penelitian ini, baik dari objek atau fokus kajian maupun sumber data yang
dilaksanakan, dan sebagai bukti orisinalitas bahwa penelitian ini belum pernah
antaranya berupa makalah seminar, artikel jurnal ilmiah dan skripsi. Adapun
pustaka yang relevan dijadikan rujukan penelitian ini, antara lain artikel ilmiah
yang ditulis N. Eduardus (2017) dan Wijaya & Kartika (2018), serta skripsi yang
Penelitian yang relevan dengan penelitian ini berupa artikel ilmiah yang
ditulis N. Eduardus (2017) yang berjudul Bahasa Gaul Remaja dalam Media
Sosial Facebook, dimuat dalam jurnal Bastra volume 1 nomor 4 pada halaman 1-
19. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan bahasa gaul apa saja dan makna
bahasa gaul yang terdapat dalam media sosial facebook. Penelitian ini merupakan
ujaran atau tuturan yang terdapat pada status dan komentar di facebook. Sumber
data penelitian ialah penggunaan bahasa gaul yang terdapat dalam media sosial
pada pemilik akun facebook yang tergolong remaja berusia 17-21 tahun. Data
6
diperoleh menggunakan teknik observasi, baca, dan dokumentasi. Analisis data
Hasil penelitian bahasa gaul dalam media sosial facebook pada pemilik
akun yang tergolong remaja menunjukkan bahwa (1) bahasa gaul berdasarkan
jenis slang yang terdapat dalam interaksi di media sosial facebook di antaranya
adalah jargon, prokem dan kolokial (colloquial), dan (2) mengkaji makna bahasa
yaitu mengkaji bahasa gaul. Berkaitan dengan perbedaannya, terletak pada fokus
dan sumber data penelitian. Penelitian N. Eduardus (2017) hanya berfokus pada
jenis bahasa gaul, sedangkan penelitian ini berfokus pada jenis slang atau bahasa
gaul dan pola pembentukan kata slang. Selain itu, data penelitian yang digunakan
N. Eduardus (2017) bersumber dari tuturan yang terdapat pada status dan
komentar di facebook, sedangkan data penelitian ini bersumber dari tuturan yang
terdapat dalam dialog pada novel Ubur-Ubur Lembur karya Raditya Dika.
berjudul Analisis Bahasa Gaul dalam Novel Ayat Amat Cinta karya Asma Nadia,
Fadillah, dimuat dalam jurnal Stilistika volume 11 nomor 2 pada halaman 97-115.
novel Ayat Amat Cinta karya Asma Nadia, dkk., yang meliputi afiksasi,
reduplikasi, dan pemendekan kata. Data penelitian ini berbentuk kosakata bahasa
gaul dalam novel Ayat Amat Cinta karya Asma Nadia, dkk. Penelitian ini
7
merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Data penelitian dikumpulkan
menggunakan teknik dasar membaca dan mencatat. Teknik analisis data yang
penarikan kesimpulan.
Hasil penelitian proses pembentukan kata dalam novel Ayat Amat Cinta
karya Asma Nadia, dkk., terdiri atas afiksasi, reduplikasi, dan pemendekan.
Afiksasi berupa bentuk kata kerja aktif dan pasif. Bentuk kerja aktif, yaitu (a)
pembentuk kata kerja aktif {N-, be-}, {N-/-in} (b) perubahan prefiks {men-}
menjadi bentuk {n-, m-, ng-, ny-}, (c) perubahan konfiks {men- + -kan/-i}
menjadi {n-, m-, ng-, ny- + {-in}}, (d) perubahan prefiks {ber-} menjadi {be-}.
Selanjutnya bentuk kata kerja pasif bahasa gaul, yaitu (a) konfiks {di-+in} dan
prefiks {ke-}, (b) perubahan prefiks {di- + -kan/i} menjadi {di- + -in}, dan (c)
perubahan prefiks {ter-} menjadi {ke}, dan (d) perubahan sufiks {kan-} menjadi
reduplikasi dengan afiksasi dan reduplikasi perubahan fonem serta diikuti gejala
ini, yaitu mengkaji pembentukan kata bahasa gaul dengan pola pembentukannya.
Berkaitan dengan perbedaannya, terletak pada fokus dan sumber data penelitian.
Penelitian Wijaya & Kartika (2018) berfokus pada pembentukan kata bahasa gaul
dengan pola pembentukannya saja, sedangkan penelitian ini selain berfokus pada
pembentukan kata bahasa gaul dengan pola pembentukan, juga berfokus pada
jenis slangnya. Selain itu, data penelitian yang digunakan Wijaya & Kartika
(2018) bersumber dari tuturan tertulis pada novel Ayat Amat Cinta karya Asma
8
Nadia, dkk., sedangkan data penelitian ini bersumber dari tuturan tertulis pada
Bahasa Gaul dalam Dialog pada Film Remaja Catatan Akhir Sekolah dan
penggunaan kata bahasa gaul, serta hubungan pemakaian kata bahasa gaul dengan
Data dikumpulkan dengan metode simak dengan teknik catat dan dokumentasi
Berdasarkan hasil penelitian ada beberapa bentuk kata bahasa gaul dalam
film Catatan Akhir Sekolah yaitu kata, frase, akronim dan singkatan. Struktur kata
dalam dialog pada film remaja Catatan Akhir Sekolah berupa pemendekan,
semester gasal sesuai dengan kurikulum satuan tingkat pendidikan (KTSP) pada
tokoh dalam pementasan drama, sebagai materi pembelajaran bermain peran dan
yaitu mengkaji kata bahasa gaul dan pemanfaatannya secara praktis dalam
9
perbedaannya, yaitu penelitian Nurnaningsih (2013) diimplementasikan sebagai
materi pembelajaran bermain peran dan mengekspresikan dialog para tokoh dalam
sebagai bahan ajar materi kebahasaan mengenai jenis dan pola pembentukan kata
slang untuk melengkapi belum terpenuhinya aspek variasi bahasa di dalam bahan
ajar yang digunakan kelas X SMA. Perbedaan lainnya terletak pada fokus dan
sumber data penelitian. Penelitian Nurnaningsih (2013) berfokus pada tiga objek,
bahasa Indonesia di SMA, sedangkan penelitian ini berfokus pada jenis dan pola
bersumber dari tuturan lisan pada film remaja Catatan Akhir Sekolah, sedangkan
data penelitian ini bersumber dari tuturan tertulis pada novel Ubur-Ubur Lembur
Penelitian berupa skripsi yang juga relevan dengan penelitian ini adalah
bahasa slang yang terdapat dalam komunitas JKBoss pada akun twitter
penelitian berupa ujaran atau tuturan yang terdapat pada twitt dan mention dengan
sumber data penelitian yaitu penggunaan bahasa slang yang terdapat dalam
menggunakan metode simak dengan teknik simak bebas libat cakap (SBLC).
