Anda di halaman 1dari 108

SIRKUMSISI

Sanksi Pelanggaran Pasal 113

Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran


hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin
Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran
hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk
Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin
Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran
hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk
Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
SIRKUMSISI

Penulis:
dr. Paksi Satyagraha, M.Kes, Sp.U(K)
Dr. dr. Besut Daryanto, Sp.B, Sp.U(K)
dr. Kurnia Penta Seputra, Sp.U(K)

2019

i
SIRKUMSISI

Kontributor:
dr. Paksi Satyagraha, M.Kes, Sp.U(K)
Dr. dr. Besut Daryanto, Sp.B, Sp.U(K)
dr. Kurnia Penta Seputra, Sp.U(K)
dr. Prasetyo Nugroho

Editor:
dr. Paksi Satyagraha, M.Kes, Sp.U(K)
Dr. dr. Besut Daryanto, Sp.B, Sp.U(K)
dr. Prasetyo Nugroho
dr. Hamdan Yuwafi Naim

ISBN:

Perancang Sampul :

Penata Letak :

Pracetak dan Produksi:

Penerbit:

Cetakan Pertama, November 2019

i-x +80 hlm, 15.5 cm x 23.5 cm

Dilarang keras memfotokopi atau memperbanyak sebagian


atau seluruh buku ini tanpa seizin tertulis dari penerbit

ii
PENGANTAR PENULIS
Puji dan syukur kepada Allah SWT, atas kehendak-Nya,
akhirnya penyusunan buku Sirkumsisi dapat diselesaikan. Buku
ini disusun agar dapat memperkaya khasanah buku-buku urologi
dalam Bahasa Indonesia yang masih terbatas jumlahnya.
Diharapkan dengan adanya buku ini dapat memberikan tambahan
referensi bagi mahasiwa kedokteran, sejawat dokter umum,
perawat dan tenaga paramedik lain mengenai sirkumsisi.

Terima kasih sebesarnya kami sampaikan kepada Dekan


Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang, Ketua
Program Studi Urologi Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya/RSUD Dr. Saiful Anwar Malang beserta seluruh jajaran
staf, sekretaris serta PPDS atas dukungannya sehingga buku ini
dapat selesai ditulis.

Akhir kata dalam penyusunan buku ini, penulis memahami


masih terdapat banyak sekali kekurangan, penulis mengharapkan
banyak kritik dan saran dari pembaca sekalian demi perbaikan
buku ini

Malang, 14 Februari 2020

Penulis

Dr. Paksi Satyahraha. M. Kes, Sp.U(K)

iii
Sambutan Ketua PS PDS Urologi Fakultas Kedokteran

Universitas Brawijaya

Saya mengucap Alhamdulillah kepada Allah SWT atas


diterbitkannya Buku Sirkumsisi ini. Besar harapan saya agar
buku ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi di bidang Urologi khususnya di Indonesia

Saya memberikan apresiasi tertinggi terhadap para


penulis buku ini yang merupakan staff pengajar urologi atas
kegigihannya menulis buku di sela-sela tugas keseharian sebagai
dokter yang memberi pelayanan, pendidikan, dan penelitian serta
pengabdian masyarakat.

Buku ini disusun oleh para penulis yang kompeten di


bidang urologi dan sesuai dengan diversitas penyakit urologi
sehingga diharapkan menjadi dasar referensi bagi pembaca dalam
mempelajari beberapa penyakit urologi.

Semoga buku ini semakin menambah khasanah keilmuan


di bidang urologi Indonesia dan semakin merangsang dosen dan
civitas akademisi di lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya untuk menyumbangkan keilmuannya dalam bentuk
buku agar bisa dibaca dan diambil manfaat bagi generasi sekarang
dan generasi yang akan datang.

Selamat atas diterbitkan buku yang sangat bermutu ini


dan semoga Allah SWT senantiasa memberi perlindungan dan
hidayah terhadap kita semua

Ketua PS PDS Urologi

Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

DR. dr. Besut Daryanto, Sp.B, Sp.U(K)


iv
Sambutan Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Brawijaya

Kami mengucap puji syukur kepada Allah atas


diterbitkannya Buku Sirkumsisi ini. Besar harapan semoga buku
ini memberi banyak manfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan di bidang Urologi khususnya di Indonesia

Kami memberi penghargaan setinggi-tingginya kepada


para penulis buku ini atas usahanya yang gigih di sela-sela tugas
keseharian sebagai dokter yang memberi pelayanan, pendidikan,
dan penelitian serta pengabdian masyarakat.

Buku ini disusun oleh penulis yang kompeten di bidang


urologi dan sesuai dengan deviasi penyakit urologi sehingga
diharapkan menjadi dasar referensi bagi pembaca dalam
mempelajari beberapa penyakit urologi.

Semoga buku ini semakin menambah khasanah keilmuan


di bidang urologi di Indonesia dan semakin merangsang dosen
dan civitas akademisi di lingkungan Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya untuk menyumbangkan keilmuannya
dalam bentuk buku agar bisa dibaca dan diambil manfaat bagi
generasi sekarang dan generasi yang akan datang.

Selamat atas diterbitkan buku yang sangat bermutu ini


dan semoga Allah SWT senantiasa member perlindungan dan
hidayah terhadap kita semua

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

Dr. dr. Wisnu Barlianto, M.Si.Med, Sp.A(K)

v
DAFTAR ISI

BAB I Pendauhuluan ............................................................................................ 1

BAB II Tinjauan Pustaka ..................................................................................... 4

2.1.1 Anatomi Penis ............................................................................................. 5

2.1.2 Vaskularisasi Penis .................................................................................... 10

2.1.1.1 Sistem Arteri Superfisialis Penis ...................................................... 10

2.1.1.2 Sistem Vena Superfisialis Penis ........................................................ 13

2.1.1.3 Sistem Arteri Profunda Penis ............................................................ 14

2.1.1.4 Sistem Vena Profunda Penis .............................................................. 15

2.1.1.5 Persyarafan Penis ................................................................................... 18

2.2 Definisi Sirkumsisi ........................................................................................ 19

2.3 Sejarah Sirkumsisi ......................................................................................... 20

2.4 Prevalensi Sirkumsisi .................................................................................. 22

2.5 Indikasi Sirkumsisi ........................................................................................ 25

2.5.1 Fimosis ........................................................................................................... 26

2.5.2 Parafimosis ................................................................................................... 29

2.5.3 Balanopostitis .............................................................................................. 30

2.5.4 Kista preputium ........................................................................................... 31

2.6 Kontraindikasi Sirkumsisi .......................................................................... 31

2.6.1 Hipospadia ..................................................................................................... 32

2.6.2 Epispadia ........................................................................................................ 34


vi
2.6.3 Mikropenis ..................................................................................................... 35

2.6.4 Buried Penis ................................................................................................... 36

2.7 Komplikasi Sirkumsisi ................................................................................. 37

2.7.1Perdarahan ..................................................................................................... 38

2.7.2 Sepsis ............................................................................................................... 39

2.7.3 Fistula .............................................................................................................. 39

2.7.4 Stenosis Meatal ............................................................................................ 40

2.8 Perkembangan Metode Sirkumsisi ........................................................ 42

2.8.1 Tindakan Pembedahan ............................................................................ 42

2.8.1.1 Agen Anastesi ........................................................................................... 42

2.6.1.2 Tehnik Anastesi ....................................................................................... 45

2.8.1.3 Dorsumsisi ................................................................................................ 48

2.8.1.4 Guillotine ................................................................................................... 50

2.8.2 Instrumen Sirkumsisi ............................................................................... 52

2.8.2.1 Gomco Klamp ........................................................................................... 52

2.8.2.2 Plastibel ...................................................................................................... 54

2.8.2.3 Mogen Klamp ........................................................................................... 56

2.8.2.4 Tara Klamp................................................................................................. 58

2.8.2.5 Smart Klamp ............................................................................................. 59

2.8.2.6 Shang Ring ................................................................................................. 59

2.8.2.7 Prepex .......................................................................................................... 64

2.9 Sirkumsisi prosedur konvensional vs instrument ........................... 65

vii
2.10 Manfaat Sirkumsisi ..................................................................................... 72

2.10.1 Pencegahan Infeksi Saluran Kemih .................................................. 73

2.10.2 Pencegahan Keganasan ......................................................................... 74

2.10.3 Pencegahan Penularan PMS dan HIV .............................................. 74

2.11 Hubungan Sirkumsisi dengan tingkat kepuasan seksual ........... 77

BAB III Kesimpulan .............................................................................................. 79

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 81

viii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi penis, terdiri dari 3 Buah korpora ........................ 5

Gambar 2. Penampang melintang penis ....................................................... 6

Gambar 3. Anatomi preputium ........................................................................ 8

Gambar 4. Lapisan-lapisan preputium .......................................................... 9

Gambar 5. Sistem pudenda eksterna superfisal ....................................... 11

Gambar 6. Sistem arteri kulit penis ............................................................... 12

Gambar 7. Penampang cross-sectional penis-preputium ..................... 13

Gambar 8. Sistem arteri penis bagian profunda........................................ 15

Gambar 9. Sistem Vena pada Penis ................................................................ 16

Gambar 10. (a) Penampang Lateral (b) Penampang Cross-


Sectional dari sistem vena pada penis ................................. 17

Gambar 11. Invervasi pada penis dari nervus dorsalis penis ............. 18

Gambar 12. Prasasti sirkumsisi pada Kuil Khons di Mesir .................. 21

Gambar 13. Prevalensi Sirkumsisi di dunia ................................................ 22

Gambar 14. Fimosis............................................................................................... 26

Gambar 15. Grading fimosis menurut Kikiros ........................................... 28

Gambar 16. Parafimosis ...................................................................................... 29

Gambar 17. Reduksi manual pada parafimosis ........................................ 31

Gambar 18. Contoh balanitis pada pria dewasa, dan postitis pada
anak-anak ......................................................................................... 31

ix
Gambar19. Hipospadia dan dorsal hood ................................................................... 33

Gambar 20. Hipospadia scrotal dengan kulit preputium yang sempurna ... 34

Gambar 21. Epispadia .......................................................................................................... 35

Gambar 22. Buried penis ..................................................................................................... 37

Gambar 23. Komplikasi dari sirkumsisi ...................................................... 40

Gambar 24. Anestesi lokal dengan Tehnik Ring Blok Anestesi ........... 46

Gambar 25. Anastesi lokal dengan tehnik Dorsal Nerve Blok ............. 48

Gambar 26. Tehnik Sirkumsisi dengan Dorsal Slit ................................... 50

Gambar 27. Tehnik Sirkumsisi dengan guilotine ..................................... 51

Gambar 28. Gomco Klamp ................................................................................. 52

Gambar 29. Prosedur Gombo Klamp ............................................................ 54

Gambar 30. Plastibell ........................................................................................... 55

Gambar 31. Prosedur Sirkumsisi plastibell ................................................ 56

Gambar 32. Mogen Klamp .................................................................................. 57

Gambar 33. Tara Klamp....................................................................................... 58

Gambar 34. Smart Klamp .................................................................................... 59

Gambar 35. Shang Ring ........................................................................................ 60

Gambar 36. Prosedur Sirkumsisi Shang Ring ............................................. 62

Gambar 37. Komplikasi dari Shang Ring ...................................................... 63

Gambar 38. Prepex ............................................................................................... 65

x
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Grading Fimosis menurut Kikiros ............................................... 28

Tabel 2. Studi prospektif dari frekuensi komplikasi pada studi


terhadap sirkumsisi neonatal dan infant ..................................................... 41

Tabel 3. Dosis Lidokain 2% ............................................................................. 43

Tabel 4. Dosis Kombinasi Lidokain 2% dan Bupivakain 0,25% ....... 44

Tabel 5. Komplikasi penggunaan Shang Ring .......................................... 63

Tabel 6. Perbandingan komplikasi sirkumsisi smart klamp


dengan sirkumsisi konvensional .............................................. 67

Tabel 7. Perbandingan komplikasi TK dan FG ......................................... 68

Tabel 8. Perbandingan metode Mogen Klamp, Gomco Klamp, dan


Plastibel ................................................................................................ 69

Tabel 9. Perbandingan komplikasi sirkumsisi konvensional


dengan plastibel ................................................................................ 71

Tabel 10. Perbandingan shang ring vs sirkumsisi konvensional...... 72

Tabel 11. Hubungan seroprevalence HIV-1 dengan status


sirkumsisi pada daerah dengan tingkat insiden HIV yang
tinggi, (a) and low-risk areas; (b) June 1998
UNAIDS/WHO percentage estimates. (Vella et al., 2017) . 76

Tabel 12. Efek Sirkumsisi terhadap kepuasan seksual pada


beberapa studi .................................................................................. 78

xi
BAB I
PENDAHULUAN

1
Sirkumsisi adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan
membuang preputium, lipatan kulit yang menutupi kepala penis.
(WHO, 2009). Tindakan ini merupakan salah satu praktek
pembedahan paling sering dan paling tua yang ada di dunia.
Praktek sirkumsisi diyakini sudah mulai dilakukan sejak kurang
lebih 15.000 tahun yang lalu (Gollaher, 2000), namun referensi
tertulis paling tua yang pernah ditemukan adalah pada sebuah
prasasti pada Kuil Khons di Mesir yang dibuat pada jaman Firaun
Rameses II (2345–2182 SM). Pada prasasti tersebut terlihat jelas
bahwa pada pada jaman tersebut sirkumsisi sudah dilakukan
pada anak-anak berusia 10-12 tahun (R.P Charles, 2007).
Sirkumsisi pada jaman dahulu tidak dilatarbalakangi oleh
alasan kesehatan, sebagian besar dari laki-laki pada jaman dahulu
memutuskan dilakukan sirkumsisi karena dilatarbelakangi oleh
alasan keagamaan, seperti yang dilakukan pada orang Yahudi dan
Islam, atau latar belakang ritual seperti pada suku Aztec, aborigin,
maya, dan beberapa suku di Africa. (UNAIDS 2007). Maka dari itu,
angka prevalensi sirkumsisi didunia sangat bervariasi. Pada saat
ini, diperkirakan sekitar 37-39% lak-laki di dunia telah menjalani
Sirkumsisi (Morris, B. J. et al. 2016). Prevalensi di negara-negara
mayoritas berpenduduk Islam atau Yahudi akan sangat tinggi
karena hampir 99% penduduk laki-laki beragama Islam (negara-
negara Arab) atau Yahudi (Israel) melakukan sirkumsisi (WHO
2009), namun dalam satu negara, angka tersebut dapat
berbanding terbalik pada suku atau pemeluk agama yang berbeda.
Seperti di Uganda, angka prevalensi sirkumsisi dari penduduk di
Negara tersebut secara keseluruhan adalah sekitar 26%, dari
jumlah tersebut prevalensi sirkumsisi pada penduduk dengan
agama mayoritas muslim adalah sekitar 97%, sedangkan pada
penduduk dengan mayoritas agama non-muslim hanya sekitar
14%. (WHO/UNAIDS 2007)
Pada zaman modern, sirkumsisi sudah tidak hanya dilatar
belakangi oleh alasan keagamaan ataupun ritual saja, namun juga
karena masalah kesehatan. Menurut penilitian, sirkumsisi dapat
menurunkan angka penyebaran dari Human Immunodeficiency
Virus (HIV) dan Infeksi menular seksual (Siegfried, N. et al. 2009).
Sirkumsisi, juga merupakan salah satu program utama dari WHO
2
dalam rangka mengurangi angka transimisi dari HIV, terutama di
Afrika (WHO/UNAIDS 2011).
Saat ini sudah ada berbagai macam tehnik untuk melakukan
sirkumsisi, mulai dari tindakan sirkumsisi konvensional
menggunakan tehnik pembedahan dorsal slit ataupun guillotine,
sampai penggunaan berbagai macam alat bantu untuk sirkumsisi,
seperti Smart Klamp, Shang Ring, Plasti Bell, dan juga tehnik-
tehnik sirkumsisi tradisional (WHO 2009).
Walaupun terdapat berbagai alasan untuk melakukan
sirkumsisi, perdebatan mengenai sirkumsisi masih terus bergulir.
Di Eropa, dimana sirkumsisi biasanya dilakukan pada saat masih
bayi, masih banya pihak yang tidak setuju dengan tindakan ini, hal
ini ditandai dengan rendahnya prevalensi sirkumsisi dan
penurunan tingkat sirkumsisi yang masif yang terjadi di Negara-
negara Eropa, terutama di Inggris dimana angka sirkumsisi
menurun dari sekitar 35% pada 1930, menjadi 6,5% saja pada
pertengahan 1980 (Crawford, D. A 2002).

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

4
2.1 Anatomi Penis

Penis terdiri dari 3 buah korpora yang berbentuk silindris,


sepasang korpora yang berukuran lebih besar, dan terletak lebih
dorsal dan berperan dalam memberikan bentuk dari penis. 2 jenis
korpora tersebut mengandung jaringan vaskular kavernosa yang
disebut dengan korpora kavernosa. Korpora kavernosa dibungkus
oleh jaringan fibroelastik tunika albugenia, sehingga menjadi satu
kesatuan dan hanya dipisahkan oleh suatu septum dibagian distal.
Sedangkan di bagian proximal, korpora kavernosa meruncing dan
terpisah menjadi 2, lalu membentuk krus dan menempel pada
arcus pubis (gambar 1). Pada bagian basis, korpora kavernosa
disokong oleh otot intrakavernosa yang disarafi oleh nervus
perineal. (Graham, S. D. and Keane, T. E, 2010)

Gambar 1. Anatomi penis, terdiri dari 3 Buah korpora (Gray, Henry.


Grays Anatomy. 2000)

5
Korpus spongiosum membungkus uretra mulai dari
diafragma uregenitais, hingga muara uretra eksterna. Di bagian
proksimal korpus spongiosum dilapisi oleh otot bulbo-
kavernosus. Ujung dari korpus spongiosum ini berakhir pada
bagian distal dan disebut sebagai glans penis yang melingkupi
ujung korpora kavernosa (Purnomo BB, 2011).

