfologi

Secara etimologi kata morfologi berasal dari kata morf yang berarti bentuk

dan kata logi yang berarti ilmu. Jadi secara harfiah kata morfologi berarti ilmu

mengenai bentuk. Menurut Verhaar (1983, p. 52), morfologi adalah bidang

linguistik yang mempelajari susunan bagian-bagian kata secara gramatikal. Yusuf

(2008, p. 1), mengemukakan morfologi adalah cabang ilmu bahasa (linguistik)

yang mengkaji kata dan bagian-bagiannya yang memiliki makna leksikal dan

makna gramatikal.

Hal itu diperkuat pendapat dari Chaer (2008, p. 3), yang mengemukakan

bahwa di dalam kajian linguistik, morfologi berarti ilmu mengenai bentuk-bentuk

dan pembentukan kata. Dengan kata lain, morfologi menyelidiki struktur kata,

41
bagian-bagiannya, serta cara pembentukannya (Chaer, 2014, p. 15). Hal itu juga

sejalan dengan pendapat dari Soeparno (2003, p. 72), yang mengemukakan bahwa

morfologi adalah subdisiplin linguistik yang mempelajari bentuk dan

pembentukan kata.

Berkaitan dengan pembentukan kata, morfologi dapat dipandang sebagai

subsistem yang berupa proses yang mengolah leksem menjadi kata atau seperti

yang dikatakan Whorf (Kridalaksana, 2009, p. 10) ketika membicarakan

derivational types, yaitu “these may merge into or become identical with

morphological categories, and in some languages this section is to be transferred

from the lexeme to the word: morphology”

Dengan kata lain, yang berperan sebagai input dalam proses itu ialah

leksem sebagai satuan leksikal, sedangkan kata sebagai satuan gramatikal

berperan sebagai output. Proses ini, kecuali dalam derivasi zero, leksem

bentuknya berubah dan memperoleh makna baru yang disebut makna gramatikal,

sedangkan makna semula, yaitu makna leksikal, sedikit banyak tidak berubah.

Jadi, output proses ini, yaitu kata, merupakan suatu kesatuan yang dapat dianalisis

atas komponen-komponen yang disebut morfem. Jadi, satuan yang disebut

morfem yang dalam hierarki gramatikal merupakan satuan terkecil baru dapat

ditandai setelah kata terbentuk melalui proses morfologis itu, sebagaimana yang

dikutip Kridalaksana (2009, p. 10) dari pernyataan Aronoff (1976), “All regular

word-formation processes are word-based”, dan Dressler (1983), “…words are

primary signs, morphemes only secondary signs, i.e. signs (words); therefore

words are better perceivable than morphemes for motivating derived words”.

42
2.2.2.1 Kata

Kata merupakan dua macam satuan, ialah satuan fonologik dan satuan

gramatik. Sebagai satuan fonologik, kata terdiri dari satu atau beberapa suku, dan

suku itu terdiri dari satu atau beberapa fonem, dan sebagai satuan gramatik, kata

terdiri dari satu atau beberapa morfem; kata ialah satuan bebas yang paling kecil,

atau dengan kata lain, setiap satu satuan bebas merupakan kata (Ramlan, 1987, p.

50).

Hal itu sejalan dengan pemikiran Kridalaksana (2011, p. 110), yang

merumuskan tiga hakikat kata, ialah (1) morfem atau kombinasi morfem yang

oleh bahasawan dianggap sebagai satuan terkecil yang dapat diujarkan sebagai

bentuk yang bebas; (2) satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri, terjadi dari

morfem tunggal, (misalnya batu, rumah, dating, dsb.) atau gabungan morfem

(misalnya pejuang, mengikuti, pancasila, mahakuasa, dsb.). Beberapa bahasa,

antara lain dalam bahasa Inggris, pola tekanan juga menandai kata; (3) satuan

terkecil dalam sintaksis yang berasal dari leksem yang telah mengalami proses

morfologis.

2.2.2.1.1 Leksem

Bahwasanya morfologi dan sintaksis merupakan dua subsistem yang

berkaitan, terlihat pada kenyataan bahwa kata merupakan satuan terbesar dalam

morfologi dan sekaligus satuan terkecil dalam sintaksis. Istilah leksem berbeda

dengan kata, seperti yang dikutip Kridalaksana (2009, p. 9) dari pernyataan Lyons

(1968) yang mengusulkan,

However, since most linguists now employ the term ‘word’ to


refer to such phonological or orthographical or orthographic

43
units such as /sǝeᶇ/ or sang on the one hand, or to the
grammatical units they represent, on the other hand, (and
indeed do not always distinguish even between these two
senses), we shall introduce another term, lexeme, to denote the
more ‘abstract’ units which occur in different inflexional
‘forms’ according to the syntactic rules involved in the
generation of sentences.

