Anda di halaman 1dari 79

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diversi urin merupakan tindakan pengalihan aliran urin yang dilakukan

dalam berbagai macam indikasi. Tindakan bedah ini bertujuan untuk menjaga

saluran kemih dan mengalirkan urin ke luar tubuh. Perkembangan dari tindakan

diversi urin cukup pesat seiring berjalannya waktu selama lebih dari 100 tahun

sejak tindakan diversi urin pertama kali oleh Jon Simon pada tahun 1852. Secara

umum, diversi urin dilakukan apabila kondisi kandung kemih menjadi ancaman

serius untuk kelangsungan dan kualitas hidup pasien dalam jangka panjang,

yaitu pada pasien dengan karsinoma kandung kemih, karsinoma uretra,

karsinoma kolorektal, maupun kanker pada ginekologi. Untuk beberapa kondisi,

diversi urin dilakukan pada penatalaksanaan medis, hidronefrosis, inkontinensia

urin refrakter dan pemakaian kateter yang permanen[ CITATION Met10 \l 1057

\m Spe18].

Diversi urin dapat dibagi menjadi dua golongan utama, yaitu kontinen dan

non kontinen. Diversi urin non kontinen yang paling sering dilakukan adalah ileal

dan colon conduit. Diversi urin dengan cara Ileal dan colon conduit dilakukan

dengan memanfaatkan segmen usus (ileum distal dan kolon) yang secara pasif

mengalirkan urin dari traktus urinarius atas menuju dinding abdomen dan keluar

melalui urostomi eksternal. Prosedur ini sering dilakukan karena relatif mudah,

memiliki tingkat komplikasi rendah, waktu operasi singkat, serta menghentikan

kebutuhan pemakaian kateter sehingga menjadi pilihan untuk pasien dengan

gangguan fisik dan mental, usia lanjut, serta tidak mampu melakukan perawatan

mandiri terhadap kateterisasi. Kerugian utama dari ileal dan colon conduit adalah

adanya stoma dan urostomi eksternal yang menurunkan citra tubuh pasien

1
[ CITATION Dan11 \l 1057 \m Gor06 \m Lee14 \m Spe18] . Bentuk diversi urin

non kontinen yang lain diantaranya pemasangan kateter uretra, percutaneous

suprapubic cystotomy, cutaneous vesicostomy, cutaneous ureterostomy, dan

percutaneous nephrostomy [ CITATION Col10 \l 1057 \m Far04 \m Ric03 \m

Met10].

Diversi urin kontinen meliputi nonorthotopic reservoirs dan orthotopic

reservoirs. Prosedur orthotopic reservoirs atau biasa disebut dengan orthotopic

neobladders dilakukan dengan cara membuat sebuah reservoir yang berasal dari

segmen usus, kemudian dihubungan ke saluran uretra proksimal, sehingga tidak

membuat saluran stoma. Keuntungan tindakan ini adalah baik secara kosmetik,

mirip dengan anatomis dan fungsi saluran kemih normal. Prosedur ini lebih

sering dilakukan pada usia muda yang memelihara penampilan fisik. Namun,

teknik operasi lebih sulit dan kompleks, waktu operasi lebih lama, kompikasi

tinggi, dan kateterisasi mandiri pasca operasi yang berkepanjangan [ CITATION

Gor06 \l 1057 \m Spe18 \m Zla16 \m Lee14]. Nonorthotopic reservoirs pada

awalnya sangat bervariasi dalam hal teknik dan segmen usus yang digunakan.

Teknik terus dikembangkan dan saat ini lebih dikenal dengan continent

cutaneous reservoir.

Menurut laporan dari Urologic Diseases in America Project (2010) di antara

27.494 pasien yang menjalani sistektomi radikal antara 2001 dan 2005, 4539

(16,5%) menjalani continent cutaneous reservoir dan 22955 (83,5%) menjalani

ileal conduit. Lowrance, et al. (2009) menunjukkan bahwa Orthotopic Neobladder

menyumbang 47% dari semua metode diversi urin pada tahun 2000 dan hanya

21% pada tahun 2005. Demikian juga, studi oleh Manoharan, et al, (2009)

menunjukkan semua pasien yang menjalani sistektomi radikal antara 1992 dan

2007 di departemen urologi di Miami, Florida, 56% menjalani Ileal Conduit dan

2
41% menjalani Orthotopic Neobladder. Begitu juga dengan penelitian pada

populasi di Jerman oleh Bader, et al, (2009) menunjukkan bahwa Ileal Conduit

sebagai metode yang dipilih sebanyak 64% dari keseluruhan kasus setelah

dilakukan sistektomi. Hal ini berlawanan dengan yang dilaporkan oleh anggota

Consensus Conference on Bladder Cancer and the Societe´Internationale

d’Urologie tahun 2007 mencakup 7000 pasien dari 13 departemen urologi. Dalam

laporan ini, Orthotopic neobladder menyumbang 47% dan ileal conduit

menyumbang 33%. Studi tersebut juga menunjukkan bahwa metode selain ileal

conduit dan orthotopic neobladder hanya sedikit digunakan di sebagian besar

departemen urologi, yaitu anal diversion (10%), continent cutaneous diversion

(8%), and incontinent cutaneous diversion (2%) [ CITATION Hau07 \l 1057 ].

Mengingat keragaman pilihan yang tersedia untuk diversi urin, para ahli

bedah harus memutuskan prosedur mana yang akan dilakukan berdasarkan

pada skenario klinis, faktor terkait pasien, dan dampak pada kualitas hidup

pasien [ CITATION Dan11 \l 1057 ]. Penulis menyadari bahwa setiap pilihan

tindakan diversi urin pasti memiliki kelebihan dan kerugiannya, serta komplikasi-

komplikasi yang menyertai. Referat ini dibuat untuk membantu menjelaskan

mengenai metode diversi urin baik secara definisi, indikasi, kontraindikasi,

tatalaksana, hingga komplikasinya agar dapat meningkatkan patient safety saat

menangani pasien serta menambah pengetahuan bagi kita semua, khususnya

bagi peserta Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Urologi.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apakah definisi dan klasifikasi diversi urin?

1.2.2 Bagaimana seleksi pasien untuk menjalani diversi urin?

1.2.3 Bagaimana prosedur masing-masing diversi urin?

1.2.4 Apa saja indikasi dan kontraindikasi masing-masing diversi urin?

3
1.2.5 Apa saja komplikasi dari tindakan diversi urin?

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Mengetahui definisi dan klasifikasi diversi urin

1.3.2 Mengetahui prosedur seleksi pasien yang akan menjalani diversi urin

1.3.3 Mengetahui prosedur masing-masing diversi urin

1.3.4 Mengetahui indikasi dan kontraindikasi diversi urin

1.3.5 Mengetahui komplikasi dari tindakan diversi urin

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Klasifikasi Diversi Urin

Diversi urin didefinisikan sebagai prosedur pengalihan urin dari saluran

kemih, dan dapat diklasifikasikan menjadi diversi urin non kontinen dan diversi

urin kontinen. Diversi urin non kontinen memungkinkan aliran urin bebas ke luar

tubuh dan dikumpulkan ke dalam alat urostomi eksternal. Sedangkan pada

diversi urin kontinen, dikaitkan dengan pembuatan reservoir urin yang akan

dikosongkan dengan kateterisasi intermiten untuk mengeluarkan urin (Metcalfe

dan Cain, 2010). Metode yang ideal dari diversi urin harus memenuhi syarat-

syarat berikut, yaitu memiliki kemiripan dengan buli yang normal, tidak terjadi

refluks, bertekanan rendah, dan bersifat non absorbtif (Spencer, et al, 2018).

Bentuk diversi urin non kontinen diantaranya kateterisasi urin,

percutaneous suprapubic cystotomy, cutaneous vesicostomy, cutaneous

ureterostomy, percutaneous nephrostomy, Ileal conduit dan colon conduit dan

incontinent ileovesicostomy [ CITATION Col10 \l 1057 \m Far04 \m Ric03 \m

Met10].

Diversi urin kontinen meliputi nonorthotopic reservoirs dan orthotopic

reservoirs. Nonorthotopic reservoirs pada awalnya sangat bervariasi dalam hal

teknik dan segmen usus yang digunakan. Teknik terus dikembangkan dan saat

ini lebih dikenal dengan continent cutaneous reservoir. Secara umum, continent

cutaneous reservoir dapat digolongkan ke dalam tiga kategori: reservoir yang

dibuat dari segmen ileum (Kock pouch), segmen colon, dan reservoir ileocecal

(Indiana pouch). Sedangkan orthotopic reservoirs atau biasa disebut dengan

orthotopic neobladder dilakukan dengan cara membuat sebuah reservoir yang

berasal dari segmen usus, kemudian dihubungan ke saluran uretra proksimal

5
sehingga tidak membuat saluran stoma berkepanjangan [ CITATION Gor06 \l

1057 \m Spe18 \m Zla16 \m Lee14].

2.2 Seleksi Pasien Untuk Diversi Urin

Keputusan penggunaan teknik didasarkan pada penyakit yang mendasari

dan metode yang dianggap optimal bagi fungsi ginjal, anatomi, keinginan

personal dari pasien, serta pertimbangan dari operator. Indikasi diversi urin

melibatkan skenario klinis di mana kandung kemih menjadi ancaman serius

untuk kelangsungan dan kualitas hidup pasien dalam jangka panjang (McAninch,

2020).

2.2.1 Faktor Terkait Pasien

2.2.1.1 Kontraindikasi Absolut

Satu-satunya kontraindikasi absolut untuk diversi urin kontinen adalah

fungsi ginjal yang buruk dan tidak adanya usus yang tersedia untuk dilakukannya

diversi. Umumnya, kadar kreatinin serum kurang dari 2 mg/dL atau laju filtrasi

glomerulus (eGFR) minimal 40-50 ml/m2/s dianggap sebagai syarat minimal yang

dapat diterima untuk diversi urin kontinen karena peningkatan beban asam yang

dihasilkan dari penyerapan dari pouch (Hautmann, et al, 2013).

Umumnya pasien yang menjalani radikal sistektomi mengalami

penurunan fungsi ginjal selama tahun-tahun disebabkan karena komplikasi

perioperatif, obstruksi, dan kemoterapi. Jenis diversi urin tidak berhubungan

langsung dengan penurunan fungsi ginjal. Dalam studi prospektif terhadap 484

pasien yang menjalani rekonstruksi ileal neobladder, sekitar 40% mengalami

penurunan eGFR setidaknya 10 poin pada 12 bulan dan 58% pada 3 tahun.

Namun, dalam studi tersebut kurva menjadi datar setelah 3 tahun. Hal ini

menunjukkan bahwa mungkin tidak ada efek diversi yang berkelanjutan (Skinner,

et al, 2015).

6
Pasien yang menjalani reseksi usus atau riwayat irritable bowel disease

(IBD) adalah kandidat yang buruk untuk diversi urin kontinen; irritable bowel

disease (IBD) dapat dipertimbangkan jika hanya mempengaruhi usus besar dan

pasien telah dalam remisi (Ashley dan Daneshmand, 2010).

2.2.1.2 Kontraindikasi relatif

Kontraindikasi relatif paling umum yang memerlukan pertimbangan ahli

bedah adalah komorbiditas dan kesehatan umum pasien. Usia tidak bisa

dianggap sebagai kontraindikasi karena ada faktor yang mempengaruhi dalam

fungsi fisik dan kognitif pasien pada usia berapa pun. Banyak laki-laki dan

perempuan di atas usia 75 memiliki fungsional yang baik dengan diversi ortotopik

dan kontinen, meskipun orang tua dengan diversi ortotopik memerlukan waktu

yang lebih lama untuk mendapatkan kembali kontinensia (Sogni, et al, 2008).

Pasien lanjut usia yang lemah dan sulit untuk beraktifitas mungkin tidak

mendapat manfaat dari jenis rekonstruksi ini. Pasien dengan disfungsi kognitif

yang signifikan atau yang membutuhkan bantuan dengan aktivitas kehidupan

sehari-hari dapat dilakukan dengan ileal conduit agar lebih mudah ditangani oleh

pengasuh (Skinner, 2017).

Pasien yang menjalani diversi urin kontinen harus bersedia dan mampu

melakukan kateterisasi mandiri melalui stoma. Masalah neurologis seperti

multiple sclerosis atau cedera tulang belakang dapat mempengaruhi pilihan

untuk dilakukannya diversi urin non kontinen (Skinner, 2017).

Pasien yang menjalani diversi ortotopik harus mau dan mampu

melakukan kateter sendiri, terutama wanita. Kurang dari 10% pasien pria yang

perlu melakukan kateter mandiri. Meskipun dapat dimengerti bahwa kebanyakan

pria ragu-ragu untuk mempelajari teknik itu, jarang seorang pria tidak dapat

melakukannya dengan sukses setelah dia menerima instruksi yang tepat

(Bartsch, 2014).

7
Meskipun sebagian besar wanita dapat melakukan kateterisasi mandiri,

hal ini dapat menjadi tantangan bagi wanita dengan obesitas atau kelainan

anatomi tubuh. Beberapa penyakit penyerta layak mendapat perhatian khusus

seperti pasien dengan fungsi jantung yang buruk, PPOK berat yang mungkin

tidak dapat mentolerir untuk dilakukan sistektomi dengan baik. Pasien dengan

sirosis tidak disarankan karena absorpsi amonia berlebih dari urin yang melalui

dinding usus dapat menyebabkan pasien mengalami gagal hati dekompensasi,

bahkan dengan ileal conduit. Penggunaan segmen sependek mungkin harus

digunakan, dan pengobatan alternatif seperti kemoradiasi harus dipertimbangkan

(Skinner, 2017).

Riwayat Radiasi dosis tinggi merupakan kontraindikasi relatif untuk diversi

ortotopik. Jumlah jaringan parut di sekitar uretra dan kerusakan pada area

sfingter tergantung pada dosis dan bidang radiasi yang diterapkan. Radiasi

prostat dosis tinggi pada pria dan radiasi serviks pada wanita tampaknya menjadi

penyebab kerusakan pada area sfingter eksternal dan uretra proksimal. Pasien

yang mengalami gangguan saluran kemih ortotopik atau diversi urin kontinen

setelah radiasi pelvis memiliki tingkat striktur di daerah anastomotik yang lebih

tinggi, striktur ureter, dan inkontinensia serta komplikasi usus seperti kebocoran

anastomosis (Eisenberg, 2010).

Pria dengan striktur uretra berat dan wanita dengan stress inkontinensia

merupakan kandidat yang buruk untuk dilakukan diversi ortotopik. Pasien dengan

disfungsi kandung kemih neurogenik harus menjalani tes urodinamik untuk

menetapkan kompetensi dan kontrol atas sfingter uretra sebelum

mempertimbangkan diversi ortotopik (Skinner, 2017).

2.2.2 Faktor Terkait Kanker

Ada beberapa faktor terkait kanker yang merupakan kontraindikasi

absolut atau relatif untuk diversi ortotopik. Kontraindikasi utama untuk diversi

8
ortotopik adalah adanya karsinoma urothelial di saluran uretra. Stein

mengevaluasi 768 pria yang menjalani sistektomi tanpa uretrektomi dan

menemukan risiko kekambuhan uretra secara keseluruhan sebesar 7% pada 5

tahun dan 9% pada 10 tahun. Waktu rata-rata kekambuhan adalah 2 tahun.

Risiko meningkat dari 5% tanpa keterlibatan prostat pada patologi akhir hingga

18% untuk pria dengan invasi stroma prostat (Stein et al, 2005). Djaladat dkk.

mencatat bahwa invasi stroma prostat sangat terkait dengan invasi pada kelenjar

getah bening. Pada 1553 pasien laki-laki yang menjalani sistektomi, invasi

stroma prostat ditemukan pada 156, dan 62% dari mereka juga memiliki nodus

positif. Dari 33 pria dengan penyakit pT4aN0 yang menjalani rekonstruksi

neobladder, kekambuhan uretra terdeteksi hanya dalam 2 (6%) (Djaladat et al,

2013).

2.2.3 Pengambilan Keputusan Bersama

Untuk pasien dengan kontraindikasi absolut terhadap diversi urin

kontinen, ileal conduit atau ureterokutaneostomi menjadi pilihan. Untuk pasien

lainnya, ada beberapa langkah dalam proses pengambilan keputusan bersama.

Langkah pertama adalah edukasi untuk pasien dan keluarga mengenai pro dan

kontra dari setiap jenis diversi. Setiap jenis diversi membutuhkan adaptasi gaya

hidup dalam beberapa bulan pertama setelah operasi. Sebagian besar penelitian

menunjukkan komplikasi awal yang sama untuk ketiga jenis diversi, tetapi

terdapat perbedaan yang spesifik masing-masing diversi pada komplikasi lebih

lanjut (Hautmann et al, 2015).

Kedua, pasien dan keluarga membutuhkan bantuan untuk

mengidentifikasi prioritas dan toleransi mereka sendiri terhadap kerugian dari

setiap jenis diversi. Hal ini membutuhkan beberapa diskusi dari waktu ke waktu.

Diskusi antara pasien, keluarga dan dokter sangat membantu dalam

pengambilan keputusan. Informasi mengenai komplikasi yang dapat terjadi pada

9
masing-masing diversi seperti kebutuhan untuk kateterisasi mandiri untuk diversi

urin kontinen dapat membantu (Kim et al, 2013).

