Anda di halaman 1dari 5

Tugas Resensi Buku Non Fiksi

Identitas buku :
1. Judul Buku : Parlemen atau Soviet
2. Nama Pengarang : Tan Malaka
3. Nama Penerbit: Sega Arsy
4. Tahun Terbit : 1921
5. Klasifikasi : Sejarah Indonesia
6. Tebal : 168 Halaman
7. Cetakan : Cetakan 1, 2014
Snopsis buku :
Buku ini ditulis oleh Tan Malaka tahun 1921 di Semarang bersamaan dengan masa-masa
masuknya ajaran Marxisme ke Indonesia.
Dalam buku Ini Tan Malaka menjabarkan tentang sistem parlemen yang digunakan di berbagia
negara. Parlemen secara umum, di Jerman, di Inggris, di Belanda, di Jepang dan di Hindia.
Setelah memaparkan kondisi realita, Tan Malaka menyampaikan kritiknya atas parlemen lalu
dilanjutkan dengan cita-cita besar khas sosialisme dan komunisme khas Soviet.
Bagi Tan Malaka, demokrasi dengan sistem parlemen hanya akan menghasilkan anggota
parlemen yang berasal dari kelompok pemilik modal atau orang yang didukung oleh pemilik
modal. Sebagai konsekuensi, parlemen berpotensi menghasilkan kebijakan yang hanya
menguntungkan golongan yang meimiliki modal, jauh dari kepentingan rakyat yang ia wakili.
Selanjutnya parlemen akan tergoda untuk berselingkuh dnegan eksekutif, perusahaan dan
perbankan. Pada gilirannya, demokrasi akan bermakna dari pemilik modal, oleh pemilik modal
dan untuk mereka yang memiliki modal.
Siapakah Tan Malaka? 
Tan Malaka (1894-1949) adalah tokoh yang cukup kontroversial baik di kalangan akademisi,
pergerakan maupun elit politik di Indonesia dan bahkan di beberapa Negara yang pernah
dikunjunginya. Tan Malaka yang memiliki nama asli Ibrahim lahir di Pandan Gadang, sebuah
daerah pedalaman di minangkabau. Ia juga merupakan salah satu orang Indonesia pertama yang
melanjutka studinya ke Belanda.
Selama studi di Belanda, Tan Malaka dikejutkan oleh perbedaan mencolok dalam hal politik
yang terjadi di Belanda dengan yang terjadi di Indonesia. Selain itu, pergolakan politik di eropa
melalui perang dunia pertama dan kemenangan Revolusi Bolshevik di Russia membuatnya
tertarik pada bacaan dan diskusi politik menganai ideology yang menentang penjajahan
kolonialisme terutama Sosialisme dan Komunisme.
Sekembalinya dari Belanda, Tan Malaka sempat bekerja di Sanembah Maatsphij di Deli sebelum
ia pindah ke Semarang. Karir politiknya dimulai dari menjadi anggota Perserikatan Komunis
Hindia (PKI) dan membangun sekolah-sekolah rakyat di semarang. Ia juga sempat menjadi
Ketua PKI menggantikan Semaoen yang sedang berada di Russia juga pernah menghadiri
Komintern mewakili Hindia sebelum ditangkap oleh penguasa kolonial pada tahun 1922. Namun
hubungannya dengan PKI tidak berlangsung mulus ketika ia menentang rencana revolusi rakyat
di tahun 1926.
Sejak itu PKI menganggapnya sebagai pengkhianat dengan berbagai macam sebutan peyoratif
terhadapnya. Namun Ia tak patah arang, meskipun hidup dalam pengasingan dipisahkan dari
negeri yang ia perjuangkan. Tan memutuskan hubungannya dengan PKI dan Komintern dan
membangun PARI di Bangkok pada tahun 1927 setelah sebelumnya merumuskan kemerdekaan
Indonesia dalam bentuk Negara Republik melalui karyanya Naar de Republiken.
