Anda di halaman 1dari 34

CASE REPORT

Stase Obstetri dan Ginekologi

LEIMIOMA UTERI INTRAMURAL


Pembimbing :
dr. Sutiyono Sp.OG (K) Obs

Diajukan Oleh :
Dhanista Hastinata Sukarna Putra, S. Ked
J510 1650 32

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016

CASE REPORT
Yang diajukan oleh :
Dhanista Hastinata Sukarna Putra, S. Ked
J 510 1650 32
Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada tanggal 24 Agustus 2016
Pembimbing I
dr. Sutiyono Sp.OG (K) Obs.Sos
(.............................................)
Ka. Program profesi
dr. D. Dewi Nirlawati

(.............................................)

LAPORAN KASUS MYOMA UTERI


2

A. IDENTITAS
Nama
Usia
Pekerjaan
Agama
Alamat

:
:
:
:
:

Ny. Sri Warsini


43 tahun
Swasta
Islam
Pakis, Suruh, Tasik Madu

Nama Suami

: Tn. Sularno

Pekerjaan

: Swasta

MRS

: 26 Oktober 2016

No. RM

: 384XXX

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Keluar darah dari jalan lahir
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien mengeluhkan keluar darah dari jalan lahir, keluhan dirasakan sejak 1 bulan
terakhir, pada 2 minggu terakhir ini keluar darah flek-flek. Akhir-akhir ini darah yang
keluar bergumpal dan lebih banyak. Pasien juga mengaku haidnya tidak teratur dan
lebih lama, perut nyeri (+), keputihan (-), BAB dan BAK normal.
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat keluhan yang sama (-), Hipertensi (-), diabetes mellitus (-), dan asma (-)
4. Riwayat Penyakit Keluarga :
Menurut pasien di keluarga pasien tidak ada yang memiliki keluhan seperti pasien.
Riwayat penyakit hipertensi, diabetes mellitus, dan asma disangkal.
5. Riwayat Alergi :
Pasien mengatakan tidak mempunyai alergi terhadap obat-obatan dan makanan.
6. Riwayat Kontrasepsi : pemakaian KB suntik dan IUD (pemakaian selama 5 tahun
dan lepas 2 bulan yang lalu)
7. Riwayat Perkawinan: suami ke I, menikah 1x selama 20 tahun
8. Riwayat Obstetri :
Pasien mengatakan mengalami haid pertama (menarke) pada usia 12 tahun. Pasien
memiliki siklus haid yang tidak teratur, lamanya haid memanjang dan jumlah nya
banyak. Pasien memiliki riwayat kehamilan sebagai berikut :
Aterm; lahir dirumah bersalin; spontan; perempuan; dibantu bidan; BBL = 3200 gr
3

(usia sekarang 19 tahun)


b. Aterm; lahir dirumah bersalin; spontan; laki laki; dibantu bidan; BBL = 3300 gr
(usia sekarang 15 tahun)
c. Aterm; lahir dirumah bersalin; spontan; laki laki; dibantu bidan; BBL = 2900 gr
(usia sekarang 8 tahun)
d. Aterm; lahir dirumah bersalin; spontan; perempuan; dibantu bidan; BBL = 300 gr
(usia sekarang 5 tahun)
C. Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalis
a. Keadaan umun
: Cukup
b. Kesadaran
: Compos Mentis (E4V5M6)
c. Tekanan darah
: 130/100 mmHg
d. Nadi
: 84x/ menit
e. Respirasi
: 22x/ menit
f. Suhu badan
: 36,3 oC
2. Kondisi Medik
a. Kepala
: Normocephal, Conjungtiva Anemis (+/+), Sklera Ikterik (-/-), Pupil
isokhor (3mm/3mm), Sianosis (-)
b. Leher
: Leher simetris, retraksi suprasternal (-), deviasi trachea (-), massa (-),
JVP (-), Pembesaran Kelenjar Limfe (-)
c. Thorax
:
Paru-paru
Inspeksi : Kelainan bentuk dada (-), gerak dada kanan dan kiri simetris,
pelebaran vena superficial (-), benjolan/massa (-), sikatriks (-).
Palpasi
: Tidak terdapat ketinggalan gerak antara pulmo dekstra dan sinistra.
Perkusi
: Suara paru sonor/sonor, paru dalam batas normal
Auskultasi : Suara dasar bronchial (+), suara dasar vesicular (+), tidak ada suara
tambahan.
Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

: Ictus cordis tampak


: Ictus cordis tidak kuat angkat
: Suara jantung redup, batas jantung dalam batas normal.
: Bunyi jantung 1, 2 murni regular terdengar pada SIC 1 dan 2 linea

parasternal sinistra et dekstra. Bising jantung (-)


Abdomen
Inspeksi : Perut buncit (-), Ascites (-), Distended (-), sikatriks (-)
Auskultasi : Suara peristaltik (normal), suara tambahan (-)
Palpasi
: Nyeri tekan (-), hepar teraba, lien tidak teraba, ginjal tidak teraba,
defans muskular (-), teraba massa (-)
Perkusi
: Suara timpani (+)
d. Extremitas : clubbing finger (-), deformitas (-), edema ekstremitas (-)
D. STATUS GINEKOLOGI
1. Abdomen :
4

a. Inspeksi
b. Palpasi

: Tidak ada tanda-tanda peradangan, bekas operasi (-).


: Teraba massa padat (-).

2. Pemeriksaan Inspekulo :

Porsio ukuran normal, tampak licin, erosi (-), livide (+), fluor albus (-),
perdarahan aktif (+)
3. Pemeriksaan Dalam (VT) :
Dinding vagina normal, massa (-), porsio licin, portio mencucu, pembukaan tidak
ada, nyeri goyang (-), uterus lebih besar dari biasa, corpus uteri antefleksi ukuran
lebih besar, adneksa kiri tidak teraba massa, adneksa kanan tidak teraba massa,
parametrium kanan lemas, parametrium kiri lemas, tidak teraba massa, STLD (+)
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium:

Hb
Ht
AL
AT
MCV
MCH
MCHC
HbSag
GDS

: 8,7 g% (12.00-16.00)
: 29,6% (37.00-47.00)
: 5,14 (5-10)
: 389 (150-300)
: 78,4 fL (82-92)
: 25,7 pg (27-31)
: 32,5% (32-27)
: non reaktif)
: 97 mg/dL
5

2.

a.
b.

Ultrasonografi (USG) Abdomen :

Uterus antefleksi dengan ukuran membesar


Adneksa kiri dan kanan normal
Kesan Mioma uteri
3.

EKG:

4.

Normal

Foto Thorax:
Cor/Pulmo dalam batas normal
F. Diagnosis Kerja
6

Menometrorhagi et causa Mioma uteri


G. RENCANA TINDAKAN
1. Observasi keadaan umum dan vital sign pasien
2. Cek DL, fungsi ginjal, fungsi hepar dan gula darah, HbSag
3. USG Mioma uteri rawat ruang untuk persiapan operasi laparatomi
(histerektomi)
4. KIE pasien dan keluarganya
H. LAPORAN OPERASI
Operator: dr. Heryu Ristianto, SpOG
Ibu dibaringkan di meja operasi dengan kateter dan infus yang terpasang baik.
Dilakukan spinal anestesi
3. Incisi dilakukan mulai kutis, sub kutis, fascia, peritoneum, sampai uterus beserta
4.
5.
6.
7.
8.

myoma terlihat.
Kemudian diputuskan untuk dilakukan STAH.
Evaluasi uterus
Kemudian dilakukan BSO (bilateral salpingooforektomi)
Evaluasi perdarahan,kesan tidak aktif.
Peritoneum dijahit, otot dijahit secara simple suture, kemudian fascia dijahit secara
kontinous, sub kutis dijahit secara simple, kutis dijahit secara sub kutikuler. Kemudian

ditutup dengan verban.