Tabel 2.1 Keuntungan dan Kerugian pada Masing-Masing Jenis Diversi Urin

Tipe Diversi Keuntungan Kerugian


Semua diversi  Drainase efektif  Mucous pada urin
 Terbuat dari usus  Sebagian besar terkolonisasi
pasien sendiri dengan bakteri
 Resiko terjadinya infeksi
 Resiko terbentuknya batu
saluran kemih
 Striktur Ureteral
 Kompikasi metabolik
Ileal conduit  Paling  Harus menggunakan
sederhana, cepat reservoir eksternal pada kulit
untuk dilakukan  Risiko terjadinya hernia
 Akrab bagi parastomal
sebagian besar  Masalah pada alat,
ahli bedah kebocoran urin, iritasi kulit
 Mudah dirawat  Stenosis stoma
oleh orang lain
 Satu-satunya
pilihan jika fungsi
ginjal buruk
Diversi urin  Kering dengan  Operasi yang jauh lebih lama
kontinen cepat  Katerisasi mandiri
 Mungkin bisa  Risiko masalah stoma
tidur sepanjang (kesulitan memasang kateter
malam atau kebocoran, sekitar 20%)
 Tidak ada alat  Banyak ahli urologi belum
eksternal mengetahui manajemen
penanganan komplikasi batu
dalam reservoir
orthotopic  Operasi yang  Terjadi Inkontinensia yang
neobladder sedikit lebih lama signifikan pada awalnya,
daripada conduit mungkin tidak sembuh
 Berkemih dari  Inkontinensia malam hari
uretra. biasa terjadi dalam jangka
 Tidak ada alat panjang
eksternal atau  Kebanyakan pasien memakai
stoma pembalut setidaknya untuk
beberapa waktu
 Memerlukan kateterisasi
mandiri (pria 10%, wanita >
50%)
 Dapat terbentuk batu
Neobladder (jarang terjadi)

Diambil dari Skinner, 2017.

10
2.2.4 Persiapan Pasien dan Konseling Pra Operatif

Persiapan pasien pra operasi meliputi (Colombo & Naspro, 2010):

1. Penggalian riwayat medis pasien harus dikumpulkan selengkap mungkin

khususnya pada riwayat pembedahan perut (misalnya reseksi usus) atau

pembedahan area panggul, riwayat radiasi, dan penyakit sistemik

(misalnya gagal ginjal, divertikulitis, enteritis regional, dan kolitis ulseratif)

yang sedang atau pernah diderita.

2. Pemeriksaan pra operasi lengkap termasuk pemeriksaan jantung, fungsi

ginjal dan hati, dan koreksi penyakit lain seperti hipertensi, aritmia jantung,

dan anemia

3. Pada traktus urinarius bagian atas dapat dilakukan pemeriksaan penunjang

berupa Ultrasonografi (USG), Intravenous Pyelography (IVP), Nuclear

Scan, Computed Tomography (CT; kontras dan non kontras) atau

Magnetic Resonance Imaging (MRI), untuk menegakkan kondisi

hidronefrosis, obstruksi, fibrosis pada parenkim ginjal, dan kemungkinan

adanya batu saluran kemih. Sedangkan pemeriksaan dengan kontras pada

sistem gastrointestinal atau kolonoskopi dapat menegakkan kondisi radiasi

usus, perdarahan samar saluran cerna, dan penyakit lainnya.

4. Pembersihan dengan enema dan antibiotik oral yang dimulai 1-2 hari

sebelum tindakan operasi. Hal ini diyakini dapat menurunkan resiko infeksi

pasca operasi (Maffezzini, et al, 2008).

5. Menandai lokasi stoma dan pasien harus menguji dan memakai alat

pengumpul urin definitif selama 1-2 hari sebelum operasi. Evaluasi ini

bertujuan untuk menilai subjektifitas pasien terhadap stomanya kelak.

Lokasi stoma paling populer adalah melalui otot musculus abdominis yang

terbukti akan mengurangi timbulnya hernia parastomal. Lokasi stoma yang

ideal adalah area yang bebas dari lipatan, lekukan, jauh dari lokasi insisi

11
sebelumnya, dan harus mudah terlihat oleh pasien agar pasien dapat

merawat stomanya sendiri dengan optimal. Pada pasien dengan obesitas

atau pasien dengan mesenterium yang pendek, stoma harus diletakkan

lebih dekat umbilikus atau diletakkan di kuadran kanan atas.

6. Menginformasikan sepenuhnya kepada pasien tentang risiko dan manfaat

terkait dengan prosedur diversi urin yang dipilih.

7. Memberikan waktu yang cukup kepada pasien untuk menyadari dampak

aspek sehari-hari yang terkait dengan prosedur diversi urin yang dipilih

sebelum menandatangani informed consent. Seringkali, perlu dilakukan

konseling pasien dan keluarga dengan bantuan psikolog atau oleh pasien

yang pernah menjalani prosedur yang sama.

2.2.5 Protokol Enhanced recovery after surgery (ERAS)

Pembedahan mayor menyebabkan respons stres fisiologis yang

berpotensi merugikan dan berdampak terhadap memanjangnya lama rawat serta

meningkatnya morbiditas pascabedah. Pasien sering meninggal bukan akibat

proses pembedahan di meja operasi melainkan akibat respons patofisiologis

terhadap pembedahan dan komplikasi pascabedah (Scott, et al, 2015).

Enhanced recovery after surgery (ERAS) merupakan sebuah perubahan

paradigma perawatan perioperatif berupa pendekatan multimodal, multidisiplin,

dan berbasis bukti dengan tujuan memperbaiki luaran klinis dan efisiensi

perawatan perioperatif. Berbeda dari perawatan perioperatif konvensional, ERAS

lebih menekankan proses perawatan yang terdiri dari berbagai intervensi yang

dapat mengurangi stres pembedahan, mempertahankan fungsi fisiologis, dan

mempercepat proses pemulihan ke kondisi semula. Pencegahan stres dan upaya

meminimalisir respons stres merupakan mekanisme utama dan dasar konsep

ERAS (Ljungqvist, et al, 2017).

12
Komponen protokol ERAS dikelompokkan ke dalam empat tahapan,

yaitu: praadmisi, prabedah, intrabedah, dan pascabedah (Gustafsson, et al,

2019):

1. Praadmisi meliputi

a. Informasi, edukasi, dan konseling praadmisi

Pasien dan keluarga/pendamping diberikan kesempatan untuk bertemu

dengan tim multidisiplin, terdiri dari dokter bedah, dokter anestesi,

perawat, dan petugas kesehatan terkait lainnya. Pemberian informasi,

edukasi, dan konseling praadmisi bertujuan untuk mengurangi

kecemasan praanestesi dan prabedah serta nyeri pasca bedah sebagai

dampaknya, meningkatkan kesiapan dan kepuasan pasien.

b. Optimisasi prabedah

Penilaian risiko dan optimisasi prabedah penting untuk dikerjakan.

Penilaian risiko prabedah dapat menggunakan berbagai alat penilaian

risiko dan memiliki tingkat rekomendasi kuat walaupun kualitas buktinya

(akurasi dan dampak luaran klinis) rendah. Merokok harus dihentikan

setidaknya 4-8 minggu sebelum pembedahan untuk menurunkan

komplikasi respirasi dan penyembuhan luka, sedangkan konsumsi alkohol

dihentikan selama empat minggu sebelum pembedahan untuk

menurunkan risiko infeksi pasca bedah.

c. Prehabilitasi

Status fisik pra bedah yang buruk merupakan faktor risiko komplikasi

pasca bedah dan disabilitas berkepanjangan. Prehabilitasi adalah sebuah

proses dalam rangkaian perawatan yang berlangsung antara saat

diagnosis hingga awal tatalaksana akut (pembedahan, kemoterapi,

radioterapi), meliputi penilaian fisik, nutrisi, psikologis untuk menentukan

tingkat fungsional dasar, mengidentifikasi gangguan, dan melakukan

13
intervensi yang bertujuan memperbaiki kesehatan fisik dan psikologis

dalam rangka menurunkan kejadian dan/atau keparahan gangguan di

masa depan. Prehabilitasi memberikan dampak positif terhadap

pemulihan kapasitas fungsional dan dapat menurunkan komplikasi pasca

bedah.

d. Asuhan nutrisi prabedah

Malnutrisi prabedah berkaitan dengan meningkatnya morbiditas dan

mortalitas pascabedah. Penilaian/skrining nutrisi rutin prabedah penting

untuk deteksi dan koreksi malnutrisi. Pasien malnutrisi sebaiknya

mendapat suplementasi nutrisi (disarankan pemberian per oral) selama

setidaknya 7-10 hari sebelum pembedahan untuk menurunkan risiko

komplikasi infeksi dan kebocoran anastomosis.

e. Manajemen anemia

Anemia sering dijumpai dan pasien umumnya mengalami defisiensi besi

akibat kehilangan darah atau inflamasi kronis. American Society of

Anaesthesiologists merekomendasikan untuk mempertahankan kadar

hemoglobin 6-10 g/dL selama periode perioperatif yang diindividualisasi

berdasarkan komorbiditas pasien dan jenis pembedahannya. Pada pasien

dengan gangguan jantung, ginjal dan paru, target hemoglobin >8 g/dL.

Pemberian preparat besi intravena terbaru memiliki risiko kejadian efek

samping yang rendah dan lebih efektif dibandingkan preparat besi oral

dalam memperbaiki kadar hemoglobin pada anemia defisiensi besi dan

anemia penyakit kronis.

2. Prabedah meliputi

a. Pencegahan mual dan muntah

14
Postoperative nausea and vomiting (PONV) dapat menyebabkan

dehidrasi, gangguan asupan nutrisi, pemasangan pipa nasogastrik,

pemanjangan durasi rawat, dan peningkatan biaya rawat. Pasien yang

memiliki 1-2 faktor risiko idealnya memerlukan kombinasi dua obat

profilaksis, sedangkan pasien dengan ≥2 faktor risiko sebaiknya

mendapatkan 2-3 macam antiemetik.

b. Medikasi pra-anestesi

Distres psikologis (kecemasan pra dan pasca bedah) dapat meningkatkan

kebutuhan analgesia perioperatif dan kejadian komplikasi pascabedah.

Edukasi prabedah dapat mengurangi kecemasan pasien tanpa medikasi

ansiolitik. Ansiolisis farmakologik sebelum pembedahan menggunakan

sedativa kerja panjang ataupun pendek terutama benzodiazepin pada

pasien lansia sebaiknya dihindari. Kombinasi parasetamol, obat

antiinflamasi non steroid (OAINS), dan gabapentinoid dapat digunakan

sebagai medikasi praanestesi untuk mengurangi kebutuhan opioid yang

dosisnya harus disesuaikan berdasarkan usia dan fungsi ginjal.

c. Antibiotik profilaksis dan disinfeksi kulit

Profilaksis antibiotik intravena dosis tunggal diberikan dalam rentang 60

menit sebelum insisi untuk semua pasien yang menjalani pembedahan.

Profilaksis antibiotik oral juga sebaiknya diberikan pada pasien yang

mendapat preparat pengosongan usus mekanis/mechanical bowel

preparation (MBP) oral. Disinfeksi kulit sebaiknya menggunakan preparat

berbasis klorheksidin-alkohol. Upaya dekontaminasi kulit lanjut seperti

mandi antiseptik, pencukuran rambut rutin, dan pemakaian duk

adesif/adhesive incise drape tidak didukung bukti yang cukup.

d. Preparat pengosongan usus

15
Tujuan preparat pengosongan usus mekanis adalah untuk menurunkan

jumlah koloni bakteri di kolon dan risiko komplikasi infeksi akibat

kontaminasi isi usus. Namun, ternyata MBP berkontribusi menyebabkan

dehidrasi prabedah, meningkatkan kebutuhan cairan intravena

perioperatif, menyebabkan rasa tidak nyaman tanpa adanya manfaat

klinis (Rollins et al, 2018). Oleh karenanya, penggunaan MBP secara rutin

pada pembedahan kolon sebaiknya dihindari, sedangkan pada

pembedahan rektal secara selektif masih dapat bermanfaat. Penggunaan

MBP dikombinasi dengan antibiotik oral lebih baik dan direkomendasikan

daripada MBP saja.

e. Terapi cairan dan elektrolit prabedah

Setibanya di kamar bedah, pasien harus sedapat mungkin berada dalam

kondisi euvolemia; kelebihan ataupun defisit cairan dan elektrolit

prabedah harus dikoreksi. Defisit cairan dan elektrolit prabedah dapat

dicegah dengan menghindari puasa prabedah berkepanjangan,

memberikan cairan jernih (termasuk minuman karbohidrat) hingga 2 jam

sebelum induksi dan menghindari penggunaan MBP secara rutin.

f. Puasa prabedah dan loading karbohidrat

Pasien sebaiknya diizinkan makan hingga 6 jam dan minum cairan jernih

termasuk minuman karbohidrat hingga 2 jam sebelum induksi anestesi.

Pemberian minuman karbohidrat kompleks (maltodekstrin) prabedah

dapat mengurangi respon katabolik akibat puasa dan pembedahan,

mengurangi resistensi insulin, menurunkan pemecahan protein dan

mampu mempertahankan kekuatan dan massa otot lebih baik. Pasien

dengan gangguan pengosongan lambung dan pasien emergensi

sebaiknya tetap dipuasakan semalaman atau 6 jam sebelum

pembedahan.

16
3. Intrabedah meliputi

a. Protokol anestesi

Penggunaan obat anestesi umum kerja singkat, upaya mengurangi

kebutuhan opioid, dan menghindari benzodiazepin direkomendasikan

karena dapat mempercepat proses pulih sadar dengan efek residu

minimal. Nitrous oxide (N2O) sebaiknya dihindari karena mengganggu

motilitas usus dan meningkatkan risiko PONV. Pemantauan derajat

blokade neuromuskular dan reversal blokade neuromuskular komplit di

akhir anestesi penting untuk mencegah efek residu paralisis akibat dosis

kumulatif pelumpuh otot dan menurunkan risiko komplikasi paru pasca

bedah.

b. Terapi cairan dan elektrolit intrabedah

Tujuan terapi cairan perioperatif adalah untuk mempertahankan

homeostasis dengan mencegah kelebihan cairan dan hipoperfusi organ.

Kelebihan cairan yang menyebabkan kenaikan berat badan perioperatif

lebih dari 2,5 kg dihindari dan balans cairan perioperatif diupayakan

mendekati nol. Goal-directed fluid therapy (GDFT) sebaiknya diterapkan

terutama pada pasien berisiko tinggi dan yang menjalani pembedahan

dengan kehilangan cairan intravaskular yang besar (kehilangan darah dan

perpindahan cairan/protein). Inotropik dipertimbangkan pada pasien

dengan kontraktilitas jantung buruk (cardiac index <2,5 liter/menit).

c. Pencegahan hipotermia intrabedah

Anestesi umum mengganggu termoregulasi dengan menghambat

vasokonstriksi dan upaya menggigil, menyebabkan redistribusi suhu dari

pusat ke perifer, sehingga kehilangan panas lebih banyak daripada

17
produksi panas. Pemantauan suhu yang reliabel harus dilakukan dan

upaya menghangatkan pasien secara aktif untuk mencegah hipotermia

dapat dilakukan dengan berbagai metode seperti penghangatan dan

humidifikasi gas anestesi, penggunaan cairan irigasi dan intravena yang

hangat serta forced air warming blankets.

d. Akses bedah (pembedahan minimal invasif)

Tujuan utama pembedahan minimal invasif adalah meminimalisir cedera

jaringan akibat pembedahan. Dengan mengurangi cedera/kerusakan

jaringan maka aktivasi respons neurohormonal dan pelepasan sitokin

proinflamasi juga berkurang (Scoot, et al, 2015). Pembedahan minimal

invasif memiliki beberapa keuntungan seperti pemulihan yang cepat,

menurunnya komplikasi terkait luka operasi, adhesi, dan komplikasi

secara keseluruhan. Pembedahan minimal invasif juga memungkinkan

keberhasilan komponen ERAS lainnya seperti analgesia hemat opioid dan

terapi cairan optimal.

e. Drainase rongga peritoneum dan pelvis

Penggunaan drain pada rongga peritoneum atau pelvis setelah

pembedahan kolorektal bertujuan untuk mengevakuasi atau mencegah

akumulasi darah dan cairan serosa serta mencegah atau mendeteksi

kebocoran anastomosis. Namun, drain peritoneal dan pelvis tidak

mempengaruhi luaran klinis dan sebaiknya tidak rutin digunakan.

4. Pascabedah meliputi

a. Intubasi nasogastrik

Pemasangan pipa nasogastrik bertujuan untuk mengurangi distensi

lambung dan muntah, namun bukti terkini menunjukkan bahwa

pemasangan pipa nasogastrik rutin tidak memiliki dampak positif, justru

18
menyebabkan dampak negatif. Kejadian faringolaringitis, infeksi saluran

napas, komplikasi paru, lebih jarang terjadi dan fungsi usus lebih cepat

pulih jika pemasangan pipa nasogastrik dihindari (Rao, et al, 2011). Oleh

karenanya, pemasangan pipa nasogastrik rutin sebaiknya dihindari kecuali

untuk mengevakuasi udara yang masuk ke dalam lambung akibat ventilasi

sungkup sebelum proses intubasi endotrakeal. Jika pipa nasogastrik

dipasang selama pembedahan maka sebaiknya dilepas sebelum akhir

anestesi.

b. Analgesia pasca bedah

Pengendalian nyeri yang adekuat sangat penting dalam protokol ERAS.

