Anda di halaman 1dari 26

BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kateterisasi urine adalah proses atau tindakan pengeluaran urine dengan

memasukkan kateter urine dari uretra ke menuju kandung kemih. Kateterisasi urine

dilakukan apabila pasien tidak mampu mengeluarkan urine secara normal (retensi atau

obstruksi urine). Tindakan pemasangan kateter juga dilakukan pada pasien dengan indikasi

lain, yaitu untuk menentukan jumlah urin sisa dalam kandung kemih setelah pasien buang

air kecil, untuk memintas suatu obstruksi yang menyumbat aliran urin, untuk

menghasilkan drainase paska operatif pada kandung kemih, daerah vagina atau prostat,

atau menyediakan cara-cara untuk memantau pengeluaran urin setiap jam pada pasien

yang sakit berat (Smeltzer dan Bare, 2008).

Tindakan pemasangan kateter membantu pasien yang tidak mampu mengontrol

perkemihan atau pasien yang mengalami obstruksi. Namun tindakan ini juga bisa

menimbulkan masalah lain. Pemasangan kateter urine menjadi port of entry bagi

mikroorganisme untuk masuk ke dalam kandung kemih pada kateter yang terkontaminasi,

seperti infeksi, trauma pada uretra, dan menurunnya rangsangan berkemih. Menurunnya

rangsangan berkemih terjadi akibat pemasangan kateter dalam waktu yang lama

mengakibatkan kandung kemih tidak akan terisi dan berkontraksi sehingga pada akhirnya

kandung kemih akan kehilangan tonusnya. Apabila hal ini terjadi dan kateter dilepas,

maka otot detrusor mungkin tidak akan berkontraksi dan pasien tidak dapat mengontrol

pengeluaran urinnya (Smelzter, 2001).

Prevalensi Infeksi Saluran Kemih (ISK) tinggi pada pasien yang memakai kateter

yaitu 80%, dan 10% - 30% pasien tersebut akan mengalami bakteriuria. ISK akibat

kateterisasi merupakan tipe infeksi nosokomial yang paling banyak terjadi, 1 juta kasus

Telaah Jurnal Kelompok O’17 Page 1


setiap tahun atau 40% dari semua tipe infeksi nosokomial (Advisor.AH, 2005). Pasien

yang memakai kateter juga akan mempunyai risiko 3 kali lebih besar dirawat di rumah

sakit lebih lama dan juga pemakaian antibiotik lebih lama, bahkan dilaporkan organisme

penyebab ISK akibat kateterisasi adalah organisme yang telah resisten terhadap banyak

antibiotik (Naber KG, 2011). Tetapi sebagian besar kasus bakteriuria tidak menampakkan

gejala klinis (asimtomatis). Gejala klinis yang mungkin timbul bervariasi, mulai dari

ringan (panas, uretritis, sistitis) sampai berat (pielonefritis akut, batu saluran kemih dan

bakteremia). Jika tidak segera ditangani maka akan menimbulkan urosepsis bahkan

kematian yang mencapai 9.000 kasus per tahun. Diperkirakan 17% - 69% ISK akibat

kateterisasi dapat dicegah dengan pengendalian infeksi yang baik (Lee et all,2013).

Ada korelasi antara pemasangan kateter dengan kejadian INFEKSI Saluran Kemih

pada pasien yang di rawat di Rumah Sakit Penyakit dalam RSUDZA Banda Aceh dengan

nilai p-value 0,019 yang berarti p-value < 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa

hipotesa nol (Ho) ditolak, hal ini disebabkan oleh Infeksi saluran kemih setelah

pemasangan kateter terjadi karena kuman dapat masuk ke dalam kandung kemih dengan

jalan berenang melalui lumen kateter, rongga yang terjadi antara dinding.kateter dengan

mukosa uretra. Sehingga pasien yang mengalami infeksi saluran kemih akibat pemasangan

kateter akan mendapatkan perawatan yang lebih lama dari yang seharusnya. Tindakan

yang dapat dilakukan perawat untuk mencegah terjadinya infeksi saluran kemih pada

pasien yang terpasang kateter adalah dengan melakukan higiene perineum, perawatan

kateter, pemantauan drainase urin dan memberikan informasi kesehatan kepada pasien

tentang hal-hal yang dapat mendukung kelancaran drainase urin yang sekaligus akan

mencegah terjadinya infeksi pada saluran kemih( Smeltzer & Bare, 2008)

Infeksi nosokomial mempunyai angka kejadian 2 – 12 % (rata-rata 5%) dari semua

penderita yang dirawat di rumah sakit. Angka kematian 1 – 3 % dari semua kasus yang

Telaah Jurnal Kelompok O’17 Page 2


dirawat di rumah sakit di USA 1,5 juta per tahun dan meninggal 15.000 orang. Organisme

utama yang menyebabkan infeksi nosokomial meliputi P. aeruginosa (13%), S. aureus

(12%), Staphyloccoccus koagulase-negatif (10%), Candida (10%), Enteroccocci (9%) dan

Enterobacter (8%). Banyak mikroorganisme penyebab ISK merupakan bagian flora usus

endogen pasien dan juga dapat diperoleh dengan kontaminasi dari pasien lain atau petugas

rumah sakit serta oleh paparan solusi yang telah terkontaminasi atau peralatan yang tidak

steril (Hardiman, 2011)

Pada rumah sakit yang kapasitasnya besar, dimana mempunyai tempat tidur > 200

s/d 500 banyak ditemukan infeksi nosokomial yang berasal dari gram positif. Misalnya :

Methicillin resistant Staphyloccoccus aureus (MRSA). Terjadinya Infeksi Saluran Kemih

(ISK) pada pasien yang di rumah sakit disebabkan terutama oleh kateterisasi urine.