9. KU ibu post STAH + BSO stabil
10. Rencana biopsi PA

I. POST OPERASI
1. Tindakan Operasi : Subtotal Abdominal Histerektomi (STAH) + BSO
2. Penemuan Intra Operasi :
7

a. Uterus ukuran 8 x 8 x 9 cm
b. Perdarahan 200 cc
3. Instruksi Post Operasi :
Pemeriksaan laboratorium post-operatif
IVFD RL 20 gtt/i
Injeksi Cefotaxime 1 g/12 jam
Injeksi Ketorolac 30 mg/8 jam
Injeksi Ranitidine/12 jam
Observasi tanda vital dan keluhan pasien
Follow up pasien
WAKTU

SUBJEKTIF

26/10/16

Perdarahan
dari jalan
lahir (+)

OBJEKTIF

ASSESSMENT

Keadaan umum :

Menometrorhagi

Cukup
Kesadaran :

et causa Mioma
Uteri

Compos Mentis
TD : 130/100

Perdarahan
dari jalan
lahir (+),
Pusing (+)

Observasi tandatanda vital

Inf RL 20 tpm

Inj Metergin 1
amp

mmHg
HR : 88 x/m
RR : 21 x/m
T : 36,7 0C
PPV :10cc
PP test : (-)
Hb : 8,7

27/10/16

PLANNING

Inj As.
Tranexamat/12
jam

Keadaan umum:

Menometrorhagi

Cukup
Kesadaran

et causa mioma

compos mentis
TD : 110/60mmHg
N : 87 x/I

uteri

Rencana USG

abdomen besok
Observasi tandatanda vital

Inf RL 20 tpm

Inj Metergin 1
amp

T : 36,2 C
RR : 25 x/m
PPV: 10cc
Hb: 9,7

Inj As.
Tranexamat/12
jam

Asam mefenamat
3x1

28/10/16

Perdarahan
dari jalan

Keadaan umum :

Menometrorhagi

Cukup

et causa mioma

USG abdomen
Observasi tandatanda vital

lahir (+)

29/10/16

Nyeri Post
Operasi,
lemas

30/10/16

Nyeri Post
Operasi

Kesadaran :

uteri

Compos Mentis
TD : 100/70 mmHg
N : 74 x/m
RR : 18 x/m
T : 36,7 0C
Hb: 8,3
Ppv: 5cc

Keadaan umum :
Cukup
Kesadaran :

Inf RL 20 tpm

Inj Metergin 1 mp

Inj As.
tranexamat/12 jam

3x1

Post STAH +

Ren Operasi STH

Transfusi PRC 2

kolf
Observasi tandatanda vital

BSO H1

Compos Mentis
TD : 100/70 mmHg
N : 72 x/m
RR : 18 x/m
T : 36,7 0C
Ppv : 3 cc
Hb: 10,3

Keadaan umum :
baik
Kesadaran :

As.mefenamat

Inf RL 20 tpm

Inj Cefotaxime 1
g/12 jam

Inj Ranitidine/ 12
jam

Post STAH +

Inj Ketorolac/ 8

jam
Observasi tandatanda vital

BSO H2

Compos Mentis
TD : 110/70 mmHg
N : 78 x/m
RR : 21 x/m
T : 36,2 0C

Inf RL 20 tpm

Inj Cefotaxime 1
g/12 jam

Inj Ranitidine/ 12
jam

Inj Ketorolac/ 8
jam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Organ Uterus
1. Histologi

Gambar histologi, uterus terdiri dari tiga lapisan, seperti yang ditunjukkan pada
( Junquiera, 2007):
a. Lapisan serosa atau peritoneum viseral yang terdiri dari sel mesotelial.
b. Lapisan muscular atau miometrium yang merupakan lapisan paling tebal di uterus
dan terdiri dari serat otot halus yang dipisahkan oleh kolagen dan serat elastik.
Berkas otot polos ini membentuk empat lapisan yang tidak berbatas tegas. Lapisan
pertama dan keempat terutama terdiri atas serat yang tersusun memanjang, yaitu
sejajar dengan sumbu panjang organ. Lapisan tengah mengandung pembuluh
darah yang lebih besar.
c. Lapisan endometrium yang terdiri atas epitel dan lamina propia yang mengandung
kelenjar tubular simpleks. Sel sel epitel pelapisnya merupakan gabungan selapis
sel sel silindris sekretorus dan sel bersilia. Jaringan ikat lamina propia kaya akan
fibroblas dan mengandung banyak substansi dasar. Serat jaringan ikatnya terutama
berasal dari kolagen.

10

Gambar lapisan endometrium dapat dibagi menjadi dua zona (Junquera, 2007).
1) Lapisan fungsional
Lapisan fungsional merupakan bagian tebal dari endometrium. Lapisan
ini akan luruh pada saat terjadinya fase menstruasi (Junquera, 2007).
2) Lapisan basal
Lapisan basal merupakan lapisan yang paling dalam dan berdekatan
dengan miometrium. Lapisan ini mengandung lamina propia dan bagian awal
kelenjar uterus. Lapisan ini berperan sebagai bahan regenerasi dari lapisan
fungsional dan akan tetap bertahan pada fase menstruasi. Endometrium
adalah jaringan yang sangat dinamis pada wanita usia reproduksi. Perubahan
pada endometrium terus menerus terjadi sehubungan dengan respon terhadap
perubahan hormon, stromal, dan vascular dengan tujuan akhir agar nanitnya
uterus sudah siap saat terjadi pertumbuhan embrio pada kehamilan. Stimulasi
estrogen dikaitkan erat dengan pertumbuhan dan proliferasi endometrium,
sedangkan progesteron diproduksi oleh korpus luteum setelah ovulasi
mengahmbat proliferasi dan menstimulasi sekresi di kelenjar dan juga
perubahan predesidual di stroma (Junquera, 2007).
2. Anatomi

11

Gambar anatomi uterus (Moore, 2013)


Uterus adalah organ yang terdiri atas suatu badan (korpus), yang terletak di atas
penyempitan rongga uterus (orifisium internum uteri), dan suatu struktur silindris di
bawah, yakni serviks, yang terletak di bawah orifisium internum uteri. Uterus adalah
organ yang memiliki otot yang kuat dengan ukuran panjang 7 cm, lebar 4 cm, dan
ketebalan 2,5 cm (Junquera, 2007). Pada setiap sisi dari uterus terdapat dua buah
ligamentum broad yang terletak diantara rektum dan kandung kemih, ligamentum
tersebut menyangga uterus sehingga posisi uterus dapat bertahan dengan baik. Bagian
korpus atau badan hampir seluruhnya berbentuk datar pada permukaan anterior, dan
terdiri dari bagian yang cembung pada bagian posterior. Pada bagian atas korpus,
terdapat bagian berbentuk bulat yang melintang di atas tuba uterina disebut fundus.
Serviks berada pada bagian yang lebih bawah, dan dipisahkan dengan korpus oleh ismus.
(Moore, 2013)
Sebelum masa pubertas, rasio perbandingan panjang serviks dan korpus kurang
lebih sebanding; namun setelah pubertas, rasio perbandingannya menjadi 2 : 1 dan 3.
Untuk mempertahankan posisinya uterus disangga beberapa ligamentum, jaringan ikat
dan peritoneum. Ukuran uterus tergantung dari usia wanita, pada anak-anak ukuran
uterus sekitar 2-3 cm, nullipara 6-8 cm, dan multipara 8-9 cm. Dinding uterus terdiri
12