Dari ketiga badan korporal tadi sesuai pada gambar 2,


masing-masing badan dibungkus di dalam tunika albugenia, dan
ketiganya terbungkus oleh Fasia Buck, dan disuperfisialnya
dilapisi oleh Fasia Colles atau Fasia Dartos, yang merupakan
lanjutan dari fasia scarpa saat di dinding abdomen. Pada bagian
posterior, Fasia Buck menempel pada diafragma urogenital, dan
membentuk ligamentum suspensori penis kearah anterior.
(Graham, S. D. and Keane, T. E. 2010)

Di dalam setiap korpus yang terbungkus oleh tunika


albugenia, terdapat jaringan erektil yang berupa jaringan
kavernus (berongga) yang berbentuk seperti spons. Jaringan ini
terdiri dari sinusoid atau rongga lakuna yang dilapisi oleh
endothelium dan oto polos kavernosis. Rongga lakuna ini dapat
menampung darah yang cukup banyak, sehingga dapat membuat
batang penis menjadi tegang. (Purnomo BB, 2011)

Gambar 2.Penampang melintang penis, menunjukan 3 buah badan


korporal penis. (Devine Jr CJ, 1994)

6
Kulit dari shaft penis memiliki karakterisitik yang sangat
elastis dan tidak memiliki elemen rambut atau kelenjar, kecuali
kelenjar yang memproduksi smegma yang terdapat pada basis
korona. Lapisan kulit ini tidak mengandung lemak dan sangat
mobile dikarenakan lapisan ini hanya memiliki ikatan yang
renggang dengan fasia Dartos dan fasia Buck. Di bagian distal,
lapisan kulit ini menyelubungi glans penis dan membentuk kulup,
lapisan ini menempel dengan kuat pada bagian dibawah korona.
Suplai darah yang menuju lapisan kulit ini berbeda dengan dari
pembuluh darah yang berperan untuk ereksi, suplai darah berasal
dari cabang arteri pudenda eksterna, yang merupakan cabang dari
pembuluh darah femoralis. Pembuluh darah ini memasuki basis
penis dan berjalan secara longitudinal di dalam fasia Dartos.
Sedangkan kulit pada glans penis terfiksasi dikarenakan
penempelan langsung pada tunica albugenia di bawahnya. (I.C
Benjamin et al 2012)

2.1.1 Anatomi Preputium

Berdasarkan kemiripan anatomis strukturalnya jika


dibandingkan dengan mamalia, Preputium merupakan suatu
bagian integral dari genitalia eksterna yang membentuk sebuah
lapisan pelindung anatomis dari glans penis yang seperti
ditunjukan pada gambar 3. Epitel terluar memiliki fungsi protektif
dari bagian dalam glans (klitoris atau penis), meatus urethra
(pada laki-laki) dan epitel preputium dalam, dan juga untuk
menurunkan iritasi eksternal dan kontaminasi. Preptium
merupakan lipatan setengah kulit dan setengah mukosa yang
berasal dari mukosa glans pada sulkus balanopreputial, yang
merupakan suatu jaringan khusus mukokutaneus junction yang
dapat dijadikan penanda batasan antara mukosa dan kulit, serupa
dengan kelopak mata, labia minora, anus dan bibir. Preputium
laki-laki juga memberikan mukosa dan kulit yang adekuat untuk
melindungi keseluruhan penis pada waktu ereksi (Cold dan
Taylor, 1999).

7
Gambar 3. Anatomi dari preputium menutupi glans penis (Grays
Anatomy. 2000)

Frenulum adalah suatu lipatan mukosa berbentuk segitiga


yang muncul dari permukaan dalam preputium dan bagian bawah
glans penis, 8-10 mm dibelakang meatus urethra eksterna.
Frenulum yang pendek dapat mencegah retraksi komplit dari
preputium dan dapat menyebabkan nyeri saat ereksi dan robek
(Vella et al, 2017).

Preputium pada laki-laki dibentuk oleh pertemuan di


midline dari ektoderm, neuroektoderm, dan mesenkim, yang
menghasilkan sebuah struktur pentalaminar yang terdiri dari
mukosa epitel skuamous lamina propria (korion) otot dartos,
dermis, dan epitel glabrous. Glenister yang disitasi dari Retterer
(1885-1915) menjelaskan bahwa preputium terbentuk dari
kombinasi antara lipatan preputium dan lamela seluler yang
tumbuh kedalam. Pertumbuhan kedalam ini membentuk
preputium, glans, korona dan mukosa sulkus koronarius, yang
kemudian menjadi epitel mukosa dari glans penis dan garis dalam
mukosa dari preputium. Mukosa skuamous dari glans penis,
sulkus korona dan preputium harus dipertimbangkan sebagai
satu kompartemen jaringan dengan pola sitokeratin polipeptida.
Mukosa dari glans penis dan garis dalam dari preputium yang
bergabung akan perlahan-lahan terpisah dalam hitungan tahun,
sebagai proses biologis spontan. Pada salah satu studi dikatakan
8
pemberian obat oles steroid topikal dan Non-Steroidal Anti-
Inflammatory (NSAID) diketahui mempercepat pemisahan glans-
preputium ini. Pemisahan dari preputium-mukosa glans penis
biasanya berakhir pada usia 17 tahun, dikonfirmasi oleh studi
Cina beberapa waktu lalu (Cold dan Taylor, 1999).

Preputium laki-laki memiliki inervasi somatosensorik dari


saraf dorsalis penis dan cabang dari saraf perineal (termasuk
saraf skrotalis posterior). Inervasi autonomik dari preputium
diberikan dari pleksus pelvis. Serabut parasimpatis visceral eferen
dan aferen muncul dari titik pusat sakrum (S2-S4) dan serabut
saraf simpatis pre-ganglion aferen dan aferen viseral dari titik
pusat thoracolumbalis (T11-L2).

Gambar 4.Lapisan-lapisan pada preputium. Mukosa (M), Lamina Propria


(LP), Otot Dartos (D), Dermis (DE), dan Epitel Glabrous
terluar (E). (Cold and Taylor, 1999)

Susunan epitel mukosa dari preputium laki-laki sama


dengan epitel mukosa squamosa yang melapisi glans penis. Glans
penis dan preputium bagian dalam memiliki epitel mukosa yang
menjadi satu saat lahir. Sedangkan lamina propria dari preputium
laki-laki dan wanita memiliki vaskularisasi yang sangat banyak,
ini menjelaskan mengapa komplikasi perdarahan sering muncul
berkaitan dengan sirkumsisi. Preputium laki-laki memiliki
struktur kolagen yang lebih longgar daripada lamina propria glans
9
penis yang lebih padat. Ridged band dari preputium berada di
dekat ujung mukokutaneus (akroposthion) dari preputium laki-
laki dan, jika preputium tidak diretraksikan, biasanya terletak di
glans penis. Bagian ini biasanya tidak memiliki folikel rambut
lanugo, keringat dan kelenjar sebasea. Dan sumber dari smegma
pada preputium adalah kelenjar Tyson (Cold dan Taylor, 1999).

Otot polos dartos spesifik terhadap genitalia eksterna laki-


laki dan sebagian besar dari otot dartos penis terdapat didalam
preputium. Otot dartos terdiri dari sel otot polos yang memiliki
serabut elastin. Otot ini mengelilingi batang penis dan berlanjut
dengan otot dartos skrotum. Otot dartos penis bergantung pada
temperatur dan memberikan perubahan volume jika dibutuhkan
untuk ereksi. Sedangkan lapisan dermis dari preputium terdiri
dari jaringan ikat, pembuluh darah, badan saraf, korpus Meissner
yang berada di dalam papila, dan kelenjar sebasea yang tersebar.
Kantung preputial pria dibasahi oleh sekresi dari prostat, vesikula
seminalis dan kelenjar uretra Littre. (Cold dan Taylor,1999).

2.1.2 Vaskularisasi Penis

2.1.1.1 Sistem Arteri Superfisial Penis

Suplai darah dari kulit penis berasal dari arteri pudenda


eksterna. Yang dipercabangkan di bagian media dari arteri
femoralis adalah cabang superior dan cabang inferior arteri
pudenda eksterna. Arteri superfisial pudenda eksterna ini
berjalan dari lateral ke medial dengan pola yang bervariasi,
melewati trigonum femoralis, menuju ke dalam fasia Scarpa
(Gambar 5)

10
Gambar 5. Sistem suplai arteri pudenda eksterna superfisial (Brandes,
2008)

Setelah memberikan percabangan untuk skrotum bagian


anterior, arteri pudenda eksterna superfisial melewati funikulus
spermatikus dan memasuki basis penis sebagai cabang axial
posterolateral dan anterolateral. Bersama-sama dengan cabang
interconnecting dan cabang perforating, ketiga arteri tersebut
membentuk jaringan arteri di dalam fasia dartos. Namun fasia
dartos bukanlah penyuplai darah sesungguhnya, sebagai
perumpamaan fascia dartos adalah tralis besi, dan pembuluh
darah adalah tanaman yang tumbuh merambat pada trails
tersebut. Pada basis penis, cabang dari arteri axial penis
membentuk suatu pleksus subdermal yang mensuplai darah dari
kulit penis dan preputium (Gambar 6). (Brandes, 2008)

11
Gambar 6. Suplai arteri preputium (Brandes, 2008)

Pada bagian subkorona, arteri axial penis berlanjut


menuju ke preputium menjadi arteri preputialis, arteri ini juga
mengirimkan cabang arteri yang menembus fascia buck untuk
bernanastomosis dengan arteri dorsalis penis (Gambar 7).
(Brandes, 2008)

12
Gambar 7. Penampang cross-sectional penis-preputium (Brandes, 2008)

2.1.1.2 Sistem Vena Superficial Penis

Antara aspek proksimal – posterior glans penis dan ujung


distal dari badan korpus kavernosus terdapat pleksus vena retro
balanik. Dari pleksus ini muncul dua cabang vena, yaitu vena
dorsal median profunda, dan vena dorsal median superficial.

Vena dorsal median profunda berjalan kearah posterior


menuju fasia Buck, sedangkan vena dorsal median superfisial
menembus fasia Buck di daerah subkorona menuju kedalam
lapisan superfisial fasia dartos. Pada umumnya, tidak terdapat
hubungan yang besar antara pleksus vena profunda dan vena
superfisial. Namun, kadang-kadang ditemukan vena dorsal
median profunda atau vena sirkumfleks medial terhubung dengan
vena superfisial di jaringan subkutan, atau vena dorsal median
superfisial langsung dicabangkan dari vena dorsal median
profunda, walaupun kondisi ini jarang teradi dan lebih banyak
vena ini berasal dari pleksus vena retrobalanik. (Brandes, 2008)

Vena superfisial juga dapat berjalan dorsolateral, lateral,


dan atau ventrolateral, vena ini berjalan bersama dengan arteri
13
axial dorsal penis sebagai venae comitantes. Sedangkan pada
preputium, vena berukuran kecil, berjumlah banyak dan
terdistribusi secara acak. Vena-vena ini berkumpul dan menuju ke
salah satu atau kedua vena besar superfisial atau bisa juga
berlanjut secara independen menuju basis penis, yang menuju ke
vena pudenda eksterna inferior dan selanjutnya menuju vena
sapena. Pada basis penis, large communicating vein, venae
comitantes, dan pleksus vena subdermal semuanya bergabung
dalam pola yang bervariasi dan membentuk vena pudenda
eksterna, yang selanjutnya menuju ke vena sapena atau dapat juga
langsung menuju ke vena femoralis. (Brandes, 2008)

2.1.1.3 Sistem Arteri Profunda Penis

Arteri penis superfisialis berada diantara fasia superfisial


dan fasia buck yang berasal dari arteri pudenda eksterna yang
merupakan cabang dari arteri femoralis. Arteri ini, berjalan
bersama vena penis superfisialis yang letaknya juga berada di
antara fasia superfisial penis dan fasia Buck, arteri dan vena ini
mensuplai aliran darah untuk kulit penis mulai dari shaft, hingga
glans penis dan preputium. (Graham, S. D. and Keane, T. E. 2010)

Sedangkan untuk suplai arteri bagian profunda, dapat


dilihat pada gambar 8, bahwa arteri yang mendarahi penis bagian
profunda berasal dari arteri iliaka interna yang kemudian
bercabang menjadi arteri pudenda interna dan selanjutnya arteri
penile. Ketika arteri penis keluar dari diafragma urogenital, arteri
tersebut bercabang menjadi arteri bulbourethral, arteri kavernosa
dan arteri dorsalis penis (Graham, S. D. and Keane, T. E. 2010).
Arteri kavernosa mensuplai darah langsung ke korpus kavernosa,
ketika memasuki struktur kavernosa, arteri ini bercabang-cabang
dan diselubungi oleh trabekula, beberapa dari arteri ini berakhir
menjadi arteri kapiler yang terbuka langsung ke ruang kavernosa,
ada juga berpendapat bahwa arteri tersebut berbentuk sulur, dan
membuat anyaman arteri yang berbelit dan agak melebar, yang
disebut arteri Hellicine Muller. Dari arteri ini dicabangkan arteri
kapiler kecil yang mendarahi struktur trabekula. Arteri penile

14
berlanjut menelusuri korpus kavernosa menjadi arteri dorsalis
penis. (Richard L D, et al 2007)

Gambar 8. Gambar sistem arteri profunda dari penis (Henry Gray.


Anatomy of Human Body. 2000)

Korpus spongiosum mendapatkan suplai darah dari arteri


bulbourethral bagian proximal, dan juga dari arteri sirkumfleksa
yang merupakan cabang dari arteri dorsalis penis pada sepanjang
shaft penis. Sedangkan bagian glans penis mendapat suplai darah
dari arteri dorsalis penis. Arteri dorsalis penis, vena dorsalis
penis, nervus dorsalis penis terbungkus di dalam fasia Buck.
(Graham, S. D. and Keane, T. E. 2010)

2.1.1.4 Sistem Vena Profunda Penis

Tidak seperti pada sistem vena tubuh lainnya, drainase


vena pada penis tidak bekerja analog dengan suplai arterinya. Jika
pada sistem arteri, arteri dorsalis penis berjalan secara
berpasangan, pada sistem vena hanya terdapat satu vena dorsalis
penis profunda yang membentang berjalan bersama dengan arteri
dan nervus dorsalis penis yang terletak di antara tunika albugenia
dan fasia Buck. Vena dorsalis penis profunda menerima drainase
dari 2/3 distal korpus kavernosa melalui vena emisaria dan juga
drainase dari corpus spongiosum yang dialirkan melalui vena
sirkumfleksa. Vena emisaria merupakan vena yang berjalan

15
secara oblik menembus tunika albugenia, yang membuat vena ini
dapat terkompresi ketika terjadi ereksi, vena dorsalis penis
profunda kemudian berlanjut ke pleksus periprostatik (Gambar 9)
(Yiee, J. H. and Baskin, L. S. 2010).

Gambar 9. Sistem Vena pada Penis (Keegan, K.A, 2013.)

Berdasarkan studi terbaru, telah ditemukan sistem vena


yang lebih kompleks, dimana vena dorsalis penis profunda,

16
sepasang vena kavernosa, dan dua pasang vena para-arterial
berada di antara fasia Buck dan tunika albugenia (Gambar 10).
Vena Dorsalis Penis Profunda terletak di tengah, dan diapit oleh
sepasang vena Kavernosa walaupun sepasang vena ini terletak
lebih profunda. Lalu arteri Dorsalis Penis kanan dan kiri masing-
masing diapit oleh sepasang vena para-arterial, dari keempat vena
ini darah dari sinus korpus kavernosus didrainase ke sirkulasi
systemic. (Hsu, G. L. et al. 2013)

Gambar 10. (a) Penampang Lateral (b) Penampang Cross-Sectional dari


sistem vena penis (Hsu-G Et al, Journal of Andrology Vol 31
no 3. 2010)

17
2.1.1.5 Persyarafan Penis

Persyarafan penis berasal dari dari Nervus dorsalis penis,


nervus kavernosus, dan nervus pudendus (Gambar 11). Nervus
dorsalis penis merupakan salah satu percabangan dari nervus
pudendus yang berjalan di dalam fascia Buck bersama dengan
arteri dan vena dorsalis penis. Nervus ini berperan dalam
mempersarafi bagian kulit dari penis, sampai ke glans penis, dan
preputium. Lalu ramus profundus nervus perinealis, yang juga
merupakan cabang dari nervus pudendus berperan dalam
mempersarafi kulit penis di bagian ventral, frenulum, dan
muskulus bulbospongiosum. Nervus kavernosus membawa
serabut autonom yang berasal dari pleksus pelvikus, nervus ini
berjalan bersama dengan neurovaskular periporstatic bundle, dan
saat berada di bawah dari arkus pubis, nervus kavernosus
menembus menuju ke korpus kavernosus.

Gambar 11. Inervasi pada penis dari nervus dorsalis penis (Häggström
Mikael 2014.)

18
2.2 Embriologi Penis
Pada minggu ke 3 massa pertumbuhan janin, sel mesenkim
bermigrasi ke sekitar membran kloaka dan membentuk sepasang
cloacal folds, yang kemudian pada bagian kranial menyatu dan
membentuk tuberkulum genital. Di kaudal, membran kloaka
terbagi menjadi dua bagian, urethral fold di bagian anterior dan
anal fold dibagian posterior. (Langman 14th edition, 2019)
Perkembangan genitalia eksterna pada laki-laki dipengaruhi
oleh androgen yang disekresikan oleh testis dari fetus dan
ditandai dengan elongasi secara cepat dari tuberkulum genital
yang kemudian akan disebut phallus. Dalam proses elongasi ini,
phallus menarik urethral folds ke depan untuk membentuk
dinding lateral dari urethral groove yang membentang pada
bagian ventral dari phallus, namun tidak mencapai ujung distal /
glans. Lapisan epithelial dari groove yang berasal dari endoderm
kemudian membentuk urethral plate (gambar 12). (Langman 14th
edition, 2019)

Gambar 12. Tuberkulu m genital tumbuh membentuk genitalia eksterna


laki-laki (Langman 14th Edition, 2019)

Pada akhir bulan ke 3, kedua urethral folds melingkupi


urethral plate sehingga terbentuk urethra pars penile. Untuk
bagian distal dari urethra terbentuk pada bulan ke 4, ketika sel
ektodermal dari ujung glans tumbuh menembus kedalam,
membentuk suatu anyaman epitel yang kemudian menjadi sebuah
19
lumen dan disebut urethra pars glandular dan pada ujung
distalnya muara urethra eksterna. (Langman 14th edition, 2019)

Gambar 13. Bagian distal dari phallus membentuk glans penis dan
urethra pars glandular

2.3 Definisi Sirkumsisi

Sirkumsisi atau dalam bahasa Indonesia disebut juga


dengan istilah sunat/khitan, diambil dari dua kata circum dan
caedre yang berasal dari Bahasa latin. Circum yang artinya
memutar dan caedre yang artinya memotong. Sirkumsisi
merupakan tindakan membuang preputium yang merupakan
lipatan kulit yang menutupi kepala penis. Prosedur ini merupakan
salah satu prosedur bedah tertua yang ada di dunia. Secara
tradisional, tindakan ini dilakukan sebagai tanda identitas budaya
atau kepentingan agama atau untuk manfaat kesehatan yang
dirasakan setelah dilakukan tindakan seperti kebersihan penis
yang menjadi lebih baik atau mengurangi risiko infeksi. Muslim
adalah kelompok agama terbesar yang mewajibkan setiap
penganut laki-laki untuk melakukan sirkumsisi, dan diperkirakan
68% pria yang disirkumsisi adalah Muslim (WHO, 2010).
Istilah sirkumsisi sendiri dikenal dalam bahasa Arab
dengan istilah al-Tohour dan dipraktekkan sebagai konfirmasi
hubungan dengan Tuhan, praktek ini juga dikenal sebagai 'tahera',
yang berarti 'pemurnian', tetapi tidak ada penyebutan khusus
tentang sirkumsisi dalam Al-Quran. Nabi Muhammad

20
diperintahkan untuk mengikuti iman Ibrahim AS (Quran 16: 123),
dan salah satunya termasuk tindakan sirkumsisi (WHO, 2010).
Dalam tulisan-tulisan lain, sirkumsisi diperintahkan
sebagai salah satu dari lima perilaku yang harus diikuti oleh
seorang laki-laki untuk mencapai tingkat kehormatan dan
martabat yang tinggi. Sirkumsisi juga secara universal hampir
dipraktikkan di antara orang-orang Yahudi. Pembenaran agama
untuk orang Yahudi berasal dari Genesis 17, yang menyatakan
bahwa sirkumsisi adalah perjanjian dengan Allah dan bahwa
semua anak laki-laki harus disirkumsisi pada hari kedelapan
kehidupan. Kebanyakan agama lain, termasuk Kristen, Hindu dan
Budha, cenderung memiliki sikap netral terhadap tindakan
sirkumsisi ini (WHO, 2010).
Sirkumsisi juga telah dipraktikkan secara luas untuk alasan
non-agama selama berabad-abad di Afrika Barat dan di beberapa
bagian Afrika tengah, timur dan selatan, serta di antara penduduk
asli Australia dan suku Aztec dan Maya di Amerika, di Filipina. dan
timur Indonesia dan di berbagai pulau Pasifik, termasuk Fiji dan
Polinesia baru-baru ini, sirkumsisi telah menjadi umum. Dalam
beberapa budaya, sirkumsisi merupakan bagian integral dari
ritual peralihan menuju kedewasaan dan dikaitkan dengan faktor-
faktor seperti maskulinitas, identitas diri dan spiritualitas.
Misalnya, sirkumsisi di Turki dilihat sebagai bagian dari menjadi
seorang pria dan anggota masyarakat. Dalam pengaturan lain,
sirkumsisi paling sering dilakukan saat masa neonatal atau pada
masa kanak-kanak, dengan alasan utama yang dianggap
meningkatkan kebersihan penis, atau untuk menyesuaikan
dengan norma social (WHO, 2010).