Semakin lama kateter terpasang maka peluang kateter terkontaminasi oleh mikroba

semakin besar, karena penggunaan kateter memungkinkan jalur masuk mikroba ke dalam

saluran kemih. Berdasarkan hasil survey di Ruang rawat Inap penyakit Dalam Interne

Wanita RS M.Djamil Padang diketahui terjadi peningkatan Infeksi Saluran Kemih pada

pasien rawat inap. Hal ini dapat disebabkan karena kurangnya perawatan kateter kepada

pasien dan juga bisa di sebabkan karena penatalaksanaan dari pengambilan sampel yang

tidak sesuai dengan prosedur

Pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI) sangat penting untuk dilaksanakan di

rumah sakit sebagai tempat fasilitas pelayanan kesehatan, disamping sebagai tolak ukur

mutu pelayanan juga untuk melindungi pasien, petugas, pengunjung dan keluarga serta

lingkungan dari resiko tertular penyakit infeksi karena perawatan, bertugas dan berkunjung

ke rumah sakit. Rumah Sakit sebagai salah satu sarana kesehatan yang memberikan

pelayanan kesehatan kepada masyarakat diharapkan dapat memberikan pelayanan yang

bermutu sesuai standar yang sudah ditentukan.

Telaah Jurnal Kelompok O’17 Page 3


B. TUJUAN

Untuk menelaah jurnal “Infeksi Saluran Kemih “Diagnosis dan Penatalaksanaan”.

Jurnal ini merupakan hasil penelitian bidang keperawatan yang telah dipublikasikan sesuai

dengan kaidah ilmiah sehingga dapat di terapkan di rumah sakit.

C. MANFAAT

1. Dapat dijadikan sumber informasi dalam melakukan asuhan keperawatan pada pasien

yang terpasang kateter urine.

2. Dapat dijadikan sebagai data dasar untuk melakukan penelitian lanjutan sehingga

dapat meningkatkan kualitas asuhan keperawatan pada pasien yang terpasang kateter

urine.

3. Dapat dijadikan sumber informasi untuk pencegahan dan perawatan bagi pasien

terpasang kateter urine.

Telaah Jurnal Kelompok O’17 Page 4


BAB II

TINJAUAN TEORI

A. KONSEP DASAR SISTEM PERKEMIHAN

1. ANATOMI SISTEM PERKEMIHAN

Sistem perkemihan terdiri atas :

a. Ginjal

Ginjal mengeluarkan sekret urine; ureter mengeluarkan urine dari ginjal ke

kandung kemih; kandung kemih berkerja sebagai penampung urine dan uretra

mengeluarkan urine dan kandung kemih.

Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen, terutama di daerah lumbal, di

sebelah kanan dan kiri tulang belakang, dibungkus lapisan lemak yang tebal,

dibelakang peritoneum, atau di luar peritoneum. Ketinggian ginjal dapat diperkirakan

dari belakang, mulai dari ketinggian vertebra torakalis sampai vertebra lumbalis ketiga.

Ginjal kanan sedikit lebih rendah dari kiri karena letak hati yang menduduki ruang

Telaah Jurnal Kelompok O’17 Page 5


lebih banyak di sebelah kanan. Panjang ginjal pada orang dewasa sekitar 6-7,5 cm,

tebal 1,5-2,5 cm, dan berat sekitar 140 gram. Pada bagian atas terdapat kelenjar

suprenalis atau kelenjar adrenal.

Secara umum, ginjal terdiri dari beberapa bagian:

1) Korteks, yaitu bagian ginjal di mana di dalamnya terdapat/terdiri dari korpus

renalis/Malpighi (glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus proksimal

dan tubulus kontortus distalis.

2) Medula, yang terdiri dari 9-14 pyiramid. Di dalamnya terdiri dari tubulus rektus,

lengkung Henle dan tubukus pengumpul (ductus colligent).

3) Columna renalis, yaitu bagian korteks di antara pyramid ginjal

4) Processus renalis, yaitu bagian pyramid/medula yang menonjol ke arah korteks

5) Hilus renalis, yaitu suatu bagian/area di mana pembuluh darah, serabut saraf atau

duktus memasuki/meninggalkan ginjal.

6) Papilla renalis, yaitu bagian yang menghubungkan antara duktus pengumpul dan

calix minor.

7) Calix minor, yaitu percabangan dari calix major.

8) Calix major, yaitu percabangan dari pelvis renalis.

9) Pelvis renalis, disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang menghubungkan antara

calix major dan ureter.

10) Ureter, yaitu saluran yang membawa urine menuju vesica urinaria.

b. Ureter

Ureter merupakan saluran sepanjang 25-30 cm yang membawa hasil penyaringan

ginjal (filtrasi, reabsorpsi, sekresi) dari pelvis renalis menuju vesica urinaria. Terdapat

sepasang ureter yang terletak retroperitoneal, masing-masing satu untuk setiap ginjal.

