Anda di halaman 1dari 51

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Obstruksi pada traktus urinarius dapat mengakibatkan beberapa perubahan

pada ginjal yang dikenal dengan istilah obstruktif uropati. Obstruksi ini dapat

terjadi pada berbagai lokasi termasuk diantaranya uretra, buli-buli, dan ureter.

Obstruksi dapat terjadi di dalam traktus urinarius itu sendiri, seperti akibat batu

saluran kemih, yang dikenal dengan obstruksi intrinsik, ataupun akibat faktor

sekunder di luar traktus, seperti akibat fibrosis retroperitoneal, yang dikenal

sebagai obstruksi ekstrinsik.1 Obstruksi urin yang terjadi akan mengakibatkan

hidronefrosis yang dapat menyebabkan kerusakan pada parenkim ginjal. Ada

beberapa derajat keparahan obstruktif uropati dan hal ini bergantung pada tingkat

terjadinya, derajat keparahan, dan durasi terjadinya obstruksi.2 Hidronefrosis

sebagai salah satu bentuk dilatasi traktus urinarius dapat digunakan sebagai salah

satu tanda penting yang mengarah terhadap terjadinya obstruksi pada traktus

urinarius.
Pada penelitian terhadap 59.064 pasien yang diautopsi, Bell menemukan

insidensi rata-rata kejadian hidronefrosis pada populasi umum adalah sebesar

3,1%. Apabila dikhususkan pada pasien dengan usia lebih dari 60 tahun, angka

insidensi tersebut meningkat menjadi 5.1%.3 Dari data pasien rawat inap di

seluruh Amerika Serikat selama tahun 2006, tercatat sebanyak 41.144 pasien

dengan diagnosis pulang obstruksi traktus urinarius. 1 Sekitar 1 dari 500 orang

yang dirawat di rumah sakit di Amerika Serikat setiap tahunnya terdiagnosis

obstruktif uropati. Insidensi ini lebih tinggi pada pria usia lanjut, diduga akibat
2

peningkatan insidensi pembesaran prostat jinak pada kelompok usia tersebut.1

McInnes dan kolega menemukan bahwa pada 4001 pasien yang dirawat di unit

geriatri di 3 rumah sakit di lngris, 0.6% pasien didiagnosis dengan gagal ginjal

akut, dengan 9.5% pasien dari angka tersebut diketahui memiliki obstruktif

uropati sebagai penyebab kegagalan ginjal mereka.3 Menurut salah satu penelitian

lain, obstruktif uropati terhitung sebesar 4% sebagai penyebab gagal ginjal tahap

akhir.1

Gagal ginjal kronis meliputi cakupan keparahan penyakit yang cukup luas dan

memiliki risiko progresi yang signifikan untuk menjadi gagal ginjal tahap akhir,

morbiditas, dan mortalitas.4 Menurut data yang diperoleh dari The Global Burden

of Disease Study pada tahun 2013, gagal ginjal kronis menyebabkan kematian

pada pria segala usia sebesar 14.5 tiap 100.000 orang, dan pada wanita segala usia

sebesar 12.14 tiap 100.000 orang.5


Permasalahan akibat gagal ginjal kronis dan gagal ginjal tahap akhir dapat

memberikan dampak baik secara klinis maupun dampak sosial. Dengan

meningkatnya prevalensi gagal ginjal kronis dan gagal ginjal tahap akhir, beban

ekonomi akibat gagal ginjal semakin berkembang dan menimbulkan perhatian

khusus terhadap pasien, perawat, dan penyedia biaya perawatan. Biaya perawatan

kesehatan yang signifikan harus didata pertahunnya agar dapat menanggulangi

kompleksitas pembiayaan pasien, termasuk diantaranya biaya deteksi dan

penatalaksanaan gagal ginjal kronis dan pengobatan gagal ginjal tahap akhir.6
Secara klinis, gagal ginjal berpengaruh langsung terhadap kebutuhan

hemodialisis. Kebutuhan dan prevalensi dialisis di Malaysia meningkat hampir

dua kali lipat dalam beberapa tahun terakhir. Menurut National Renal Registry
3

2014, total jumlah pasien yang membutuhkan dialisis meningkat tajam dari 6.702

pada tahun 2000 menjadi 31.637 pada tahun 2013, menyebabkan beban serius

pada penyelenggara kesehatan Malaysia.7


Untuk dapat mengurangi permasalahan akibat gagal ginjal maka perlu adanya

pemeriksaan fungsi ginjal sejak awal pada pasien-pasien dengan risiko terjadinya

gangguan fungsi ginjal. Tes fungsi ginjal digunakan untuk menentukan apakah

ginjal melakukan fungsi sebagaimana mestinya.8 Laju filtrasi glomerulus (LFG)

merupakan indikator yang paling umum digunakan dalam menentukan fungsi

ginjal pada pasien. Pemantauan perubahan LFG dapat menggambarkan

perkembangan penyakit ginjal. Nilai LFG merupakan prediktor waktu awal

terjadinya gagal ginjal, dan juga dapat digunakan untuk memantau risiko

komplikasi penyakit ginjal kronik.8, 9


LFG tidak dapat diukur secara langsung, namun dapat diprediksi berdasarkan

kecepatan bersihan berbagai zat yang dibersihkan dari plasma. Prinsip dari hal ini

adalah dengan menghitung efektivitas ginjal dalam mensekresikan berbagai zat.

Bila suatu zat difiltrasi secara bebas seperti air dan tidak direabsorbsi atau

disekresikan oleh tubulus ginjal, maka kecepatan ekskresi zat tersebut ke dalam

urin, akan sama dengan kecepatan filtrasi zat tersebut oleh ginjal.10
Pada beberapa dekade terakhir, marker endogen seperti kreatinin dan
99m
cystatin-C dan juga marker eksogen seperti inulin, Tc-DTPA, dan iothalamate

dapat digunakan untuk dapat menentukan laju filtrasi glomerulus.10 Sampai saat

ini pemeriksaan yang dianggap ideal untuk menentukan laju filtrasi glomerulus

secara terpisah untuk masing-masing ginjal (split renal function) ialah


99m
menggunakan renografi kamera gamma dengan radiofarmaka Tc-DTPA

(technetium-99m-labeled-diethylenetrieminepenta-acetic acid).9 Namun demikian,


4

tidak banyak rumah sakit yang memiliki fasilitas pemeriksaan menggunakan

teknik tersebut.
Karena terbatasnya fasilitas yang tersedia untuk melakukan pemeriksaan ini

maka diperlukan pemeriksaan alternatif lain yang dapat digunakan untuk

menentukan split renal function sehingga dapat dikerjakan di rumah sakit layanan

sekunder. Salah satu pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah dengan

pemeriksaan bersihan kreatinin urin yang diperoleh melalui selang nefrostomi.

Pemeriksaan bersihan kreatinin urin yang diperoleh melalui selang nefrostomi

dianggap dapat digunakan sebagai alternatif untuk menentukan parameter fungsi

ginjal. Pemeriksaan ini juga tidak memerlukan fasilitas yang mahal dan relatif

mudah untuk dikerjakan di rumah sakit ataupun fasilitas kesehatan tingkat

sekunder, sehingga dapat membantu klinisi untuk mengambil keputusan yang

tepat terkait dengan fungsi ginjal yang ditemukan.

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirangkum tema sentral

sebagai berikut :

Sampai saat ini pemeriksaan yang dianggap ideal untuk menentukan laju

filtrasi glomerulus secara terpisah untuk masing-masing ginjal (split renal

function) ialah menggunakan renografi kamera gamma dengan radiofarmaka


99m
Tc-DTPA (technetium-99m-labeled-diethylenetrieminepenta-acetic acid).3

namun demikian tidak banyak rumah sakit yang memiliki fasilitas pemeriksaan

menggunakan teknik tersebut, sehingga diperlukan pemeriksaan alternatif lain

yang dapat digunakan untuk menentukan split renal function yang dapat

dikerjakan di rumah sakit layanan sekunder. Pemeriksaan bersihan kreatinin urin

yang diperoleh melalui selang nefrostomi pada satu sisi ginjal dapat digunakan
5

sebagai alternatif untuk menentukan parameter fungsi ginjal karena pemeriksaan

ini tidak memerlukan fasilitas yang mahal dan relatif mudah untuk dikerjakan di

rumah sakit ataupun fasilitas kesehatan tingkat sekunder.

Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan antara nilai LFG dari

pemeriksaan klirens kreatinin urin 24 jam dari selang nefrostomi perkutan pada

ginjal yang mengalami obstruksi total dengan renografi kamera gamma, maka

perlu dilakukan penelitian untuk membandingkan hasil LFG antara kedua metode

tersebut.

1.2 Rumusan masalah

Apakah terdapat perbedaan antara hasil pemeriksaan LFG antara metode

bersihan kreatinin urin 24 jam dari selang nefrostomi perkutan satu sisi

dibandingkan dengan renografi kamera gamma?


1.3 Tujuan penelitian
Untuk mengetahui perbedaan antara hasil pemeriksaan LFG antara metode

bersihan kreatinin urin 24 jam dari selang nefrostomi perkutan dengan renografi

kamera gamma.

1.4 Manfaat penelitian


1.4.1 Manfaat akademik
Dari penelitian ini dapat diperoleh pengetahuan mengenai perbedaan hasil

pemeriksaan LFG antara metode bersihan kreatinin urin 24 jam dari selang

nefrostomi perkutan dengan renografi kamera gamma.


1.4.2 Manfaat praktis

Diharapkan penelitian ini bisa menjadi dasar peniliaian fungsi ginjal satu sisi

menggunakan metode bersihan kreatinin 24 jam dari selang nefrostomi perkutan,

sehingga metode ini dapat digunakan sebagai alternatif pemeriksaan selain

renografi kamera gamma dan dapat dilakukan di rumah sakit atau fasilitas
6

pelayanan kesehatan di daerah yang tidak memiliki fasilitas kedokteran nuklir,

sehingga pasien-pasien dapat mendapatkan keputusan klinis yang sesuai.


7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Anatomi Fisiologi Ginjal

Ginjal merupakan organ yang berperan dalam beberapa fungsi penting untuk

mempertahankan fungsi fisiologis manusia. Fungsi ginjal yang terpenting ialah

membuang bahan sampah tubuh hasil pencernaan atau sisa metabolisme. Fungsi

lainnya ialah regulasi cairan dan elektrolit, regulasi tekanan darah, regulasi

keseimbangan asam basa, mempengaruhi metabolisme kalsium dan ekskresi

hormon, serta glukoneogenesis.