2.4 Sejarah Sirkumsisi

Asal usul sirkumsisi pada laki-laki tidak diketahui dengan


pasti. Namun, telah dikemukakan bahwa prosedur tersebut
berasal dari Mesir lebih dari 15.000 tahun yang lalu dan
menyebar ke seluruh budaya heliolitik di seluruh dunia selama
migrasi prasejarah. Mumi dan ukiran dinding Mesir menunjukkan
beberapa catatan sejarah sirkumsisi paling awal yang dimulai
21
sejak setidaknya 6000 tahun lalu (Gambar 12). Di Mesir kuno,
sebelum zaman biblikal, sirkumsisi dilakukan untuk
meningkatkan kebersihan pria (Hegazy, 2012).
Pada pertengahan abad ke-19, anestesi dan antisepsis
dengan cepat mengubah sistem praktik pembedahan. Sirkumsisi
yang pertama kali dilaporkan termasuk di dalam tindakan bedah
di Rumah Sakit St Bartholomew adalah pada tahun 1865
meskipun tindakan ini hanya merupakan satu dari 417 operasi
yang dilakukan pada tahun itu, semenjak itu, prosedur sirkumsisi
melalui tindakan pembedahan menjadi prosedur yang lebih
umum. Belakangan, sirkumsisi rutin dilakukan pada bayi laki-laki,
yang merupakan bagian dari perjanjian Abraham dengan Yehuwa,
sehingga sirkumsisi yang berkaitan dengan agama berlanjut
sampai hari ini dalam kepercayaan Yahudi dan Muslim. Kemudian,
sirkumsisi pada bayi laki-laki telah didukung oleh budaya Barat
sebagai tindakan pencegahan penyakit. Berasal pada pertengahan
abad ke-19, sirkumsisi 'rutin' menjadi tersebar luas di negara-
negara berbahasa Inggris yang berkulit putih, dengan harapan
mengurangi kejadian penyakit kelamin. Kemudian, pada awal
tahun 1900-an, sirkumsisi disarankan sebagai cara untuk
mencegah masturbasi. Saat ini, banyak kelompok yang menentang
praktik sirkumsisi pada neonatal telah dibentuk, contohnya
seperti Organisasi Nasional untuk Menghentikan Penyalahgunaan
dan Rutinitas Mutilasi Laki-Laki, San Francisco, dan Organisasi
Nasional Pusat Sumber Informasi Sirkumsisi yang berbasis di San
Anselmo, California, dengan cabang di seluruh Amerika Serikat
dan Kanada (Hegazy, 2012).

22
Gambar 12. Prasasti sirkumsisi pada Kuil Khons di Mesir (R Peter
Charles. History of Circumcision, from the Earliest Times to
the Present. 2007)

Ritual sirkumsisi pada laki-laki diketahui telah dilakukan


oleh Penduduk Laut Selatan, Aborigin Australia, Sumatra, Incas,
Aztec, Maya, dan Mesir Kuno. Hingga saat ini, sirkumsisi masih
dipraktekkan baik oleh orang Yahudi, Muslim maupun banyak
suku di Afrika Timur dan Selatan. Banyak klaim telah dibuat
tentang hal itu, mungkin menjelaskan mengapa praktik ini, seperti
yang kita lihat, tidak tersebar atau dikenal sebagai proses ritual
tetapi sebagai prosedur pembedahan di luar kelompok-kelompok
etnis tersebut. Pada awal abad kedua puluh, seorang penulis
bahkan melangkah lebih jauh untuk mengklaim bahwa prosedur
sirkumsisi ini dapat menyembuhkan atau mencegah tidak lebih
sedikit dari 100 kondisi seperti alkoholisme, asma, epilepsi,
enuresis, hernia, asam urat, prolaps rektum, rematik dan penyakit
ginjal. Tidak hanya prosedur kuno, sirkumsisi merupakan
prosedur bedah yang paling banyak dipraktekkan di dunia,
dengan tingkat mulai dari 3–4% di Inggris dan Skandinavia hingga
77% laki-laki di AS (Doyle, 2005).

23
2.5 Prevalensi Sirkumsisi

Sirkumsisi merupakan salah satu tindakan pembedahan


yang paling banyak dilakukan di dunia, saat ini dari seluruh laki-
laki di dunia yang berusia 15 tahun keatas yaitu kurang lebih
3,654,384,123 jiwa, 38,65% nya atau kurang lebih 1,412,252,836
jiwa telah dilakukan sirkumsisi. Dari total ini, jumlah tertinggi
berasal dari dari Negara-negara Muslim dan Yahudi, yaitu 62,1%.
(Morris, B.J et al, 2016). Dimana Mesir, Republik Islam Iran,
Maroko dan Turki yang menunjukkan bahwa lebih dari 95% laki-
laki disirkumsisi di negara-negara tersebut (Niang, 2006).

Gambar 13. Prevalensi Sirkumsisi di dunia (WHO 2010)

Di Afrika Barat, dimana sirkumsisi umum baik di antara


pria non-Muslim maupun laki-laki Muslim, survei demografi dan
kesehatan menunjukkan bahwa prevalensi sirkumsisi memiliki
persentase yang sangat tinggi secara keseluruhan (97% di Benin,
96% di Pantai Gading, 95% di Ghana dan 90% di Burkina Faso).
Ada beberapa variasi di kawasan ini; misalnya, sirkumsisi jarang
terjadi di wilayah Upper West di Ghana (68%) dan diantara Lobi
di Burkina Faso barat daya (28%). Berdasarkan sumber yang
telah dipublikasikan menunjukkan bahwa prevalensi sirkumsisi
memiliki persentase lebih dari 80% pada sebagian besar negara-
negara Afrika Barat (Gambia, Guinea, GuineaBissau, Liberia, Mali,
Mauritania, Niger, Nigeria, Senegal, Sierra Leone dan Togo) (WHO,
2010).

24
Pada bagian lain dari sub-Sahara Afrika, faktor etnisitas
adalah penentu utama dari dilakukannya sirkumsisi. Secara
keseluruhan, persentase prevalensi yang rendah ditemukan di
Rwanda (9%), Burundi (<20%) dan Uganda (25%), dan memiliki
nilai persentase yang lebih tinggi di negara lain (70% di Republik
Serikat Tanzania, 84% di Kenya, 92,5% di Ethiopia, 93% di
Kamerun dan lebih dari 80% di Chad, Republik Demokratik
Kongo, Djibouti, Eritrea dan Somalia). Sebaliknya, sirkumsisi
jarang terjadi di negara-negara Afrika bagian selatan, dengan
perkiraan prevalensi sekitar 15% di Botswana dan Swaziland,
10% di Zimbabwe, 17% di Zambia, 21% di Malawi dan Namibia
dan 35% di Afrika Selatan. Perkiraan persentase prevalensi lebih
tinggi ditemukan di Mozambik (60%), Angola (> 80%) dan
Madagaskar (98%). Sirkumsisi merupakan tindakan yang sangat
lazim di negara-negara muslim di Asia seperti Bangladesh,
Malaysia, Indonesia, Pakistan, termasuk juga di Republik Korea
dan Filipina. Namun, di bagian negara lain yang ada di Asia
Tenggara, termasuk Wilayah Administratif Khusus Hong Kong,
Thailand, Vietnam, Republik Demokrasi Rakyat Laos, Kamboja ,
Myanmar, Cina, Jepang, dan Taiwan, China, Sirkumsisi masih
termasuk tindakan yang tidak lazim. Hanya 3% anak laki-laki
Tionghoa yang datang ke klinik di Wilayah Administratif Khusus
Hong Kong untuk dilakukan sirkumsisi. Tujuan dilakukannya
sirkumsisi ini baik karena alasan medis, karena dokter
merekomendasikannya sebagai rutinitas, untuk preferensi
keluarga atau untuk manfaat kesehatan yang dirasakan. Dari
sampel 1145 anak laki-laki yang ada di Taiwan yang berusia
diantara 7 hingga 13 tahun, hanya ada 8% dari mereka yang telah
dilakukan sirkumsisi. Sebuah penelitian baru-baru ini tentang ibu
dari bayi laki-laki di Mysore, India selatan, menemukan bahwa,
seperti yang diharapkan, prevalensi dikaitkan dengan agama,
dengan 57% Muslim anak laki-laki disirkumsisi dibandingkan
dengan 2,5% anak laki-laki non-Muslim. Prevalensi sirkumsisi
yang relatif rendah di antara anak laki-laki Muslim dalam sebuah
penelitian, kemungkinan karena usia muda anak laki-laki pada
saat wawancara (90% dari ibu Muslim melaporkan bahwa mereka

25
biasanya akan menyunat putra mereka pada usia yang lebih besar
dari satu tahun) (WHO,2010).

Sirkumsisi neonatal menjadi umum di negara-negara


industri berbahasa Inggris pada pertengahan abad ke-19, tetapi
saat ini secara luas dipraktekkan hanya di Amerika Serikat, di
mana saat ini antara 60% dan 90% dari laki-laki yang baru lahir
disirkumsisi, tergantung pada wilayahnya. Sebuah studi nasional
yang representatif telah menunjukkan bahwa prevalensi
keseluruhan sirkumsisi di antara pria dewasa adalah sekitar 79%
di Amerika Serikat, 59% di Australia dan 16% di Inggris. Ada
sedikit data perwakilan dari negara-negara Eropa lainnya, kecuali
Denmark (1,5%) dan Slovenia (4,5%), dengan pria yang
disirkumsisi dalam survei terakhir yang hampir secara eksklusif
Muslim atau asal non-Slovenia (WHO,2010).

Ritual sirkumsisi sudah menjadi hal yang umum dalam


kepercayaan Yahudi dan Islam dan di bagian sub Sahara Afrika.
Diperkirakan bahwa 69% hingga 97% dari semua anak laki-laki di
Amerika Serikat telah disirkumsisi, dibandingkan dengan 70% di
Australia, 48% di Kanada, dan 24% di Inggris. Prevalensi
prosedur yang dilaporkan di Amerika Serikat meningkat dari
sekitar 30% pada 1930-an menjadi hampir 80% pada awal tahun
1970-an. Nelson dkk melihat peningkatan yang signifikan dalam
tingkat sirkumsisi bayi baru lahir di AS, menurut data yang
diambil dari sampel rawat inap nasional. Peningkatan insiden
sirkumsisi ini dikaitkan erat dengan manfaat kesehatan yang
dapat dirasakan setelah dilakukannya sirkumsisi, terutama
peningkatan kebersihan dan mengurangi kanker penis (Hirji,
2005; Nelson, 2005).

Madagaskar, Ethiopia, Angola, Republik Demokratik


Kongo, dan Nigeria memiliki tingkat tertinggi (>90%) dari
sirkumsisi keseluruhan laki-laki yang ada di Afrika. Negara-negara
Barat dan Afrika Utara memiliki prevalensi lebih tinggi daripada
negara-negara Afrika Selatan. Di Afrika Timur dan Tengah, Kenya
memiliki prevalensi tertinggi (84%) diikuti oleh Tanzania (70%)

26
sementara Burundi, Rwanda dan Uganda memiliki prevalensi
sirkumsisi laki-laki yang sangat rendah (WHO, 2007, 2009).

Di Tanzania, sirkumsisi dengan metode secara


tradisional telah dipraktikkan di beberapa kelompok etnis selama
bertahun-tahun sebelum penjajahan. Namun, praktik tradisional
kemudian secara negatif dipengaruhi oleh penguasa kolonial dan
misionaris (Nnko et al., 2001). Oleh karena itu, hal ini
menciptakan apa yang disebut dengan sabuk atau zona yang tidak
disirkumsisi yang membentang dari bagian barat dan selatan
Danau Victoria melalui pedalaman Tanzania tengah ke selatan-
barat Tanzania. Prevalensi sirkumsisi di zona ini adalah antara 26-
69%. Di sisi lain, pesisir dan Tanzania tengah tetap menjadi sabuk
yang disirkumsisi dengan prevalensi sirkumsisi hingga 80%
(THMIS, 2004).

2.5 Indikasi Sirkumsisi

Anak laki-laki yang beranjak remaja dan juga sebagian


kecil laki-laki yang sudah dewasa memutuskan untuk dilakukan
sirkumsisi kebanyakan karena 3 alasan. Alasan pertama, yang
merupakan alasan yang paling umum dan paling sering
diungkapkan, yang menyebabkan mereka melakukan sirkumsisi
adalah karena alasan agama mereka. Alasan yang kedua adalah
sirkumsisi ini merupakan tindakan profilaksis terhadap penyakit-
penyakit di masa depan yang dapat muncul salah satunya karena
tidak dilakukannya sirkumsisi. Dan alasan ketiga adalah karena
adanya indikasi medis untuk dilakukan sirkumsisi segera
(Rickwood, 2002).

2.5.1 Fimosis

Fimosis merupakan kondisi dimana bagian distal dari


preputium sempit dan tidak dapat tertarik melewati glans penis
(Gambar 14). Diantara anak laki-laki yang terindikasi secara
medis untuk dilakukan sirkumsisi di daerah Mersey, Inggris, 90%
diantaranya terdiagnosis fimosis, 9% terdiagnosis balanopostitis,
dan 1% lainnya karena alasan yang lain (Rickwood, 2002). Pada

27
bayi, balita, dan anak pra sekolah, kulit tampak tebal dan tidak
dapat tertarik disertai perlengketan ke glans. Hal ini bertahan
sampai terjadinya proses keratinisasi lapisan epitel antara glans
dan lapisan dalam preputium yang memisahkan antara kulit
preputium dari glans. Hal ini disebut fimosis fisiologis, yang tidak
berhubungan dengan kondisi patologis.

Gambar 14. Fimosis (Urologi Malang, 2018)

Fimosis yang berat pada kelompok usia yang muda


tergolong jarang terjadi dan memberikan gambaran penonjolan
kulit bagian depan pada saat miksi. Pada usia 3 tahun, hanya 10%
dari anak laki-laki yang tidak dapat menarik secara penuh kulit
preputiumnya. Pada saat remaja, 98-99% kulit preputium dapat
tertarik sampai glans. fimosis yang didapat merupakan akibat dari
kurang menjaga kebersihan, balanitis kronis, menarik dengan
kuat preputium secara berulang-ulang yang dapat membentuk
cicin fibrosis yang menutup orifisium dari preputium dan
menyebabkan terjadinya fimosis. Fimosis tidak menyebabkan
obstruksi pada traktus urinarius, namun tanpa higienitas yang
baik, kondisi ini akan berisiko terhadap terjadinya iritasi kulit,
28
infeksi jamur, balanitis, postitis, dan jika preputium ditarik
dengan paksa dapat mengakibatkan parafimosis. Seseorang
dengan fimosis dapat mengalami nyeri saat melakukan aktivitas
seksual. (WHO, 2007)
Seorang anak laki-laki ataupun laki-laki dewasa yang
sedang dalam keadaan fimosis ini datang dengan gejala-gejala
seperti ujung kulit preputium yang tidak dapat ditarik, iritasi atau
bahkan perdarahan pada lubang preputial, disuria, retensi urin
akut, dan, pada kasus yang jarang, adanya retensi kronis, yang
dapat berubah menjadi kondisi komplikasi berupa enuresis
sekunder, namun pada sebagian anak laki-laki justru tidak
mengeluhkan gejala apapun dan fimosis secara tidak sengaja
ditemukan pada mereka saat sedang melakukan pemeriksaan
yang lain (Rickwood, 2002).

Gambar 15. Grading Fimosis menurut Kikiros (Sookpotarom, P. et al.


2013)

29
Tabel 1. Grading Fimosis menurut Kikiros (Sookpotarom, P. et al. 2013)
Derajat 0 Kulit preputium dapat diretraksi secara sempurna,
hanya ada perlengketan kongenital dengan glans
penis
Derajat 1 Kulit preputium dapat diretraksi, namun terdapat
perlengketan di belakang glans penis
Derajat 2 Kulit prepitium dapat ditraksikan hingga glans
penis dapat terekspose sebagian
Derajat 3 Dapat diretraksi sebagian, meatus urethra dapat
terlihat
Derajat 4 Dapat diretraksi minimal, namun glans penis
ataupun muara urethra eksternal tidak dapat
terekspose
Derajat 5 Sama sekali tidak dapat diretraksi

Untuk penangan fimosis, tatalaksana konservatif


merupakan pilihan utama. Penggunaan steroid cream (0,05% -
0,1%) dengan dosis 2x perhari selama 20-30hari, menunjukan
hasil yang sangat baik dengan tingkat kesuksesan terapi > 90%,
dengan untuk angka kekambuhan setelah terapi konservatif
sekitar 17% dari kasus. (EAU Guideline Pediatric Urology, 2018)

Indikasi absolut untuk dilakukan sirkumsisi pada pasien


phimosis adalah phimosis sekunder yang terjadi akibat retraksi
preputium secara paksa, atau pada Balanitis Xerotica Obliterans.
Selain itu, balanopostitis dan infeksi saluran kencing berulang
pada phimosis primer juga merupakan indikasi sirkumsisi. Dalam
memutuskan terapi yang akan dilakukan, keinginan dari orangtua
pasien juga merupakan suatu faktor penting yang harus
dipertimbangkan. (EAU Guideline Pediatric Urology, 2018).