Telaah Jurnal Kelompok O’17 Page 6


Ureter setelah keluar dari ginjal (melalui pelvis) akan turun di depan m.psoas

major, lalu menyilangi pintu atas panggul dengan a.iliaca communis. Ureter berjalan

secara postero-inferior di dinding lateral pelvis, lalu melengkung secara ventro-medial

untuk mencapai vesica urinaria. Adanya katup uretero-vesical mencegah aliran balik

urine setelah memasuki kandung kemih. Terdapat beberapa tempat di mana ureter

mengalami penyempitan yaitu peralihan pelvis renalis-ureter, fleksura marginalis serta

muara ureter ke dalam vesica urinaria. Tempat-tempat seperti ini sering terbentuk

batu/kalkulus.

Ureter diperdarahi oleh cabang dari renalis, aorta abdominalis, iliaca communis,

testicularis/ovarica serta vesicalis inferior. Sedangkan persarafan ureter melalui segmen

T10-L1 atau L2 melalui pleksus renalis, pleksus aorticus, serta pleksus hipogastricus

superior dan inferior.

c. Vesica urinaria

Vesica urinaria, sering juga disebut kandung kemih atau buli-buli, merupakan

tempat untuk menampung urine yang berasal dari ginjal melalui ureter, untuk

selanjutnya diteruskan ke uretra dan lingkungan eksternal tubuh melalui mekanisme

relaksasi sphincter. Vesica urinaria terletak di lantai pelvis (pelvic floor), bersama-sama

dengan organ lain seperti rektum, organ reproduksi, bagian usus halus, serta pembuluh-

pembuluh darah, limfatik dan saraf.

Dalam keadaan kosong vesica urinaria berbentuk tetrahedral yang terdiri atas tiga

bagian yaitu apex, fundus/basis dan collum. Serta mempunyai tiga permukaan (superior

dan inferolateral dextra dan sinistra) serta empat tepi (anterior, posterior, dan lateral

dextra dan sinistra). Dinding vesica urinaria terdiri dari otot m.detrusor (otot spiral,

longitudinal, sirkular). Terdapat trigonum vesicae pada bagian posteroinferior dan

collum vesicae. Trigonum vesicae merupakan suatu bagian berbentuk mirip-segitiga

Telaah Jurnal Kelompok O’17 Page 7


yang terdiri dari orifisium kedua ureter dan collum vesicae, bagian ini berwarna lebih

pucat dan tidak memiliki rugae walaupun dalam keadaan kosong.

Vesicae urinaria diperdarahi oleh a.vesicalis superior dan inferior. Namun pada

perempuan, a.vesicalis inferior digantikan oleh a.vaginalis.

Sedangkan persarafan pada vesica urinaria terdiri atas persarafan simpatis dan

parasimpatis. Persarafan simpatis melalui n.splanchnicus minor, n.splanchnicus imus,

dan n.splanchnicus lumbalis L1-L2. Adapun persarafan parasimpatis melalui

n.splanchnicus pelvicus S2-S4, yang berperan sebagai sensorik dan motorik.

d. Uretra

Uretra merupakan saluran yang membawa urine keluar dari vesica urinaria menuju

lingkungan luar. Terdapat beberapa perbedaan uretra pada pria dan wanita. Uretra pada

pria memiliki panjang sekitar 20 cm dan juga berfungsi sebagai organ seksual

(berhubungan dengan kelenjar prostat), sedangkan uretra pada wanita panjangnya

sekitar 3.5 cm. selain itu, Pria memiliki dua otot sphincter yaitu m.sphincter interna

(otot polos terusan dari m.detrusor dan bersifat involunter) dan m.sphincter externa (di

uretra pars membranosa, bersifat volunter), sedangkan pada wanita hanya memiliki

m.sphincter externa (distal inferior dari kandung kemih dan bersifat volunter).

Pada pria, uretra dapat dibagi atas pars pre-prostatika, pars prostatika, pars

membranosa dan pars spongiosa.

1) Pars pre-prostatika (1-1.5 cm), merupakan bagian dari collum vesicae dan aspek

superior kelenjar prostat. Pars pre-prostatika dikelilingi otot m. sphincter urethrae

internal yang berlanjut dengan kapsul kelenjar prostat. Bagian ini disuplai oleh

persarafan simpatis.

2) Pars prostatika (3-4 cm), merupakan bagian yang melewati/menembus kelenjar

prostat. Bagian ini dapat lebih dapat berdilatasi/melebar dibanding bagian lainnya.

Telaah Jurnal Kelompok O’17 Page 8


3) Pars membranosa (12-19 mm), merupakan bagian yang terpendek dan tersempit.

Bagian ini menghubungkan dari prostat menuju bulbus penis melintasi diafragma

urogenital. Diliputi otot polos dan di luarnya oleh m.sphincter urethrae eksternal

yang berada di bawah kendali volunter (somatis).

4) Pars spongiosa (15 cm), merupakan bagian uretra paling panjang, membentang dari

pars membranosa sampai orifisium di ujung kelenjar penis. Bagian ini dilapisi oleh

korpus spongiosum di bagian luarnya.

