BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kateter urine merupakan suatu alat yang berbentuk pipa yang dimasukan ke
dalam kandung kemih dengan tujuan untuk mengeluarkan urine (Perry &
Potter, 2000).
The Joanna Briggs Institute (2000) melaporkan pemasangan kateter dilakukan
lebih dari lima ribu pasien setiap tahunnya, sebanyak 4% penggunaan kateter
dilakukan pada perawatan rumah dan sebanyak 25% pada pasien yang
menderita penyakit akut. Sebanyak 15-25% pasien di rumah sakit
menggunakan kateter menetap untuk mengukur pengeluaran urin dan untuk
membantu pengosongan kandung kemih (Sinaga, 2011).
Pemasangan kateter bertujuan untuk membantu pengeluran urine pada
pasien yang mengalami kehilangan kesadaran; persiapan operasi atau pasca
operasi besar; retensi urine atau inkontinensia urine; penatalaksanaan pasien
yang dirawat karena trauma medula spinalis, gangguan neuromuskular, atau
inkompeten kandung kemih; atau jika dilakukan pencucian kandung kemih
(Marelli, 2008).
Namun demikian, pemasangan kateter dapat menyebabkan terjadinya
beberapa komplikasi antara lain; adanya iritasi pada saluran kemih akibat
terlalu lama memakai kateter, perdarahan akibat iritasi dan gesekan dari
selang kateter, serta adanya infeksi saluran kemih (ISK) akibat pemasangan
kateter yang terlalu lama dan kurang bersihnya daerah genitalia saat
pemasangan kateter (Nihi, 2011).
Prevalensi ISK cenderung lebih tinggi pada pasien yang memakai kateter
yaitu sebesar 80% dan 10% - 30% pasien tersebut akan mengalami
bakteriuria. ISK akibat kateterisasi merupakan tipe infeksinosokomial yang
paling sering terjadi yakni terdapat 1 juta kasus setiap tahun atau 40% dari
semua tipe infeksi nosokomial (Semaradana, 2014). Sehingga perawatan
kateter yang baik diharapkan mampu untuk menurunkan angka prevalensi
infeksi nosokomial yang disebabkan oleh kateter
B. Rumusan Masalah
Bagaimana perawatan dan removal kateter pada pasien dengan cara yang
benar sehingga dapat mengurangi risiko komplikasi yang disebabkan oleh
kateter
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kandung Kemih (Vesica Urinaria)
Kandung kemih merupakan tempat penyimpanan urine berdinding otot yang
kuat, bentuknya bervariasi sesuai dengan jumlah urine (Syaifudin, 2011).
Kandung kemih berfungsi untuk menampung urine sebesar 230-300 ml.
Kandung kemih pada waktu kosong terletak dalam rongga pelvis, sedangkan
dalam keadaan penuh dinding atas terangkat masuk ke dalam region
hipogastrika. Apeks kandung kemih terletak di belakang pinggir atas simfisis
pubis dan permukaan posteriornya berbentuk segitiga. Bagian sudut
superolateral merupakan muara ureter dan sudut inferior membentuk uretra.
Bagian atas kandung kemih ditutupi oleh peritoneum yang membentuk
eksavio retro vesikalis, sedangkan bagian bawah permukaan posterior
dipisahkan dari rektum oleh duktus deferens, vesika seminalis, dan vesika
retrovesikalis. Permukaan superior seluruhnya ditutupi oleh peritoneum dan
berbatasan dengan gulungan ileum dan kolon sigmoid sepanjang lateral
permukaan peritoneum melipat ke dinding lateral pelvis (Syaifudin, 2011).
1. Pengisian Kandung Kemih
Dinding ureter mengandung otot polos yang tersusun dalam berkas spiral
longitudinal dan sekitar lapisan otot yang tidak terlihat. Kontraksi peristaltik
ureter 1-5 kali/menit akan menggerakkan urine dari pelvis renalis ke dalam
kandung kemih dan disemprotkan setiap gelombang peristaltik. Ureter yang
berjalan melalui dinding kandung kemih untuk mencegah ureter tertutup
kecuali selama gelombang peristaltik untuk mencegah urine tidak kembali ke
ureter.
