Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ginjal merupakan organ yang sangat penting karena mengatur sirkulasi cairan dalam
tubuh. Jika terjadi kerusakan akan sangat mempengaruhi dalam keseimbangan elektrolit dalam
tubuh. Pada anak-anak maka dapat sangat mempengaruhi dari tumbuh kembang anak tersebut
jika tidak dilakukan penanganan yang cepat dan tepat.

1.2 Tujuan
1. Untuk menambah wawasan pembaca mengenai penyakit sindroma nefrotik pada anak.
2. Untuk memahami anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, epidemiologi, etiologi, faktor
resiko, patofisiologi, manifestasi klinis, komplikasi, penatalaksanaan, dan prognosis dari
sindroma nefrotik pada anak.

1
BAB II

PEMBAHASAN

Sindrom nefrotik (SN) adalah salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai pada anak,
merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari proteinuria masif,
hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia serta sembab. Yang dimaksud proteinuria masif adalah
apabila didapatkan proteinuria sebesar 50-100 mg/ kg berat badan/hari atau lebih. Albumin dalam
darah biasanya menurun hingga kurang dari 2,5 gram/ dl. Selain gejala-gejala klinis di atas,
kadang-kadang dijumpai pula hipertensi, hematuria bahkan kadang-kadang azotemia.1
2.1 Anamnesis

Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di kedua kelopak mata, perut, tungkai,
atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang berkurang. Keluhan lain juga dapat
ditemukan seperti urin berwarna kemerahan.

2.2 Pemeriksaan

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di kedua kelopak mata,
tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/ labia. Kadang-kadang ditemukan hipertensi.

Pemeriksaan Penunjang

Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (3+ sampai 4+), dapat disertai hematuria.
Pada pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemia (< 2,5 g/ dl), hiperkolesterolemia, dan laju
endap darah yang meningkat, rasio albumin/ globulin terbalik. Kadar ureum dan kreatinin
umumnya normal kecuali ada penurunan fungsi ginjal.2

2.3 Diagnosis Diferensial


Glomerulonefritis yaitu infeksi yang terjadi pada glomerulus yang diakibatkan oleh
infeksi streptococcus beta hemolitikus group A tipe nefritogenik, staphylococcus, atau
pneumococcus. Biasanya anak tersebut didahului oleh faringitis atau impetigo 7-21 hari. Ini
2
akibat endapan antigen-antibodi pada membran basalis glomerulus. Biasa asimptomatik, dapat
mengalami edema periorbital dan urin berwarna gelap, lesu dan sakit kepala.
2.4 Working Diagnosis

Diagnosis SN dibuat berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium berupa


proteinuria masif (> 3,5 g/ 1,73 m2 luas permukaan tubuh/ hari), hipoalbuminemia (<3 g/ dl),
edema, hiperlipidemia, lipiduria dan hiperkoagulabilitas. Pemeriksaan tambahan seperti
venografi diperlukan untuk menegakkan diagnosis trombosis vena yang dapat terjadi akibat
hiperkoagulabilitas. Pada SN primer untuk menentukan jenis kelainan histopatologi ginjal yang
menentukan prognosis dan respon terhadap terapi, diperlukan biopsi ginjal.3

2.5 Epidemiologi

Sindrom nefrotik banyak terjadi pada anak dengan usia antara 3-4 tahun dengan angka
kejadian laki: wanita 2:1.

2.6 Etiologi

Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:

1. Sindrom nefrotik primer, faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindrom nefrotik
primer oleh karena sindrom nefrotik ini akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa
ada penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam
sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik kongenital, yaitu salah satu jenis
sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun.7

Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer dikelompokkan


menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study of Kidney Disease in Children).
Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan melalui pemeriksaan mikroskop
cahaya, dan apabila diperlukan, disempurnakan dengan pemeriksaan mikroskop elektron
dan imunofluoresensi. Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya
berupa sindrom nefrotik tipe kelainan minimal. Pada dewasa prevalensi sindrom nefrotik
tipe kelainan minimal jauh lebih sedikit dibandingkan pada anak-anak.4

3
Di Indonesia gambaran histopatologik sindrom nefrotik primer agak berbeda dengan
5
data-data di luar negeri. Wila Wirya menemukan hanya 44.2% tipe kelainan minimal
6
dari 364 anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi, sedangkan Noer di
Surabaya mendapatkan 39.7% tipe kelainan minimal dari 401 anak dengan sindrom
nefrotik primer yang dibiopsi.

2. Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau
sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat.
Penyebab yang sering dijumpai adalah:

a) Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom Alport,


miksedema.
b) Infeksi: hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus, AIDS.
c) Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisilamin, probenesid, racun serangga, bisa
ular.
d) Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus sistemik, purpura
Henoch-Schonlein, sarkoidosis.
e) Neoplasma: tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.
2.7 Patofisiologi

Proteinuri

Proteinuri merupakan kelainan dasar SN. Proteinuri sebagian besar berasal dari
kebocoran glomerulus (proteinuri glomerular) dan hanya sebagian kecil berasal dari
sekresi tubulus (proteinuri tubular). Perubahan integritas membrana basalis glomerulus
menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma dan protein
utama yang diekskresikan dalam urin adalah albumin. Derajat proteinuri tidak
berhubungan langsung dengan keparahan kerusakan glomerulus. Pasase protein plasma
yang lebih besar dari 70 kD melalui membrana basalis glomerulus normalnya dibatasi
oleh charge selective barrier (suatu polyanionic glycosaminoglycan) dan size selective
barrier. Pada nefropati lesi minimal, proteinuri disebabkan terutama oleh hilangnya

4
charge selectivity sedangkan pada nefropati membranosa disebabkan terutama oleh
hilangnya size selectivity. 4

Hipoalbuminemi

Hipoalbuminemi disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan peningkatan


katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya meningkat (namun tidak
memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam urin), tetapi mungkin normal atau
menurun.

Hiperlipidemi

Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density lipoprotein (LDL),
trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein (HDL) dapat meningkat,
normal atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan
penurunan katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron
dan intermediate density lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis lipoprotein lipid
distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan tekanan onkotik.

Lipiduri

Lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada sedimen urin. Sumber lemak ini
berasal dari filtrat lipoprotein melalui membrana basalis glomerulus yang permeabel.

Edema

Dahulu diduga edema disebabkan penurunan tekanan onkotik plasma akibat


hipoalbuminemi dan retensi natrium (teori underfill). Hipovolemi menyebabkan
peningkatan renin, aldosteron, hormon antidiuretik dan katekolamin plasma serta
penurunan atrial natriuretic peptide (ANP). Pemberian infus albumin akan meningkatkan
volume plasma, meningkatkan laju filtrasi glomerulus dan ekskresi fraksional natrium
klorida dan air yang menyebabkan edema berkurang. Peneliti lain mengemukakan teori
overfill. Bukti adanya ekspansi volume adalah hipertensi dan aktivitas renin plasma yang
rendah serta peningkatan ANP. Beberapa penjelasan berusaha menggabungkan kedua

5
teori ini, misalnya disebutkan bahwa pembentukan edema merupakan proses dinamis.
Didapatkan bahwa volume plasma menurun secara bermakna pada saat pembentukan
edema dan meningkat selama fase diuresis.

Hiperkoagulabilitas

Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III, protein S, C dan
plasminogen activating factor dalam urin dan meningkatnya faktor V, VII, VIII, X,
trombosit, fibrinogen, peningkatan agregasi trombosit, perubahan fungsi sel endotel serta
menurunnya faktor zimogen (faktor IX, XI).

Kerentanan terhadap infeksi

Penurunan kadar imunoglobulin IgG dan IgA karena kehilangan lewat ginjal, penurunan
sintesis dan peningkatan katabolisme menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap
infeksi bakteri berkapsul seperti Streptococcus pneumonia, Klebsiella, Haemophilus.
Pada SN juga terjadi gangguan imunitas yang diperantarai sel T. Sering terjadi
bronkopneumoni dan peritonitis.