Jadi, leksem ‘lexeme’ dibedakan dari kata ‘word’. Sebenarnya, istilah

leksem sudah dipergunakan oleh Whorf (1938) dan Lyons (1977), seperi yang

dikutip Kridalaksana (2009, p. 9). Whorf (1938) menerangkan bahwa “The

lexeme…” adalah “…the world or stem as an item of the vocabulary, and as a part

analyzed or abstracted from sentence words”. Lyons (1977) juga menyatakan,

“…vocabulary words constitute one subclass of what… we are calling lexeme”,

kemudian menyatakan, “...lexemes are the words and phrases that a dictionary

would list under a separate entry”.

Hal itu sejalan dengan pendapat Matthews (1974) yang menyebutkan

bahwa leksem merupakan “an ABSTRACT unit the fundamental unit of the

lexicon” (Kridalaksana, 2009, p. 9). Artinya, Matthews pun menggunakan leksem

sebagai satuan dasar dalam leksikon dan dibedakan dari kata sebagai satuan

gramatikal. Dengan kata lain, leksemlah yang merupakan bahan dasar yang

setelah mengalami pengolahan gramatikal menjadi kata dalam subsistem

gramatika.

Pengertian leksem itu terbatas pada satuan yang diwujudkan dalam

gramatika dalam bentuk morfem dasar atau kata. Jadi, dapat disimpulkan bahwa

leksem adalah (1) satuan terkecil dalam leksikon, (2) satuan yang berperan

sebagai input dalam proses morfologis, (3) bahan baku dalam proses morfologis,

(4) unsur yang diketahui adanya dari bentuk yang setelah disegmentasikan dari

44
bentuk kompleks merupakan bentuk dasar yang lepas dari proses morfologis, dan

(5) bentuk yang tidak tergolong proleksem atau partikel (Kridalaksana, 2009, p.

9).

2.2.2.1.2 Pembentukan Kata

Guna dapat digunakan dalam kalimat atau pertuturan tertentu, maka setiap

bentuk dasar harus dibentuk lebih dahulu menjadi sebuah kata gramatikal melalui

prosede morfologis.

2.2.2.1.2.1 Prosede Morfologis

Uhlenbeck (1978) mengemukakan bahwa terdapat dua istilah yang

digunakan dalam peristiwa pembentukan kata kompleks atau kata polimorfemik,

yaitu prosede morfologis dan proses morfologis. Sebenarnya kedua istilah itu

berbeda. Proses morfologis adalah peristiwa pembentukan kata kompleks atau

kata polimorfemik secara diakronis, sedangkan prosede morfologis adalah

peristiwa pembentukan kata kompleks atau kata polimorfemik secara sinkronis

(Soeparno, 2003, p. 76).

Prosede morfologis pada dasarnya merupakan proses pembentukan kata

dari sebuah bentuk dasar melalui proses pembentukan kata. Prosedur prosede

morfologis terjadi dari input, yaitu leksem, dan salah satu proses pembentukan

kata, serta output berupa kata (Kridalaksana, 2009, p. 12). Pembentukan kata

sebagai prosede morfologis bersifat iteratif, artinya, leksem atau leksem-leksem

yang mengalami prosede morfologis menjadi kata, dapat kembali lagi menjadi

unsur leksikal, kemudian mengalami prosede morfologis lagi dan menjadi kata

45
baru. Terjadinya leksem menjadi kata itu disebut gramatikalisasi, dan kembalinya

kata menjadi unsur leksikal disebut leksikalisasi (Kridalaksana, 1990, p. 33). Jadi,

prosede morfologis mencoba menyusun dari komponen-komponen kecil menjadi

sebuah bentuk yang lebih besar, yang berupa kata kompleks atau kata yang

polimorfemis.

Menurut Chaer (2008, p. 25), prosede morfologis melibatkan komponen

(a) bentuk dasar, (b) alat pembentuk, (c) makna gramatikal, dan (d) hasil proses

pembentukan. Berkaitan dengan komponen alat pembentuk dalam prosede

morfologis, Chaer (2008, p. 27) menuturkan bahwa alat pembentuk dalam prosede

morfologis adalah (a) afiks dalam proses afiksasi, (b) pengulangan dalam proses

reduplikasi, (c) penggabungan dalam proses komposisi, (d) pemendekatan atau

penyingkatan dalam proses akronimisasi, dan (e) pengubahan status dalam proses

konversi.