Apabila kandung kemih terisi penuh permukaan superior akan membesar,
menonjol ke atas masuk ke dalam rongga abdomen. Peritoneum akan
menutupi bagian bawah dinding anterior koloum kandung kemih yang terletak
di bawah kandung kemih dan permukaan atas prostat. Serabut otot polos
dilanjutkan sebagai serabut otot polos prostat kolum kandung kemih yang
dipertahankan pada tempatnya oleh ligamentum pubo prostatika pada pria
dan oleh ligamentum pubovesikalis pada wanita yang merupakan penebalan
fasia pubis. Membran mukosa kandung kemih dalam keadaan kosong akan
berlipat-lipat. Lipatan ini akan hilang apabila kandung kemih terasa penuh.
Daerah membran mukosa meliputi permukaan dalam basis kandung kemih
yang dinamakan trigonum. Vesika ureter menembus dinding kandung kemih
secara miring membuat seperti katup untuk mencegah aliran balik urine ke
ginjal pada waktu kandung kemih terisi .
2. Pengosongan Kandung Kemih
Kontraksi otot muskulus detrusor bertanggung jawab pada pengosongan
kandung kemih selama berkemih (miksturasi). Berkas otot tersebut berjalan
pada sisi uretra, serabut ini dinamakan sfingter uretra interna. Sepanjang
uretra terdapat sfingter otot rangka yaitu sfingter uretra membranosa (sfingter
uretra eksterna). Epitel kandung kemih dibentuk oleh lapisan superfisialis sel
kuboid.
B. Pengertian Kateter Urin
Pemasangan kateter urin merupakan suatu tindakan keperawatan dengan
cara memasukkan kateter ke dalam kandung kemih melalui uretra yang
bertujuan untuk membantu memenuhi kebutuhan eliminasi dan dapat
sebagai pengambilan bahan pemeriksaan (Hidayat, 2006). Kateter urine
dapat berfungsi sebagai alat untuk mengkaji pengeluaran urin per jam pada
klien yang status hemodinamiknya tidak stabil (Potter dan Perry, 2005).
Pemasangan kateter menggantikan kebiasaan normal pasien untuk
berkemih. Penggunaan kateter intermiten dalam waktu yang lama dapat
menyebabkan pasien mengalami ketergantungan dalam berkemih (Craven
dan Zweig, 2000).
C. Jenis Kateter
Menurut percabangannya kateter urine dibedakan menjadi 3 jenis yaitu 1).
Tidak bercabang untuk pemakaian sebentar, 2). Two way catheter yang selain
memiliki lumen untuk mengeluarkan urine juga terdapat lumen untuk
memasukkan air guna mengisi balon, dan 3).Three way catheter yang terdapat
satu lumen lagi yang berfungsi untuk mengalirkan air pembilas (irigasi) yang
dimasukkan melalui selang infus, biasanya dipakai setelah operasi prostat
untuk mencegah timbulnya bekuan darah.
Menurut (Potter & Perry, 2005) jenis – jenis pemasangan kateter urine terdiri
dari :
1. Indwelling catheteter yang biasa disebut juga dengan retensi kateter/folley
cateter–indwelling yaitu kateter menetap yang digunakan untuk periode waktu
yang lebih lama. Kateter menetap ditempatkan dalam kandung kemih untuk
beberapa minggu pemakaian sebelum dilakukan pergantian kateter.
