DISUSUN OLEH :
Chairunnisa K. (030.10.062)
PEMBIMBING :
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
Pertama-tama penyusun mengucapkan puji syukur kepada Tuhan YME, karena atas
berkat, rahmat, dan anugerah-Nya, maka kasus yang berjudul Anestesi Umum pada
Operasi Koreksi Skoliosis ini dapat diselesaikan.
Adapun penyusunan presentasi kasus ini adalah dalam rangka memenuhi salah satu
tugas kepaniteraan klinik Ilmu Anestesi RSUP Fatmawati periode 27 Oktober 2014 29
November 2014.
Pada kesempatan ini pula penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Nurgani Aribinuko, Sp.An(KIC) selaku pembimbing dalam pembuatan
presentasi kasus ini.
2. Para konsulen, dokter, paramedik, dan seluruh staf di SMF Anestesi, serta semua
pihak yang turut serta membantu baik dalam penyusunan referat maupun
membimbing serta menyediakan fasilitas yang diperlukan dalam penyelesaian
tugas ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Demikian presentasi kasus ini dituliskan. Semoga presentasi kasus ini bermanfaat
bagi siapapun yang membacanya. Penyusun memohon maaf apabila pada penulisan
masih terdapat banyak kekurangan. Untuk itu penyusun menghimbau agar para pembaca
dapat memberikan saran dan kritik yang membangun dalam perbaikan presentasi kasus
ini.
Penyusun
2
BAB I
PENDAHULUAN
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan aesthtos,
"persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan
menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya
yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh
Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846.
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya
kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum yang sempurna menghasilkan
ketidaksadaran, analgesia, relaksasi otot tanpa menimbulkan resiko yang tidak
diinginkan dari pasien.
Dengan anestesi umum akan diperoleh trias anesthesia, yaitu hipnotik, analgesia, dan
relaksasi otot. Hanya eter yang memiliki trias anesthesia. Karena anestesi modern saat ini
menggunakan obat-obat selain eter, maka trias anestsei diperoleh dengan
menggabungkan berbagai macam obat.
Metode anestesi umum terdiri dari parenteral, per rectal, dan per inhalasi. Berbagai
factor yang mempengaruhi anestesi umum adalah faktor respirasi, sirkulasi, jaringan, zat
anestesi, dan faktor lain (ventilasi, curah jantung, dan suhu).
Manajemen anestesi pada operasi Koreksi skoliosis menjadi sangat penting karena
begitu kompleksnya permasalahan perioperatif yang menyertainya. Fungsi
kardiovaskular dan respirasi paling mungkin terganggu sehingga perlu mendapat
perhatian khusus. Penilaian terhadap derajat keparahan dari skoliosisnya dapat
memberikan suatu nilai prediksi terhadap permasalahan yang mungkin terjadi
perioperatif.
Pasien dengan gangguan pada mobilitas dari leher dapat menjadi penyulit saat
melakukan laringoskopiintubasi. Disamping monitoring standar, perlu juga dilakukan
monitoring terhadap fungsi sistem sarafnya dengan alat monitoring neurologis seperti
SSEPs atau MEPs jika memungkinkan. Post operasi jika fungsi kardiovaskular dan
respirasi baik, ekstubasi dapat menjadi pilihan. Analgetik post operasi harus adekuat
untuk menangani nyeri karena nyeri dapat dapat menimbulkan instabilitas
kardiovaskular dan respirasi yang menjadi penyulit pasca operasi.
3
BAB II
ILUSTRASI KASUS
1. IDENTITAS PASIEN
No. RM : 1313838
Nama : An. B
Umur : 13 tahun 2 bulan
Berat Badan : 36 kg
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Kalibata Pancoran Jakarta Selatan
Status pernikahan : Belum menikah
Pendidikan terakhir : Tamat SLTP
2. ANAMNESIS
Keluhan utama
Bentuk tulang belakang yang tidak lurus.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dikonsulkan TS Orthopedi ingin melakukan operasi Koreksi
Skoliosis yang di sertai dengan Trombositopenia.
Riwayat Penyakit
- Asma (-)
- Hipertensi (-)
- Diabetes Melitus (-)
- Penyakit jantung (-)
- Alergi obat dan makanan tertentu (-)
- Riwayat operasi sebelumnya (-)
- Riwayat TB (-)
3. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
4
Tanda Vital :
TD : 110/90 mmHg
N : 92 x/mnt
Napas : 18 x/menit
Suhu : afebris
Berat Badan : 36 kg
Status generalis
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Telinga :
Kanan : liang telinga lapang, sekret (-), serumen minimal, membran timpani
intak, refleks cahaya (+) jam 5
Kiri : liang telinga lapang, sekret (-), serumen minimal, membran timpani
intak, refleks cahaya (+) jam 7
Hidung : liang hidung lapang, septum deviasi (-), sekret (-/-),
mukosa
hiperemis (-/-)
Tenggorokan : arkus faring simetris, uvula di tengah, Tonsil T1-
T1 tenang,
dinding faring posterior tidak hiperemis
Leher : KGB dan kelenjar tiroid tidak teraba membesar
Jantung : bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : suara nafas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : datar, supel, hepar dan lien tidak teraba, bising usus (+)
normal
Ekstremitas : akral hangat +/+
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Hb : 13,0 g/dl
Ht : 39 %
Leukosit : 7,800 rb
Trombosit : 84,000 rb
Eritrosit : 5,08 juta/dL
GDS : 89 mg/dl
SGOT : 65 U/I
SGPT : 17 U/I
Ureum : 9 mg/dl
Kreatinin : 0,4 mg/dl
Masa perdarahan : 1,5 menit
Masa pembekuan : 4,0 menit
PT : 19,1 detik
5
APTT : 30,5 detik
Pemeriksaaan Radiologi
6
5. DIAGNOSIS KERJA
Skoliosis Idiopatik
6. PERENCANAAN ANESTESI
a. Keadaan Intraoperasi 5 November 2014 (Catatan Anestesia)
(1) Persiapan Anestesi
- Informed consent
- Puasa 6-8 jam pre-operasi
7
Posisi : Prone
Infus : Ringer laktat, voluven, gelafusin, PRC.FFP,TC
8
BAB III
ANALISA KASUS
A. ANALISA PREOPERASI
Pada evaluasi praanestesi ada beberapa hal yang harus kita nilai dari
pasien dengan skoliosis, yaitu jalan nafas, respirasi, kardiovaskular dan fungsi
neurologis pasien pra operasi. Penting untuk menilai kondisi jalan nafas pasien
karena kita akan melakukan laringoskopi intubasi untuk memfasilitasi jalannya
operasi. Skoliosis seringkali merupakan bagian dari suatu sindrom kongenital
terutama kelainan muskuloskeletal seperti sindrom marfan dan distropia
muskukulorum progresiva.
Pada sindrom tersebut sering terdapat kelainan pada bentuk jalan
nafasnya seperti lidah yang besar, bentuk palatum yang berbeda sehingga akan
menjadi penyulit pada saat kita melakukan laringoskopi intubasi. Dengan
mengetahui kondisi jalan nafas pasien kita dapat menyiapkan peralatan-peralatan
untuk persiapan intubasi sulit.