dari tiga lapisan yaitu peritoneum, miometrium / lapisan otot, dan endometrium
(Cunningham et al, 2013) :
a. Peritoneum
1) Meliputi dinding rahim bagian luar
2) Menutupi bagian luar uterus
3) Merupakan penebalan yang diisi jaringan ikat
4) pembuluh darah limfe dan urat saraf
5) Meliputi tuba dan mencapai dinding abdomen (Moore, 2013).
b. Lapisan otot
1) Lapisan luar: posisi melengkung dari fundus uteri menuju ligamentum
2) Lapisan dalam: berasal dari osteum tuba uteri sampai osteum uteri internum
3) Lapisan tengah: terletak di antara kedua lapisan tersebut membentuk lapisan
tebal anyaman serabut otot rahim. Lapisan tengah ditembus oleh pembuluh
darah arteri dan vena. Lengkungan serabut otot ini membentuk angka dan
sehingga saat terjadi kontraksi pembuluh darah terjepit rapat dengan demikian
perdarahan dapat terhenti (Cunningham et al, 2013).
c. Semakin ke arah serviks otot rahim makin berkurang dan jaringan ikatnya
bertambah. Bagian rahim yang terletak antara osteum uteri internum anatomikum
yang merupakan batas dan kavum uteri dan kanalis servikalis dengan osteum uteri
histologikum (dimana terjadi perubahan selaput lendir kavum uteri menjadi selaput
lendir serviks) disebut istmus. Istmus uteri ini akan menjadi segmen bawah rahim
dan meregang saat persalinan (Cunningham et al, 2013).
d. Kedudukan uterus dalam tulang panggul ditentukan oleh tonus otot rahim sendiri,
tonus ligamentum yang menyangga, tonus otot-otot dasar panggul, ligamentum
yang menyangga uterus adalah ligamentum latum, ligamentum rotundum (teres
uteri) ligamentum infindibulo pelvikum (suspensorium ovarii) ligamentum
kardinale machenrod, ligamentum sacro uterinum dan ligamentum uterinum,
penjelasan (Moore, 2013) :
1)Ligamentum latum
a) Merupakan lipatan peritoneum kanan dan kiri uterus meluas sampai ke
dinding panggul.
b) Ruang antara kedua lipatan berisi jaringan ikat longgar dan mengandung
pembuluh darah limfe dan ureter
c) Ligamentum latum seolah-olah tergantung pada tuba fallopi
2)Ligamentum rotundum (teres uteri)
a) Mulai sedikit kaudal dari insersi tuba menuju kanalis inguinalis dan
mencapai labia mayus
b) Terdiri dari otot polos dan jaringan ikat
c) Fungsinya menahan uterus dalam posisi antefleksi
3)Ligamentum infundibulo pelvikum
a) Terbentang dari infundibulum dan ovarium menuju dinding panggul
13

b) Menggantung uterus ke dinding panggul


c) Antara tuba fallopi dan ovarium terdapat ligamentum ovarii proprium
4)Ligamentum kardinale
a)
Dari serviks setinggi osteum uteri internum menuju panggul
b)
Menghalangi pergerakan uterus ke kanan dan ke kiri
c)
Tempat masuknya pembuluh darah menuju uterus
5)Ligamentum sacro uterinum
Merupakan penebalan dari ligamentum kardinale machenrod menuju os
sacrum
6)Ligamentum vesika uterinum
a)
Dari uterus menuju ke kandung kemih
b) Merupakan jaringan ikat yang agak longgar sehingga dapat mengikuti
perkembangan uterus saat hamil dan persalinan
e. Vascularisasi uterus
1) Arteri uterina asenden yang menuju corpus uteri sepanjang dinding lateral dan
memberikan cabangnya menuju uterus dan di dasar endometrium membentuk
arteri spinalis uteri (Moore, 2013).
2) Di bagian atas ada arteri ovarika untuk memberikan darah pada tuba fallopi dan
ovarium melalui ramus tubarius dan ramus ovarika (Moore, 2013).

f. Inervasi uterus
Kontraksi otot rahim bersifat otonom dan dikendalikan oleh saraf simpatis dan
parasimpatis melalui ganglion servikalis fronkenhouser yang terletak pada
pertemuan ligamentum sakro uterinum (Gunstream, 2013).
3. Fisiologi

14

Siklus endometrium menurut (Guyton, 2012), terdiri dari empat fase,yaitu :


a. Fase menstruasi
Pada fase ini, endometrium terlepas dari dinding uterus dengan disertai
pendarahan dan lapisan yang masih utuh hanya stratum basale. Rata-rata fase ini
berlangsung selama lima hari (rentang 3-6 hari). Pada awal fase menstruasi kadar
estrogen, progesteron, LH (Lutenizing Hormon) menurun atau pada kadar
terendahnya selama siklus dan kadar FSH (Folikel Stimulating Hormon) baru
mulai meningkat (Guyton, 2012).
b. Fase proliferasi
Fase proliferasi merupakan periode pertumbuhan cepat yang berlangsung
sejak sekitar hari ke-5 sampai hari ke-14 dari siklus haid, misalnya hari ke-10
siklus 24 hari, hari ke-15 siklus 28 hari, hari ke-18 siklus 32 hari. Permukaan
endometrium secara lengkap kembali normal sekitar empat hari atau menjelang
perdarahan berhenti. Dalam fase ini endometrium tumbuh menjadi setebal 3,5
mm atau sekitar 8-10 kali lipat dari semula, yang akan berakhir saat ovulasi. Fase
proliferasi tergantung pada stimulasi estrogen yang berasal dari folikel ovarium
(Guyton, 2012).
c. Fase sekresi/luteal
Fase sekresi berlangsung sejak hari ovulasi sampai sekitar tiga hari sebelum
periode menstruasi berikutnya. Pada akhir fase sekresi, endometrium sekretorius
yang matang dengan sempurna mencapai ketebalan seperti beludru yang tebal dan
halus. Endometrium menjadi kaya dengan darah dan sekresi kelenjar (Guyton,
2012).
d. Fase iskemi/premenstrual
15

Implantasi atau nidasi ovum yang dibuahi terjadi sekitar 7 sampai10 hari
setelah ovulasi. Apabila tidak terjadi pembuahan dan implantasi, korpus luteum
yang mensekresi estrogen dan progesteron menyusut. Seiring penyusutan kadar
estrogen dan progesteron yang cepat, arteri spiral menjadi spasme, sehingga
suplai darah ke endometrium fungsional terhenti dan terjadi nekrosis. Lapisan
fungsional terpisah dari lapisan basal dan perdarahan menstruasi dimulai
(Guyton, 2012).
B. Mioma Uteri
1. Definisi
Mioma uteri adalah tumor jinak miometrium uterus dengan konsistensi padat
kenyal, batas jelas, mempunyai pseudo kapsul, tidak nyeri, bisa soliter atau multipel.
Tumor ini juga dikenal dengan istilah fibromioma uteri, leiomioma uteri, atau uterine
fibroid. Strukturnya mengandung peningkatan dalam jumlah kolagen dan elastin
ekstraseluler. Sebuah psedokapsul tipis terdiri dari jaringan areole dan serat otot
terkompresi mengelilingi tumor. Mioma uteri dapat memperbesar dan menyebabkan
distorsi yang signifikan dari permukaan uterus. Mioma uteri biasanya kurang dari 15cm
dalam ukuran tetapi pada kasus yang jarang dapat mencapai proporsi yang sangat besar,
dengan berat lebih 45kg. Penyebab mioma uteri belum dikenal pasti. Mioma uteri
bukanlah suatu keganasan dan tidak juga berhubungan dengan keganasan (Hanan et al,
2016)
2. Epidemiologi
Mioma uteri terjadi pada 20% - 25% perempuan di usia reproduktif tetapi oleh
faktor yang tidak diketahui secara pasti. Insidensinya 3-9 kali lebih banyak pada ras kulit
berwarna dibandingkan dengan ras berkulit putih. Selama 5 dekade, ditemukan 50%
kasus mioma uteri terjadi pada ras kulit berwarna. Data statistik menunjukkan 60%
mioma uteri terjadi pada wanita yang tidak pernah hamil ataupun hamil hanya satu kali.
Kejadian mioma uteri sebesar 20% - 40% ditemukan pada wanita yang berusia 35 tahun
(Hanan et al, 2016)
. Berdasarkan penelitian Okogbo et al (2011) menemukan 27% wanita berumur 25
tahun mempunyai sarang mioma, pada wanita yang berkulit hitam ditemukan lebih
banyak. Mioma uteri belum pernah dilaporkan terjadi sebelum menarke, sedangkan
setelah menopause hanya kira-kira 10% mioma yang masih bertumbuh.
Menurut WHO, insidensi mioma uteri sekitar 20% - 30% dari seluruh wanita di
dunia. Menurut Uterine Bleeding and Pain Womens Research Study (UBP-WRS),
16