Pemasangan kateter ini dilakukan sampai klien mampu berkemih dengan
tuntas dan spontan atau selama pengukuran urin akurat dibutuhkan (Potter
dan Perry, 2005). Pemakaian kateter menetap dapat menimbulkan infeksi
atau sepsis. Kateter yang menetap bersifat tidak fisiologis karena kandung
kemih selalu kosong sehingga dapat mengakibatkan kehilangan potensi
sensasi miksi serta terjadinya atrofi serta penurunan tonus otot kandung
kemih (Japardi, 2000). Kateter menetap terdiri atas foley kateter (double
lumen). Satu lumen yang terdapat di folley kateter berfungsi untuk
mengalirkan urin dan lumen yang lain berfungsi untuk mengisi balon dari luar
kandung kemih. Tipe triple catheter lumen terdiri dari tiga lumen yang
digunakan untuk mengalirkan urin dari kandung kemih, satu lumen untuk
memasukkan cairan ke dalam balon dan lumen yang ketiga dipergunakan
untuk melakukan irigasi pada kandung kemih dengan cairan atau pengobatan
(Potter dan Perry, 2005).
2. Intermitten catheter (kateter sementara) yaitu kateter yang digunakan untuk
jangka waktu yang pendek (5-10 menit) dan klien dapat diajarkan untuk
memasang dan melepas sendiri. Pada saat kandung kemih kosong maka
kateter kemudian ditarik keluar, pemasangan kateter intermitten dapat
dilakukan berulang jika tindakan ini diperlukan, tetapi penggunaan yang
berulang dapat meningkatkan risiko infeksi (Potter dan Perry, 2005).
Beberapa keuntungan penggunaan kateterisasi sementara yang
dikemukakan oleh Japardi (2000) antara lain:
a. Mencegah terjadinya tekanan intravesikal yang tinggi/overdistensi yang
mengakibatkan aliran darah ke mukosa kandung kemih dipertahankan
seoptimal mungkin.
b. Kandung kemih dapat terisi dan dikosongkan secara berkala seakan-akan
berfungsi normal.
c. Bila dilakukan secara dini pada penderita cidera medula spinalis, maka
penderita dapat melewati masa syok spinal secara fisiologis sehingga
feedback ke medula spinalis tetap terpelihara
d. Teknik yang mudah dan klien tidak terganggu kegiatan sehari harinya.
Namun, penggunanaan kateter sementara dapat menyebabkan kerugiaan
antara lain distensi kandung kemih, risiko trauma uretra akibat kateter yang
keluar masuk secara berulang, risiko infeksi akibat masuknya kuman-kuman
dari luar atau dari ujung distal uretra (flora normal) (Japardi, 2000)
3. Suprapubik catheter kadang-kadang digunakan untuk pemakaian secara
permanen. Cara memasukan kateter dengan jenis ini dengan membuat
sayatan kecil diatas suprapubik.
D. Indikasi
Tindakan kateterisasi dapat membantu pasien khususnya bila saluran kemih
tersumbat atau pasien tidak mampu melakukan urinasi karena adanya
gangguan pada otot sfingter (Brunner & Suddarth, 2000). Kateterisasi dapat
digunakan dengan indikasi lain yaitu: penderita kehilangan kesadaran;
persiapan operasi atau pasca operasi besar; pada kondisi terjadinya retensi
atau inkontinensia urine; penatalaksanaan pasien yang dirawat karena
trauma medula spinalis, gangguan neuromuskular, atau inkompeten kandung
kemih; atau jika dilakukan pencucian kandung kemih (Marelli, 2008).
Pemasangan kateter uretra menetap diindikasikan pada klien yang
mengalami retensi urine baik akut maupun kronis, untuk memonitoring “urine
output” pada operasi-operasi besar, obstruksi uretra, pasien inkontinensia
berat, pengosongan kandung kemih pada wanita yang akan melahirkan,
serta pasien yang mengalami disorientasi berat. Sedangkan kateterisasi
sementara dapat digunakan untuk penatalaksanaan jangka panjang pada
klien yang mengalami cidera medula spinalis, degenerasi atau kandung
kemih yang tidak kompeten, pengambilan spesimen urine steril, tindakan
diagnostik untuk mengetahui urine residu setelah pengosongan kandung
kemih, dan meredakan rasa tidak nyaman akibat distensi kandung kemih
(Perry & Potter, 2005).