2.8 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis utama adalah sembab, yang tampak pada sekitar 95% anak dengan
sindrom nefrotik. Seringkali sembab timbul secara lambat sehingga keluarga mengira sang anak
bertambah gemuk. Pada fase awal sembab sering bersifat intermiten, biasanya awalnya tampak
pada daerah-daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah (misal: daerah periorbita,
skrotum atau labia). Akhirnya sembab menjadi menyeluruh dan masif (anasarka).4

Sembab berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai sembab muka pada
pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi bengkak pada ekstremitas bawah pada
siang harinya. Bengkak bersifat lunak, meninggalkan bekas bila ditekan (pitting edema). Pada
penderita dengan sembab hebat, kulit menjadi lebih tipis dan mengalami oozing. Sembab
biasanya tampak lebih hebat pada pasien SNKM dibandingkan pasien-pasien GSFS atau GNMP.
Hal tersebut disebabkan karena proteinuria dan hipoproteinemia lebih hebat pada pasien SNKM.5

6
Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit sindrom nefrotik.
Diare sering dialami pasien dengan sembab masif yang disebabkan sembab mukosa usus.
Hepatomegali disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau edema atau keduanya. Pada
beberapa pasien, nyeri perut yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pada sindrom nefrotik yang
sedang kambuh karena sembab dinding perut atau pembengkakan hati. Nafsu makan menurun
karena edema. Anoreksia dan terbuangnya protein mengakibatkan malnutrisi berat terutama pada
pasien sindrom nefrotik resisten-steroid. Asites berat dapat menimbulkan hernia umbilikalis dan
prolaps ani.6

Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau tidak, maka
pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat. Keadaan ini dapat diatasi
dengan pemberian infus albumin dan diuretik.6

Anak sering mengalami gangguan psikososial, seperti halnya pada penyakit berat dan
kronik umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap anak yang sedang berkembang dan
keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah merupakan respons emosional, tidak saja pada
orang tua pasien, namun juga dialami oleh anak sendiri. Kecemasan orang tua serta perawatan
yang terlalu sering dan lama menyebabkan perkembangan dunia sosial anak menjadi terganggu.7
Manifestasi klinik yang paling sering dijumpai adalah sembab, didapatkan pada 95% penderita.
Sembab paling parah biasanya dijumpai pada sindrom nefrotik tipe kelainan minimal (SNKM).
Bila ringan, sembab biasanya terbatas pada daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang
rendah, misal daerah periorbita, skrotum, labia. Sembab bersifat menyeluruh, dependen dan
pitting. Asites umum dijumpai, dan sering menjadi anasarka. Anak-anak dengan asites akan
mengalami restriksi pernafasan, dengan kompensasi berupa tachypnea. Akibat sembab kulit,
anak tampak lebih pucat.7

Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik. Penelitian International
Study of Kidney Disease in Children (SKDC) menunjukkan 30% pasien SNKM mempunyai
tekanan sistolik dan diastolik lebih dari 90th persentil umur.2

7
Tanda utama sindrom nefrotik adalah proteinuria yang masif yaitu > 40 mg/m 2/jam atau
> 50 mg/kg/24 jam; biasanya berkisar antara 1-10 gram per hari. Pasien SNKM biasanya
mengeluarkan protein yang lebih besar dari pasien-pasien dengan tipe yang lain.4

Hipoalbuminemia merupakan tanda utama kedua. Kadar albumin serum < 2.5 g/ dL.
Hiperlipidemia merupakan gejala umum pada sindrom nefrotik, dan umumnya, berkorelasi
terbalik dengan kadar albumin serum. Kadar kolesterol LDL dan VLDL meningkat, sedangkan
kadar kolesterol HDL menurun. Kadar lipid tetap tinggi sampai 1-3 bulan setelah remisi
sempurna dari proteinuria.

Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada sindrom nefrotik, namun tidak dapat
dijadikan petanda untuk membedakan berbagai tipe sindrom nefrotik.1,5

Fungsi ginjal tetap normal pada sebagian besar pasien pada saat awal penyakit.
Penurunan fungsi ginjal yang tercermin dari peningkatan kreatinin serum biasanya terjadi pada
sindrom nefrotik dari tipe histologik yang bukan SNKM.