Sedangkan uretra pada wanita berukuran lebih pendek (3.5 cm) dibanding uretra

pada pria. Setelah melewati diafragma urogenital, uretra akan bermuara pada

orifisiumnya di antara klitoris dan vagina (vagina opening). Terdapat m. spchinter

urethrae yang bersifat volunter di bawah kendali somatis, namun tidak seperti uretra

pria, uretra pada wanita tidak memiliki fungsi reproduktif.

2. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ELIMINASI URIN

a. Diet dan asupan

Asupan makanan merupakan faktor utama yang mempengaruhi out put urin. Protein

dan natrium dapat menentukan jumlah urin, mengkonsumsi kopi juga bisa

meningkatkan jumlah urin.

b. Respon keinginan awal dengan berkemih

c. Mengabaikan keinginan berkemih membuat urin tertahan dan menumpuk di vesika

urinaria dengan jumlah tertentu.

d. Gaya hidup Perubahan gaya hidup dapat memengaruhi pemenuhan kebutuhan

eliminasi. Hal ini terkait dengan tersedianya fasilitas toilet.

e. Stress psikologis Meningkatkan stres dapat meningkatkan frekuensi keinginan

berkemih. Hal ini karena meningkatnya sensitivitas untuk keinginan berkemih dan

jumlah urine yang diproduksi.

Telaah Jurnal Kelompok O’17 Page 9


f. Tingkat aktivitas Eliminasi urine membutuhkan tonus otot vesika urinearia yang baik

untuk fungsi sphincter. Kemampuan tonus otot di dapatkan dengan beraktivitas.

Hilangnya tonus otot vesika urinearia dapat menyebabkan.

g. Tingkat perkembangan Tingkat pertumbuhan dan perkembangan juga dapat

memengaruhi pola berkemih. Hal tersebut dapat ditemukan pada anak, yang lebih

mengalami mengalami kesulitan untuk mengontrol buang air kecil. Namun

kemampuan dalam mengontrol buang air kecil meningkat dengan bertambahnya usia,

namun menurun kembali ketika melalui tahap lansia.

h. Kondisi penyakit Kondisi penyakit dapat memengaruhi produksi urine, seperti

diabetes mellitus.

i. Sosiokultural Budaya dapat memegaruhi pemenuhan kebutuhan eliminasi urine,

seperti adanya kultur pada pada masyarakat tertentu yang melarang untuk buang air

kecil di tempat tertentu.

j. Kebiasaan seseorang Seseorang yang memiliki kebiasaan berkemh di toilet, biasanya

mengalami kesulitan untuk berkemih dengan melalui urineal/pot urine bila dalam

keadaan sakit.

k. Tonus otot Tonus otot yang berperan penting dlam membantu proses berkemih adalah

otot kandung kemih, otot abdomen, dan pelvis. Ketiganya sangat berperan dalam

kontraksi sebagai pengontrolan pengeluaran urine

l. Pembedahan Pembedahan berefek menurunkan filtrasi glomerulus sebagai dampak

dari pemberian obat anestesi sehingga menyebabkan penurunan jumlah produksi

urine.

m. Pengobatan Pemberian tindakan pengobatan dapat berdampak pada terjadinya

peningkatan atau penurunan proses perkemihan.

Telaah Jurnal Kelompok O’17 Page 10


n. Pemeriksaan diagnostic Pemeriksaan diagnostik ini juga dapat memengaruhi

kebutuhan eliminasi urine, khususnya prosedur-prosedur yang berhubungan dengan

tindakan pemeriksaan saluran kemih seperti intra venus pyelogram (IVP)

3. MACAM-MACAM GANGGUAN ELIMINASI URIN

a. Retensi urine,merupakan penumpukan urine dalam kandung kemih akibat

ketidakmampuan kandung kemih untuk mengosongkan kandung kemih.

b. Inkontinensia urine, merupakan ketidakmampuan otot sphincter eksternal sementara

atau menetap untuk mengontrol ekskresi urine.

c. Enuresis, merupakan ketiksanggupan menahan kemih (mengompol) yang diakibatkan

tidak mampu mengontrol sphincter eksterna.

d. Perubahan pola eliminasi urine, merupakan keadaan sesorang yang mengalami

gangguan pada eliminasi urine karena obstruksi anatomis, kerusakan motorik

sensorik, dan infeksi saluran kemih. Perubahan eliminasi terdiri atas : Frekuensi,

Urgensi, Disuria, Poliuria, Urinaria supresi.

4. TINDAKAN MENGATASI MASALAH ELIMINASI URIN

a. Pengumpulan Urine untuk Bahan Pemeriksaan

b. Menolong Buang Air Kecil dengan Menggunakan Urineal

c. Melakukan kateterisasi

Telaah Jurnal Kelompok O’17 Page 11


B. KONSEP PEMASANGAN KATETER

1. PENGERTIAN

Dower kateter merupakan salah satu tipe kateter yang berupa selang yang

dimasukkan kedalam uretra melalui genitalia. Dower kateter termasuk kedalam

kateter indwelling (foley kateter) atau kateter menetap, yang mana kateter ini tetap di

tempat untuk priode waktu yang lebih lama sampai klien mampu berkemih dengan

tuntas dan spontan atau selama pengukuran akurat perjam di butuhkan.