Gambar2.1.Struktur anatomi bagian dalam ginjal dan sistem urin.1

Pada umumnya, ginjal berwarna coklat kemerahan. Biasanya masing-masing

ginjal memiliki berat kurang lebih 150 gram pada pria dan 135 gram pada wanita.

Ginjal biasanya berukuran 10-12 cm vertikal, 5-7 cm transversal dan 3 cm dari

dimensi anteroposterior.1
8

Baik secara makro maupun mikroskopis terdapat dua komponen berbeda di

dalam parenkim ginjal, yaitu medula dan korteks. Medula ialah area yang

menajam atau mengerucut (conically shaped areas) yang terlihat berwarna lebih

gelap dibandingkan korteks. Struktur ini juga dikenal sebagai piramid ginjal,

sehingga nama renal medula dan renal piramid adalah sama. Apex dari piramid

adalah papila renal, dan setiap papila bermuara pada kaliks minor masing-masing.

Korteks renal berwarna lebih muda daripada medula dan tidak hanya

melingkupi piramid ginjal di perifer, tetapi juga memanjang diantara piramid-

piramid itu sendiri. Perpanjangan dari korteks di antara piramid ginjal diberi nama

khusus, yaitu kolum Bertin. Kolum-kolum ini penting diperhatikan dalam operasi

karena melalui kolum ini pembuluh ginjal berjalan melewati renal sinus ke

korteks perifer. Diameter mengecil seiring dengan kolum bergerak ke perifer.

Karena anatomi ini akses perkutan ke sistem kolekting dibuat melalui piramida

ginjal ke dalam kaliks, dengan demikian menghindari kolum Bertin dan pembuluh

darah besar yang ada di dalamnya.1

Gambar 2.2.Struktur anatomi bagian dalam ginjal.1


9

2.1.1.1 Pembuluh Darah Ginjal

Secara spesifik, arteri renalis kanan meninggalkan aorta menuju ke ginjal

kanan berjalan di bawah v.cava inferior. Arteri renalis kiri berjalan langsung di

lateral ginjal kiri. Kedua arteri renalis bergerak ke posterior ginjal saat mereka

masuk ke ginjal karena adanya aksis rotasi dari ginjal. Kedua arteri renalis juga

memiliki cabang-cabang ke kelenjar adrenal, pelvis renalis dan ureter. Setelah

mencapai ginjal, arteri renalis terbagi menjadi 4 atau lebih cabang, dengan 5

cabang yang tersering. Arteri ini disebut dengan arteri segmentalis. Setiap arteri

segmental mensuplai bagian yang berbeda-beda dari ginjal tanpa adanya

hubungan sirkulasi antara satu sama lain.

Gambar 2.3.Struktur pembuluh darah ginjal dan skema mikrosirkulasi nefron.7


10

Begitu masuk ke sinus renalis, arteri segmental bercabang menjadi arteri

lobaris, kemudian terbagi diparenkim ginjal untuk membentuk arteri interlobar.

Arteri interlobar ini berjalan ke perifer di dalam kolum Bertin, menghindari

piramida renalis namun masih terdapat hubungan dengan infundibulum kaliks

minor.1

Pada batas perifer dari piramida renalis, arteri interlobar bercabang menjadi

arteri arkuata. Selain bergerak ke perifer, arteri arkuata juga bergerak paralel

dengan ujung corticomedular junction. Arteri interlobular meninggalkan arteri

arkuata dan bergerak radial, dimana mereka akhirnya terbagi menjadi arteri aferen

dari glomeruli. Dua juta glomeruli didalam setiap ginjal menggambarkan inti dari

proses filtrasi ginjal. Setiap glomerulus diberi aliran darah oleh arteriol aferen.

Seiring dengan aliran darah melalui kapiler glomerulus, filtrat urin meninggalkan

sistem arteri dan dikumpulkan di kapsul glomerular (kapsula Bowman). Aliran

darah meninggalkan kapiler glomerulus melalui arteriol eferen dan berlanjut ke

satu dari dua lokasi, yaitu sistem kapiler sekunder di sekeliling tubulus urin di

korteks, atau menurun ke dalam medula renal sebagai vasa recta.

Gambar 2.4 Drainase pembuluh darah vena ginjal.1


11

Drainase vena renalis berhubungan erat dengan suplai arteri. Vena interlobular

mengalirkan kapiler post glomerular. Vena-vena ini juga berhubungan bebas

melalui sebuah pleksus vena subskapular dari vena satelit dengan vena-vena di

lemak perinefrik. Setelah vena interlobular, drainase vena berlanjut melalui

v.arkuata, v. interlobar, v.lobar dan cabang-cabang segmental, dengan jalur

masing-masing cabang ini paralel dengan arteri masing-masing.

2.1.2 Fisiologi ginjal

Fungsi ekskresi ginjal terdiri dari dua mekanisme utama, yaitu filtrasi pasif

melalui glomerulus dan sekresi aktif oleh tubulus. Proses ini tegantung pada

reabsorpsi berbagai zat tertentu oleh tubulus. Dua puluh persen aliran plasma

dibersihkan oleh filtrasi glomerulus dan delapan puluh persen oleh sekresi

tubulus. Glomerulus bertindak sebagai membran semipermeabel, yang

memungkinkan senyawa-senyawa relatif kecil ukuran molekulnya dapat

melewatinya. Bahan yang lebih besar, seperti protein, tidak melewati glomerulus

tetapi dapat mencapai urin melalui sekresi tubulus.1

Kecepatan filtrasi glomeruli atau LFG ditentukan oleh tiga faktor yang

mengatur keseimbangan tekanan-tekanan pada dinding kapiler. Faktor tersebut

adalah tekanan hidrostatik kapiler glomeruli dan tekanan onkotik kapsul Bowman

yang mendorong terjadinya filtrasi, sedangkan tekanan onkotik kapiler glomeruli

dan tekanan hidrostatik kapsul Bowman menghambat filtrasi, kecepatan aliran

darah ke ginjal (renal blood flow), atau kecepatan aliran plasma melalui glomeruli

(glomerular plasma flow) dan permeabilitas serta luas permukaan kapiler yang

berfungsi.1,2
12

Faktor yang mempengaruhi LFG dapat dirumuskan sebagai berikut1

LFG = Kf (PGC PT GC)

Kf ialah koefisien ultra filtrasi glomerular yang berhubungan dengan

penampang area dan permeabilitas dari membrane kapiler. P GC ialah tekanan

kapiler glomerular, yang dipengaruhi oleh aliran plasma renal dan tahanan dari

arteriol afferent dan efferent. Tekanan hidrolik mendorong cairan ke masuk

Bowman space dan ditahan oleh tekanan hidrolik dari cairan dalam tubulus (P T),

dan juga meningkatnya tekanan onkotik () dari protein bertahan pada konsentrasi

lebih tinggi di kapiler glomerular dan arteriol efferent. Meskipun cairan yang

difiltrasi tidak sepenuhnya bebas dari protein-protein kecil, untuk tujuan praktis,

tekanan onkotiknya tidak perlu diperhatikan. Tekanan net yang mempengaruhi

filtrasi glomerulus yang disini disebut tekanan ultra filtrasi (PUF) dan diturunkan

dari (PGC PT GC). PGC dipengaruhi juga oleh aliran darah renal (RPF).

RPF bergantung kepada tekanan perfusi renal dan tahanan intrarenal saat

mengalir, RPF dimediasi oleh tahanan di arteriol afferent dan efferent. Hubungan

tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut.1

Konstriksi dari arteriol afferent ataupun efferent dapat menurunkan RPF.

Konstriksi dari arteriol afferent berdampak pada menurunnya PGC dan LFG,

dimana peningkatan tahanan arteriol efferent akan meningkatkan pgc. keseluruhan

LFG bergantung pada faktor-faktor yang meregulasi perfusi masing-masing

glomerulus dan juga pada persentase filtrasi glomerulus yang sesungguhnya.


13

Untuk masing-masing glomerulus, single-nephron glomerular filtration rate

(LFG) ditentukan oleh rumus LFG yang telah dijabarkan tadi. obstruksi dapat

merusak LFG secara transien ataupun secara permanen dan beberapa atau semua

dari faktor-faktor yang dapat mempengaruhi LFG. hasil dari ekperimen hewan

yang pernah dilakukan digunakan untuk menampilkan hemodinamik, ginjal, dan

respon sistemik dari obstruksi renal.1

2.1.3 Obstruksi Uropati

Obstruksi uropati adalah salah satu gangguan urologis yang paling umum.8

Obstruksi uropati adalah masalah klinis utama yang mempengaruhi anak-anak dan

orang dewasa dan dapat menyebabkan kerusakan ginjal permanen. Tingkat cedera

pada ginjal dan efeknya pada keseluruhan fungsi ginjal bergantung pada tingkat

keparahan obstruksi (Parsial atau lengkap, unilateral atau bilateral), kronisitas

obstruksi (akut vs kronis), kondisi awal ginjal, dan adanya faktor mitigasi lainnya

seperti infeksi saluran kemih (ISK).1

2.1.3.1 Insidensi dan Epidemiologi

Obstruksi uropati menyebabkan 10% dari semua kasus gagal ginjal. Dalam

rangkaian otopsi 59.064 individu mulai dari neonatus hingga subjek geriatri,

prevalensi hidronefrosis pada awalnya diperkirakan 3,1%. Hidronefrosis

ditemukan lebih banyak terjadi pada wanita berusia antara 20 dan 60 tahun, yang

dikaitkan dengan kehamilan dan perkembangan keganasan ginekologi.

Sebaliknya, hidronefrosis lebih banyak terjadi pada pria setelah usia 60 tahun

karena adanya penyakit prostat.1


14

2.1.3.2 Etiologi dan Klasifikasi

Ada banyak penyebab dari hidronefrosis dan hidroureter (Tabel 1). Obstruksi

saluran kemih dapat diklasifikasikan menurut penyebab (kongenital vs didapat),

durasi (akut vs kronis), derajat (partial vs complete), dan lokasi (Saluran kemih

bagian atas vs bawah).1

Tabel 2.1. Penyebab Obstruksi Saluran Kemih 1

Lokasi Obstruksi Penyebab Obstruksi


Ginjal Obstruksi intrarenal
Tumor ginjal
Ginjal polikistik
Aneurisma arteri renalis

Ureter Obstruksi UPJ


Striktur
Stenosis
Bekuan darah
Batu ureter
Keganasan intrapelvis
Kehamilan

Buli Keganasan buli


Neurogenic bladder
Bladder neck contracture
Batu buli
VUR

Uretra BPH
Striktur uretra

2.1.3.3 Patofisiologi

Uropati obstruktif terjadi ketika aliran urin tersumbat pada beberapa titik di

saluran kemih, dan urin terakumulasi di atas tempat yang mengalami obstruksi.