9
Pada sistem respirasi kita harus menilai fungsi paru dari pasien
praoperatif. Pada pasien dengan skoliosis, kelengkungan tulang belakangnya
akan menimbulkan penekanan pada paru sehingga memberi ruang yang lebih
sempit bagi paru untuk mengembang pada saat inspirasi. Hal ini akan
menimbulkan penurunan dari kapasitas vital dan kapasitas fungsional residual
dari paru penderita. Kondisi ini akan memberikan respiratory reserve yang
lebih sedikit bagi kita pada saat melakukan laringoskopi dan intubasi.
Disamping itu penurunan fungsi paru ini akan memberikan nilai prediksi
kepada kita sebagai pertimbangan saat mengekstubasi pasien post operasi.
Pasien dengan skoliosis mempunyai ruang mediastinum yang lebih
sempit dari orang normal sehingga pergerakan jantungnya lebih terbatas
sehingga kemampuan pompanya juga menurun. Disamping itu ruang yang sempit
ini juga dapat mempermudah terjadinya efusi pericardium dan mungkin dapat
menimbulkan perikarditis. Pada pasien skoliosis kongenital juga seringkali
ditemukan kelainan jantung seperti tetralogi of fallot, patent ductus arteriosus,
maupun kelainan defek pada septum ventrikel atau atrial. kondisi kelainan
jantung bawaan tersebut dapat menjadi pertimbangan tambahan pada teknik
anestesinya.
Harus dinilai juga fungsi dari sistem saraf pasien sebagai modal sebelum
kita melakukan operasi. Diharapkan post operasi fungsi neurologis dari pasien
tidak menurun.
Skoliosis dapat dinilai tingkat keparahannya dengan menggunakan
metode cobbs, yang direkomendasikan oleh committee of the scoliosis research
society. Pengukuran cobbs angle dilakukan dengan membuat garis khayal di
sisi atas dari corpus vertebra pada kelengkungan yang paling atas dan yang
paling bawah dan menghubungkan garis tersebut secara tegak lurus sehingga
membentuk suatu sudut yang kita sebut dengan cobbs angle.
10
> 40 Perlu intervensi bedah
TC : 75 x 36 = 7,7
350
Sehingga trombosit yang diterima pasien sebelum operasi adalah 8 unit
trombosit. Pada rumus ini 1 unit trombosit = 80 cc.
B. ANALISA INTRAOPERASI
Monitoring standar dipasang pada pasien ini ditambah dengan
pemasangan CVC dan arteri line untuk memantau fungsi kardiovaskular dari
pasien. Alat monitoring neurologis seperti SSEPs atau MEPs sebaiknya
dipasang. Teknik hipotensi terkendali dikerjakan untuk mengurangi perdarahan
durante operasi.
Monitoring adalah prinsip dasar dari tehnik anestesi yang akan kita
berikan pada pasien dengan skoliosis thorakalis. Pada premedikasi dapat
diberikan obat-obatan yang memberikan efek sedasi dan antiemetik untuk
memberikan rasa nyaman bagi pasien sebelum pembiusan berlangsung. Pada
induksi obat-obatan yang kita berikan harus menyesuaikan dengan tehnik
intubasi yang akan kita kerjakan. Pada pasien dengan kemungkinan kesulitan
intubasi maka algoritme kesulitan intubasi harus sudah kita persiapkan. Awake
nasal intubasi dengan fasilitasi fiberoptic dapat menjadi pilihan yang paling baik
11
bagi pasien dengan kekakuan leher. Suksinil kolin sebaiknya dihindari pada
pasien ini terkait sindrom gangguan muskuloskeletal dengan risiko terjadinya
malignant hipertermia.
Setelah diintubasi pasien akan diposisikan prone. Ada beberapa hal yang
harus kita perhatikan sebelum kita memposisikan pasien dalam posisi prone.
Patensi jalan nafas harus kita pastikan. Sebab akan sangat sulit untuk mengakses
jalan napas pada pasien dengan posisi prone. Pemasangan tape pada sambungan
pipa napas dapat menjadi pilihan. Pemasangan packing pada mulut dapat
mengatasi hipersalivasi dan mengurangi risiko tube bergeser.
Pada posisi prone dada pasien akan tertekan sehingga pengembangan
parunya akan terhambat yang akan menimbulkan penurunan dari kapasitas vital
dan kapasitas fungsional residual dari pasien. Kondisi skoliosisnya dapat
memperparah fungsi respirasi pasien. Pemasangan padding di bahu dan
pinggang dapat memberikan ruang yang lebih baik bagi pengembangan paru
pasien.
Pada saat kita memposisikan pasien dari posisi supine ke posisi prone
dapat terjadi guncangan kardiovaskular yang hebat akibat dari penurunan
cardiac output yang menimbulkan hipotensi hingga henti jantung. Kita dapat
mengatasinya dengan memastikan kecukupan volume sirkulasi dari penderita
sebelum kita posisikan ke posisi prone. Pemasangan kanul vena sentral dapat
menjadi pilihan meskipun bukan merupakan indikasi mutlak. Alternatif lain dapat
dilakukan pemasangan 2 akses intravena ukuran besar.
Terdapat risiko penekanan pada saraf-saraf disekitar wajah, lengan,
kaki dan organ genitalia akibat posisi pasien. Penggunaan padding di wajah, bahu
dan kaki dapat mengatasi masalah tersebut.
Risiko emboli udara pada operasi tulang belakang dapat terjadi
karena lokasi pembedahan yang terletak diatas dari posisi jantung. Tanda awal
emboli udara adalah takikardia yang tidak bisa dijelaskan yang diikuti dengan
bradikardia dan hipotensi serta penurunan end tidal CO2 yang ekstrem dengan
selisih nilai diatas 5 dibandingkan dengan PaCO2.
12
Kebutaan paska operasi kejadiannya biasanya terkait dengan durasi
operasi yang lama, hipotensi yang berkepanjangan, anemia dan kehilangan darah
yang masif (melebihi 1000 ml).
Terdapat risiko penekanan bola mata yang dapat menimbulkan kebutaan
post operasi. Hal ini dapat kita hindari dengan memasang bantal berbentuk donat
sebagai penyangga kepala.
Pemeliharaan anestesia dapat dilakukan menggunakan kombinasi
inhalasi dengan N2O:O2 dan sevoflurane, analgetik dan pelumpuh otot intravena.
Namun pada pasien dengan risiko terjadinya malignant hipertermia sebaiknya
pemeliharaan dilakukan dengan total intravena menggunakan regimen
propofol continous atau penthotal.
Monitoring intraoperatif adalah bagian terpenting dari tehnik anestesi.
Pada fase ini kita harus memantau dengan seksama kondisi seluruh sistem
organ pasien. Pada sistem saraf, pemantauan fungsi saraf dengan menggunakan
alat Somato Sensory Evoked Potentials (SSEPs) atau Motor Evoked Potentials
(MEPs) adalah hal yang sangat penting untuk dilakukan meskipun tidak
merupakan hal yang mutlak.
Pada sistem respirasi kita dapat memakai alat pemantau end tidal CO2
untuk menjaga pasien tetap normokarbia. Pada sistem kardiovaskular
pemantauan tanda vital standar mutlak harus dipasang seperti monitor tensi, nadi
dan saturasi. Terlebih lagi kita akan menggunakan tehnik hipotensi terkendali
untuk mengurangi perdarahan pada lapangan operasi. Pada sistem urogenital
pemasangan kateter urine wajib dikerjakan untuk memantau kecukupan cairan
dan fungsi dari ginjal pasien. Monitoring invasif lainnya seperti CVC dan arteri
line dapat dipasang jika tersedia.