kejadian mioma uteri di negara England dan Italy adalah 9.4% dan 17.4% daripada 2500
wanita di setiap negara. Di negara Amerika, prevalensi mioma uteri adalah 5% - 21%.
Kejadian mioma uteri antara ras Africa-American adalah sebanyak 60% dan antara ras
Caucasian adalah 40% (WHO, 2014).
Di Indonesia mioma uteri ditemukan pada 2,39 11,7% pada semua penderita
ginekologi yang dirawat. Tumor ini paling sering ditemukan pada wanita umur 35 45
tahun (kurang lebih 25%) dan jarang pada wanita 20 tahun dan wanita post menopause.
Prevalensi meningkat apabila ditemukan riwayat keluarga, ras, kegemukan dan nullipara.
Prevalensi mioma uteri di Surabaya dan Riau masing-masing 10.03% dan 8.03% dari
semua pasien ginekologi yang dirawat (Rahmi, 2012).
Kasus mioma uteri di Jawa Tengah merupakan indikasi utama dilakukannya
histerektomi yaitu sekitar 600.000 kasus setiap tahun, sedangkan miomektomi hanya
sekitar 37.000 kasus setiap tahun. Berdasarkan Profil Kesehatan Jawa Tengah Tahun
2013 menyatakan bahwa mioma uteri menempati urutan kedua penyakit tidak menular
setelah kanker payudara. Mioma uteri termasuk dalam neoplasma jinak ginekologi
asimptomatik tersering dengan insiden satu dari empat wanita selama masa reproduksi
aktif (Profil Kesehatan Jawa Tengah, 2013).
RSUD Dr.Moewardi Surakarta merupakan rumah sakit rujukan di Jawa Tengah dan
sekitarnya. Sebagai rumah sakit pemerintah sekaligus rumah sakit pendidikan, RSUD
Dr.Moewardi melayani persoalanpersoalan kesehatan dari segala aspek kesehatan
masyarakat, termasuk masalah kesehatan reproduksi. Sehingga bisa dilakukan penelitian
terkait masalah kesehatan reproduksi, khususnya reproduksi wanita. Data yang diperoleh
dari Rekam Medis RSUD Dr.Moewardi dari bulan Januari Desember 2014 terdapat
193 orang pasien dengan gangguan sistem reproduksi. Dari keseluruhan penderita
ginekologi terdapat 125 orang pasien penderita mioma uteri, yang menjalani rawat inap
sebanyak 97 pasien dan rawat jalan sebanyak 28 pasien. Jumlah ini meningkat dari tahun
sebelumnya, yaitu tahun 2013 terdapat 119 penderita mioma uteri dengan 110 pasien
menjalani rawat inap dan 9 pasien rawat jalan (Yuniati, 2015).
3. Etiologi dan Faktor risiko
Sampai saat ini belum diketahui penyebab pasti mioma uteri dan diduga
merupakan penyakit multifaktorial. Dipercaya bahwa mioma merupakan sebuah tumor
monoklonal yang dihasilkan dari mutasi somatik dari sebuah sel neoplastik tunggal. Selsel tumor mempunyai abnormalitas kromosom lengan 12q13-15. Ada beberapa faktor
yang diduga kuat sebagai faktor predisposisi terjadinya mioma uteri, yaitu :
17

a. Umur : mioma uteri jarang terjadi pada usia kurang dari 20 tahun, ditemukan sekitar
10% pada wanita berusia lebih dari 40 tahun. Tumor ini paling sering memberikan
gejala klinis antara 35-45 tahun (Andrea et al, 2014).
b. Paritas : lebih sering terjadi pada nullipara atau pada wanita yang relatif infertil, tetapi
sampai saat ini belum diketahui apakah infertil menyebabkan mioma uteri atau
sebaliknya mioma uteri yang menyebabkan infertil, atau apakah kedua keadaan ini
saling mempengaruhi (Andrea et al, 2014).
c. Faktor ras dan genetik : pada wanita ras tertentu, khususnya wanita berkulit hitam,
angka kejadiaan mioma uteri tinggi. Terlepas dari faktor ras, kejadian tumor ini tinggi
pada wanita dengan riwayat keluarga ada yang menderita mioma.
Penggunaan KB hormonal : Kontrasepsi hormonal merupakan kontrasepsi
dimana estrogen dan progesteron memberikan umpan balik terhadap kelenjar hipofisis
melalui hipotalamus sehingga terjadi hambatan terhadap folikel dan proses ovulasi.
Berdasarkan jenis dan cara pemakaiannya, kontrasepsi hormonal dibagi menjadi 3,
yaitu kontrasepsi suntik, kontrasepsi oral (pil) dan kontrasepsi implant (susuk)
(Andrea et al, 2014).
Kontrasepsi hormonal lebih banyak dipilih oleh akseptor KB karena lebih praktis
dan efektif untuk mencegah kehamilan. Efektifitas kontrasepsi hormonal mencapai
lebih dari 99% jika diberikan sesuai petunjuk. Namun demikian, kontrasepsi
hormonal memiliki beberapa efek samping, diantaranya gangguan menstruasi (32%),
mual, sakit kepala (< 1- 17%), perubahan berat badan (7-9%). Pada penggunaan
jangka panjang terjadi perubahan lipid serum, penurunan densitas tulang, gangguan
emosi, sakit kepala, jerawat, dapat menimbulkan kekeringan pada vagina dan dapat
menurunkan libido (Saifuddin,2006). Sedangkan pada akseptor kontrasepsi implan
prevalensi kehamilan ektopik terjadi pada 13/100.000 wanita. Penelitian yang pernah
dilakukan oleh bahwa 17,4% penderita mioma uteri merupakan pengguna kontrasepsi
pil (Sinclair, 2010).
4. Patofisiologi
Mioma merupakan monoclonal dengan tiap tumor merupakan hasil dari penggandaan
satu sel otot. Etiologi yang diajukan termasuk di dalamnya perkembangan dari sel otot
uterus atau arteri pada uterus, dari transformasi metaplastik sel jaringan ikat, dan dari selsel embrionik sisa yang persisten. Penelitian terbaru telah mengidentifikasi sejumlah
kecil gen yang mengalami mutasi pada jaringan ikat tapi tidak pada sel miometrial