Berkaitan dengan proses pembentukan kata, Soeparno (2003, p. 76-78)

menyebutkan macam-macam prosede morfologis, yaitu (a) afiksasi, (b) duplikasi,

(c) reduplikasi, (d) komponisasi, (e) suplisi, (f) perubahan internal, dan (g)

modifikasi kosong. Samsuri (1987, p. 190-194), mengemukakan macam-macam

prosede morfologis, yaitu (a) afiksasi, (b) reduplikasi, (c) perubahan interen, (d)

suplisi, dan (e) modifikasi kosong. Chaer (2008, p. 27-28) mengatakan bahwa

prosede morfologis berkenaan dengan (a) afiksasi, (b) reduplikasi, (c) komposisi,

(d) akronimisasi atau abreviasi khusus, dan (e) konversi atau derivasi zero/

transmutasi/ transposisi. Verhaar (1983, p. 60) membedakan macam-macam

prosede morfologis, yaitu (a) afiksasi, (b) klitisasi, (c) modifikasi intern, (d)

reduplikasi, (e) komposisi.

46
Selanjutnya, Ramlan (2001, p. 52) mengemukakan macam-macam prosede

morfologis, yaitu (a) proses pembubuhan afiks (afiksasi), (b) proses perulangan

(reduplikasi), (c) proses pemajemukan, dan (d) proses perubahan zero. Adapun

penelitian ini digunakan prosede morfologis berdasarkan pandangan Kridalaksana

karena mencangkup prosede seluruh bentuk kata. Kridalaksana (2009, p. 12)

merumuskan macam-macam prosede morfologis, yaitu (a) derivasi zero, (b)

afiksasi, (c) reduplikasi, (d) abreviasi, (e) komposisi, dan (f) derivasi balik.

Pembentukan kata dalam bahasa Indonesia ini dapat dijadikan acuan dalam

mengkaji pembentukan kata slang atau bahasa gaul, dikarenakan morfologi slang

ini pun memanfaatkan morfologi bahasa Indonesia.

1. Derivasi Zero

Derivasi zero adalah proses yang mengubah leksem menjadi kata tunggal

tanpa perubahan apa-apa.

2. Afiksasi

Afiksasi adalah proses yang mengubah leksem menjadi kata kompleks.

Bahasa Indonesia dikenal jenis-jenis afiks yang diklasifikasikan sebagai berikut.

a. Prefiks, yaitu afiks yang diletakkan di muka dasar, seperti meN-, di-, ber-, ke-,

ter-, peN-, per-, dan se-.

b. Infiks, yaitu afiks yang diletakkan di dalam dasar, seperti -el-, -er-, -em-, -in-,

dan -ok- (infiks slang atau bahasa gaul).

c. Sufiks, yaitu afiks yang diletakkan di belakang dasar, seperti -an, -kan, dan -i.

d. Simulfiks, yaitu afiks yang dimanifestasikan dengan ciri-ciri segmental yang

dileburkan pada dasar. Bahasa Indonesia simulfiks dimanifestasikan dengan

nasalisasi dari fonem pertama suatu bentuk dasar.

47
e. Konfiks, yaitu afiks yang terdiri dari dua unsur, satu di muka bentuk dasar dan

satu di belakang bentuk dasar, seperti ke--an, peN--an, per--an, dan ber--an.

f. Superfiks atau suprafiks, yaitu afiks yang dimanifestasikan dengan ciri-ciri

suprasegmental atau afiks yang berhubungan dengan morfem suprasegmental.

Afiks ini tidak ada dalam bahasa Indonesia.

g. Kombinasi afiks, yaitu kombinasi dari dua afiks atau lebih yang bergabung

dengan dasar. Afiks ini bukan jenis afiks yang khusus, dan hanya merupakan

gabungan beberapa afiks yang mempunyai bentuk dan makna gramatikal

tersendiri, muncul secara bersama pada bentuk dasar, tetapi berasal dari proses

yang berlainan, seperti meN--kan, meN--i, memper--kan, memper--i, ber--kan,

ter--kan, per--kan, dan se--nya.

3. Reduplikasi

Reduplikasi adalah proses yang mengubah leksem menjadi kata kompleks

dengan beberapa macam proses pengulangan. Terdapat lima macam bentuk

reduplikasi, yaitu.

a. Dwipurwa yaitu pengulangan suku pertama pada leksem dengan pelemahan

vokal.

b. Dwilingga yaitu pengulangan leksem.

c. Dwilingga salin swara yaitu pengulangan leksem dengan variasi fonem.

d. Dwiwasana yaitu pengulangan bagian belakang dari leksem.

e. Trilingga yaitu pengulangan onomatope tiga kali dengan variasi fonem.

Urutan proses reduplikasi yang tidak sederhana terdapat reduplikasi

progresif dan reduplikasi regresif. Reduplikasi progresif adalah proses reduplikasi

yang terjadi berlangsung ke arah sebelah kanan atau sejalan dengan arus ujaran,

48
sedangkan reduplikasi regresif adalah proses reduplikasi yang terjadi berlangsung

ke arah sebelah kiri atau tidak sejalan dengan arus ujaran.