Risiko perdarahan sangat mungkin terjadi pada pasien koreksi skoliosis.
Untuk itu beberapa tehnik dapat dilakukan untuk mengurangi risiko perdarahan.
13
diperlukan. Tehnik ini dapat dipakai pada kasus Jehovahs Witnesess. Hemodilusi
Normovolemik Akut
Teknik ini dilakukan dengan memberikan kristaloid dan koloid
praoperatif untuk mendelusi darah pasien sehingga bila terjadi perdarahan tidak
dengan cepat mengurangi jumlah komponen darah.
Cegah penekanan abdomen saat pasien dalam posisi prone Bila abdomen
tidak dalam posisi bebas saat posisi prone maka dapat terjadi bendungan dari
aliran darah balik ke jantung dari ekstremitas inferior yang akan berefek kepada
penurunan tekanan darah dan vasodiatasi dari vena-vena diruang epidural yang
menyebabkan perdarahan pada lapangan operasi.
14
Pengganti puasa sebelum operasi (PP) = lama puasa x maintenance
Stress operasi (SO)
Kecil = 2
Sedang = 4
Berat = 6
Jadi, SO = BB x jenis operasi (kecil/sedang/berat)
Pemberian pada jam I karena pasien telah terpasang infus maka pengganti
puasa akan diberikan , sehingga : M + PP + SO. Sedangkan untuk jam ke II :
M + PP + SO.
Pemakaian rumus pada pasien ini adalah :
M : 4 x 10 = 40
2 x 10 = 20
1 x 16 = 16
= 76 cc
PP : 8 x 76 = 380 cc
SO : 6 x 36 = 216 cc
Jam I
76 + 380/2 + 216
76 + 190 + 216 = 482 cc
Jam II
76 + 380/4 + 216
76 + 95 + 216 = 387 cc
Jam III
76 + 380/4 + 216
76 + 95 + 216 = 387 cc
Jam IV
76 + 216
76 + 216 = 292 cc
15
Jam V
76 + 216
76 + 216 = 292 cc
Dari perhitungan di atas, cairan yang dibutuhkan oleh pasien ini selama
operasi adalah 1.840 cc atau kurang lebih 4 kolf cairan.
C. ANALISA POST-OPERASI
Kriteria ekstubasi untuk pasien ini terpenuhi, seperti perdarahan relatif
sedikit, haemodinamik yang stabil selama operasi. Post operasi pasien sadar baik
dan kooperatif. Pasien dapat bernapas spontan adequat. Setelah ekstubasi pasien
dibawa ke ruang intensif untuk monitoring ketat paska operasi. Nyeri dapat
mengganggu proses penyembuhan luka pasien dan dapat menimbulkan
instabilitas kardiovaskular dan respirasi.
Pasien post operasi koreksi skoliosis dihadapkan pada beberapa
kondisi yang mengharuskannya untuk dirawat diruang intensif. Perdarahan,
transfusi darah, manipulasi yang hebat, durasi operasi yang panjang, hipotermia,
penurunan fungsi paru dan goncangan kardiovaskular dapat menjadi ancaman
setiap saat bagi pasien paska operasi sehingga pemantauan yang ketat paska
operasi menjadi suatu hal yang mutlak untuk dikerjakan. Penanganan nyeri post
operasi pada pasien koreksi skoliosis merupakan suatu hal yang penting bagi
seorang ahli anestesi. Penggunaan epidural menjadi pilihan yang baik yang
dikombinasi dengan Non Steroid Anti inflamatory Drugs (NSAIDs). Opioid
intravena juga dapat menjadi pilihan untuk menangani nyeri pasien paska
operasi. Baik sebagai agen tunggal maupun dikombinasi dengan parasetamol
maupun NSAID.
16
Mual : (+)
Sianosis : (-)
Diagnosis post-op : Skoliosis Idiopatik
Hasil laboratorium :
Hb : 10 Ureum : 15 PH : 7,443
Leukosit : 6700 Creatinin : 0,3 PCO2 : 4,26
Hematokrit : 29 Na : 135 PO2 : 125,9
Trombosit : 184,000 Cl : 60 HCO3 : 28,5
GDS : 136 K : 3,85 BU : 3,9
17
D. RESUME
Pasien An. B, 13 tahun 2 bulan, Pasien di konsulkan TS Orthopedi ingin
melakukan operasi Koreksi Skoliosis dengan Trombositopenia.
Pemeriksaan fisik pasien sebelum dilakukan operasi didapatkan BB pasien 36
kg, TD 13/90 mmHg, nadi 80 x/mnt, napas 18x/menit, suhu afebris. Dari
pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 13,0 g/dl, Ht 39 vol %, leukosit 7800/ul,
trombosit 84 ribu/ul,
Lamanya tindakan anastesi dan operasi koreksi skoliosis yang dialami pasien
4 jam 45 menit. Pasien menggunakan teknik general anestesi dengan premedikasi
menggunakan midazolam 2mg, fentanyl 100 mcg, induksi menggunakan propofol
100 mg, dan relaksasi menggunakan artacurium 20 mg. Napas pasien dikendalikan
oleh ventilator dengan volume tidal 400 ml dan frekuensi napas 12x/menit. Pasien
dioperasi dengan posisi terlentang, menggunakan infus pada tangan kiri ukuran 18 G.
Rumatan menggunakan isoflurane 2 vol%. Pasien menggunakan obat-obatan
adjuvant berupa artacurium 10 mg, ondancetron 4 mg, fentanyl 50 mcg, calcium
glukonat 1000 mg, dexamethason 10 mg, propofol syringe pump.
Hemodinamik pasien ini selama operasi cenderung stabil dalam keadaan
hipotensi dari awal hingga akhir.
Jenis operasi yang dialami pasien termasuk kedalam operasi besar. Dengan
jumlah cairan yang masuk sebesar 6750 ml, total perdarahan 3000 ml, dan jumlah
urin yang dihasilkan selama operasi 1450 ml. Balans cairan pasien 2300.
18
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
19
- Terkait dengan hipertermia di mana paparan beberapa (tetapi tidak semua) agen
anestesi umum menyebabkan kenaikan suhu akut dan berpotensi
mematikan, hiperkarbia, asidosismetabolik, dan hiperkalemia.
Hal yang harus diperhatikan dalam anestesi umum adalah hilangnya upaya
mempertahankan diri dari pasien. Pasien akan kehilangan reflex-reflex nya termasuk
reflex batuk yang berfungsi untuk mencegah adanya aspirasi. Selain kehilangan
reflex, penggunaan muscle relaxan pada anestesi umum dapat menyebabkan tidak
adekuatnya sphincter pada lambung yang bisa menyebabkan adanya aspirasi yang
berisiko menyebabkan aspirasi. Untuk mencegah hal ini, pasien yang akan dilakukan
anestesi umum harus dipuasakan untuk mengosongkan lambung dan mencegah
adanya regurgitasi dan aspirasi, karena aspirasi adalah penyebab morbiditas yang
cukup tinggi dalam anestesi.
20
b. Ferguson (1939) mengemukakan teori efek gas inert (The Inert Gas
Effect). Potensi analgesia gas gas yang lembab dan menguap terbalik
terhadap tekanan gas gas dengan syarat tidak ada reaksi secara kimia.