Kuncinya adalah dengan menghindari opioid dan menerapkan analgesia

multimodal dikombinasi dengan analgesia spinal/epidural atau blok

transversus abdominis plane (TAP). Analgesia epidural dapat menurunkan

respons neuroendokrin dan katabolik akibat pembedahan. Untuk bedah

laparoskopi, anestesi/analgesia spinal dengan opioid dosis rendah

direkomendasikan sebagai pilihan tambahan anestesi umum karena

memiliki efek menurunkan stres dan konsumsi opioid serta memfasilitasi

pemulihan lebih cepat. Infus lidokain dosis 1,5-3 mg/kg/jam juga

bermanfaat mengurangi konsumsi opioid, namun diperlukan pemantauan

elektrokardiogram kontinyu dan gejala toksisitas anestetik lokal. Anestesi

lokal dinding abdomen dengan blok TAP kini banyak digunakan dan

direkomendasikan untuk pembedahan, khususnya laparoskopi, karena

selain mengurangi konsumsi opioid juga mempercepat pemulihan.

c. Tromboprofilaksis

Perawatan perioperatif pembedahan secara tradisional tanpa

tromboprofilaksis memiliki risiko kejadian trombosis vena dalam

asimtomatik sebesar 30%.19 Oleh karenanya, pasien yang menjalani

19
pembedahan mayor sebaiknya mendapatkan tromboprofilaksis mekanis

dengan stoking kompresi yang sesuai dan/atau kompresi pneumatik

intermiten hingga dapat rawat jalan dan mendapat profilaksis

farmakologis dengan low molecular weight heparin sekali sehari selama

28 hari pascabedah.

d. Terapi cairan dan elektrolit pasca bedah

Balans cairan dan elektrolit sebaiknya diupayakan mendekati nol. Cairan

kristaloid hipotonis lebih dipilih untuk keperluan rumatan daripada cairan

kristaloid isotonis yang mengandung natrium dan kation konsentrasi

tinggi. Untuk penggantian kehilangan cairan, larutan garam fisiologis

(NaCl 0,9%) dan larutan berbasis garam lainnya dihindari dan sebaiknya

menggunakan larutan seimbang/balanced solutions. NaCl 0,9% volume

besar dapat menyebabkan asidosis hiperkloremia, overload cairan

interstitial, gangguan hemodinamik ginjal, dan penurunan ekskresi

natrium dan air akibat penurunan aliran darah ginjal dan laju filtrasi

glomerulus. Kandungan klorida yang tinggi juga dapat mengganggu ginjal

pada pasien yang menjalani pembedahan, sakit kritis, dan sindrom

inflamasi sistemik. Hipotensi akibat pemberian analgesia epidural

ditangani dengan vasopresor setelah memastikan kondisi pasien

normovolemia.

e. Drainase urin

Pemasangan kateter untuk drainase urin selama dan setelah

pembedahan bertujuan untuk pencegahan retensi urin dan pemantauan

produksi urin, namun durasinya harus dibatasi untuk menurunkan risiko

infeksi saluran kemih. Durasi kateterisasi rutin transurethral yang

direkomendasikan adalah selama 1-3 hari pascabedah. Durasi tersebut

diindividualisasi berdasarkan faktor risiko retensi urin berikut: jenis

20
kelamin laki-laki, analgesia epidural, dan pembedahan pelvis. Pada

pasien dengan risiko rendah sebaiknya kateter secara rutin dilepas pada

hari pertama pascabedah, sedangkan pada risiko sedang- tinggi, kateter

dapat dipertahankan hingga tiga hari.

f. Pencegahan ileus pasca bedah

Ileus pasca bedah berkepanjangan berkontribusi menyebabkan

ketidaknyamanan pasien, pemanjangan durasi rawat, dan peningkatan

biaya rawat. Pendekatan multimodal untuk meminimalisir risiko terjadinya

ileus pascabedah antara lain dengan membatasi penggunaan opioid

dengan teknik anestesi dan analgesia multimodal, menggunakan teknik

bedah minimal invasif, menghindari pemasangan pipa nasogastrik rutin,

dan menerapkan GDFT. Antagonis reseptor opioid μ (alvimopan), permen

karet, bisakodil, magnesium oksida, dan kopi memiliki indikasi manfaat

dalam mengurangi durasi ileus.

g. Pengendalian gula darah pasca bedah

Hiperglikemia akibat resistensi insulin merupakan faktor risiko terjadinya

komplikasi pasca bedah. Beberapa intervensi untuk mencegah resistensi

insulin dan mengendalikan gula darah antara lain pemberian karbohidrat

oral pra bedah, pembedahan laparoskopi, dan analgesia epidural torasik.

Insulin sebaiknya digunakan untuk mengendalikan kadar gula darah

pasien rawat inap sesuai indikasi dan ketersediaan fasilitas pemantauan

ruang rawat agar terhindar dari risiko hipoglikemia.

h. Asuhan nutrisi pasca bedah

Keterlambatan mulai diet oral pasca bedah mayor dapat meningkatkan

kejadian infeksi dan memperlambat pemulihan. Makanan dan suplemen

nutrisi oral sebaiknya diberikan sedini mungkin setelah pembedahan.

Pemberian diet oral dini dapat dimulai empat jam pascabedah pada

21
pasien dengan pembedahan anastomosis kolorektal non diversi. Stres

pembedahan dapat mengurangi kadar arginin hingga mengganggu fungsi

sel T dan penyembuhan luka. Pemberian imunonutrisi perioperatif

(arginin, asam lemak omega 3, ribonukleotida) untuk pasien malnutrisi

bermanfaat menurunan komplikasi infeksi pada pembedahan kanker

kolorektal.

i. Mobilisasi dini

Tirah baring berkepanjangan dapat meningkatkan risiko komplikasi paru,

kelemahan otot skeletal, komplikasi tromboemboli, dan resistensi insulin.

Oleh karenanya, pasien harus diedukasi dan didorong untuk segera

mobilisasi pasca bedah.

2.3 Diversi Urin Non Kontinen

Diversi urin non kontinen merupakan prosedur efektif untuk melindungi

saluran kemih dengan cara mengurangi peningkatan tekanan intravesikal dan

intrarenal [ CITATION Met10 \l 1057 ] . Diversi urin non kontinen dapat

dilakukan dengan 2 cara, yaitu dengan anastomosis langsung ureter ke dinding

abdomen atau anastomosis yang diperantarai oleh segmen usus sebagai saluran

drainase. Pada teknik diversi urin non kontinen, pasien tidak memiliki kantung

penampung urin di bagian dalam abdomen yang berfungsi sebagaimana buli,

sehingga urin langsung dialirkan ke kantung urin yang tersambung dengan

stoma (Spencer, et al, 2018).

2.3.1 Indikasi dan Kontraindikasi Diversi Urin Non Kontinen

Indikasi diversi urin non kontinen dapat dikategorikan sebagai ganas dan

non keganasan. Pada keganasan misalnya tumor Buli yang invasif (T2 atau

lebih) yang membutuhkan sistektomi radikal, diversi urin adalah baku emas

pengobatan pada pasien dengan karsinoma sel kandung kemih invasif dengan

22
gambaran prognosis yang buruk. Selain itu, pada kasus karsinoma sel urothelial

uretra dapat menjadi indikasi untuk sistektomi dengan uretrektomi dan diversi

urin. Keganasan non genitourinaria lainnya seperti kanker kolorektal invasif dan

kanker ginekologi mungkin memerlukan eksenterasi pelvis dan membutuhkan

diversi urin setelah sistektomi (Spencer, et al, 2018).

Pada non keganasan misalnya neurogenic bladder (cedera tulang

belakang dan mielodisplasia), cysting paska radiasi, inkotinensia pada wanita

yang tidak membaik dengan terapi obat-obatan, dan sindroma nyeri panggul

kronik. Tindakan bedah ditawarkan bila terapi konservatif dinyatakan gagal

(Guillot-Tantay, et al, 2018).

Kontraindikasi dari diversi urin non kontinen adalah sebagai berikut (Lee,

et al, 2014) :

1. Kelainan pada segmen usus seperti pada Crohn’s disease, severe irritable

bowel syndrome, malabsorbsi lemak, dan kolitis ulseratif yang membuat

segmen usus tidak dapat digunakan sebagai conduit.

2. Pasien-pasien yang sebelumnya memiliki riwayat pengobatan radioterapi

dosis tinggi yang diarahkan ke rongga abdomen atau pelvis.

2.3.2 Tatalaksana Diversi Urin Non Kontinen

Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa keputusan

penggunaan teknik didasarkan pada penyakit yang mendasari dan metode yang

dianggap optimal bagi fungsi ginjal, anatomi, keinginan personal dari pasien,

serta pertimbangan dari operator. Metode yang ideal dari diversi urin harus

memenuhi syarat-syarat berikut, yaitu memiliki kemiripan dengan buli yang

normal, tidak terjadi refluks, bertekanan rendah, dan bersifat non absorbtif.

Pengkategorian diversi urin non kontinen dapat didasarkan pada segmen usus

yang digunakan [ CITATION Met10 \l 1057 ].

23
2.3.2.1 Kateterisasi Urin

2.3.2.1.1 Katerisasi Uretra

Diversi urin non kontinen yang paling sederhana dan paling sering

digunakan adalah kateter uretra. Prosedur ini dapat segera digunakan untuk

drainase dari obstruksi saluran kemih, memasukkan agen kontras untuk studi

radiografi, dan untuk pemantauan produk urin. Kateterisasi uretra

dikontraindikasikan pada pasien dengan gejala trauma pada traktus urinarius

bagian bawah, misalnya terjadi ruptur uretra. Komplikasi kateter uretra biasanya

terkait dengan pemasangan yang tidak tepat atau penggunaan yang lama,

termasuk cedera uretra, uretritis atau meatitis, ISK, striktur uretra, dan batu

kandung kemih [ CITATION Met10 \l 1057 ].

2.3.2.1.2 Katerisasi Suprapubik

Untuk pasien yang dikontraindikasikan dilakukan kateterisasi uretra,

dapat dilakukan kateterisasi suprapubik untuk mengatasi retensi urin.

Kateterisasi suprapubik merupakan prosedur pemasangan kateter ke dalam buli

yang mengalami retensi urin akibat striktur uretra, ruptur uretra, kanker

prostat, benign prostatic hyperplasia (BPH), atau massa di leher buli. Prosedur

ini merupakan Tindakan invasif untuk mengatasi retensi urin karena memerlukan

insisi dinding abdomen hingga ke dalam buli (Roger et al, 2015).

Kontraindikasi absolut kateterisasi suprapubik adalah buli yang tidak

teraba ketika dipalpasi atau diperiksa dengan ultrasonografi. Kondisi tersebut

dapat meningkatkan risiko cedera usus dan cedera vaskular. Riwayat karsinoma

buli juga merupakan kontraindikasi absolut kateterisasi suprapubik. Beberapa

kontraindikasi relatif kateterisasi suprapubik adalah koagulopati yang belum

terkoreksi, pasien dalam pengobatan antiplatelet atau antikoagulan, pasien

dengan kanker pelvis dengan atau tanpa radiasi, pasien dengan riwayat operasi

24
di daerah pelvis (karena meningkatkan risiko adhesi), dan infeksi aktif di area

insersi. Komplikasi yang mungkin terjadi akibat kateterisasi suprapubik adalah

perdarahan, infeksi, urosepsis, migrasi kateter, hematuria, ruptur buli, peritonitis,

cedera usus, cedera vaskular, dan diuresis pasca obstruksi (Roger et al, 2015).

Gambar 2.1 Katerisasi urin. A: kateterisasi uretra. B: kateterisasi suprapubik (Roger,


et al, 2015).

2.3.2.2 Percutaneous Nephrostomy Tube

Nefrostomi perkutan untuk drainase dan dekompresi saluran kemih bagian

atas diindikasikan jika kateterisasi ureter retrograde tidak dianjurkan (misalnya,

pada sepsis dengan hemodinamik tidak stabil dan memiliki resiko besar untuk

dilakukan anestesi umum dengan aman) atau terbukti tidak mungkin dilakukan

(missal pada ureter yang obstruksi karena batu, tumor, atau striktur) (McAninch,

2020).

Untuk intervensi terapeutik seperti drainase nefrostomi atau pemasangan

stent ureter antegrade, kateter yang lebih lembut dan lebih besar dimasukkan

dan insisi diperlukan sebelum pemasangan kateter. Untuk mempelebar saluran,

guidewire 0,035 atau 0,038 inci dimasukkan ke dalam collecting system. Setelah

guidewire berada pada posisi yang benar (kaliks superior, pelvis ginjal, ureter

proksimal sampai ke kandung kemih), dilator fasia dapat dimasukkan. Dilator

disisipkan berurutan dengan ukuran yang semakin besar (biasanya dalam

25
langkah 2 Fr). Jika menggunakan logam kaku atau dilator Kevlar, dilasi dari 6 Fr

hingga 10–12 Fr dimungkinkan dalam prosedur satu langkah. Setelah dilatasi

dilakukan, kateter nefrostomi (kateter silicone atau polyurethane) dimasukkan

dengan bantuan introducer sheath (McAninch, 2020).

Nefrostomi perkutan telah dikembangkan sebagai prosedur yang efektif

dan aman untuk drainase saluran kemih bagian atas dan bersifat sementara.

Komplikasi serius jarang terjadi, tetapi komplikasi ringan sering terjadi termasuk

hematuria, lepasnya tabung, dan kolonisasi bakteri. Akses perkutan juga dapat

digunakan untuk studi diagnostik radiografi (nefrostogram), hitung keluaran urin

dan perfusi tekanan ginjal antegrade (tes Whitaker) [ CITATION Met10 \l

1057 ].

Gambar 2.2 Pemasangan kateter nefrostomi. A: Penyisipan guidewire ke dalam


collecting system. B: Pemasangan dilator fasia di atas guidewire. C:
Penyisipan introducer sheath di atas guidewire. D: Pemasangan kateter
nefrostomi melalui introducer sheath (McAninch, 2020).

26
2.3.2.3 Cutaneous Ureterostomy

Diversi ureter ke dinding perut adalah bentuk diversi cutaneous yang

paling sederhana. Waktu operasi, tingkat komplikasi, rawat inap dan lama

perawatan yang lebih rendah pada pasien yang dirawat dengan cutaneous

ureterostomy dibandingkan dengan ileal conduit. Oleh karena itu, pada pasien

yang lebih tua, cutaneous ureterostomy adalah prosedur yang lebih disukai

(Witjes, et al, 2020).

Secara teknis, salah satu ureter yang lebih pendek dilakukan end-to-side

ke sisi lainnya lalu dihubungkan ke kulit (trans-uretero-kutaneostomi) atau kedua

ureter langsung dianastomosis ke kulit. Karena diameter ureter yang lebih kecil,

stenosis pada stoma lebih sering daripada intestinal stoma (Witjes, et al, 2020).

Diversi jenis ini memiliki risiko yang tinggi untuk terjadi striktur dan gagal ginjal,

sehingga prosedur ini tidak lagi disukai untuk diversi urin jangka panjang (Razik,

2019).

2.3.2.4 Ureterosigmoidostomi

Ureterosigmoidostomi adalah teknik bedah pertama yang digunakan

secara luas untuk diversi urin dengan menggunakan sfingter ani untuk mencapai

kontinensia. Campuran urin dan feses dikumpulkan secara bersamaan di dalam

rektum, sehingga diperlukan fungsi sfingter ani yang baik sebelum dilakukan

operasi. Campuran aliran feses dan urin menjadi predisposisi terjadinya

adenokarsinoma pada usus. Pasien dengan gangguan hepar berisiko tinggi

mengalami ensefalopati hiperamonemik karena amonia dapat diserap ke seluruh

permukaan usus. Pasien yang memiliki penyakit primer pada colon atau pernah

menjalani iradiasi di daerah panggul tidak disarankan menjalani prosedur ini

(Lee, et al, 2014).

27
Ureter diidentifikasi di bawah arteri iliaca komunis. Insisi dilakukan pada

peritoneum dan dilakukan mobilisasi ureter dengan hati-hati untuk menjaga

suplai darah. Distal sigmoid dipilih untuk reimplantasi ureter. Selanjutnya

dilakukan reimplantasi masing-masing ureter ke tenia coli ipsilateral

menggunakan teknik antirefluks. Selanjutnya dilakukan penjahitan peritoneum di

atas anastomosis ureter (Lee, et al, 2014).

Gambar 2.3 Ureterosigmoidostomi (Maxwell, et al, 2020).

Pada prosedur Ureterosigmoidostomi, cenderung terjadi perubahan pada

saluran kemih bagian atas setelah lebih dari 10 tahun. Campuran aliran feses

dan urin menjadi predisposisi dan berisiko lebih tinggi terjadinya keganasan

adenokarsinoma usus. Saat ini, praktisi menghindari pemilihan metode diversi

urin ureterosigmoidostomi kecuali benar-benar diperlukan. Semua pasien yang

menjalani ureterosigmoidostomi harus diberi konseling untuk menjalani

sigmoidoskopi mulai 5 tahun setelah prosedur dan kapan saja jika terjadi

perdarahan gastrointestinal atau perubahan besar pada kebiasaan buang air

besar (Lee, et al, 2014).

28
2.3.2.5 Intestinal Conduit

Ileum adalah segmen gastrointestinal yang paling umum digunakan karena

vaskularisasi yang melimpah, mesenterium yang panjang, dan kemudahan

penggunaan. Sedangkan, colon conduit memiliki keuntungan dari mekanisme

antirefluks yang dapat diandalkan dengan implantasi ureter ke dalam taeniae coli

[ CITATION Met10 \l 1057 ]. Jejunum dan gaster dapat digunakan untuk

pembuatan conduit; namun berkaitan dengan gangguan metabolisme yang

terjadi dan risiko keganasan sekunder pada akhirnya jarang digunakan

[ CITATION Spe18 \l 1057 \m Tur58].

