Disusun oleh:
Kelompok 10
Kelas A
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara berkembang sekaligus memiliki kompleksitas masalah dalam bidang
kesehatan. Menurut Umaroh (2015), Indonesia menyandang Triple Burden Diseases dengan angka penyakit
menular yang masih tinggi, penyakit tidak menular yang terus berkembang, dan penyakit Re-emerging yang marak
terjadi. Penyakit menular dan Re-emerging disease ini dapat berpotensi sebagai wabah atau kejadian luar biasa
(KLB). Oleh karena itu disiplin ilmu epidemiologi berupaya menganalisis sifat dan penyebaran berbagai masalah
kesehatan dalam suatu penduduk tertentu serta mempelajari sebab timbulnya masalah dan gangguan kesehatan
tersebut untuk tujuan pencegahan maupun penanggulangannya
Kejadian luar biasa (KLB) di Indonesia masih cukup menjadi perhatian dunia kesehatan. Hal ini
dikarenakan oleh tingginya angka KLB menjadi salah satu indikator kesuksesan upaya preventif bidang kesehatan
dalam bidang surveillans epidemiologi. Kondisi ini menyebabkan perlunya peningkatan sistem kewaspadaan dini
dan respon terhadap KLB tersebut dengan langkah-langkah yang terprogram dan akurat, sehingga proses
penanggulangannya menjadi lebih cepat dan akurat pula. Untuk dapat mewujudkan respon KLB yang cepat,
diperlukan bekal pengetahuan dan keterampilan yang cukup dari para petugas yang diterjunkan ke lapangan.
Kenyataan tersebut mendorong kebutuhan para petugas di lapangan untuk memiliki pedoman penyelidikan dan
penanggulangan KLB yang terstruktur, sehingga memudahkan kinerja para petugas mengambil langkah-langkah
dalam rangka melakukan respon KLB.
Peristiwa bertambahnya penderita atau kematian yang disebabkan oleh suatu penyakit di wilayah
tertentu, kadang-kadang dapat merupakan kejadian yang mengejutkan dan membuat panik masyarakat di wilayah
itu. Secara umum kejadian ini kita sebut sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB), sedangkan yang dimaksud dengan
penyakit adalah semua penyakit menular yang dapat menimbulkan KLB, penyakit yang disebabkan oleh keracunan
makanan dan keracunan lainnya. Penderita atau yang beresiko penyakit dapat menimbulkan KLB dapat diketahui
jika dilakukan pengamatan yang merupakan semua kegiatan yang dilakukan secara teratur, teliti dan terus-
menerus, meliputi pengumpulan, pengolahan, analisa/interpretasi, penyajian data dan pelaporan. Apabila hasil
pengamatan menunjukkan adanya tersangka KLB, maka perlu dilakukan penyelidikan epidemiologis yaitu semua
kegiatan yang dilakukan untuk mengenal sifat-sifat penyebab dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
terjadinya dan penyebarluasan KLB tersebut di samping tindakan penanggulangan seperlunya. Hasil penyelidikan
epidemiologis mengarahkan langkah-langkah yang harus dilakukan dalam upaya penanggulangan KLB. Upaya
penanggulangan ini meliputi pencegahan penyebaran KLB, termasuk pengawasan usaha pencegahan tersebut
dan pemberantasan penyakitnya. Upaya penanggulangan KLB yang direncanakan dengan cermat dan
dilaksanakan oleh semua pihak yang terkait secara terkoordinasi dapat menghentikan atau membatasi
penyebarluasan KLB sehingga tidak berkembang menjadi suatu wabah (Effendi, 2009).
B. Tujuan
1. Mengetahui definisi Kejadian Luar Biasa (KLB)
2. Mengetahui kriteria kerja Kejadian Luar Biasa (KLB)
3. Mengetahui klasifikasi Kejadian Luar Biasa (KLB)
4. Mengetahui macam-macam penyakit yang dapat menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB)
5. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya Kejadian Luar Biasa (KLB)
6. Mengetahui langkah penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB)
7. Mengetahui langkah penyelidikan epidemiologi Kejadian Luar Biasa (KLB)
BAB II
PEMBAHASAN
C. Klasifikasi KLB
Menurut Bustan (2002), Klasifikasi Kejadian Luar Biasa dibagi berdasarkan penyebab
dan sumbernya, yakni sebagai berikut:
1. Berdasarkan Penyebab
a. Toxin
- Entero toxin, misal yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus, Vibrio,
Kholera, Eschorichia, Shigella
- Exotoxin (bakteri), misal yang dihasilkan oleh Clostridium botulinum, Clostridium
perfringens
- Endotoxin
b. Infeksi
- Virus
- Bakteri
- Protozoa
- Cacing
c. Toxin Biologis
- Racun jamur
- Alfatoxin
- Plankton
- Racun ikan
- Racun tumbuh-tumbuhan
d. Toxin Kimia
- Zat kimia organik: logam berat (seperti air raksa, timah), logam-logam lain cyanida, nitrit,
pestisida.