10
Analisis data dilakukan menggunakan metode padan dan distribusional. Instrumen
yang digunakan adalah human instrument, dan keabsahan data diperoleh dengan
Hasil penelitiannya yaitu bentuk kosa kata slang berupa kata dan frase.
pembalikan suku kata, (2) pembalikan kata secara utuh, (3) penghilangan suku
pertama, serta (4) penggantian vokal; dan proses morfologi berupa abreviasi,
berbentuk (1) akronim, yaitu dengan (a) pengekalan suku pertama pada tiap
komponen, (b) pengekalan suku kata pertama dan suku kedua pada tiap
komponen, dan (c) pengekalan suku pertama pada awal suku pertama dan suku
terakhir kata pembentuknya, dan (2) singkatan, yaitu dengan cara pengekalan
huruf pertama pada tiap kata. Jenis makna kosa kata slang meliputi makna
yaitu mengkaji slang atau bahasa gaul. Berkaitan dengan perbedaannya, terletak
pada fokus dan sumber data penelitian. Penelitian Nugroho (2015) berfokus pada
pola pembentukan kata slangnya. Selain itu, data penelitian yang digunakan
Nugroho (2015) bersumber dari tuturan tertulis di komunitas JKBoss pada akun
11
Penelitian berupa skripsi terakhir yang relevan dengan penelitian ini
yang berjudul Bentuk dan Pemakaian Slang pada Media Sosial Line (Akun
pembentukan, dan pemakaian slang yang digunakan oleh grup Batavia Undip.
meliputi tuturan langsung maupun tidak langsung yang bersumber dari para
dengan teknik simak libat cakap (SLC), teknik simak bebas libat cakap (SBLC),
teknik catat, dan teknik rekam (screenshot). Data dianalisis secara deskriptif dan
Hasil penelitian ditemukan slang pada tuturan para anggota Batavia Undip
berbentuk kata dasar dan kata turunan. Slang itu dapat dibentuk berdasarkan pola
pembentukan kata itu, antara lain, (1) pola pembentukan perubahan struktur
fonologis, yang terdiri atas perubahan fonem dan pertukaan posisi fonem, (2) pola
serta pemenggalan, (3) pola pembentukan kata baru, dan (4) pola pembentukan
K3V–KVK1.
perbedaannya, terletak pada fokus dan sumber data penelitian. Penelitian Husa
(2017) berfokus pada tiga objek, yaitu bentuk, pembentukan, dan pemakaian
12
slang, sedangkan penelitian ini berfokus pada jenis dan pola pembentukan kata
slang. Sumber data yang digunakan juga berbeda, data penelitian Husa (2017)
bersumber dari tuturan langsung dan tuturan tidak langsung dari para anggota
komunitas Batavia Undip, sedangkan data penelitian ini bersumber dari tutran
penelitian ini, perbedaan yang mendasar sebagai bukti orisinalitas dari penelitian
ini terletak pada fokus penelitian, sumber data yang digunakan dan penerapan
hasil penelitian dalam kehidupan praktis, yaitu pengajaran bahasa. Penelitian ini
berfokus pada jenis dan pola pembentukan kata slang atau bahasa gaul.
Selanjutnya data penelitian ini bersumber dari tuturan tertulis pada novel Ubur-
Ubur Lembur karya Raditya Dika. Selain itu, hasil penelitian ini untuk
melengkapi belum terpenuhinya aspek variasi bahasa di dalam bahan ajar yang
digunakan kelas X SMA, yang diintegrasikan dalam KD 3.2 menganalisis isi dan
aspek kebahasaan dari minimal dua teks laporan hasil observasi, dan KD 4.2
ilmiah yang telah teruji. Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu
(1) sosiolinguistik, (2) morfologi, (3) novel, (4) bahan ajar, dan (5) pembelajaran
bahasa Indonesia.
13
2.2.1 Sosiolinguistik
harta, peninggalan, dan sebagainya (Chaer & Agustina, 2010, p. 2-3; Nababan,
1993, p. 1-2). Kemudian semakin disadari para ahli bahasa bahwa perlu diberikan
penggunaan bahasa.
membedakan adanya tiga macam kajian bahasa berkenaan dengan fokus perhatian
ahli bahasa memakai istilah linguistik, dan kalau fokus perhatian diarahkan pada
(pragmatics). Fokus perhatian yang ketiga ini, yaitu kajian bahasa dengan dimensi
linguistik (Chaer, 2014, p. 16). Istilah sosiolinguistik terdiri dari dua unsur, yaitu
14
membicarakan bahasa, khususnya unsur-unsur bahasa (fonem, morfem, kata,
kalimat) dan hubungan antara unsur-unsur itu (struktur), termasuk hakekat dan
pembentukan unsur-unsur itu. Unsur sosio- adalah seakar dengan sosial, yaitu
dari bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat
Istilah sosiolinguistik ini baru muncul pada tahun 1952 dalam karya Haver
perilaku ujaran dengan status sosial (Chaer & Agustina, 2010, p. 5). Jadi,
pemakaian bahasa, tempat pemakaian bahasa, tata tingkat bahasa, pelbagai akibat
adanya kontak dua buah bahasa atau lebih, dan ragam serta waktu pemakaian
sosiolinguistik, bahasa itu mempunyai ciri sebagai alat interaksi sosial dan sebagai
alat mengidentifikasikan diri (Chaer, 2010, p. 14). Sebagai alat interaksi manusia,
bahasa adalah suatu sistem yang bersifat sistematis dan sekaligus sistemis.
Sistematis, maksudnya, bahasa itu tersusun menurut suatu pola tertentu; tidak
tersusun secara acak atau sembarangan. Sementara sistemis, artinya, bahasa itu
15
bukan merupakan sistem tunggal, melainkan terdiri dari sejumlah sub-subsistem;
korelasi ciri-ciri variasi bahasa itu dengan ciri-ciri sosial kemasyarakatan (Chaer
& Agustina, 2010, p. 61). Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik
adalah cabang ilmu linguistik yang bersifat interdisipliner dengan ilmu sosiologi,
mempelajari ciri-ciri variasi bahasa, serta hubungan di antara para penutur bahasa
dengan ciri fungsi variasi bahasa itu di dalam suatu masyarakat bahasa. Mengutip
pendapat Fishman (1972), Chaer dan Agustina (2010, p.3) mengatakan bahwa
sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi-fungsi variasi
bahasa, dan pemakai bahasa karena ketiga unsur ini selalu berinteraksi, berubah,
dan saling mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat tutur.
Bahasa mempunyai dua aspek mendasar, yaitu bentuk, baik bunyi dan
tulisan maupun strukturnya, dan makna, baik leksikal maupun fungsional dan
16
perbedaan kecil ataupun besar antara pengungkapannya yang satu dengan
yang disebut variasi bahasa. Soeparno (2003, p. 55) berpendapat bahwa variasi
Umpamanya antara satuan bunyi /a/ yang diucapkan seseorang dari waktu yang
satu ke waktu yang lain, atau lafal seseorang dari perkataan /tuliskan/ dari waktu
yang satu ke waktu yang lain. Perbedaan-perbedaan bentuk bahasa seperti itu dan
bahasa menjadi variasi regional dan variasi sosial. Hartman dan Stork (1972)
membedakan variasi berdasarkan kriteria (a) latar belakang geografi dan sosial
penutur, (b) medium yang digunakan, dan (c) pokok pembicaraan. Preston dan
Shuy (1979) membagi variasi bahasa, khususnya untuk bahasa Inggris Amerika
berdasarkan (a) penutur, (b) interaksi, (c) kode, dan (d) realisasi. Halliday (1970,
1990) membedakan variasi bahasa berdasarkan (a) pemakai, dan (b) pemakaian.
Mc David (1969) membagi variasi bahasa berdasarkan (a) dimensi regional, (b)
dimensi sosial, dan (c) dimensi temporal (Pateda, 2015, p. 62; Chaer & Agustina,
2010, p. 62).
berdasarkan (a) variasi geografis, (b) variasi sosiologis, (c) variasi fungsional, dan
(d) variasi perjalanan waktu. Soeparno (2003, p. 55) membagi variasi bahasa
berdasarkan (a) variasi kronologis, (b) variasi geografis, (c) variasi sosial, (d)
variasi fungsional, (e) variasi gaya/style, (f) variasi kultural, (g) variasi individual.