2.5.2 Parafimosis

Parafimosis terjadi apabila kulit preputium tidak bisa


dikembalikan menutupi glans penis dan membentuk sebuah
cincin yang mencengkram dengan sangat ketat, sehingga
menimbulkan pembengkakan pada distal penis serta rasa nyeri
yang akut (Gambar 16). Hal ini biasaya disebabkan oleh kulit
30
preputium yang diretraksi dalam waktu yang lama. Pada anak-
anak yang masih sangat muda, hal ini biasa terjadi pada kulit
preputium yang ditarik secara paksa dan kasar saat pemeriksaan
penis, atau pada orangtua yang secara berlebihan menjaga
higienitas penis anaknya. (H.J Gerald et al. 2012)

Gambar 16. Preputium yang menstrangulasi glans penis, sehingga


menyebabkan oedem pada glans penis (Urologi Malang,
2018)

Pada parafimosis, pertolongan pertama yang dapat


dilakukan adalah dengan mereduksi secara manual dengan
memberi tekanan secara terus-menerus pada daerah yang edem,
lalu setelah bengkak berkurang, tekan glan penis menggunakan
jempol dan tarik preputium menggunakan jari yang lain (gambar
17). Penggunaan Ice Pack dapat membantu menganastesi kulit
preputium yang bengkak. Bila reduksi manual gagal, maka
pelepasan jeratan preputium dapat dilakukan dengan
pembedahan, yaitu dengan dorsal slit atau sirkumsisi. (H.J Gerald
et al. 2012)

31
Gambar 17. Langkah reduksi manual pada paraphimosis, (b) memberi
tekanan pada daerah yang edem, (c) menekan glans penis
dengan ibujari dan menarik preputium, (d) menjaga agar
preputium tidak kembali teretraksi. (Vilke et al, 2008)

2.5.3 Balanopostitis

Balanitis adalah inflamasi yang terjadi pada daerah glans


penis dan postitis merupakan inflamasi yang terjadi pada daerah
preputium (Gambar 17). Pada kesehariannya, inflamasi pada
balanitis sering kali ikut mengenai preputium dimana 3 - 11%
pria di dunia pernah mengalami kondisi ini. sehingga kata
balanopostitis mulai digunakan. Balanitis dapat muncul akibat
kebersihan yang kurang, yang disebabkan karena tidak
dibersihkannya bagian dari glans penis yang berada dibawah
preputium, dan pada orang dengan diabetes melitus,
kemungkinan akan terjadinya suatu balanitis akan semakin
meningkat jauh lebih besar, hal ini disebabkan oleh tingginya
kandungan glukosa yang berada dalam urin menyebabkan
pertumbuhan kuman menjadi sangat tinggi. (H.J Gerald et al.
2012)

32
Balanopostitis yang akut dapat digambarkan dengan
adanya eritema dan edema pada preputium, atau pada sebagian
kasus yang patognomis, digambarkan dengan discharge purulent
pada orifisium dari preputium. Disuria menjadi gejala penyerta
yang paling umum dikeluhkan oleh pasien. Bakteri penyebab
terjadinya balanopostitis yang paling umum adalah Escherichia
coli dan Proteus vulgaris walaupun sekitar 30% kasus
balanopostitis memberikan hasil kultur yang steril. Balanopostitis
bisa terjadi ketika preputium dapat teretraksi secara penuh dan
mudah, dan pada pasien dengan usia tua, disertai dengan gejala-
gejala dari diabetes mellitus (Rickwood, 2002).

Tatalaksana awal pada balanitis adalah dengan pemberian


steroid topikal, dan bila didapatkan suatu tanda infeksi dapat
diberikan antibiotik topikal. Respon terapi dengan pemberian
steroid atau antibiotic memiliki angka kesembuhan dari balanitis
cukup tinggi, namun pada kasus balanitis berulang dapat
dianjurkan untuk tatalaksana definitif yaitu dengan melakukan
sirkumsisi. (WHO 2010)

(a) (b)

Gambar 18. (a) balanitis pada pria dewasa, tampak glans penis
mengalami inflamasi (Pandya Ipsa et al, 2014), (b) Positiis
pada anak-anak, tampak preputium mengalami inflamasi
Urologi Malang, 2018)

33
2.6 Kontraindikasi Sirkumsisi

Ada beberapa kondisi pada seseorang yang merupakan


kontraindikasi dilakukannya sirkumsisi. Salah satu penyebab
terjadinya komplikasi akibat sirkumsisi pada neonates adalah
tidak terdeteksinya anomaly pada penis yang dapat menyebabkan
prognosis yang buruk jika dilakukan sirkumsisi. Sirkumsisi tidak
boleh dilakukan pada bayi prematur, pada mereka dengan diatesis
hemoragik di keluarga atau pada bayi, dan pada anak-anak
dengan anomali organ genital eksternal dimana prepusium dapat
digunakan dalam operasi masa depan. Anomali ini meliputi
hipospadia, epispadia, buried penis, megalourethra, chordee,
webbed penis, dan fusi penoskrotal. Dalam kasus sirkumsisi rutin
pada anak-anak dengan anomali ini, cangkokan kulit mungkin
diperlukan untuk penis di masa depan. Khususnya, buried penis
dan fusi penoskrotal mungkin tidak terjawab selama pemeriksaan
rutin, dan sirkumsisi rutin pada bayi dengan fusi penoskrotal
dapat menyebabkan pembentukan penis yang terkubur iatrogenik
(Hegazy, 2012).

Sirkumsisi profilaksis merupakan kontraindikasi pada


kasus kelainan kongenital, dimana prepusium diperlukan untuk
rekonstruksi penis. Kondisi seperti itu termasuk hipospadia,
epispadia, chordee, buried penis dan mikropenis. Karena
hipospadia kompleks adalah yang paling umum dari kondisi ini,
maka harus selalu dikecualikan dengan pemeriksaan yang cermat
pada penis. Selain itu, sirkumsisi tidak boleh dilakukan dalam
kasus-kasus prematuritas, karena bayi prematur lebih rentan
terhadap septikemia setelah sirkumsisi. Selain itu, sirkumsisi non-
terapeutik tidak dianjurkan pada kasus hemofilia, karena risiko
perdarahan yang tinggi (Hegazy, 2012).

2.6.1 Hipospadia

Hipospadia merupakan kondisi dimana meatus uretra


eksternus berada pada proksimal dari glans penis dimana letak
normal dari meatus uretra ini berada pada ujung glans penis.
Hipospadia ini termasuk kedalam abnormalitas penis primer
34
bersama dengan epispadias dan mikropenis. Penis yang
mengalami hipospadia biasanya memiliki hood dari kulit
preputium pada bagian dorsal. Pada kondisi ini, sering terdapat
kekurangan pada kulit batang penis bagian ventral. Oleh karena
itu, dalam kondisi ini, kulit preputium harus dijaga karena
mungkin akan diperlukan pada saat dilakukan rekonstruksi uretra
dan penutupan kulit penis ventral. Sebanyak 10% anak laki-laki
yang mengalami hipospadia memiliki bentuk kulit preputium
yang normal dan tidak ada lengkungan ventral sehingga dapat
menyamarkan defek yang ada pada anak tersebut. Kondisi ini
paling sering dikaitkan dengan ukutan meatus yang sangat besar
yang memanjang ke batang distal penis dan disebut sebagai
hipospadia megameatus intact prepuce (MIP) (Hurwitz, 2012).

Gambar 18. Hipospadia dan dorsal hood. Meatus subcoronal (tanda


panah) (Hurwitz, 2012) (Courtesy of Seattle Children’s Hospital,
Department of Urology)

35
Gambar 19. Hipospadia scrotal dengan kulit preputium yang sempurna.
Karena preputium yang sempurna, hipospadia tipe ini sering terlewat.
Penekanan pada sisi lateral akan memperlihatkan meatus (Hurwitz,
2012) (Courtesy of Seattle Children’s Hospital, Department of Urology)

2.6.2 Epispadia

Epispadia merupakan kondisi yang pada umumnya sering


dikaitkan dengan adanya ekstrofi dari vesika urinaria meskipun
kondisi ini juga dapat muncul sebagai epispadia murni. Pada anak
laki-laki dengan epispadia, meatus uretra eksternus berada pada
dorsal dari glans penis ataupun shaft penis. Bentuk dari bagian
proksimal sering dihubungkan dengan adanya insufisiensi
sphincter dan juga inkontinensia urin. Seluruh bagian dari
preputium berada pada bagian ventral, dan seperti di hipospadia,
kulit preputium pada kondisi epispadias ini juga harus dijaga
karena memiliki peran penting saat dilakukan rekonstruksi uretra
dan skin coverage. Pada sebagian kasus epispadia yang sangat
jarang, kulit preputium berbentuk dan terletak sempurna dengan
meatus uretra yang berada di bagian dorsal (Hurwitz, 2012)

36
Gambar 20. Epispadias dengan meatus uretra berada di bagian dorsal
dari penis dan tidak terdapat preputium di bagian dorsal (Hurwitz,
2012)

2.6.3 Mikropenis

Walaupun mikropenis ini termasuk ke dalam jenis


abnormalitas penis primer bersama dengan hipospadia dan
epispadia, berbeda dengan dua kondisi tersebut, mikropenis ini
memiliki bentuk penis yang normal, namun memiliki ukuran yang
abnormal, penis tersebut berukuran kecil dan ramping, memilki
panjang setidaknya 2.5 standar deviasi dibawah rata-rata, atau
dapat dikorelasikan pada bayi baru lahir cukup bulan memiliki
panjang penis yang telah diregangkan sebesar kurang dari 1,9 cm.
bahkan, pada kasus yang lebih ekstrim, shaft penis hamper tidak
terlihat dan glans penis terletak tepat sejajar dengan kulit pubis.

Seorang anak laki-laki dengan kondisi mikropenis harus


dievaluasi secara endrokrinologis untuk memastikan apakah
terdapat abnormalitas pada kromosom atau hormonal sistemik.
Tatalaksana yang tepat untuk kondisi mikropenis terutama adalah
stimulasi hormon dengan variabel derajatnya adalah respon
pertumbuhan. Tindakan sirkumsisi harus ditunda pada bayi laki-
laki yang baru lahir dengan kondisi mikropenis. Melakukan

37
tindakan sirkumsisi pada kondisi ini dapat membuat penis terlihat
semakin lebih kecil (Hurwitz, 2012).

2.6.4 Burried Penis

Buried Penis merupakan salah satu jenis kelainan yang


disebabkan oleh adanya abnormalitas dari fascia dartos. Fascia
dartos adalah lapisan subkutan dari kulit penis yang, pada kondisi
normal, terfiksasi pada fascia buck. Namun pada kondisi ini, fascia
dartos tersebut justru terfiksasi pada korpus dari shaft penis
sehingga kulit penis yang seharusnya terfiksasi pada shaft
menjadi terdorong melebihi shaft penis sehingga tampak seperti
adanya "topi kulup" kecil di permukaan kulit dengan penis
tenggelam ke dalam lemak pubis. (Hurwitz, 2012).

Hasil atau efek dari tindakan sirkumsisi yang dilakukan


pada bayi baru lahir dengan kondisi anatomi ini adalah seringnya
terjadi pengangkatan kulit luar dari shaft penis yang berlebihan
atau justru insufisiensi pengangkatan kulit preputium dan
pembentukan fimosis sekunder postsirkumsisi yang relatif cepat.
Kondisi ini merupakan salah satu varian anatomi yang sangat
penting untuk dideteksi karena membutuhkan penangguhan atau
penundaan untuk dilakukan sirkumsisi. semisal orang tua tetap
menginginkan anak laki-laki mereka yang mengalami buried penis
untuk disirkumsisi, abnormalitas tersebut harus diperbaiki pada
saat dilakukan sirkumsisi, yang biasanya ditunda hingga usia bayi
mencapai 5 bulan atau lebih pada bayi cukup bulan yang sehat
ketika anestesi umum dapat diberikan. sirkumsisi dalam
kombinasi dengan pengambilan secara lengkap dari semua
perlekatan dari fascia dartos dan menempelkan pangkal kulit dari
penis ke korpus dapat dilakukan setelah pemberian anesetesi
telah bekerja. Hal ini bisa menjadi rekonstruksi kulit penis yang
kompleks, dan untuk pasien dengan distribusi lemak pada regio
pubis yang besar, mungkin sebaiknya mereka harus menghindari
tindakan sirkumsisi terlebih dahulu hingga mereka telah
mengurangi kelebihan lemak pada daerah kemaluan mereka
(Hurwitz, 2012).

38
Gambar 21. Buried penis pada seorang anak laki-laki yang belum
dilakukan sirkumsisi. Palpasi dapat memperlihatkan shaft
penis yang berada di dalam kulit penopubic (Hurwitz,
2012) (courtesy of Seattle Children’s Hospital, Department
of Urology)

2.6.5 Transposisi Penoskrotal

Transposisi penoscrotal merupakan anomali yang terjadi


secara kongenital dimana penis dalam keadaan tertelan pada
bagian tengah skrotum. Kondisi anomali ini dapat muncul sebagai
keadaan tunggal tanpa ada kondisi anomali yang lain, namun
biasanya keadaan ini sering dihubungkan dengan abnormalitas
genital yang lain, seperti hipospadia ataupun bermacam-macam
bentuk duplikasi uretra. Tindakan rekonstruksi untuk melakukan
koreksi pada anomali ini adalah hal yang kompleks dan tindakan
sirkumsisi dikontraindikasikan pada kasus ini (Hurwitz, 2012).

39
Gambar 22. Transposisi Penoskrotal. Perhatikan posisi penis
yangtertelan oleh skrotum (Hurwitz, 2012).

2.6.6 Torsio Penis

Torsio penis merupakan defek rotasi secara berlawanan


dari arah jarum jam pada penis yang pada umumnya sering
dihubungkan dengan hipospadia derajat rendah. Bagian ventrum
penis (Gland dan Shaft). Deformitas ini terjadi akibat adanya kulit
yang abnormal dan atau perlekatan dartos. Pada kasus torsio
penis murni, tindakan reparasi diindikasikan jika derajat torsio
lebih dari 90o. Sirkumsisi neonatal seharusnya ditunda apabila
koreksi melalui pembedahan disarankan (Hurwitz, 2012)

40
Gambar 23. Torsio penis. Perhatikan orientasi yang abnormal dari
meatus, gunakan garis median dari skrotum sebagai panduan (Hurwitz,
2012).

2.6.7 Webbed Penis

Webbed Penis atau yang juga disebut dengan Penoscrotal


Webbing disebabkan karena adanya perlekatan yang tinggi dan
abnormal dari skrotum pada kulit penis bagian ventral. Pada
kasus-kasus yang memiliki bentuk yang jauh lebih parah, dimana
web tersebut meluas dan bertemu dengan distal dari kulit penis
bagian ventral, sirkumsisi neonatal lebih baik ditunda karena
tindakan tersebut dapat menyebabkan penampilan penis tanpa
adanya kukit bagian ventral dengan glans penis tertambat pada
skrotum. Tindakan sirkumsisi pada kondisi ini juga dapat
menyebabkan fimosis sekunder (Hurwitz, 2012).

41
Gambar 24. Penoscrotal webbing (tanda panah). Shaft penis tampak
seperti pendek dengan karakteristik khas yaitu bagian
dorsal yang lebih besar dan bagian ventral yang tertambat
(Hurwitz, 2012)

2.7 Komplikasi Sirkumsisi

Sirkumsisi merupakan salah satu prosedur pembedahan


tertua yang tidak sulit dan dapat ditoleransi dengan mudah.
Mortalitas dan morbiditas sangat rendah apabila sirkumsisi
dilakukan sesuai dengan standar pembedahan yang benar.
Meskipun sirkumsisi memiliki bermacam-macam komplikasi,
seperti infeksi, hematoma, eksisi prepusium yang tidak lengkap,
reaksi jahitan, stenosis dari meatus uretra eksternal, fistula
uretra, eksisi ekstrem dari kulit penis, dan perlekatan jembatan
kulit ke glans penis, komplikasi operatif yang paling umum dari
tindakan sirkumsisi ini adalah perdarahan dan sepsis, sedangkan
komplikasi paling serius yang dapat terjadi adalah pemotongan
atau amputasi. Selain itu, perban ketat setelah sirkumsisi dapat
menyebabkan gangren penis dalam kasus yang jarang terjadi.
Dilaporkan dalam literatur bahwa beberapa pasien meninggal
setelah perdarahan hebat dan necrotizing fasciitis. Ada perbedaan
signifikan dalam tingkat komplikasi yang terdeteksi dalam
praktek sirkumsisi, dan tingkat mulai dari 0,06% hingga 55%

42
telah dilaporkan. Tingkat komplikasi meningkat hingga 85% pada
sirkumsisi yang dilakukan oleh penyunat tradisional di negara
berkembang. Dalam sebuah studi dari 400 kasus yang dilakukan
oleh Bazmamoun dkk., disimpulkan bahwa pada anak-anak di
bawah 2 tahun dan pada bayi baru lahir, stenosis meatal dapat
berkembang sebagai akibat dari menggosok ujung penis yang
tidak terlindungi dan meatus uretra eksternal pada popok atau
pada kulit mereka sendiri, dan ini bisa dicegah dengan memakai
vaseline pada ujung penis selama 6 bulan pada anak-anak dengan
popok (Hegazy, 2012).

Penelitian melaporkan beberapa komplikasi serius dari


sirkumsisi. Komplikasi ringan atau sedang terlihat, terutama
ketika sirkumsisi dilakukan pada usia yang lebih tua, oleh
operator yang tidak berpengalaman atau dalam kondisi yang tidak
steril. Tinjauan tahun 1989 dari Gugus Tugas Akademi Amerika
Pediatrics pada Sirkumsisi melaporkan bahwa tingkat komplikasi
pasca operasi pria sirkumsisi sekitar 0,2% hingga 0,6%. Sebagian
besar komplikasi adalah minor, yang paling umum adalah infeksi
lokal dan perdarahan. Komplikasi lain yang dikutip adalah
stenosis meatus, pengangkatan prepusium yang berlebihan atau
tidak adekuat, cedera penis, cedera uretra dan jaringan parut yang
menyakitkan. Komplikasi mayor tetapi jarang lainnya termasuk
amputasi glans penis (Hegazy, 2012).

2.7.1 Perdarahan

Perdarahan merupakan komplikasi yang paling umum dan


paling sering ditemukan baik selama maupun setelah sirkumsisi.
Kebanyakan kasus perdarahan yang ditemukan adalah
perdarahan minor dan yang diperlukan untuk mencapai
hemostasis hanyalah penekanan yang baik pada area perdarahan.
Pada sebagian kasus, terjadi perdarahan berlebihan yang dapat
disebabkan karena adanya anomali pada pembuluh darah
ataupun adanya kelainan perdarahan atau pembekuan darah.
Pembuluh darah yang terlihat jelas sedang mengalami perdarahan
dapat dilakukan ligasi menggunakan jahitan yang baik. Titik yang
paling umum yang menyebabkan perdarahan yang persisten
43
adalah di area frenulum. Untuk menghindari komplikasi ini,
diperlukan Tehnik menjahit yang teliti pada area sekitar frenulum
dan mengambil jaringan superfisial hanya pada daerah jahitan
(Williams, 1993).

2.7.2 Sepsis

Infeksi akan muncul pada hampir 10% pasien yang baru


saja dilakukan sirkumsisi. Pada mayoritas kasus, biasanya infeksi
muncul dengan gejala yang ringan dan memberikan manifestasi
berupa perubahan inflamasi lokal, namun pada sebagian kasus
yang lain, tanda dan gejala yang muncul dapat berupa hingga
ulserasi dan supurasi. Meskipun insidensi kasus komplikasi sepsis
ini tergolong rendah, namun sepsis yang muncul karena
sirkumsisi berpotensi untuk menyebabkan morbiditas yang
signifikan dan bahkan, dalam beberapa kasus, menyebabkan
kematian (Williams, 1993).