- Gas-gas beracun: CO, CO2, HCN, dan sebagainya.
2. Berdasarkan Sumber
a. Sumber dari manusia
Misalnya: jalan napas, tangan, tinja, air seni, muntahan seperti: Salmonella, Shigella, hepatitis.
b. Bersumber dari kegiatan manusia
Misalnya: toxin dari pembuatan tempe bongkrek, penyemprotan pencemaran lingkungan.
c. Bersumber dari binatang
Misalnya: binatang peliharaan, rabies dan binatang mengerat.
d. Bersumber pada serangga (lalat, kecoak)
Misalnya: Salmonella, Staphylococcus, Streptococcus
e. Bersumber dari udara
Misalnya: Staphylococcus, Streptococcus virus
f. Bersumber dari permukaan benda-benda atau alat-alat
Misalnya: Salmonella
g. Bersumber dari makanan dan minuman
Misalnya: keracunan singkong, jamur, makanan dalam kaleng.
1. Kolera
2. Pes
3. Demam Kuning
4. Demam Bolak-balik
5. Tifus
6. Demam Berdarah Dengue
7. Campak
8. Polio
9. Difteri
10. Pertusis
11. Rabies
12. Malaria
13. Influenza
14. Hepatitis
15. Tifus perut
16. Meningitis
17. Ensefalitis
18. Antraks
Adapula menurut dalam Permenkes 560/MENKES/PER/VIII/1989 telah ditetapkan 16
penyakit potensial wabah, yakni: Kholera, Pes, Demam Kuning, Demam Bolak - balik, Tifus
Bercak wabah, DBD, Campak, Polio, Difteri, Pertusis, Rabies, Malaria, Influenza, Hepatitis,
Tifus Perut, Meningitis, Ensefalitis, Antraks (Umaroh, 2015).
a. Demam Berdarah Dengue (DBD)
Penyakit Demam Berdarah Dengue merupakan salah satu penyakit menular yang sampai
saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan sering muncul sebagai Kejadian
Luar Biasa (KLB). Penyakit DBD sering menimbulkan kepanikan di masyarakat, karena
penyebarannya yang cepat dan berpotensi menimbulkan kematian. Penyakit ini disebabkan
oleh virus Dengue yang penularannya melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus yang hidup digenangan air bersih di sekitar rumah. Umumnya kasus ini mulai
meningkat saat musim hujan.
Tahun 2011 jumlah kasus yang dilaporkan dan dinyatakan positif sebanyak 199 kasus dan
4 meninggal orang, (CFR: 2,0%). Dengan demikian dilihat dari indikator CFR, maka CFR
Sambas sedikit di atas indikator nasional (<1%). Kasus DBD tersebar hampir merata di seluruh
kecamatan di Kabupaten Sambas, namun bila dibandingkan dengan tahun 2010 jumlah kasus
DBD mengalami penurunan yang signifikan dengan angka insiden DBD tahun 2010 39,3 per
100.000 penduduk.
Dalam penanganan kasus DBD perlu melibatkan dan dukungan semua sektor, baik
pemerintah, masyarakat maupun pihak swasta, dengan gerakan pemberantasan sarang nyamuk
yaitu 3 M (menguras - mengubur - menutup tempat penampungan air). Upaya lain yaitu
melakukan pemantauan rumah / bangunan bebas jentik serta melakukan pengenalan dini gejala
DBD dan penanganannya di rumah.
b. Diare
Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan, di mana sarana
air bersih dan jamban yang tidak sehat serta perilaku manusia yang tidak sehat merupakan
faktor dominan penyebab penyakit tersebut. Kasus diare dapat menyebabkan kematian
terutama pada saat Kejadian Luar Biasa (KLB).