2.3.2.5.1 Ileal Conduit

Teknik Ileal conduit didasarkan pada penggunaan segmen pendek ileum

untuk mengalirkan urin melalui stoma pada dinding perut. Gagasan pertama

tentang Ileal conduit pertama kali dijelaskan oleh Zaayer pada tahun 1911 dan

teknik tersebut kemudian disempurnakan dan dipopulerkan oleh Bricker (1950)

[ CITATION Col10 \l 1057 \m Met10].

Ileal conduit menjadi sebuah prosedur alternatif untuk diversi urin karena

ancaman gangguan metabolisme pada prosedur ureterosigmoidostomi

[ CITATION Met10 \l 1057 ]. Ileal conduit merupakan diversi urin yang paling

sering digunakan di Amerika Serikat karena relatif mudah baik secara anatomi

dan teknik pembedahannya [ CITATION Gor06 \l 1057 \m Lee14] . Keuntungan

ini terkait dengan tingkat komplikasi yang lebih rendah dan durasi operasi yang

lebih singkat [ CITATION Dan11 \l 1057 \m Gor06 \m Lee14 \m Tur58] . Selama

lebih dari 30 tahun, ileal conduit dianggap sebagai prosedur diversi urin standar

untuk pasien pasca tindakan sistektomi radikal[ CITATION Ric03 \l 1057 ] . Ileal

conduit diindikasikan pada pasien yang dikontraindikasikan dilakukaannya diversi

urin kontinen seperti gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum >1,5 mg per dL atau

29
kecepatan filtrasi glomerulus <50 mL per menit), insufisiensi hati, inflamasi kronik

atau keganasan pada usus, obesitas ekstrim, atau penyakit neurologis yang

membatasi kemampuan untuk melakukan kateterisasi sendiri membuat ileal

conduit menjadi pilihan yang bijak (Spencer, et al, 2018).

Conduit dibuat dengan menggunakan segmen ileum sepanjang 18-20 cm

yang berlokasi 15-20 cm proksimal dari katup ileocecal. Hal ini untuk

mengamankan absorpsi garam empedu dan vitamin B12 (Smith, 2018). Pada

pasien dengan obesitas mungkin akan diperlukan conduit yang lebih panjang.

Pada prinsipnya, conduit yang pendek lebih baik karena mengurangi resiko

penyerapan urin yang dilakukan oleh conduit tersebut. Tidak disarankan

menggunakan segmen ileum yang terlalu pendek untuk menghindari peregangan

dan ketegangan kulit stoma. Demikian juga, menghindari penggunaan segmen

ileum yang terlalu panjang untuk

mencegah volume sisa

urin dan infeksi saluran kemih.

Pada pasien yang memiliki riwayat

menjalani radiasi sebelumnya,

perlu hati-hati memilih

segmen ileum yang tidak

terkena radiasi [ CITATION Col10 \l 1057 ].

30
Gambar 2.4 Identifikasi segmen Ileum yang digunakan sebagai conduit
[ CITATION Col10 \l 1057 ].

Apabila segmen usus yang akan digunakan telah ditentukan dan diisolasi,

mesenterium akan dipisahkan menjadi segmen proksimal dan distal, kemudian

pembuluh darah mesenterium tertentu akan diligasi secara individual. Kemudian

usus akan dipotong sesuai marker, sedangkan segmen usus yang terpotong

dilakukan anastomosis terlebih dahulu. Lokasi anastomosis usus harus dilakukan

di sebelah atas dari letak potongan agar fungsi pencernaan pasien dapat kembali

normal. Sementara itu, segmen usus yang akan menjadi conduit diposisikan di

bagian kuadran kanan bawah abdomen dengan arah yang sesuai dengan

pergerakan usus/isoperistaltik. Sedangkan bagian posterior bisa difiksasi ke

peritoneum posterior atau ke promontorium sakrum untuk mencegah volvulus

dari conduit. Kemudian ureter direimplantasi dengan cara end-to-side (Teknik

Bricker) atau langsung disambungkan bersamaan (Teknik Wallace), dan

disambungkan dari ujung ke ujung yang akan membuat anastomosis refluks

ureteroileal. Stent ureter (ukuran 7-8 Fr, single-J, tipe Silastik) biasanya akan

diletakkan melalui anastomosis ureteral dan conduit ke dalam pelvis renalis untuk

memfasilitasi drainase urin selama menunggu anastomosis sembuh sempurna

(Maxwell et al, 2020).

31
Gambar 2.5 Ileal Conduit yang ditembuskan ke musculus rectus abdominis (Maxwell
et al, 2020).

Gambar 2.6 Anastomosis Bricker dan Wallace. (a,b) Anastomosis tipe Bricker.
Ureter dispatulasikan dan dilakukan anastomosis independen ke segmen
ileal. Sisi proksimal dari segmen ileal disumbat. (c,d) Anastomosis
Wallace 1. ujung dari ureter dispatulasi secara luas; digabungkan
bersama secara head to head. (e,f) Teknik Wallace 2. Teknik ini
menunjukkan anastomosis head-to-tail kemudian langsung
dianastomosis ke ujung proksimal segmen ileal [ CITATION Col10 \l
1057 ].

Tahap akhir dari operasi ini, jika lokasi stoma telah teridentifikasi,

dilakukan insisi melingkar pada kulit dan jaringan lemak, kemudian diikuti insisi

fasia. Ujung distal dari conduit dimasukkan melalui otot rectus abdominis dan

difiksasi ke fasia sehingga stoma telah terbentuk. Stoma harus sedikit timbul

keluar, tidak terdapat tarikan, dan kurang lebih berada di 1-1,5 inchi dari

permukaan kulit (Maxwell et al, 2020).

2.3.2.5.2 Jejunal Conduit

Jejunal Conduit merupakan jenis conduit yang jarang digunakan dan

biasanya dikhususkan pada kasus ketika segmen ileal dan kolon tidak dapat

digunakan karena berbagai sebab, misalnya iradiasi dan inflammatory bowel

disease. Pada conduit jenis ini, gangguan elektrolit sering terjadi [ CITATION

Dah16 \l 1057 ].

2.3.2.5.3 Colon Conduit

32
Conduit tipe ini memiliki beberapa keuntungan, yaitu anastomosis non-

refluks ureterointestinal mudah dilakukan, bisa mengurangi efek refluks dari

saluran kemih bagian atas, kejadian stenosis stoma berkurang karena diameter

yang besar dari kolon, absorbsi elektrolit yang terbatas, dan banyaknya

pembuluh darah pada segmen colon transversum dan sigmoid. Bila conduit

menggunakan colon transversum atau sigmoid, stoma dapat dipilih pada tempat

yang tinggi maupun rendah. Penggunaan segmen colon transversum sangat

cocok diaplikasikan pada pasien yang mengalami iradiasi pelvis luas atau pada

pasien yang kehilangan ureter medial dan ureter distal. Kontraindikasi absolut

untuk transverse colonic conduit adalah riwayat iradiasi abdomen bagian atas,

status pasca reseksi colon ekstensif, dan kolitis ulseratif. Selain itu, penggunaan

segmen colon harus dipertimbangkan dengan hati-hati pada pasien dengan

inflammatory large bowel disease dan diare kronis (Keane, et al, 2016).

Suplai pembuluh darah dari colon transversum berasal dari arteri celiac

media. Greater Omentum kemudian dipisahkan dari permukaan superior colon

transversum, yang umumnya memiliki panjang 15 cm, yang akan dijadikan

sebagai conduit. Setelah itu, dilakukan insisi pada mesenterium lalu colon

dipisahkan menjadi colon proksimal dan colon distal. Ketika conduit sudah

terisolasi dengan baik, bagian usus yang terputus segera disambungkan kembali.

Kemudian sisi proksimal dari conduit ditutup dan difiksasi pada sekitar garis

tengah tubuh secara posterior. Ureter kemudian dimasukkan ke dalam insisi kecil

dari peritoneum posterior dan dilakukan reimplantasi ke dasar dari conduit.

Selanjutnya, stoma bisa diposisikan pada sisi kanan maupun kiri pasien (Maxwell

et al, 2020).

33
Gambar 2.7 Transversum conduit. Greater Omentum kemudian dipisahkan dari
permukaan superior kolon transversum, yang umumnya memiliki panjang
15 cm, yang akan dijadikan sebagai conduit (Maxwell et al, 2020).

Conduit dari sigmoid dibuat dengan cara yang sama seperti conduit dari

colon transversum. Hati hati dalam melakukan insisi pada mesenterium agar

pembuluh darah dapat tetap menyuplai segmen yang akan dipakai menjadi

conduit. Conduit dari segmen sigmoid dapat diposisikan secara lateral dari kolon

sigmoid. Selanjutnya dilakukan reimplantasi ureter dan pembuatan stoma di

permukaan kulit (Maxwell et al, 2020).

Ureter dapat di reimplantasi ke usus besar dalam 2 cara, yaitu saluran

submukosal non-refluks atau refluks end-to-side. Saluran submukosa dibuat

dengan cara melakukan insisi tenia hingga ke mukosa usus besar sepanjang

kurang lebih 3-4 cm. Kemudian dilakukan anastomosis ureter dan dinding

mukosa usus besar. Otot dari tenia diletakkan kurang lebih melewati ureter untuk

menyelesaikan saluran tersebut (Maxwell et al, 2020).

34
Gambar 2.8 Pembuatan Saluran Submukosa pada Dinding Kolon. Pembuatan
saluran submukosa pada dinding kolon untuk mencegah refluks ureter
dari urin. A: insisi pada tenia coli. B: Anastomosis dari ureter distal ke
mukosa usus besar. C: Otot (tenia) diletakkan di atas anastomosis ureter
(Maxwell et al, 2020).

2.3.3 Komplikasi Diversi Urin Non Kontinen

Komplikasi yang terkait dengan diversi urin tergantung jenis metode

diversi yang dipilih dan dapat dikategorikan secara luas terkait dengan segmen

usus yang digunakan. Resiko komplikasi ini bergantung pada teknik operasi,

kondisi penyakit pasien yang mendasari, progresifitas penyakit pasien, usia

pasien, serta durasi follow up pasien. Komplikasi setelah operasi Ileal conduit

umumnya dibagi menjadi komplikasi dini (<90 hari pasca operasi) dan komplikasi

lanjut. Komplikasi dini yang sering terjadi dapat terkait dengan anastomosis

uretero-ileal dan terkait saluran atau stoma. Komplikasi dini dilaporkan hingga

56% kasus termasuk kejadian seperti perdarahan, obstruksi usus, pembentukan

fistula enterokutan, kebocoran anastomosis, infeksi, nekrosis, dan pielonefritis.

Sedangkan pada komplikasi lanjut terjadi pada 28-81% kasus termasuk kelainan

metabolik, ketidakseimbangan elektrolit, masalah pada stoma (prolaps stoma,

stenosis stoma, retraksi stoma, hernia parastomal), striktur uretero-intestinal,

pielonefritis, dan timbulnya batu (Maxwell et al, 2020). Meskipun ileal conduit

umumnya dianggap memiliki tingkat komplikasi yang relatif rendah, namun masih

35
terdapat komplikasi jangka pendek maupun jangka panjang yang dapat terjadi.

Frekuensi komplikasi meningkat seiring waktu dari 45% pada 5 tahun menjadi

94% pada >15 tahun (Witjes et al, 2020).

2.3.3.1 Komplikasi Dini

2.3.3.1.1 Terkait dengan Anastomosis Uretero-ileal

Kebocoran anastomosis uretero-ileal adalah komplikasi yang sering terjadi,

hingga 7% kasus (Farnham dan Cookson, 2004). Komplikasi ini sering dikaitkan

dengan teknik pembedahan yang tidak adekuat, seperti ketegangan pada

anastomosis, devaskularisasi dan rotasi ureter, atau rusaknya jahitan pada

anastomosis uretero-ileal (Lawrentschuk, et al, 2010). Dalam jangka panjang,

kebocoran dapat menyebabkan fibrosis pada anastomosis sehingga dapat terjadi

komplikasi pada saluran kemih bagian atas (Colombo dan Naspro, 2010).

2.3.3.1.2 Terkait Usus

Ileus paralitik ditemukan pada 22% kasus (Lawrentschuk, et al, 2010).

Obstruksi mungkin memerlukan tindakan konservatif, seperti drainase selang

nasogastrik, atau perawatan yang lebih agresif, seperti laparotomi eksplorasi dan

reseksi usus (Lee, et al, 2014). Pada beberapa pasien, komplikasi yang lebih

parah dapat terjadi peritonitis dan nyeri akut abdomen. Kebocoran anastomosis

usus berpotensi menjadi komplikasi berat jika tidak diketahui lebih awal dan

menjadi penyebab peningkatan angka kematian (Gudjónsson, et al, 2008).

2.3.3.2 Komplikasi Lanjut

2.3.3.2.1 Striktur Anastomotis dan Gangguan Fungsi Ginjal

Kejadian striktur dilaporkan sekitar 7-14% kasus dan biasanya terjadi

pada 2 tahun pertama setelah operasi (Gudjónsson, et al, 2008). Striktur dan

kerusakan anastomosis uretero-enteric dapat menjadi salah satu komplikasi ileal

conduit yang paling menantang. Penggunaan double J-stent ureter telah secara

36
signifikan mengurangi kejadian kebocoran anastomotik ureteroenterik hingga

sekitar 2% dan striktur hingga 4% (Farnham dan Cookson, 2004). Kerusakan

ginjal yang progresif, yang ditandai dengan hidronefrosis dan peningkatan

kreatinin serum. Apabila pasien masih mengalami hidronefrosis yang menetap,

dicurigai adanya refluks aliran urin pada conduit atau adanya obstruksi pada

anastomosis ureter. Lopogram dapat membantu menilai apakah terdapat aliran

balik dari urin dalam kasus seperti ini. Pada beberapa kasus juga kadang

diperlukan pencitraan lain seperti scan ginjal dengan radionuklida (MAG3) untuk

menilai adanya aliran maju urin dari ginjal ke ureter. Apabila hidronefrosis dan

pielonefritis masih menetap, kemungkinan besar sudah terjadi kerusakan ginjal

yang cukup parah (Maxwell et al, 2020).

2.3.3.2.2 Stoma

Komplikasi pada stoma sangat sering terjadi (15–65%) pada pasien ileal

conduit dan berkontribusi secara signifikan dalam penurunan kualitas hidup

pasien (Herlufsen, et al, 2006). Hernia parastomal, stenosis, dan retraksi stoma

dilaporkan pada 31% kasus dan merupakan alasan yang sering terjadi untuk

dilakukannya operasi ulang setelah menjalani prosedur ileal conduit (Szymanski,

et al, 2010). Hernia dapat terjadi pada luka atau berdekatan dengan stoma.

Hernia parastomal adalah hernia akibat defek fasia di sekeliling conduit, pada

10–15% kasus. Namun, jumlah pasti dari komplikasi ini tidak dapat ditentukan

karena sebagian besar pasien asimtomatik atau memilih untuk tidak berobat

(Szymanski, et al, 2010). Faktor yang berkontribusi termasuk obesitas, malnutrisi,

batuk kronis, dan penggunaan steroid (Kouba, et al, 2007). Meski kebanyakan

hernia parastomal dapat ditangani secara konservatif, sekitar 30% pasien

membutuhkan intervensi bedah karena obstruksi, nyeri, dan perdarahan

(Guzman-Valdiva, et al, 2008).

37
Stenosis stoma terkait dengan penggunaan segmen ileum pada prosedur

ileal conduit (2,5–8,5% kasus) pada 10 tahun setelah operasi dan dikaitkan

dengan hilangnya peristaltik, penebalan dinding, dan penyempitan kulit. Stenosis

di tingkat kulit dapat dikelola dengan melebarkan stoma (Colombo dan Naspro,

2010).

Obstruksi, nekrosis, dan prolaps stomal jarang terjadi. Prolaps stoma

dilaporkan terjadi pada ileal conduit (1,5–8% kasus) dan dikaitkan dengan

gangguan vaskularisasi dari segmen ileum bersamaan dengan infeksi kronis.

Penanganan non-bedah mencakup penggunaan prolaps belt, meskipun hal ini

berisiko terjadinya nekrosis stoma (Metcalfe dan Cain, 2010).

Kelainan pada kulit paling sering disebabkan oleh cedera mekanis (ulkus

karena tekanan), infeksi (kandidiasis, folikulitis), dan gangguan imunologi

(dermatitis kontak alergi) (Szymanski, et al, 2010). Pada diversi urin non

kontinen, dermatitis sering terjadi karena waktu kontak urin dengan kulit lebih

lama bila dibandingkan dengan diversi urin kontinen. Hal yang sering menjadi

masalah ketika pasien menggunakan kantong urin eksternal adalah kejadian

merembesnya urin. Hal ini bisa terjadi karena penggunaan kantong urin eksternal

secara tidak benar atau karena proses konstruksi stoma yang tidak baik (Maxwell

et al, 2020).