4. Abreviasi

Abreviasi (pemendekan) adalah proses penanggalan satu atau beberapa

bagian leksem atau kombinasi leksem sehingga menjadi bentuk baru yang

berstatus kata. Terdapat beberapa proses abreviasi, yaitu.

a. Penyingkatan yaitu proses pemendekan yang mengekalkan huruf atau

gabungan huruf, baik yang dieja huruf demi huruf maupun yang tidak dieja

huruf demi huruf.

b. Pemenggalan yaitu proses pemendekan yang mengekalkan salah satu bagian

dari leksem.

c. Akronimi yaitu proses pemendekan yang menggabungkan huruf atau suku

kata atau bagian lain yang ditulis dan dilafalkan sebagai sebuah kata yang

sedikit banyak memenuhi kaidah fonotaktik.

d. Kontraksi yaitu proses pemendekan yang meringkaskan leksem dasar atau

gabungan leksem.

5. Komposisi

Komposisi (peraduan) adalah proses penggabungan dua leksem atau lebih

yang membentuk kata.

6. Derivasi Balik

Derivasi balik adalah proses pembentukan kata karena bahasawan

membentuknya berdasarkan pola-pola yang ada tanpa mengenal unsur-unsurnya.

49
2.2.3 Novel

Novel (Inggris: novel) merupakan bentuk karya sastra yang sekaligus

disebut fiksi. Bahkan dalam perkembangannya yang kemudian, novel dianggap

bersinonim dengan fiksi. Dengan demikian, pengertian fiksi itu juga berlaku untuk

novel (Nurgiyantoro, 2012, p. 9). Novel (novel) berasal dari bahasa Itali novella

(bahasa Jerman: novelle). Secara harfiah, Abrams (1981) mengemukakan bahwa

novella berarti sebuah barang baru yang kecil, dan kemudian diartikan sebagai

cerita pendek dalam bentuk prosa (Nurgiyantoro, 2012, p. 9).

Dilihat dari segi formalitas bentuk dan segi panjang cerita, novel adalah

sebuah cerita yang panjang dan berjumlah ratusan halaman. Dari segi panjang

cerita itu, novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu

secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detil, dan lebih banyak melibatkan berbagai

permasalahan yang lebih kompleks. Hal itu mencakup berbagai unsur cerita yang

membangun novel itu. Novel sebagai karya fiksi dibangun oleh unsur-unsur

pembangun berupa unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Novel memiliki unsur

peristiwa, tema, tokoh, penokohan, plot, latar, sudut pandang, dan lain-lain.

2.2.3.1 Unsur Pembangun Novel

Sebuah novel merupakan sebuah totalitas, suatu keseluruhan yang bersifat

artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai bagian-bagian, unsur-unsur

yang saling berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling

menggantungkan. Unsur-unsur pembangun sebuah novel—yang kemudian secara

bersama membentuk sebuah totalitas itu—di samping unsur formal bahasa, masih

banyak lagi macamnya.

50
2.2.3.1.1 Bahasa Percakapan

Unsur bahasa merupakan salah satu bagian dari totalitas atau unsur

pembangun cerita atau subsistem organisme itu. Hal inilah yang menyebabkan

novel, juga sastra pada umumnya, menjadi berwujud (Nurgiyantoro, 2012, p. 22-

23). Sebuah karya fiksi umumnya dikembangkan dalam dua bentuk penuturan,

yaitu narasi dan dialog. Kedua bentuk itu hadir secara bergantian, sehingga cerita

yang ditampilkan menjadi tidak bersifat monoton, segar, dan terasa variatif

(Nurgiyantoro, 2012, p. 310). Hal itu diperkuat dengan pendapat dari Bakhtin

(Anwar, 2015, p. 157), yang menunjukkan dua jenis tuturan dalam karya sastra

novel, yaitu tuturan monologis, dan tuturan dialogis.

2.2.3.1.1.1 Dialog

Bakhtin menunjuk pada genre sastra novel merupakan varian karya sastra

yang paling bersifat dialogis dan menunjukkan kualitas intertekstual yang paling

kuat (Anwar, 2015, p. 157). Bentuk tuturan dialogis berupa kombinasi suara

pengarang dan suara-suara manusia lain. Novel secara jelas menampakkan ruang-

ruang dialogis yang membentuk serangkaian peristiwa-peristiwa wacana

kompleks yang akan mengeluarkan suara-suara tuturan dari objek manusia

sebagai penutur. Pengungkapan bahasa bentuk percakapan (dialog) seolah-olah

pengarang membiarkan pembaca untuk melihat dan mendengar sendiri kata-kata

seorang tokoh, percakapan antartokoh, bagaimana wujud kata-katanya dan apa isi

percakapannya. Gaya dialog dapat memberikan kesan realistis, sungguh-sungguh,

dan memberi penekanan terhadap cerita atau kejadian yang dituturkan dengan

gaya narasi (Nurgiyantoro, 2012, p. 311).