18

normal. Penelitian menunjukkan bahwa pada 40% penderita ditemukan aberasi


kromosom yaitu t(12;14)(q15;q24) (Andrea et al, 2014)
Meyer dan De Snoo mengajukan teori Cell Nest atau teori genioblast. Percobaan
Lipschultz yang memberikan estrogen kepada kelinci percobaan ternyata menimbulkan
tumor fibromatosa baik pada permukaan maupun pada tempat lain dalam abdomen. Efek
fibromatosa ini dapat dicegah dengan pemberian preparat progesteron atau testoster.
Pemberian agonis GnRH dalam waktu lama sehingga terjadi hipoestrogenik dapat
mengurangi ukuran mioma. Efek estrogen pada pertumbuhan mioma mungkin
berhubungan dengan respon mediasi oleh estrogen terhadap reseptor dan faktor
pertumbuhan lain. Terdapat bukti peningkatan produksi reseptor progesteron, faktor
pertumbuhan epidermal dan insulin-like growth factor 1 yang distimulasi oleh estrogen.
Anderson dkk, telah mendemonstrasikan munculnya gen yang distimulasi oleh estrogen
lebih banyak pada mioma daripada miometrium normal dan mungkin penting pada
perkembangan mioma. Namun bukti-bukti masih kurang meyakinkan karena tumor ini
tidak mengalami regresi yang bermakna setelah menopause sebagaimana yang disangka.
Lebih daripada itu tumor ini kadang-kadang berkembang setelah menopause bahkan
setelah ooforektomi bilateral pada usia dini (Andrea et al, 2014)

19

20

5. Klasifikasi mioma uteri


Klasifikasi mioma dapat berdasarkan lokasi dan lapisan uterus yang terkena, yaitu
(Malcolm et al, 2011).:
a.

Lokasi

a.

Cerivical (2,6%), umumnya tumbuh ke arah vagina menyebabkan infeksi

b.

Isthmica (7,2%), lebih sering menyebabkan nyeri dan gangguan traktus urinarius.
21

c.

Corporal (91%), merupakan lokasi paling lazim, dan seringkali tanpa gejala.
b.

Lapisan Uterus
Mioma uteri pada daerah korpus, sesuai dengan lokasi dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :

1)

Mioma Uteri Submukosa


Mioma submukosa dapat tumbuh bertangkai menjadi polip, kemudian
dilahirkan melalui saluran serviks disebut mioma geburt. Hal ini dapaat
menyebabkan dismenore, namun ketika telah dikeluarkan dari serviks dan
menjadi nekrotik, akan memberikan gejala pelepasan darah yang tidak regular
dan dapat disalahartikan dengan kanker serviks (Malcolm et al, 2011).
Dari sudut klinik mioma uteri submukosa mempunyai arti yang lebih
penting dibandingkan dengan jenis yang lain. Pada mioma uteri subserosa
ataupun intramural walaupun ditemukan cukup besar tetapi sering kali
memberikan keluhan yang tidak berarti. Sebaliknya pada jenis submukosa
walaupun hanya kecil selalu memberikan keluhan perdarahan melalui vagina.
Perdarahan sulit untuk dihentikan sehingga sebagai terapinya dilakukan
histerektomi (Malcolm et al, 2011).

2)

Mioma Uteri Subserosa


Lokasi tumor di subserosa korpus uteri dapat hanya sebagai tonjolan saja,
dapat pula sebagai satu massa yang dihubungkan dengan uterus melalui tangkai.
Pertumbuhan ke arah lateral dapat berada di dalam ligamentum latum dan disebut
sebagai mioma intraligamenter. Mioma yang cukup besar akan mengisi rongga
peritoneal sebagai suatu massa. Perlengketan dengan usus, omentum atau
mesenterium di sekitarnya menyebabkan sistem peredaran darah diambil alih dari
tangkai ke omentum. Akibatnya tangkai makin mengecil dan terputus, sehingga
mioma akan terlepas dari uterus sebagai massa tumor yang bebas dalam rongga
peritoneum. Mioma jenis ini dikenal sebagai jenis parasitic (Malcolm et al, 2011).

3)

Mioma Uteri Intramural


Disebut juga sebagai mioma intraepitelial. Biasanya multipel apabila masih
kecil tidak merubah bentuk uterus, tetapi bila besar akan menyebabkan uterus
berbenjol-benjol, uterus bertambah besar dan berubah bentuknya. Mioma sering
tidak memberikan gejala klinis yang berarti kecuali rasa tidak enak karena adanya
massa tumor di daerah perut sebelah bawah. Kadang kala tumor tumbuh sebagai
mioma subserosa dan kadang-kadang sebagai mioma submukosa. Di dalam otot
22

rahim dapat besar, padat (jaringan ikat dominan), lunak (jaringan otot rahim
dominan) (Malcolm et al, 2011).
Secara makroskopis terlihat uterus berbenjol-benjol dengan permukaan
halus. Pada potongan, tampak tumor berwarna putih dengan struktur mirip
potongan daging ikan. Tumor berbatas tegas dan berbeda dengan miometrium
yang sehat, sehingga tumor mudah dilepaskan. Konsistensi kenyal, bila terjadi
degenerasi kistik maka konsistensi menjadi lunak. Bila terjadi kalsifikasi maka
konsistensi menjadi keras. Secara histologik tumor ditandai oleh gambaran
kelompok otot polos yang membentuk pusaran, meniru gambaran kelompok sel
otot polos miometrium. Fokus fibrosis, kalsifikasi, nekrosis iskemik dari sel yang
mati. Setelah menopause, sel-sel otot polos cenderung mengalami atrofi, ada
kalanya diganti oleh jaringan ikat. Pada mioma uteri dapat terjadi perubahan
sekunder yang sebagian besar bersifat degenerasi. Hal ini oleh karena
berkurangnya pemberian darah pada sarang mioma. Perubahan ini terjadi secara
sekunder dari atropi postmenopausal, infeksi, perubahan dalam sirkulasi atau
transformasi maligna (Malcolm et al, 2011).

Gambar . Jenis-jenis mioma uteri


6. Gejala klinis
Hampir separuh kasus mioma uteri ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan
ginekologik karena tumor ini tidak mengganggu. Gejala yang timbul sangat tergantung
pada tempat sarang mioma ini berada serviks, intramural, submukus, subserus), besarnya
23

tumor, perubahan dan komplikasi yang terjadi. Gejala tersebut dapat digolongkan
sebagai berikut (Anne et al, 2013) :
a. Perdarahan abnormal
Gangguan perdarahan yang terjadi umumnya adalah hipermenore, menoragia dan
dapat juga terjadi metroragia. Beberapa faktor yang menjadi penyebab perdarahan ini,
antara lain adalah :
1) Pengaruh ovarium sehingga terjadilah hyperplasia endometrium sampai adeno
karsinoma endometrium.
2) Permukaan endometrium yang lebih luas daripada biasa.
3) Atrofi endometrium di atas mioma submukosum.
4) Miometrium tidak dapat berkontraksi optimal karena adanya sarang mioma
diantara serabut miometrium, sehingga tidak dapat menjepit pembuluh darah yang
melaluinya dengan baik.
b.