Permasalahan pada stoma dan peristoma beserta terapi yang cocok

dapat dirangkum pada tabel berikut:

Tabel 2.2 Permasalahan Stoma dan Peristoma serta Tatalaksananya

Masalah/Deskripsi Penyebab Tatalaksana


Infeksi Jamur/ Dermatitis  Pertumbuhan jamur yang  Bubuk antifungal
Fungal tidak terkendali atau (Nistatin) atau terapi
 Lesi merah berbentuk terpaparnya kulit pada sistemik dengan
lingkaran (bisa disertai kelembaban tinggi Flukonazol
papul halus dan (rembesan)
pustula) dengan lesi
satelit. Bisa terjadi gatal
Dermatitis Kontak Alergi  Reaksi alergi pada pasien  Identifikasi iritan (skin

38
 Area eritematus, gatal, sensitif patch test) dan hentikan
dan atau melepuh yang  Jika reaksi alergi bersifat penggunaan iritan
berhubungan dengan kronis, akan sulit untuk  Menggunakan krim
alergen proses terapi dan identifikasi Hidrokortison dalam
iritan waktu singkat untuk
mengurangi reaksi alergi
 Antihistamin topikal
 Hindari pelarut dan sabun
di bawah kantong
Trauma Mekanikal  Frekuensi penggantian  Minimalisir penggantian
 Pembukaan kulit kantong yang berlebihan kantong
peristoma tanpa yang membuat luka pada  Perawatan kulit yang
kemerahan atau gatal kulit mantap dan atau
 Trauma tekanan dari sabuk penggunaan penyekat
 Penggunaan berlebihan dari pelindung
pelindung di sekitar  Kantong non-adhesive
pembatas lebih disarankan
Lesi Kulit Pseudoverukus  Waktu kontak yang  Pastikan patensi bukaan
 Maserasi lesi yang berlebihan antara urin kantong
meninggi di sekitar dengan kulit peristoma  Pasien harus menutup
stoma. Bisa  Jika lesi berkembang, pasien luka dan bila perlu
menyebabkan seringkali justru makin diperlukan penggantian
perdarahan dan nyeri menambah luas lesi kantong lebih sering
 Komplikasi lambat
Hernia Peristomal  Tidak diketahui secara jelas,  Sistem kantong yang
 Tonjolan yang bisa mungkin berhubungan fleksibel
dikecilkan di bagian dengan ukuran bukaan o perbaikan secara
bawah atau sekitar abdomen yang dibuat saat pembedahan dengan
stoma operasi mesh atau re-siting
o Bisa dihindari dengan Sabuk penyokong
meletakkan stoma hernia digunakan bila
diantara lapisan rectus hernia telah direduksi
abdominis
Enkrustasi alkaline  Deposit kristal pada kulit  Meningkatkan asupan
peristomal yang terpapar cairan oral
 Asidifikasi urin dengan 1
gram asam askorbat
harian
 Perendaman dengan
cuka selama 20 menit
saat penggantian
kantong
Diambil dari Maxwell, et al, 2020.

2.4 Diversi Urin Kontinen

Diversi urin kontinen terdiri dari sebuah kantong/reservoir bertekanan

rendah yang dibuat dari detubularisasi usus dengan mekanisme fungsional yang

didesain untuk mencegah keluarnya urin secara involunter, mirip dengan

prosedur orthotopic neobladder, namun dihubungkan pada dinding abdomen dan

39
kulit melalui saluran kateter non-refluks. Reservoir dikosongkan dengan

melakukan katerisasi mandiri berkala melalui stoma kulit di kuadran umbilikus

atau abdomen bagian bawah. Saluran kateter dapat dibuat dari berbagai segmen

usus, paling sering apendiks atau usus halus. Prinsip-prinsip diversi urin kontinen

adalah reservoir bertekanan rendah, tidak bocor maupun refluks dan memiliki

cara pengosongan yang sederhana dan efektif (Spencer, et al, 2018).

Dalam beberapa tahun terakhir, prosedur continent cutaneous reservoir

secara luas telah digantikan oleh orthotopic neobladder. Namun tetap menjadi

pilihan bagi pasien dengan beberapa pertimbangan (Spencer, et al, 2018).

Keuntungan utama dari continent cutaneous reservoir adalah kontinensia siang

dan malam hari tanpa adanya kebutuhan alat eksternal. Continent cutaneous

reservoir dapat dikaitkan dengan tingkat kontinensia tertinggi dari semua tipe

diversi urin, dimana tidak adanya alat urostomi dan hanya bantuan stoma yang

kecil dan relatif halus untuk menjaga citra tubuh. Kelebihan tersebut diimbangi

dengan tingginya kesulitan teknis, waktu operasi, dan tingkat komplikasinya (Lee,

et al, 2014).

2.4.1 Indikasi dan Kontraindikasi Diversi Urin Kontinen

Beberapa kasus pada anak seperti ureter ektopik bilateral, agenesis

kandung kemih, kerusakan organ panggul akibat trauma atau keganasan

kandung kemih memerlukan penggantian kandung kemih lengkap dan diversi

urin kontinen memungkinkan untuk dilakukan (Metcalfe dan Cain, 2010).

Diversi urin kontinen dan orthotopic neobladder memiliki kontraindikasi

absolut dan relatif yang hampir sama. Namun, terdapat kontraindikasi khusus

untuk orthotopic neobladder yang tidak berlaku untuk Diversi urin kontinen

seperti margin uretra positif dan disfungsi uretra. Untuk alasan ini, continent

cutaneous reservoir menjadi pilihan sangat baik untuk pasien yang tidak

memenuhi syarat untuk orthotopic neobladder tetapi masih menginginkan diversi

40
urin kontinen (Spencer, et al, 2018). Beberapa juga merekomendasikan diversi

urin kontinen pada pasien dengan karsinoma in situ terutama di leher kandung

kemih atau uretra (Mansson W, et al, 2003).

Tidak seperti prosedur ileal conduit, tipe diversi urin ini membutuhkan

partisipasi aktif jangka panjang, dan pasien harus menunjukkan ketangkasan dan

motivasi yang tinggi untuk melakukan perawatan kateterisasi mandiri dalam

jangka panjang. Pasien harus patuh dan mampu secara mental melakukan

kateterisasi mandiri dan mengetahui gejala reservoir penuh. Untuk alasan ini,

pasien dengan quadriplegia, multiple sclerosis, kondisi fisik sangat lemah, cacat

mental, atau lanjut usia, dianggap kurang tepat dijadikan kandidat untuk segala

bentuk diversi urin kontinen (Spencer, et al, 2018). Pemilihan pasien untuk

prosedur ini sangat penting karena ketidakpatuhan kateterisasi akan

mengakibatkan banyak komplikasi, meskipun operasi secara teknis sempurna.

Jika ada keraguan mengenai kesanggupan dan dukungan, akan lebih baik jika

dilakukan prosedur diversi urin non kontinen, seperti ileal conduit (Metcalfe dan

Cain, 2010).

Kelainan pada segmen usus seperti pada Crohn’s disease, severe irritable

bowel syndrome, malabsorbsi lemak, dan kolitis ulseratif yang membuat segmen

usus tidak dapat digunakan sebagai conduit, dikontraindikasikan menjalani

prosedur diversi urin kontinen. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin

serum sama dengan atau > 1,8 mg/dL dan atau kreatinin klirens sama dengan

atau < 40 mL per menit) tidak dianjurkan karena akan memperparah asidosis

metabolik pasien (Rink, et al, 2010). Begitu pula jika terjadi disfungsi hati berat,

prosedur diversi urin kontinen tidak direkomendasikan (Hautmann, et al, 2007).

2.4.2 Continent Cutaneous Reservoir

Pada tahun 1950-an, Hinman dan Weyrauch pertama kali mendeskripsikan

tekhnik continent reservoir. Terdapat beberapa kategori reservoir yang digunakan

41
dibagi berdasarkan segmen usus (ileocecum, kolon, dan ileum) (Rink, et al,

2010).

2.4.2.1 Ileal Reservoir

Kock pertama kali melaporkan prosedur ini pada tahun 1975 (Rink, et al,

2010). Kock memfokuskan pada pembuatan kantong ileum tekanan rendah.

Reservoir ini mencakup konstruksi nipple valves sebagai ujung proksimal dan

distal reservoir untuk mencegah refluks ureter (proksimal) dan inkontinensia

(distal). Sekitar 80 cm ileum distal pada orang dewasa, dengan bagian proksimal

15 sampai 20 cm digunakan untuk membuat mekanisme antirefluks, dan bagian

distal 12 sampai 15 cm digunakan untuk continent cutaneous stoma. Reservoir

Kock tidak lagi umum digunakan karena tingginya insiden komplikasi yang

berhubungan dengan nipple valves (Maxwell et al, 2020).

Double T-pouch dirancang untuk menciptakan mekanisme kontinensia dan

antirefluks menggunakan usus halus untuk mengurangi komplikasi yang terjadi

pada Kock-pouch. Beberapa teknik dimodifikasi untuk mengikuti teknik yang

dijelaskan oleh Stein dan Skinner pada tahun 2001. Tingkat kontinensia untuk

Double T-pouch dilaporkan setinggi 95% (Stein dan Skinner, 2001).

42
Gambar 2.9 Langkah-langkah pembuatan Double T-pouch. (a) Segmen proksimal
10 cm, segmen medial 45 cm, dan segmen distal 15 cm dari segmen
ileum 70 cm dibagi dan disiapkan. (b) Segmen 45 cm ditempatkan dalam
konfigurasi "W", dan segmen ileal proksimal dan distal diputar ke dalam
celah masing-masing "W." (c) Jendela di mesenterium, tepat di bawah
segmen ileum proksimal dan distal dibuat dan ditandai dengan penrose
drain. (d) Jendela untuk tungkai eferen memanjang 7-8 cm sedangkan
jendela untuk tungkai aferen terbentang 3–4 cm. (e) Menggunakan
stapler usus, tapering tungkai eferen dilakukan dengan kateter 16 Fr dan
tapering tungkai aferen dilakukan dengan kateter 30 Fr. (f) Tapering pada
tungkai eferen memiliki jalur untuk memudahkan kateterisasi. Usus
segmen "W" detubularisasi sepanjang mesenterika seperti yang
digambarkan oleh garis putus-putus (Warner dan Chan, 2017).

43
Gambar 2.10 (lanjutan) (g) Potongan tepi segmen "W" yang melapisi eferen dan
tungkai aferen dilakukan re-aproksimasi. (h) Dinding belakang "W"
dilakukan re-aproksimasi. (i) Kantung dilipat dan ditutup dengan
dilakukan re-aproksimasi kembali tepi potongan yang tersisa (Warner
dan Chan, 2017).

Sekitar 70 cm ileum terminal diisolasi, dengan jarak 15 cm distal ileum

terminal. Segmen proksimal 10 cm dari segmen 70 cm diisolasi dan akan

berfungsi sebagai mekanisme antirefluks dan tempat terjadinya anastomosis

uretero-enteric. Segmen distal 15 cm diisolasi dan diputar dan akan berfungsi

sebagai mekanisme kontinensia. Ileum yang tersisa dikonfigurasikan menjadi

bentuk "W". Setiap kaki "W" berukuran sekitar 11 cm. Mekanisme antirefluks

aferen dibuat dengan membuka jendela melalui mesenterium di dekat dinding

usus antara arkade vaskular sepanjang 3–4 cm distal. Demikian pula

mesenterium tungkai eferen dibuka di antara arkade vaskular sejauh 7-8 cm.

Sebuah penrose drain dapat ditempatkan melalui setiap jendela untuk

memfasilitasi lewatnya jahitan silk 3.0 secara horizontal melalui serosa dari

44
ekstremitas “W”. Setelah diamankan, bagian aferen 3–4 cm proksimal

diruncingkan di atas kateter 30Fr, sedangkan 7–8 cm bagian eferen diruncingkan

di atas kateter 16Fr (Warner dan Chan, 2017).

Setiap bagian "W" dijahit dengan jahitan absorbable. Usus kemudian

dibuka sesuai garis antimesenterika. Tepi usus yang dipotong dijahit di atas

tungkai eferen dan aferen. Tungkai medial dari "W" dilakukan re-aproksimasi dan

akhirnya tepi lateral setiap tungkai "W" dilakukan re-aproksimasi membentuk

kantong. Kemudian dilakukan anastomosis dua ujung ureter-ileum dan bagian

distal dari ekstremitas eferen dijadikan sebagai stoma (Warner dan Chan, 2017).

Modifikasi lain dijelaskan oleh Abol-Enein et al (2004) menggunakan katup

ekstramural berlapis serosa sebagai mekanisme kontinensia. Ureter ditanamkan

ke dalam reservoir ileum berbentuk W-shape melalui celah luar berlapis serosa

(Abol-Enein, et al, (2004).

Gambar 2.11 Mansoura pouch. Kontinen kutaneous ileal reservoir dibuat dari segmen
ileal detubularisasi. Dua segmen usus dimasukkan dan difiksasi ke dalam
celah serosa dan apendiks vermiformis berfungsi sebagai tungkai eferen
(Abol-Enein, et al, 2004).

45
2.4.2.2 Colon Reservoir

Pendekatan umum ahli bedah untuk kebutuhan diversi urin kontinen non

refluks adalah penggunaan colon pouch kanan di mana katup ileocecal tetap

utuh dan segmen distal 10–15 cm dari ileum terminal digunakan sebagai tungkai

aferen tempat ureter dianastomosis. Mekanisme kontinensia dalam tekhnik ini

adalah memanfaatkan prinsip Mitrofanoff menggunakan appendix atau Yang-

Monti channel. Stein, et al melaporkan tingkat kontinensia dengan colon pouch

kanan menjadi 100% (Stein, et al, 2004).

Colon pouch kanan dengan appendix tertanam di submukosa telah

dijelaskan dengan baik dalam literatur sebagai alternatif dari Indiana pouch.

Beberapa modifikasi telah dijelaskan dan mengarah ke teknik yang dijelaskan

oleh Stein et al. Dalam teknik ini prosedur dimulai dengan cara yang mirip

dengan Indiana pouch dengan mobilisasi usus kecil, cecum, dan colon ascenden

dan transversum. 30 – 40 cm dari colon ascenden dan transversum diisolasi,

bersama dengan 5–10 cm dari ileum terminal (Warner dan Chan, 2017).

Appendix kemudian dinilai kesesuaiannya sebagai tangkai yang dapat

dikateterisasi dengan kateter eferen. Umumnya, appendix berukuran 5-6 cm dan

harus bisa menampung kateter 12 Fr. Jika appendix dianggap tepat, appendix

dan mesoappendix dimobilisasi dengan hati-hati untuk menjaga suplai darah.

Tepi distal appendix diinsisi dan dikanulasi dengan kateter 12 Fr (Warner dan

Chan, 2017).

Jendela mesenterika dibuat melalui mesenterium appendix yang

berdekatan dengan serosa appendix. Selanjutnya, insisi longitudinal berukuran

4-5 cm dibuat melalui tenia anterior cecum hingga mukosa, sehingga mukosa

dapat mengembang ke dalam insisi tanpa merusak mukosa. Apendiks kemudian

dibalik dan diarahkan ke dalam saluran, dan silk 3.0 digunakan untuk re-

46
aproksimasi tepi lateral tenia yang diinsisi melewati setiap jahitan melalui jendela

mesenterika yang sebelumnya dibuat dengan cara U-stitch (Stein, et al, 2004).

Gambar 2.12 Sebuah saluran di tenia sekum dibuat untuk menahan appendiks
proksimal (Stein, et al, 2004).

Gambar 2.13 Tepi tenia serosa di re-aproksimasi kembali melalui jendela


mesenterika appendiks menggunakan silk 3.0 (Stein, et al, 2004).

Setelah semua jahitan dilewati, tepi tenia serosa di re-aproksimasi.

Appendiks ditanamkan ke dalam lapisan seromuskular dan menjaga suplai darah

melalui mesenterium. Sekitar 3-4 cm appendiks ditanamkan ke dalam tenia untuk

menciptakan mekanisme kontinensia yang memadai. Selanjutnya kolon yang

diisolasi, diinsisi di sepanjang batas antimesenterika dari colon transversum ke

sekum; saat mendekati appendiks, insisi menyimpang dari apendiks. Tepi distal

47
kolon medial kemudian diputar secara medial dan inferior ke tepi medial sekum

menciptakan "U" terbalik. Tepi posterior kemudian dijahit bersama dengan jahitan

absorbable (Warner dan Chan, 2017).

End-to-side anastomosis ureteroileal dilakukan melalui stent ke segmen

pendek ileum terminal. Stent dapat berupa double J stent dan diikat ke tabung

pouchostomi melalui jahitan atau dapat dimasukkan melalui katup ileocecal dan

kemudian dieksternalisasi melalui apendiks atau tempat pouchostomi terpisah.

Stoma dipilih di dinding anterior abdomen. Di tempat itu, jahitan absorbable

ditempatkan di kedua sisi stoma secara horizontal melalui fasia rektus posterior

dan kemudian sekum. Apendiks dilewatkan melalui dinding abdomen dan jahitan

yang sebelumnya ditempatkan tetap diikat, mengamankan sekum ke dinding

perut anterior (Warner dan Chan, 2017).

Saat apendiks tidak tersedia atau dinilai tidak cocok untuk dibuat bagian

eferen, pilihan alternatif adalah membuat Yang-Monti channel. Dalam

pendekatan ini, segmen tambahan 2-3 cm dari proksimal usus halus diisolasi,

didetubularisasi pada batas antimesenterika, dan retubularisasi sehingga

menciptakan saluran lumen (Wagner, et al, 2008).

Gambar 2.14 Dinding posterior colon pouch di re-aproksimasi kembali dengan


jahitan polyglactin 3-0. Kantung tersebut kemudian ditutup dengan
Heineke-Mikulicz dengan jahitan polyglactin 3-0 (Stein, et al, 2004).

48
Gambar 2.15 Berikut adalah colon pouch kanan lengkap dengan anastomosis
ureterolileal, siap untuk maturasi stoma pada kulit (Stein, et al, 2004).

Gambar 2.16 Yang-Monti channel, segmen ileum berukuran 2-3 cm, digunakan
proksimal dari ileum (Wagner, et al, 2008).