51
2.2.3.2 Novel Ubur-Ubur Lembur

Novel Ubur-Ubur Lembur merupakan novel kedelapan dari komika

Raditya Dika yang dirilis pada tanggal 1 Februari 2018 oleh penerbit Gagas

Media, Jakarta. Novel Ubur-Ubur Lembur berjumlah ix + 231 halaman. Novel ini

terdiri atas empat belas subjudul, yaitu (1) dua orang yang berubah, (2) pada

sebuah kebun binatang, (3) mata ketemu mata, (4) balada minta foto, (5) raja di

sekolah, (6) di bawah mendung yang sama, (7) rumah yang terlewat, (8) tempat

shooting horor, (9) percakapan dengan seorang artis, (10) curhatan soal instagram

zaman now, (11) percakapan dengan seorang anak yang ingin jadi artis, (12)

korban tak sampai, (13) penyesalan itu nikmat, dan (14) ubur-ubur lembur (Dika,

2018, p. v).

Novel Ubur-Ubur Lembur adalah novel bergenre komedi dengan sajian

bahasa yang ringan, bahasa keseharian remaja, yang sesuai dengan kebiasaan baru

yang tumbuh dalam masyarakat, sehingga mudah dimengerti oleh pembaca, yang

notabene dari kalangan remaja. Novel ini sangat sesuai dengan dunia remaja yang

penuh tuntutan dan iklim cinta kasih. Novel ini pun banyak memuat penggunaan

kata-kata slang, baik di dalam narasi maupun dialog para tokohnya. Dipenuhi

dengan gejala bahasa, seperti penafsiran kepanjangan atau etimologi dari kata-

kata yang sudah ada, dan gejala pemakaian kata-kata dialek Jakarta, khususnya

yang biasa dipakai remaja, misalnya cewek, cowok, dan sebagainya. Banyak hal

yang bisa disimak sampai tuntas dari karya sastra remaja ini, kemudian dikaitkan

dengan ciri-ciri psikologis remaja, karena bahasa juga cermin kelompok ini.

52
2.2.4 Bahan Ajar

Depdiknas (2008, p. 6-7) dalam Panduan Pengembangan Bahan Ajar

merumuskan beberapa definisi bahan ajar, yaitu (1) bahan ajar merupakan bagian

dari sumber belajar, (2) bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan

untuk membantu guru atau instruktor dalam melaksanakan kegiatan belajar

mengajar, (3) bahan ajar merupakan seperangkat materi/substansi pembelajaran

(teaching material) yang disusun secara sistematis, menampilkan sosok utuh dari

kompetensi yang akan dikuasai siswa dalam kegiatan pembelajaran, (4) bahan ajar

merupakan informasi, alat dan teks yang diperlukan guru/instruktor untuk

perencanaan dan penelaahan implementasi pembelajaran, dan (5) bahan ajar

adalah segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu guru/instruktor

dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas.

Dari definisi-definisi tersebut, dapat disarikan bahwa bahan ajar adalah

seperangkat materi yang disusun secara sistematis, sehingga tercipta suasana yang

nyaman bagi siswa untuk belajar dengan baik.

2.2.4.1 Fungsi Bahan Ajar

Bahan ajar berfungsi sebagai (a) pedoman bagi Guru yang akan

mengarahkan semua aktivitasnya dalam proses pembelajaran, sekaligus

merupakan substansi kompetensi yang seharusnya diajarkan kepada siswa, (b)

pedoman bagi Siswa yang akan mengarahkan semua aktivitasnya dalam proses

pembelajaran, sekaligus merupakan substansi kompetensi yang seharusnya

dipelajari/dikuasainya, dan (c) alat evaluasi pencapaian/penguasaan hasil

pembelajaran (Depdiknas, 2008, p. 6).

53
2.2.4.2 Tujuan Penyusunan Bahan Ajar

Bahan ajar disusun dengan tujuan (a) menyediakan bahan ajar yang sesuai

dengan tuntutan kurikulum dengan mempertimbangkan kebutuhan siswa, yakni

bahan ajar yang sesuai dengan karakteristik dan setting atau lingkungan sosial

siswa, (b) membantu siswa dalam memperoleh alternatif bahan ajar di samping

buku-buku teks yang terkadang sulit diperoleh, dan (c) memudahkan guru dalam

melaksanakan pembelajaran (Depdiknas, 2008, p. 9).