Chaer dan Agustina (2010, p. 62) membedakan variasi bahasa berdasarkan (a)
17
penutur, dan (b) penggunaannya. Pateda (2015, p. 62) membagi variasi bahasa
berdasarkan (a) tempat, (b) waktu, (c) pemakai, (d) situasi, (e) dialek yang
Di samping itu, terdapat hal yang sebenarnya berbeda dari variasi bahasa,
tetapi kenyataannya tidak pernah dapat dipisahkan darinya, yaitu yang disebut -lek
(atau istilah lainnya, yaitu varian, varietas, ragam) (Soeparno, 2003, p. 55). Pada
seperti pendapat Soeparno (2003, p. 55), yang dimaksudkan dengan -lek adalah
bahasa yang sama. Hal itu yang dimaksudkan dengan ragam bahasa (variety),
seperti pendapat C.A. Ferguson dan J.D. Gumperz (Alwasilah, 1990, p. 65;
18
Dari definisi itu dapat dilihat bahwa ada pola-pola bahasa (a) yang sama,
(b) dapat dianalisis secara deskriptif, (c) dibatasi oleh makna, dan (d) digunakan
yang dipahami sama oleh semua penutur bahasa itu. Namun, karena penutur
bahasa yang heterogen, dengan latar belakang sosial dan kebiasaan yang berbeda,
mempunyai kelompok sosial, hidup dalam tempat dan waktu tertentu, serta
kegiatan interaksi sosial yang dilakukan pun sangat beragam, meskipun berada
dalam masyarakat tutur, maka wujud bahasa yang bersifat konkret, yaitu parole,
bahasa itu menjadi beragam. Umpamanya, kalau dibandingkan lafal bunyi /a/ atau
perkataan /tuliskan/ dalam percakapan dua penutur yang berlainan, akan lebih
berasal dari (a) daerah yang berlainan, (b) kelompok atau keadaan sosial yang
berbeda, (c) situasi berbahasa dan tingkat formalitas yang berlainan, ataupun (d)
tahun atau zaman yang berlainan yang berlainan, maka akan lebih nyata
perbedaannya.
berlainan sehubungan dengan daerah asal penutur, kelompok sosial atau keadaan
sosial, situasi berbahasa atau tingkat formalitas, dan zaman penggunaan bahasa itu
ragam bahasa berdasarkan (a) idiolek, (b) dialek, (c) sosiolek, (d) register, dan (e)
style. Nababan (1993, p. 14) membagi ragam bahasa berdasarkan (a) dialek, (b)
sosiolek, (c) fungsiolek, (d) bahasa yang lain-lain, dan (e) kronolek. Soeparno
19
(2003, p. 55-61) membedakan ragam bahasa berdasarkan (a) kronolek, (b)
ragam atau varietas-varietas bahasa dilihat dari segi penuturnya terdiri atas (a)
idiolek, (b) dialek, (c) sosiolek, dan (d) kronolek, sedangkan ragam-ragam atau
varietas-varietas bahasa dilihat dari segi penggunaannya terdiri atas (a) bidang
penggunaan, (b) gaya atau tingkat keformalan, dan (c) sarana penggunaan. Hal itu
diperkuat oleh pendapat Halliday (1968, 1970, 1978, 1990) yang membedakan
dibedakan menjadi dialek regional yang bersifat geografis atau regional dan dialek
sosial (atau sosiolek) yang bersifat sosial. Sementara ragam-ragam atau varietas-
bidang (field), tenor (tenor), dan cara (mode). Bidang mengacu pada latar sosial
dan maksud komunikasi; tenor mengacu pada hubungan antara para peserta
komunikasi; dan cara mengacu pada sarana komunikasi (Chaer & Agustina, 2010,
2.2.1.1.1 Sosiolek
sosiologis. Realisasi variasi sosial ini berupa sosiolek. Sosiolek adalah ragam
bahasa yang sehubungan dengan kelompok sosial (Nababan, 1993, p. 14). Ragam
bahasa ini berkenaan dengan tingkat, golongan, status, dan kelas sosial para
20
mengemukakan ragam bahasa yang disebut akrolek, basilek, vulgar, slang,
kolokial (colloquial), jargon, argot, dan ken (cant). Ada juga yang menambahkan
dengan yang disebut bahasa prokem. Ada juga yang menambahkan dengan yang
Korelasi sosiolek terhadap masalah pribadi para penuturnya ini dijelaskan sebagai
berikut.
oleh kanak-kanak, para remaja, orang dewasa dan orang lansia (lanjut usia).
kosakata.
bahasa yang digunakan oleh para penutur yang berpendidikan tinggi akan berbeda
dengan para penutur yang berpendidikan menengah, rendah, atau yang tidak
Berdasarkan seks (jenis kelamin), penutur dapat pula dilihat adanya dua
jenis ragam bahasa. Percakapan yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswi atau
rnahasiswa atau bapak-bapak. Hal ini dapat juga dicatat adanya ragam bahasa
yang digunakan oleh para waria dan kaum gay, dua kelompok manusia yang
21
Perbedaan pekerjaan, profesi jabatan, atau tugas para penutur dapat pula
menyebabkan adanya variasi sosial. Ragam bahasa yang digunakan para buruh
atau tukang, para pedagang kecil, para pengemudi kendaraan umum, para guru,
para mubalig, dan para pengusaha akan berbeda antara satu dengan lainnya.
yang digunakan.
kebangsawanan dapat pula dilihat ragam bahasa yang berkenaan dengan tingkat-
tingkat kebangsawanan itu. Bahasa Jawa, bahasa Bali, dan bahasa Sunda
Melayu dulu ada yang disebut bahasa raja-raja, yang diperbedakan dengan bahasa
umum terutama dari bidang kosakatanya. Orang biasa tidur, mandi, dan mati,
maka raja-raja beradu, bersiram, dan mangkat. Ragam bahasa berkenaan dengan
tingkat kebangsawanan ini dalam bahasa Jawa disebut undak usuk atau dalam
Sebab dalam zaman modern ini pemeroleh status sosial ekonomi yang tinggi tidak
lagi identik dengan status kebangsawanan yang tinggi. Bisa saja terjadi orang
tidak memiliki status sosia1 ekonomi yang tinggi. Sebaliknya, tidak sedikit yang
tidak berketurunan bangsawan, tetapi kini memiliki status sosial ekonomi yang
22
tinggi. Penelitian yang telah dilakukan oleh Labov menunjukkan adanya ragam
bahasa berkenaan dengan status sosial ekonomi ini. Malah telah dibuktikan pula
adanya korelasi antara tingkat sosial ekonomi itu dengan tingkat penguasaan
bahasa.
2.2.1.1.1.1 Slang
Slang adalah wujud atau realisasi variasi sosial yang bersifat khusus dan
rahasia, artinya, variasi ini digunakan oleh kalangan tertentu yang sangat terbatas,
dan tidak boleh diketahui oleh kalangan di luar kelompok itu. Oleh karena itu,
ini selalu diubah atau berubah-ubah, maka slang bersifat temporal (Soeparno,
2003, p. 56; Chaer & Agustina, 2010, p. 67). Namun, kebiasaan bahasa (linguistic
habits) seseorang atau kelompok akan diketahui pihak lain. Dengan kata lain,
digunakan oleh kelompok-kelompok sosial tertentu, tetapi slang lebih umum telah
digunakan para kaula muda, meskipun kaula tua pun ada pula yang
menggunakannya.
Hal itu sejalan dengan pendapat dari Kridalaksana (2011, p. 225) bahwa
slang adalah ragam bahasa tak resmi yang dipakai oleh kaum remaja atau
orang-orang kelompok lain tidak mengerti; berupa kosakata yang serba baru dan
berubah-ubah.
23
Di kalangan remaja Indonesia, slang lebih dikenal dengan istilah bahasa
1). Definisi itu sejalan dengan pendapat Kridalaksana (2011, p. 25-26) yang
merumuskan bahasa gaul adalah ragam nonstandard bahasa Indonesia yang lazim
di Jakarta pada tahun 1980-an hingga abad ke-21 ini yang menggantikan bahasa
prokem yang lebih lazim pada tahun-tahun sebelumnya; ragam ini semula
diperkenalkan oleh generasi muda yang mengambilnya dari kelompok waria dan
Prestise slang atau bahasa gaul ini semakin kuat dengan digunakannya
ragam bahasa ini oleh para pembawa acara di stasiun televisi. Bahkan slang ini
biasa pula digunakan oleh orang-orang tingkat tinggi. Beberapa petinggi dan
bahwa slang juga dipakai oleh orang-orang tingkat tinggi—bukan hanya milik
sejalan dengan pendapat dari Hartmann dan Stork (1972) yang dikutip Alwasilah,
1990, p. 57).