Hal ini meningkatkan tekanan dan melebarkan daerah yang terkena dampak pada

ginjal, kaliks, dan ureter. Peningkatan tekanan ureter juga menghasilkan

pielotubular, pielovenous dan arus balik pielolimphatik sehingga meningkatkan


15

risiko sepsis sistemik dengan adanya infeksi. Oleh karena itu, obstruksi yang

berkaitan dengan infeksi harus dianggap sebagai keadaan darurat urologi. Ginjal

membesar juga lebih cenderung untuk mengalami trauma.

Profil klinis pasien bervariasi sesuai dengan: 1

1. Interval waktu terjadinya obstruksi (akut atau kronis),

2. Apakah obstruksi adalah unilateral atau bilateral,

3. Penyebab obstruksi (intrinsik vs ekstrinsik),

4. Apakah obstruksi total atau parsial,

5. Keterlibatan sistem intrarenal vssistem extrarenal

6. Ada tidaknya infeksi.

Obstruksi kongenital dapat terjadi akibat berbagai kelainan pada anatomi

saluran kemih normal, termasuk stenosis sumsum tulang belakang kongenital,

katup uretra posterior, ureterokel, ureter ektopik, dan obstruksi ureteropelvik.

Selain itu, kelainan tulang belakang kongenital, seperti mielomeningokel atau

agenesis sakral, dapat menyebabkan disfungsi kandung kemih dan obstruksi

fungsional.9

Hambatan yang didapat dapat terjadi akibat berbagai fenomena yang berbeda,

baik intrinsik (yaitu, di dalam lumen ureter) atau ekstrinsik. Pada saluran bagian

atas yaitu ginjal dan ureter, banyak penyebab obstruksi intrinsik meliputi

nefrolitiasis, striktur ureter, tumor, polip, dan gumpalan darah. Banyak penyebab

obstruksi ekstrinsik meliputi retrocaval ureter, fibrosis retroperitoneal, hematoma

retroperitoneal, tumor retroperitoneal primer, limfadenopati pelvis, dan

kehamilan. Obstruksi fungsional, bukan struktural, dapat terjadi sekunder akibat


16

segmen ureter nonperistalitik, seperti yang terlihat pada beberapa penyempitan

ureteropelvik (UPJ) atau penghambatan ureterevesicalis (UVJ). Pada saluran

bawah (yaitu kandung kemih dan uretra), penyebab umum obstruksi intrinsik

meliputi striktur uretra, divertikulum uretra, benda asing, hiperplasia prostat jinak

(BPH), kanker prostat, disfungsi leher kandung kemih primer, kontraksi leher

kandung kemih, dan kanker kandung kemih. Sementara itu, kompresi ekstrinsik

dapat terjadi sekunder akibat kanker pada organ yang berdekatan seperti serviks

dan uterus. Obstruksi fungsional dapat terjadi akibat disfungsi kandung kemih

neuropati.9

Penyumbatan memiliki banyak efek pada sistem saluran kemih, dimulai

dengan kompensasi dan diakhiri dengan dekompensasi simtomatik. Pada bagian

atas, kompensasi melibatkan penebalan otot polos ureter untuk meningkatkan

kekuatan gelombang peristaltik melawan penyumbatan. Selain itu, ada pelebaran

proksimal penyumbatan, yang disebut hidronefrosis jika melibatkan ginjal, atau

hydroureteronephrosis jika melibatkan ginjal dan ureter. Tingkat hidronefrosis

ditentukan oleh lokasi, derajat, dan durasi penyumbatan. Pelvis ginjal mulai

membesar, diikuti pelebaran kaliks. Kaliks kehilangan bentuk cekung normal dan

menjadi tumpul.9

Dekompensasi terjadi saat ureter memanjang dan menjadi berliku-liku, diikuti

dengan penggantian otot ureter normal dengan jaringan parut. Akibatnya, ureter

semakin kehilangan kemampuannya untuk berkontraksi dan mengangkut bolus

urin. Di ginjal, tekanan dari penyumbatan akhirnya merambat ke tubulus ginjal,

yang menyebabkan refleksi vasokonstriksi dan pengurangan aliran darah ginjal.


17

Dengan demikian LFG berkurang dalam nephron yang terhambat. Jika terjadi

bilateral, perubahan ini mungkin terkait dengan cedera ginjal akut. Dalam

penyumbatan kronis terus menerus, dapat terjadi perubahan atrofik ireversibel

pada korteks ginjal akibat iskemia kronis dan inflamasi.9

Pada saluran kemih bagian bawah, kompensasi melibatkan hipertrofi otot

detrusor dalam upaya mengatasi penyumbatan. Hipertrofi kronis, bagaimanapun,

dapat menyebabkan trabekulasi, selulosa, dan divertikula. Trabekulasi adalah

jalinan ikatan otot detrusor hipertrofi yang menggantikan permukaan halus

kandung kemih normal. Selulosa adalah kantong kecil mukosa yang memiliki

herniasi antara helai-helai otot detrusor paling superfisial. Divertikula adalah

kantung yang lebih menonjol yang mendorong seluruh lapisan otot detrusor.

Karena tidak ada kekuatan kontraktil di sekitar dinding divertikula, maka tidak

dapat secara efektif menghilangkan urin, yang dapat mendorong terbentuknya

batu kandung kemih.9

Dekompensasi terjadi saat keadaan dinding kandung kemih semakin

memburuk dan diganti dengan jaringan parut. Akibatnya, kandung kemih tidak

bisa benar berkontraksi. Tekanan tinggi di dalam lumen kandung kemih dapat

membanjiri penyempitan ureterovesikalis, menyebabkan pantulan refluks

sekunder yang mentransmisikan tekanan tinggi ke saluran kemih bagian atas.9

2.1.3.4 Mekanisme Molekular Dari Tubulointerstitial Fibrosis

Tubulointerstitial fibrosis adalah komponen patologis utama pada cedera ginjal

obstruktif, dan kehadirannya berkontribusi terhadap obstruksi yang disebabkan

oleh disfungsi ginjal. Faktanya, tubulointerstitial fibrosis progresif adalah jalur


18

umum akhir untuk semua penyakit ginjal yang menyebabkan gagal ginjal kronis.

Salah satu perubahan histologis paling awal pada ginjal yang tersumbat adalah

peningkatan infiltrasi sel inflamasi ke kompartemen interstisial ginjal. Infiltrasi

makrofag telah didokumentasikan sejak 4 jam setelah onset penyumbatan ginjal,

dan perekrutan makrofag, serta sel-sel inflamasi lainnya, ke dalam ruang

interstisial tampaknya dimediasi oleh produksi kemokin. Semua jenis sel ginjal

dapat mengekspresikan kemokin sebagai respons terhadap cedera imunologis,

toksik, iskemik, atau mekanis, dan interaksi kemokin dengan reseptor spesifik

yang diekspresikan pada sel kekebalan (reseptor kemokin) memfasilitasi migrasi

leukosit dan makrofag di seluruh endotelium. Begitu sel-sel inflamasi ini

memenuhi interstitium, mereka mulai menguraikan berbagai macam sitokin

proinflamasi dan faktor pertumbuhan yang berkontribusi terhadap cedera ginjal,

termasuk faktor nekrosis tumor- (TNF-) dan mengubah faktor pertumbuhan-1

(TGF-1). Ekspresi kemokin yang meningkat telah ditunjukkan sebagai respons

terhadap obstruksi, termasuk protein kemotaksis monoksi-1 (MCP-1 atau

chemokine ligand 2 [CCL2]), protein inflamasi makrofag-1 (MIP-1 atau

CCL3), protein inflamasi makrofag-1 MIP-1 atau CCL4), dan CCL7, dan

blokade CCL2 dan CCL7 telah ditunjukkan untuk memperbaiki fibrosis

tubulointerstitial yang disebabkan oleh obstruksi. MCP-1 baru-baru ini telah

diidentifikasi sebagai biomarker obstruksi potensial pada anak-anak dengan

hidronefrosis. Meskipun infiltrasi sel inflamasi ini tentunya penting untuk

patofisiologi penyumbatan saluran kemih, sitokin dan mediator proinflamasi juga


19

dapat diproduksi oleh sel epitel tubular ginjal yang terlepas dari infiltrasi

makrofag.1

Fibroblas di interstitium ginjal dianggap sebagai sumber utama ECM, dan

fibrosis tubulointerstitial dikaitkan dengan akumulasi fibroblas penghasil matriks

yang signifikan. Sebagai respons terhadap sitokin dan faktor pertumbuhan,

Fibroblas akan mensekresikan kolagen, elastin, proteoglikan, dan fibronektin ke

dalam ruang interstisial. Proses ini biasanya diatur secara ketat oleh matriks

metaloproteinase (MMPs), enzim yang bertanggung jawab untuk remodeling

jaringan dan degradasi komponen ECM yang bersifat kolagen dan non-kolagen.

MMPs diekskresikan oleh berbagai sel, termasuk fibroblas, sel endotel, makrofag,

dan limfosit, dalam bentuk tidak aktif yang memerlukan pemrosesan lebih lanjut

untuk menjadi aktif. Pengendalian aktivitas MMP terjadi baik dalam aktivasi

enzim laten dan penghambatan langsung enzim aktif (Ronco et al, 2007).

Penghambat jaringan MMPs (TIMPs) diproduksi oleh sel tubular dan sel

interstisial di ginjal, dan berfungsi untuk menghambat aktivitas MMPs.