Gambar 2.17 Pembuatan Yang-Monti channel. (a) Segmen ileum berukuran 2-


3cm ditubularisasi ke garis antimesenterika untuk memungkinkan
jarak tubular lebih jauh pada satu sisi mesenterium. (b) Segmen
detubularisasi siap untuk digulung pada sumbu tegak lurus. (c)
Segmen ileum di tubularisasi dengan jahitan absorbable 3.0 (Wagner,
et al, 2008).

49
Kolon asendens didetubularisasi, dan kantong dibuat seperti yang

dijelaskan sebelumnya. Taenia caecum proksimal dipilih untuk tempat penyisipan

saluran. Sebuah celah 4 cm dibuat, dan dasar celah digunakan untuk Yang-

Monti channel yang akan dianastomosis dan kemudian dimasukkan ke dalam

celah untuk membuat kantong antimesenterika (Wagner, et al, 2008).

Gambar 2.18 Yang-Monti channel dimasukkan dalam celah yang dibuat di tenia
anterior, menciptakan mekanisme flap-valve (Wagner, et al, 2008).

2.4.2.3 Ileocecal Reservoir

Indiana pouch menggunakan detubularisasi sekum sebagai reservoirnya,

dengan ureter ditanamkan secara non refluks ke dalam taenia libera. Ileum distal

yang menyempit dan menempel pada katup ileocecal, yang diperkuat oleh

jahitan Lembert, dan dibawa ke kulit sebagai saluran kateterisasi (Rink, et al,

2010).

Indiana pouch menawarkan keuntungan yang berbeda dibandingkan

bentuk lain yang terdiri dari gabungan ileum dan colon sebagai diversi urin

kontinen dengan menggunakan mekanisme kontinensia alami dari katup

ileocecal. Keuntungan lain adalah lebih mudah dibuat pada pasien obesitas

karena panjang ileum terminal disiapkan untuk segmen yang dapat dikaterisasi.

50
Tingkat kontinensia dari Indiana pouch dilaporkan mencapai 93-97% (Torrey, et

al, 2017).

Setelah dilakukan sistektomi, dilakukan mobilisasi colon asendens ke

distal dari fleksura hepatica. Ileum terminal dibagi 10–15 cm dari proksimal katup

ileocecal dan tambahan mesenterium 5–8 cm di sepanjang bidang avascular.

Gambar 2.19 Isolasi segmen ileo-colon yang digunakan untuk Indiana pouch (Warner
dan Chan, 2017).

Kontinuitas usus dipulihkan dengan cara side to side menggunakan

stapler usus. Segmen colon dibuka di sepanjang antimesenteric border. Segmen

ileum kemudian diruncingkan (Warner dan Chan, 2017).

Gambar 2.20 Segmen kolon dibuka sepanjang antimesenteric border sampai ke


dasar apendiks. Kateter robinson melintasi katup ileocecal
(Daneshmand, 2017).

51
Gambar 2.21 Stapler GIA digunakan untuk meruncingkan segement ileum ke dasar
katup ileocecal (Daneshmand, 2017).

Kateter 12 French ditempatkan ke dalam ileum dan melewati katup

ileocecal. 1–2 cm terakhir di dekat katup ileocecal tidak dijepit. Dilakukan jahitan

Lembert interuptus dengan silk 3.0 di dasar katup ileocecal superior, anterior,

dan inferior. Kateter Robinson 16Fr harus dipastikan melewati segmen ileum dan

katup ileocecal dengan mudah (Warner dan Chan, 2017).

Gambar 2.22 Jahitan Lembert interuptus dengan silk 3.0 di dasar katup ileocecal
superior, anterior, dan inferior (Daneshmand, 2017).

Gambar 2.23 Indiana pouch menggunakan katup ileocecal sebagai mekanisme


kontinen dan sekum sebagai penyimpanan urin (Metcalfe dan Cain,
2010).

52
Colonic pouch kemudian ditutup dengan melipat tepi apendiks sekum ke

tepi kolon bagian distal. Hal ini memungkinkan segmen ileum menghadap ke

anterior lalu ditutup dengan jahitan poliglaktin 3.0. Setelah kantong tertutup,

ujung kanan/sudut dari garis jahitan kolon secara alami cenderung berputar 90°

berlawanan arah jarum jam ke arah panggul. Dengan kantong dalam posisi

terakhir ini, anastomosis ureter dipilih dan dilakukan. Garis jahitan kolon

bertindak sebagai median longitudinal yang menentukan kanan dan kiri. Ureter

kiri dianastomosis ke bagian antimesenterika kantong kolon di bagian inferior kiri

dari jahitan. Ureter kanan dianastomosis ke bagian antimesenterika colonic

pouch di bagian inferior kanan dari jahitan (Warner dan Chan, 2017).

2.4.3 Orthotopic Neobladders

Meskipun ileal conduit tetap merupakan pengalihan saluran kemih yang

paling umum dilakukan di seluruh dunia, diperkirakan lebih dari 80% pasien yang

menjalani diversi urin merupakan kandidat untuk menjalani orthotopic

neobladders. Banyak pasien enggan menjalani radikal sistektomi jika mereka

membutuhkan urostomi. Orthotopic neobladders dapat mendorong pasien untuk

menjalani sistektomi yang lebih tepat waktu (Hautmann, et al, 2015).

Salah satu studi mendokumentasikan tingkat kelangsungan hidup 5 tahun

yang lebih tinggi secara signifikan pada pasien yang menjalani orthotopic

neobladders dibandingkan dengan ileal conduit. Di beberapa institusi, orthotopic

neobladders menjadi baku emas diversi urin setelah radikal sistektomi.

Orthotopic neobladders sangat bergantung pada fungsi sfingter uretra eksterna

untuk mencegah inkontinensia. Namun, faktor lain seperti ukuran kantong dan

kepatuhan juga berperan dalam menjaga kontinensia. Orthotopic neobladders

yang berfungsi secara ideal akan memungkinkan pasien untuk buang air kecil

secara berkala dan menyimpan urin pada tekanan rendah di malam hari. Secara

53
umum, beberapa bentuk manuver Valsava diperlukan untuk mengosongkan

reservoir (Warner dan Chan, 2017).

2.4.3.1 Persiapan Operasi

2.4.3.1.1 Persiapan Uretra Selama Radikal Sistektomi

Diseksi apikal kompleks prostat dan uretra sangat penting untuk

memastikan fungsi yang optimal. Setelah kandung kemih sepenuhnya

dibebaskan dan dimobilisasi ke posterior, perhatian kemudian diarahkan ke

anterior ke dasar panggul dan uretra. Semua jaringan fibroareolar antara dinding

kandung kemih anterior dan prostat dibedah dari simfisis pubis. Fasia endopelvis

diinsisi di dekat prostat dan otot levator dengan hati-hati pada bagian lateral dan

apikal prostat. Jika nerve sparing akan dilakukan, maka fasia prostat lateral

diinsisi dan dilakukan diseksi neurovaskular bundle dari prostat. Vena dorsal

superfisial diidentifikasi, diikat, dan dibagi. Dengan ketegangan ditempatkan di

posterior prostat, lesi puboprostatik diidentifikasi dan diinsisi. Apek prostat dan

pars membranosa uretra kemudian akan terlihat. Uretra kemudian diinsisi di

anterior dan lateral tepat di apek prostat. Enam jahitan asam poliglikolat 2.0

dipasang di uretra anterior, dengan hati-hati memasukkan mukosa dan

submukosa otot sfingter uretra di anterior. Setelah itu, dilakukan dua jahitan

uretra posterior menggabungkan otot rektouretralis atau bagian ekor dari fasia

Denonvilliers. Urethra posterior kemudian dapat dipisah dan kandung kemih

diangkat. Sangat penting untuk melakukan frozen section dari margin uretra

distal untuk menyingkirkan keterlibatan tumor (Warner dan Chan, 2017).

2.4.3.1.2 Rekonstruksi Orthotopic neobladders

Sebagian besar reservoir ileum menggunakan 60 hingga 75 cm ileum

terminal, yang didetubularisasi dengan berbagai cara untuk membuat ulang

bentuk seperti kandung kemih. Ada banyak jenis orthotopic neobladders yang

dijelaskan mencakup variasi dalam berbagai teknik, lokasi anastomosis

54
ureteroileal dan ada atau tidak adanya mekanisme antireflux. Dua bentuk diversi

urin yang paling umum adalah neobladders Hautmann “W” dan Studer dengan

berbagai modifikasi. Keduanya memiliki reservoir tekanan rendah dengan refluks

anastomosis ureteroileal dan telah dikaitkan dengan hasil fungsional yang sangat

baik. Teknik T-pouch dan ekstraserosal tunnel mungkin bermanfaat jika

mekanisme antirefluks diperlukan (Warner dan Chan, 2017).

2.4.3.1.2.1 Hautmann Neobladder

Neobladder ileal ini dikembangkan oleh Hautmann dan rekannya dan

merupakan reservoir (konfigurasi W) berkapasitas besar untuk mengoptimalkan

volume dan berpotensi mengurangi inkontinensia pada malam hari (Hautmann,

2010). Sekitar 70 cm dari ileum distal diisolasi. Bagian ileum yang paling mudah

mencapai uretra diidentifikasi dan ditandai dengan jahitan traksi di sepanjang

antimesenteric border. Usus yang diisolasi kemudian dibentuk "W" dan diinsisi

sepanjang antimesenteric border kecuali untuk bagian 5-cm di sepanjang jahitan

traksi di mana insisi melengkung untuk membuat flap berbentuk U. Keempat

tungkai W kemudian dijahit satu sama lain dengan jahitan absorbable. Segmen

ileum kemudian diinsisi di lokasi anastomosis uretra, yang kemudian dilakukan

jahitan dan difiksasi dari dalam neobladder. Setelah neobladder dibawa ke

panggul dan jahitan uretra diamankan, ureter ditanamkan kedalam neobladder

melalui insisi kecil di ileum. Bagian dinding anterior yang tersisa kemudian ditutup

dengan jahitan absorbable (Warner dan Chan, 2017).

Awalnya Hautmann menggunakan anastomosis ureter antirefluks, namun

karena kejadian striktur ureteroileal, Daneshmand et al memodifikasi teknik ini

menjadi refluks bebas. Hal ini mengakibatkan penurunan stenosis ureteroileal

dari 9,5% menjadi 1% (Hautmann, et al, 2006).

Hautmann pouch memiliki kapasitas awal yang lebih besar daripada

Studer pouch, yang dikaitkan dengan kontinensia malam hari yang lebih baik.

55
Kontinensia bergantung pada karakteristik fungsi reservoir. Sebagian besar

reservoir ileum menyediakan sistem tekanan rendah dan kapasitas reservoir

lebih dari 500 cc setelah beberapa bulan. Terlepas dari kenyataan bahwa

kebanyakan pasien pada akhirnya berakhir dengan reservoir bertekanan rendah

yang besar, tingkat kontinensia nokturnal sangat bervariasi dan biasanya tidak

terkait dengan ukuran kantong. Perbandingan dari dua neobladders

menunjukkan kontinensia serupa dengan lebih dari 50% inkontinensia nokturnal

(Hautmann, 2010).

2.4.3.1.2.2 Modified Studer pouch

Reservoir ileum ini awalnya dijelaskan oleh Studer dan rekannya dan

termasuk segmen ileum tubular yang panjang, aferen, isoperistaltik. Tungkai

aferen berfungsi untuk menurunkan refluks vesikoureteral yang signifikan ketika

pasien berkemih dengan manuver valsava. Teknik ini telah menjadi salah diversi

ortotopik paling populer di Amerika Serikat. Bagian reservoir menggunakan

konfigurasi “U” seperti yang awalnya dijelaskan oleh Kock. Studer dan

kelompoknya melaporkan 480 prosedur yang dilakukan selama periode 20 tahun

dengan hasil jangka panjang yang sangat baik dalam hal kontinensia, fungsi

ginjal, dan tingkat striktur ureteroileal kurang dari 3% (Studer, et al, 2006).

Bagian terminal ileum (panjang 54-56cm diisolasi sekitar 15-20cm

proksimal katup ileocecal). Bagian mesenterika distal dibuat di sepanjang bidang

avaskular antara arteri ileokolika dan cabang terminal dari arteri mesenterika

superior. Divisi mesenterika proksimal menyediakan suplai darah vaskular yang

luas ke reservoir. Selain itu, jendela kecil mesenterium dan 5 cm ileum proksimal

dari keseluruhan segmen ileum dibuang, memastikan mobilitas ke kantong dan

anastomosis usus halus. Anastomosis side to side dan end to end dilakukan

dengan menggunakan stapler (Warner dan Chan, 2017).

56
Gambar 2.24 Isolasi segmen usus (Warner dan Chan, 2017).

Reservoir dibangun dari ileum distal 40-44 cm dengan masing-masing

tungkai "U" berukuran 20-22 cm, dan segmen ileum proksimal 15 cm yang

digunakan sebagai tungkai aferen. Jika panjang ureter pendek atau terganggu,

segmen ileum aferen yang lebih panjang (ileum proksimal) dapat digunakan.

Ujung proksimal segmen ileum aferen yang diisolasi ditutup dengan jahitan

absorbable. Segmen ileum yang diisolasi dibuka sekitar 2 cm dari mesenterium

(Warner dan Chan, 2017).

Gambar 2.25 Membuka segmen usus yang sudah diisolasi (Warner dan Chan,

2017).

57
Mukosa ileum yang sebelumnya diinsisi kemudian dijahit dengan dua

lapis jahitan asam poliglikolat 3.0 yang dimulai dari apeks dan menuju ke atas ke

ekstremitas aferen. Reservoir kemudian ditutup dengan melipatnya menjadi dua

ke arah berlawanan dengan arah pembukaannya (Warner dan Chan, 2017).

Gambar 2.26 Reservoir kemudian ditutup dengan melipatnya menjadi dua ke arah
berlawanan dengan arah pembukaannya (Warner dan Chan, 2017).

2.4.3.1.2.3 T Pouch Modification

Dalam upaya untuk mempertahankan mekanisme antireflux tetapi

menghindari potensi komplikasi jangka panjang, T pouch dikembangkan melalui

modifikasi ureteral tunnel berlapis serous Ghoneim dan Abol-Enein (Stein dan

Skinner, 2006). Mirip dengan neobladder Studer, T pouch berisi tungkai aferen

antireflux sepanjang 15 cm. Ileum dibagi antara segmen ileum aferen proksimal

sekitar segmen 44 cm, dan mekanisme antirefluks dibuat dengan mengikat

segmen distal 3–4 cm dari segmen ileum aferen 15 cm ke dalam celah ileum

yang dilapisi serosa yang dibentuk oleh dasar dua segmen ileum. Jendela

mesenterika dibuka di antara arkade vaskular di ekstremitas-T (Warner dan

Chan, 2017).

58
Gambar 2.27 T-pouch modification (a) Jendela mesenterika dibuka di antara arkade
vaskular di T-limb. (b) Konstruksi mekanisme antirelux menggunakan
teknik flap-valve. (c) Anastomosis dari flap ileum ke ileum aferen (Warner
dan Chan, 2017).

Jahitan silk 3-0 kemudian digunakan untuk aproksimasi serosa dari dua

segmen ileum 22-cm yang berdekatan di dasar "U" dengan jahitan dilewatkan

melalui jendela Deaver yang sebelumnya terbuka untuk mengaitkan bagian

aferen. Deskripsi awal dari T pouch termasuk meruncingkan bagian distal dari

segmen aferen setelah dimasukkan ke dalam channel untuk mengurangi

diameternya dan mengurangi risiko refluks. Ketika inisisi di bagian "U" dari

reservoir mencapai ostium aferen, inisisi tersebut diperpanjang langsung ke

lateral antimesenterika border ileum dan dibawa ke atas (cephalad) ke dasar

segmen ileum. Sayatan ini menyediakan flap lebar ileum yang dibawa melewati

segmen ileum aferen dan dijahit dalam dua lapisan untuk membuat mekanisme

antireflux dalam teknik flap-valve. Anastomosis mukosa-ke-mukosa yang

terputus kemudian dilakukan antara ostium tungkai ileum aferen dan flap ileum

yang diinsisi dengan jahitan asam poliglikolat 3-0. Neobladder dibuat dengan

cara yang sama seperti Studer pouch (Warner dan Chan, 2017).

Setelah reservoir dilipat menjadi dua, dinding anterior ditutup dengan

jahitan asam poliglikolat 3.0 dua lapis yang kedap air. Garis jahitan anterior

59
dihentikan sedikit dari sisi kanan (pasien) untuk memungkinkan dimasukkannya

jari telunjuk, yang akan menjadi leher neobladder (Warner dan Chan, 2017).

Gambar 2.28 Penutupan dinding anterior neobladder. Perhatikan leher


neobladder di ujung garis jahitan dibiarkan terbuka untuk anastomosis
uretra (Warner dan Chan, 2017).

Sebaliknya, lubang baru dapat dibuat di bagian reservoir yang paling

mobile dan bergantung seperti yang dijelaskan sebelumnya oleh Studer.

Meskipun diperkirakan mengurangi lipatan yang dapat terjadi di leher kandung

kemih yang menyebabkan obstruksi, tingkat retensi urin tampaknya serupa

dengan kedua teknik. Setiap ureter dibuat spatulasi dan anastomosis ureteroileal

end to side menggunakan jahitan asam poliglikolat 4-0 secara interuptus.

Reservoir dianastomosis ke uretra menggunakan jahitan uretra yang dipasang

sebelumnya (Clifford, et al, 2016).