24
Mulanya istilah slang memang diacukan pada kosakata khusus dalam
berbagai kejahatan untuk tidak diketahui atau dimengerti orang banyak. Sifatnya
yang khusus dan rahasia itu, maka timbul kesan bahwa slang adalah bahasa
rahasianya para pencoleng dan para penjahat, atau bahasa khusus dalam berbagai
serba baru dan sering kali berubah menyesuaikan dengan gagasan dan kebiasaan
baru yang tumbuh dalam masyarakat. Hal itu sejalan dengan pendapat dari Pei dan
Kata-kata slang yang dipakai secara lebih luas bisa menjadi kosakata
umum dan pemakainya tidak lagi mengenal asal mula kata-kata tersebut. Misalnya
sepasang kata sering diganti dengan satu kata, dan kata kedua bersajak dengan
kata asalnya, misalnya trouble and strife ‘wife (istri)’; rabbit and pork ‘talk
(berbicara)’; bird lime ‘time (waktu (yang dihabiskan di penjara))’; kemudian kata
25
Banyak penutur bahasa Inggris (Britania), menggunakan kata rabbit (on)
untuk talk (to much) ‘berbicara (terlalu banyak)’ dan kata-kata tuturan serupa
akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, mengganti nomina tertentu dengan bentuk
serupa berakhiran -er atau -gger, misalnya nogger (agnostik), dan variasi
ungkapan wager pager bagger (waste paper basket ‘tempat sampah’). Bentuk-
bentuk ini, soccer dan rugger masih bertahan dan menjadi istilah umum untuk
Contoh lain slang dalam bahasa Inggris (Amerika) seperti yang dikutip
Alwasilah (1990, p. 57-58) dari Fromkin dan Rodman (1983) yaitu spaced out,
right on, hang up, dan rip off, (kata lama dengan makna baru), pig dan fuzz
(policeman), rop, cool, dig, stoned, bread, dan split. Sementara contoh kosakata
bahasa Indonesia yang berasal dari slang dan sekarang lazim dipakai, misalnya bis
(berasal dari vehiculum omnibus), oto (berasal dari auto), taksi (berasal dari taxi
cab), bom-H (berasal dari bom hidrogenium), rapi jali, mana tahan, O.K. boss,
salome, ada aja, dan ungkapan eh ketemu lagi (Alwasilah, 1990, p. 58).
1. Karakteristik Slang
resmi dan tidak resmi. Situasi tidak resmi itu akan memunculkan suasana
penggunaan gaya bahasa tidak resmi atau informal style. Kaidah dan aturan dalam
bahasa baku tidak lagi diperhatikan. Prinsip yang dipakai dalam informal style
adalah asalkan mitra bicara bisa mengerti pesan yang disampaikan. Situasi
26
keramaian atau pusat perbelanjaan. Satu hal yang mencirikan informal style ini
sekali baru sangat jarang ditemui, tetapi sering menggunakan kata lama dengan
arti yang sama sekali baru. Di samping itu, D. Firman, dkk. (2008, p. 14) juga
menuturkan bahwa kosakata slang dapat berupa pemendekan kata dan pembalikan
tata bunyi sehingga kosakata yang lazim dipakai di masyarakat menjadi aneh,
memiliki ciri yang singkat, berubah-ubah, dan kreatif. Kata-kata yang digunakan
cenderung pendek, sementara kata yang panjang akan diperpendek melalui proses
kurang beraturan. Oleh karena itu, untuk mengetahui dan memahami slang,
penutur harus berupaya untuk menghafal setiap kali muncul kosakata baru.
2. Jenis-jenis Slang
27
a. Prokem
Salah satu tutur remaja yang khas dan muncul di Jakarta yaitu bahasa
prokem. Meskipun bahasa prokem itu sekarang dikatakan menjadi milik remaja di
Jakarta, sebenarnya pencipta aslinya adalah para pencoleng, pencopet, bandit, dan
sebangsanya, atau disebut kaum preman. Hal itu sejalan dengan pendapat
Kridalaksana (2011, p. 28) yang menyatakan bahasa prokem berasal dari bahasa
sosial yang bersifat khusus dan rahasia. Variasi ini digunakan oleh kalangan
tertentu yang sangat terbatas, dan tidak boleh diketahui oleh kalangan di luar
kelompok itu. Faktor kerahasian ini menyebabkan pula kosakata yang digunakan
dalam prokem sering kali berubah, dan bersifat temporal. Slang ini memang lebih
lebih umum digunakan oleh para kaula muda, meski kaula tua pun ada pula yang
menggunakannya. Hal ini yang oleh Rahardjo dan Loir (1988) dan Kawira (1990)
disebut bahasa prokem dan dapat dikategorikan sebagai slang (Chaer & Agustina,
2010, p. 67).
Bahasa prokem atau biasa juga disebut bahasa sandi, yaitu bahasa yang
dipakai dan digemari oleh kalangan remaja tertentu. Sintaksis dan morfologi
dialek Betawi. Ada banyak ragam bentukan bahasa prokem. Saleh (2007)
28
Sumarsono dan Partana (2002, p. 154-158) juga merumuskan
penyisipan -ok- di tengah kata yang sudah disusutkan, (2) variasi penyisipan -ok-
pertama), (3) penyisipan konsonan V + vokal, (4) penggantian suku akhir dengan
–sye, (5) ragam walikan (membalik fonem-fonem dalam kata atau metatesis pada
tingkat suku kata), (6) variasi ragam walikan (membalik fonem-fonem dalam kata
disertai penyisipan bunyi-bunyi tertentu dalam kata itu yang diubah), (7)
etimologi dari kata yang sudah ada, dan (10) kata-kata dialek Betawi, dan (11)
pembubuhan sisipan pa/pi/pu/pe/po (D. Firman, dkk., 2008, p. 12). Setiap kata
Maksudnya, bila suku kata itu bervokal a, maka dibubuhi pa; bila suku kata itu
bervokal i, maka dibubuhi pi; bila suku kata itu bervokal u, maka dibubuhi pu;
bila suku kata itu bervokal e, maka dibubuhi pe; bila suku kata itu bervokal o,
maka dibubuhi po. Misalnya, sipiapa (siapa), dipi manapa (di mana), kapamupu
(kamu).
rumus pembentuk berupa pembubuhan awalan ko-. Awalan ko- sebagai dasar
pembentukan kata. Pembentukannya yaitu setiap kata dasar yang diambil hanya
29
suku kata pertamanya, tetapi suku kata pertama ini huruf terakhirnya wajib
konsonan. Misalnya, kata preman, yang diambil bukannya pre tapi prem. Setelah
itu dibubuhi awalan ko-, maka menjadi koprem. Kemudian kata koprem ini
Hal ini, Sumarsono dan Partana mempunyai pandangan yang berbeda mengenai
rumus pembentukan bahasa prokem ini. Meskipun demikian, tetapi konsep yang
1) Sebagian memakai penyisipan -ok- di tengah kata yang sudah disusutkan. Kata
(a) Setiap kata diambil 3 fonem (gugus konsonan dianggap satu) pertama,
(b) Bentuk itu disisipi -ok-, di belakang fonem (atau gugus fonem) yang
yang merumuskan bahasa prokem ditandai oleh kata-kata Indonesia atau kata
dialek Betawi yang dipotong dua fonemnya yang paling akhir kemudian
disisipi bentuk -ok- di depan fonem terakhir yang tersisa, misalnya kata bapak
dipotong menjadi bap, kemudian disisipi -ok-, jadilah kata prokem bokap.
rahasianya kaum waria dan gay di Surabaya dan tutur remaja di Malang. Pada
30
bahasa waria dan gay ada rumus pembentuk sebagai berikut (Sumarsono &
(c) Bentuk terakhir itu lalu ditambah dengan -ong, menjadi bencong.