Jadi tergantung dari konsentrasi molekul molekul bebas aktif.
Obat anestesi yang diberikan akan masuk ke dalam sirkulasi darah yang
selanjutnya menyebar ke jaringan, yang pertama kali terpengaruh adalah jaringan
yang banyak vaskularisasinya seperti otak, yang mengakibatkan kesadaran dan
rasa sakit hilang. Kecepatan dan kekuatan anestesi dipengaruhi oleh faktor
respirasi, sirkulasi, dan sifat fisik obat itu sendiri.
21
yang bersifat hepatotoksik.Pada pasien dengan gangguan jantung, obat obatan
yang mendepresi miokard atau menurunkan aliran koroner harus dihindari atau
dosisnya diturunkan. Pasien dengan gangguan ginjal, obat obatan yang
diekskresikan melalui ginjal harus diperhatikan. Pada paru, hindarkan obat yang
memicu sekresi paru, sedangkan pada bagian endokrin hindari obat yang
meningkatkan kadar gula darah, obat yang merangsang susunan saraf simpatis
pada penyakit diabetes basedow karena dapat menyebabkan peningkatan kadar
gula darah.
Sedangkan komplikasi kadang kadang tidak terduga walaupun tindakan
anestesi telah dilakukan dengan sebaik baiknya.Komplikasi dapat dicetuskan
oleh tindakan anestesi ataupun kondisi pasien sendiri.Komplikasi dapat timbul
pada waktu pembedahan ataupun setelah pembedahan. Komplikasi
kardiovaskular berupa hipotensi dimana tekanan sistolik kurang dari 70 mmHg
atau turun 25 % dari sebelumnya, hipertensi dimana terjadi peningkatan tekanan
darah pada periode induksi dan pemulihan anestesi. Komplikasi ini dapat
membahayakan khususnya pada penyakit jantung karena jantung bekerja keras
dengan kebutuhan kebutuhan miokard yang meningkat yang dapat
menyebabkan iskemik atau infark apabila tidak tercukupi kebutuhannya.
Komplikasi lain berupa gelisah setelah anestesi, tidak sadar , hipersensitifitas
ataupun adanya peningkatan suhu tubuh.
22
Dari hasil kunjungan ini dapat diketahui kondisi pasien dan dinyatakan
dengan status anestesi menurut The American Society Of Anesthesiologist (ASA).
ASA I : Pasien dalam keadaan normal dan sehat.
ASA II : Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik
karena penyakit bedah maupun penyakit lain. Contohnya:
pasien batu ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau
pasien appendisitis akut dengan lekositosis dan febris.
ASA III : Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang
diakibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya: pasien
appendisitis perforasi dengan septisemia, atau pasien ileus
obstrukstif dengan iskemia miokardium.
ASA IV : Pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung
mengancam kehidupannya. Contohnya: Pasien dengan syok atau
dekompensasi kordis.
ASA V : Pasien tak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi
atau tidak. Contohnya: pasien tua dengan perdarahan basis kranii
dan syok hemoragik karena ruptur hepatik.
ASA VI : Pasien mati batang otak, potensi donor organ.
23
Atropin. Diberikan untuk mencegah hipersekresi kelenjar ludah,
antimual dan muntah, melemaskan tonus otot polos organ organ dan
menurunkan spasme gastrointestinal. Dosis 0,4 0,6 mg IM bekerja
setelah 10 15 menit.
Gol. Transquilizer
Diazepam (Valium). Merupakan golongan benzodiazepine.
Pemberian dosis rendah bersifat sedatif sedangkan dosis besar hipnotik.
Dosis premedikasi dewasa 0,2 mg/kgBB IM.
24
VI. STADIUM ANESTESI
Tahapan dalam anestesi terdiri dari 4 stadium yaitu stadium pertama
berupa analgesia sampai kehilangan kesadaran, stadium 2 sampai respirasi
teratur, stadium 3 dan stadium 4 sampai henti napas dan henti jantung.
Stadium I
Stadium I (St. Analgesia/ St. Cisorientasi) dimulai dari saat pemberian
zat anestetik sampai hilangnya kesadaran.Pada stadium ini pasien masih dapat
mengikuti perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit).Tindakan
pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan
pada stadium ini.Stadium ini berakhir dengan ditandai oleh hilangnya reflekss
bulu mata (untuk mengecek refleks tersebut bisa kita raba bulu mata).
Stadium II
Stadium II (St. Eksitasi; St. Delirium) Mulai dari akhir stadium I dan
ditandai dengan pernapasan yang irreguler, pupil melebar dengan reflekss cahaya
(+), pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi dan
diakhiri dengan hilangnya reflekss menelan dan kelopak mata.
Stadium III
Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernapasan hingga
hilangnya pernapasan spontan.Stadia ini ditandai oleh hilangnya pernapasan
spontan, hilangnya reflekss kelopak mata dan dapat digerakkannya kepala ke kiri
dan kekanan dengan mudah.
Stadium IV
Ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang kemudian akan
segera diikuti kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan akhirnya pasien meninggal.
Pasien sebaiknya tidak mencapai stadium ini karena itu berarti terjadi kedalaman
anestesi yang berlebihan.
25
Pada keadaan teranestesi maka refleks pupil akan miosis apabila
anestesinya dangkal, midriasis ringan menandakan anestesi reaksinya cukup dan
baik/ stadium yang paling baik untuk dilakukan pembedahan, midriasis maksimal
menandakan pasien mati.
Refleks cahaya
Untuk refleks cahaya yang kita lihat adalah pupilnya, ada / tidak respon
saat kita beri rangsangan cahaya.
Prosedur :
- Siapkan peralatan dan kelengkapan obat anestetik
- Pasang infuse (untuk memasukan obat anestesi)
- Premedikasi + / - (apabila pasien tidak tenang bisa diberikan obat
26
penenang) efek sedasi/anti-anxiety :benzodiazepine; analgesia:
opioid, non opioid, dll
- Induksi
- Pemeliharaan
Prosedur :
- Sama dengan diatas, hanya ada tambahan obat (pelumpuh
otot/suksinil dgn durasi singkat)
- Intubasi setelah induksi dan suksinil
- Pemeliharaan
Teknik Intubasi
1. Pastikan semua persiapan dan alat sudah lengkap
2. Induksi sampai tidur, berikan suksinil kolin fasikulasi
(+)
3. Bila fasikulasi (-) ventilasi dengan O2 100% selama
kira - kira 1 mnt
27
4. Batang laringoskopi pegang dengan tangan kiri, tangan
kanan mendorong kepala sedikit ekstensi mulut
membuka
5. Masukan laringoskop (bilah) mulai dari mulut sebelah
kanan, sedikit demi sedikit, menyelusuri kanan lidah,
menggeser lidah kekiri
6. Cari epiglotis tempatkan bilah didepan epiglotis (pada
bilah bengkok) atau angkat epiglotis ( pada bilah lurus )
7. Cari rima glotis ( dapat dengan bantuan asisten menekan
trakea dari luar )
8. Temukan pita suara warnanya putih dan sekitarnya
merah
9. Masukan ET melalui rima glottis
10. Hubungkan pangkal ET dengan mesin anestesi dan atau
alat bantu napas( alat resusitasi )
Klasifikasi Mallampati :
Mudah sulitnya dilakukan intubasi dilihat dari klasifikasi Mallampati :
28
permenit.Setelah operasi selesai pasien dipancing dan akhirnya bisa nafas
spontan kemudian kita akhiri efek anestesinya.