Tidak perlu dilakukan pencitraan secara rutin pada pasien sindrom nefrotik. Pada
pemeriksaan foto toraks, tidak jarang ditemukan adanya efusi pleura dan hal tersebut berkorelasi
secara langsung dengan derajat sembab dan secara tidak langsung dengan kadar albumin serum.
Sering pula terlihat gambaran asites. USG ginjal sering terlihat normal meskipun kadang-kadang
dijumpai pembesaran ringan dari kedua ginjal dengan ekogenisitas yang normal.

2.9 Komplikasi
Infeksi sekunder terutama pada kulit yang di sebabkan oleh bakteri streptococcus,
staphylococcus bronkopneumonia dan tuberkulosi.1

2.10 Penatalaksanaan
Medikamentosa

Penatalaksanaan SN meliputi terapi spesifik untuk kelainan dasar ginjal atau penyakit
penyebab (pada SN sekunder), mengurangi atau menghilangkan proteinuria, memperbaiki
hipoalbuminemi serta mencegah dan mengatasi penyulit. Nefropati lesi minimal dan nefropati

8
membranosa adalah dua kelainan yang memberikan respon terapi yang baik terhadap steroid.
Peneliti lain menemukan bahwa pada glomerulosklerosis fokal segmental sampai 40% pasien
memberi respon yang baik terhadap steroid dengan remisi lengkap. Schieppati dan kawak
menemukan bahwa pada kebanyakan pasien nefropati membranosa idiopatik, dengan terapi
simptomatik fungsi ginjalnya lebih baik untuk jangka waktu lama dan dapat sembuh spontan.
Oleh karena itu mereka tidak mendukung pemakaian glukokortikoid dan imunosupresan pada
nefropati jenis ini. Regimen penggunaan kortikosteroid pada SN bermacam-macam, di antaranya
prednison 125 mg setiap 2 hari sekali selama 2 bulan kemudian dosis dikurangi bertahap dan
dihentikan setelah 1-2 bulan jika relaps, terapi dapat diulangi. Regimen lain pada orang dewasa
adalah prednison/prednisolon 1-1,5 mg/kgBB/hari selama 4 minggu diikuti 1 mg/kgBB selang 1
hari selama 4 minggu. Sampai 90% pasien akan remisi bila terapi diteruskan sampai 20-24
minggu, namun 50% pasien akan mengalami kekambuhan setelah kortikosteroid dihentikan.
Hopper menggunakan dosis 100 mg/ 48 jam. Jika tidak ada kemajuan dalam 2-4 minggu, dosis
dinaikkan sampai 200 mg per 48 jam dan dipertahankan sampai proteinuri turun hingga 2 gram
atau kurang per 24 jam, atau sampai dianggap terapi ini tidak ada manfaatnya. Pada anak-anak
diberikan prednison 60 mg/ m2 luas permukaan tubuh atau 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu,
diikuti 40 mg/ m2 luas permukaan tubuh setiap 2 hari selama 4 minggu.Respon klinis terhadap
kortikosteroid dapat dibagi menjadi :

a) Remisi lengkap

proteinuri minimal (< 200 mg/24 jam)


albumin serum > 3 g/dl
kolesterol serum < 300 mg/dl
diuresis lancar dan edema hilang

b) Remisi parsial

proteinuri < 3,5 g/harI


albumin serum > 2,5 g/dl
kolesterol serum < 350 mg/dl
diuresis kurang lancar dan masih edema

9
c) Resisten

klinis dan laboratoris tidak memperlihatkan perubahan atau perbaikan setelah pengobatan
4 bulan dengan kortikosteroid.