Peningkatan ekspresi TIMP secara dramatis telah ditunjukkan sebagai respons

terhadap obstruksi, dan telah dipostulasikan bahwa deposisi ECM yang meningkat

selama cedera obstruktif disebabkan oleh peningkatan penghambatan TIMP pada

MMPs. Peran MMP pada fibrosis ginjal tampaknya jauh lebih kompleks daripada

yang berteori sebelumnya. MMP-2 dan MMP-9 telah menjadi fokus kebanyakan

penelitian di ginjal. Meskipun beberapa penelitian menunjukkan percepatan

fibrosis ginjal dengan penghambatan farmakologis MMP-2 dan MMP-9,

penelitian yang menggunakan tikus KO MMP-9 menunjukkan penurunan


20

dramatis pada fibrosis tubulointerstitial sebagai respons terhadap obstruksi ginjal,

dan transgenik tikus untuk ekspresi MMP-2 (yaitu, overexpression) menunjukkan

interstisial fibrosis, glomerulosklerosis, atrofi tubular, dan gagal ginjal tanpa

adanya tumpahan. Selain efek degradasi pada ECM, MMPs dapat mengganggu

integritas membran basal tubular dan memicu transisi epitelial ke mesenkim,

sebuah proses yang berkontribusi terhadap fibrosis dengan memperluas jumlah

fibroblas penghasil matriks di interstitium.1

2.1.3.5 Pengaruh Obstruksi Terhadap LFG

Tiga komponen yang menentukan LFG: tekanan hidrostatik glomerulus,

tekanan osmotik glomerulus, tekanan koloid dan tekanan kapsul bowman. Semua

ini dapat dipengaruhi oleh obstruksi. Beberapa jam pertama setelah obstruksi,

aliran darah di ginjal terhambat, sehingga meningkatkan vasodilatasi sekunder

preglomerular pembuluh darah ginjal, yang dapat meningkatkan LFG.1

peningkatan LFG terjadi seiring dengan peningkatan pembentukan urin, secara

bertahap meningkatkan tekanan urin. Sekitar 4 jam obstruksi, aliran darah ginjal

menurun sementara tekanan ureter terus-menerus meningkat terkait dengan

vasokonstriksi pasca-glomerular. Peningkatan tekanan intrarenal mengaktifkan

sistem renin-angiotensin dan peningkatan kadar vasokonstriktor seperti

tromboksan A2, yang menghasilkan penurunan aliran darah ginjal dan penurunan

tekanan ureter terkait dengan vasokontriksi pre-glomerular. Obstruksi ureter

bilateral (BUO) berbeda dari obstruksi ureter unilateral (UUO). Sementara

selama UUO, ginjal melewati tiga fase, di BUO ginjal melewati fase vasodilatasi

pra-glomerular dan kemudian vasokonstriksi pasca-glomerular dan tetap pada fase


21

ini. Oleh karena itu, BUO dikaitkan dengan kenaikan progresif dan tekanan ureter

persisten meskipun penurunan aliran darah ginjal.1

Fenomena diuresis post obstruktif ini mengacu pada poliuria yang terjadi

setelah BUO atau obstruksi soliter sebuah ginjal. Hal ini paling sering terlihat

pada pasien yang memiliki obstruksi kronis, kelebihan beban volume dan kadang-

kadang uremik ensefalopati. Kebanyakan pasien menunjukkan diuresis sekunder

disebabkan oleh urea, natrium dan air, serta gangguan konsentrasi. Mekanisme

yang bertanggung jawab dalam proses diuresis post obstruktif termasuk

diantaranya atrial natriuretic peptide yang tinggi dan vasopressin.1

2.1.3.6 Perubahan LFG, Aliran Darah Renal dan Tekanan Collecting System

Banyak perubahan fungsi yang terjadi pada ginjal yang diakibatkan obstruksi

nefropati yang mengganggu variabilitas hemodinamik renal dan filtrasi

glomerulus. Hal ini diakibatkan oleh lama dan keparahan obstruksi, obstruksi

unilateral atau bilateral, obstruksi yang masih terjadi atau sudah tertangani. Yang

penting diperhatikan ialah untuk memahami hubungan antara perubahan

hemodinamik ginjal dan perubahan pada LFG saat dan selepas obstruksi.1

Keseluruhan LFG ginjal bergantung pada faktor-faktor yang meregulasi perfusi

masing-masing glomerulus dan juga pada persentase filtrasi glomerulus yang

sesungguhnya. Untuk masing-masing glomerulus, single-nephron glomerular

filtration rate ditentukan oleh rumus LFG yang telah dijabarkan tadi. Obstruksi

dapat merusak LFG secara transien ataupun secara permanen dan beberapa atau

semua dari faktor-faktor yang dapat mempengaruhi LFG. Hasil dari ekperimen

hewan yang pernah dilakukan digunakan untuk menampilkan hemodinamik,


22

ginjal, dan respon sistemik dari obstruksi renal.1

2.1.3.7 Oklusi Ureteral Parsial

Meskipun sebagian besar model obstruksi saluran kemih mengalami obstruksi

lengkap pada waktu yang bervariasi, banyak situasi klinis melibatkan obstruksi

ureter parsial (parsial ureteral obstruction atau PUO). Efek PUO pada

hemodinamik ginjal dan LFG bervariasi, tergantung pada tingkat keparahan dan

durasi penyumbatan. Secara umum, hasil PUO menurunkan RBF dan LFG di

ginjal ipsilateral. PUO kronis telah dilaporkan menurunkan RBF menjadi 25%

dari normal, dan pergeseran aliran darah kortikal ginjal dari korteks luar ke

korteks bagian dalam telah didokumentasikan. Tampaknya tingkat penurunan

RBF tergantung pada tingkat keparahan obstruksi. Meskipun PUO belum banyak

diteliti secara luas sebagai UUO, rangkaian mediator vaskular serupa telah

dikaitkan dengan peningkatan resistensi arteriolar aferen yang terjadi sebagai

respons terhadap PUO, termasuk prostaglandin dan sistem renin-angiotensin.

Masalah utama dengan penelitian yang melibatkan obstruksi parsial adalah

kemampuan untuk secara akurat mereproduksi tingkat penyumbatan pada setiap

hewan. Thornhill dan rekan (2005) menjelaskan metode pengikat ureter di atas

kawat dengan diameter yang dikalibrasi, yang kemudian

Dapat dilepas untuk menciptakan penyumbatan parsial. Penulis menemukan

bahwa ketika ureter berkurang 70% sampai 75%, LFG berkurang 80% setelah 28

hari dengan UUO parsial.1


23

Gambar 2.6 Perubahan yang terjadi pada obstruksi unilateral dan bilateral1

2.1.3.8 Tanda Klinis

Gejala penyumbatan saluran bawah dan pertengahan ditandai oleh gejala

striktur uretra, jinak pada kandung kemih yang melibatkan leher vesikal. Gejala

utama adalah keragu-raguan dalam memulai buang air kecil, mengurangi

kekuatan dan ukuran arus, dan penggosokan terminal; hematuria, yang mungkin

parsial, awalnya, dengan striktur atau total dengan obstruksi prostat atau tumor

vesikal; dan terbakar saat buang air kecil, air kencing mendung (karena

komplikasi infeksi), dan kadang retensi urin akut.10

Gejala penyumbatan saluran kemih bagian atas ditandai oleh gejala striktur

ureter atau batu ureter atau ginjal. Keluhan utama adalah rasa sakit pada panggul

yang memancar sepanjang ureter, hematuria, gejala gastrointestinal, menggigil,

demam, rasa nyeri saat buang air kecil, dan air kencing terasa panas bila ada
24

infeksi, yang merupakan sekuel umum penyumbatan. Atau refluks vesicoureteral.

Mual, muntah, kehilangan berat badan dan kekuatan, dan pucat disebabkan oleh

uremia sekunder akibat hidronefrosis bilateral. Riwayat refluks vesikoureteral di

masa kanak-kanak mungkin berpengaruh signifikan.10

2.1.3.9 Pemeriksaan Laboratorium

Anemia sekunder dapat ditemukan akibat infeksi kronis atau pada

hidronefrosis bilateral lanjut (tahap uremia). Leukositosis diharapkan terjadi pada

tahap akut infeksi. Protein biasanya tidak ditemukan dalam uropati obstruktif.

Hematuria mikroskopik bisa mengindikasikan adanya Infeksi ginjal atau vesikal,

tumor, atau batu. Bakteri mungkin atau mungkin tidak ada. Adanya hidronefrosis

bilateral yang signifikan, aliran urin melalui tubulus ginjal diperlambat, dengan

demikian, urea direabsorpsi secara signifikan namun kreatinin tidak, oleh karena

itu, pemeriksaan kimia darah menunjukkan rasio urea-kreatinin jauh di atas

normal.11

2.1.3.10 Evaluasi Radiologi

Ada banyak metode pencitraan radiologi yang tersedia bagi ahli urologi dalam

diagnosis dan penanganan obstruksi uropati. Pencitraan yang dilakukan dapat

berupa radiografi, seperti film polos (ginjal, ureter dan kandung kemih - KUB),

pielografi intravena (IVP) dan urografi retrograde, ultrasound, computed

tomography (CT), renogram lasix, magnetic resonance (MR) urogram dan tes

whitaker . Pemilihan tes spesifik tergantung pada berat obstruksi dan usia pasien

serta fungsi ginjal. Pasien hamil dan orang dengan alergi kontras memerlukan
25

ketentuan khusus. Pertimbangan juga harus dilakukan terhadap biaya uji,

reliabilitas dan kelayakan tindak lanjut jangka panjang dengan uji berulang.12

Studi radiografi sederhana seperti KUB memiliki peran, meski terbatas, dalam

evaluasi obstruksi. Sebuah foto polos berpandangan tunggal mungkin cukup untuk

mendiagnosis adanya batu ureter. Ini berbiaya rendah dengan paparan radiasi

rendah dan dapat dilakukan dengan cepat di dalam klinik urologi. Foto polos

dibatasi oleh sensitivitasnya yang rendah untuk mendeteksi batu blusen dan semi

opak. Terkadang kalsifikasi ureter yang dicurigai terlihat pada foto polos ternyata

merupakan phlebolith vaskular, saat penelitian lebih spesifik dilakukan. Foto

polos juga menyediakan cara mudah untuk mengikuti perkembangan batu yang

membuat ostruksi, bahkan jika diagnosis penyakit batu telah dilakukan dengan

modalitas pencitraan lain seperti CT scan.12

Pielografi intravena (IVP) berperan penting dalam diagnosis obstruksi. Ini

adalah pemeriksaan klasik yang bisa menilai anatomi dan sampai batas tertentu

dapat menilai fungsi ginjal. Obstruksi akut diidentifikasi dengan adanya

nefrogram yang tertunda dan sering meningkat. Hydronephrosis atau hydroureter

membantu untuk mengkonfirmasi diagnosis obstruksi, namun tidak selalu terlihat.