- Teknik sama dengan diatas
- Obat pelumpuh otot non depolar (durasinya lama)
- Pemeliharaan, obat pelumpuh otot dapat diulang pemberiannya.
Cara pemberian :
- Obat tunggal untuk induksi atau operasi singkat
- Suntikan berulang (intermiten)
- Diteteskan perinfus
b. Propofol
Merupakan salah satu anestetik intravena yang sangat
penting. Propofol dapat menghasilkan anestesi kecepatan yang
sama dengan pemberian barbiturat secara inutravena, dan waktu
pemulihan yang lebih cepat. Dosis : 2 2,5 mg/kg IV.
c. Ketamin
Ketamin adalah suatu rapid acting nonbarbiturat general
anaesthetic.Indikasi pemakaian ketamin adalah prosedur dengan
pengendalian jalan napas yang sulit, prosedur diagnosis, tindakan
ortopedi, pasien resiko tinggi dan asma. Dosis pemakaian ketamin
29
untuk bolus 1- 2 mg/kgBB dan pada pemberian IM 3 10
mg/kgBB.
d. Thiopentone Sodium
Merupakan bubuk kuning yang bila akan digunakan
dilarutkan dalam air menjadi larutan 2,5%atau 5%. Indikasi
pemberian thiopental adalah induksi anestesi umum, operasi
singkat, sedasi anestesi regional, dan untuk mengatasi kejang.
Keuntungannya :induksi mudah, cepat, tidak ada iritasi mukosa
jalan napas. Dosis 5 mg/kg IV, hamil 3 mg/kg IV.
2. Anestetik inhalasi
a. N2O
Nitrogen monoksida merupakan gas yang tidak berwarna, tidak
berbau, tidak berasa dan lebih berat daripada udara.N2O biasanya
tersimpan dalam bentuk cairan bertekanan tinggi dalam baja, tekanan
penguapan pada suhu kamar 50 atmosfir. N2O mempunyai efek
analgesic yang baik, dengan inhalasi 20% N2O dalam oksigen efeknya
seperti efek 15 mg morfin. Kadar optimum untuk mendapatkan efek
analgesic maksimum 35%. Gas ini sering digunakan pada partus yaitu
diberikan 100% N2O pada waktu kontraksi uterus sehingga rasa sakit
hilang tanpa mengurangi kekuatan kontraksi dan 100% O2 pada waktu
relaksasi untuk mencegah terjadinya hipoksia. Anestetik tunggal N2O
digunakan secara intermiten untuk mendapatkan analgesic pada saat
proses persalinan dan Pencabutan gigi. H2O digunakan secara umum
untuk anestetik umum, dalam kombinasi dengan zat lain.
b. Halotan
Merupakan cairan tidak berwarna, berbau enak, tidak mudah
terbakar dan tidak mudah meledak meskipun dicampur dengan oksigen.
Halotan bereaksi dengan perak, tembaga, baja, magnesium, aluminium,
brom, karet dan plastic. Karet larut dalam halotan, sedangkan nikel,
titanium dan polietilen tidak sehingga pemberian obat ini harus dengan
alat khusus yang disebut fluotec. Efek analgesic halotan lemah tetapi
relaksasi otot yang ditimbulkannya baik. Dengan kadar yang aman waktu
30
10 menit untuk induksi sehingga mempercepat digunakan kadar tinggi (3-
4 volume %). Kadar minimal untuk anestesi adalah 0,76% volume.
c. Isofluran
Merupakan eter berhalogen yang tidak mudah terbakar. Secara
kimiawi mirip dengan efluran, tetapi secara farmakologi berbeda.
Isofluran berbau tajam sehingga membatasi kadar obat dalam udara yang
dihisap oleh penderita karena penderita menahan nafas dan batuk. Setelah
pemberian medikasi preanestetik stadium induksi dapat dilalui dengan
lancer dan sedikit eksitasi bila diberikan bersama N2O dan O2. Isofluran
merelaksasi otot sehingga baik untuk intubasi. Tendensi timbul aritmia
amat kecil sebab isofluran tidak menyebabkan sensitisasi jantung terhadap
ketokolamin. Peningkatan frekuensi nadi dan takikardia dihilangkan
dengan pemberian propanolol 0,2-2 mg atau dosis kecil narkotik (8-10 mg
morfin atau 0,1 mg fentanil), sesudah hipoksia atau hipertemia diatasi
terlebih dulu. Penurunan volume semenit dapat diatasi dengan mengatur
dosis. Pada anestesi yang dalam dengan isofluran tidak terjadi
perangsangan SSP seperti pada pemberian enfluran. Isofluran
meningkatkan aliran darah otak pada kadar labih dari 1,1 MAC (minimal
Alveolar Concentration) dan meningkatkan tekanan intracranial.
d. Sevofluran
Obat anestesi ini merupakan turunan eter berhalogen yang paling
disukai untuk induksi inhalasi.
A. Aldrete Score
Nilai Warna
Merah muda, 2
Pucat, 1
31
Sianosis, 0
Pernapasan
Dapat bernapas dalam dan batuk, 2
Dangkal namun pertukaran udara adekuat, 1
Apnoea atau obstruksi, 0
Sirkulasi
Tekanan darah menyimpang <20% dari normal, 2
Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal, 1
Tekanan darah menyimpang >50% dari normal, 0
Kesadaran
Sadar, siaga dan orientasi, 2
Bangun namun cepat kembali tertidur, 1
Tidak berespons, 0
Aktivitas
Seluruh ekstremitas dapat digerakkan, 2
Dua ekstremitas dapat digerakkan,1
Tidak bergerak, 0
Pernafasan
Batuk, menangis 2
Pertahankan jalan nafas 1
Perlu bantuan 0
Kesadaran
Menangis 2
Bereaksi terhadap rangsangan 1
Tidak bereaksi 0
TROMBOSIT
32
Tranfusi pada hakekatnya adalah pemberian darah atau komponen darah dari satu
individu (donor) ke individu lain (resipien), dimana dapat menjadi penyelamat nyawa,
tetapi dapat pula berbahaya dengan berbagai komplikasi yang dapat terjadi sehingga
tranfusi darah hendaklah dilakukan dengan indikasi yang jelas dan tepat sehingga
diperoleh manfaat yang jajuh lebih besar dari pada resiko yang mungkin terjadi.
Penggunaan darah untuk tranfusi hendaknya selalu dilakukan secara rasional dan
efisien yaitu dengan memberikan hanya komponen darah/derivate plasma yang
dibutuhkan saja. Pemikiran ini didasarkan bahwa darah terdiri dari bermacam macam
elemen elemen seluler dan juga bermacam macam protein plasma dengan fungsi yang
berbeda beda yang tentunya dapat dipisahkan, juga biasanya pasien hanya memerlukan
komponen tertentu saja sehingga komponen komponen darah lainnya dapat diberikan
kepada pasien lain yang membutuhkan.