Di masa kemerdekaan Tan yang telah berada di Indonesia sejak 1945 setelah bertahun-tahun
hidup di pengasingan tetap menyuarakan pandangan politiknya. Pandangan politik Tan adalah
Merdeka 100%, anti kolaborasi dan anti Imperialisme. Ia menjadi oposisi kuat di masa perdana
menteri Sjahrir menolak persetujuan Linggarjati melalui Persatuan Perjuangan.
Menjelajahi Parlemen dan Soviet? 
Parlemen atau soviet merupakan pertanyaan krusial yang sempat menjadi perdebatan luas di
kalangan gerakan pra kemerdekaan. Konteks yang melahirkan karya ini adalah konsekuansi
politik etis Belanda yang memaksa Belanda membagun Dewan Rakyat (Volksraad) bagi
pribumi. Dalam tulisan ini, Tan Malaka menolak konsep Volksraad dengan tegas dan memilih
bentuk Soviet sebagai alternatif.
Konsep ini tidak diambil dari ketiadaan tidak juga lahir dari ide semata namun juga mendasarkan
pada konteks kontradiksi material yang nyata pada masa itu. bagi Tan Malaka, dibentuknya
parlemen oleh pemerintah Belanda di daerah jajahannya bukanlah semata-mata politik balas
budi.
Namun juga adalah distraksi yang mengelabui kepentingan sejati rakyat Hindia Belanda yaitu
kemerdekaan dan membentuk negara mandiri. Menurutnya, mana mungkin muncul lembaga
perwakilan sementara kekuasaan berada di tangan penjajah, jika itu terjadi maka lembaga
perwakilan tersebut hanyalah bualan belaka karena tak ada kedaulatan yang ia kelola.
Dalam buku ini, Tan menjelaskan mengenai gerak sejarah yang melahirkan konsep parlemen
juga gerak sejarah yang melahirkan soviet. Secara general juga, Tan menjelaskan mengenai
sejarah parlemen di Belanda. Disini Tan mengulas konsep historis yang tidak kongruen dengan
konteks Indonesia dan mengungkap bahwa apa yang terjadi di belanda sama sekali berbeda
dengan yang terjadi di Indonesia.
Lebih jauh lagi Tan juga melakukan klasifikasi watak kelas partai dan organisasi rakyat di
Indonesia pra kemerdekaan seperti Budi Utomo, Sarekat Islam dan Indische Partij untuk
menegaskan konsep perwakilan kelas dan membantak konsep perwakilan partai. Baik Soviet
maupun Parlemen, keduanya merupakan bentuk perwakilan politik untuk mengelola kekuasaan
dengan tujuan menghindari atau meminimalisir konflik antar masyarakat, menciptakan
perdamaian dan kesejahteraan bersama.
Dalam buku Parlemen atau Soviet, Tan Malaka dengan jeli menjelaskan konteks historis
yang melahirkan kedua konsep tersebut kemudian ia intepretasikan kembali sesuai dengan
kepentingan sejati rakyat Indonesia.
Bagi Tan Malaka, Negara yang menganut prinsip Trias Politika (Montesqieu) yang ada dalam
sisterm parlementer adalah kekonyolan dan hanya menguntungkan sebagian kecil rakyat.
Terutama dalam konteks negara yang baru merdeka (jika tercapai kemerdekaan), pemisahan
antara lembaga kenegaraan akan menghasilkan kesenjangan dalam memahami realitas sehingga
akan memunculkan kontradiksi antara aturan dan realitas. Negara dalam pandangan Tan Malaka
adalah sebuah negara yang berjalan secara efektif dan efisien. Bentuk ini hanya dapat
diwujudkan dalam bentuk Soviet yang tidak memisahkan kekuasaan melainkan melakukan fusi
kekuasaan.
Tan Malaka memulai pembahasan menganai Parlemen dengan mempermasalahakan semantic
peristilahan parlemen yang di hindia belanda ataupun Indonesia sekarang sebagai dewan. Tan
Malaka membedakan istilah dewan dengan parlemen melalui perbedaan sejarah terbentuknya.