Tingkat dan penyebab obstruksi dapat ditentukan dengan visualisasi defek

pengisian atau batu di ginjal atau ureter, perubahan kontur ginjal dan ureter. Selain

itu, patologi kandung kemih dapat terungkap pada IVP, seperti defek pengisian,

divertikula dan residu post miksi yang signifikan. Hambatan, yang pada awalnya

tidak jelas, kadang-kadang dapat diungkap setelah pemberian Lasix selama IVP.

IVP membutuhkan kontras intravena dan oleh karena itu sebaiknya tidak
26

dilakukan pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal. Nefrotoksisitas kontras

iodinasi paling mungkin terjadi pada pasien dengan insufisiensi ginjal kronis

terutama jika pasien dengan diabetes.12

Retrograd urografi dapat berguna untuk menggambarkan lokasi dan tingkat

keparahan dari obstruksi saat pemeriksaan lain gagal menentukan titik pasti atau

penyebab penyumbatan. Selain itu, pemeriksaan ini biasanya dapat dilakukan

dengan keamanan yang lebih besar pada pasien yang bukan kandidat IVP karena

alergi terhadap media kontras atau insufisiensi ginjal.12

Ultrasound digunakan secara luas untuk mendeteksi hidronefrosis.

Pemeriksaan ini tidak mahal, tidak invasif dan mudah dilakukan. Ultrasound

adalah teknik garis pertama yang ideal untuk mengevaluasi pasien obstruksi

ginjal. Karena tidak semua sistem yang melebar mewakili obstruksi fungsional,

ultrasound tidak spesifik. Temuan pencitraan harus berkorelasi dengan gambaran

klinis. Hidronefrosis bukan karena penyumbatan dapat terjadi akibat obstruksi

sebelumnya, refluks, pelvis ekstra ginjal yang membesar, kandung kemih di atas

distensi atau sistem kaliks yang bisa dirasakan pada individu yang terhidrasi

dengan baik. Kista di sinus ginjal mungkin salah penyebab pelvis ginjal melebar

pada ultrasound. Ultrasound sangat akurat dalam identifikasi batu ginjal yang

mungkin atau mungkin tidak terlihat pada radiograf polos, karena komposisi atau

ukuran batu. Namun, deteksi batu ureter dengan ultrasound jauh lebih sulit. Batu-

batu ini sering kali tidak terdeteksi oleh ultrasound.12

Pemindaian Tomografi Computed (CT) dapat dilakukan dengan atau tanpa

kontras intravena. Scan CT spiral menggunakan irisan 5 mm dari tingkat ginjal


27

sampai ke kandung kemih secara khusus untuk mencari penyakit batu. Telah

ditunjukkan bahwa CT scan lebih efektif dalam mengidentifikasi batu-batu ureter.

CT sangat ideal untuk mendeteksi gangguan batu dan sangat efektif dalam

membedakan batu dari penyebab penyumbatan lainnya seperti tumor.12

2.1.4 Pemulihan Ginjal setelah Obstruksi

Durasi dan tingkat keparahan obstruksi berpengaruh signifikan terhadap

pemulihan fungsional ginjal. Bila obstruksi ureter komplit akut segera sembuh,

pemulihan penuh LFG dapat terjadi, namun obstruksi ureter komplit yang lebih

lama terkait dengan berkurangnya LFG. Penurunan LFG dan rbf yang terus-

menerus setelah terhindar dari obstruksi disebabkan oleh vasokonstriksi arteriol

aferen. Vaughan dan gillenwater (1971) melakukan beberapa penelitian awal

tentang pemulihan fungsi ginjal setelah obstruksi. Dalam model anjing mereka

mencatat bahwa pemulihan fungsi ginjal sepenuhnya terjadi setelah 7 hari

sedangkan hanya 70% pemulihan LFG terjadi setelah 14 hari uuo, 30% setelah 4

minggu uuo, dan tidak ada setelah 6 minggu uuo. Studi yang lebih baru

menunjukkan bahwa kerusakan ginjal dapat bertahan meskipun terjadi pemulihan

fungsi ginjal. Setelah 3 hari UUO dalam model obstruksi tikus, LFG dan RBF

kembali ke tingkat awal dalam 14 hari di ginjal yang sebelumnya terhambat,

namun fibrosis interstisial dan apoptosis tubular terus meningkat setelah terhindar

dari obstruksi. Penelitian pada tikus menunjukkan bahwa setelah 7 hari

mengalami obstruksi, fungsi ginjal normal tidak dipulihkan pada ginjal yang

sebelumnya mengalami obstruksi bahkan setelah 30 hari pemulihan, dengan LFG

dan RBF berkurang 40% dan rasio albumin terhadap protein urin meningkat 2,8
28

kali lipat. Nefron utuh yang tersisa mengalami hipertropi. Pada manusia, lamanya

obstruksi (> 2 minggu) telah terbukti dapat menurunkan fungsi ginjal dalam

jangka panjang dan meningkatkan risiko hipertensi.13

Faktor lain yang mempengaruhi kembalinya fungsi ginjal setelah

menghilangkan obstruksi adalah tingkat obstruksi yang tidak berat, komplian

sistem kolekting yang lebih besar, dan adanya aliran balik pielolimfatik.

Sebaliknya, usia yang lebih tua dan penurunan ketebalan korteks adalah prediktor

pemulihan fungsi ginjal yang berkurang setelah terhindar dari obstruksi. Adanya

deposisi kolagen yang meningkat pada parenkim ginjal pada saat pieloplasti telah

terbukti memiliki dampak negatif pada pemulihan fungsi ginjal, karena ini

menunjukkan keadaan yang lebih maju dari fibrosis ginjal.13

2.1.5 Pemeriksaan Fungsi Ginjal

Evaluasi LFG, yang merupakan baku emas untuk menilai fungsi ginjal, tidak

dilakukan secara rutin karena ketidaknyamanan dalam pengumpulan urin.14 LFG

adalah produk dari laju filtrasi rata-rata setiap nefron, unit penyaringan ginjal,

dikalikan dengan jumlah nefron pada kedua ginjal. Tingkat normal untuk LFG

adalah sekitar 130 ml / menit / 1,73 m2 pada pria dan 120 ml / menit / 1,73 m2

pada wanita, dengan variasi yang cukup besar antara individu sesuai usia, jenis

kelamin, ukuran tubuh, aktivitas fisik, diet, farmakoterapi, dan keadaan fisiologis

seperti pada kehamilan. Untuk membakukan pengukuran fungsi ginjal bagi ginjal

yang ukurannya berbeda-beda, yang sebanding dengan ukuran tubuh, LFG

disesuaikan dengan luas permukaan tubuh (BSA), dihitung dari tinggi dan berat,

dan dinyatakan per 1,73 m2 BSA. Bahkan setelah penyesuaian pada BSA, LFG
29

kira-kira masih 8% lebih tinggi pada pria muda daripada wanita dan menurun

seiring bertambahnya usia, tingkat penurunan rata-rata adalah sekitar 0,75 ml /

menit / tahun setelah usia 40 tahun, namun variasinya lebar, dan sumber variasi ini

masih kurang dipahami. Selama kehamilan, LFG meningkat sekitar 50% pada

trimester pertama dan kembali normal segera setelah melahirkan. LFG memiliki

variasi diurnal, dimana 10% lebih rendah pada tengah malam dibandingkan

dengan siang hari. LFG relatif konstan dari waktu ke waktu pada setiap individu,

namun sangat bervariasi antar manusia, bahkan setelah disesuaikan dengan

variabel yang diketahui.4

Penurunan LFG dapat terjadi akibat penurunan jumlah nefron atau pada LFG

single-nephron (SN) akibat perubahan fisiologis atau hemodinamik. Peningkatan

SNLFG yang disebabkan oleh peningkatan tekanan kapiler glomerulus atau

hipertrofi glomerulus dapat mengkompensasi penurunan jumlah nefron, oleh

karena itu tingkat LFG mungkin tidak mencerminkan hilangnya nefron.

Akibatnya, mungkin ada kerusakan ginjal yang parah sebelum LFG menurun.4

LFG tidak dapat diukur secara langsung. Sebaliknya, LFG diukur sebagai

klirens urin sebagai penanda filtrasi ideal.4 Salah satu peran utama ginjal adalah

ekskresi limbah yang mudah larut. Hal ini dicapai dengan proses filtrasi

glomerulus. Kreatinin biasanya digunakan sebagai indikator LFG. Kreatinin

adalah produk perusak tak beracun dari creatine, sumber energi jangka pendek

yang ditemukan di otot dalam bentuk fosfokreatin.15


30

2.1.5.1 Pemeriksaan Bersihan Kreatinin

Pembersihan kreatinin biasanya dihitung dari ekskresi kreatinin dalam

pengumpulan urin 24 jam dan satu pengukuran kreatinin serum dalam kondisi

stabil. Ekskresi kreatinin kira-kira berkisar antara 20 sampai 25 dan 15 sampai 20

mg / kg / hari pada pria dan wanita sehat, dan penyimpangan dari nilai yang

diharapkan ini dapat memberikan beberapa indikasi kesalahan dalam penentuan

waktu atau kelengkapan pengumpulan urin. Pembersihan kreatinin secara

sistematis menaikkan nilai LFG karena adanya sekresi kreatinin tubular. Sekresi

kreatinin tubular pada tingkat normal LFG diperkirakan relatif kecil (10% sampai

15%), namun pengujian yang lebih baru dan lebih akurat menunjukkan bahwa

perbedaan ini mungkin lebih besar dari dugaan sebelumnya. Dalam keadaan tidak

stabil misalnya, pada penyakit ginjal akut atau di antara perawatan dialisis, perlu

diberikan sampel darah tambahan selama pengumpulan urin untuk perkiraan

konsentrasi serum serum yang lebih akurat.2

Bersihan Kreatinin(ml/menit)17 = Ucr (mg/dl) x vol. Urin (ml/24 jam)

Pcr (mg/dl) x 144 (menit/24 jam)

Keterangan:
Pcr : Plasma kreatinin
Ucr : Kreatinin urin

Inulin, polimer fruktosa yang tidak berkapasitas dengan berat molekul sekitar

5000 dalton (d), adalah zat pertama yang digambarkan sebagai penanda filtrasi

ideal dan tetap menjadi acuan (standar baku emas) yang dengannya penanda lain
31

dievaluasi.16 Protokol klasik untuk pembersihan inulin memerlukan infus

intravena (IV) terus menerus untuk mencapai kateterisasi steady state dan

kandung kemih dengan beberapa koleksi urine berjangka waktu. Karena teknik ini

rumit, dan pengukuran inulin memerlukan uji kimia yang sulit, metode ini belum

banyak digunakan dalam praktik klinis tetap menjadi penelitian.