2.7.3 Fistula

Fistula uretrokutaneus yang muncul setelah tindakan


sirkumsisi dapat terjadi karena beberapa macam alasan, namun
beruntungnya, insiden yang dilaporkan mengenai kasus
komplikasi ini sangat rendah. Penyebab paling mungkin yang
dapat dijelaskan adalah karena adanya jahitan yang ditempatkan
tidak baik pada frenulum yang awalnya bertujuan untuk
memperoleh kondisi hemostasis. Hal ini menyebabkan strangulasi
dan nekrosis pada bagian dinding uretra sehingga menghasilkan
fistula subglandular. Munculnya fistula juga bisa disebabkan
karena kondisi sepsis yang tidak tertangani dengan baik ataupun
kondisi anomali yang langka dan tidak terdeteksi seperti
megalouretra. Sebagian besar fistula terbuka pada daerah dorsal
dari penis walaupun ada kemungkinan juga bahwa fistula dapat
terbuka pada bagian ventral (Williams, 1993).

2.7.4 Stenosis Meatal

44
Stenosis meatal ini merupakan konsekuensi langsung dari
sirkumsisi yang jarang ditemukan pada laki-laki yang belum
dilakukan sirkumsisi. Etiologi dari kasus ini diperkirakan karena
adanya iritasi pada meatus uretra eksternus yang jarang terjadi
apabila seseorang memiliki preputium yang normal. Stenosis
meatal akibat sirkumsisi dapat menjadi penyebab dari
pyelonefritis rekuren dan uropati obstruktif dengan meatotomi
merupakan tatalaksana kuratif yang dapat dilakukan (Williams,
1993).

Gambar 22. A. Shaft penis teramputasi post sirkumsisi; B. Perdarahan


post Sirkumsisi (Urologi Malang, 2018)

45
Tabel 2. Studi prospektif dari frekuensi komplikasi pada studi terhadap
sirkumsisi neonatal dan infant (Weiss, 2010)

46
2.8 Perkembangan Metode Sirkumsisi

2.8.1 Tindakan Pembedahan

2.8.1.1 Agen Anestesi

Saat menentukan pilihan untuk menggunakan


pembedahan secara konvensional dalam melakukan sirkumsisi,
penggunaan agen anestesi secara lokal lebih direkomendasikan
dibandingkan umum. Anestesi lokal lebih simpel, aman, dan jauh
lebih murah dibandingkan dengan anestesi umum. Pasien juga
dapat pulang dalam hari yang sama dengan tindakan jika
dilakukan dengan benar dan sesuai prosedur. (WHO 2009)

Untuk obat anestisi lokal yang sering digunakan di dunia


saat ini sebagai agen anestesi untuk tindakan sirkumsisi adalah
Lidokain 1% atau 2% atau dikombinasikan dengan bupivakaine
0,25% atau 0,5%. Pada pasien dengan berat badan yang kecil,
disarankan untuk menggunakan obat dengan konsentrasi rendah
seperti lidocain 1% dengan atau tanpa kombinasi bupivakain
0,25%, karena dengan penggunanan konsentrasi rendah, obat
dapat diberikan secara berulang bila dibutuhkan lebih dan
kemungkinan untuk melebihi dosis maksimal menjadi berkurang.
Kekurangan dari penggunaan obat anestesi dengan konsentrasi
yang rendah adalah untuk mencapai target anestesi atau efek
yang diinginkan membutuhkan waktu yang lebih lama, sehingga
total durasi waktu tindakan sirkumsisi menjadi bertambah lama.
(WHO 2009)

Baik Lidokain maupun Bupivakain dapat memberikan efek


toksik kepada sistem saraf pusat dan juga jantung, sehingga dalam
pemberian kombinasi antara dua obat ini akan mengakumulasi
efek toksik dari masing masing jenis obat. Dosis maksimum yang
dapat diadministrasikan pada seseorang untuk Lidocain adalah
3mg/kgBB, sedangkan untuk Bupivakain yang memiliki nilai
poten lebih tinggi disbanding lidocain, dosis maksimalnya adalah
1,5mg/kgBB, untuk dosis maksimal yang dianjurkan terdapat
pada tabel 1 dan tabel 2.

47
Tabel 3. Dosis Lidokain 2% (WHO, 2009)

DOSIS AMAN OBAT ANESTESI-VOLUME AWAL DAN MAKSIMUM


LIDOKAIN 2%
Berat badan (kg) Volume Awal Volume aman maksimum
Tambahan 1 mL, TOTAL
20-29kg 2ml
menjadi 3 mL
Tambahan 1 mL TOTAL
30-39kg 3ml
menjadi 4 mL
Tambahan 2 mL, TOTAL
40-50kg 4ml
menjadi 6 mL

Tambahan 2 mL, TOTAL


>50kg 5ml
menjadi 7 mL

Tabel 4. Dosis Kombinasi Lidokain 2% dan Bupivakain 0,25%


(WHO,2009)
DOSIS AMAN OBAT ANESTESI LOKAL – VOLUME AWAL DAN
MAKSIMUM CAMPURAN 1:1 DARI LIDOKAIN 2% DAN BUPIVAKAIN
0.5%
Berat badan Volume Awal Volume aman maksimum
(kg) (campuran 1:1) (campuran 1:1)
Tiap obat
Additional 1 mL of each drug to
20-29kg 3mL (6 mL
TOTAL of 4 mL (maximum 2 mL of each)
total)
Tiap obat 4
Additional 1 mL of each drug to
30-39kg mL (8 mL
TOTAL of 6 mL (maximum 3 mL of each)
total)
Tiap obat 5
Additional 1 mL of each drug to
40-50kg mL (10 mL
TOTAL of 8 mL (maximum 4 mL of each)
total)
Tiap obat 5 Additional 1 mL of each drug to
More than
mL (10 mL TOTAL of 10 mL (maximum 5 mL of
50kg
total) each)

Keuntungan yang dapat didapatkan dari penggunanan agen


anestesi Lidokain tanpa kombinasi dengan bupivacain adalah
harganya yang lebih murah, dan onset dari anestesi yang cepat,
48
namun berimbas pada efek dari anestesi tersebut yang juga cepat
menghilang. Sedangkan untuk Bupivacain, memiliki efek anestesi
yang lebih lama jika dibandingkan dengan Lidokain, tapi memiliki
kekurangan pada harga obat yang lebih tinggi jika dibandingkan
dengan Lidokain.

Dari beberapa laporan, selain penggunaan anestesi lokal


sebagai salah satu cara untuk mengurangi nyeri saat tindakan
sirkumsisi, dapat juga digunakan analgesik tambahan secara oral
yang dapat diberikan 30 menit sebelum tindakan pembedahan
dimulai, obat analgesik yang diberikan dapat berupa NSAID
maupun acetamenofen. (WHO 2009)

2.8.1.2 Tehnik Anestesi

Ketika memberikan anestesi lokal, terdapat 2 tehnik yang


sering digunakan:

Tehnik Subcutaneous Ring Block

Tehnik Subcutaneous Ring Block adalah tehnik anestesi yang


dilakukan dengan cara menginjeksikan agen anestesi lokal pada
daerah subkutis yang berada pada Basis dari shaft penis secara
melingkar, sehingga membentuk suatu cincin anestesi lokal pada
daerah subkutis (Gambar 19). Tehnik ini dapat membantu
mencegah terjadinya cedera pada jaringan penis dan juga
memberikan efek analgesik yang baik pada kulit dari shaft penis.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam melakukan Tehnik
Subcutaneous Ring Block adalah sebagai berikut:

1. Menggunakan jarum spuit tajam yang telah diisi dengan


agen anestesi, masukkan 0,1 ml agen anestesi pada arah jam
12 dari shaft penis.
2. Selanjutnya, tanpa menarik jarum keluar, tusukkan lebih
dalam menuju ke subdermal dan pastikan jarum
sepenuhnya dapat digerakan. Lalu lakukan aspirasi, untuk
memastikan ujung tidak mengenai pembuluh darah. Setelah
dipastikan tidak ada darah yang teraspirasi kedalam spuit,

49
masukkan 2-3ml agen anestesi untuk memblok nervus
dorsalis penis.
3. Lalu, arahkan ujung jarum spuit menuju ke sisi lateral kanan
dan kiri penis secara bergantian, lakukan aspirasi seperti
yang dilakukan di langkah yang sebelumnya, setelah
dipastikan tidak ada darah yang teraspirasi, perlahan
masukan agen anestesi sedikit demi sedikit sehingga
membentuk separuh cincin anestesi pada daerah dorsal
shaft penis
4. Setelah itu, lakukan tusukan lagi pada arah jam 3 dan 9 ke
arah ventral penis, untuk membuat suatu cincin anestesi
yang sempurna. Jangan melakukan tusukan pada arah jam
06.00, karena kemungkinan untuk jarum spuit mencederai
urethra dan menusuk pembuluh darah ketika dilakukan
infiltrasi lebih besar.
5. Setelah anestesi dimasukkan, tunggu sekitar 5 menit
sebelum memulai tindakan pembedahan untuk memberikan
waktu agar obat anestesi yang telah diadministrasikan
dapat bekerja secara sempurna. Lakukan tes sensasi
sebelum memulai dengan cara mencubit preputium
menggunakan klem arteri untuk memastikan apakah agen
anestesi yang telah diberikan telah bekerja atau belum, bila
pasien masih merasakan nyeri, agen lokal anestesi
tambahan dapat diberikan kepada pasien hingga pasien
sudah tidak merasakan nyeri, namun tetap harus
memperhatikan dosis maksimal dari obat tersebut agar
tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

50
Anestesi secara melingkar
pada basis shaft penis

Gambar 23. Anestesi lokal dengan Tehnik Ring Blok Anestesi (WHO,
2009)

Tehnik Dorsal Nerve Blok

Pada tehnik ini, agen anestesi disuntikkan pada posisi


dekat dengan nervus dorsalis penis (Gambar 20). Apabila
dibutuhkan, tehnik ini juga dapat dilakukan dengan guiding USG.
Langkah-langkah dalam mengerjakan tehnik ini adalah sebagai
berikut:

1. Berikan 2 suntikan anestesi pada arah jam 11.00 dan


01.00 di daerah dorsum penis pada sudut subpubis
2. Arahkan jarum 45 derajat terhadap shaft penis, dengan
begitu tingkat keberhasilan blok akan meningkat dan
kemungkinan untuk mencederai struktur penis akan
berkurang.
3. Masukan jarum pada masing-masing tempat (arah jam
11.00 dan 01.00) sedalam kurang lebih 3cm, sehingga
anestesi dapat mencapai saraf dorsalis penis sebelum
saraf tersebut bercabang.

51
4. Aspirasi jarum, dan pastikan jarum tidak mengenai
pembuluh darah dengan tanda tidak ada darah yang
masuk kedalam spuit ketika diaspirasi.
5. Masukkan agen anestesi dekat dengan nervus dorsalis
penis
6. Tunggu sekitar 5 menit setelah penyuntikan agen anestesi
agar memberikan waktu untuk obat anestesinya untuk
bekerja

Teknik ini dapat dilakukan pada kondisi-kondisi penis


yang abnormal seperti fimosis ataupun parafimosis. Teknik ini
juga memiliki resiko komplikasi yang dapat terjadi seperti infeksi
pada regio injeksi apabila tidak dilakukan desinfeksi yang baik
sebelum dilakukan injeksi, perdarahan dan hematoma juga dapat
terjadi jika ujung jarum secara tidak sengaja mengenai pembuluh
darah.

52
Gambar 24. Anestesi lokal dengan tehnik Dorsal Nerve Blok (WHO,
2009)

2.8.1.3 Dorsumsisi

Tehnik dorsumsisi ini merupakan tehnik sirkumsisi yang


memiliki resiko komplikasi terkecil sehingga pada saat ini
dorsumsisi adalah tehnik paling direkomendasikan oleh penulis.
Dalam prosedur ini, seorang asisten akan sangat membantu
selama melakukan prosedur dorsumsisi. Salah satu
kekurangannya adalah kulit dapat terpotong lebih banyak dari
salah satu sisi, sehingga memberikan hasil yang asimetris. Namun,
dorsumsisi tetap merupakan tehnik yang banyak digunakan oleh
dokter bedah umum dan bedah urologi di seluruh dunia.

1. Persiapan alat, draping area operasi, dan lakukan anestesi


secara lokal
2. Retraksikan kulit preputium hingga ke arah sulcus
coronarius secara perlahan, dan hilangkan semua adesi
dan juga smegma yang ada.
3. Kembalikan kulit preputium seperti semula
4. Klem preputium di arah jam 1, jam 11, dan jam 6
5. Lakukan pemotongan di arah jam 12 ke arah dorsal
sampai sulcus coronarius.

53
6. Lalu lakukan pemotongan pada sisa preputium dengan
menyisakan bagian frenulum
7. Lakukan ligase arteri pada arteri frenularis di arah jam 6,
selanjutnya dilakukan pemotongan pada arah jam 6
8. Observasi, bila ditemukan perdarahan segela lakukan
kontrol perdarahan
9. Jahit secara secara single interrupted pada seluruh luka
10. Prosedur selesai, lakukan perawatan luka secara terbuka

Gambar 25. Tehnik Sirkumsisi dengan Dorsumsisi (Urologi Malang,


2018)

54
2.8.1.4 Guilotine / Forcep Guided

Prinsip dari tehnik ini adalah dengan meretraksikan


preputium, lalu menjepit kulit preputium sampai sebatas glan
penis, kemudian preputium dipotong. (WHO, 2009)

1. Persiapan alat, draping area operasi, dan lakukan anestesi


secara lokal
2. Retraksikan kulit preputium hingga ke arah sulcus
coronarius secara perlahan, dan hilangkan semua adesi
dan juga smegma yang ada.
3. Kembalikan kulit preputium seperti semula
4. Klem preputium pada arah jam 12 dan jam 6, dan lakukan
traksi ke arah distal
5. Lakukan klem pada prepitium sampai batas yang akan
dilakukan eksisi untuk mendapatkan crush hemostasis
6. Pastikan tidak ada bagian dari glans penis yang ikut
terjepit klem
7. Lakukan insisi pada kulit preputium yang telah di klemp
8. Observasi, bila ditemukan perdarahan segera lakukan
kontrol perdarahan
9. Jahit secara secara single interrupted pada seluruh luka
10. Prosedur selesai, lakukan perawatan luka secara terbuka

55
Gambar 26. Tehnik Forceps Guided (Urologi Malang, 2018)

Walaupun tehnik Guillotine ini mudah dilakukan, namun


bila tidak dikerjakan secara hati-hati prosedur ini dapat berakibat
fatal mulai dari mencederai penis, hingga amputasi penis,
terutama bila dilakukan oleh operator yang kurang
berpengalaman, karena saat melakukan insisi preputium, glans
penis tidak terlihat.

2.8.2 Instrumen Sirkumsisi

2.8.2.1 Gomco Klamp

Salah satu instrument yang dapat digunakan dalam


sirkumsisi ini pertamakali ditemukan pada 1935 oleh Aaron
Goldsten dan Hiram S. Yellen, gomco sendiri merupakan
kepanjangan dari goldstein medical company. Metode ini adalah
salah satu metode yang terkenal di Amerika Serikat, perangkat ini
cukup populer karena rekam jejak yang aman dalam mencegah
cedera penis dan perdarahan saat tindakan sirkumsisi (Peleg dan
Steiner, 1998). Tindakan sirkumsisi menggunakan alat ini sering
dilakukan pada bayi baru lahir, namun, penggunaan Gomco klamp

56
pada anak-anak masih belum memiliki laporan yang jelas. Tehnik
ini menggunakan suatu alat dengan 4 bagian perangkat yang
berfungsi melindungi glans, memberikan hemostasis dan untuk
mereseksi preputium, selain itu, keuntungan lain dari tehnik ini
adalah tidak membutuhkan jahitan (Gambar 23) (Peleg D, 1998).
Dikarenakan belum ada laporan yang jelas dan valid perihal usia
yang optimal untuk dilakukannya sirkumsisi dengan tehnik
Gomco clamp ini, dapat dikatakan bahwa penggunaan tehnik ini
pada usia yang melebihi early infant tergolong mengkhawatirkan
(Horowitz, 2001).

Gambar 27. Gomco Klamp terdiri dari 4 bagian: bell, platform, hooking
arm, dan screw. Disatukan setelah meletakkan bell
sepenuhnya diatas glans (b) kulit ditarik melalui lubang
pada platform. Homestasis didapatkan dengan
merapatkan screw (c) dan kemudian kulit di eksisi (Krill
et al, 2011)

Tehnik sirkumsisi dengan menggunakan Gomco clamp


merupakan tehnik yang simple dan efektif yang paling umum
dilakukan di Amerika Serikat dan tidak berkaitan dengan tradisi
ataupun ritual keagamaan. Prosedur ini dimulai dengan
melakukan retraksi pada kulit preputium sampai pada sulkus
koronarius untuk memastikan tidak adanya defek pada penis,
selanjutnya dilakukan pengecekan instrumen untuk memastikan
apakah ukuran bell yang disiapkan sudah sesuai, lalu preputium
di klem di kedua sisi dari midline pada arah jam 1 dan arah jam 11
dengan dua hemostat, selanjutnya, dilakukan dorsal slit. Setelah
57
itu, Bell secara perlahan-lahan dimasukkan kedalam cincin
preputium dan diturunkan sampai melindungi seluruh glans dan
berada pada sulkus koronarius, glans penis dimasukan kedalam
lubang yang tersedia pada bagian plat, sampai bertemu dengan
bagian basis dari bell (harus diperhatikan jangan sampai kulit
pada shaft penis tertarik terlalu banyak), selanjutnya dilakukan
penekanan dengan kuat pada plat, sehingga kulit preputium
terjepit diantara bell dan plat, untuk mencapai suatu hemostasis.
Selanjutnya kulit preputium di eksisi. (gambar 24) (Krill et al.,
2011).

Gambar 28. Langkah prosedur Gomco Klamp (Peleg D, 1998)

Setelah tindakan sirkumsisi selesai dilakukan, penis harus


diperiksa mengikuti prosedur untuk memastikan apakah ada
tanda-tanda perdarahan, dengan perhatian yang lebih
dikhususukan pada penis daerah frenulum ventral. Kassa
petroleum jeli harus dioleskan dengan lembut. Kemudian keluarga
pasien diberikan penjelasan mengenai proses penyembuhan
pasca tindakan yang dilakukan. Retraksi lembut pada kulit shaft

58
penis mungkin diperlukan jika melewati batas glans. Petroleum
jelly dapat diaplikasikan secara bebas saat mengganti popok
sampai glans mengalami reepitelisasi. (Krill et al., 2011).

2.8.2.2 Plastibell

Sirkumsisi menggunakan tehnik Plastibell dikembangkan


pada tahun 1950 dan merupakan variasi dari Gomco Klamp
(Gambar 25). Prinsip kerja dari alat ini sangat mirip dengan
gomco clamp, setelah menghilangkan adhesi preputium-glans,
plastibell diletakan sampai menutupi seluruh glans penis saat
dilakukan pemotongan preputium. Alat ini direkomendasikan
pada bayi berusia kurang dari dua tahun. (Krill et al. 2011).