2. INDIKASI

1. Retensi Urin

2. Obstruksi saluran kemih di distal kandung kemih

3. Pengawasan jumlah urin yang keluar pada pasien kritis

4. Pengawasan jumlah urin yang keluar pada pasien tidak kooperatif seperti indikasi

5. Pasien yang menjalani operasi mayor lebih dari 2 jam

6. Pasien paralisis

3. KONTRAINDIKASI

Kontraindikasi yang terjadi, adanya trauma uretra atau cedera uretra.

4. KOMPLIKASI PEMASANGAN KATETER

a. Bila pemasangan dilakukan tidak hati-hati bisa menyebabkan luka dan perdarahan

uretra yang berakhir dengan striktur uretra seumur hidup

Telaah Jurnal Kelompok O’17 Page 12


b. Balon yang dikembangkan sebelum memasuki buli-buli juga dapat menimbulkan

luka pada uretra. Karenanya, balon dikembangkan bila yakin balon akan

mengembnag dalam buli-buli dengan mendorong kateter sampai ke pangkalnya

c. Infeksi uretra dan buli-buli

d. Nekrosis uretra bila ukuran kateter terlalu besar atau fiksasi yang keliru

e. Merupakan inti pembentukan batu buli-buli

f. Pada penderita tidak sadar, kateter dengan balon terkembang bisa dicabut yang

berkibat perdarahan dan melukai uretra

g. Kateter tidak bisa dicabut karena saluran pengembang balon tersumbat

5. TUJUAN

a. Menghilangkan distensi kandung kemih

b. Mendapatkan spesimen urine

c. Mengkaji jumlah residu urine, jika kandung kemih tidak mampu sepenuhnya

dikosongkan

6. PROSEDUR PEMASANGAN KATETER

a. Tahap pra interaksi

Perawat melihat catatan perkembangan klien, kaji kebutuhan klien mengenai

pemasangan kateter, pastikan tidak ada kontraindikasi pemasangan kateter.

b. Persiapan alat

Alat steril:

 Sarung tangan steril

 Duk bolong

 Pinset anatomis

Telaah Jurnal Kelompok O’17 Page 13


 Ketetr dengan ukuran yang sesuai

 Jelly

 Bengkok

 Klem

Alat tidak steril:

 Sarung tangan

 Cairan aquadest

 Kapas cebok

 Spuit 10cc

 Bengkok

 Selimut mandi

 Perlak

 Urin bag

 Plester

 Gunting

c. Tahap orientasi

Perawat memberi salam dan memperkenalkan diri, selanjutnya memvalidasi

identitas klien, menjaga privasi klien dengan menutup sampiran selanjutnya perawat

menjelaskan prosedur dan tujuan tindakan yang akan dilakukan.

d. Tahap kerja

Dekatkan alat kepada klien, lalu cuci tangan.

Posisikan pasien dorsal recumben (untuk perempuan) dan supine ( untuk laki-

laki), membuka pakaian bawah klien lalu tutup dengan selimut mandi. Selanjutnya

minta klien mengangkat bokong dan pasangkan alas/perlak.

Telaah Jurnal Kelompok O’17 Page 14


Perawat memasang sarung tangan, lakukan vulva/penis hygiene terlebih dahulu

menggunakan cairan Nacl0,9%. Buka sarung tangan dan siapkan cairan aquades

dalam spuit 10cc, cek balon kateter dengan memasukkan udara lalu keluarkan lagi,

buka slang kateter dari plastik jaga kesterilannya, pasang sarung tangan steril, olesi

jelly pada ujung kateter lebih kurang 5cm, klem ujung kateter bagian bawah,

dekatkan bengkok steril, minta klien untuk tarik nafas dalam saat ujung kateter

dimasukkan (wanita: 5-7,5cm) dan (laki-laki 7,5-13cm). Cek keluaran urin dengan

membuka klem, setelah itu fiksasi balon kateter dengan cairan aquadest25-30cc

kemudian tarik kateter sampai ada tahanan. Lepaskan duk bolong sambungkan

ujung kateter dengan urin bag pastikan urin bag dalam keadaan tertutup. Fiksasi

kateter dengan plester cantumkan tanggal pemasangan dan jumlah cairan dalam

balon. Rapikan alat dan buka sarung tangan lalu cuci tangan.

e. Tahap terminasi

Evaluasi respon klien saat dan setelah tindakan, kaji karakteristik urin yang

keluar: jumlah, warna, karakteristik urin, kaji kembali keadaan bladder.

Buat catatan dokumentasi dibuat dengan nama jelas, waktu dan tanggal

pelaksanaan, nomer dan jenis kateter yang digunakan, jumlah cairan fiksasi yang

dimasukkan, jumlah warna dan karakteristik urin.