2.1.5.2 Pemeriksaan Fungsi Ginjal Menggunakan Radionuklida

Evaluasi fungsi ginjal menggunakan radiofarmaka dapat dilakukan dengan

menggunakan berbagai metode. Masing-masing metode melalui pendekatan yang

sedikit berbeda untuk penilaian ginjal atau anatomi. Metode ini meliputi:18

- Pencitraan fungsional (penilaian visual perfusi dan fungsi)


- Renografi (kurva waktu-aktivitas mewakili fungsi)
- Kuantifikasi fungsi ginjal (LFG dan ERPF penentuannya)
- pencitraan anatomi (penilaian visual dari korteks ginjal)

Metode evaluasi ini menggunakan berbagai agen radiofarmaka untuk

mendapatkan pencitraan dari kamera gamma.18

1. Agen Terfiltrasi di Glomerulus

Technetium-99m dietilenatriamina DTPA adalah radiofarmaka yang


99m
digunakan untuk evaluasi fungsi filtrasi glomerulus. Kompleks Tc-DTPA

difiltrasi oleh glomerulus ginjal. 99mTc-DTPA biasanya diberikan sebanyak 10 - 20

mCi (370-740 MBq). Pada citra serial dapat diperoleh visualisasi secara berurutan

dari kortek ginjal dan collecting system, ureter, dan kandung kemih. Pengukuran

ekskresi radiofarmaka dapat memberikan perkiraan yang akurat dari LFG. Nilai
99m
LFG menggunakan Tc-DTPA sedikit lebih rendah dari nilai normal LFG yang

menjadi acuan yaitu 125 mL/menit, hal ini disebabkan karena sejumlah kecil

(5% sampai 10%) dari DTPA yang disuntikkan terikat dengan protein plasma.18
32

2. Agen Tersekresi di Tubulus

Technetium-99m-berlabel agen mercaptoacetyltriglycine (mertiatide atau

MAG3) adalah protein yang terikat dan dibersihkan secara dominan oleh tubulus

proksimal (95%) dengan filtrasi (kurang dari 5%). Keadaan seperti ini berlaku

juga pada radioiodinated (NaI- orthoiodohippurate). 99mTc-MAG3 dapat digunakan

untuk mengukur aliran plasma ginjal efektif (ERPF). Dosis yang diberikan adalah

10 sampai 20 mCi (370-740 MBq) pada orang dewasa.18

3. Agen Korteks Ginjal

Dua radiofarmaka yang umum digunakan untuk visualisasi parenkim ginjal


99m 99m
adalah Tc-dimercaptosuccinic acid (DMSA) dan Tc-glucoheptonate (GH).

Kedua agen ini berikatan dengan tubulus ginjal untuk memberikan pencitraan
99m
kortikal ginjal. Tc-DMSA merupakan agen pencitraan kortikal yang sangat

baik, dengan sekitar 40% dari dosis yang disuntikkan terkonsentrasi di korteks
99m
ginjal pada 6 jam dan sisanya diekskresikan perlahan. Tc-GH merupakan

karbohidrat beretanda radionuklida yang apabila dimasukan ke dalam tubuh, akan

dibersihkan oleh ginjal oleh filtrasi glomerulus dan tubulus ginjal. Pada citra awal

dimungkinkan untuk penilaian perfusi dan evaluasi collecting system ginjal dan

ureter. Sebanyak 10-15% dari dosis yang disuntikkan tetap terikat pada tubulus

ginjal, sedangkan sebanyak 40% akan dibuang melalui urin dalam 1 jam.

Sehingga pada 1-2 jam didapatkan gambar visualisasi yang sangat baik dari

korteks ginjal. Technetium- 99m glucoheptonate stabil dan dapat digunakan

hingga 5 jam setelah persiapan. Biasa diberikan sebanyak 10-20mCi(370-

70MBq).18
33

4. Pencitraan Ginjal
99m
Pencitraan radionuklida dengan agen Tc-label menyediakan gambaran

anatomi, fungsional, dan informasi patensi kolekting sistem. Pencitraan mungkin


99m
cukup dilakukan pada kebanyakan pasien dengan menggunakan Tc-MAG3 atau
99m
Tc-DPTA. Pencitraan fungsional dari ginjal dibagi menjadi penilaian aliran

darah, parenkim, dan ekskresi.18

1. Pencitraan Perfusi Ginjal

Evaluasi aliran darah dan fungsi ginjal dilakukan dari proyeksi posterior,

sedangkan pada transplantasi aliran darah dan fungsi dilakukan dari proyeksi

anterior. Biasanya, radiofarmaka disuntikan dalam secara bolus kecil, yaitu 10

sampai 20 mCi (370 - 740 MBq melalui vena di antecubiti. Pencitraan perfusi

ginjal dilakukan secara dinamik setiap 1 sampai 5 detik, tergantung pada

instrumentasi yang tersedia. Radiofarmaka akan mencapai ginjal sekitar 1 detik

setelah bolus sampai di aorta abdominal melewati arteri ginjal. Kurva waktu-

aktivitas mencerminkan perfusi ginjal selama menit pertama dapat dihasilkan

dengan menggambarkan daerah aorta dan masing-masing ginjal. Masing-masing

dari kurva ginjal kemudian dapat dibandingkan dengan kurva waktu-aktivitas

aorta abdominal untuk menilai perfusi ginjal relatif.18

2. Pencitraan Fungsi Ginjal

Pada tahap akhir perfusi ginjal, pencitraan untuk fungsi ginjal dimulai.

Evaluasi gambar meliputi anatomi ginjal dan posisi, simetri dan kecukupan
34

99m
fungsi, dan patensi collecting sistem. Dengan Tc-MAG3, gambaran aktifitas

parenkim maksimal terlihat pada 3 sampai 5 menit, kemudiang memasuki

kolekting sistem dan kandung kemih pada 4 sampai 8 menit.18

3. Pencitraan anatomis (korteks ginjal)

Pencitraan korteks ginjal biasanya dilakukan untuk evaluasi lesi desak ruang,

pseudotumor fungsional seperti cortical columnsof Bertin, trauma ginjal, edema

atau scarring, yang berkaitan dengan pyelonephritis akut atau kronik, terutama
99m
pada anak. Gambaran korteks ginjal ini biasanya menggunakan Tc-DMSA atau

glucoheptonate dan menggunakan pin hole atau high-resolution collimator, atau

single-photon emission computed tomography (SPECT).18

2.1.5.3 Renografi

Renogram merupakan sebuah kurva waktu-aktivitas yang merepresentasikan

penyerapan dan ekskresi radiofarmaka oleh ginjal. Informasi yang ditampilkan

dari saat injeksi hingga sekitar 20 sampai 30 menit setelah injeksi.18

Kurva renogram normal yang menggunakan radiofarmaka tubular terdiri dari

tiga tahap:18

1. Perfusi ginjal awal, atau fase transit vaskular, berlangsung sekitar 30

sampai 60 detik dan merupakan awal masuknya radiofarmaka di setiap

ginjal.
2. Fase kedua adalah fase konsentrasi kortikal atau tubular dari transit

parenkim awal. Fase ini terjadi selama 1 sampai 5 menit dan berisi puncak

kurva.
35

3. Fase ketiga adalah fase pembuangan atau ekskresi, yang merupakan

penurunan dari kurva dan disebabkan oleh ekskresi radiofarmaka dari

ginjal dan pembuangan dari sistem kolektivus.

Gambar 2.7. Renogram Ginjal Normal(18)


99m
Data yang dapat diperoleh dari renogram menggunakan Tc-MAG3

mencakup sebagai berikut:18

- Waktu untuk mencapai aktivitas puncak kurva. Normal adalah sekitar 3

sampai 5 menit.
- Rasio relatif serapan ginjal pada 2 sampai 3 menit. Ini merupakan indeks

relatif fungsi ginjal antara kedua ginjal. Aktivitas di setiap ginjal harus sama,

idealnya 50%. Nilai 40% atau kurang pada satu ginjal harus dianggap

abnormal.
- Waktu paruh ekskresi adalah waktu yang ditempuh untuk mencapai setengah

dari aktivitas puncak. Normalnya adalah sekitar 8 sampai 12 menit.


- Retensi diferensial kortikal pada 15 menit. Persentase aktivitas retensi sekitar

15 menit setelah injeksi di setiap ginjal harus relatif sama. Perbedaan 20%

atau lebih harus dianggap abnormal.


36

- Rasio hitungan 20 menit ke puncak. Ini merupakan aktivitas yang diukur

dalam setiap ginjal pada 20 menit dan dinyatakan sebagai persentase dari

aktivitas puncak kurva. Karena fungsi ginjal memburuk, transit radiofarmaka

di ginjal akan tertunda sehingga kurva renogram menjadi abnormal, yang

dapat diukur secara kuantitatif dengan menggunakan indeks ini. Pada keadaan

tidak adanya retensi pelvikalises, atau jika hanya cortical region of interest

yang digunakan, rasio kortikal 20 menit maksimal yang normal untuk

99mTc-MAG3 kurang dari 0,3 (atau 30%).