Rasa nyeri
Rasa nyeri bukanlah gejala yang khas tetapi dapat timbul karena gangguan
sirkulasi darah pada sarang mioma, yang disertai nekrosis setempat dan peradangan.
Pada pengeluaran mioma submukosum yang akan dilahirkan, pula pertumbuhannya
yang menyempitkan kanalis servikalis dapat menyebabkan juga dismenore.

c. Gejala dan tanda penekanan


Gangguan ini tergantung dari besar dan tempat mioma uteri. Penekanan pada
kandung kemih akan menyebabkan poliuri, pada uretra dapat menyebabkan retensio
urine, pada ureter dapat menyebabkan hidroureter dan hidronefrosis, pada rectum
dapat menyebabkan obstipasi dan tenesmia, pada pembuluh darah dan pembuluh
limfe dipanggul dapat menyebabkan edema tungkai dan nyeri panggul.
7. Diagnosis
a. Anamnesis
Dalam anamnesis dicari keluhan utama serta gejala klinis mioma lainnya, faktor
resiko serta kemungkinan komplikasi yang terjadi. (Anne et al, 2013).
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan status lokalis dengan palpasi abdomen. Mioma uteri dapat diduga
dengan pemeriksaan luar sebagai tumor yang keras, bentuk yang tidak teratur, gerakan
bebas, tidak sakit (Anne et al, 2013).
c. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium
24

Akibat yang terjadi pada mioma uteri adalah anemia akibat perdarahan uterus
yang berlebihan dan kekurangan zat besi. Pemeriksaaan laboratorium yang perlu
dilakukan adalah Darah Lengkap (DL) terutama untuk mencari kadar Hb.
Pemeriksaaan lab lain disesuaikan dengan keluhan pasien (Anne et al, 2013).
2) Imaging
a) Pemeriksaaan dengan USG akan didapat massa padat dan homogen pada uterus.
Mioma uteri berukuran besar terlihat sebagai massa pada abdomen bawah dan
pelvis dan kadang terlihat tumor dengan kalsifikasi.
b) Histerosalfingografi digunakan untuk mendeteksi mioma uteri yang tumbuh ke
arah kavum uteri pada pasien infertil.
c) MRI lebih akurat untuk menentukan lokasi, ukuran, jumlah mioma uteri, namun
biaya pemeriksaan lebih mahal (Anne et al, 2013).

8. Penatalaksanaan
Tidak semua mioma uteri memerlukan pengobatan bedah. Penanganan mioma uteri
tergantung pada umur, status fertilitas, paritas, lokasi dan ukuran tumor, sehingga
biasanya mioma yang ditangani yaitu yang membesar secara cepat dan bergejala serta
mioma yang diduga menyebabkan fertilitas. Secara umum, penanganan mioma uteri
terbagi atas penanganan konservatif dan operatif (Bhati et al , 2013).
Penanganan konservatif bila mioma berukuran kecil pada pra dan post menopause
tanpa gejala. Cara penanganan konservatif sebagai berikut :
- Observasi dengan pemeriksaan pelvis secara periodic setiap 3-6 bulan.
- Bila anemi (Hb < normal )
Pengobatan operatif meliputi miomektomi dan histerektomi. Miomektomi adalah
pengambilan sarang mioma saja tanpa pengangkatan uterus. Tindakan ini dapat
dikerjakan misalnya pada mioma submukoum pada myom geburt dengan cara ekstirpasi
lewat vagina. Pengambilan sarang mioma subserosum dapat mudah dilaksanakan apabila
tumor bertangkai. Apabila miomektomi ini dikerjakan karena keinginan memperoleh
anak, maka kemungkinan akan terjadi kehamilan adalah 30-50%. Histerektomi adalah
pengangkatan uterus, yang umumnya tindakan terpilih. Histerektomi dapat dilaksanakan
perabdominan atau pervaginam. Yang akhir ini jarang dilakukan karena uterus harus
lebih kecil dari telor angsa dan tidak ada perlekatan dengan sekitarnya. Adanya prolapsus
25

uteri akan mempermudah prosedur pembedahan. Histerektomi total umumnya dilakukan


dengan alasan mencegah akan timbulnya karsinoma servisis uteri. Histerektomi
supravaginal hanya dilakukan apabila terdapat kesukaran teknis dalam mengangkat
uterus (Bhati et al , 2013).
National Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotionperiode 19941999, melaporkan bahwa mioma uteri merupakan salah satu penyebab dilakukannya
tindakan histerektomi pada wanita Amerika usia reproduktif 7.403 dari 3.525.237
histerektomi atau sekitar 2,1 per 1000 wanita. Menurut Center of Disease Prevention and
Control (CDC) Tahun 2013 yang dikutip dari Rawal Medical Journal menyebutkan
bahwa tindakan histerektomi dilakukan pada sekitar 5 per 1000 wanita Amerika setiap
tahun (Bhati et al, 2013).

Mioma

Besar < 14 mgg

Tanpa keluhan

Besar > 14 mgg

Dengan keluhan

Konservatif

Operatif

Gambar . Bagan Penatalaksanaan Mioma Uteri.


9. Komplikasi
26

Perubahan sekunder pada mioma uteri yang terjadi sebagian besar bersifat
degenerasi. Hal ini oleh karena berkurangnya pemberian darah pada sarang mioma.
Perubahan sekunder tersebut antara lain (Mriganka et al, 2016):
a. Atrofi : sesudah menopause ataupun sesudah kehamilan mioma uteri menjadi kecil.
b. Degenerasi hialin : perubahan ini sering terjadi pada penderita berusia lanjut. Tumor
kehilangan struktur aslinya menjadi homogen. Dapat meliputi sebagian besar atau
hanya sebagian kecil dari padanya seolah-olah memisahkan satu kelompok serabut
otot dari kelompok lainnya.
c. Degenerasi kistik : dapat meliputi daerah kecil maupun luas, dimana sebagian dari
mioma menjadi cair, sehingga terbentuk ruangan-ruangan yang tidak teratur berisi
agar-agar, dapat juga terjadi pembengkakan yang luas dan bendungan limfe sehingga
menyerupai limfangioma. Dengan konsistensi yang lunak ini tumor sukar dibedakan
dari kista ovarium atau suatu kehamilan.
d. Degenerasi membatu (calcereus degeneration) : terutama terjadi pada wanita berusia
lanjut oleh karena adanya gangguan dalam sirkulasi. Dengan adanya pengendapan
garam kapur pada sarang mioma maka mioma menjadi keras dan memberikan
bayangan pada foto rontgen.
e. Degenerasi merah (carneus degeneration) : perubahan ini terjadi pada kehamilan
dan nifas. Patogenesis : diperkirakan karena suatu nekrosis subakut sebagai
gangguan vaskularisasi. Pada pembelahan dapat dilihat sarang mioma seperti daging
mentah berwarna merah disebabkan pigmen hemosiderin dan hemofusin. Degenerasi
merah tampak khas apabila terjadi pada kehamilan muda disertai emesis, haus,
sedikit demam, kesakitan, tumor pada uterus membesar dan nyeri pada perabaan.
Penampilan klinik ini seperti pada putaran tangkai tumor ovarium atau mioma
bertangkai.
f. Degenerasi lemak : jarang terjadi, merupakan kelanjutan degenerasi hialin.
Komplikasi yang terjadi pada mioma uteri :
a. Degenerasi ganas.
Mioma uteri yang menjadi leiomiosarkoma ditemukan hanya 0,32-0,6% dari
seluruh mioma; serta merupakan 50-75% dari semua sarkoma uterus. Keganasan
umumnya baru ditemukan pada pemeriksaan histologi uterus yang telah diangkat.
Kecurigaan akan keganasan uterus apabila mioma uteri cepat membesar dan apabila
terjadi pembesaran sarang mioma dalam menopause.
b. Torsi (putaran tangkai).