2.2.4.3 Manfaat Penyusunan Bahan Ajar

Penyusunan bahan ajar memiliki manfaat bagi guru dan siswa. Manfaat

yang dapat diperoleh apabila guru mengembangkan bahan ajar, yaitu antara lain

(1) diperoleh bahan ajar yang sesuai tuntutan kurikulum dan sesuai dengan

kebutuhan belajar siswa, (2) tidak lagi tergantung kepada buku teks yang

terkadang sulit untuk diperoleh, (3) bahan ajar menjadi lebih kaya karena

dikembangkan dengan menggunakan berbagai referensi, (4) menambah khasanah

pengetahuan dan pengalaman guru dalam menulis bahan ajar, (5) bahan ajar akan

mampu membangun komunikasi pembelajaran yang efektif antara guru dengan

siswa karena siswa akan merasa lebih percaya kepada gurunya, (6) tulisan tersebut

dapat diajukan untuk menambah angka kredit ataupun dijadikan buku dan

diterbitkan.

Selain itu, penyusunan bahan ajar juga bermanfaat bagi siswa, yaitu (1)

kegiatan pembelajaran menjadi lebih menarik, (2) siswa lebih banyak

mendapatkan kesempatan untuk belajar secara mandiri dengan bimbingan guru,

(3) siswa mendapatkan kemudahan dalam mempelajari setiap kompetensi yang

54
harus dikuasai, (4) kegiatan pembelajaran menjadi lebih menarik, (5) siswa akan

mendapatkan kemudahan dalam mempelajari setiap kompetensi yang harus

dikuasainya, (6) siswa akan lebih banyak mendapatkan kesempatan untuk belajar

secara mandiri, dan (7) mengurangi ketergantungan terhadap kehadiran guru

(Depdiknas, 2008, p. 9).

2.2.4.4 Bentuk Bahan Ajar

Bahan ajar dapat berupa bahan tertulis dan non-tertulis. Depdiknas (2008,

p. 11) mengelompokkan bahan ajar berdasarkan teknologi yang digunakan,

menjadi empat kategori, yaitu (1) bahan cetak (printed), (2) bahan ajar dengar

(audio), (3) bahan ajar pandang dengar (audio visual), dan (4) bahan ajar

multimedia interaktif (interactive teaching material). Adapun keluaran yang

dihasilkan dari penelitian ini berupa bahan ajar cetak, sehingga hanya bahan ajar

cetak yang dijelaskan lebih lanjut.

2.2.4.5 Penyusunan Bahan Ajar

Penyusunan bahan ajar meliputi (1) analisis kebutuhan bahan ajar, (2)

penyusunan peta bahan ajar, (3) struktur bahan ajar, dan (4) penyusunan bahan

ajar cetak.

2.2.4.5.1 Analisis Kebutuhan Bahan Ajar

Guna mendapatkan bahan ajar yang sesuai dengan tuntutan kompetensi

yang harus dikuasai oleh peserta didik, diperlukan analisis terhadap SK-KD,

55
analisis sumber belajar, dan penentuan jenis serta judul bahan ajar (Depdiknas,

2008, p. 16). Analisis yang dimaksud dijelaskan sebagai berikut.

1. Analisis SK-KD

Analisis SK-KD dilakukan untuk menentukan kompetensi yang

memerlukan bahan ajar. Selanjutnya mempertimbangkan banyaknya bahan

ajar yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan SK-KD. Selain itu, juga

mempertimbangkan jenis bahan ajar yang sesuai dengan SK-KD. Hasil

analisis ini dapat diketahui banyaknya bahan ajar yang harus disiapkan dalam

satu semester tertentu dan jenis bahan ajar mana yang dipilih.

2. Analisis Sumber Belajar

Sumber belajar yang akan digunakan sebagai bahan penyusunan bahan

ajar perlu dilakukan analisis. Analisis dilakukan terhadap ketersediaan,

kesesuaian, dan kemudahan dalam memanfaatkan sumber belajar. Caranya

adalah menginventarisasi ketersediaan sumber belajar yang dikaitkan dengan

kebutuhan.

Ketersediaan sumber belajar yang mudah didapatkan, akan

memudahkan guru dalam memperoleh bahan ajar. Kesesuaian sumber belajar

pun menjadi pertimbangan. Apabila hasilnya sesuai dengan kebutuhan

kompetensi dasar, maka dapat dijadikan sumber belajar. Selain itu, perlu juga

mempertimbangkan kemudahan dalam pemanfaatannya. Hal ini dilakukan

untuk mempermudah penyampaian materi saat kegiatan belajar mengajar.

3. Pemilihan dan Penentuan Bahan Ajar

Pemilihan dan penentuan bahan ajar dimaksudkan untuk memenuhi

kriteria bahwa bahan ajar harus menarik dan dapat membantu siswa untuk

56
mencapai kompetensi, sehingga bahan ajar dibuat dengan mempertimbangkan

kesesuaian bahan ajar dengan kebutukan dan kompetensi dasar. Selanjutnya

penentuan jenis dan bentuk bahan ajar ditetapkan berdasarkan analisis

kurikulum dan analisis sumber bahan sebelumnya.