Pengertian adanya perbedaan genetic antara individu, pengembangan
antikoagulan, pengawetan dan tehnik pengerjaan yang streril, memungkinkan
pengumpalan dan penyinaran darah untuk diberikan dikemudian hari. Perkembangan
tehnik terus berkembang khususnya dibidang penggunaan komponen dan fraksi donor
darah, perbaikan cara skrining donor, pengembangan inaktivitas kuman pathogen,
perkembangan mecing (matching) immunologi produk darah donor dengan resipien
jadilah tranfusi medis menjadi suatu spesialisasi dibidang hematologi.
FISIOLOGIS TROMBOSIT
Unsur seluler dari darah terdiri dari sel darah merah, sel darah putih, dan
trombosit, unsur seluler tersebut tersuspensi di dalam plasma. Volume darah total yang
beredar pada keadaan normal sekitar 8% dari berat badan (5600 mL pada pria 70 Kg).
sekitar 55% dari volume tersebut adalah plasma.
Trombosit/platelet adalah sel anuclear (tidak mempunyai nukleus pada DNA-
nya) dengan bentuk bulat kecil atau cakram oval dengan ukuran diameter 2-4 m yang
merupakan fragmentasi dari megakariosit di sumsum tulang. Waktu paruh hidup
trombosit dalam darah adalah 8 sampai 12 hari, setelah itu proses kehidupan berakhir.
Trombosit memiliki banyak ciri khas fungsional sebagai sebuah sel, walaupun
tidak mempunyai inti dan tidak dapat bereproduksi. Didalam sitoplasma nya terdapat
faktor faktor aktif seperti (1) molekul aktin dan myosin, sama seperti yang terdapat
33
dalam sel sel otot, juga protein kontraktil lainnya. Yaitu tromboplastin, yang dapat
menyebabkan trombosit berkontraks; (2) sisa reticulum endoplasma dan aparatus golgi
yang mensintesis berbagai enzim dan menyimpan sejumlah besar ion kalsium; (3) sistem
enzim yang mensistesis prostaglandin, yang merupakan hormone setempat yang
menyebabkan berbagai jenis reaksi pembuluh darah dan reaksi jaringan setempat; (4)
suatu protein penting yang disebut faktor stabilisasi fibrin yang berhubungan dengan
faktor pembekuan darah; (5) faktor pertumbuhan yang dapat menyebabkan penggandaan
dan pertumbuhan sel endotel pembuluh darah, sel otot polos pembuluh darah, dan
fibroblast, sehingga dapat menimbulkan pertumbuhan sel sel untuk memperbaiki dinding
pembuluh darah yang rusak.
Membrane sel trombosit juga penting. Dipermukaan nya terdapat lapisan
glikoprotein yang menyebabkan trombosit dapat menghindari perlekatan pada endotel
normal dan justru melekat pada dinding pembuluh darah yang terluka, terutama pada sel
endotel yang rusak, selain itu membrane trombosit mengandung banyak fosfolipid yang
berperan dalam mengaktifkan berbagai hal dalam faktor pembekuan.
Trombosit tersirkulasi dalam darah dan terlibat dalam mekanisme homeostasis
dalam proses perbaikan terhadap pembuluh yang rusak didasarkan pada beberapa fungsi
penting dari trombosit itu sendiri: pada waktu trombosit bersinggungan dengan
permukaan pembuluh yang rusak, misalnya dengan serat kolagen didinding pembuluh
atau bahkan dengan sel endotel yang rusak, maka sifat sifat trombosit segera berubah
secara drastic. Trombosit itu mulai membengkak, bentuk menjadi iireguler dengan
tonjolan tonjolan yang mencuat dari permukaanya; protein kontraktil nya berkontraksi
dengan kuat dan menyebabkan pelepasan granula yang mengandung berbagai faktor
aktif ;trombosit itu menjadi lengket sehingga melekat pada serat kolagen; mensekresi
sejumlah besar ADP; dan enzim enzim nya membentuk tromboksan A2, yang juga
disekresikan dalam darah. ADP dan tromboksan kemudian menyebabkan agregasi
trombosit ketempat semula yang sudah aktif. Dengan demikian pada setiap lubang luka
atau kerusakan pada dinding pembuluh darah akan menimbulkan suatu siklus aktivasi
trombosit yang jumlahnya terus meningkat yang menyebabkan menarik lebih banyak
lagi trombosit tambahan, sehingga membentuk sumbatan trombosit.
KELAINAN TROMBOSIT
34
Kebanyakan kasus perdarahan yang datang instalasi gawat darurat adalah
disebabkan oleh trauma, yang menghasilkan luka, laserasi, atau lesi pada struktur lain,
dengan kondisi homestasis pasien dalam keadaan normal. Sebaliknya, pada beberapa
keadaan perdarahan yang terjadi beberapa jam setelah terjadinya trauma atau perdalah
dalam jaringan atau sendi memberikan kesan terdapat gangguan pada proses perdarahan.
Informasi mengenai penyakit dahulu pasien menyangkut gangguan perdarahan
congenital, riwayat penyakit keluarga, hal ini memberikan kesan terdapat kelainan pada
system homeostasis pasien, umunya disebabkan oleh kelainan hati atau mengkomsumsi
obat obatan yang merusak fungsi trombosit (table 1).
Kelainan pada trombosit sering di temukan saat persiapan pre operasi berupa
disfungsi trombosit atau jumlah trombosit rendah (trombositopenia). Nilai trombosit di
bawah atau sama 50.000/mm3 tidak meningkatkan kejadian perdarahan saat operasi jika
fungsi dari trombosit normal; tetapi trombosit yang normal dengan disfungsi trombosit
dapat meningkatkan kejadian perdarahan saat operasi. Oleh karena itu persiapan
perioperatif harus benar benar mengetahui apakah terdapat kelainan pada thrombosit dan
segera di atasi untuk menghindari perdarahan saat operasi.
Nilai normal trombosit antara 150.000 sampai 400.000/mm3. Nilai trombosit di bawah
150.000mm/3 didefinisikan sebagai trombositopenia. Perdarahan spontan akibat nilai
trombosit yang rendah jarang ditemukan sampai nilai trombosit > 20.000 mm/3. Untuk
homeostasis pembedahan nilai trombosit antara 50.000 mm/3 sampai 100.000 mm/3
masih adekuaut selama fungsi trombosit baik. Keputusan untuk pemberian tranfusi
trombosit pada perioperatif tergantung dari kasus dan resiko terjadinya perdarahan
selama perdarahan atau pada pasien dengan gangguan homeostasis. Pada pasien dengan
hitung trombosit pada garis batas, mengetahui waktu masa perdarahan sangat bermanfaat
selama persiapan perioperatif.
Trombositopenia merupakan keadaan yang disebabkan oleh sequstrasi trombosit,
penurunan produksi trombosit atau destruksi trombosit yang sangat cepat (bagan 1).
35
Sulfa-containing antibiotics 4+ Antiplatelet agents: ticlopidine and
clopidogrel
Quinine and quinidine 4+ Penicillins and cephalosporins
Ethanol (chronic use) 4+ Calcium channel blockers
Aspirin 3+ Propranolol
Indomethacin 3+ Nitroglycerin
Valproic acid 3+ Antihistamines
Heroin 3+ Phenothiazines
Thiazides 2+ Tricyclic antidepressants
Furosemide 2+
Procainamide 2+
Digoxin 2+
Cimetidine and ranitidine 2+
Phenytoin 1+
Penicillins/cephalosporins 1+
*Angka tersebut menunjukkan efek masing masing obat berdasarkan laporan
kasus.