Sebagai seorang Marxis, Tan Malaka menggunakan Materialisme historis untuk menjelaskan
sebuah fenomena termasuk pada kemunculan peristilahan. Dewan adalah sebutan bagai para
pembantu sultan memerintah pada masa kerajaan. Dewan sebagaimana Sultan tidak dipilih
langsung oleh rakyat oleh karena itu tidak ada kewajiban bagi dewan untuk menyampaikan
aspirasi rakyat begitupun juga rakyat tidak memiliki kuasa apapun untuk memecat dewan
sedangkan parlemen memiliki akar historis yang berbeda. Parlemen dipilih oleh rakyat banyak
dan terdapat lembaga lain dalam pemerintahan untuk memeriksanya.
Melalui semantic tersebut jelas istilah dewan tidak sejajar dengan istilah parlemen. Parlemen
muncul dari perlawanan terus menerus kaum borjuasi terhadap kekuasaan absolute Raja di
Eropa. Perlawanan kaum borjuasi eropa muncul ketika kaum borjuasi mulai menemukan alat
produksi yang lebih efisien dan perluasan koloni sehingga mereka mampu mengakumulasi
modal. Sejarah kemunculan parlemen di inggris yang dimotori oleh kaum borjuasi merupakan
perjuangan kelas kaum borjuasi yang tidak selesai dalam satu malam.
Kaum borjuasi inggris menuntut untuk menurunkan tarif pajak negara dan dapat ikut serta dalam
perumusan kebijakan di negara tersebut. Kaum borjuasi tidak hanya melakukan usulan tapi juga
melakukan pemboikotan dan aksi-aksi pemogokan. Setelah kompromi antara pemerintah dan
kaum borjuasi selesai perwakilan menghasilkan permasalahan baru yaitu bagaimana memilih
wakil yang duduk di parlemen. Untuk itu setiap orang yang ingin duduk di parlemen
membangun kepanitiaan pemilihan yang nantinya menjadi asal muasal munculnya partai politik.
Parlemen, sejak masa awal terbentuknya sudah dipilih oleh rakyat namun hak memilih itu
bergantung pada pajak/belasting, oleh karena itu tidak semua orang berhak memilih. Kelas yang
mampu membayar pajaklah yang memiliki perwakilan di parlemen dan dapat terpilih menjadi
anggota parlemen. Jika kita perhatikan Amerika yang mengklaim sebagai praktisi montesqieu
dan pelopor demokrasi meskipun sudah merdeka sejak juli 1776 baru meloloskan hak pilih
perempuan pada 1919 karena gencarnya perjuangan politik perempuan di Amerika. Parlemen
dan demokrasinya sejak awal tidak dibangun untuk semua namun masih kental dengan
diskriminasi ras, kelas dan gender untuk menentukan siapa saja orang yang berhak memilih dan
dipilih.
Parlemen diklaim muncul sebagai perwakilan rakyat dalam urusan politik dan merupakan wujud
dari kekuasaan rakyat dalam suatu negara. Untuk membatasi kekuasaan absolute tersebut,
parlemen memiliki empat hak yaitu hak inisiatif (mengajukan pertimbangan), hak interpelasi
(mempertanyakan kebijakan pemerintah), hak angket (bertanya kepada pemerintah) dan hak
amandemen untuk merubah peraturan. Namun, sesuai dengan blok historisnya, parlemen yang
muncul dari kaum borjuasi (kelas pemodal) hanya berisi kaum borjuasi yang jika dibandingkan
dengan jumlah kaum proletariat (kelas pekerja) sangat jauh jumlahnya.
Parlemen sebagai perwakilan kaum borjuasi tentu akan terlebih dahulu membela kepentingan
kaumnya dan melanggengkan kuasa kaum modal juga. Kekuasaan parlemen inipun tidak sama di
semua praktek negara. Jika di Inggris parlemen lebih kuat ketimbang eksekutif lain halnya di
Jerman parlemen tidak berdaya di depan eksekutif. Parlemen Inggris mampu untuk
mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap eksekutif untuk memberhentikan menteri ataupun
perdana menteri karena mereka dipilih oleh parlemen.