E. Kontraindikasi
Kateter tidak boleh dipasang pada pasien yang dicurigai adanya trauma
uretra yang ditandai dengan gejala keluarnya darah dari uretra, hematom
yang luas pada daerah perineal serta adanya perubahan letak prostat pada
colok dubur. Pemasangan kateter urine pada keadaan ini ditakutkan akan
terjadi salah jalur sehingga dapat menyebabkan cidera ataupun dapat
menambah parahnya cidera. Selain itu, pasien yang mampu berkemih secara
spontan tidak boleh dilakukan pemasangan kateter (Brunner & Suddarth,
2000).
F. Komplikasi
Adanya kateter dalam saluran kemih dapat menimbulkan infeksi. Separuh
dari pasien yang menggunakan kateter urine dalam waktu dua minggu dapat
memungkinkan terjadinya kolonisasi bakteri atau bakteriuria, dan akan
semakin meningkat pada pemasangan kateter yang lebih lama. Pemasangan
kateter akan menurunkan sebagian besar daya tahan alami pada saluran
kemih bagian bawah, mengiritasi mukosa kandung kemih dan menimbulkan
jalur masuknya kuman ke dalam kandung kemih.
Penanganan kateter yang salah dapat menyebabkan kerusakan mukosa
kandung kemih pada pasien. Mukosa kandung kemih yang rusak pada
pasien dapat menyebabkan terjadinya infeksi. Hal tersebut, dapat
menyebabkan terjadinya bakteriemia dan dapat menyebabkan kematian
(Utama, 2006).
G. Tujuan Kateterisasi Perkemihan
Kateterisasi bertujuan untuk menghilangkan ketidaknyamanan karena
distensi kandung kemih; mendapatkan urine steril untuk pemeriksaan,
pengkajian residu urine; menghasilkan drainase pascaoperatif pada kandung
kemih, daerah vagina atau prostat; mengatasi obstruksi aliran urine;
mengatasi retensi atau inkontinensia urine; atau menyediakan cara-cara
untuk memantau pengeluaran urine setiap jam pada pasien yang sakit berat
(Brunner & Suddarth, 2000).
H. Perawatan Kateterisasi
Brunner & Suddarth (2000) menyatakan bahwa tindakan perawatan yang
khusus sangat penting untuk mencegah infeksi pada pasien yang terpasang
kateter. Adapun tindakan perawatan yang harus dilakukan yaitu sebagai
berikut:
1. Tindakan mencuci tangan dilakukan ketika berpindah dari pasien yang
satu ke pasien lainnya saat memberikan perawatan dan saat sebelum serta
sesudah menangani setiap bagian dari kateter atau sistem drainase untuk
mengurangi penularan infeksi. Teknik mencuci tangan yang harus dilakukan
dengan benar. Saanin (2000), menegaskan bahwa teknik aseptik harus
dipertahankan terutama saat perawatan kateter untuk mencegah kontaminasi
dengan mikroorganisme.
2. Perawatan perineum harus sering diberikan yaitu mencuci daerah
perineum dengan sabun dan air dua kali sehari atau sesuai kebutuhan klien
dan setelah defekasi. Sabun dan air efektif mengurangi jumlah
mikroorganisme sehingga dapat mencegah kontamisasi terhadap uretra.
3. Kateter urin harus dicuci dengan sabun dan air paling sedikit dua kali
sehari; gerakan yang membuat kateter bergeser maju-mundur harus dihindari
untuk mencegah iritasi pada kandung kemih ataupun orifisium internal uretra
yang dapat menimbulkan jalur masuknya kuman ke dalam kandung kemih.
Kateter dapat mempermudah bakteri untuk masuk ke dalam kandung kemih.
4. Mencegah pengumpulan urine dalam selang dengan menghindari selang
terlipat atau tertekuk. Hindari memposisikan klien di atas selang. Monitor
adanya bekuan darah atau sedimen yang dapat menyumbat selang
penampung. Urin di dalam kantung drainase merupakan tempat yang sangat
baik untuk pertumbuhan bakteri. Bakteri dapat masuk dari tempat
penampungan urine ke dalam kandung kemih. Selain itu, apabila urin ini
kembali mengalir ke dalam kandung kemih klien, kemungkinan akan terjadi
infeksi lebih besar.