2008, p. 12). Kata bencong merupakan bentukan dari kata banci yang disisipi
bunyi e dan dibubuhi akhiran -ong. Huruf vokal pada suku kata pertama
diganti dengan e, dan huruf vokal pada suku kata kedua diganti -ong.
setiap suku kata, baik dalam bahasa daerah maupun bahasa Indonesia,
misalnya.
31
Setiap kata diambil hanya suku pertamanya saja, suku yang lain dihilangkan,
kunci kunsye
tambah tamsye
Jika suku kata pertama terbuka, konsonan pertama pada suku berikutnya
diambil sehingga sebelum ditambah -sye suku kata itu tetap tertutup, misalnya.
sepeda sepsye
5) Ragam walikan. Dasarnya bisa bahasa Jawa atau bahasa Indonesia. Aturan
umum pembentukan dalam bahasa rahasia ini ialah kata-kata dibaca terbalik
mata atam
sari iras
tidak kadit
besok sobek
piring riping
bener neber
penyisipan fonem-fonem tertentu dalam kata itu yang diubah), dan (e) model
pembalikan pada tingkat suku kata yang disertai penghilangan fonem dan
32
nakam naskim naskokim
raija ojir ajojir
(e) mabok baok
habis ba’is
ambil ba’il
sudah banyak orang yang tidak mengetahuinya) sebagai akronim, yaitu bemo.
Kata ini muncul ketika pada tahun 1960-an ada gagasan untuk meningkatkan
taraf hidup tukang becak dengan cara mengubah becak menjadi kendaraan
bermotor kecil, yang akan disebut becak motor. Kata ini kemudian disingkat
menjadi bemo. Semula mengacu kepada kendaraan kecil beroda tiga (satu di
depan dan dua di belakang), tetapi di daerah-daerah bemo mengacu juga pada
33
Akronim-akronim itu kadang-kadang sulit untuk diucapkan atau terasa
penggunaan gugus konsonan yang tidak biasa ada dalam bahasa Indonesia,
Dari segi sosiolinguistik, gejala bahasa ini berkaitan dengan kelompok sosial
9) Penafsiran kepanjangan atau etimologi dari kata yang sudah ada. Kalangan
remaja sendiri dalam membuat akronim dengan tidak menciptakan kata baru,
melainkan menggunakan kata-kata lama yang sudah ada dan dikenal dalam
bahasa Indonesia, menjadi akronim yang agak menggelitik, nakal, atau porno.
dan domisili itu sebenarnya tidak bisa atau jarang ada dalam sebuah kalimat,
maka bisa saja orang akan menafsirkan lain. Tafsiran itu ialah orang bukan
Penguraian dan penafsiran ini hampir mirip dengan yang dalam bahasa
Jawa dikenal dengan kerata basa. Dengan cara ini orang menafsirkan kata-
kata, lalu dicari-cari kepanjangan dari kata itu, agar tampak logis, misalnya.
34
dubang idu abang ‘ludah merah’
kerikil keri ing sikil ‘geli di kaki’
seperti semampai tersebut diciptakan oleh para remaja. Remaja memang suka
penciptaan bentuk-bentuk nonbaku. Oleh karena itu, bahasa prokem ini sulit
masyarakat umum berubah menjadi aneh, lucu, terasa asing, dan tidak mudah
10) Kata-kata dialek Betawi. Salah satu ciri bahasa remaja adalah kreativitas.
Ragam seperti itu tidak bisa dilihat hanya dari sudut linguistik melainkan dari
segi sosialnya. Kemunculan kata-kata baru itu, dilihat dari segi kebahasaan,
Beberapa kata yang berasal dari dialek Betawi yang sudah meluas, tidak hanya
pada kalangan remaja saja, dan tidak hanya di kalangan remaja Jakarta. Kata-
kata hasil kreativitas remaja yang termasuk meluas adalah cowok ‘pemuda’
dan cewek ‘gadis’, caem ‘cantik, tampan’, badung ‘nakal’, bawel ‘cerewet’,
berlagu ‘berlagak’, berlagak pilon ‘pura-pura tak tahu’, dan kreativitas lain
11) Di samping itu, ada pula kosakata khusus yang rumusannya tidak ada,
gout atau ogut (saya), item (kopi), ji (kamu), dan tikus (polisi).
35
b. Jargon
tetapi tidak bersifat rahasia (Soeparno, 2003, p. 57; Chaer & Agustina, 2010, p.
68). Dengan kata lain, Jargon adalah pemakaian bahasa dalam setiap bidang
tidak dimengerti oleh kelompok lain (Kridalaksana, 2011, p. 98-99; Pateda, 2015,
p. 82).
group; but not used and often not understood by the speech community as a
satu kelompok sosial atau kelompok pekerja, tapi tidak dipakai dan sering tidak
Dalam disipin ilmu, profesi, perdagangan, dan jabatan selalu ada seperangkat
kelompok tukang batu, montir, kernet dan sopir, guru bahasa, dan sebagainya.
ungkapan, seperti roda gila, didongkrak, dices, dibalans, dan dipoles. Kelompok
tukang batu dan bangunan pun ada ungkapan-ungkapan, seperti disipat, diekspos,
36
didiku, dan ditimbang. Kelompok guru bahasa atau peminat linguistik juga
kedokteran tidak mengerti semua itu. Begitu juga sebaliknya. Bila mahasiswa
oleh orang atau kelompok yang terkenal melalui berbagai media popular. Hal itu
sejalan dengan pendapat dari Sumarsono dan Partana (Laili, 2012, p. 3) bahwa
jargon merupakan istilah atau ungkapan berupa kata atau kalimat pendek yang
dipopulerkan oleh orang atau kelompok yang terkenal melalui media populer,
seperti televisi, radio, perfilman, koran, majalah, novel. Ungkapan ini dapat pula
berupa reklame/iklan, potongan lirik lagu, dialog dalam film atau gaya bicara dari
tokoh masyarakat atau seorang pesohor atau selebriti, dan digunakan sebagai
publikasi yang ditujukan untuk kalangan remaja. Misalnya saja jargon “So what
gitu lho” yang dipopulerkan oleh Saykoji. Ungkapan itu merupakan judul dan
c. Argot
Argot adalah seperti yang dikemukakan Certa (2001) “L’argot est une
mots passent dans la langue commune”. Artinya argot adalah suatu bentuk bahasa
37
keakraban dan bahasa unik yang diciptakan oleh kalangan terbatas di mana
banyak kosakata argot yang diserap ke dalam bahasa umum (Andika, 2016, p. 15).
dalam lingkungan politik, bidang hukum, bidang ekonomi, bidang sastra dan
bidang-bidang lainnya. Hal itu sejalan dengan pemikiran Soeparno (2003, p. 57)
dan Chaer dan Agustina (2010, p. 68) yang menyatakan bahwa argot adalah
dan bersifat rahasia. Dengan kata lain, argot dapat diartikan sebagai slang profesi.
Asal mula kata argot pada awal abad ke-17, seperti yang dikutip
Rahmawati (2017, p. 9) dari Merle (2000) yang menerangkan bahwa argot bukan
korporasi pengemis. Oleh karena itu, bahasa argot pada awalnya dipakai oleh
Hal itu sejalan dengan pendapat dari Kridalaksana (2011, p. 19) yang
menyatakan bahwa argot adalah bahasa dan perbendaharaan kata suatu kelompok
dalam arti ‘mangsa’, kacamata dalam arti ‘polisi’, daun dalam arti ‘uang’, gemuk
dalam arti ‘mangsa besar’, dan tape dalam arti ‘mangsa yang empuk’.