Gambar 29. Perangkat alat Plastibell, (Jan IA. 2004)

Untuk cara penggunaan plastibel, (gambar 26) pertama-


tama, kulit preputium secara perlahan-lahan diretraksi melewati
sulkus koronarius penis untuk membersihkan smegma. Jika
preputium terlalu rapat dapat dilakukan dorsal slit untuk
memfasilitasi retraksi dari preputium. Kemudian menggunakan
hemostat, lakukan jepitan preputium pada arah jam 3 dan 9, lalu
preputium diretraksi kearah distal. Selanjutnya plastibell dengan
ukuran yang sesuai dengan glans penis dimasukkan ke dalam
lingkaran preputium, sampai menutupi glans dengan sempurnya.

59
Benang jahit poliester/silk kemudian diikatkan dengan kencang
disekitar groove/basis dari plastibell, kulit yang berlebih di eksisi
mengitari batas plastibell. Bagian bell akan ditinggal di penis
selama 7-10 hari. Dressing luka tidak diperlukan pada prosedur
ini. Bayi boleh pulang segera kerumah setelah prosedur dan
diberikan paracetamol 10 mg/kg. (Jan IA. 2004)

Gambar 30. Tehnik sirkumsisi Plastibell (Jan IA. 2004)

2.8.2.3 Mogen Klamp

Mogen Klamp diciptakan pada tahun 1954 oleh rabbi


Harry Bronstein, seorang mohel dari Brooklyn dengan tujuan
untuk menstandarisasi alat yang digunakan oleh mohel dalam
melakukan ritual sirkumsisi, agar dapat mengurangi resiko
60
terjadinya komplikasi. Alat ini terbuat dari metal dan hanya
terdiri dari 1 bagian saja, prinsip kerja alat ini adalah dengan
memberikan hemostasis dengan menjepit glans penis (Klamp)
dan melindungi agar tidak ada bagian penis di sebelah proximal
dari klemp terluka saat proses sirkumsisi (shield). (WHO, 2009)

Gambar 31. Mogen Klamp (WHO, 2009)

Untuk metode serta aplikasinya hampir sama dengan


metode pembedahan guillotine yang telah dijelaskan di atas.
Setelah kulit diasepsis dan area sudut coronal ditandai,
perlengketan antara glans dan mukosa dalam preputium
dibebaskan secara tumpul untuk mencegah agar glans penis tidak
terjepit oleh Klamp. Preputium kemudian ditarik kearah distal
dan klemp dipasang, pastikan bahwa glans tidak terjepit diantara
klemp, apabila ada keraguan segera lepaskan klem dan lakukan
pengecekan pada glans, adakah tanda-tanda trauma. Klem ditutup
dan dibiarkan 3-5 menit, untuk mengurangi resiko terjadinya
peradarahan. Preputium distal kemudian dieksisi menggunakan
scapel dan klem dilepaskan. Retraksikan kembali kulit penis
dengan memberikan penekanan pada daerah lateral penis hingga
glans penis dapat terekspos sampai dengan sulkus koronarius.
Selanjutnya bekas luka ditutup menggunakan salep petrolium gel
dan luka dirawat secara terbuka. (WHO, 2009)

61
Mogen Klamp sendiri mayoritas digunakan dalam upacara
keagamaan oleh orang yahudi, yang disebut dengan Bris Millah
atau disebut juga Brit. Dalam upacara tersebut, operator dari
sirkumsisi dilakukan oleh seseorang yang disebut mohel. Namun
karena proses sirkumsisi yang mudah dan cepat, alat ini juga
sering digunakan oleh tenaga medis dalam melakukan sirkumsisi.
Kelemahan dari alat ini adalah seorang operator harus sangat
berhati-hati saat melakukan pemotongan preputium, karena saat
melakukan pemotongan operator tidak dapat melihat dan
mengevaluasi glans penis, sehingga ada kemungkinan untuk glans
penis dapat ikut terpotong saat mengeksisi preputium. (WHO,
2009)

2.8.2.4 Tara Klamp

Tara Klamp ditemukan oleh dr. T. Gurcharan Singh pada


tahun 1990. Alat ini terbuat dari plastic dan terdiri dari 2 bagian
yaitu tabung dan klem yang bersatu pada ujung distal. Bagian
tabung berbentuk silinder dan pada ujung proximalnya terbuka
dengan tujuan agar dapat melindungi glans penis saat proses
sirkumsisi. Cara kerja tara klamp hampir sama dengan Plastibell
kecuali pada alat ini tidak perlu dilakukan penjahitan karena
lengan yang terbuat dari plastik mengunci dua bagian permukaan
supaya preputium yang telah dipotong melekat satu sama lain.
Alat ini lebih besar dari plastibell dan tinggal pada penis sekitar 7-
10 hari sampai jaringannya jatuh sendiri. (Abdulwahab-ahmed, A,
2013)

62
Gambar 32. Tara Klamp (Abdulwahab-ahmed, A, 2013)

2.8.2.5 Smart Klamp

Alat ini bekerja dengan cara yang sama dengan Tara


Klamp yaitu dengan menjepit antara dari luar preputium dengan
tabung bagian dalam, sehingga memotong suplai darah ke
preputium distal. Jika Tara Klamp merupakan alat dengan disain
all-in one dengan lengan pengunci di atas, smart klamp terdiri
dari tabung dalam, bagian pengunci luar dan lengan pengunci di
bagian samping yang terpisah. Setelah klamp dipasang lalu
preputium dipotong menggunakan bagian dasar tabung dalam
sebagai pemandu, sehingga selama proses sirkumsisi, glans dan
frenulum terlindungi. (Abdulwahab-ahmed, A, 2013)

63
Gambar 33. Smart Klamp (Abdulwahab-ahmed, A, 2013)

2.8.2.6 Shang Ring

Metode Chinese Shang Ring pada sirkumsisi laki-laki


dewasa adalah prosedur yang aman dan efektif yang mudah untuk
dipelajari dan untuk dilakukan. Dibandingkan dengan sirkumsisi
laki-laki konvensional, SC memiliki waktu operasi yang lebih
pendek, kehilangan darah yang lebih sedikit, skor nyeri yang lebih
rendah, dan angka kepuasan atas penampakannya yang lebih
tinggi dan juga resiko komplikasi yang lebih rendah. Metode ini
pertama kali diajukan di China, digunakan pertama kali di Afrika
untuk melawan dan mencegah STD dan HIV. (Ma Qi et al, 2018)

Struktur dari Chinese Shang Ring ditunjukkan pada


Gambar 30. Ini merupakan perangkat simpel yang terdiri dari 2
cincin plastik konsentrik, yaitu cincin dalam dan cincin luar.
Cincin dalam dilapisi dengan pad silikon halus, yang memberikan
permukaan yang licin dan non-bioreaktif terhadap luka
pembedahan. Cincin luar teridri dari 2 sayap yang berengsel
dengan ujung yang dapat disatukan. Pada setiap bagian terdapat
penjepit yang dapat mengunci yang dapat mengunci bagian
dalamnya. Ketika melakukan sirkumsisi, preputium akan di balik
dan dikunci diantara cincin dalam dan cincin luar. Dan akan

64
membentuk sebuah tumpukan yang terdiri dari cincin dalam,
preputium yang berlebihan, dan cincin terluar. (Ma Qi et al, 2018)

Gambar 34. Struktur dari Shang Ring (Ma Qi et al, 2018)

Hal pertama yang harus dilakukan sebelum melakukan


prosedur, adalah mengukur ukuran Shang Ring, perusahaan yang
menyediakan Shang Ring memiliki 13 ukuran yang berbeda
berdasarkan diameter dalam dari cincin bagian dalam. Setelah
mengukur dari lingkar penis dengan tali ukur, dokter memilih
ukuran untuk meminimalisir resiko salah penempatan dan
menghindari rasa tidak nyaman dari pasien. (Ma Qi et al, 2018)

Kemudian anestesi standar pada blok saraf dorsal penis.


Metode penempatan dari Shang Ring dalam preputium dijelaskan
pada Gambar 31. Pertama, letakkan cincin dalam setinggi sulkus
koronalis; kemudian, letakkan 4 Klamp pada preputium pada
posisi jam 3, 6, 9, dan 12. Perlahan-lahan kemudian membalik
preputium yang berlebihan melewati cincin bagian dalam.
Kemudian, letakkan cincin luar diatas cincin dalam dan kunci
engselnya. Kemudian akan terbentuk lipatan/tumpukan
preputium diantara cincin dalam dan cincin luar. Langkah akhir
adalah gunakan pisau skalpel untuk membuat sayatan yang sama
panjangnya pada preputium di bagian luar dari permukaan
proksimal dari cincin. Tujuan dari langkah ini adalah untuk
mencegah pembentukan dari keropengan melingkar yang
65
menekan dan memberikan kulit untuk terbuka/menyebar saat
penyembuhan. Setelah menyelesaikan langkah ini, kemudian
bersihkan luka dan tutup dengan kassa steril kering. Biasanya,
sirkumsisi Shang Ring selesai dalam 5 menit. (Ma Qi et al, 2018)

Setelah 7-10 hari, Shang Ring dapat dilepaskan. Prosedur


dari pelepasan Shang Ring cukup mudah, selesai dalam 3 menit.
Pertama, buka kunci dan lepaskan cincin luar dengan alat khusus
untuk melepas yang didesain untuk Shang Ring. Kemudian,
pisahkan cincin dalam dari batas luka dan potong dengan gunting
ujung tumpul. (Ma Qi et al, 2018)

Setelah operasi dilakukan, dapat diberikan terapi post-


operasi dengan antinyeri oral NSAID, dan pada sedikit pasien
membutuhkan 1-2 hari pemberian analgesik opioid.
Penyembuhan dari Shang Ring membutuhkan waktu 4 minggu,
pasien disarankan untuk follow-up di klinik selama 2-4 minggu.
(Ma Qi et al, 2018)

Gambar 35. Prosedur pembedahan dari sirkumsisi Shang Ring (Ma Qi et


al, 2018)

Komplikasi post-operasi yang dapat muncul diteliti pada


674 kasus di China (Tabel 3), dengan rasio 8.16% muncul
komplikasi. Terbagi menjadi 9 jenis, yaitu edema preputium yang
paling sering terjadi dengan persentase 4.45%. Kemudian luka
66
yang sulit sembuh 0.59%, parsial protrusi dari plat luar 0.59%,
parsial deletion dari plat luar 0.47%, misalignment frenulum
0.47%, bekas luka pada kulit penis 0.30%, infeksi pada luka
0.30%, detachment cincin yang tidak terduga 0.30%, dan
perdarahan 0.30%. Biasanya disebabkan oleh prosedur operasi
yang tidak sesuai oleh dokter yang belum berpengalaman atau
sedang dalam tahap pembelajaran (Ma et al., 2018).

Gambar 36. Komplikasi setelah tindakan Shang Ring. A) sembuh baik


tanpa komplikasi B) Edema preputium C) Ring detachment
D) Perdarahan E) Luka yang tidak kering F) Infeksi G)
Delesi plat luar H) protrui dari plat luar I) Misalignment
frenulum J) Bekas luka penis (Ma Qi et al, 2018)

Tabel 5. Komplikasi penggunaan Shang Ring (Ma Qi et al, 2018)

Types of Time Incidence Possible


Treatment
complications (weeks) % reason
Preputial No Special
I 4,45% IO
edema Treatment
Ring Surgery may
I 0,3% IPC or IO
detachment be needed
Suture may
Bleeding I 0,3% IPC or IO
be needed

67
Wound Suture may
II 0.59% IPC or IO
Dehisence be needed
Wound
II-III 0,3% IPC or IO Antibiotics
infection
Deletion of Surgery may
III-IV 0,47% IO
outer plate be needed
Protrusion of Surgery may
III-IV 0,59% IO
outer plate be needed
Frenulum Surgery may
III-IV 0,47% IO
misalignment be needed
Penile skin Surgery may
III-IV 0,3 % IO
scars be needed
IO: Improper Operation; IPC: Improper postoperative care

2.8.2.7 PrePex

Perangkat ini unik karena dalam penggunaannya pada


sirkumsisi pria dewasa tidak diperlukan anestesi infiltrasi, dan
cukup dengan menggunakan anastesi topikal. Alat ini terdiri dari
cincin bagian luar, cincin bagian dalam, dan cincin elastis. Cincin
bagian luar memiliki jalur pengait yang berguna untuk
mengaitkan cincin elastis, dimana cincin elastis tersebut akan
berfungsi mengunci preputium dan cincin bagian dalam. Cincin
bagian dalam memiliki alur pada bagian tengahnya, yang berguna
untuk menerima cincin elastis.

Pertama retraksikan preputium sampai ke sulkus


koronarius lalu bersihkan smegma dan lepaskan perlengketan jika
ada, setelah itu kembalikan preputium menutupi glans penis. lalu
lakukan pengukuran pada glans penis menggunakan alat
pengukur khusus agar dapat menentukan ukuran prepex dengan
tepat kemudian beri tanda melingkar pada tempat preputium
akan dibuang. Kaitkan cincin elastis pada cincin bagian luar,
selanjutnya masukan penis ke dalam cincin bagian luar. Masukan
cincin bagian dalam kedalam sela dari preputium dan glans penis,
posisikan alur dari cincin bagian dalam berada tepat pada garis
tanda yang dibuat diawal. Selanjutnya lepaskan cincin elastis dari
cincin bagian luar dan arahkan agar cincin elastin menjepit pada

68
bagian alur dari cincin bagian dalam. Preputium akan terjepit di
antara cincin bagian dalam dan cincin elastis. Hasilnya adalah
nekrosis iskemik dari preputium yang "terperangkap". Perangkat
PrePex (Gambar 33) dibongkar kira-kira seminggu setelah
penempatan dan prepeusium yang mengalami nekrosis diambil
dari penis. Dikatakan aman dan efektif dalam peluncuran massal
sirkumsisi laki-laki dewasa untuk pencegahan infeksi HIV
(Abdulwahab-ahmed, 2013).

Gambar 37. Struktur dari PrePex, dan cara penggunaannya (WHO 2010)
69
2.9 Sirkumsisi Prosedur Konvensional vs Instrumen

Dengan ditemukannya berbagai macam manfaat di bidang


kesehatan dari sirkumsisi, semakin banyak masyarakat di dunia
yang menerima sirkumsisi sebagai suatu tindakan medis untuk
yang berguna bagi kesehatan mereka, sehingga membuat
prevalensi sirkumsisi di dunia semakin meningkat. WHO pun
telah mencanangkan sirkumsisi sebagai program internasional
untuk mengontrol penyebaran HIV dan juga STD pada daerah
dengan prevalensi tinggi di dunia, terutama pada benua Africa
(WHO, 2010).

Hal ini membuat tehnik sirkumsisi terus berkembang,


hingga saat ini telah didapatkan berbagai macam instrument
sirkumsisi yang diyakini membuat sirkumsisi menjadi lebih
mudah dilakukan, dan menurunkan angka kejadian komplikasi.
Namun, tidak semua instrument sirkumsisi dapat memenuhi
kriteria tersebut. Dasar dari penggunaan instrumen sirkumsisi
adalah menghancurkan kulit luar pada jaringan dengan bentukan
garis yang sesuai secara simultan untuk mendapatkan hemostasis.
Terdapat tiga instrumen yang sering digunakan adalah Gomco
Klamp, Mogen Klamp dan Plastibell. Selain itu WHO telah
menyetujui dua instrumen yang berkualifikasi untuk dewasa,
yaitu Prepex dan Shang Ring (WHO/UNAIDS. 2007; WHO, 2012).
Tehnik pembedahan dengan instrumen melibatkan penggunaan
dari diseksi tajam, kauter atau ligasi dari pembuluh darah yang
robek dan menjahit dari masing-masing sudut. Tipe dari tehnik
diseksi disebutkan ada tehnik tradisional yang dipandu dengan
forceps/guillotine, tehnik dorsumsisi, dan tehnik inner ring-outer
ring (sleeve).
Penggunaan dari instrumen sirkumsisi dikembangkan
untuk memperpendek waktu operasi, memudahkan tehnik dan
meningkatkan keamanan dan hasil akhir kosmetika dari prosedur
(Peng, 2008). Tehnik berbasis instrumen memberikan
perlindungan terhadap glans, kulit luar yang tersirkumsisi dengan
pasti dan memberikan crush hemostasis. Tehnik dengan instrumen
seharusnya lebih aman dan lebih mudah untuk dicontoh

70
dibandingkan dengan tehnik pembedahan konvensional (Bakare,
2008).
Berdasarkan studi yang dilakukan di Fakultas kedokteran
Universitas Kafkas, Turki, dilakukan studi pada 250 anak laki-laki,
dimana 125 anak dilakukan sirkumsisi dengan tehnik
pembedahan/konvensional, dan 125 sisanya dilakukan sirkumsisi
dengan menggunakan smart klem. Berdasarkan tabel 4,
didapatkan bahwa orang tua lebih khawatir dan cemas pada
kelompok yang dilakukan prosedur dengan smart klem, hal ini
disebabkan karena edema penis lebih banyak muncul pada
kelompok dengan smart klem, dan komplikasi perdarahan pada
kelompok smart klem lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok
konvensional yaitu 6% berbanding 4%. Selain itu, tingkat
kecemasan dari orang tua meningkat karena subjek membawa
suatu “alat” yang masih menempel pada kelamin subyek yang
membuat rasa tidak nyaman dan nyeri pada subjek. Akan tetapi,
kelompok smart klem memiliki waktu operasi yang lebih pendek,
dan juga follow-up post prosedur yang lebih singkat, sedangkan
hasil keluaran kosmetik dan komplikasinya hampir sama
(Karadag et al., 2015).