Pada tahun 2011 di Kabupaten Sambas terdapat 11.532 kasus dan mengalami peningkatan
dibandingkan dengan tahun 2010. Persentase diare ditemukan dan ditangani tahun 2011 adalah
sebesar 22,75%.
Dengan demikian program penyehatan lingkungan dan kebersihan individu menjadi sangat
penting untuk mereduksi penyakit diare. Penyakit diare dapat dikorelasikan dengan perbaikan
hygiene sanitasi dan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dalam kehidupan sehari - hari
serta melibatkan kader dalam tatalaksana diare karena dengan penanganan yang tepat dan cepat
ditingkat rumah tangga, maka diharapkan dapat mencegah terjadinya kasus dehidrasi berat
yang dapat mengakibatkan kematian.
c. Filariasis (Penyakit Kaki Gajah)
Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit infeksi menahun (kronis) yang disebabkan
oleh cacing mikrofilaria. Penyakit ini ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk yang menyerang
saluran dan kelenjar getah bening yang dapat menimbulkan cacat menetap (seumur hidup)
berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin, sehingga dapat menimbulkan stigma sosial.
Di Indonesia kurang lebih 10 juta penduduk sudah terinfeksi penyakit ini dengan jumlah
penderita kronis (elephantiasis) kurang lebih 6.500 orang. Di Kabupaten Sambas jumlah
penderita kronis filariasis berdasarkan laporan terdapat 82 kasus yang tersebar di 16 kecamatan.
Penderita terbanyak di Kecamatan Sejangkung sebanyak 24 orang, Tekarang sebanyak 15
orang dan Sebawi sebanyak 17 orang. Angka kesakitan penyakit filariasis tahun 2011 sebesar
16 per 100.000 penduduk.
Upaya pencegahan dan pemberantasan dilakukan dengan memutus rantai penularan dan
mengobati penderita untuk mencegah infeksi sekunder. Dalam upaya mencapai eradikasi
Filariasis tahun 2020 (WHO), diperlukan alat / sarana yang sensitif untuk penegakan diagnosis,
sehingga penderita dapat ditemukan dalam stadium dini dan tidak sampai menimbulkan
kecacatan.
F. Penanggulangan KLB
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
949/MENKES/SK/VIII/2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan Dini
Kejadian Luar Biasa (SKD - KLB) yang dimaksud Penanggulangan KLB adalah kegiatan yang
dilaksanakan untuk menangani penderita, mencegah perluasan kejadian dan timbulnya
penderita atau kematian baru pada suatu KLB yang sedang terjadi. Program penanggulangan
KLB adalah suatu proses manajemen yang bertujuan agar KLB tidak lagi menjadi masalah
kesehatan masyarakat (Sulistyaningsih, 2011).
Penanggulangan KLB dilaksanakan dengan adanya SKD - KLB yang memiliki tujuan
umum yaitu terselenggaranya kewaspadaan dan kesiapsiagaan terhadap kemungkinan
terjadinya KLB. Serta memiliki tujuan khusus yaitu:
G. Penyeilidikan KLB
Prinsip dasar penyelidikan wabah umumnya sama, pada penyakit menular dan tidak
menular, (khusus untuk penyakit menular ada beberapa terminologi yang harus dipahami,
yaitu: karier, kontak, masa penularan, menular, infeksi masa inkubasi, subklinis, isolasi,
karantina transmisi, reservoir, sumber penularan, vektor, konvalesent, zoonosis, dan
sebagainya) (Noor, 2008).
Sebelum melakukan penyelidikan, langkah awal yang harus dilakukan adalah
menentukan tujuan penyelidikan KLB. Menurut Weraman (2010), tujuan utama dari suatu
penyelidikan KLB adalah untuk mencegah meluasnya (penanggulangan) dan terulangnya KLB
di masa yang akan datang (pengendalian), sedangkan tujuan khususnya dengan memastikan
diagnosis penyakit, menetapkan KLB, dan menentukan sumber dan cara penularan.
Menurut Noor (2008), terdapat 3 langkah dalam penyelidikan KLB, antara lain:
1. Garis Besar Pelacakan Wabah / Kejadian Luar Biasa
Keberhasilan suatu kegiatan pelacakan wabah sangat ditentukan oleh berbagai kegiatan
khusus. Pengumpulan data dan informasi secara seksama langsung di lapangan/tempat
kejadian, yang diikuti dengan analisis data yang teliti dengan ketajaman penelitian merupakan
landasan dari keberhasilan pelacakan. Menurut Weraman (2010), pertimbangan penetapan
pelacakannya selain didasarkan pada perolehan informasi yang akurat juga harus
mempertimbangkan hal-hal lain seperti sumber daya yang ada (dana, sarana, dan tenaga), luas
wilayah KLB, asal sumber KLB, dan sifat penyakit.