Gambar 2.8. Kurva Renogram


37

Gambar 2.9. Kurva Tipikal Renogram18

2.1.5.5 Kuantisasi Fungsi Ginjal

Penilaian kuantitatif fungsi ginjal dengan menggunakan teknik radionuklida

merupakan bagian penting dari nefrologi nuklir dan secara rutin dilakukan dalam

berbagai keadaan klinis. Karena sampai setengah dari fungsi ginjal, termasuk

LFG, mungkin hilang sebelum kadar kreatinin serum menjadi normal, pengukuran

langsung LFG dan ERPF dengan menggunakan radiofarmasi memainkan peranan

penting dalam penilaian fungsi ginjal.18

Radiofarmaka analog untuk perhitungan clearance adalah total radiofarmaka

99mTc-DTPA untuk inulin clearance dan estimasi LFG, dan 99mTc-MAG3, yang

terutama disekresi oleh tubulus, untuk PAH clearance and ERPF.18

Indeks yang terakhir adalah PAH clearance, dikatakan efektif karena

radiofarmaka yang digunakan mendekati perkiraan, tapi tidak sama. Dua metode

dominan dalam menentukan LFG dan ERPF adalah: (1) sample-based clearance,

yang lebih lambat namun lebih akurat, dan (2) camera-based clearance, yang

tidak memerlukan sampling plasma atau urin.18

2.1.5.6 Plasma-Sample Based Clearance

Pengukuran ini biasanya didapatkan dengan menentukan level radiofarmaka

dalam plasma pada waktu tertentu, walaupun beberapa teknik memerlukan

pengumpulan urine. Untuk tubular agents seperti 99mTc-MAG3, ERPF dapat

diestimasi dengan sampel darah 45 menit setelah injeksi. Karena glomerular agent

99mTc-DTPA dibersihkan lebih lambat dari pada tubular agents, sampel plasma

didapatkan 60 dan 180 menit setelah injeksi. Jumlah aktivitas dalam darah adalah
38

ukuran aktifitas yang belum dibersihkan oleh mekanisme ginjal dan berarti

merupakan pengukuran tidak langsung dari aktivitas yang sudah dibersihkan.18

2.1.5.7 Camera-Based Clearances

Perkembangan kamera gamma dan komputer telah mengembangkan metode

untuk memperkirakan LFG dan ERPF tanpa mengumpulkan sampel darah atau

urine. Walaupun camera-based tidak seakurat yang berdasar sampel plasma,

namun dapat direproduksi dan cukup dapat diandalkan untuk digunakan dalam

praktek klinis.18

Pengukuran fungsi ginjal dinyatakan sebagai MAG3 clearance, tidak

memerlukan estimasi ERPF, dapat dilakukan dengan teknik plasma sample-based

maupun camera-based. MAG3 clearance digunakan untuk mengikuti perjanan

penyakit ginjal dan telah terbukti berguna, dan nilai normalnya dapat ditentukan.

MAG3 clearance dan penentuan LFG berguna dan seakurat creatinine clearance

dalam menentukan fungsi ginjal.18

2.1.5.8 Aplikasi Klinis: Uropati obstruktif

Diagnosis obstruksi traktus urinarius dan penilaian fungsinya merupakan

indikasi umum untuk dilakukannya pemeriksaan pencitraan radionuklida pada

anak-anak maupun dewasa. Obstruksi dapat didiagnosis berdasarkan penemuan

klinis atau penemuan insidental berupa pelebaran sistem kolektivus pada

pemeriksaan CT, USG, ataupun pencitraan radionuklida. Teknik penitraan standar,


39

seperti ultrasonografi, dapat mengevaluasi struktur namun tidak dapat menilai

fungsi urodinamik.18

Agen radiofarmaka yang saat ini paling banyak digunakan adalah teknesium-

99m dietilenatriamina asam pentaacetic (99 mTc-DTPA). Agen ini diekskresikan

oleh filtrasi glomerulus dan tidak disekresikan atau diabsorbsi oleh tubulus ginjal.

Metode lain yang jauh lebih mahal adalah agen 99 Scan-mercaptoacetyl-triglyine

(MAG3), yang memberikan resolusi anatomi yang lebih baik, lebih efisien

diekskresikan oleh ginjal (glomerulus dan sekresi tubular), dapat digunakan dalam

kasus penurunan fungsi ginjal, dan memberikan dosis radiasi rendah sehingga

dapat menjadi agen pilihan.18

Penelitian ini melibatkan penyuntikan radioisotop dan pemantauan perjalanan

melalui saluran kemih atas. Penyerapan awal ginjal dapat diukur dan

menunjukkan fungsi unilateral. Klirens dari agen radiofarmaka dari pelvis ginjal

dengan T1 / 2 dari <15 menit dianggap normal, antara 15 sampai 20 menit adalah

samar-samar dan T1 / 2 > 20 menit menunjukkan obstruksi. Lasix (1 mg / kg)

kemudian diberikan setelah sekitar 20 menit ke dalam studi jika washout muncul

tertunda. Hal ini disebut sebagai F + 20 teknik renografi diuretik. Akumulasi

progresif meskipun pemberian furosemide menunjukkan obstruksi. Namun,

pengosongan cepat meskipun awal ekskresi tertunda menunjukkan dilatasi tanpa

obstruksi (obstruksi fungsional). Respon ekskretoris parsial mungkin

menunjukkan baik obstruksi parsial atau disfungsi ginjal dengan ketidakmampuan

untuk merespon terhadap diuretik. Ini dapat dibedakan dengan teknik F-15

renografi diuretik yaitu dengan pemberian diuretik 15 menit sebelum agen


40

radiofarmaka. Respon terhadap diuretik karena respon yang buruk untuk diuretik

dalam teknik F+20, akan dikonversi ke respon washout dalam teknik F-15. Baru-

baru ini penelitian telah menunjukkan tidak ada perbedaan pada pola renogram

dari F+0 (memberikan diuretik dan radiofarmaka bersama-sama) dan investigasi

F-15. Karena F + 0 studi lebih praktis dan lebih pendek, F + 0 metode yang

disarankan saat hasil samar-samar diperoleh dengan studi F + 20 atautes tunggal

ketika hanya ada satu kesempatan untu kmengkonfirmasi atau menyingkirkan

adanya obstruksi.18

2.1.5.9 Pencitraan dan Renografi Fungsional Rutin

Pada obstruksi akut tingkat tinggi, pencitraan radionuklida fungsi renal

memperlihatkan penurunan perfusi renal. Renogram akut atau subakut obstruksi

tingkat tinggi yang klasik berupa gambaran peningkatan lengkung kurva yang

kontinyu tanpa terlihat cekungan ke bawah dari fase ekskresi. Pada obstruksi

tingkat tinggi yang lama, tidak ada perfusi atau fungsi ginjal yang terlihat dan

kurva renogram terlihat datar.18


41

Gambar 2.10. Renogram Pada Obstruksi Saluran Kemih18

Sama halnya dengan pencitraan anatomi, bagaimanapun, renografi rutin tidak

dapat membedakan antara dilatasi collecting system akibat obstruksi dengan

hidronefrosis yang bersifat non obstruktif, sehingga manajemen yang tepat dapat

dilaksanakan sebelum kerusakan ginjal yang signifikan terjadi. Didalam kondisi

tersebut, renografi diuretik menyediakan metode noninvasif untuk membedakan

dilatasi collecting system yang disebabkan oleh true obstruction dengan yang

sekunder.18

1. Obstruksi Ureteropelvic Junction

Obstruksi UPJ dapat berupa ekstrinsik ataupun intrinsik, dan kedua kondisi ini

dapat saja terjadi pada pasien yang sama. Obstruksi ekstrinsik biasanya
42

disebabkan oleh berkas adventisia yang menekan ureter bagian atas. Biasanya,

jenis obstruksi ini intermiten dan terjadi oleh karena peningkatan diuresis, yang

melebarkan pelvis dan meningkatkan tekanan konstriktif berkas adventisia.

Seperti bisa diduga, penelitian tekanan aliran pelvis ginjal tidak linier dalam

kondisi ini. Lebih penting lagi, renogram diuretik mungkin keluar hasil negatif

jika diuresis memadai, yaitu, dilatasi memadai pada pelvis, tidak tercapai karena

dehidrasi, dosis diuretik yang tidak memadai, waktu pemberian diuretik yang

tidak tepat, atau disfungsi ginjal.

Obstruksi intrinsik dapat terkait dengan penyempitan luminal pada segmen

ureter bagian atas, atau pada segmen adinamik. Jenis obstruksi ini umumnya

menunjukkan hubungan tekanan-aliran linear, dan meskipun dianggap "tetap",

obstruksi yang terjadi belum tentu permanen dan tidak selalu menyebabkan

kerusakan ginjal yang progresif.

2. Hidronefrosis

Hidronefrosis dapat diakibatkan obstruksi atau kondisi non-obstruktif seperti

refluks vesicoureteral, dysmorphism kongenital, dan infeksi saluran kemih. Ia

dapat terjadi sementara dengan resolusi spontan pada bayi dan anak-anak, atau

intermiten, atau progresif yang akhirnya akan menjadi stabil. Variabilitas tersebut

berkaitan dengan etiologi multifaktorial dari hidronefrosis. Faktor-faktor ini

meliputi:

1. Penyesuian dan kapasitas pelvis ginjal, yang menentukan tekanan

intrapelvic.
2. Fungsi ginjal, yang menentukan laju aliran urin.
3. Tingkat obstruksi.
43

Perkembangan atau stabilisasi pada hidronefrosis tergantung pada derajat

keseimbangan antara faktor-faktor ini. Tekanan di dalam pelvis renalis, meskipun

tidak terukur oleh renography diuretik, merupakan komponen penting pada

patogenesishidronefrosis dan disfungsi ginjal. Studi aliran tekanan menunjukkan

bahwa pelvis pada awalnya terisi saat tekanan rendah sampai volume kritis

("kapasitas") tercapai, setelahnya tekanan panggul akan meningkat. Pada

perkembangan selanjutnya, hidronefrosis cenderung mengurangi tekanan pelvis.