27

Sarang mioma yang bertangkai dapat mengalami torsi, timbul gangguan


sirkulasi akut sehingga mengalami nekrosis. Dengan demikian terjadilah sindrom
abdomen akut. Jika torsi terjadi perlahan-lahan, gangguan akut tidak terjadi.
c. Nekrosis dan infeksi.
Sarang mioma dapat mengalami nekrosis dan infeksi yang diperkirakan karena
gangguan sirkulasi darah padanya.
C. Hubungan dengan Kehamilan
1. Pengaruh Mioma terhadap Kehamilan dan Persalinan
Reseptor estrogen menurun pada miometrium yang normal pada saat fase sekresi
dari siklus menstruasi dan saat kehamilan. Tetapi pada mioma ueteri, reseptor estrogen
terdapat sepanjang siklus menstruasi dan mengalami supresi semasa kehamilan.
Reseptor progesteron terdapat pada miometrium dan mioma sepanjang siklus
menstruasi dan kehamilan. Selanjutnya mioma berkembang pada awal kehamilan
akibat dari stimulasi hormonal dan growth factors yang sama yang memicu
perkembangan uterus. Mioma uteri memberi respon yang berbeda pada setiap individu
wanita dan tidak dapat diprediksi secara akurat perkembangan setiap mioma (Lee et al,
2010)
Pada trimester pertama, ukuran mioma tidak berubah atau semakin membesar
karena efek peningkatan estrogen. Pada trimester kedua, mioma yang berukuran 2
hingga 6 cm biasanya tidak berubah atau mungkin membesar. Namun pada mioma yang
berukuran besar akan mengecil, kemungkinan dari inisiasi penurunan regulasi reseptor
esterogen. Pada trimester ketiga, mioma tidak berubah atau mengecil akibat dari
penurunan regulasi reseptor esterogen pada semua ukuran. Biasanya mioma akan
mengalami involusi yang nyata setelah kelahiran (Lee et al, 2010).
Munculnya gejala tergantung pada jumlah, ukuran, dan letak mioma uteri.
Mioma intramural dan subserosa dengan ukuran <3 cm biasanya tidak memberikan
gejala klinis yang signifikan. Sekitar 10% sampai 30% wanita dengan mioma uteri
timbul komplikasi selama kehamilannya (Lee et al, 2010).
Komplikasi mioma uteri terhadap fertilitas dan kehamilan, yaitu (Mriganka et al, 2016):
a. Infertile

Merupakan komplikasi mioma uteri, terutama pada mioma uteri submukosa. Lokasi
anatomi dari mioma menjadi faktor penting dalam hubungannya dengan infertilitas.
Mioma yang berukuran >5 cm dan berlokasi dekat serviks atau dekat ostium tuba,
lebih berisiko menyebabkan masalah infertilitas. Mioma submukosa atau intramural

28

dapat menyebabkan disfungsi kontraksi uterus yang selanjutnya menyebabkan


gangguan pada migrasi sperma, pergerakan atau nidasi ovum. Infertilitas dapat juga
terjadi apabila sarang mioma menutup atau menekan pars intertisialis tuba.
b. Abortus
Sering terjadi abortus dan perdarahan hamil muda. Kejadian abortus meningkat jika
mioma berada pada lapisan submukosa. Mioma yang terletak dekat dengan plasenta
banyak dihubungkan dengan kejadian abortus perdarahan pada hamil muda.
Sedangkan mioma submukosum juga memudahkan terjadinya abortus oleh karena
distorsi rongga uterus.
c. Terjadi kelainan letak janin dalam rahim (malpresentasi), terutama pada mioma yang
besar dan letak subserosa.
d. Pertumbuhan janin terhambat dan anomali fetal.
e. Kelainan letak plasenta.

Komplikasi mioma pada saat persalinan, yaitu (Bajekal and Li, 2012):
a. Distosia akibat tumor yang menghalangi jalan lahir, terutama pada mioma yang
letaknya di serviks.
b. Inersia uteri terutama pada kala I dan kala II.
c. Atonia uteri terutama pada persalinan: perdarahan banyak, biasanya pada mioma yang
letaknya di dalam dinding rahim.
d. Pada kala III terjadi retensio plasenta, terutama pada mioma submukosa dan intramural
yang mengakibatkan perdarahan aktif.

e. Persalinan prematuritas.
2. Pengaruh kehamilan dan persalinan pada mioma uteri (Wallach, et al 2104).:
a. Pada saat kehamilan trimester I, ukuran mioma uteri akan bertambah besar. Hal ini
terjadi karena pengaruh hormon estrogen yang meningkat dalam kehamilan.
b. Pada saat kehamilan, terjadi gangguan sirkulasi karena bertambahnya ukuran janin
pada cavum uteruss ehingga terjadi pendarahan.Degenerasi merah dan degenerasi
karnosa: tumor menjadi lebih lunak, berubah bentuk, dan warna merah.
c. Pada mioma subserosa yang bertangkai akan terdesak oleh uterus yang membesar
atau setelah bayi lahir, terjadi torsi (terpelintir) pada tangkainya, menyebabkan
gangguan sirkulasi dan nekrosis pada tumor. Wanita hamil merasa nyeri yang hebat
pada perut (abdomen akut).

29

d. Pengaruh dari bertambahnya ukuran janin akan mengakibatkan tekanan pada cavum
abdominal akan meningkat. Akibatnya mioma yang lokasinya dibelakang dapat
terdesak ke dalam kavum douglasi dan terjadi inkaserasi.

BAB III
PEMBAHASAN
Pada laporan kasus berikut diajukan suatu kasus seorang wanita berusia 43 tahun
dengan diagnosa mioma uteri. Diagnosa ditegakkan berdasarkan hasil anamnesa dan
pemeriksaan fisik-ginekologik, dan pemeriksaan penunjang.
Dari hasil anamnesis didapatkan adanya keluhan menometroragi tanpa disertai benjolan
pada perut bagian bawah pasien. Ada beberapa kemungkinan diagnosis untuk pasien dengan
menometroragi tanpa disertai benjolan pada perut bagian bawah antara lain yaitu perdarahan
uterus disfungsional, mioma uteri dan endometriosis
Gejala yang timbul sangat tergantung pada lokasi mioma (intramural, submukus,
subserous), besarnya tumor, perubahan dan komplikasi yang terjadi. Gejala yang ditimbulkan
dapat digolongkan menjadi empat yaitu perdarahan abnormal, rasa nyeri, gejala dan tanda
penekanan, infertilitas dan abortus. Pada kasus ini, beberapa dari gejala tersebut didapatkan
pada Ny. SW yaitu perdarahan abnormal berupa hipermenorhea dapat disebabkan oleh
beberapa faktor antara lain pengaruh ovarium sehingga terjadilah hiperplasia endometrium,
permukaan endomerium yang lebih luas daripada biasa, atrofi endometrium diatas mioma
submukosum, miometrium tidak dapat berkontraksi optimal karena adanya sarang mioma
30

