Fraktur pelvis yang tidak stabil dan fraktur ramus isiopubik memiliki kemungkinan tertinggi
terjadi cedera uretra posterior. Resiko tertingi terjadi bila terdapat straddle trauma yang
sebagai berikut:
Pemeriksaan Penunjang
Retrograde urretrografi merupakan standar baku dalam penilaian cedera uretra. Pada
kasus striktur uretra selanjutnya, sistogram dan uretrogram diperlukan, meskipun MRI atau
endoskopi melalui suprapubis dapat digunakan. USG tidak dilakukan dengan rutin pada kasus
cedera uretra.
Management
Penatalaksanaan awal bagi pasien dengan trauma uretra adalah menyingkirkan
keberadaan cedera yang mengancam jiwa. Darah pada MUE terdapat pada 37-93% pasien
dengan cedera uretra posterior dan setidaknya 75% pada cedera uretra anterior. Meskipun
tidak spesifik, hematuria sangat berkorelasi dengan cedera uretra. Jumlah perdarahan dari
uretra tidak berkorelasi dengan derajat keparahan cedera uretra. Cedera ringan dapat
menghasilkan banyak darah, sedangkan transeksi total bisa menghasilkan hanya sedikit
darah. Gejala lain yang ditemukan adalah nyeri saat berkemih atau bahkan tidak bisa kencing.
Temuan dalam pemeriksaan fisik berupa high riding prostate merupakan salahsatu penanda
kemungknan terjadi cedera uretra posterior, selain hematoma di daerah penis skrotum dan
perineum.
Cedera tumpul dapat berakibat pada robekan parsial, ditangani dengan pemasangan
kateter suprapubik dan kateter uretra. Sistostomi memiliki keuntungan bukan hanya
mendiversi urin, tapi juga menghindari manipulasi pada uretra. Delayed anastomotic
urethroplasty diindikasikan pada striktur kurang dari 1 cm. Pada striktur yang lebih panjang,
end to end anastomosis tidak disarankan karena dapat menimbulkan chordee. Pada kasus
Pada cedera uretra posterior, cedera parsial dapat ditangani dengan kateter suprapubik
maupun kateter uretra disertai dengan retrograde urethrography dengan interval 2 minggu
hingga terjadi penyembuhan. Pada ruptur total, terapi berupa open surgery dan realignment,