Trombosit sequestrasi
Sepertiga dari total trombosit secara fisiologis didestruksi oleh limpa. Pada
kondisi splenomegali, lebih dari 90% trombosit terdestruksi oleh limpa, sehingga
menyebabkan trombositopenia. Penyakit seperti sirosis hepatis dengan hipertensi portal
atau infiltrate tumor pada limpa dapat menyebabkan destruksi trombosit oleh limpa
secara signifkan. Manajemen perioperatif biasanya bersifat konservatif kecuali
trombositopenia progresif dibawah 50.000/mm3. Splenektomi efektif pada kelainan ini
seperti gaucher disease atau kelainan hemolotik kronik tetapi kontraindikasi relative pada
leukemia atau pada portal hipertensi. Meskipun nilai trombosit dapat rendah, fungsi
trombosit biasanya normal pada destruksi akibat spenomegali kecuali kelainan
hematologic atau penyakit keganansan.
36
Bagan 1
Pendekatan secara skematik untuk evaluasi klinik pada pasien dengan trombositopenia. (used
with permission from handin RI. In Beck W, editors: Hematology, ed 4, Cambridge, MA, 1985, MIT press,
p. 442).
37
trombositopenia purpura (ITP), atau evans sindrom (ITP dan anemia hemolotik). Pasien
pada trombositopenia yang disebabkan oleh immunologi biasanya tidak dijumpai
splenomegali dan sumsung tulang yang normal dengan peningkatan produksi
megakariosit. Usia trombosit pada kelainan immunologi trombositopenia lebih rendah
dari 1 hari.
Disfungsi trombosit
Karakteristik disfungsi trombosit trombosit adalah dengan hitung jumlah
trombosit normal tetapi tidak adekuat dalam homestasis karena terdapat defek pada
trombosit atau defek pada komponen koagulasi yang berinteraksi dengan trombosit.
Kelainan ini termasuk Von Willebrands disease, Bernard-Soulier, Glanzmanns
thrombasthenia, platelet granular disorder dan drug acquired platelet dysfunction.
Transfusi Trombosit
Trombositopenia umum terjadi pada pasien-pasien dengan keganasan
hematologis dan pasien trauma. Transfusi platelet (trombosit) sering diberikan pada
pasien-pasien dengan trombositopenia meskipun sering terjadi komplikasi transfusi yang
merugikan.
Dalam usaha untuk menghindari transfusi yang tidak perlu, tindakan transfusi
yang tepat dan keberhasilan dari transfusi platelet telah diperdebatkan selama beberapa
tahun belakangan ini. Banyak penelitian memfokuskan tingkat keberhasilan dari
transfusi platelet pada peningkatan jumlah platelet posttransfusi serta viabilitas dari
platelet post transfusi. Efek hemostatik dari transfuse platelet adalah tujuan akhir penting
yang dinilai. Beberapa penelitian telah mencoba untuk mengevaluasi efek dari transfuse
platelet terhadap terjadinya perdarahan dan koagulasi, mungkin karena hal ini adalah
hasil akhir yang sulit dinilai. Aggregometri platelet dan thromboelastrografi telah
dilakukan untuk penelitian efek in vitro dari penurunan jumlah platelet.
Tromboelatrografi dan tromboelastrometri sekarang sedang populer digunakan
sebagai alat monitor koagulasi karena tehniknya yang cepat dan mudah digunakan.
Tromboelastrografi lebih spesifik dan sensitif dibandingkan tes koagulasi rutin di
laboratorium dalam mendeteksi defek di sistem koagulasi.
Untuk menilai dengan segera efek yang dari transfuse platelet pada system
hemostatik tubuh, maka dilakukan penelitian dengan menggunakan thromboelastrometri
38
pada pasien trombositopenia yang dijadwalkan akan mendapatkan transfuse platelet
sebelum dilakukan pemasangan central venous catheter ( CVC ).
Penelitian yang diakui oleh Swedish Central Ethics Committee ini dilakukan
pada sepuluh pasien dengan keganasan hematologic yang dijadwalkan akan dilakukan
pemasangan CVP dengan kadar trombosit pasien dibawah 50 x 109/L sebelum dilakukan
transfuse platelet. Satu unit transfuse platelet yang diberikan mengandung 200-300 x 109
platelet dalam larutan NaCL, Na-acetate, Na-citrate, dan 100 mL plasma. Data yang
didapatkan dari sepuluh pasien, enam laki-laki dan empat wanita dengan usia 22 - 75
tahun memberikan hasil bahwa jumlah platelet meningkat dengan signifikan,jumlah
hemoglobin menurun, PT dan aPTT tidak ada perubahan.
Ini merupakan penelitian pertama yang dirancang untuk mengevaluasi efek dari
transfuse platelet menggunakan thromboelastrometri pada pasien trombositopenia. Disini
kita dapat melihat bahwa pemberian transfuse platelet untuk pasien dengan jumlah
trombosit dibawah 50 x 109/L meningkatkan kemampuan pembekuan darah (diukur 1
jam setelah transfusi).
39
penelitian selanjutnya untuk mengetahui manifestasi klinis setelah transfuse platelet
diperlukan.
Penelitian lain dilakukan di Amerika secara acak pada 1272 pasien dengan
hypoproliferatif trombositopenia (yang sedang menjalani transplantasi stem cell,
kemoterapi untuk kanker darah atau tumor solid) yang menerima setidaknya satu kali
transfuse platelet sebagai profilaksis terjadinya perdarahan. Penelitian ini dilakukan
untuk melihat efek profilaksis dari dosis transfuse platelet terhadap perdarahan yang
terjadi pada pasien hipoproliferatif trombositopenia. Transfusi diberikan dalam dosis
rendah, sedang dan dosis tinggi ( 1,1x1011, 2,2x1011, atau 4,4x1011 platelet per meter
kubik permukaan tubuh). Hasil akhir yang menjadi patokan adalah ada tidaknya
perdarahan gr 2 atau lebih yang terjadi (berdasarkan standar criteria yang diberikan oleh
WHO).
Dari 1272 pasien tersebut, insidensi perdarahan ataupun komplikasi yang terjadi
sama pada ketiga grup. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian transfuse
platelet pada dosis antara 1,1x1011, 2,2x1011, atau 4,4x1011 platelet per meter kubik
permukaan tubuh sebagai transfuse profilaksis pada pasien dengan hipoproliferatif
trombositopenia ( jumlah platelet dibawah 10.000 platelet/millimeter kubik ) tidak
mempunyai pengaruh signifikan terhadap insiden perdarahan yang terjadi pada pasien
mungkin karena beberapa platelet dibutuhkan untuk menjaga hemostasis.
Transfusi trombosit diberikan dalam bentuk konsentrat trombosit. Konsentrat
trombosit dapat didapatkan dari donor platelet apheresis. Kriteria donor apheresi :
1. Kesehatan umum baik, tidak sedang demam, batuk/flu.
2. Tidak sedang minum obat (Aspirin, antibiotika) dalam satu minggu terakhir.
3. Tensi darah :
4. Berat Badan :
40
5. Kadar hemoglobin : 13-17gr/%
6. Interval donor minimal 2 minggu sekali, satu tahun maksimal 24 kali disesuaikan
dengan kondisi donor.
41
Table 4.