f. Dokumentasi

Dokumentasi adalah segala sesuatu yang tertulis dan tercetak yang dapat

diandalkan sebagai catatan dan bukti bagi individu yang berwenang. Catatan medis

harus mendeskripsikan tentang status dan kebutuhan klien yang komprehensif juga

layanan yang diberikan untuk perawatan klien. Dokumentasi yang baik

mencerminkan tidak hanya kualitas perawat tetapi juga membuktikan pertanggung

jawaban setiap anggota tim perawatan dalam memberikan perawatan. Catatan

Telaah Jurnal Kelompok O’17 Page 15


merupakan sumber data yang bermanfaat yang digunakan semua anggota tim

perawatan kesehatan tujuannya mencakup komunikasi, tagihan finansial, edukasi,

pengkajian, riset, audit dan dokumentasi legal

C. TEKNIK PENGAMBILAN SAMPEL URIN

1. Aspirasi suprapubik

Teknik aspirasi suprapubik merupakan cara yang paling baik untuk mendapatkan

urin guna pemeriksaan kultur. Ditemukannya kuman patogen dari aspirasi

suprapubik menunjukkan adanya sistitis. Kriteria diagnosis terbaik adalah

ditemukannya kuman >100/ml urin dari aspirasi suprapubik dengan sensitifitas

95% dan spesifisitas 85% serta nilai duga positif yang tinggi (88%) pada

penderita yang simptomatis. Setelah sampel urin didapatkan harus segera dibawa

ke laboratorium mikrobiologi. Pengiriman sampel tidak boleh lebih dari 2 jam

karena akan mempengaruhi kualitas sampel urin yang akan diperiksa. Perlu

diketahui bahwa aspirasi suprapubik ini menimbulkan rasa nyeri, berbahaya, dan

tidak nyaman bagi pasien.

2. Kateterisasi uretra

Kateterisasi uretra sangat bermanfaat bagi wanita, khususnya wanita yang tidak

mampu untuk mengosongkan kandung kemih secara alami dan kesulitan untuk

berkemih secara normal pada ibu postpartum (Winkjosastro,2007). Cara

melakukan kateterisasi uretra adalah pada daerah labia dan muara uretra

dibersihkan dengan aquades steril, larutan garam fisiologis, atau juga bisa dengan

antiseptik, dengan menggunakan kateter uretra nomor 14-16 Fr setelah labia

minora dibuka, kateter dimasukkan dalam uretra dan urin dimasukkan ke dalam

botol. Teknik ini harus diperhatikan agar spesimen urin tidak terkontaminasi.

Telaah Jurnal Kelompok O’17 Page 16


Kateterisasi urin khusus untuk sampling ISK tidak dianjurkan. Sampling ISK dari

urin kateter dilakukan pada penderita dengan pemasangan kateter menetap atau

ada indikasi kateterisasi lain, contohnya pada pasien retensio urin.

3. Urin pancaran tengah

Cara pengambilan urin pancaran tengah harus hati-hati karena dilakukan oleh

pasien sendiri. Sebelum pengambilan spesimen, daerah periuretra harus

dibersihkan terlebih dahulu dengan aquades steril dan urin yang ditampung hanya

pancar tengah, bagian awal dan akhir pancar urin tidak digunakan. Cara

pengambilan yang tidak benar kemungkinan besar dapat menyebabkan sampel

urin akan terkontaminasi oleh kuman dari periuretra atau labia minora dan

mayora (Schaffer,2009)

D. TEKNIK PEMERIKSAAN SAMPEL URIN

1. Pemeriksaan kultur urin.

Diagnosis ISK pada pasien dewasa tanpa kateterisasi bila dibandingkan dengan

urin spesimen kateter memiliki kriteria kuantitatif yang berbeda untuk

mendefinisikan bakteriuria secara spesifik dan batas jumlah bakteri pun

disesuaikan dengan keadaan, sehingga hal ini bukanlah suatu masalah untuk

spesimen kateter. Hasil pemeriksaan kultur dapat terganggu akibat terapi

antibiotik ataupun karena lamanya pengiriman sampel urin untuk sampai di

laboratorium. Idealnya spesimen urin diambil untuk penentuan pemakaian

antibiotik dan spesimen dikirim secepatnya untuk diproses. Terlalu lamanya

pengiriman sampel dapat menyebabkan 12 mikroorganisme berkembang biak dan

hasilnya tidak akan sesuai dengan situasi klinik sebenarnya. Apabila memang

harus ada penundaan pengiriman sampel, sampel disarankan harus disimpan

Telaah Jurnal Kelompok O’17 Page 17


dalam pendingin bersuhu 4℃ maksimal selama 48 jam. Alternatif lainnya, sampel

urin dibawa menggunakan wadah dengan tambahan asam boraks yang dapat

menahan satabilitas populasi bakteri hingga 96 jam. Toksisitas asam boraks

terhadap bakteri telah dilaporkan, tetapi hal ini jarang terjadi (Vandepitte,2013)

2. Pemeriksaan mikroskopik urin

Pemeriksaan mikroskopik urin digunakan untuk mengidentifikasi adanya sel

darah putih, sel darah merah, sel epitel squamous, bakteri, benda asing, dan

komponen lain dalam urin. Hasil penilaian mikroskopik urin masih sangat

terbatas. Seperti yang telah dibahas, hampir semua sampel dari pasien dengan

pemasangan kateter menetap dalam jangka panjang akan didapatkan bakteriuria.

Telah diketahui bahwa pemasangan kateter selalu menginduksi terjadinya pyuria

dan ini akan terjadi secara keseluruhan pada pasien yang dikateterisasi dalam

jangka panjang, terlepas dari ada atau tidaknya infeksi. Pemeriksaan mikroskopik

urin tidak dapat membedakan antara infeksi saluran kemih dengan bakteriuria

asimptomatik pada pasien (Organization,2010).