Pemberian kortikosteroid memberi remisi lengkap pada 67% kasus SN nefropati lesi
minimal, remisi lengkap atau parsial pada 50% SN nefropati membranosa dan 20% - 40% pada
glomerulosklerosis fokal segmental. Perlu diperhatikan efek samping pemakaian kortikosteroid
jangka lama di antaranya nekrosis aseptik, katarak, osteoporosis, hipertensi, diabetes melitus.
Pada pasien yang tidak responsif terhadap kortikosteroid, untuk mengurangi proteinuri
digunakan terapi simptomatik dengan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-INH),
misal kaptopril atau enalapril dosis rendah, dan dosis ditingkatkan setelah 2 minggu atau obat
antiinflamasi non-steroid (OAINS), misal indometasin 3 50mg.7

Angiotensin converting enzyme inhibitor mengurangi ultrafiltrasi protein glomerulus


dengan menurunkan tekanan intrakapiler glomerulus dan memperbaiki size selective barrier
glomerulus. Efek antiproteinurik obat ini berlangsung lama (kurang lebih 2 bulan setelah obat
dihentikan). Angiotensin receptor blocker (ARB) ternyata juga dapat memperbaiki proteinuri
karena menghambat inflamasi dan fibrosis interstisium, menghambat pelepasan sitokin, faktor
pertumbuhan, adesi molekul akibat kerja angiotensin II lokal pada ginjal.

Kombinasi ACE-INH dan ARB dilaporkan memberi efek antiproteinuri lebih besar pada
glomerulonefritis primer dibandingkan pemakaian ACE-INH atau ARB saja. Obat antiinflamasi
non-steroid dapat digunakan pada pasien nefropati membranosa dan glomerulosklerosis fokal
segmental untuk menurunkan sintesis prostaglandin. Hal ini menyebabkan vasokonstriksi ginjal,
penurunan tekanan kapiler glomerulus, area permukaan filtrasi dan mengurangi proteinuria
sampai 75%.

Selain itu OAINS dapat mengurangi kadar fibrinogen, fibrin-related antigenic dan
mencegah agregasi trombosit. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa OAINS menyebabkan
penurunan progresif fungsi ginjal pada sebagian pasien. Obat ini tidak boleh diberikan bila
klirens kreatinin < 50 ml/ menit.

10
Pada pasien yang sering relaps dengan kortikosteroid atau resisten terhadap
kortikosteroid dapat digunakan terapi lain dengan siklofosfamid atau klorambusil. Siklofosfamid
memberi remisi yang lebih lama daripada kortikosteroid (75% selama 2 tahun) dengan dosis 2-3
mg/kgBB/hari selama 8 minggu. Efek samping siklofosfamid adalah depresi sumsum tulang,
infeksi, alopesia, sistitis hemoragik dan infertilitas bila diberikan lebih dari 6 bulan. Klorambusil
diberikan dengan dosis 0,1-0,2 mg/kgBB/hari selama 8 minggu. Efek samping klorambusil
adalah azoospermia dan agranulositosis. Ponticelli dan kawan-kawan menemukan bahwa pada
nefropati membranosa idiopatik, kombinasi metilprednisolon dan klorambusil selama 6 bulan
menginduksi remisi lebih awal dan dapat mempertahankan fungsi ginjal dibandingkan dengan
metilprednisolon sendiri, namun perbedaan ini berkurang sesuai dengan waktu (dalam 4 tahun
perbedaan ini tidak bermakna lagi). Regimen yang digunakan adalah metilprednisolon 1 g/hari
intravena 3 hari, lalu 0,4 mg/kg/hari peroral selama 27 hari diikuti klorambusil 0,2 mg/kg/hari 1
bulan berselang seling.

Alternatif lain terapi nefropati membranosa adalah siklofosfamid 2 mg/kg/hari ditambah


30 mg prednisolon tiap 2 hari selama beberapa bulan (maksimal 6 bulan). Levamisol suatu obat
cacing, dapat digunakan untuk terapi SN nefropati lesi minimal pada anak-anak dengan dosis
2,5mg/kgBB tiap 2 hari sekurang-kurangnya 112 hari. Efek samping yang jarang terjadi adalah
netropeni, trombositopeni dan skin rash.