38
d. Kolokial
resmi, juga disebut sebagai bahasa sehari-hari. Chaer dan Agustina (2010, p. 67)
oleh masyarakat yang tinggal di daerah tertentu. Kolokial biasa juga disebut
kata atau frase yang lazim dipakai dalam percakapan, tidak dalam bahasa tulisan.
kampungan dan bahasa kelas golongan bawah. Pada derajat yang paling rendah,
pada pemakaian informal, baik dalam ujaran maupun tulisan, sehingga menjadi
pula sebagai kosakata yang kena untuk diterapkan pada daerah antara slang
dengan informal tinggi. Banyak ungkapan yang kini disebut kolokial (colloquial)
dalam kamus berasal dari ungkapan-ungkapan slang yang terus menerus dipakai.
39
Bahasa Inggris sering ditemukan ungkapan-ungkapan kolokial (colloquial) seperti
don’t, I’d, We’ll, fixed (bribed), pretty (very), funny (peculiar), take stock in
dalam bahasa Inggris dengan padanan bakunya yang dikutip Chaer dan Agustina
penting adalah konteks dalam pemakaiannya. Ciri khas dari kolokial yaitu
linguistik ini bertujuan agar komunikasi bahasa dapat lebih ringkas dan praktis,
bersifat akrab dan menciptakan suasana yang santai atau tidak kaku. Kolokial
lazim digunakan untuk penulisan dalam sebuah pesan elektronik, seperti e-mail,
short message service, chatting, dan lain-lain (Laili, 2012, p. 4). Bahasa
(dokter), prof (profesor), let (letnan), ndak ada (tidak ada), trusah (tidak usah),
40
kap (kapten), dan sebagainya (Chaer & Agustina, 2014, p. 67; Alwasilah, 1990, p.
60).
e. Ken
Ken (cant) adalah wujud variasi bahasa yang dipakai oleh kelompok sosial
tertentu dengan lagu yang dibuat merengek-rengek, bernada memelas, dan penuh
kepura-puraan. Cant ialah sejenis slang, tetapi sengaja dibuat untuk merahasiakan
sesuatu kepada kelompok lain. Pada lingkungan muda-mudi hal ini terasa sekali.
Selain itu, kekhususan lain cant yaitu dipakai terutama pada strata sosial yang
rendah, seperti tercermin dalam ungkapan the cant of beggar (bahasa pengemis).
Hal ini tampak pada pemakaian bahasa oleh para pengemis atau peminta-minta
(Soeparno, 2003, p. 57; Chaer & Agustina, 2010, p. 68; Alwasilah, 1990, p. 62;
2.2.2 Morfologi
Secara etimologi kata morfologi berasal dari kata morf yang berarti bentuk
dan kata logi yang berarti ilmu. Jadi secara harfiah kata morfologi berarti ilmu
yang mengkaji kata dan bagian-bagiannya yang memiliki makna leksikal dan
makna gramatikal.
Hal itu diperkuat pendapat dari Chaer (2008, p. 3), yang mengemukakan
dan pembentukan kata. Dengan kata lain, morfologi menyelidiki struktur kata,
41
bagian-bagiannya, serta cara pembentukannya (Chaer, 2014, p. 15). Hal itu juga
sejalan dengan pendapat dari Soeparno (2003, p. 72), yang mengemukakan bahwa
pembentukan kata.
subsistem yang berupa proses yang mengolah leksem menjadi kata atau seperti
derivational types, yaitu “these may merge into or become identical with
Dengan kata lain, yang berperan sebagai input dalam proses itu ialah
berperan sebagai output. Proses ini, kecuali dalam derivasi zero, leksem
bentuknya berubah dan memperoleh makna baru yang disebut makna gramatikal,
sedangkan makna semula, yaitu makna leksikal, sedikit banyak tidak berubah.
Jadi, output proses ini, yaitu kata, merupakan suatu kesatuan yang dapat dianalisis
morfem yang dalam hierarki gramatikal merupakan satuan terkecil baru dapat
ditandai setelah kata terbentuk melalui proses morfologis itu, sebagaimana yang
dikutip Kridalaksana (2009, p. 10) dari pernyataan Aronoff (1976), “All regular
primary signs, morphemes only secondary signs, i.e. signs (words); therefore
words are better perceivable than morphemes for motivating derived words”.
42
2.2.2.1 Kata
Kata merupakan dua macam satuan, ialah satuan fonologik dan satuan
gramatik. Sebagai satuan fonologik, kata terdiri dari satu atau beberapa suku, dan
suku itu terdiri dari satu atau beberapa fonem, dan sebagai satuan gramatik, kata
terdiri dari satu atau beberapa morfem; kata ialah satuan bebas yang paling kecil,
atau dengan kata lain, setiap satu satuan bebas merupakan kata (Ramlan, 1987, p.
50).
merumuskan tiga hakikat kata, ialah (1) morfem atau kombinasi morfem yang
oleh bahasawan dianggap sebagai satuan terkecil yang dapat diujarkan sebagai
bentuk yang bebas; (2) satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri, terjadi dari
morfem tunggal, (misalnya batu, rumah, dating, dsb.) atau gabungan morfem
antara lain dalam bahasa Inggris, pola tekanan juga menandai kata; (3) satuan
terkecil dalam sintaksis yang berasal dari leksem yang telah mengalami proses
morfologis.
2.2.2.1.1 Leksem
berkaitan, terlihat pada kenyataan bahwa kata merupakan satuan terbesar dalam
morfologi dan sekaligus satuan terkecil dalam sintaksis. Istilah leksem berbeda
dengan kata, seperti yang dikutip Kridalaksana (2009, p. 9) dari pernyataan Lyons
43
units such as /sǝeᶇ/ or sang on the one hand, or to the
grammatical units they represent, on the other hand, (and
indeed do not always distinguish even between these two
senses), we shall introduce another term, lexeme, to denote the
more ‘abstract’ units which occur in different inflexional
‘forms’ according to the syntactic rules involved in the
generation of sentences.
leksem sudah dipergunakan oleh Whorf (1938) dan Lyons (1977), seperi yang
lexeme…” adalah “…the world or stem as an item of the vocabulary, and as a part
kemudian menyatakan, “...lexemes are the words and phrases that a dictionary
bahwa leksem merupakan “an ABSTRACT unit the fundamental unit of the
sebagai satuan dasar dalam leksikon dan dibedakan dari kata sebagai satuan
gramatikal. Dengan kata lain, leksemlah yang merupakan bahan dasar yang
gramatika.
gramatika dalam bentuk morfem dasar atau kata. Jadi, dapat disimpulkan bahwa
leksem adalah (1) satuan terkecil dalam leksikon, (2) satuan yang berperan
sebagai input dalam proses morfologis, (3) bahan baku dalam proses morfologis,
(4) unsur yang diketahui adanya dari bentuk yang setelah disegmentasikan dari
44
bentuk kompleks merupakan bentuk dasar yang lepas dari proses morfologis, dan
(5) bentuk yang tidak tergolong proleksem atau partikel (Kridalaksana, 2009, p.
9).
Guna dapat digunakan dalam kalimat atau pertuturan tertentu, maka setiap
bentuk dasar harus dibentuk lebih dahulu menjadi sebuah kata gramatikal melalui
prosede morfologis.
yaitu prosede morfologis dan proses morfologis. Sebenarnya kedua istilah itu
dari sebuah bentuk dasar melalui proses pembentukan kata. Prosedur prosede
morfologis terjadi dari input, yaitu leksem, dan salah satu proses pembentukan
kata, serta output berupa kata (Kridalaksana, 2009, p. 12). Pembentukan kata
yang mengalami prosede morfologis menjadi kata, dapat kembali lagi menjadi
unsur leksikal, kemudian mengalami prosede morfologis lagi dan menjadi kata
45
baru. Terjadinya leksem menjadi kata itu disebut gramatikalisasi, dan kembalinya
kata menjadi unsur leksikal disebut leksikalisasi (Kridalaksana, 1990, p. 33). Jadi,
sebuah bentuk yang lebih besar, yang berupa kata kompleks atau kata yang
polimorfemis.