Tabel 6. Perbandingan komplikasi sirkumsisi Smart Klamp dan


Sikumsisi konvensional (Karadag et al., 2015)
Parameter MSM (n:125) SK (n:125)

Umur 5,69 ± 2,44 5,58 ±2,83

Skor STAI 42,5 ± 13,33 51,97 ± 12,71


Perdarahan (%) 4 6

Infeksi (%) 5 3

Edema Penis (%) 3 10

Waktu Operasi (mnt) 18,08 ± 3,55 6,93 ± 2,58

Ketidakpuasan 14 (n:18) 8
kosmetik (%)

71
Inner mucosal length 5,09 ± 1,22 14,10 ±3,46
(mm)

MSM: Metode Sirkumsisi Manual; SK: Smart Klem;

Sedangkan pada studi yang dilakukan oleh Lagarde M et al


di Orange Town, Johannesburg, dari 69 pasien berusia 18-22
tahun, subyek dilakukan sirkumsisi dengan tehnik forcep guided/
guillotine pada 34 laki-laki, dan 35 subyek dengan menggunakan
Tara Klamp. Pada tabel 5 didapatkan bahwa pada kelompok yang
menggunakan Tara Klamp, terjadi komplikasi yang cukup banyak
berupa penyembuhan luka yang lama, dan juga terjadinya
kegagalan sikumsisi sehingga subyek harus menjalani tindakan
sirkumsisi ulang dengan tehnik konvensional dengan panduan
Forceps (Lagarde E et al, 2009)

Tabel 7. Perbandingan komplikasi TK dan FG (Legarde E et all, 2009)

FG
TK P
Method
Interval between circumcision and visit (days)
Mean 95 83
62 (42-
Median (IQR) 48 0,60
109)
Clinical examination
Any sign of adverse event 1 7 0,004
Current infection 0 0 0,072
Delayed wound healing 1 4 0,004
Problem with appearence 1 6 0,001
Exicive skin removad 0 0 -
Insufficient skin removed 0 0 -
Participant report during postoperative visite
Mean pain score (0-10) 6,1 9,5 0,003*
Bleeding within the 2 next weeks 0 4 0,02
Lesion to the penis 0 4 0,02
Infection following circumcision 0 6 0,002

72
Sweeling or hematoma within 2
0 15 <0,001
weeks
Problem with urinating 0 3 0,056
Satisfied with penis appearance 29 16 0,056
Any reported erectile dysfunction 0 0 -

Penggunaan jenis Klamp lain, yaitu Mogen Klamp dan


Gomco Klamp juga dapat direkomendasikan. Salah satu yang
menarik dalah Gomco Klamp, diindikasikan dengan sulkus korona
yang terlihat dan Mogen Klamp diindikasikan pada kasus yang
sulcus korona nya tidak tampak. Diantara ketiganya (Gomco
Klamp, Mogen Klamp, dan Plastibell) direkomendasikan
penggunaan Gomco, karena 79% kesimetrisan mukosa penile
tercapai, kemudian komplikasi yang lebih rendah, dan biaya dan
pemakaian ulang yang efektif. Akan tetapi, pada Gomco Klamp,
waktu operasi yang dilakukan lebih lama, dan juga memerlukan
kemampuan pembedahan yang tinggi dengan pengalaman yang
tinggi, selain itu penggunaan bahan metal juga membuat resiko
infeksi yang cukup tinggi dibandingkan dengan instrumen lain
(Tabel 6) (Linyama, 2014).

Tabel 8. Perbandingan metode Mogen Klamp, Gomco Klamp, dan


Plastibel (Linyama, 2014)

Mogen Gomco Plastibell Total P value

N Value N Value N Value N


Coronal sulcus visible at rest
Yes 12 16% 32 43% 30 40% 74 32 0,001
No 20 77% 2 8% 4 15% 26 2
Meatus, frenulum, and scrotal raphe symmetrical
Yes 24 30% 27 35% 28 35% 79 27 0,7624
No 8 38% 7 33% 6 29% 21 7

73
Distance beetwen incision line and coronal sulcus less than 5mm
Yes 18 28% 30 47% 16 25% 64 30 0,0010
No 14 4% 4 11% 18 50% 36 4

Pada sebuah penelitian di Afrika Selatan, Zambia dan


Mozambique yang membandingkan keamanan dan efektivitas dari
penggunaan PrePex, alat sirkumsisi untuk dewasa dikatakan
bahwa penggunaan dari PrePex instrumen memberikan waktu
operasi yang lebih pendek dibandingkan dengan pembedahan
konvensional, selain itu prosedur ini memberikan resiko
perdarahan dan infeksi yang lebih rendah. Akan tetapi,
penggunaan PrePex sendiri memberikan waktu penyembuhan
yang lebih panjang dan hal ini meningkatkan resiko transmisi HIV
pada laki-laki yang telah disirkumsisi dan begitu juga
meningkatkan resiko pada partner wanita dan juga rasa nyeri
pada penggunaan alat lebih tinggi khususnya saat dilakukan
pelepasan alat, hal ini dapat dicegah dengan penggunaan krim
anestesia lokal topikal dengan kombinasi analgesik oral
(Feldblum et al., 2016).

Kemudian pada penggunaan salah satu instrumen yang


terbanyak, yaitu Plastibell. Plastibell dirkeomendasikan pada
anak-anak usia sampai dengan usia 8 tahun. Mousavi dan
Salehifar (2008), melakukan sebuah studi membandingkan antara
penggunaan Plastibell dan konvensional pada anak-anak berusia
sampai dengan 12 bulan. Sejumlah studi menyatakan bahwa
sirkumsisi menggunakan Plastibell memberikan metode yang
mudah dan komplikasi termasuk perdarahan, infeksi lokal, sepsis,
ulserasi, dan hasil kosmetika yang buruk jarang terjadi. Akan
tetapi pada studi Mousavi dan Salehifar, komplikasi pada
kelompok Plastibell lebih tinggi dibandingkan dengan metode
konvensional, dan resiko infeksi (1%) pada Plastibell sedangkan
pada kelompok lain tidak. Melalui studi ini, dapat disimpulkan
bahwa Plastibell dapat digunakan pada neonatus dan bayi dengan
berat badan rendah dengan preputium yang tipis, sedangkan

74
diluar hal tersebut direkomendasikan untuk penggunaan
pembedahan konvensional (Tabel 7). Pemilihan dari ukuran
Plastibell dan perhatian yang ketat akan waktu follow-up
sangatlah penting untuk hasil akhir yang baik dengan prosedur ini
(Mousavi dan Salehifar, 2008).

Tabel 9. Perbandingan komplikasi sirkumsisi konvensional dengan


plastibel (Mousavi dan Salehifar, 2008).

Complication Conventional Plastibel method P Value


dissection surgery Surger
Uppe Norm Lowe Uppe Norm Lowe y vs
r al r r al r Plastib
10% weigh 10% 10% weigh 10% el
weig t weig weig t weig
ht ht ht ht
Infection 0 0 0 0 4 0 0,051
Bleeding 0 3 1 0 5 0
Hematoma 0 0 0 0 1 0
Excess 0 0 0 0 4 1
mucosa
Disposition 0 0 0 0 2 0

Delayed 0 0 0 1 8 1
failing
No 6 186 9 9 325 20
Complication
Akhirnya, Cao et al. (2015) melakukan studi perbandingan
penggunaan ShangRing, melalui review sistematik yang
ditemukan dari 7 studi, sesuai dengan tabel 8, prosedur Shang
Ring memiliki waktu operasi yang lebih pendek dibandingkan
konvensional, kemudian dari skor nyeri intraoperatif yang lebih
rendah secara signifikan dibanding kelompok konvensional, dan
hasil keluaran akhir yang lebih memuaskan. Berkaitan dengan
waktu penyembuhan luka tidak didapatkan perbedaan antara
ShangRing dan konvensional. Keuntungan lain dari ShangRing
adalah prosedur yang mudah dengan langkah-langkah yang lebih
sedikit, dengan waktu rerata 6.1 menit atau 13.4 dari 6 studi,
kemudian nyeri intraoperatif yang lebih rendah disebabkan oleh
75
waktu operasi yang pendek, pemberian anestesi lokal dan tidak
membutuhkan tehnik penjahitan. ShangRing juga memiliki
keuntungan dalam mengontrol perdarahan, dan sama halnya
dengan Plastibell, pemilihan ukuran yang sesuai dapat
meningkatkan kesembuhan dan keberhasilan dari prosedur.
Dapat dikatakan bahwa ShangRing lebih direkomendasikan
dibandingkan dengan konvensional (Cao et al., 2015).

Tabel 10. Perbandingan shang ring dengan sirkumsisi konvensional


(Cao et al, 2005)

CI: confidence interval; df: degree of freedom; MD: Mean difference; RR:
Risk ratio

2.10 Manfaat Sirkumsisi

Jika tindakan sirkumsisi dilakukan untuk alasan selain


karena tatalaksana permasalahan medis tertentu, manfaat
kesehatan yang didapat utamanya bersifat preventif. sirkumsisi
dapat mengurangi risiko penularan beberapa infeksi dan
komplikasi yang terkait, tetapi tidak bisa menjamin perlindungan
sepenuhnya. Setelah dilakukannya sirkumsisi, akan lebih mudah
untuk seseorang ketika ingin membersihkan penisnya. Tindakan
sirkumsisi ini juga membantu untuk mengurangi resiko adanya
infeksi pada glans penis (balanitis) dan juga pada kulit penis
(postitis). Sirkumsisi ini juga mengurangi resiko terjadinya kanker
76
penis dan bahkan kanker serviks untuk pasangan wanita dari pria
yang telah disirkumsisi.

2.10.1 Pencegah Infeksi Saluran Kemih

Infeksi Saluran Kemih (ISK) umumnya lebih sering


mengenai bayi laki-laki dari pada bayi perempuan. Dari hasil
penelitian yang mempelajari tentang hubungan antara sirkumsisi
dan infeksi saluran kemih menunjukkan adanya peningkatan rasio
ISK pada bayi yang tidak disirkumsisi, khususnya bayi yang
berumur dibawah 1 tahun. (WHO, 2009)
Wiswell dan Hachey (1993) meneliti 209.399 bayi baru
lahir di RS US Army dari tahun 1985 hingga tahun 1990. Selama
tahun pertama, 1046 bayi (0,5%, 550 perempuan dan 496 laki-
laki) dirawat di rumah sakit tersebut karena ISK. Bayi laki-laki
yang tidak disirkumsisi mengalami peningkatan insidensi ISK
mencapai 10 kali jika dibandingkan dengan bayi laki-laki yang
sudah disirkumsisi.
Pada meta-analisis data dari 9 penltian pada tahun 1993
menunjukkan adanya peningkatan hingga 12 kali lipat terhadap
resiko terjadinya infeksi saluran kemih pada bayi laki-laki yang
tidak disirkumsisi. Pada penelitian tersebut menunjukkan bahwa
75% dari jumlah bayi laki-laki yang mengalami infeksi saluran
kencing berumur kurang dari 3 bulan dan 95% diantarnya tidak
disirkumsisi.
Meskipun resiko relative pada bayi laki-laki yang tidak
dilakukan sirkumsisi akan berkembang menjadi ISK sekitar 4
sampai 20 kali lebih besar daripada bayi laki-laki yang telah
dilakukan sirkumsisi, resiko absolute untuk ISK pada bayi yang
tidak disirkumsisi masih tergolong rendah yaitu berkisar 1%.
Karena risiko absolut masih rendah, rekomendasi untuk
dilakukannya sirkumsisi rutin pada semua bayi laki-laki masih
menjadi kontoversial baik secara medis maupun etik. Beberapa
anak-anak memiliki peningkatan resiko ISK, seperti anak-anak
dengan neurogenic bladder yang perlu dilakukan kateterisasi
intermitten atau pada anak-anak yang tidak dapat mengosongkan
kandung kemihnya secara sempurna. (WHO, 2009)

77
2.10.2 Pencegahan Keganasan

Faktor yang paling penting yang berhubungan dengan


perkembangan kanker penis adalah preputium yang tidak intak
dan adanya rangsangan kronis yang berulang. Wolbars
merupakan seseorang yang pertama kali menunjukkan bahwa
laki-laki yahudi (mayoritas telah disirkumsisi) jarang mengalami
kanker penis, yang kemudian membawa hubungan ini ke
komunitas ilmiah sekitar 70 tahun yang lalu. Akhirnya, setelah
dilakukan penelitian pada populasi yang lebih luas, Schoen et al
membahas tentang adanya pengaruh proteksi dari tindakan
sirkumsisi terhadap kejadian kanker penis. Yang menarik
perhatian adalah terdapat hal lain yang perlu diketahui bahwa
faktor resiko mayor yang berhubungan dengan kanker penis
adalah fimosis, yang mana dengan dilakukannya sirkumsisi dapat
mengeliminasi kondisi fimosis tersebut. (WHO 2009)

2.10.3 Pencegahan penularan PMS dan HIV

Sirkumsisi pada seorang laki-laki dianggap sebagai salah


satu strategi dalam pencegahan yang bermanfaat terhadap
penyakit menular seksual, dibandingkan dengan rapid test dan
pelayanan konseling, kampanye dengan pesan tentang
abstinensia, penggunaan kondom dan menurunkan jumlah
partner, dan tes HIV dengan inisasi segera terapi anti-retroviral.
Diantara 75% hingga 85% kasus infeksi HIV diseluruh dunia,
hampir kebanyakan penyakit ini muncul akibat aktivitas seksual.
Dua mekanisme biologis utama yang diperkirakan bertanggung
jawab atas rendahnya angka infeksi HIV adalah laki-laki yang
heteroseksual dan sirkumsisi (Szabo dan Short, 2000).

Salah satu mekanisme tentang bagaimana tindakan


sirkumsisi dapat memberikan tindakan pencegahan terhadap
penyakit menular seksual termasuk HIV adalah yang pertama
dikarenakan adanya efek protektif dari keratinisasi dari glans dan
sulkus yang diakibatkan dari prosedur sirkumsisi itu sendiri.
Setelah itu, sirkumsisi pada laki-laki akan mengangkat bagian
dalam dari preputium yang dicurigai sebagai sumber infeksi HIV.
78
Faktanya, permukaan dalam dari foreskin tersebut mengandung
sel Langerhans yang mempunyai peran dalam menerima reseptor
HIV. Sel Langerhans merupakan antigen-presenting cells (APC)
dan tampaknya menjadi salah satu titik utama dari pintu
masuknya virus kedalam penis dari laki-laki yang tidak dilakukan
sirkumsisi. HIV berikatan dengan reseptor CD4 dan CCR5 pada
APC yang mana didalamnya termasuk sel Langerhans dan sel
dendritik pada mukosa genital dan rektal. Maka dari itu, epitel
skuamosa dan terkeratinisasi melindungi batang penis dan
permukaan terluar dari preputium memberikan suatu
perlindungan protektif terhadap infeksi HIV. Pada waktu
terinfeksi HIV, Sel Langerhans akan bergabung dengan limfosit
CD4 yang berdekatan dan bermigrasi ke jaringan yang lebih
dalam. Dalam 2 hari setelah infeksi HIV masuk ke dalam tubuh,
virus dapat terdeteksi pada nodul limfa iliaka internal dan dalam
waktu pendek kemudian dapat berada di nodul limfe sistemik.
(Szabo dan Short, 2000).

Sedangkan mekanisme lain yang dikaitkan dengan adanya


peningkatan angka kejadian infeksi HIV pada laki-laki yang tidak
tersirkumsisi adalah karena lesi ulseratif dan inflamasi dari
preputium, dan frenulum atau glans yang disebabkan oleh
penyakit menular seksual yang lain. Pada laki-laki yang tidak
tersirkumsisi, frenulum dengan vaskularisasinya yang tinggi
dicurigai akan mudah mengalami trauma pada saat seseorang
berhubungan seksual, dan lesi ulseratif yang diproduksi oleh
penyakit menular seksual yang lain akan meningkatkan
kemampuan dari HIV untuk memasuki lapisan submukosa dan
berikatan dengan APC serta sel CD4 (Vella et al., 2017).

Hal ini dibuktikan pada tahun 2000, dimana terdapat tiga


percobaan acak klinis dengan skala yang besar yang didesain
khusus untuk mengevaluasi adanya efek dari sirkumsisi laki-laki
pada resiko infeksi HIV dan penelitian ini dilakukan di Afrika
Selatan, Uganda, dan Kenya (7-9) dengan total sampel mencapai
lebih dari 11.000 subjek yang dapat diinklusikan (Tabel 9).
Tindakan sirkumsisi pada seorang laki-laki menunjukkan adanya

79
suatu efek protektif yang diperlihatkan dengan penurunan
persentase relative risk dari infeksi HIV yang didapat sebesar
50% setelah 12 bulan dan 54% setelah 24 bulan. Hasil ini juga
dikonfirmasi dengan meta-analisis dari sebuah studi yang
mengatakan bahwa tindakan sirkumsisi dapat mencegah infeksi
HIV pada 17 orang laki-laki pada setiap 1000 laki-laki dalam
kurun waktu 2 tahun. Dibawah ini merupakan kumpulan
beberapa studi observasional yang menunjukkan apakah terdapat
efek protektif dari sirkumsisi laki-laki terhadap HIV yang didapat
pada laki-laki heteroseksual. (Vella et al., 2017)

Tabel 11. Hubungan seroprevalence HIV-1 dengan status sirkumsisi


pada daerah dengan tingkat insiden HIV yang tinggi, (a) and
low-risk areas; (b) June 1998 UNAIDS/WHO percentage
estimates. (Vella et al., 2017)

<20%
Seroprevalensi >80% sirkumsisi Seroprevalensi
sirkumsisi

Sub Saharan Africa


Zimbabwe 25,84 Kenya 11,64
Botswana 25,10 Congo 7,64
Namibia 25,10 Cameroon 4,89
Zambia 19,94 Nigeria 4,12
Swaziland 19,07 Gabon 4,24
Malawi 18,50 Liberia 3,65
Mozambique 14,92 Sierra Leone 3,17
Rwanda 14,17 Ghana 2,38
Asia Selatan / Tenggara
Cambodia 2,40 Pakistan 0,09
Thailand 2,23 Philippines 0,06
Myanmar 1,79 Indonesia 0,05
India 0,82 Bangladesh 0,03

80
2.11 Hubungan Sirkumsisi dengan tingkat kepuasan seksual

Implikasi ataupun hubungan yang memungkinkan dari


tindakan sirkumsisi terhadap kebutuhan seksual seseorang
membutuhkan banyak diskusi. Nervus dorsalis penis merupakan
saraf yang menginervasi bagian sensorik pada penis. Saraf ini
berjalan mengikuti arteri dorsalis penis yang merupakan
pembuluh darah yang mensuplai darah pada glans penis.
Preputium juga merupakan bagian sensorik utama dari penis.
Faktanya, preputium memiliki struktur korpusel Meissner dalam
jumlah yang banyak dan sel sensorik, yang membuat preputium
menjadi mukosa sensorik khusus. Pada beberapa penelitian
menyampaikan bahwa laki-laki yang telah disirkumsisi akan
memiliki rasa yang kurang sensitif pada glans penisnya jika
dibandingkan dengan laki-laki yang tidak tersirkumsisi,
kemungkinan disebabkan oleh proses penebalan yang
berkelanjutan dari epitel glans. Namun, ada juga yang mengatakan
bahwa tidak ada perbedaan diantara keduanya, baik penis yang
disirkumsisi maupun dengan yang tidak disirkumsisi. Pada tabel
10 disebutkan dari beberapa penelitian, pada percobaan di
Denmark melaporkan adanya penurunan kepuasan seksual,
kesulitan orgasme, dan angka lebih tinggi akan dispareunia
diantara partner wanita dari laki-laki yang disirkumsisi. Namun,
menurut penelitian Krieger et al pada percobaan acak, efek dari
sirkumsisi pada laki-laki terhadap fungsi seksual dan kepuasan
termasuk bahwa sirkumsisi tidak berpengaruh pada disfungsi
seksual. Senkul et al menekankan pada suatu rerata waktu latensi
ejakulasi yang memanjang, yang dianggap sebagai salah satu
keuntungan dari sirkumsisi. Tetapi, pada penelitan tinjauan
sistematik terbaru oleh Morris dan Krieger menyimpulkan bahwa
tindakan sirkumsisi pada seorang laki-laki tidak memberikan efek
negatif pada fungsi seksual, sensitivitas, sensasi seksual, ataupun
kepuasan seksual. (Szabo R, 2000)

81
Tabel 12. Efek dari Sirkumsisi terhadap kepuasan seksual pada
beberapa studi di dunia (Szabo R, 2000)

Sexual
Author Study Outcome
assessment

Increase IELT
Senkul et al. Observational BMFI
and no change

No difference
Kigozi et al. Randomized IIEF
between groups

Collins et al. Observational BMFSI No change


Non-validated No difference
Krieger et al. Observational
questionnaire (very satisfied)

More orgasm
Frisch et al. Case-control Survey
difficulties

82
BAB III
KESIMPULAN

83
Sirkumsisi merupakan salah satu praktek pembedahan
tertua dan tersering dilakukan di dunia. Seiring dengan
berjalannya waktu, telah ditemukan berbagai manfaat medis dari
sirkumsisi, mulai dari menurunkan angka penularan IMS dan HIV,
hingga mengurangi resiko terjadinya kanker penis. Metode
sirkumsisi juga telah mengalami perkembangan, mulai dari
metode konvensional dengan pembedahan, hingga ditemukannya
berbagai macam instrumen sirkumsisi.