Adverse
Events, According to Treatment Group.*
42
Donor platelet berlangsung dengan cara menyuntikkan sebuah jarum pada lengan
pendonor, selang-selang kecil akan dihubungkan dari jarum yang ditusukkan, darah
diambil dialirkan kedalam kit kemudian diproses oleh mesin pemisah darah untuk
memisahkan platelet dari whole blood, dan komponen darah lain akan dikembalikan
kedalam tubuh donor. Proses pengambilan darah, pemisahan platelet dan pengembalian
darah donor disebut dengan satu putaran (1 cycle). Hal ini dapat dilakukan berulang
sesuai dengan jumlah platelet yang kita inginkan. Prosedur pengambilan platelet
apheresis memakan waktu + 1 s/d 2 jam (bila diambil donor biasa + 7 menit) sehingga
akhirnya didapat konsentrat platelet yang volumenya 25-40 ml/unit yang berisi minimal
43
5,51010 platelet dan beberapa sel darah merah yang tercampur di dalamnya bersama
plasma untuk mempertahankan pH di atas 6 selama waktu penyimpanan.
2. Kuantitas : Satu orang donor dapat menghasilkan platelet 1-2 dosis (1 dosis setara
dengan 10 kantong platelet manual) (tergantung jumlah platelet donor)
3. Jumlah trombosit akan pulih kembali 100% dalam waktu 2x24 jam.
Dengan satu unit konsentrat platelet biasanya akan menaikkan jumlah platelet
sebesar 9.000-11.000 /m3 luas badan. Sehingga untuk keadaan trombositopenia yang
berat dibutuhkan sampai 8-10 unit. Indikasi transfusi trombosit adalah keadaan
trombositopeni yang mengancam jiwa. Apabila jumlah trombosit menurun sampai kira-
kira 20.000/mm3 biasanya menyebabkan perdarahan otak yang berakibat fatal.
Anemia aplastik
Sindroma mielodisplasi
44
3. Kelainan trombosit kualitatif
Kelainan congenital
REAKSI TRANFUSI
Konsentrat trombosit harus ditransfusikan secepat mungkin dalam waktu 2 jam
sepanjang kondisi resipien memungkinkan. Trombosit diberikan sampai perdarahan
berhenti atau masa perdarahan (bleeding time) pada 2 kali nilai kontrol normal.
Kemungkinan komplikasi yang terjadi adalah menggigil, demam, dan alergi. Transfusi
trombosit dapat menyebabkan allo-imunisasi yang menyebabkan pasien menjadi
refrakter terhadap transfusi trombosit berikutnya.
Potensi terjadinya reaksi tranfusi itu banyak, tapi pada saat ini masalah
komplikasi hanya terdapat pada pasien yang perlu berulang ulang mendapat tranfusi atau
45
memerlukan sejumlah darah yang banyak. Reaksi immunologi ini disebabkan oleh
rangsangan aloantigen asing yang terdapat pada eritrosit, leukosit, trombosit dan protein
plasma.
Reaksi tranfusi hemolitik, akibat berkembangnya antibody yang dapat bereaksi
dengan antigen donor. Klinis dapat berat, mengancam kehidupan atau ringan saja.
Hemolisi terjadi segera di dalam sirkulasi, yang lambat terjadi di sistem retikulo
endothelia.
Gejala klasik yang dikeluhkan pasien pada hemolitik paska tranfusi adalah sesak
nafas, nyeri dada, hipotensi, mual dan nyeri punggung bawah. Beberapa gejala tersebut
disebabkan oleh aktivitas komplemen kaskade dan pengeluaran sitokin. Dibawah general
anasthesi, akut hemolitik akibat reaksi tranfusi dapat menunjukkan tanda berupa
peruahan warna urin atau diffuse, perdarahan pada pembedahan yang tidak terdeteksi.
Manajemen awal pada kecurigaan akut hemolikit tranfusi reaksi sebaiknya
dimulai dengan segera menghentikan tranfusi, dilanjutkan dengan agresif hidrasi dengan
larutan isotonic crystalloid dan berikan pendukung inotropik untuk adekut perfusi renal.
Pasien tanpa intubasi sebaiknya dilakukan evaluasi ketat terhadap tanda tanda sridor,
edema laryng, atau udema pulmonal. Sebaiknya dilakukan intubasi untuk membuat jalan
nafas tetap aman.
Pasien dengan hemolitik akibat reaksi tranfusi sebaiknya dimonitoring ketat
selama 24 jam berupa koagulasi, hemoglobin, dan creatinin serum.
Febris non reaksi hemolitik tranfusi, muncul akibat alloimunisasi terhadap
antigrn leukosit dan trombosit2. Demam disebabkan oleh pengeluaran sitokin berupa
interleukin dan tumor necrosis faktor dari antibody platelet atau interaksi leukosit.
Manajemen awal berupa segera menghentikan tranfusi. Darah donor dan contoh
serum pasien harus di kirim ke Bank darah untuk diperiksa. Dapat diberikan anti piretik
dan hidrokortison.
Reaksi tranfusi Alergi, sering terjadi dengan angka kejadian sekitar 1-3%,
gambaran berupa urtikaria, skin rashes spasme bronkus, angio edema sampai renajatan
anafilaktik. Semua reaksi alergi ini diperantarai oleh IgE resipien terhadap protein
didalam plasma donor.
46
Tatalaksana pada pasien dengan gejala alergi akibat rekasi tranfusi dengan gejala
alergi ringan berupa gatal dan bintik bintik merah adalah stop tranfusi dan berikan 25-50
mg dipenhydramine.
47
BAB V
PEMBAHASAAN
Pada kasus ini yang perlu menjadi perhatian khusus adalah kadar trombosit
pasien yang rendah, yaitu 84,000 g/dl. Toleransi di bidang anestesi agar tidak terjadi
perdarahan spontan kadar trombosit minimal 50,000 g/dl.
Pada kasus ini hal yang menjadi perhatian khusus adalah sudut kelengkungan
skoliosis pasien, pada kasus ini di sudut kelengkungannya 106. Berdasarkan
committee of the scoliosis research society metode cobb`s kelengkungan sudut
>100 manifestasi klinik dapat menyebabkan sesak
Ada beberapa hal yang harus kita perhatikan sebelum kita memposisikan
pasien dalam posisi prone. Patensi jalan nafas harus kita pastikan. Sebab akan sangat
sulit untuk mengakses jalan napas pada pasien dengan posisi prone. Pemasangan
tape pada sambungan pipa napas dapat menjadi pilihan. Pemasangan packing pada
mulut dapat mengatasi hipersalivasi dan mengurangi risiko tube bergeser.
Pada posisi prone dada pasien akan tertekan sehingga pengembangan
parunya akan terhambat yang akan menimbulkan penurunan dari kapasitas vital
dan kapasitas fungsional residual dari pasien
Pada saat kita memposisikan pasien dari posisi supine ke posisi prone dapat
terjadi guncangan kardiovaskular yang hebat akibat dari penurunan cardiac
output yang menimbulkan hipotensi hingga henti jantung. Kita dapat mengatasinya
dengan memastikan kecukupan volume sirkulasi dari penderita sebelum kita
posisikan ke posisi prone. Pemasangan kanul vena sentral dapat menjadi pilihan
meskipun bukan merupakan indikasi mutlak. Alternatif lain dapat dilakukan
pemasangan 2 akses intravena ukuran besar
48
BAB VI
KESIMPULAN
49
DAFTAR PUSTAKA
50