Gambar 2.29 Anastomosis ureteroileal. (Warner dan Chan, 2017).

60
Gambar 2.30 Anastomosis uretra (Warner dan Chan, 2017).

2.4.3.2 Hasil Fungsi berkemih

Diversi urin dengan ileum sebagai orthotopic neobladders merupakan

reservoir yang paling mirip dengan kandung kemih asli dalam kapasitas dan

fungsinya. Secara umum refleks peregangan kandung kemih dan sensasi

pengisian tidak ada lagi dan kebanyakan pasien perlu mengosongkan kandung

kencing berdasarkan waktu berkemih dengan relaksasi sfingter, manuver

Valsava, dan manuver Crede (Daneshmand, 2017).

Tingkat kontinensia siang hari sangat bervariasi, tetapi umumnya sangat

baik, berkisar dari 80% sampai 98%. Kontinensia pada malam hari dalam

penelitian yang sama ini berkisar dari 72% hingga 80%; namun, hampir semua

penelitian ini bersifat retrospektif dan bergantung pada hasil yang dilaporkan oleh

dokter. Ada 351 pasien menjalani modified Studer pouch. Kontinensia siang hari

memuncak pada 92% pada 12-18 bulan pasca operasi, sedangkan kontinensia

malam memuncak pada 51% pada 18-36 bulan. Usia di atas 65 dan diabetes

dikaitkan dengan kontinensia siang hari yang lebih buruk (Studer, et al, 2006).

61
Hanya 10% dari pasien melaporkan kateterisasi intermiten berkala pada waktu

kapanpun dalam periode pasca operasi (Clifford, et al, 2016). Upaya lebih lanjut

diperlukan untuk memahami mekanisme yang terlibat dalam kontinensia malam

hari dan apakah intervensi (seperti rehabilitasi dasar panggul, penggunaan obat-

obatan) mungkin dapat meningkatkan hasil yang lebih baik. Penting untuk diingat

bahwa sebagian besar pasien yang memakai pembalut di malam hari merasa

puas dengan kondisi pembalut mereka karena sebagian besar melaporkan

pembalut mereka "kering" atau "sedikit basah". Mengingat keamanan,

kemanjuran, dan mengurangi peralatan eksternal dan kateterisasi, orthotopic

neobladders menawarkan hasil fungsional terbaik untuk pasien yang menjalani

sistektomi dan diversi urin (Warner dan Chan, 2017).

2.4.4 Komplikasi Diversi Urin Kontinen

Diversi Urin kontinen merupakan sebuah tindakan bedah yang memiliki

resiko komplikasi. Resiko komplikasi ini bergantung pada teknik operasi, kondisi

penyakit pasien yang mendasari, progresifitas penyakit pasien, usia pasien, serta

durasi follow up pasien. Berbagai komplikasi pada pasien dengan diversi Urin

kontinen telah dilaporkan. Pada dasarnya, komplikasi dapat dibagi menjadi

komplikasi dini dan lanjut sesuai dengan waktu terjadinya, Komplikasi dini (terjadi

pada sekitar 10-20% pasien) dapat berupa perdarahan, obstruksi usus, ileus,

ekstravasasi urin, dan infeksi. Sedangkan pada komplikasi lanjut (10-20%

pasien) dapat berupa kelainan metabolik, ketidakseimbangan elektrolit, masalah

pada stoma (stenosis atau hernia), pielonefritis, dan timbulnya batu. Pada

beberapa pasien, komplikasi yang lebih parah dapat terjadi peritonitis dan nyeri

akut abdomen (Maxwell, et al, 2020). Pasien yang melakukan diversi urin

kontinen memiliki tingkat komplikasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan teknik

neobladder dan diversi urin non kontinen (Nazmy, et al, 2014).

62
2.4.4.1 Kelainan Metabolik dan Nutrisi

Pasien dengan diversi urin kontinen berisiko mengalami

komplikasi metabolik, yang mungkin memiliki konsekuensi serius, terutama jika

tidak diketahui dan diperbaiki (Hautmann, et al, 2007). Absorbsi atau eksresi dari

cairan, elektrolit, nutrien, dan eksresi produk limbah tubuh secara normal dapat

melalui dinding usus. Kelainan metabolik dapat terjadi ketika segmen usus

diekspos ke saluran kemih. Hal ini dapat menyebabkan hiponatremia,

hipoklorida, atau asidosis metabolik dengan hiperkalemia. Sedangkan komplikasi

nutrisi adalah gangguan penyerapan vitamin B12, osteoporosis atau osteopenia,

gangguan asam lemak, garam empedu, dan batu saluran kemih (Maxwell, et al,

2020). Menurut segmen usus yang digunakan untuk reservoir, kelainan elektrolit

yang berbeda dapat terjadi pada segmen usus yang digunakan. Misalnya,

segmen ileum menyerap lebih banyak kalium, sedangkan segmen colon dapat

menyerap lebih banyak natrium dan klorida, dengan kemungkinan peningkatan

asidosis hiperkloremik (Hautmann, et al, 2007). Asidosis metabolik tipe

hiperkloremia sering ditandai dengan gejala lemas, anoreksia, muntah, nafas tipe

Kussmaul, dan koma. Selain itu, asidosis kronis dapat mempengaruhi tulang

dengan berbagai cara. Kelainan asam basa pada pasien dengan osteomalasia

harus diperbaiki terlebih dahulu, karena hal ini dapat menyebabkan

remineralisasi. Lebih lanjut, pengobatan dengan vitamin D dan suplemen kalsium

juga direkomendasikan (Rink, et al, 2010).

Penggunaan ileum dan segmen ileocecal juga dapat menyebabkan

defisiensi vitamin B12 kronis pada beberapa pasien karena penyerapan vitamin

B12 terjadi terutama di ileum terminal. Defisiensi kronis dapat menyebabkan

gejala neurologis dan hematologis ireversibel (Yakout dan Bissada, 2003).

63
Garam empedu berperan penting dalam pencernaan lemak dan

penyerapan vitamin A dan vitamin D. Metabolisme garam empedu mungkin

berubah setelah dilakukan reseksi ileum. Reseksi dari segmen kecil ileum

memiliki hubungan dengan malabsorpsi ringan dan steatorrhea untuk

meningkatkan konsentrasi garam empedu yang dikirimkan ke kolon. Peningkatan

konsentrasi dari garam tersebut menyebabkan menurunnya absorbsi dari air dan

elektrolit. Reseksi dari segmen besar ileum bisa mengurangi reabsorbsi garam

empedu hingga ke level yang sangat rendah, yang akan menyebabkan

malabsorbsi lemak yang parah. Lamanya waktu transit di usus juga mungkin

berkurang bila dilakukan reseksi dan adanya kerusakan katup ileocecal.

Kolestiramin bisa digunakan untuk mengatasi diare garam empedu tipe

sekretorik. Dosis kolestiramin yang bisa diberikan adalah 4 gram dibagi menjadi

2 dosis dalam sehari secara per oral. Jika diare berlanjut, penambahan agen lain

seperti loperamide, diphenoxylate, dan difenoxin yang mampu menurunkan

motilitas usus dan meningkatkan waktu transit. Kolelititasis mungkin juga

menjadi lebih mudah terbentuk setelah dilakukan reseksi ileum. Pembatasan

asupan lemak direkomendasikan untuk pasien yang mengalami steatorea

dengan kadar > 20gram/hari (Maxwell, et al, 2020).

Defisiensi vitamin B12 juga dapat disebabkan oleh reseksi lambung atau

usus. Defisiensi vitamin B12 akan menyebabkan anemia megaloblastik dan

parestesi saraf tepi. Jadi sebaiknya, level vitamin ini diukur setelah pasien

melakukan operasi reseksi segmen tersebut. Terapi pilihan untuk komplikasi ini

adalah injeksi vitamin B12 bila ditemukan defisiensi yang bermakna (Maxwell, et

al, 2020).

Sodium klorida dan thiazide (dikombinasikan) dapat membantu

mengurangi sindroma jejunal conduit, yaitu adanya hiponatremia, asidosis

hipokloremia, hiperkalemia, azotemia, mual, muntah, dehidrasi, lemas pada otot,

64
kenaikan suhu tubuh, dan letargi. Sindroma ini disebabkan oleh kurangnya

sodium klorida karena sodium klorida terlalu banyak masuk ke dalam urin dan

terjadi pertukaran dengan potasium dan urea dari conduit. Gangguan metabolik

yang dapat terjadi pada diversi urin dengan menggunakan segmen jejunum,

ileum, dan kolon dapat dirangkum dalam tabel berikut (Kreder dan Stone, 2019):

Tabel 2.3 Gangguan metabolik yang dapat terjadi di berbagai pilihan segmen
usus untuk diversi urin

Segmen Fungsi Abnormalitas Terapi Pencegahan


Fisiologis
Gaster  Sekresi  Hipokloremia,  Pemberian  Proton-pump
H+,Cl-,K alkalosis cairan saline, inhibitor,
+
metabolik penggantian suplementasi
 Sekresi dengan KCl, proton- KCl
gastrin hipokalemia pump inhibitor  Proton-pump
 Alkalosis  Pemberian inhibitor,
metabolik, cairan saline, suplementasi
sindroma koreksi KCl
hematuria- asidosis
disuria dengan
NaHCO3
Jejunum  Sekresi dari  Hiponatremia,  Pemberian  Suplementasi
Na+ dan hiperkalemia, cairan saline, NaCl per oral,
Cl- asidosis koreksi hidrasi
 Reabsorpsi metabolik asidosis
K+ dan dengan dengan
H+ hipokloremia, pemberian
azotemia NaHCO3
 Sindroma
jejunal
conduit, yaitu
lemas, mual,
muntah,
dehidrasi,
demam
Ileum,  Absorpsi  Asidosis  Koreksi  NaHCO3 per
colon NH4+, Cl- metabolik asidosis oral atau
 Tidak hiperkloremia dengan bisitrat
menyera dengan atau pemberian  Klorpromazin
p K+ tanpa NaHCO3 dan atau asam
hipokalemia penggantian nikotinat untuk
K+ secara mengurangi
simultan kebutuhan
alkalinizing
agents

Diambil dari Kreder dan Stone, 2019.

65
2.4.4.2 Stoma

Komplikasi pada stoma seringkali menjadi keluhan utama pasien pasca

operasi baik pada diversi urin kontinen maupun diversi urin non kontinen,

sehingga proses pembuatan stoma saat operasi memerlukan perhatian yang

lebih dari operator. Komplikasi ini dapat dibagi menjadi dua kelompok besar,

yaitu komplikasi stoma dan komplikasi peristoma. Contoh komplikasi pada stoma

adalah nekrosis, stenosis, hernia, retraksi, atau prolaps. Sedangkan contoh

komplikasi peristoma adalah dermatitis yang mungkin disebabkan oleh jamur,

reaksi kontak alergi, trauma mekanis, dan dermatitis kontak yang dapat berakibat

enkrustasi alkali karena adanya kontak urin pada kulit seiring berjalannya waktu

(Maxwell et al, 2020). Tingkat komplikasi stomal dan peristoma berkisar dari 15%

hingga 65% (Szymanski, et al, 2010).

Pada diversi urin kontinen ataupun stenosis stoma, dermatitis relatif

jarang terjadi karena waktu kontak urin dengan kulit lebih sedikit bila

dibandingkan dengan diversi urin non kontinen. Sedangkan stenosis stoma,

dikatakan angka kejadiannya meningkat seiring waktu. Stenosis stoma dapat

mengakibatkan elongasi/pemanjangan dari conduit dan obstruksi saluran bagian

atas. Kondisi ini dapat didiagnosa relatif mudah dengan melakukan kateterisasi

stoma dan mengukur volume urin residu (Szymanski, et al, 2010).

Herniasi stoma, umumnya terjadi sebagai komplikasi tipe lambat,

biasanya terjadi pada 5-28% pasien (Szymanski, et al, 2010). Hal ini dapat

terjadi karena lokasi stoma yang berada di sisi lateral dari otot rectus abdominis,

dimana struktur ini kehilangan jaringan berbentuk melingkar yang dapat

menyokong bagian tepi stoma. Hernia seringnya terjadi di daerah superolateral

dari stoma. Sedangkan reposisi stoma tidak juga mengurangi resiko hernia

parastomal (Fawcett, 2004). Pada beberapa pasien juga ditemukan penonjolan

66
stoma tanpa disertai hernia. Proses perbaikan stoma membutuhkan penguatan

fasia dari rectus dengan mesh, bisa secara intraperitoneal melalui lokasi insisi

sebelumnya ataupun melalui insisi baru yang berada di lateral dari stoma. Pada

beberapa pasien kadang juga diperlukan pemindahan stoma ke lokasi yang baru,

misalnya ke sisi kontralateral (Maxwell, et al, 2020).

2.4.4.3 Pielonefritis dan Kerusakan Ginjal

Masalah umum lainnya pada pasien dengan diversi urin kontinen adalah

terjadinya bakteriuria kronis. Tingkat kultur urin positif berkisar antara 50% dan

90%. Dalam kebanyakan kasus, bakteriuria tidak bergejala tanpa tanda klinis

yang signifikan dari infeksi saluran kemih (ISK). Baru-baru ini telah dilaporkan

bahwa hanya 22% pasien dengan reservoir atau ortotopik neobladder yang

menunjukkan gejala ISK dalam satu tahun (Thulin, et al, 2010). Kurangnya

kebersihan tidak menjadi alasan terjadinya ISK setelah diversi urin pada pasien

dengan kateterisasi mandiri disebabkan karena usus berbeda dengan

urothelium, tidak mampu menghambat proliferasi bakteri. Pasien dengan

bakteriuria asimtomatik tanpa tanda klinis tidak memerlukan pengobatan

antibiotik (Hautmann, et al, 2007).

Pielonefritis terjadi pada sebagian kecil pasien pasca diversi urin

kontinen. Terapi pielonefritis didasarkan pada biakan sampel urin. Sampel urin

yang digunakan untuk biakan tidak boleh diambil dari kantong urin, namun

dengan cara membersihkan stoma terlebih dahulu dengan antiseptik, kemudian

pasien dipasangkan kateter. Kemudian urin dari kateter inilah yang diambil

sebagai sampel. Kerusakan ginjal yang progresif ditandai dengan hidronefrosis

dan peningkatan kreatinin serum. Apabila pasien masih mengalami hidronefrosis

yang menetap, dicurigai adanya refluks aliran urin pada conduit atau adanya

obstruksi pada anastomosis ureter. Lopogram dapat membantu menilai apakah

67
terdapat aliran balik dari urin dalam kasus seperti ini. Pada beberapa kasus juga

kadang diperlukan pencitraan lain seperti scan ginjal dengan radionuklida

(MAG3) untuk menilai adanya aliran maju urin dari ginjal ke ureter. Apabila

hidronefrosis dan pielonefritis masih menetap, kemungkinan besar sudah terjadi

kerusakan ginjal yang cukup parah (Maxwell, et al, 2020).

2.6.4 Batu

Terbentuknya batu pada pasien pasca operasi diversi urin kontinen

memiliki angka kejadian yang cukup rendah. Staples, mesh, dan benang yang

bertipe nonabsorbable, dapat menjadi nidus terbentuknya batu. Kolonisasi

kuman juga dapat terjadi pada conduit atau kantong penampung. Namun yang

sampai mencapai komplikasi sistemik cukup jarang. Beberapa jenis bakteri juga

dapat menyebabkan timbulnya batu seperti Proteus, Klebsiella, dan

Pseudomonas sp., yang memproduksi urease, sebuah enzim urea-splitting yang

membentuk amonium fosfat, kalsium fosfat, dan kristal apatit karbonat.

Tatalaksana batu ini adalah dengan cara pengambilan batu, resolusi dari infeksi,

dan penggunaan agen tambahan yang berfungsi untuk disolusi batu.

Pembentukan batu dapat terjadi lebih cepat pada pasien yang memiliki kelainan

asidosis sistemik. Waktu kontak yang lama antara urin dengan permukaan

segmen usus yang dijadikan sebagai conduit, akan membuat pertukaran klorida

dengan bikarbonat terjadi. Kehilangan bikarbonat pada sistemik, akan

menyebabkan asidosis dan hiperkalsiuria. Kemudian kombinasi dari

hiperkalsiuria dan alkalinuria membantu terbentuknya batu kalsium. Sebagai

tambahan, segmen ileum terminalis, berperan dalam penyerapan garam

empedu. Apabila segmen ini diambil sebagai conduit, kelebihan garam empedu

pada saluran pencernaan akan mengikat kalsium dan meningkatkan penyerapan

oksalat, yang kemudian akan membantu pembentukan batu oksalat. Kemudian

68
hipositraturia juga meningkatkan peluang terbentuknya batu. Selain yang telah

disebutkan di atas, panjang conduit yang berlebihan, stasis dari urin, dan

dehidrasi juga dikatakan meningkatkan peluang terbentuknya batu.

69
BAB III
KESIMPULAN

Diversi urin pada era bedah modern saat ini terjadi perkembangan cukup

pesat terkait dalam berbagai teknik yang dilakukan karena meningkatnya dalam

pemahaman tentang aspek anatomi dan fisiologis usus yang akan digunakan

sebagai pengganti saluran kemih dan komplikasi yang dapat terjadi. Diversi urin

bertujuan untuk melindungi ginjal dari efek kerusakan oleh peningkatan tekanan

kandung kemih, tetapi saat ini semakin luas digunakan untuk mencapai

kontinensia urin. Indikasi dari diversi urin adalah ketika kandung kemih sudah

tidak dapat berfungsi normal sebagai tempat penampungan urin baik oleh faktor

keganasan ataupun non keganasan. Secara keseluruhan, indikasi paling umum

adalah kanker kandung kemih invasif yang membutuhkan sistektomi radikal.