Pelvis berkapasitas rendah lebih cenderung memiliki tekanan pelvis yang lebih

tinggi pada hidronefrosis yang progresif. Dalam kejadian ini, atrofi kortikal pada

akhirnya terjadi, dengan menurunkan pembentukan urin dan penurunan tekanan

panggul

Gambar 2.11. Renogram Pada Obstruksi18

2.1.5.10 Diuretik Renography

Renography diuretik merupakan pemeriksaan yang penting untuk membedakan

antara hidronefrosis obstruktif dan dilatasi collecting system nonobstruktif yang

disebabkan oleh vesicoureteral refluks, infeksi saluran kemih, cacat bawaan,

riwayat obstruksi, atau non compliant bladder. Renography diuretik dapat


44

mengevaluasi kedua fungsi ginjal (obstruktif nefropati) dan Urodinamik

(hidronefrosis) dalam tes tunggal.18

Pada pasien dengan hidronefrosis non-obstruktif dan / atau hidroureter yang

disebabkan vesicoureteral refluks, riwayat obstruksi, atau Gangguan

ureteropelvic fungsional, dilatasi system collecting dapat terisi tetapi tidak

mencapai tekanan yang cukup untuk "membuka" ureteropelvic junction yang

memungkinkan urin mengalir dalam kondisi normal.18

Pada obstruksi anatomi yang bersifat menetap diuretic tidak dapat

memperbaiki keadaan ini. Pada saat melakukan manuver ini, data urodinamik

diuretic dan diferensiasi anatomi dari fungsi abnormal harus diperhatikan. Waktu

pemberianinjeksi furosemide sangat penting. Penglihatan pada waktu itu juga

pada ekskresi renal terlihat pada saat system collecting penuh. Ini biasanya terjadi

kira-kira 15-20 menit setelah penyuntikkan radiofarmaka, tetapi dapat terlambat

pada ginjal hidronefrosis. Pada saat itu injeksi furosemide intravena,40 mg pada

dewasa dan 1 mg/kgbb pada anak-anak. Maksimum 40 mg pada anak dapat

dimasukkan. Dosis yang lebih besar sampai dengan maksimum 80 mg dapat

diberikan pada pasien dengan kelainan fungsi ginjal. Respon terhadap furosemide

biasanya dimulai dalam 2-5 menit setelah penyuntikkan dan diuresis maksimal

biasanya tercapai kurang dari 15 menit setelah penyuntikkan.18

Pada kasus obstruksi mekanik yang signifikan,terdapat penurunan yang sangat

kecil pada aktivitas system collecting ginjal setelah pemberian furosemide.

Peningkatan kurva renogram terjadi sangat kecil dan tidak bermakna.18


45

Gambar 2.12. Tes Furosemide pada Ginjal Normal18

Gambar 2.13. Tes Furosemide Pada Dilatasi Anatomis18

Gambar 2.14. Tes Furosemide pada Obstruksi Total18

Faktor yang dapat menyebabkan gambaran false positif dari obstruksi mekanik

atau yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan antara lain :18

- Rehidrasi yang buruk menyebabkan respon diuretik kurang baik.


- Fungsi renal yang buruk terjadi pada saat tidak adanya respon diuretik
46

- Pelvis renal yang kaku menyebabkan peningkatan resistensi dari aliran urine

sejalan dengan peningkatan volume urine.


- Tekanan pengisian yang tinggi pada kandung kemih yang terjadi pada non-

compliant bladder, yang akan mempengaruhi washout dari saluran kencing

atas
- Pelvis renal yang over compliant. Selama respon diuretic, peningkatan aliran

urine tidak akan mencukupi untuk mengisi reservoir yang besar tanpa washout

yang adequate. Hal ini mnyebabkan peningkatan kurva renogram.


- Volume hidronefrotik yang besar khususnya pada saat fungsi menghilang.

Dengan adanya peningkatan volume pada system, respon diuretic yang lebih

besar dibutuhkan untuk membersihkan system tersebut. Ini biasa disebut

dengan efek reservoir.

Gambar 2.15. Renogram Ginjal yang Dapat Diatasi oleh Injeksi


Furosemide18

2.2 Kerangka Pemikiran

Obstruksi uropati dapat terjadi ketika aliran urin tersumbat pada beberapa

titik di saluran kemih, dan urin terakumulasi di atas tempat yang mengalami
47

obstruksi yang menyebabkan hidronefrosis, yang merupakan pelebaran dari

pelvis ginjal dan kaliks. Kerusakan parenkim ginjal yang disebabkan oleh kondisi

ini sering mengarah ke 'obstructive nephropathy' yang akan berpengaruh pada

penurunan fungsi ginjal. Tidak seperti banyak penyakit ginjal lainnya, obstructive

uropathy dapat diperbaiki apabila ditangani lebih awal. Hidronefrosis pada

obstruktif uropati dapat ditangani oleh prosedur nefrostomi, yaitu prosedur

diversi urin dengan cara memasukkan selang nefrostomi dari kulit ke system

pelvokalises. Urin yang dihasilkan dari ginjal akan ditampung melalui selang

nefrostomi ke kantung penampungan urin.

LFG merupakan petunjuk terbaik fungsi ginjal dan mampu menggambarkan

jumlah dan fungsi nefron yang utuh. Pengukuran kecepatan filtrasi glomerulus

menggunakan substansi yang disaring secara bebas pada glomerulus dan tidak

terekskresi secara ekstensif atau terabsorbsi kembali oleh tubulus.

Kreatinin merupakan zat endogen yang diproduksi cukup konstan, berasal

dari metabolisme skeletal dan sebagian besar dibuang melalui filtrasi glomerular.

Bersihan kreatinin selama 24 jam yang dibandingkan dengan kreatinin plasma

dapat mewakili LFG dan merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk

mengukur fungsi ginjal. Nilai LFG dari bersihan kreatinin urin 24 jam dapat

dihitung dengan cara menilai kreatinin plasma, kreatinin urin, dan jumlah urin

yang dikumpulkan dalam jangka waktu 24 jam. Bersihan kreatinin urin selama 24

jam yang ditampung dari produksi selang nefrostomi satu sisi ginjal dapat

mewakili LFG satu sisi ginjal tersebut.


48

Standar baku emas pengukuran fungsi ginjal adalah dengan menggunakan

metode nuklir, yaitu dengan renografi Tc-99m-DTPA atau Tc-99m MAG3.

Metode ini dapat dilakukan tanpa mengambil sampel darah maupun urin, juga

merupakan suatu teknik yang dapat diaplikasikan oleh karena teknik yang

sederhana dan waktu yang singkat. Kelebihan lainnya adalah dapat mengukur

split renal fuction (pengukuran fungsi ginjal terpisah) yang tidak dapat diukur

dengan metode lainya. Hal ini memberi keuntungan pada dokter ahli urologi

untuk mengetahui fungsi ginjal yang tersisa akibat penyakit obstruksi pada salah

satu ginjal.

Berdasarkan uraian diatas maka disusun suatu skema kerangka pemirkiran

sebagai berikut:

Pasien dengan obstructive urophaty

Penurunan fungsi ginjal

Dilakukan Nefrostomi

Bersihan Kreatinin Urin dari Renografi Kamera


nefrostomi Gamma

Analisis perbedaan nilai LFG


anatara kedua pemeriksaan

2.3 Premis
49

Premis 1 : Pengukuran fungsi ginjal dengan penilaian LFG dapat dilakukan

dengan metode bersihan kreatinin 24 jam 13,18

Premis 2 : Pengukuran split renal function dengan penilaian LFG dapat

dilakukan dengan pemeriksaan renogram camera-based 99m Tc-DTPA16,18,19,20

Premis 3 : Obstruksi total ginjal unilateral menyebabkan penurunan fungsi

ginjal pada ginjal yang terobstruksi 1,4,5,11

Premis 4 : Pembebasan obstruksi pada ginjal yang mengalami obstruksi total

dapat memperbaiki fungsi ginjal 1,4,14,20

Premis 5 : Penilaian fungsi ginjal dengan metode bersihan kreatinin urine 24

jam mendekati nilai pemeriksaan dengan metode renogramcamera-based 99m Tc-

DTPA 18,19

2.4 Hipotesis

Berdasarkan premis-premis diatas, maka dirumuskan hipotesis sebagai

berikut: Tidak terdapat perbedaan antara hasil LFG yang diukur dengan metode

bersihan kreatinin urin 24 jam dari ginjal yang telah dilakukan tindakan

nefrostomi perkutan dengan metode renografi kamera gamma.

Daftar Pustaka
50

1. Abouassaly R, Abrams P, Adams MC, Agarwal A, Allaf ME, Anderson JK.

Campbell-Walsh urology. 10 ed: Elsevier; 2012.

2. Gilbert SJ, Weiner DE, Gipson DS, Perazella MA, Tonelli M. National

Kidney Foundations Primer on Kidney Diseases. 6 ed. Philadelphia:

Elsevier; 2014.

3. S. K. Obstructive Nephropathy. Kidney Int. 1988;54:286-300.

4. Johnson RJ, Feehally J, Floege J. Comprehensive Clinical Nephrology. 5 ed:

Elsevier; 2015.

5. Abol-Enein H, Abreu ALdC, Alrabeeah K, Angermeier KW. Glenns

Urologic Surgery. 8 ed: Wolters Kluwer; 2016.

6. Antignac C, Bonsib SM, Brodsky SV, Cohen AH. Heptinstall Pathology of

the Kidney. 7 ed: Wolters Kluwer.

7. Guyton, Hall. Textbook of Medical Physiology. 12 ed: Elsevier; 2011.

8. Hamed MAG. Assessment Of The Individual Renal Function In Chronic

Unilateral Renal Obstruction Using Functional Ct As Compared To 99m Tc

-Dtpa Renal Scan. Iran J Nucl Med. 2014;22(2):57-63.

9. Netter FH. The Netter Collection Of Medical Illustrations Urinary System. 2

ed: Elsevier.

10. Loo MH, Felsen D, Weisman S, Marion DN, Vaughan ED. Pathophysiology

Of Obstructive Nephropathy. World journal of urology. 1988;6:53-60.

11. McAninch JW, Lue TF. Smith & Tanaghos General Urology. 18 ed. United

States: Mc Graw Hill Medical; 2013.


51

12. Ames CD, Older RA. Imaging In Urinary Tract Obstruction. Brazilian

Journal of Urology. 2001;27(4):316-25.

13. Abrams P, Adams MC, Ahmed HU, Allaf ME, Andersson K-E. Campbell-

Walsh Urology. 11 ed. Philadelphia: Elsevier; 2016.

14. Buranakarl C, Kijtawornrat A, Nampimoon P, Chaiyabutr N, Bovee KC.

Comparison Of Measurements Of Glomerular Filtration Rate Using Single-

Injection Inulin Methods And Urinary Creatinine Clearance In Dogs With

Reduced Renal Blood Flow Thai Journal Of Physiological Sciences

2003;16:9-16.

15. Al-Hayek S, Arumainayagam N, Cottrell AM, Hotston M, Jefferson K. An

Atlas Of Investigation And Diagnosis Urology: Atlas Medical Publishing;

2009.

16. Florijn KW, Barendreg JNM, Lentjes EGWM, Dam WV, Prodjosudjad W.

LFGmeasurement by "single-shot" Injection of inulin. Kidney

International, . 1994;46:2529.

17. Purnomo B. Dasar-Dasar Urologi. 3 ed: Sagung Seto; 2011.

18. Mettler FA, Guiberteau MJ. Essentials of Nuclear Medicine Imaging. 6 ed:

Elsevier; 2012.

Anda mungkin juga menyukai