Siklosporin A dapat dicoba pada pasien yang relaps setelah diberi siklofosfamid atau
untuk memperpanjang masa remisi setelah pemberian kortikosteroid. Dosis 3-5 mg/kgBB/hari
selama 6 bulan sampai 1 tahun (setelah 6 bulan dosis diturunkan 25% setiap 2 bulan).
Siklosporin A dapat juga digunakan dalam kombinasi dengan prednisolon pada kasus SN yang
gagal dengan kombinasi terapi lain. Efek samping obat ini adalah hiperplasi ginggival,
hipertrikosis, hiperurisemi, hipertensi dan nefrotoksis. Terapi lain yang belum terbukti
efektivitasnya adalah azatioprin 2-2,5 mg/kgBB/hari selama 12 bulan.

Pada kasus SN yang resisten terhadap steroid dan obat imunospresan, saat ini dapat
diberikan suatu imunosupresan baru yaitu mycophenolate mofetil (MMF) yang memiliki efek
menghambat proliferasi sel limfosit B dan limfosit T, menghambat produksi antibodi dari sel B
dan ekspresi molekul adhesi, menghambat proliferasi sel otot polos pembuluh darah. Penelitian

11
Choi dkk pada 46 pasien SN dengan berbagai lesi histopatologi mendapatkan angka remisi
lengkap 15,6% dan remisi parsial 37,8 %. Dosis MMF adalah 2 x (0,5-1) gram.

Non medikamentosa

Diet untuk pasien SN adalah 35 kal/kgBB/hari, sebagian besar terdiri dari karbohidrat.
Dianjurkan diet protein normal 0,8-1 g/kgBB/hari. Giordano dkk memberikan diet protein 0,6
g/kgBB/hari ditambah dengan jumlah gram protein sesuai jumlah proteinuri. Hasilnya proteinuri
berkurang, kadar albumin darah meningkat dan kadar fibrinogen menurun. Untuk mengurangi
edema diberikan diet rendah garam (1-2 gram natrium/hari) disertai diuretik (furosemid 40
mg/hari atau golongan tiazid) dengan atau tanpa kombinasi dengan potassium sparing diuretic
(spironolakton). Pada pasien SN dapat terjadi resistensi terhadap diuretik (500 mg furosemid dan
200 mg spironolakton).

Resistensi terhadap diuretik ini bersifat multifaktorial. Diduga hipoalbuminemi


menyebabkan berkurangnya transportasi obat ke tempat kerjanya, sedangkan pengikatan oleh
protein urin bukan merupakan mekanisme utama resistensi ini. Pada pasien demikian dapat
diberikan infus salt-poor human albumin. Dikatakan terapi ini dapat meningkatkan volume
plasma, meningkatkan laju filtrasi glomerulus, aliran urin dan ekskresi natrium. Namun demikian
infus albumin ini masih diragukan efektivitasnya karena albumin cepat diekskresi lewat urin,
selain itu dapat meningkatkan tekanan darah dan bahkan edema paru pada pasien hipervolemi.

Hiperlipidemi dalam jangka panjang meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis dini.


Untuk mengatasi hiperlipidemi dapat digunakan penghambat hidroxymethyl glutaryl co-
enzymeA (HMG Co-A) reductase yang efektif menurunkan kolesterol plasma. Obat golongan ini
dikatakan paling efektif dengan efek samping minimal. Gemfibrozil, bezafibrat, klofibrat
menurunkan secara bermakna kadar trigliserid dan sedikit menurunkan kadar kolesterol.
Klofibrat dapat toksis pada kadar biasa karena kadar klofibrat bebas yang meningkat
menyebabkan kerusakan otot dan gagal ginjal akut. Probukol menurunkan kadar kolesterol total
dan kolesterol LDL, tetapi efeknya minimal terhadap trigliserida. Asam nikotinat (niasin) dapat
menurunkan kolesterol dan lebih efektif jika dikombinasi dengan gemfibrozil. Kolestiramin dan
kolestipol efektif menurunkan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL, namun obat ini tidak

12
dianjurkan karena efeknya pada absorbsi vitamin D di usus yang memperburuk defisiensi
vitamin D pada SN.