diantara serabut miometrium, sehingga tidak dapat menjepit pembuluh di antara serabut
miometrium yang melaluinya dengan baik. Rasa nyeri yang dikeluhkan pasien dapat
disebabkan oleh gangguan sirkulasi darah pada sarang mioma, yang disertai nekrosis
setempat dan peradangan. Gejala penekanan berupa gangguan BAB dan BAK tidak
didapatkan pada pasien karena ukuran mioma yang tidak terlalu besar.
Pemeriksaan status generalis menunjukkan keadaan umum serta vital sign pasien dalam
batas normal sehingga menunjukkan gangguan perdarahan serta nyeri sudah berlangsung
lama dan tubuh telah melakukan kompensasi.
Pada pemeriksaan abdomen, palpasi daerah suprapubik kesan uterus membesar, padat,
mobile serta permukaannya licin. Pada mioma uteri, perlunakan tergantung pada derajat
degenerasi dan kerusakan vaskuler. Uterus sering dapat digerakan, kecuali apabila keadaan
patologik pada adneksa
Pada pemeriksaan pelvis, serviks dalam batas normal. Namun, pada keadaan tertentu,
mioma submukosa yang bertangkai dapat mengawali dilatasi serviks dan terlihat pada osteum
servikalis. Hasil pemeriksaan inspekulo didapatkan bentuk, warna dan permukaan porsio
dalam batas normal, tidak terlihat adanya fluksus yang berasal dari dalam (kanalis servikalis
atau kavum uteri). Didapatkan pula sekret/lendir berwarna putih pada forniks dan dinding
vagina.
Pemeriksaan penunjang dengan USG pada pasien ini didapatkan gambaran uterus
antefleksi yang membesar, dengan kesan mioma uteri.
Penatalaksanaan pada pasien ini yaitu secara simptomatik dan kausatif. Pada
tatalaksana secara simptomatik pada prinsipnya mengobati keluhan yang diderita oleh pasien
yaitu pemberian injeksi kalnex untuk menghentikan perdarahan, pemberian asam mefenamat
untuk analgetik, dan pemberian mertergin untuk meningkatkan kontraksi otot polos sehingga
perdarahan bisa berhenti. Selanjutnya tindakan operatif sebagai tatalaksana kausatif pada
kasus mioma uteri. Tindakan ini perlu pertimbangan dalam pengaplikasiannya yaitu
berdasarkan besar kecilnya tumor, lokasi tumor pada lapisan, ada tidaknya keluhan, umur dan
paritas penderita. Pada pasien ini dilakukan tindakan operatif mengingat pada hasil pasien
memiliki keluhan subjektif berupa perdarahan pervaginam yang abnormal. Pada pasien ini
dilakukan tindakan operatif histerektomi. Tindakan histerektomi pada pasien dengan mioma
uteri merupakan indikasi bila didapatkan keluhan menorrhagia, metrorrhagia, usia tua, dan
paritas yang banyak.
Histerektomi perabdominal dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu total abdominal
histerektomi (TAH) dan subtotal abdominal histerektomi (STAH). Masing-masing prosedur
31

histerektomi ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Pada kasus ini tindakan operaif yang
dipilih yaitu subtotal abdominal histerektomi. Jenis operatif ini memiliki kelebihan yaitu
menghindari risiko operasi yang lebih besar, seperti perdarahan yang banyak, trauma operasi
pada ureter, kandung kemih dan rektum. Namun dengan melakukan STAH akan menyisakan
serviks, memiliki kekurangan dimana kemungkinan timbulnya karsinoma serviks dapat
terjadi. Dengan menyisakan serviks, menurut penelitian didapatkan data bahwa terjadinya
dyspareunia akan lebih rendah dibandingkan dengan yang menjalani TAH sehingga akan
tetap mempertahankan fungsi seksual. Pada TAH, jaringan granulasi yang timbul pada vagina
dapat menjadi sumber timbulnya sekret vagina dan perdarahan pasca operasi dimana keadaan
ini tidak terjadi pada pasien yang menjalani STAH.
Selanjutnya pemantauan kondisi pasien post operatif harus diperhatikan, pada pasien ini
kondisi secara umum mengalami penurunan dibandingkan kondisi pre operatif. Pada
pemeriksaan status generalis pasien tampak lemas, pucat, dan pada pemeriksaan penunjang
nilai Hb b8,3 sehingga perlu dilakukan tranfusi darah PRC 2 kolf.
Kelainan pada otot polos miometrium yaitu mioma uteri juga dapat menyebabkan
terjadinya perdarahan uteri abnormal. Gangguan perdarahan yang terjadi umumnya adalah
hipermenore, menoragia dan dapat juga terjadi metroragia. Mioma uteri menyebabkan
permukaan endometrium menjadi lebih luas dari biasanya dan miometrium tidak dapat
berkontraksi optimal karena adanya sarang mioma diantara serabut miometrium, sehingga
tidak dapat menjepit pembuluh darah yang melaluinya dengan baik (Wiknjosastro, 2008).
Mioma uteri adalah tumor jinak pada daerah rahim atau lebih tepatnya otot rahim dan
jaringan ikat di sekitarnya. Mioma uteri merupakan salah satu masalah kesehataan reproduksi
wanita dengan insidensi yang terus meningkat (Schwartz, 2013). Mioma uteri sering
ditemukan pada wanita usia reproduksi (20- 25%), tetapi faktor penyebab tidak diketahui
secara pasti (Prawirohardjo, 2011). Mioma jarang sekali ditemukan sebelum usia pubertas
karena sangat dipengaruhi oleh hormon reproduksi dan hanya bermanifestasi selama usia
reproduktif (Anwar et al, 2011). Mioma uteri dikenal juga dengan istilah leiomoma uteri atau
fibromioma uteri fibroid. Mioma uteri ditemukan sekurang-kurangnya pada 20-25% wanita
diatas usia 30 tahun (Djuantono, 2014). Insidensinya sekitar 20%-30% dari seluruh wanita
dan terus mengalami peningkatan. Mioma uteri merupakan tumor ginekologi kedua
terbanyak di Indonesia (Prawirohardjo, 2011). Mioma uteri juga sering ditemukan pada
wanita yang menjalankan histerektomi untuk indikasi yang lain walaupun ditemukan kecil
dan tidak banyak. Hal ini karena kebanyakan tehnik pemeriksaan imaging tidak mempunyai

32

resolusi di bawah 1 cm. Insidensi kejadian mioma uteri sebenarnya tidak dapat dipastikan
meskipun mioma uteri yang kecil tidak memberikan gejala klinis (Parker, 2011)

DAFTAR PUSTAKA
Andrea C, Jacopo DG, Piergiorgio S, Nina M, Stefano R. Giannubilo, F M. Reis, and
Pasquapina C, 2014. Uterine Fibroids: Pathogenesis and Interactions with
Endometrium and Endomyometrial Junction. Journal of Human Reproductive
Sciences ; 6(1):35-39.
Anne Z, David B, Christoph G. 2013. "Symptoms and management of uterine fibroids: an
international internet-based survey of 21,746 women," BMC Womens Health 12:6.
Bajekal N, Li TC. 2012. Fibroids, Infertility, and Pregnancy Wastage. Human
Reproduction Update; 6(6): 614-20
Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY, 2013. Obstetri
Williams. Edisi 23. Jakarta: EGC
Gunstream, S.E., 2013. Anatomy and Physiology with Integrated Study Guide. Fifth
Edition. New York: Mc Graw Hill. ISBN 978-0-07-131810-5
Guyton, A.C., John, E.H., 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC
33

Hanan Y.A, Ibrahim A.A, Ebtihal A, Halaiem A, Shaima A, Layla A. 2016. Prevalence
and Incidence of Uterine Fibroid at King Abdulaziz University Hospital Saudi
Arabia :Journal Scientific & Academic Publishing, 6(3): 45-48
Janqueira LC, Carneiro J. 2007. Histologi Dasar Teks dan Atlas . Jakarta: EGC
Lee HJ, Norwitz ER, Shaw J. 2010. Contemporary Management of Fibroids in
Pregnancy. Journal Rev Obstet Gynecol; 3(1): 20-27
Malcolm G. M, Hilary O.D., Michael S. B, Ian S. F. 2011. FIGO classification system
(PALM-COEIN) for causes of abnormal uterine bleeding in nongravid women of
reproductive age; for the FIGO Working Group on Menstrual Disorders.
International Journal of Gynecology and Obstetrics, 113 : 313
Moore, L. 2013. Dasa-Dasar Anatomi Klinis. Jakarta: EGC
Mriganka M S, Debasmita Mondal and Subhash Chandra Biswas, 2016. Pregnancy with
leiomyoma uteri and feto-maternal outcomes. US National Library Of Medicine
Enlisted Journal, 9(2) :96-100
Okogbo F, Ezechi O, Loto O, 2011, Uterine Leiomyomata in South Western Nigeria: a
clinical study of presentations and management outcome. AHS 11(2): 271 278.
Wallach EE,Vlahos NF. 2014. Uterine Myomas:An overview of development,clinical
features and management.In: Journal of American College of Obstetricians and
Gynecologist.

34

Anda mungkin juga menyukai