5. Mencegah refluks urin ke dalam kandung kemih dengan mempertahankan
kantung drainase lebih rendah dari ketinggian kandung kemih klien. Untuk itu
kantung digantungkan pada kerangka tempat tidur tanpa menyentuh lantai.
Jangan pernah menggantung kantung drainase di pengaman tempat tidur
karena kantung tersebut dapat dinaikkan tanpa sengaja sampai
ketinggiannya melebihi kandung kemih. Apabila perlu meninggikan kantung
selama memindahkan klien ke tempat tidur atau ke sebuah kursi roda, mula-
mula klem selang atau kosongkan isi selang ke dalam kantung drainase. Jika
klien hendak berjalan, perawat atau klien harus membawa kantung urine di
bawah pinggang klien. Sebelum melakukan latihan atau ambulasi, keluarkan
semua urine dalam selang ke dalam kantung drainase.
6. Kantung penampung tidak boleh menyentuh lantai. Kantong dan selang
drainase harus segera diganti apabila terjadi kontaminasi, aliran urin
tersumbat dan tempat persambungan selang dengan kateter mulai bocor, hal
tersebut dapat mencegah perkembangan bakteri.
7. Kantong urin harus dikosongkan sekurang-kurangnya setiap delapan jam
melalui katup (klep) drainase. Klep terletak di bagian dasar kantung yang
merupakan alat untuk mengosongkan kantung urine. Apabila tercatat bahwa
haluaran urine banyak, kosongkan kantung dengan lebih sering untuk
mengurangi risiko proliferasi bakteri. Pengosongan kandung kemih secara
periodik akan membersihkan urin residu (media kultur yang sangat baik untuk
perkembangan bakteri) dan dapat melancarkan suplai darah ke dinding
kandung kemih sehingga tingkat infeksi dapat berkurang.
8. Jangan melepaskan sambungan kateter, kecuali bila akan dibilas untuk
mencegah masuknya bakteri. Perhatian harus diberikan untuk memastikan
bahwa selang drainase tidak terkontaminasi. Apabila sambungan selang
drainase terputus, jangan menyentuh bagian ujung kateter atau selang.
Bersihkan ujung selang dengan larutan desinfektan sebelum
menyambungnya kembali.
9. Kateter urin tidak boleh dilepas dari selang untuk mengambil sampel urin;
mengirigasi kateter; memindahkan atau mengubah posisi pasien untuk
mencegah kontaminasi bakteri dari luar.
10. Mengambil urin untuk pemeriksaan harus menggunakan teknik aseptik.
11. Kateter tidak boleh terpasang lebih lama dari yang diperlukan. Jika
kateter harus dibiarkan selama beberapa hari atau beberapa minggu maka
kateter tersebut harus diganti secara periodik sekitar semingu sekali.
Semakin jarang kateter diganti, risiko infeksi semakin tinggi. Perawatan
tempat masuknya kateter dapat dilakukan dengan cara pencucian dan
pemberian salep antibiotik/antiseptik setiap hari.
I. Informasi Kesehatan Untuk Klien
Pemberian informasi kesehatan kepada klien penting untuk mendukung
upaya perawat dalam pencegahan infeksi akibat pemasangan kateter.
Informasi kesehatan yang dapat diberikan kepada klien yang terpasang
kateter adalah:
1. Menganjurkan klien untuk minum 2500ml/hari atau lebih kurang 8-12 gelas
perhari untuk membantu kelancaran drainase. Minum cukup air adalah untuk
mengencerkan konsentrasi bakteri didalam kandung kemih dan tidak terjadi
kotoran yang bisa mengendap dalam kateter. Radith (2001), menyatakan
bahwa peningkatan hidrasi akan membilas bakteri.