Telaah Jurnal Kelompok O’17 Page 18


BAB III

TELAAH JURNAL

A. Telaah Penulisan

1. Abstrak

Pada jurnal ini abstrak sudah memenuhi persyaratan minimal penulisan dengan isi

abstrak tidak lebih dari 250 kata dan memiliki kata kunci. Jurnal ini berisi penjelasan

tentang infeksi saluran kemih (ISK), kejadian pasien yang mengalami ISK, faktor resiko

pada pemakaian kateter, dan penanganan pelepasan atau penggantian kateter, terapi

medikamentosa, serta pencegahan ISK akibat kateterisasi. Namun abstrak pada jurnal ini

tidak ada memaparkan tujuan penulisan, metode dan kesimpulan dari jurnal.

2. Pendahuluan

Jurnal ini berisi penjelasan kateterisasi uretra, metode kateterisasi, prevalensi ISK,

dan gejala klinis yang mungkin timbul. Jurnal ini belum menjelaskan fenomena yang

terjadi di lapangan, hanya berdasarkan teori saja. Jurnal ini juga belum memaparkan hasil-

hasil penelitian sebelumnya mengenai mengenai tingginya angka ISK akibat pemasangan

kateter

3. Isi

Jurnal ini mudah dipahami karna membahas sesuatu berdasarkan teori yang ada

mengenai penyebab terjadinya Infeksi Saluran Kemih beserta gambar serta bakteri yang

menyebabkan ISK pada pemasangan kateter dan memaparkan bagaimana keadaan normal

dari saluran kemih, namun dalam jurnal belum membahas hasil-hasil penelitian kejadian

ISK yang terjadi akibat pemasangan kateter. Faktor resiko terbesar adalah pemakaian

Telaah Jurnal Kelompok O’17 Page 19


kateter melebihi 6 hari. ISK akibat kateterisasi terdiri atas 2 kelompok yaitu Symptomatic

Urinary Tract Infections (SUTI) dan Asymptomatic Bacteriuria (ASB). Dan terdapat 2

metode untuk mendapatkan spesimen yaitu dengan clean-catch collection dan dengan

kateterisasi (Greene, 2008).

Dalam keadaan normal, saluran kemih mempunyai dua mekanisme pertahanan

terhadap infeksi. Pertama dengan cara mekanik pembersihan organisme: pada keadaan

normal, tekanan aliran urin akan mengeluarkan bakteri sebelum sempat menyerang

mukosa. Mekanisme kedua adalah aktivitas antibakteri intrisik di saluran kemih (Trautner,

2004). Uropatogen penyebab ISK akibat kateterisasi (CAUTI – catheter associated urinary

tract infection) dapat berasal dari pasien sendiri (endogen) yaitu dari meatus, rektum, atau

kolonisasi vagina. Uropatogen dapat juga berasal dari luar tubuh pasien (eksogen) yaitu

dari kontaminasi tangan petugas medis atau kontaminasi perlengkapan kateter.

Uropatogen yang berasal dari petugas medis atau dari kontak dengan pasien lain

kemungkinan besar resisten terhadap antibiotik sehingga menyulitkan penanganan.

Uropatogen masuk ke kandung kemih saat kateterisasi dapat melalui lumen kateter

(intraluminal) atau melalui permukaan luar kateter (ekstraluminal) (Jacobsen, 2008).

Terapi untuk kateterisasi yaitu dengan menghentikan pemakaian kateter atau penggantian

kateter dengan yang baru, dan dengan terapi empiris dengan antibiotik serta upaya

pencegahan kateterisasi dengan memfokuskan pada teknik pemasangannya (Moore, 2007).

4. Kesimpulan

Jurnal ini hanya terdiri dari kesimpulan yang kurang dijelaskan secara detail, tidak

ada saran ataupun rekomendasi terkait diagnosis dan penatalaksanaan ISK dalam

pelayanan kesehatan.

Telaah Jurnal Kelompok O’17 Page 20


5. Daftar Pustaka

Jurnal ini memiliki 12 daftar pustaka yang sebagian besar sumber berasal dari Luar

negri dari tahun 2001-2012. Penulisan daftar pustaka pada jurnal ini menggunakan sistem

Vancouven.

B. Telaah Konten

Pada jurnal dijelaskan bahwa kateterisasi uretra merupakan metode primer

dekompresi kandung kemih dan berfungsi sebagai alat diagnostik retensi urin akut.

Metode yang sering digunakan yaitu kateter indwelling dan kateter intermittent. Kateter

indwelling adalah kateter menetap yang digunakan dalam jangka waktu lama sedangkan

kateter intermittent adalah kateter yang digunakan sewaktu-waktu. Selain untuk

dekompresi kandung kemih, kateter juga digunakan untuk mengevaluasi jumlah urin

yang keluar dan pada pasien inkontinensia urin.

Prevalensi ISK tinggi pada pasien yang memakai kateter yaitu 80%, dan 10% -

30% pasien tersebut akan mengalami bakteriuria (Dunn, 2000). ISK akibat kateterisasi

merupakan tipe infeksi nosokomial yang paling banyak terjadi. 1 juta kasus setiap tahun

atau 40% dari semua tipe infeksi nosokomial (Jacobsen, 2008). Gejala klinis yang

mungkin timbul bervariasi, mulai dari ringan (panas, uretrus, sistitis) sampai berat

(pielonefritis akut, batu saluran kemih dan bakteremia). Diperkirakan 17% - 69% ISK

akibat kateterisasi dapat dicegah dengan pengendalian infeksi yang baik (Gould, 2009).