Berbeda hal dengan Jerman yang presidensil, kanselir tidak dipilih oleh parlemen begitupun juga
pera menteri sehingga mosi tidak percaya tidak lagi berguna.  Kekuatan parlemen tidak hanya
bergantung pada system politik negara namun juga dukungan public dan dukungan militer.
Berbeda dengan system parlemen yang mengekalkan kaum modal, system soviet berlaku
kebalukannya untuk menghilangkan kaum modal. Ide awal soviet sebelum resolusi Komintern
dibawah Stalin yang memutuskan dibangunnya sosialisme satu negara yang kemudian
menguatkan kelompok teknokrat dan birokrasi adalah ide tentang fusi kekuasaan dari bawah ke
atas.
Pemerintah dalam system soviet tidak dipisah pisahkan (separasi) melainkan fusi,
menghilangkan sifat birokratis dan menyelenggarakannya bersama sesuai dengan kebutuhan
kelas buruh dan tani. Ide bentuk soviet berakar pada corak produksi dan bertujuan untuk
melakukan pemeratan kesejahteraan dengan jalur distribusi yang terpimpin atau dengan kata lain.
Dalam ekonomi adalah perencanaan ekonomi terpusat sehingga perwakilan di dalam soviet
selain perwakila distrik juga terdapat perwakilan kelas. Namun pusat disini tidak diartikan
sebagai segelintir orang eksekutif tetapi kongres rakyat.proses pemilihan dalam system soviet
berlangsung dari desa-desa kemudian berjenjang ke kota-kota dan akhirnya kongres nasional.
Russia pada masa soviet sebelum Stalin memiliki 2500 anggota perwakilan  dengan kongres dua
kali setahun dan tidak melepaskan kerja-kerja indivisual sehari-hari para anggota kongres.
Berbeda dengan system parlemen borjuis seorang anggota parlemen seringkali terisolasi dari
rakyat karena jabatannya, anggota perwakilan soviet tetap tinggal di rumahnya masing-masing
dan bekerja sesuai dengan pekerjaannya  seperti menjadi buruh pabrik, administratur ataupun
petani.
Dalam system soviet sederhananya merupakan sebuah organisasi tunggal yang membagi
kewenangan sebagai pelaksana, pengawas dan badan peradilan sementara perturan dibuat
bersama. Soviet mengenal pembagian kekuasaan namun tidak dalam lembaga yang terpisah.
Untuk meghindari tirani kekuasaan, soviet melakukan pemilihan perwakilan dalam selang waktu
yang tidak terlalu lama dan melakukan system kritik dan otokritik dalam kongres organisasi.
Tan Malaka menganalogikan system soviet ini pada system Nagari di Minangkabau sebelum
injeksi kapitalisme. Ia juga yakin bahwa system fusi seperti soviet akan menjadikan negara yang
mampu bergerak secara efektif dan efisien sekaligus membangun system yang adil tanpa
diskriminasi dan eksploitasi. Ia juga berpandangan bahwa suatu parlemen kaum borjuis adalah
alat digunakan untuk mengekalkan perburuhan dan kapitalisme sementara soviet adalah alat
sementara untuk menghilangkan kapitalisme dan mendatangkan sosialisme.
Kelebihan Buku
Buku ini mengantarkan mahasiswa yang berminat ke dalam dunia ilmu politik. Dalam buku ini
dibahas konsep-konsep seperti politik (politics), kekuasaan, pembuatan keputusan, (decicion
making). Di samping itu, dibahas pula fungsi undang-undang dasar, kelompok-kelompok politik,
dewan perwkilan rakyat, baik di dalam maupun di luar Indonesia, serta hak-hak asasi dan
perkembangannya di PBB.
Kekurangan Buku
Kelemahan buku ini hanya terdapat pada kata-kata yang berkelit dan tidak langsung mudah di
mengerti juga pada pengemasan buku yang tebal dan tidak berwarna membuat pembaca enggan
membacanya.

Anda mungkin juga menyukai