Jakarta, Kompas - Pekerja atau buruh yang sudah bekerja enam tahun secara terus-menerus
pada perusahaan serupa berhak atas cuti panjang. Perusahaan wajib memberitahukan
secara tertulis kepada pekerja/buruh selambat-lambatnya 30 hari sebelum hak cuti panjang
timbul.
Hak cuti panjang pekerja tersebut diatur dalam Pasal 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi (Kepmennakertrans) Nomor: KEP. 51/MEN/IV/2004 tertanggal 8 April 2004
tentang istirahat panjang pada perusahaan tertentu, yang salinannya diperoleh Kompas, hari
Senin (14/6).
Selama menjalankan hak cuti panjang, pekerja berhak atas upah penuh dan pada
pelaksanaan istirahat panjang tahun ke delapan, pekerja diberikan kompensasi hak cuti
tahunan setengah bulan gaji terdiri dari upah pokok ditambah tunjangan tetap.
Dua Kepmennakertrans itu adalah Nomor 48 tentang tata cara pembuatan dan pengesahan
peraturan perusahaan serta pembuatan dan pendaftaran perjanjian kerja bersama (PKB) dan
Nomor 49 tentang ketentuan struktur dan skala upah.
Menurut Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial Muzni Tambusai, jika perusahaan sudah
menerapkan cuti panjang dan memberikan kompensasi memadai, tidak perlu lagi mengikuti
aturan masa kerja enam tahun.
Akan tetapi, kata dia, jika peraturan mengenai cuti panjang hendak dilakukan perubahan,
agar sesuai Kepmen, dapat dilakukan melalui musyawarah yang disepakati dalam perjanjian
kerja (PK), peraturan perusahaan (PP), dan perjanjian kerja bersama (PKB).
Bebani perusahaan
Menurut dia, pemerintah harus melakukan perubahan jika dengan terbitnya kepmen makin
banyak perusahaan yang keberatan. "Sesuai Pasal 9, pemerintah berhak menetapkan
perubahan perusahaan yang wajib memberikan istirahat panjang sesuai perkembangan
ketenagakerjaan," ujar Djoko.
Dalam Kepmennakertrans Nomor 48 yang terdiri dari delapan bab dan 31 pasal itu
disebutkan, PKB dirundingkan oleh serikat pekerja (SP) atau beberapa organisasi pekerja
yang tercatat pada perusahaan tersebut.
Perundingan PKB harus didasari itikad baik dan kemauan bebas kedua belah pihak.
Lamanya perundingan ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak dan dituangkan
dalam tata tertib perundingan.
Dalam Pasal 15 diatur pengusaha harus melayani permintaan secara tertulis untuk
merundingkan PKB dari SP/SB, yang telah tercatat berdasarkan UU No 21/2000 tentang SP
dan SB. Jika di perusahaan hanya terdapat satu SP atau SB, tetapi tidak memiliki jumlah
anggota lebih dari 50 persen dari jumlah karyawan, SP dapat mewakili pekerja dalam
musyawarah pembuatan PKB.
Jika PKB sudah disepakati lembaga bipartit, maka harus didaftarkan ke instansi yang
bertanggung jawab. Langkah ini sebagai alat monitoring dan evaluasi pengaturan syarat-
syarat kerja yang diterapkan perusahaan, serta sebagai rujukan utama jika di perusahaan
terjadi perselisihan hubungan industrial.
Bagi perusahaan yang tidak membuat PKB akan dikenakan sanksi sesuai UU
Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. (ETA)