(a) bentuk dasar, (b) alat pembentuk, (c) makna gramatikal, dan (d) hasil proses
morfologis, Chaer (2008, p. 27) menuturkan bahwa alat pembentuk dalam prosede
morfologis adalah (a) afiks dalam proses afiksasi, (b) pengulangan dalam proses
penyingkatan dalam proses akronimisasi, dan (e) pengubahan status dalam proses
konversi.
(c) reduplikasi, (d) komponisasi, (e) suplisi, (f) perubahan internal, dan (g)
prosede morfologis, yaitu (a) afiksasi, (b) reduplikasi, (c) perubahan interen, (d)
suplisi, dan (e) modifikasi kosong. Chaer (2008, p. 27-28) mengatakan bahwa
prosede morfologis berkenaan dengan (a) afiksasi, (b) reduplikasi, (c) komposisi,
(d) akronimisasi atau abreviasi khusus, dan (e) konversi atau derivasi zero/
prosede morfologis, yaitu (a) afiksasi, (b) klitisasi, (c) modifikasi intern, (d)
46
Selanjutnya, Ramlan (2001, p. 52) mengemukakan macam-macam prosede
morfologis, yaitu (a) proses pembubuhan afiks (afiksasi), (b) proses perulangan
(reduplikasi), (c) proses pemajemukan, dan (d) proses perubahan zero. Adapun
afiksasi, (c) reduplikasi, (d) abreviasi, (e) komposisi, dan (f) derivasi balik.
Pembentukan kata dalam bahasa Indonesia ini dapat dijadikan acuan dalam
mengkaji pembentukan kata slang atau bahasa gaul, dikarenakan morfologi slang
1. Derivasi Zero
Derivasi zero adalah proses yang mengubah leksem menjadi kata tunggal
2. Afiksasi
a. Prefiks, yaitu afiks yang diletakkan di muka dasar, seperti meN-, di-, ber-, ke-,
b. Infiks, yaitu afiks yang diletakkan di dalam dasar, seperti -el-, -er-, -em-, -in-,
c. Sufiks, yaitu afiks yang diletakkan di belakang dasar, seperti -an, -kan, dan -i.
47
e. Konfiks, yaitu afiks yang terdiri dari dua unsur, satu di muka bentuk dasar dan
satu di belakang bentuk dasar, seperti ke--an, peN--an, per--an, dan ber--an.
g. Kombinasi afiks, yaitu kombinasi dari dua afiks atau lebih yang bergabung
dengan dasar. Afiks ini bukan jenis afiks yang khusus, dan hanya merupakan
tersendiri, muncul secara bersama pada bentuk dasar, tetapi berasal dari proses
3. Reduplikasi
reduplikasi, yaitu.
vokal.
yang terjadi berlangsung ke arah sebelah kanan atau sejalan dengan arus ujaran,
48
sedangkan reduplikasi regresif adalah proses reduplikasi yang terjadi berlangsung
4. Abreviasi
bagian leksem atau kombinasi leksem sehingga menjadi bentuk baru yang
gabungan huruf, baik yang dieja huruf demi huruf maupun yang tidak dieja
dari leksem.
kata atau bagian lain yang ditulis dan dilafalkan sebagai sebuah kata yang
gabungan leksem.
5. Komposisi
6. Derivasi Balik
49
2.2.3 Novel
bersinonim dengan fiksi. Dengan demikian, pengertian fiksi itu juga berlaku untuk
novel (Nurgiyantoro, 2012, p. 9). Novel (novel) berasal dari bahasa Itali novella
novella berarti sebuah barang baru yang kecil, dan kemudian diartikan sebagai
Dilihat dari segi formalitas bentuk dan segi panjang cerita, novel adalah
sebuah cerita yang panjang dan berjumlah ratusan halaman. Dari segi panjang
cerita itu, novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu
secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detil, dan lebih banyak melibatkan berbagai
permasalahan yang lebih kompleks. Hal itu mencakup berbagai unsur cerita yang
membangun novel itu. Novel sebagai karya fiksi dibangun oleh unsur-unsur
pembangun berupa unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Novel memiliki unsur
peristiwa, tema, tokoh, penokohan, plot, latar, sudut pandang, dan lain-lain.
yang saling berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling
bersama membentuk sebuah totalitas itu—di samping unsur formal bahasa, masih
50
2.2.3.1.1 Bahasa Percakapan
Unsur bahasa merupakan salah satu bagian dari totalitas atau unsur
pembangun cerita atau subsistem organisme itu. Hal inilah yang menyebabkan
novel, juga sastra pada umumnya, menjadi berwujud (Nurgiyantoro, 2012, p. 22-
23). Sebuah karya fiksi umumnya dikembangkan dalam dua bentuk penuturan,
yaitu narasi dan dialog. Kedua bentuk itu hadir secara bergantian, sehingga cerita
yang ditampilkan menjadi tidak bersifat monoton, segar, dan terasa variatif
(Nurgiyantoro, 2012, p. 310). Hal itu diperkuat dengan pendapat dari Bakhtin
(Anwar, 2015, p. 157), yang menunjukkan dua jenis tuturan dalam karya sastra
2.2.3.1.1.1 Dialog
Bakhtin menunjuk pada genre sastra novel merupakan varian karya sastra
yang paling bersifat dialogis dan menunjukkan kualitas intertekstual yang paling
kuat (Anwar, 2015, p. 157). Bentuk tuturan dialogis berupa kombinasi suara
pengarang dan suara-suara manusia lain. Novel secara jelas menampakkan ruang-
seorang tokoh, percakapan antartokoh, bagaimana wujud kata-katanya dan apa isi
dan memberi penekanan terhadap cerita atau kejadian yang dituturkan dengan
51
2.2.3.2 Novel Ubur-Ubur Lembur
Raditya Dika yang dirilis pada tanggal 1 Februari 2018 oleh penerbit Gagas
Media, Jakarta. Novel Ubur-Ubur Lembur berjumlah ix + 231 halaman. Novel ini
terdiri atas empat belas subjudul, yaitu (1) dua orang yang berubah, (2) pada
sebuah kebun binatang, (3) mata ketemu mata, (4) balada minta foto, (5) raja di
sekolah, (6) di bawah mendung yang sama, (7) rumah yang terlewat, (8) tempat
shooting horor, (9) percakapan dengan seorang artis, (10) curhatan soal instagram
zaman now, (11) percakapan dengan seorang anak yang ingin jadi artis, (12)
korban tak sampai, (13) penyesalan itu nikmat, dan (14) ubur-ubur lembur (Dika,
2018, p. v).
bahasa yang ringan, bahasa keseharian remaja, yang sesuai dengan kebiasaan baru
yang tumbuh dalam masyarakat, sehingga mudah dimengerti oleh pembaca, yang
notabene dari kalangan remaja. Novel ini sangat sesuai dengan dunia remaja yang
penuh tuntutan dan iklim cinta kasih. Novel ini pun banyak memuat penggunaan
kata-kata slang, baik di dalam narasi maupun dialog para tokohnya. Dipenuhi
dengan gejala bahasa, seperti penafsiran kepanjangan atau etimologi dari kata-
kata yang sudah ada, dan gejala pemakaian kata-kata dialek Jakarta, khususnya
yang biasa dipakai remaja, misalnya cewek, cowok, dan sebagainya. Banyak hal
yang bisa disimak sampai tuntas dari karya sastra remaja ini, kemudian dikaitkan
dengan ciri-ciri psikologis remaja, karena bahasa juga cermin kelompok ini.