Dalam keadaan normal, ada dua mekanisme pertahanan terhadap infeksi. Pertama

dengan cara mekanik pembersihan organisme dan yang kedua aktivitas antibakteri

intrinsik di saluran kemih (Trauntner, 2004).

Telaah Jurnal Kelompok O’17 Page 21


Diagnosis ISK akibat kateterisasi didefenisikan sebagai infeksi pada pasien yang

pernah atau masih menggunakan kateter indwelling. Pemeriksaan kultur urin sangat

penting untuk menegakkan diagnosis ISK akibat kateterisasi. Untuk mendapatkan

spesimen. Ada 2 metode yang direkomedasikan, yaitu dengan clean-catch collection dan

dengan kateterisasi (Greene, 2008).

Pencegahan ISK akibat keteterisasi difokuskan pada teknik pemasangan kateter

yang baik dan indikasi yang tepat (Ratanabunjerdkul, 2006). Pemasangan kateter harus

dilakukan oleh petugas medis yang sudah terlatih dan menggunakan teknik aseptik yang

direkomendasikan serta memakai peralatan steril. Upaya pencegahan lain juga harus

diperhatikan seperti perawatan meatus uretra, pengambilan spesimen urin yang tepat,

saat penggantian spesimen urin yang tepat, saat penggantian kateter yang tepat dan juga

edukasi pada pasien dan keluarganya (Moore, 2007).

Telaah Jurnal Kelompok O’17 Page 22


BAB IV

PEMBAHASAN

A. Telaah Jurnal

Pada jurnal ini dibahas mengenai metode pengambilan specimen dengan clean-catch

collection yaitu spesimen urin yang dikumpulkan adalah urin yang pertama kali dikeluarkan

pagi hari saat bangun tidur. Urin yang ditampung adalah urin yang keluar pada saat

pertengahan berkemih (midstream), metode ini tidak dapat dilakukan pada pasien retensi

urin. Metode pengambilas sampel ini sesuai dengan pengambilan specimen urin yang

dilakukan oleh Maryam (2013) yang melakukan pengambilan specimen dengan cara

mengambil urin porsi tengah (midstream urine specimen).

Metode kateterisasi direkomendasikan pada pasien yang mengalami retensi urin.

Penggunaan Metode pengambilan urin kateterisasi pada jurnal ini sesuai dengan penelitian

yang dilakukan oleh Erhadestria (2017) mengenai “Uji Kepekaan Bakteri yang diisolasi dari

Urin Pengguna Kateter pasien ruang rawat Intensif RSUD Dr.H.Abdul Moeloek” yang mana

peneliti juga melakukan pengambilan specimen urin melalui selang kateter pasien.

B. Kekurangan Jurnal

Dalam jurnal ini belum menjelaskan bagaimana kejadian ISK yang diakibatkan oleh

pemasangan kateter dilapangan dan belum memuat hasil-hasil penelitian mengenai penyebab

ISK pada pemasangan kateter. Jurnal ini juga masih kurang dalam pembahasan mengenai

bagaimana langkah-langkah yang benar dalam perawatan keteter.

C. Kelebihan jurnal

Jurnal ini telah menjelaskan dengan rinci bakteri apa saja uang menyebabkan ISK

pada individu yang terpasang kateter, bagaimana proses trejadinya ISK, bagaimana langkah

Telaah Jurnal Kelompok O’17 Page 23


pengambilan spesimen urin dan tempat penyimpanan yang benar, apa saja terapi obat yang

diberikan serta pencegahan agar tidak terjadinya Infeksi Saluran Kemih akibat pemasangan

kateter.

D. Aplikasi jurnal di Rumah Sakit

Dirumah sakit dapat mengaplikasikan metode pengambilan sampe urine dengan

clean-catch collection dan dengan kateterisasi sebagaimana yang telah dijelaskan dalam

jurnal.

E. Rekomendasi untuk penelitian selanjutnya

Untuk penelitian selanjutanya dapat menambahkan fakta yang terjadi di lapangan dan

hasil-hasil penelitian sebelumnya sehingga dapat didukung oleh teori yang ada pada jurnal

ini.

Telaah Jurnal Kelompok O’17 Page 24


BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari jurnal yang telah ditelaah dijelaskan bahwa kateterisasi uretra adalah metode

primer dekompresi kandung kemih yang berfungsi sebagai alat diagnostik retensi urin

akut. Infeksi Saluran Kemih (ISK) terjadi akibat pemasangan kateter yang lama, tidak

adanya perawatan terhadap kateter dan cara pengambilan sampel yang salah.

Pengambilan sampel urin pada pasien yang terpasang kateter sebaiknya mengikuti

prosedur yang benar untuk mendapatkan hasil yang akurat.

B. Saran

Dari hasil jurnal disarankan kepada petugas untuk melakukan perawatan

kateterisasi (vulva hygiene) dan pengambilan sampel sesuai dengan teknik pengambilan

sampel sesuai dengan metode clean-cath collection dan dengan kateterisasi

Telaah Jurnal Kelompok O’17 Page 25


Telaah Jurnal Kelompok O’17 Page 26

Anda mungkin juga menyukai