2.2.4.5.2 Penyusunan Peta Bahan Ajar

Peta kebutuhan bahan ajar disusun setelah diketahui banyaknya bahan ajar

yang harus disiapkan melalui analisis kebutuhan bahan ajar. Peta Kebutuhan

bahan ajar sangat diperlukan guna mengetahui jumlah bahan ajar yang harus

ditulis dan sekuensi atau urutan bahan ajarnya. Sekuensi bahan ajar ini sangat

diperlukan dalam menentukan prioritas penulisan. Di samping itu peta dapat

digunakan untuk menentukan sifat bahan ajar, dependen (tergantung) atau

independen (berdiri sendiri).

2.2.4.5.3 Struktur Bahan Ajar

Penyusunan bahan ajar cetak memiliki perbedaan dalam strukturnya.

Perbedaan struktur bahan ajar cetak disajikan dalam tabel 1 sebagai berikut.

Tabel 1 Struktur Bahan Ajar Cetak

No. Komponen Ht Bu Ml LKS Bro Lf Wch F/Gb Mo/M


1 Judul √ √ √ √ √ √ √ √ √
2 Petunjuk belajar - - √ √ - - - - -
3 KD/MP - √ √ √ √ √ ** ** **
4 Informasi pendukung √ - √ √ √ √ ** ** **
5 Latihan - √ √ - - - - - -
6 Tugas/langkah kerja - - √ √ - - - ** **
7 Penilaian - √ √ √ √ √ ** ** **
(Depdiknas, 2008, p. 18)

57
Keterangan:

Ht: handout, Bu: Buku, Ml: Modul, LKS: Lembar Kegiatan Siswa, Bro: Brosur,

Lf: Leaflet, Wch: Wallchart, F/Gb: Foto/Gambar, Mo/M: Model/Maket

2.2.4.5.4 Penyusunan Bahan Ajar Cetak

Bahan ajar cetak dapat berupa handout, buku, lembar kegiatan siswa

(LKS), modul, brosur atau leaflet, wallchart, foto/gambar, model/maket.

Penyusunan bahan perlu diperhatikan bahwa judul atau materi yang disajikan

harus berintikan KD atau materi pokok yang harus dicapai oleh peserta didik.

Selain itu, penyusunan bahan ajar harus memperhatikan beberapa hal sebagai

berikut.

a. Susunan tampilan, bahan ajar disusun dari urutan yang mudah, memiliki judul

yang singkat, terdapat daftar isi, struktur kognitifnya jelas, memiliki

rangkuman, dan tugas pembaca.

b. Bahasa yang mudah, bahan ajar menggunakan bahasa yang mudah dipahami,

kalimat dan hubungan kalimatnya jelas, dan kalimat tidak terlalu panjang.

c. Menguji pemahaman, bahan ajar dapat menguji pemahaman siswa agar

kompetensi dasar tercapai, baik menyangkut menilai melalui orangnya

maupun check list untuk pemahaman.

d. Stimulan, enak tidaknya bahan ajar dilihat, tulisan mendorong pembaca untuk

berfikir, dan menguji stimulan

e. Kemudahan dibaca, bahan ajar mudah dibaca, memiliki susunan teks yang

terstruktur.

58
f. Materi instruksional, pemilihan bahan ajar berupa teks sesuai dengan

kebutuhan siswa, tersedianya bahan kajian dan lembar kerja untuk siswa.

2.2.4.5.4.1 Struktur Bahan Ajar Buku

Penyusunan bahan ajar harus memperhatikan sistematika bahan ajar yang

disesuaikan dengan bentuknya. Menurut Daryanto (2014, p. 175), bahan ajar

secara umum memiliki sistematika yang terdiri atas bagian awal, bagian isi, dan

bagian penutup. Adapun luaran penelitian ini yaitu bahan ajar cetak berupa buku.

Berikut penjabaran sistematika bahan ajar buku sebagai berikut.

1. Bagian pendahuluan, bagian ini terdiri atas (a) cover, (b) halaman judul, (c)

prakata, dan (d) daftar isi.

2. Bagian isi, bagian ini merupakan bagian yang berisi pokok pembahasan sesuai

dengan konsep dan ruang lingkup pembelajaran. Bagian ini terdiri atas

beberapa subbagian sebagai berikut.

a. Kompetensi inti (KI)

b. Kompetensi dasar (KD)

c. Indikator pencapaian kompetensi

d. Tujuan pembelajaran

e. Materi pembelajaran

f. Latihan

g. Penilaian

3. Bagian penutup, bagian ini terdiri atas (a) daftar pustaka, dan (b) biografi

penulis.