Dengan demikian maka dalam usaha pelacakan KLB, diperlukan langkah-langkah yang
merupakan pedoman dasar yang kemudian harus dikembangkan sendiri oleh investigator
(pelacak) dalam menjawab pertanyaan yang mungkin timbul dalam kegiatan pelacakan
tersebut. Walaupun penentuan langkah-langkah sangat tergantung tim pelacak, namun prinsip
dasar seperti penentuan diagnosis serta penentuan adanya wabah harus mendapatkan perhatian
lebih awal dan harus ditetapkan sedini mungkin.
2. Analisis Situasi Awal
Pada tahap awal pelacakan suatu situasi yang diperkirakan KLB, diperlukan sekurang -
kurangnya empat kegiatan awal yan bersifat dasar dari pelacakan.
a. Penentuan / penegakan diagnosis
Penelitian/pengamatan klinis dan pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk kepentingan
diagnosis. Laporan awal yang diperoleh harus diamati secara tuntas apakah sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya (perhatikan tingkat kebenarannya yaitu kasus pasti: ada kepastian
pemeriksaan laboratorium serologi, bakteriologi, virologi atau parasitologi atau tanpa gejala
klinis. Kasus mungkin: tanda/gejala sesuai dengan penyakitnya tanpa dukungan laboratorium.
Kasus tersangka: tanda/gejala sesuai dengan penyakitnya tetapi pemeriksaan laboratorium
negatif) (Lapau, 2011). Seperti contohnya wabah penyakit demam berdarah dengue (DBD),
harus jelas diagnosis secara klinis maupun laboratorium. Hal ini mengingat bahwa gejala DBD
dapat didiagnosis secara tidak tepat, disamping itu, pemeriksaan laboratorium terkadang tidak
cukup hanya satu kali.
Dalam menegakkan diagnosis, harus ditetapkan kapan seseorang dapat dinyatakan sebagai
kasus. Hal ini sangat tergantung pada keadaan dan jenis masalah yang sedang dihadapi.
Seseorang dapat dinyatakan kasus hanya dengan gejala klinis saja atau dengan pemeriksaan
laboratorium saja atau keduanya. Misalnya wabah diare, bila kita mengarah pada masalah diare
secara umum maka diagnosisnya hanya dengan gejala klinis saja. Tetapi bial masalah ini
diarahkan khusus untuk cholera Eltor, maka pemeriksaan laboratorium sangat menentukan
disamping gejala klinis dan analisis epidemiologi.
Weraman (2010) mengemukakan cara diagnosis penyakit pada KLB adalah dengan
mencocokkan gejala atau tanda penyakit yang terjadi pada individu. Pada tahap ini paling tidak
dapat dibuat distribusi frekuensi gejala klinis. Cara penghitungan distribusi frekuensi dari tanda
dan gejala yang ada pada kasus antara lain:
1) Membuat daftar gejala yang ada pada kasus
2) Menghitung persen kasus yang mempunyai gejala tersebut
3) Menyusun urutan menurut frekuensinya
Selanjutnya melakukan uji hipotesis dengan menyelaraskan pola klinis, laboratoris, dan pola
epidemiologis dari kasus yang ditemukan dengan pengetahuan tentang penyakit tersebut.
b. Penentuan adanya wabah
Langkah ini adalah saat tindakan deskriptif mulai berperan. Sebelumnya harus dipastikan dulu
bahwa memang benar terjadi epidemik (Magnus, 2010). Penentuan adanya wabah dapat
dilakukan dengan melakukan usaha perbandingan keadaan jumlah kasus sebelumnya untuk
melihat apakah terjadi kenaikan frekuensi, artinya apakah jumlah kasus yang dihadapi jauh
lebih banyak dari sebelumnya, atau jumlah kasus lebih tinggi dari yang diperkirakan
sebelumnya.