2. Menginformasikan dan mengajarkan keluarga cara membersihkan
kemaluan yaitu mulai dari depan ke arah belakang, hal ini bertujuan untuk
mengurangi masuknya bakteri dari daerah anus ke area saluran kencing.
3. Menginformasikan kepada klien dan/atau keluarga agar tidak menarik-
narik selang karena dapat menimbulkan aliran balik urin ke dalam kandung
kemih yang akan mencetuskan terjadinya infeksi.
4. Menginformasikan pada klien tentang cara berbaring di tempat tidur: jika
miring menghadap sistem drainase; kateter dan selang pada tempat tidur
tidak terlipat, terlentang; kateter dan selang diplester di atas paha, miring
menjauh dari sistem; kateter dan selang berada di antara kaki.
BAB III
STANDAR OPERASIONAL DAN PROSEDUR
A. Standar operasional dan prosedur kataterisasi pada pria
Pengertian Suatu tindakan perawatan pada daerah genitalia yang terpasang kateter
Dokumentasi
C. Removal Kateter
STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)
JUDUL:
REMOVAL KATETER
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Perawatan kateter adalah suatu tindakan keperawatan dalam memelihara
kateter dengan antiseptik untuk membersihkan ujung uretra dan selang
kateter bagian luar serta mempertahankan kepatenan posisi kateter.
Perawatan ini berguna untuk mencegah timbulnya infeksi serta memberikan
rasa nyaman pada klien. Sehingga dengan perawatan kateter yang baik
dapat mengurangi kejadian ISK di rumah sakit yang disebabkan oleh kateter.
Sedangkan Melepas kateter adalah Melepas drainage urine pada pasien
yang dipasang kateter.
B. Saran
Untuk mempertahankan eliminasi pada klien dengan tepat maka diharapkan
perawatan secara komprehensif mampu mengatasi penyebaran infeksi yang
disebabkan oleh pemasangan kateter. Perlu ditingkatkan perawatan kateter
secara tepat untuk menghindari keadaan klien yang semakin memburuk dan
dapat memberikan klien rasa yang nyaman terhadap pemasangan kateter.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth , 2000. Buku Ajar Keperawatan Medikal – Bedah.
Terjemahan Suzanne C. Smeltzer. Edisi 8. Vol 8. Penerbit Buku
Kedokteran EGC: Jakarta
Hidayat, A. Aziz Alimun. 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia:
Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan, Jakarta: Salemba Medika
Potter & Perry (2005) Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses &
Praktek. Edisi 4. Vol 1. Jakarta : EGC
Dokumentasi
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Perawatan kateter adalah suatu tindakan keperawatan dalam memelihara
kateter dengan antiseptik untuk membersihkan ujung uretra dan selang
kateter bagian luar serta mempertahankan kepatenan posisi kateter.
Perawatan ini berguna untuk mencegah timbulnya infeksi serta memberikan
rasa nyaman pada klien. Sehingga dengan perawatan kateter yang baik
dapat mengurangi kejadian ISK di rumah sakit yang disebabkan oleh kateter.
Sedangkan Melepas kateter adalah Melepas drainage urine pada pasien
yang dipasang kateter.
B. Saran
Untuk mempertahankan eliminasi pada klien dengan tepat maka diharapkan
perawatan secara komprehensif mampu mengatasi penyebaran infeksi yang
disebabkan oleh pemasangan kateter. Perlu ditingkatkan perawatan kateter
secara tepat untuk menghindari keadaan klien yang semakin memburuk dan
dapat memberikan klien rasa yang nyaman terhadap pemasangan kateter.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth , 2000. Buku Ajar Keperawatan Medikal – Bedah.
Terjemahan Suzanne C. Smeltzer. Edisi 8. Vol 8. Penerbit Buku
Kedokteran EGC: Jakarta
Hidayat, A. Aziz Alimun. 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia:
Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan, Jakarta: Salemba Medika
Potter & Perry (2005) Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses &
Praktek. Edisi 4. Vol 1. Jakarta : EGC