52
2.2.4 Bahan Ajar
merumuskan beberapa definisi bahan ajar, yaitu (1) bahan ajar merupakan bagian
dari sumber belajar, (2) bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan
(teaching material) yang disusun secara sistematis, menampilkan sosok utuh dari
kompetensi yang akan dikuasai siswa dalam kegiatan pembelajaran, (4) bahan ajar
seperangkat materi yang disusun secara sistematis, sehingga tercipta suasana yang
Bahan ajar berfungsi sebagai (a) pedoman bagi Guru yang akan
pedoman bagi Siswa yang akan mengarahkan semua aktivitasnya dalam proses
53
2.2.4.2 Tujuan Penyusunan Bahan Ajar
Bahan ajar disusun dengan tujuan (a) menyediakan bahan ajar yang sesuai
bahan ajar yang sesuai dengan karakteristik dan setting atau lingkungan sosial
siswa, (b) membantu siswa dalam memperoleh alternatif bahan ajar di samping
buku-buku teks yang terkadang sulit diperoleh, dan (c) memudahkan guru dalam
Penyusunan bahan ajar memiliki manfaat bagi guru dan siswa. Manfaat
yang dapat diperoleh apabila guru mengembangkan bahan ajar, yaitu antara lain
(1) diperoleh bahan ajar yang sesuai tuntutan kurikulum dan sesuai dengan
kebutuhan belajar siswa, (2) tidak lagi tergantung kepada buku teks yang
terkadang sulit untuk diperoleh, (3) bahan ajar menjadi lebih kaya karena
pengetahuan dan pengalaman guru dalam menulis bahan ajar, (5) bahan ajar akan
siswa karena siswa akan merasa lebih percaya kepada gurunya, (6) tulisan tersebut
dapat diajukan untuk menambah angka kredit ataupun dijadikan buku dan
diterbitkan.
Selain itu, penyusunan bahan ajar juga bermanfaat bagi siswa, yaitu (1)
54
harus dikuasai, (4) kegiatan pembelajaran menjadi lebih menarik, (5) siswa akan
dikuasainya, (6) siswa akan lebih banyak mendapatkan kesempatan untuk belajar
Bahan ajar dapat berupa bahan tertulis dan non-tertulis. Depdiknas (2008,
menjadi empat kategori, yaitu (1) bahan cetak (printed), (2) bahan ajar dengar
(audio), (3) bahan ajar pandang dengar (audio visual), dan (4) bahan ajar
dihasilkan dari penelitian ini berupa bahan ajar cetak, sehingga hanya bahan ajar
Penyusunan bahan ajar meliputi (1) analisis kebutuhan bahan ajar, (2)
penyusunan peta bahan ajar, (3) struktur bahan ajar, dan (4) penyusunan bahan
ajar cetak.
yang harus dikuasai oleh peserta didik, diperlukan analisis terhadap SK-KD,
55
analisis sumber belajar, dan penentuan jenis serta judul bahan ajar (Depdiknas,
1. Analisis SK-KD
ajar yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan SK-KD. Selain itu, juga
analisis ini dapat diketahui banyaknya bahan ajar yang harus disiapkan dalam
satu semester tertentu dan jenis bahan ajar mana yang dipilih.
kebutuhan.
kompetensi dasar, maka dapat dijadikan sumber belajar. Selain itu, perlu juga
kriteria bahwa bahan ajar harus menarik dan dapat membantu siswa untuk
56
mencapai kompetensi, sehingga bahan ajar dibuat dengan mempertimbangkan
Peta kebutuhan bahan ajar disusun setelah diketahui banyaknya bahan ajar
yang harus disiapkan melalui analisis kebutuhan bahan ajar. Peta Kebutuhan
bahan ajar sangat diperlukan guna mengetahui jumlah bahan ajar yang harus
ditulis dan sekuensi atau urutan bahan ajarnya. Sekuensi bahan ajar ini sangat
Perbedaan struktur bahan ajar cetak disajikan dalam tabel 1 sebagai berikut.
57
Keterangan:
Ht: handout, Bu: Buku, Ml: Modul, LKS: Lembar Kegiatan Siswa, Bro: Brosur,
Bahan ajar cetak dapat berupa handout, buku, lembar kegiatan siswa
Penyusunan bahan perlu diperhatikan bahwa judul atau materi yang disajikan
harus berintikan KD atau materi pokok yang harus dicapai oleh peserta didik.
Selain itu, penyusunan bahan ajar harus memperhatikan beberapa hal sebagai
berikut.
a. Susunan tampilan, bahan ajar disusun dari urutan yang mudah, memiliki judul
b. Bahasa yang mudah, bahan ajar menggunakan bahasa yang mudah dipahami,
kalimat dan hubungan kalimatnya jelas, dan kalimat tidak terlalu panjang.
d. Stimulan, enak tidaknya bahan ajar dilihat, tulisan mendorong pembaca untuk
e. Kemudahan dibaca, bahan ajar mudah dibaca, memiliki susunan teks yang
terstruktur.
58
f. Materi instruksional, pemilihan bahan ajar berupa teks sesuai dengan
kebutuhan siswa, tersedianya bahan kajian dan lembar kerja untuk siswa.
secara umum memiliki sistematika yang terdiri atas bagian awal, bagian isi, dan
bagian penutup. Adapun luaran penelitian ini yaitu bahan ajar cetak berupa buku.
1. Bagian pendahuluan, bagian ini terdiri atas (a) cover, (b) halaman judul, (c)
2. Bagian isi, bagian ini merupakan bagian yang berisi pokok pembahasan sesuai
dengan konsep dan ruang lingkup pembelajaran. Bagian ini terdiri atas
d. Tujuan pembelajaran
e. Materi pembelajaran
f. Latihan
g. Penilaian
3. Bagian penutup, bagian ini terdiri atas (a) daftar pustaka, dan (b) biografi
penulis.
59
2.2.5 Pembelajaran Bahasa Indonesia
baku atau bahasa standar (Alwi, dkk., 2010, p. 13). Adapun ragam bahasa
di Indonesia yaitu bahasa Indonesia yang baku. Bahasa Indonesia menjadi salah
pelajaran bahasa Indonesia tidak dapat dipisahkan dari perkembangan teori belajar
pedagogy, serta CLIL (content language integrated learning) yang menjadi dasar
yang memiliki jenis yang berbeda sesuai dengan tujuan sosial dan fungsi
Pencapaian tujuan ini diwadahi setiap jenis genre (tipe teks) yang memiliki
kekhasan cara pengungkapan struktur retorika teks, isi, dan kekhasan unsur
berbentuk tulisan, lisan, atau multimodal. Terdapat 7 jenis teks sebagai tujuan
sosial, yaitu (1) laporan (report), (2) rekon (recount), (3) eksplanasi (explanation),
(description), (6) prosedur (procedure), dan (7) narasi (narrative) (Suherli, dkk.,
2017b, p. ix).
60
CLIL merupakan perkembangan yang lebih realistis dari pengajaran
dengan topik, dan Culture berkaitan dengan muatan lokal lingkungan sekitar yang
aspek: bahasa, sastra, dan literasi. Lingkup aspek bahasa mencakup pengenalan
variasi bahasa, bahasa untuk interaksi, struktur dan organisasi teks. Ruang lingkup
menilai karya sastra, dan menciptakan karya sastra. Ruang lingkup literasi
menganalisis, dan mengevaluasi teks. Adapun materi yang akan dipelajari di kelas
X SMA/MA atau SMK/MAK terdiri atas: (1) Laporan Hasil Observasi; (2)
Eksposisi; (3) Anekdot; (4) Cerita Rakyat; (5) Negosiasi; (6) Berdebat; (7)
61
2.2.5.1.1 Laporan Hasil Observasi
secara umum tentang sesuatu berdasarkan fakta dari hasil pengamatan secara
langsung.
bahasa Indonesia kurikulum 2013 revisi 2017 kelas X SMA semester gasal, materi
ajar yang disusun dari hasil penelitian akan diimplementasikan pada KD 3.2
menganalisis isi dan aspek kebahasaan dari minimal dua teks laporan hasil
62