Untuk mencegah penyulit hiperkoagulabilitas yaitu tromboemboli yang terjadi pada


kurang lebih 20% kasus SN (paling sering pada nefropati membranosa), digunakan dipiridamol
(3 x 75 mg) atau aspirin (100 mg/ hari) sebagai anti agregasi trombosit dan deposisi
fibrin/trombus. Selain itu obat-obat ini dapat mengurangi secara bermakna penurunan fungsi
ginjal dan terjadinya gagal ginjal tahap akhir. Terapi ini diberikan selama pasien mengalami
proteinuri nefrotik, albumin < 2 g/ dl atau keduanya. Jika terjadi tromboemboli, harus diberikan
heparin intravena/infus selama 5 hari, diikuti pemberian warfarin oral sampai 3 bulan atau
setelah terjadi kesembuhan SN. Pemberian heparin dengan pantauan activated partial
thromboplastin time (APTT) 1,5 - 2,5 kali kontrol, sedangkan efek warfarin dievaluasi dengan
prothrombin time (PT) yang biasa dinyatakan dengan International Normalized Ratio (INR) 2-3
kali normal. Bila terjadi penyulit infeksi bakterial (pneumonia pneumokokal atau peritonitis)
diberikan antibiotik yang sesuai dan dapat disertai pemberian imunoglobulin G intravena. Untuk
mencegah infeksi digunakan vaksin pneumokokus.

Pemakaian imunosupresan menimbulkan masalah infeksi virus seperti campak dan


herpes. Penyulit lain yang dapat terjadi di antaranya hipertensi, syok hipovolemik, gagal ginjal
akut, gagal ginjal kronik (setelah 5 - 15 tahun). Penanganan sama dengan penanganan keadaan
ini pada umumnya. Bila terjadi gagal ginjal kronik, selain hemodialisis, dapat dilakukan
transplantasi ginjal. Dantal dkk menemukan pada pasien glomerulosklerosis fokal segmental
yang menjalani transplantasi ginjal, 15% - 55% akan terjadi SN kembali. Rekurensi mungkin
disebabkan oleh adanya faktor plasma (circulating factor) atau faktor-faktor yang meningkatkan
permeabilitas glomerulus. Imunoadsorpsi protein plasma A menurunkan ekskresi protein urin
pada pasien SN karena glomerulosklerosis fokal segmental, nefropati membranosa maupun SN
sekunder karena diabetes melitus. Diduga imunoadsorpsi melepaskan faktor plasma yang
mengubah hemodinamika atau faktor yang meningkatkan permeabilitas glomerulus.

13
2.11 Prognosis

Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut:

1. Menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6 tahun.
2. Disertai oleh hipertensi.
3. Disertai hematuria.
4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.
5. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.

Pada umumnya sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi respons yang
baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya akan relaps
berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan pengobatan steroid.

14
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Sindrom nefrotik, adalah salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai pada anak,
merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari proteinuria masif,
hipoalbuminemia, hiperkholesterolemia serta sembab. Sembab berpindah dengan perubahan
posisi, sering tampak sebagai sembab muka pada pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian
menjadi bengkak pada ekstremitas bawah pada siang harinya. Bengkak bersifat lunak,
meninggalkan bekas bila ditekan (pitting edema). Pada penderita dengan sembab hebat, kulit
menjadi lebih tipis dan mengalami oozing. Dengan penanganan yang cepat dan tepat dapat
mengurangi resiko yang lebih dari penyakit ini.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Hasan R, Alatas H. Ilmu kesehatan anak. Jilid II. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1985.hal.648-9.
2. Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi. Farmakologi dan terapi. Edisi ke-5. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.hal.541-45.
3. Irawan, Idries. Kapita Selekta Ilmu Bedah, Fakultas Kedokteran Universitas Katholik
Atmajaya, Jakarta, Hal. 127-132.
4. Saputra L. Kapita selekta kedokteran klinik. Jakarta: Binarupa Aksara Publisher; 2009.
5. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 6. Jakarta:
EGC; 2006.
6. Bates guide to physical examination and history taking. 8th ed.USA: Lippincott William &
Wilkins; 1999.
7. Kliegman, robert, et al. Nelson textbook pediatrick. 18th ed. Philadelphia; 2007.

16

Anda mungkin juga menyukai