Kontraindikasi pada tiap tindakan ini adalah kelainan pada segmen usus dan

gangguan fungsi ginjal.

Pilihan diversi urin melibatkan banyak faktor dan pertimbangan dari

masing-masing jenis diversi. Pada pasien yang memenuhi syarat untuk dilakukan

orthotopic neobladder memiliki keuntungan dengan tidak adanya stoma eksternal

dan dapat menjaga citra tubuh. Pasien harus sepenuhnya memiliki ketangkasan

untuk melakukan katerisasi mandiri secara berkala. Jika terdapat kontraindikasi

untuk orthotopic neobladder seperti margin uretra positif dan disfungsi uretra,

continent cutaneous reservoir menjadi pilihan untuk pasien yang tidak memenuhi

syarat untuk orthotopic neobladder dalam hal menjaga citra tubuh. Untuk pasien

yang bukan kandidat untuk kedua jenis diversi urin, ileal conduit tetap merupakan

pilihan yang dapat diterima dan diandalkan.

Rekonstruksi saluran kemih setelah radikal sistektomi merupakan proses

kompleks untuk memaksimalkan kualitas hidup pasien setelah operasi.

70
Perbedaan kualitas hidup pada masing-masing diversi urin terutama berasal dari

menjaga citra tubuh, terutama dengan orthotopic neobladder. Analisis lebih rinci

dari perbedaan kualitas hidup membutuhkan studi prospektif dengan pengukuran

yang memadai menggunakan instrumen yang sudah divalidasi. Penting untuk

dicatat bahwa setiap jenis diversi urin memiliki potensi komplikasi, mulai dari

kelainan metabolisme dan nutrisi hingga infeksi, obstruksi usus, kerusakan ginjal,

serta terbentuknya batu.

Diversi urin yang ideal harus bisa mempertahankan fungsi ginjal dan

meminimalkan morbiditas pada pasien. Banyak kemajuan telah dibuat di bidang

rekonstruksi saluran kemih sejak diperkenalkannya ureterosigmoidostomy.

Teknik diversi urin saat ini dapat untuk mengurangi risiko keganasan sekunder,

memberikan kontinensia, dan mempertahankan citra tubuh ke tingkat yang jauh

lebih baik. Penelitian dan pengembangan Teknik diversi urin lebih lanjut terus

dilakukan dalam upaya untuk memberi manfaat pada pasien.

71
DAFTAR PUSTAKA

Abol-Enein, H., Salem, M., Mesbah, A., et al. (2004). Continent cutaneous ileal

pouch using the serous lined extramural valves. The Mansoura experience

in more than 100 patients. J Urol;172:588–91.

Ashley, M.S, Daneshmand, S. (2010). Factors influencing the choice of urinary

diversion in patients undergoing radical cystectomy. BJU Int;106(5):654–7.

Bader, P., Westermann, D., & Frohneberg, D. (2009). Urinary diversions: which

one one is right for which patient? Urologe, 48(2), 127-136.

Bartsch, G., Daneshmand, S., Skinner, E.C., Syan, S., Skinner, D.G., Penson,

D.F. (2014). Urinary functional outcomes in female neobladder patients.

World J Urol ;32(1):221–8.

Clifford, T.G., Shah, S.H., Bazargani, S.T., Miranda, G., Cai, J., Wayne, K., et al.

(2016). Prospective evaluation of continence following radical cystectomy

and orthotopic urinary diversion using a validated questionnaire. J

Urol;196(6):1685–91.

Colombo, R., & Naspro, R. (2010). Ileal conduit as the standard for urinary

diversion after radical cystectomy for bladder cancer. European Urology

Supplements, 9(10), 736-744.

Dahl, D. M. (2016). Campbell-Walsh Urology: Use of intestinal segments in

urinary diversion. Campbell-Walsh Urology, 11th edition (hal. 2281-2316).

Philadelphia: Elsevier.

Daneshmand, S. (2015). Orthotopic urinary diversion. Current Opinion in

Urology, 25(6), 545-549.

72
Daneshmand, S. (2017). Urinary Diversion. Springer International Publishing, 51-

53

Daneshmand, S., & Bartsch, G. (2011). Improving selection of appropriate urinary

diversion following radical cystectomy for bladder cancer. Expert Rev

Anticancer Ther, 111(6), 941-948.

Djaladat, H., Mitra, A.P., Miranda, G., Skinner, E.C., Daneshmand, S. (2013).

Radical cystectomy and orthotopic urinary diversion in male patients with

pT4a urothelial bladder carcinoma: oncological outcomes. In J Urol ;

20(12):1229–33.

Eisenberg, M.S., Dorin, R.P., Bartsch, G., Cai, J., Miranda, G., Skinner, E.C.

(2010). Early complications of cystectomy after high dose pelvic radiation.

J Urol ;184(6):2264–9.

Farnham, S. B., & Cookson, M. S. (2004). Surgical complications of urinary

diversion. World J Urol, 22(3), 157-167.

Fawcett, D.P. (2004). Parastomal hernia repair using the lateral approach. BJU

Int;94:598.

Froehner, M., Brausi, M. A., Herr, H. W., Muto, G., & Studer, U. E. (2009).

Complications following radical cystectomy for bladder cancer in the

elderly. European Urology, 56(3), 443-454.

Gore, J. L., Saigal, C. S., Hanley, J. M., Schonlau, M., & Litwin, M. S. (2006).

Urologic diseases in America project. Variations in reconstruction after

radical cystectomy. Cancer, 107(4), 729-737.

Gudjónsson, S., Davidsson, T., & Mansson, W. (2008). Incontinent urinary

diversion. BJU International, 102(9), 1320-1325.

Guillot-Tantay, C., Chartier-Kastler, E., Perrouin-Verbe, M.-A., Denys, P., Léon,

P., & Phé, V. (2018). Complications of non-continent cutaneous urinary

73
diversion in adults with spinal cord injury: a retrospective study. Spinal

Cord.

Gustafsson, U.O., Scott, M.J., Hubner, M., Nygren, J., Demartines, N., Francis,

N., et al. (2019). Guidelines for perioperative care in elective colorectal

surgery: Enhanced Recovery After Surgery (ERAS®) Society

recommendations: 2018. World J Surg;43:659–95.

Guzman-Valdiva, G., Guerrero, T. S., & Laurrabaquio, H. V. (2008). Parastomal

hernia-repair using mesh and an open technique. World J Surg, 32, 465-70.

Hautmann, R. E., Abol-Enein, H., Davidsson, T., et al. (2012). International

Consultation on Urologic Disease - European Association of Urology

Consultation on Bladder Cancer. Eur Urol;63(1):67–80.

Hautmann, R. E. (2003). Urinary diversion: ileal conduit to neobladder. J Urol,

169(3), 834-842.

Hautmann, R. E., Enein, H. A., Hafez, K., Haro, I., Mansson, W., Mills, R. D., et

al. (2007). Urinary diversion. Urology, 69(1), 17-49.

Hautmann, R.E. (2010). Surgery illustrated – surgical atlas ileal neobladder. BJU

Int ;105(7):1024–35.

Hautmann, R.E., Abol-Enein, H., Lee, C.T., Mansson, W., Mills, R.D., Penson,

D.F., Skinner, E.C., Studer, U.E., Thueroff, J.W., Volkmer, B.G. (2015).

Urinary diversion: how experts divert. Urology ;85(1):233–8.

Hautmann, R.E., Volkmer, B.G., Schumacher, M.C., Gschwend, J.E., Studer,

U.E. (2006). Long-term results of standard procedures in urology: the ileal

neobladder. World J Urol;24(3):305–14.

Keane, T. E., Graham Jr., S. D., Goldstein, M., Prassad, S., Richie, J. P., Rovner,

E. S., et al. (2016). Glenn’s Urologic Surgery (Eight Ed.). Wolters Kluwer.

Kim, S.P., Shah, N.D., Weight, C.J., Thompson, R.H., Wang, J.K., Karnes, J.,

Han, L.C., Ziegenfuss, I.F., Tollefson, M.K., Boorjian, S.A. (2013).

74
Population-based trends in urinary diversion among patients undergoing

radical cystectomy for bladder cancer. BJU Int ;112(4):478–84.

Kouba, E., Sands, M., Lentz, A., Wallen, E., & Pruthi, R. S. (2007). A comparison

of the Bricker versus Wallace ureteroileal anastomosis in patients

undergoing urinary diversion for bladder cancer. Journal of Urology, 178(3),

945-948.

Kreder, Karl J., Stone, Anthony R. (2019). Urinary Diversion, second edition.

Oxfordshire: Taylor & Francis.

Lawrentschuk, N., Colombo, R., Hakenberg, O. W., Lerner, S. P., Mansson, W.,

Sagalowsky, A., et al. (2010). Prevention and management of

complications following radical cystectomy for bladder cancer. Europan

Urology, 57(6), 983-1001.

Lee, R. K., Enein, H. A., Artibani, W., Bochner, B., Dalbagni, G., Daneshmand,

S., et al. (2014). Urinary diversion after radical cystectomy for bladder

cancer: options, patient selection, and outcomes. BJU Int, 113(1), 11-23.

Ljungqvist, O., Scott, M., Fearon, K.C. (2017). Enhanced recovery after surgery:

A review. JAMA Surg;152: 292-8.

Lowrance, W. T., Rumohr, J. A., Clark, P. E., Chang, S. S., Smith, J. A., &

Cookson, M. S. (2009). Urinary diversion trends at a high volume, single

American tertiary care center. Journal of Urology, 182(5), 2369-2374.

Maderbacher, S., Schmidt, J., Eberle, J. M., Thoeny, H. C., Burkhard, F.,

Hochreiter, W., et al. (2003). Long-term outcome of ileal conduit diversion.

Journal of Urology, 169(3), 985-990.

Maffezzini, M., Campodonico, F., Canepa, G., Gerbi, G., & Parodi, D. (2008).

Current perioperative management of radical cystectomy with intestinal

urinary reconstruction for muscle-invasive bladder cancer and reduction of

the incidence of postoperative ileus. Surgical Oncology, 17(1), 41-48.

75
Manoharan, M., Ayyathurai, R., & Sloway, M. S. (2009). Radical cystectomy for

urothelial carcinoma of the bladder: an analysis of perioperative and

survival outcome. BJU Int., 104(9), 1227-1232.

Mansson, W., Davidsson, T., Konyves, J., & Liedberg, F. (2003). Continent

urinary tract reconstruction – The Lund experience. BJU International,

92(3), 271-276.

Maxwell, V.M., Susan, Barbour, R.N., Carroll, P.R. (2020). Smith & Tanagho’s

General Urology: Urinary Diversion and Bladder Substitutions. McGraw

Hill, 391-404.

McAninch, J. W., & Lue, T.F. (2020). Smith & Tanagho’s General Urology :

Percutaneous Endurology and Ureterorenoscopy. McGraw Hill, 134-135.

Metcalfe, P. D., & Cain, M. P. (2010). Reconstruction and surgery for

incontinence. Dalam J. P. Gearhart, R. C. Rink, & P. D. Mouriquand,

Pediatric urology (hal. 737-747). Philadephia: Elsevier.

Nazmy, M., Yuh, B., Kawachi, M., et al. (2014). Early and late complications of

robot-assisted radical cystectomy: a standardized analysis by urinary

diversion type. J Urol;191:681–7.

Rao, W., Zhang, X., Zhang, J., Yan, R., Hu, Z., Wang, Q. (2011). The role of

nasogastric tube in decompression after elective colon and rectum

surgery : A meta-analysis. Int J Colorectal Dis ;26:423–9.

Razik, A., Das, C. J., Gupta, A., Wanamacher, D., & Verma, S. (2019). Urinary

diversions: a primer of the surgical techniques and imaging findings.

Abdominal Radiology, 44(12), 3906–3918.

Rink, M., Kluth, L., Eichelberg, E., Fisch, M., & Dahlem, R. (2010). Continent

catheterizable pouches for urinary diversion. European Urology

Supplements, 9(10), 754-762.

76
Roger C. L. Feneley, Ian B. Hopley & Peter N. T. Wells .(2015). Urinary

catheters: history, current status, adverse events and research agenda.

Journal of Medical Engineering & Technology.

Rollins, K.E., Javanmard-Emamghissi, H., Lobo, D.N. (2018). Impact of

mechanical bowel preparation in elective colorectal surgery: A meta-

analysis. World J Gastroenterol;24:519–36.

Scott, M.J., Baldini, G., Fearon, K.C.H., Feldheiser, A., Feldman, L.S., Gan, T.J.,

et al.(2015). Enhanced recovery after surgery (ERAS) for gastrointestinal

surgery. Part 1: Pathophysiological considerations. Acta Anaesthesiol

Scand ;59:1212–31.

Skinner, E. C. (2017). Urinary Diversion: Patient Selection for Urinary Diversion.

Springer International Publishing, p.1-8.

Skinner, E., & Daneshmand, S. (2016). Orthotopic urinary diversion. Dalam A.

Wein, L. Kavoussi, A. Partin, & C. Peters, Campbell-Walsh Urology, Vol. 3,

11th edition (hal. 2344-2386). Pjiladelphia: Elsevier.

Skinner, E.C., Fairey, A.S., Groshen, S., Daneshmand, S., Cai, J., Miranda, G.,

Skinner, D.G. (2015). Randomized trial of Studer Pouch versus T-pouch

orthotopic ileal neobladder in bladder cancer patients. J Urol ;194(3):433–

40.

Smith, J. A., Howards, S. S., Preminger, G. M., & Dmochowski, R. R. (2018).

Hinmans’s Atlas of Urologic Surgery (4th Ed.). Philadelphia: Elsevier.

Sogni, F., Brausi, M., Frea, B., et al. (2008). Morbidity and quality of life in elderly

patients receiving ileal conduit or orthotopic neobladder after radical

cystectomy for invasive bladder cancer. Urology;71:919–23.

Spencer, E. S., Lyons, M. D., & Pruthi, R. S. (2018). Patient selection and

counseling for urinary diversion. Urol Clin North Am, 45(1), 1-9.

77
Stein, J.P., Clark, P., Miranda, G., et al. (2005). Urethral tumor recurrence

following cystectomy and urinary diversion: clinical and pathological

characteristics in 768 male patients. J Urol;173:1163.

Stein, J.P., dan Skinner, D.G. (2001). T-mechanism applied to urinary diversion:

the orthotopic T-pouch ileal neobladder and cutaneous double-T-pouch

ileal reservoir. Tech Urol ;7:209–22.

Stein, J.P., Daneshmand, S., Dunn, M., Garcia, M., Lieskovsky, G., Skinner, D.G.

(2004).Continent right colon reservoir using a cutaneous appendicostomy.

Urology ;63:577–80. discussion 80–1.

Stein, J.P., Skinner, D.G. (2006). Surgical atlas: the orthotopic T-pouch ileal

neobladder. BJU Int;98(2):469–82.

Stolzenburg, J.-U., Schwalenberg, T., Liatsikos, E. N., Sakelaropoulos, G.,

Rodder, K., Hohenfellner, R., & Fisch, M. (2007). Colon pouch (Mainz III)

for continent urinary diversion. BJU International, 99(6), 1473-1477.

Studer, U.E., Burkhard, F.C., Schumacher, M., Kessler, T.M., Thoeny, H.,

Fleischmann, A,, et al. (2006). Twenty years experience with an ileal

orthotopic low pressure bladder substitute –lessons to be learned. J

Urol;176(1):161–6.

Szymanski, K. M., St-Cyr, D., Alam, T., & Kassouf, W. (2010). External stoma

and peristomal complications following radical cystectomy and ileal conduit

diversion: a systematic review. Ostomy Wound Manage, 56(1), 28-35.

Thulin, H., Steineck, G., Kreicbergs, U., et al. (2010). Hygiene and urinary tract

infections after cystectomy in 452 Swedish survivors of bladder cancer.

BJU Int;105:1107–17.

Torrey, R.R., Chan, K.G., Yip, W., et al. (2012). Functional outcomes and

complications in patients with bladder cancer undergoing robotic-assisted

78
radical cystectomy with extracorporeal Indiana pouch continent cutaneous

urinary diversion. Urology;79:1073–8.

Urologic Diseases in American Project. (2010). Urinary diversion and morbidity

after radical cystectomy for bladder cancer. Cancer, 116(2), 331-339.

Wagner, M., Bayne, A., Daneshmand, S. (2008). Application of the Yang-Monti

channel in adult conti- nent cutaneous urinary diversion. Urology;72:828–

31.

Warner, J.N. dan Chan, K.G. (2017). Urinary Diversion: Continent Cutaneous

Urinary Diversion. Springer International Publishing, 39-53

Witjes, J.A., Bruins, H.M., Cathomas, R., Compérat, E., Cowan, N.C., Gakis, G,

et al. (2020). European Association of Urology (EAU) Guidelines on

Muscle-invasive and Metastatic Bladder Cancer. p.33-34.

Yakout, H., Bissada, N.K. (2003). Intermediate effects of the ileocaecal urinary

reservoir (Charleston pouch 1) on serum vitamin B12 concentra- tions: can

vitamin B12 deficiency be prevented? BJU Int; 91:653–5, discussion 655–6

Zlatev, D. V., & Skinner, E. C. (2016). Orthotopic urinary diversion for women.

Dalam M. S. Cookson, Contemporary approaches to urinary diversion and

reconstruction, an issue of urologic clinics (hal. 2344-2386). Philadelphia:

Elsevier.

79

Anda mungkin juga menyukai