Selain itu perbandingan periode waktu yang terdekat serta periode tahun sebelumnya untuk
mengidentifikasi pola penyakit perlu dilakukan. Contohnya, jika seseorang melihat jumlah
kasus saat musim panas, pada umumnya kasus campak lebih banyak terjadi daripada di musim
lainnya. Di samping itu, juga dapat memeriksa rate yang disesuaikan menurut usia, jenis
kelamin, dan ras untuk melihat apakah ada perbedaan subpopulasi yang mengalami penyakit
dan rate yang disesuaikan dapat menunjukkan penjelasan alternatif wabah yang memang terjadi
(Magnus, 2010).
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kejadian luar biasa adalah peningkatan frekuensi penyakit sehingga jumlah penderita
melampaui keadaan normal yang diperkirakan sebelumnya, pada waktu dan tempat tertentu.
Terdapat 9 kriteria kerja kejadian luar biasa menurut Kep.Dirjen PPM dan PLP No. 451
I/PD.03.04/1997. Klasifikasi Kejadian Luar Biasa dibagi berdasarkan penyebabnya yaitu ;
Toksin, infeksi, toksin biologis, dan toksin kimia. Sedangkan berdasarkan sumbernya yaitu ;
Sumber dari manusia, kegiatan manusia, binatang, serangga, udara, permukaan benda,
makanan dan minuman. Ada 18 penyakit yang dapat menimbulkan kejadian luar biasa yaitu ;
kolera, pes, demam kuning, demam bolak - balik, tifus, demam berdarah dengue, campak,
polio, difteri, pertusis, rabies, malaria, influenza, hepatitis, tifus perut, meningitis, ensefalitis,
antraks. Faktor yang memengaruhi kejadian luar biasa adalah Herd Imunity yang rendah,
patogenesis, dan lingkungan yang buruk. Langkah dalam penanggulangan kejadian luar biasa
dapat dilakukan dengan kajian epidemiologi, peringatan kewaspadaan dini, peningkatan
kewaspadan dan kesiapsiagaan, dan tindakan penanggulangan dengan cepat dan tepat. Adapun
langkah dalam penyelidikan kejadian luar biasa yaitu ; menetapkan diagnosis, menetapkan
suatu wabah, menguraikan wabah dalam hubungannya dengan waktu dan tempat, merumuskan
dan menghipotesa terjadinya wabah, mencari kemungkinan adanya kasus - kasus lain yang
belum diketahui dan membuat uraian deskriptif bagi mereka seperti yang sudah dilakukan
sebelumnya, menganalisis data, menentukan faktor - faktor yang mendukung, serta membuat
laporan penyelidikan wabah.
Daftar Pustaka
Bustan, 2002. Pengantar Epidemiologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Effendi, Ferry. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas. Jakarta: Salemba Medika.
Hasmi. 2011. Dasar - dasar Epidemiologi. Jakarta: Trans Info Media.
Heukelbach, Jorg. et al. 2016. Zika Virus Outbreak in Brazil. JIDC (The Journal of Infection in
Developing Countries), Vol.10(2):116-120.
Kristina. 2014. Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (SKD-
KLB). http://www.diskes.baliprov.go.id/id/SISTEM-KEWASPADAAN-DINI-KEJADIAN-
LUAR-BIASA--SKD-KLB-, diakses 13 November 2016.
Lapuu, B. 2011. Prinsip dan Metode Epidemiologi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Lednicky, John.et al. 2016. Zika Virus Out breakin Haitiin 2014:
Molecular and Clinical Data. PLOS Neglected Tropical Diseases.
DOI:10.1371/journal.pntd.0004687.
Magnus, M. 2010. Buku Ajar Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta: EGC.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1501/MENKES/PER/X/2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu yang dapat
Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan. Jakarta: (tidak diterbitkan).
Noor, Nur Nasry. 2008. Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Notoatmojo, Soekidjo. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat: Prinsip Prinsip Dasar. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Rajab, W. 2008. Epidemiologi untuk Mahasiswa Kebidanan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Sinaga, N, Siti. 2015. Kebijakan Penanggulangan Penyakit Demam Berdarah Di Indonesia. Jurnal
Ilmiah Research Sains. Vol 1: 1.
Sulistyaningsih, 2011. Epidemiologi dalam Praktik Kebidanan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Umaroh, A.K., Badar, K., Dwi, A. 2015. Kejadian Luar Biasa (KLB) BDB Berdasarkan Time,
Place, Person di Puskesmas Boyolali (2011-2013). University Research Colloquinum. ISSN
2407-9189. Semarang: Kesehatan Masyarakat FIK UMS.