59
2.2.5 Pembelajaran Bahasa Indonesia

Ragam bahasa yang digunakan dalam dunia pendidikan disebut bahasa

baku atau bahasa standar (Alwi, dkk., 2010, p. 13). Adapun ragam bahasa

pendidikan yang diajarkan dan dikembangkan di dalam lingkungan pembelajaran

di Indonesia yaitu bahasa Indonesia yang baku. Bahasa Indonesia menjadi salah

satu pelajaran wajib di dalam kurikulum 2013. Pengembangan kurikulum

pelajaran bahasa Indonesia tidak dapat dipisahkan dari perkembangan teori belajar

dan pengajaran bahasa, dan pengembangan Kurikulum 2013 yang didasarkan

pada perkembangan teori belajar bahasa terkini. Landasan teoretik Kurikulum

2013, sekaligus penjelasan implementasi yang semestinya, merupakan

pengembangan pendekatan komunikatif dan pendekatan dari genre-based, genre

pedagogy, serta CLIL (content language integrated learning) yang menjadi dasar

pengembangan kurikulum bahasa dalam Kurikulum 2013.

Teks dalam pendekatan berbasis genre dimaknai sebagai kegiatan sosial

yang memiliki jenis yang berbeda sesuai dengan tujuan sosial dan fungsi

komunikasi. Tujuan sosial melalui bahasa berbeda-beda sesuai dengan keperluan.

Pencapaian tujuan ini diwadahi setiap jenis genre (tipe teks) yang memiliki

kekhasan cara pengungkapan struktur retorika teks, isi, dan kekhasan unsur

kebahasaan. Teks diartikan sebagai cara untuk berkomunikasi yang dapat

berbentuk tulisan, lisan, atau multimodal. Terdapat 7 jenis teks sebagai tujuan

sosial, yaitu (1) laporan (report), (2) rekon (recount), (3) eksplanasi (explanation),

(4) eksposisi (exposition: discussion, response or review), (5) deskripsi

(description), (6) prosedur (procedure), dan (7) narasi (narrative) (Suherli, dkk.,

2017b, p. ix).

60
CLIL merupakan perkembangan yang lebih realistis dari pengajaran

bahasa komunikatif yang mengembangkan kompetensi komunikatif. Jadi, arah

perkembangan selanjutnya adalah kurikulum yang berdasar pada CLIL, yang

menjadi rujukan utama Kurikulum 2013. Istilah tematik-integratif dalam

Kurikulum 2013 merupakan perwujudan penerapan CLIL. Coyle (2006, 2007)

mengajukan 4C sebagai penerapan CLIL, yaitu content, communication,

cognition, culture (community/citizenship). Content itu berkaitan dengan topik

apa. Communication berkaitan dengan bahasa jenis apa yang digunakan.

Cognition berkaitan dengan keterampilan berpikir apa yang dituntut berkenaan

dengan topik, dan Culture berkaitan dengan muatan lokal lingkungan sekitar yang

berkaitan dengan topik (Suherli, dkk., 2017b, p. ix).

2.2.5.1 Lingkup Materi Bahasa Indonesia

Lingkup materi mata pelajaran Bahasa Indonesia merupakan penjabaran 3

aspek: bahasa, sastra, dan literasi. Lingkup aspek bahasa mencakup pengenalan

variasi bahasa, bahasa untuk interaksi, struktur dan organisasi teks. Ruang lingkup

sastra mencakup pembahasan konteks sastra, tanggapan terhadap karya sastra,

menilai karya sastra, dan menciptakan karya sastra. Ruang lingkup literasi

mencakup teks dalam konteks, berinteraksi dengan orang lain, menafsirkan,

menganalisis, dan mengevaluasi teks. Adapun materi yang akan dipelajari di kelas

X SMA/MA atau SMK/MAK terdiri atas: (1) Laporan Hasil Observasi; (2)

Eksposisi; (3) Anekdot; (4) Cerita Rakyat; (5) Negosiasi; (6) Berdebat; (7)

Biografi; dan (8) Puisi (Suherli, dkk., 2017a, p. iv).

61
2.2.5.1.1 Laporan Hasil Observasi

Teks laporan hasil observasi adalah teks yang memberikan informasi

secara umum tentang sesuatu berdasarkan fakta dari hasil pengamatan secara

langsung.

2.2.5.1.1.1 Materi Kebahasaan Teks Laporan Hasil Observasi

Berkaitan dengan penelitian ini, mengacu pada silabus mata pelajaran

bahasa Indonesia kurikulum 2013 revisi 2017 kelas X SMA semester gasal, materi

ajar yang disusun dari hasil penelitian akan diimplementasikan pada KD 3.2

menganalisis isi dan aspek kebahasaan dari minimal dua teks laporan hasil

observasi, dan KD 4.2 mengkonstruksikan teks laporan dengan memerhatikan isi

dan aspek kebahasaan baik lisan maupun tulis.

62

Anda mungkin juga menyukai