Walaupun dengan menggunakan instrumen sirkumsisi


dapat memberikan waktu tindakan yang lebih singkat dan hasil
yang cukup memuaskan, haruslah tetap memperhatikan keadaan
pasien seperti usia, ukuran penis, panjang sisa mukosa. Karena
instrument sirkumsisi telah didesain secara kusus untuk
menangani sirkumsisi pada kondisi-kondisi yang tertentu, dan
tidak bisa digunakan pada semua pasien. Selain itu, tidak semua
pasien dapat dilakukan sirkumsisi, terdapat beberapa
kontraindikasi seperti kelainan anatomi pada penis berupa
hypospadias, epispadia, buried penis. Dengan mengetahui indikasi
dan disertai pemilihan metode yang tepat, diharapakan dapat
mengurangi angka kejadian komplikasi dari sirkumsisi.

Terlepas dari berbagai manfaat dan kemajuan instrument


yang telah ditemukan, prosedur sirkumsisi masih menjadi
kontroversi bagi sebagian kelompok, ada yang menganggap
bahwa sirkumsisi merupakan suatu tindakan mutilasi diri sendiri,
dan ada juga yang beranggapan bahwa sirkumsisi dapat
menggaggu performa seksual. Meskipun begitu, sirkumsisi tetap
menjadi pilihan utama dalam memerangi penyebaran HIV dan
IMS di seluruh dunia, dan angka prevalensi dari sirkumsisi terus
meningkat setiap tahunnya.

84
DAFTAR PUSTAKA
Abdulwahab-ahmed, A. and Mungadi, I. A. (2013) ‘Techniques of
Male Circumcision’, (1), pp. 1–8. doi: 10.4103/2006-
8808.118588.

A.Keegan, Kirk. Vascular Medicine: A Companion to Braunwald's


Heart Disease, Chapter 28. 2013

Bakare N, Miller V (editors). Meeting the demand for male


circumcision. Report of a workshop convened by the Forum
for Collaborative HIV Research, in collaboration with the Bill
and Melinda Gates Foundation, World Health Organization,
and UNAIDS; 2008 Mar 13-14; Kampala, Uganda. Forum for
Collaborative HIV Research, 2008.
http://www.hivforum.org/storage/documents/MaleCircum
cisionDemand/final%20report.pdf

Brandes, S. B. (2008) ‘Vascular Anatomy of Genital Skin and the


Urethra: Implications for Urethral Reconstruction’, in
Brandes, S. B. (ed.) Urethral Reconstructive Surgery. Totowa,
NJ: Humana Press, pp. 9–18. doi: 10.1007/978-1-59745-
103-1_2.

Cao D, Liu L, Hu Y et al. 2015. A Systematic Review and Meta-


analysis of Circumcision With Shang Ring vs Conventional
Circumcision. UROLOGY 85: 799-804

Cold, C. and J.Taylor. (1999) ‘The prepuce’, BJU International,


83(S1), pp. 34–44. doi: https://doi.org/10.1046/j.1464-
410x.1999.0830s1034.x.
Crawford, D. A. (2002) ‘Circumcision: A consideration of some of
the controversy’, Journal of Child Health Care, 6(4), pp. 259–
270. doi: 10.1177/136749350200600403

Doyle D. Ritual Male Circumcision:A Brief History. J R Coll


Physicians Edinb 2005;35:279–285

85
Feldblum P, Martinson N, Bvulani B et al. 2016. Safety and Efficacy
of the PrePex Male Circumcision Device: Results From Pilot
Implementation Studies in Mozambique, South Africa, and
Zambia. J Acquir Immune Defic Syndr 2016;72:S43–S48

Graham, S. D. and Keane, T. E. (2010) GLENN’S UROLOGIC


SURGERY SEVENTH EDITION. Philadelphia: Macmillan
Publishing Solutions. 465-470
Gollaher, D. (2000) Circumcision : a History of the World’s Most
Controversial Surgery. Basic Books.
Gray, Henry (2000) Gray`s Anatomy : Classic Illustrated Edition
Häggström, Mikael (2014). "Medical gallery of Mikael Häggström
2014". WikiJournal of Medicine
Hegazy, AA. and Mo, A. (2012) ‘Male circumcision : review and
authors perspective’, 3(1), pp. 24–30.

H.J Gerald et al. (2012). `Surgery of Penis and Urethra`. Campbell-


Walsh 10th edition. Page 964-970

Hirji H, Charlton R, Sarmah S. Male circumcision: a review of the


evidence. JMHG. 2005; 2:21-30.

Hsu, G. L. et al. (2013) ‘The venous drainage of the corpora


cavernosa in the human penis’, Arab Journal of Urology. Arab
Association of Urology, 11(4), pp. 384–391. doi:
10.1016/j.aju.2013.04.002.
Hurwitz R.S., Caldamone AA. 2012. Anatomic Contraindications to
Circumcision. Division of Pediatric Urology, DOI
10.1007/978-1-4471-2858-8_5, © Springer-Verlag London
2012

I.C Benjamin, S. Graham, D.B James. (2012).`Anatomy of the Lower


Urinary Tract and Male Genitalia`. Campbell-Walsh Urology
10th Edition. Page 32-70

Jan IA. 2004. Circumcision In Babies and Children With Plastibell


Technique: An Easy Procedure With Minimal Complications –

86
Experience of 316 cases. Pak Journal Medical Science July-
Sept. Vol. 20 No. 3 Page 175-180

Karadag, M. A. et al. (2015) ‘SmartKlamp circumcision versus


conventional dissection technique in terms of parental
anxiety: A prospective clinical study’, Canadian Urological
Association Journal, 9(1–2), p. 10. doi: 10.5489/cuaj.2131.l
Journal, 99(3), pp. 163–169
Keegan, K. A. and Penson, D. F. (1997) PART VII VASCULOGENIC
ERECTILE DYSFUNCTION Vasculogenic Erectile Dysfunction.
Second Edition, Vascular Medicine: A Companion to
Braunwald’s Heart Disease. Second Edition. Elsevier Inc. doi:
10.1016/B978-1-4377-2930-6.00028-8..

Krill AJ, Palmer LS, dan Palmer JS. 2011. Complications of


Circumcision. The Scientific World Journal Vol.11 Page 2458-
2468

Lagarde, E. et al. (2009) ‘High rate of adverse events following


circumcision of young male adults with the Tara KLamp
technique: A randomised trial in South Africa’, South African
Medica

Linyama DM. 2014. A Study of The Outcome of Neonatal Male


Circumcision Using Gomco, Mogen, and Plastibell Neonatal
Devices Among Trained Providers in Zambia.

Male circumcision Global trends and determinants of prevalence,


safety and acceptability (2007). Available at:
www.unaids.org (Accessed: 4 Juli 2018).

Ma Qi, Fang Li, Yin Wei-qi et al. 2018. Chinese Shang Ring Male
Circumcision: A Review. Urologia Internationalis Vol.100
Page 127-133

Mwanga, J., Mosha, J., Mshana, G., Mosha, F. & Changalucha, J.


(2009) Situational analysis for male circumcision in
Tanzania: Final report. National Institute for Medical
Research30-33.
87
Mousavi SA dan Salehifar E. 2008. Circumcision Complications
Associated with the Plastibell Device and Conventional
Dissection Surgery: A Trial of 586 Infants of Ages up to 12
Months. Hindawi Publishing Corporation: Advance in
Urologuy Vol.2008

Morris, B. J. et al. (2016) ‘Estimation of country-specific and global


prevalence of male circumcision.’, Population health metrics.
BioMed Central, 14, p. 4. doi: 10.1186/s12963-016-0073-5.
Nelson, C. P. et al. (2005) ‘THE INCREASING INCIDENCE OF
NEWBORN CIRCUMCISION : DATA FROM THE
NATIONWIDE INPATIENT SAMPLE’, 173(March), pp. 978–
981. doi: 10.1097/01.ju.0000145758.80937.7d.

Niang CI. Strategies and approaches for male circumcision


programming. Geneva: World Health Organisation, 2006

Nnko, S., Washija, R., Urassa, M. & Boerma, J.T.(2001) Dynamics of


male circumcision practices in northern Tanzania Sexually
Transmitted Infections 28 : 214-218.

Peleg D, Steiner A. 1998. The Gomco Circumcision: Common


Problems and Solutions. American Family Physician Sept.15
Page 1-10

Peng YF, Cheng Y, Wang GY, Wang SQ, Jia C, Yang BH, et al. Clinical
application of a new device for minimally invasive
circumcision. Asian Journal of Andrology 2008; 10 (3):447–
54.

Purnomo BB. 2011. Anatomi Sistem Urogenitalia. Dasar-dasar


Urologi Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto.
Radmayr, C. et al. (2018) ‘EAU Guidelines on Paediatric Urology’.
Available at:https://uroweb.org/wp-content/uploads/EAU-
Guidelines-on-Paediatric-Urology-2018-large-text.pdf.
Richard L D, et al 2007. The Penis. [cited 2018 21st July]; Available
from: http://www.theodora.com/anatomy/the_penis.html

88
Rickwood A.M.K. 2002. Medical Indications for Circumcision. BJU
International (1999), 83, Suppl. 1, 45-51. Alder Hey
Children’s Hospital, Liverpool, UK.
R Peter Charles. (2007) History of Circumcision, from the Earliest
Times to the Present.
Sadler, T. W. (2019) LANGMAN`S MEDICAL EMBRYOLOGY. 14th
edn. Wolters Kluwer.
Siegfried, N. et al. (2009) ‘Male circumcision for prevention of
heterosexual acquisition of HIV in men’, Cochrane Database
of Systematic Reviews. John Wiley & Sons, Ltd. doi:
10.1002/14651858.CD003362.pub2.
Sookpotarom, P. et al. (2013) ‘Is half strength of 0.05 %
betamethasone valerate cream still effective in the
treatment of fimosis in young children?’, Pediatric Surgery
International, 29(4), pp. 393–396. doi: 10.1007/s00383-
012-3253-9.

Szabo R dan Short RV. 2000. How Does Male Circumcision Protect
Against HIV Infection? British Medical Journal Page 1592-
1594

THMIS (2004) Tanzania HIV/AIDS and Malaria Indicator Survey


2003/04. Tanzania Commission for AIDS, Zanzibar AIDS
Commission, National Bureau of Statistics, Office of the Chief

Ufberg, J. W., Harrigan, R. A. and Chan, T. C. (2008) ‘EVALUATION


AND TREATMENT OF ACUTE URINARY RETENTION’, 35(2),
pp. 193–198. doi: 10.1016/j.jemermed.2007.06.039.
Government Statistician, & Micro International Inc.

Vella M, Abrate A, Argo A, dan Simonato A. 2017. Circumcision and


Sexually Transmitted Disease Prevention: Evidence and
Reticence. http://dx.doi.org/10.5772/intechopen.68644

WHO/UNAIDS 2007. World Health Organization Department of


Reproductive Health and Research, Joint United Nations
Programme on HIV/AIDS (UNAIDS). Male circumcision:
global trends and determinants of prevalence, safety and

89
acceptability. 2007.
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/43749/1/
9789241596169_eng.pdf

WHO (2009) ‘Male circumcision under lokal anaesthesia Version


3.1(Dec09) Page i’, Manual for Male Circumcision under
Lokal Anaesthesia, 1.

WHO/UNAIDS (2010) ‘Neonatal and child male circumcision : a


global review’. Available at:
https://www.who.int/hiv/pub/malecircumcision/neonatal
_child_MC_UNAIDS.pdf

WHO/UNAIDS.2011. World Health Organization/Joint United


Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS). Joint Strategic
Action Framework to Accelerate the Scale-Up of Voluntary
Medical Male Circumcision for HIV Prevention in Eastern
and Southern Africa 2012-2016. http://www.who.int/
hiv/pub/strategic_action2012_2016/en/

WHO | Joint strategic action framework to accelerate the scale-up


of voluntary medical male circumcision for HIV prevention
in Eastern and Southern Africa’ (2015) WHO. World Health
Organization. Available at:
http://www.who.int/hiv/pub/strategic_action2012_2016/e
n/
Williams N., Kapila L., 1993. Complications of circumcision.
Department of Surgery, Hope Hospital, Queen’s Medical
Centre, Nottingham, UK. Br. J. Surg. 1993, Vol. 80, October,
1231-1236.
Yiee, J. H. and Baskin, L. S. (2010) ‘Penile embryology and
anatomy’, TheScientificWorldJournal, 10, pp. 1174–1179.
doi: 10.1100/tsw.2010.112.

90
INDEX
Lidocain

Agen Anestes Mogen Klem


Arteri Dorsalis Penis Mohel
Anatomi Penis Nervus Dorsalis Penis
Badan Korpora Panjang Sisa Mukosa
Balanopostitis Perdarahan
Bupivacain Penis
Burried Penis Prepex
Bris Millah Preputium
Chordee Prevalensi sirkumsisi
Circumcision Paraphimosis
Dorsal Nerve Block Phimosis
Dorsumsisi Plasti Bell
Dosis Sejarah Sirkumsisi
Epispadia Shang Ring
Epidemiologi Smart Klem
Frenulum Subcutaneous Ring Block
Glans penis Sulkus Koronarius
Gomco Klem Sirkumsisi Konvensional
Guillotine Tara Klem
Hemostasis Vena Dorsalis Penis
HIV
Hipospadia
Indikasi Sirkumsisi
Infeksi Menular Seksual
Infeksi Saluran Kemih
Injeksi
Insisi
Instrumen Sirkumsisi
Kepuasan Seksual
Kontraindikasi Sirkumsisi
Kikiros
Klem
Korpus Spongiosum
Korpus Kavernosum

1
BIOGRAFI PENULIS

dr. Paksi Satyagraha, M.Kes, Sp.U(K),


Penulis lahir di Surabaya, 10 Agustus 1979.
Beliau menjalani pendidikan dokter umum
di Fakultas Kedokteran Universitas
Padjajaran Bandung hingga tahun 2004 dan
selanjutnya melanjutkan pendidikan
Magister Kesehatan di Universitas
Padjajaran hingga tahun 2006. Setelah itu,
penulis melanjutkan pendidikan Spesialis
Urologi di Universitas Airlangga hingga tahun 2012, dan
kemudian menjadi Staf pengajar di Departemen Urologi RS Dr.
Saiful Anwar Malang. Pada 2013 Penulis menjadi Staf Pengajar
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Untuk
mengembangkan Departemen Urologi Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya, penulis mengikuti program Fellowship
Reconstructive Urology di Kulkarni Endo Surgery Institute &
Reconstructive Urology Centre-India dan selesai pada 2014.
Setelah itu penulis menjadi ketua Sub-Rekonstruksi Urologi,
Selain itu beliau juga aktif mengikuti berbagai organisasi baik
tingkat nasional maupun internasional seperti IAUI, UAA, EAU.
APSSM, AUA, INAGURS, GURS dan SIU.

1
Dr. dr. Besut Daryanto, Sp.B, Sp.U(K).
penulis lahir di Gresik, 30 April 1962.
Beliau menjalani pendidikan dokter umum
di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas
Maret Surakarta dan selanjutnya menjalani
pendidikan spesialis bedah umum di
Universitas Diponegoro Semarang pada
tahun 1999 dan spesialis urologi di
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
pada tahun 2005. Penulis awalnya bekerja sebagai staf medis di
RS Muara Teweh Kalimantan Tengah sejak tahun 1999 hingga
2000. Pada tahun 2006 beliau ditugaskan di RS dr. Saiful Anwar
/Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang. Semangat
mengajar yang tinggi membuat beliau juga menjadi tenaga
pengajar di Universitas Brawijaya sejak saat itu. Dengan
dukungan berbagai aspek, penulis pun ditunjuk sebagai ketua
SMF Urologi RS dr. Saiful Anwar Malang sejak tahun 2008 hingga
sekarang. Selain itu beliau juga aktif mengajar di Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang dan Universitas
Islam Malang. Beliau juga aktif mengikuti berbagai organisasi baik
tingkat nasional maupun internasional seperti IAUI, SIU, EAU.
APSSM, AUA, dan UAA. Beliau juga merupakan wakil ketua IAUI
(Ikatan Ahli Urologi Indonesia) dengan masa jabatan hingga 2021.

2
dr. Kurnia Penta Seputra, Sp.U(K), lahir di
Ponorogo, 10 Mei 1973. Penulis menjalani
pendidikan dokter umum di Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga hingga
tahun 1997-2003, serta menyelesaikan
pendidikan Spesialis Urologi di Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga pada
2007. Selanjutnya penulis menjadi Staf
pengajar di Departemen Urologi RS Dr.
Saiful Anwar Malang pada 2009 hingga
saat ini. Untuk mengembangkan Departemen Urologi Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya, penulis mengikuti program
Internasional Training Course on Invasive Bladder Cancer di
Mansoura University Mesir pada 2010 dan Fellowship Urologic
Laparoscopic di Binh Dan Hospital di Vietnam pada 2012,
Selanjutnya penulis mendirikan sub Urologi-Onkologi. Penulis
juga aktif mengikuti berbagai organisasi baik tingkat nasional
maupun internasional seperti IAUI, UAA, EAU. APSSM, AUA, dan
SIU.

3
SINOPSIS BUKU

Kurangnya buku ajar berbahasa Indonesia di bidang


urologi terutama mengenai sirkumsisi, sedangkan sirkumsisi
merupakan salah satu tindakan di bidang urologi terbanyak yang
dilakukan di masyarakat mendorong penulis untuk menulis buku
ini. Buku ini berisi mengenai semua tentang sirkumsisi, mulai
anatomi dasar penis, pengertian, sejarah, prevalensi, indikasi,
kontraindikasi, manfaat, metode, perbandingan tehnik
konvensional dan instrument, diulas secara ringkas dalam bahasa
Indonesia yang diharapkan akan mudah dimengerti oleh para
pembaca. Dengan adanya buku ini, diharapkan para pembaca
terutama mahasiswa kedokteran, dokter umum, peserta didik
dokter spesialis urologi atau yang terkait, serta paramedis bisa
lebih mengerti dan mengupdate pengetahuan tentang sirkumsisi,
untuk kemudian bisa diterapkan pada masyarakat sehingga dalam
melakukan sirkumsisi bisa lebih baik dan tepat sasaran.

Anda mungkin juga menyukai