Anda di halaman 1dari 46

LEMBAR PENGESAHAN

Nama /NIM : Nadya Hambali (406151061)


Vini Fortunata (406151072)
Fakultas : Kedokteran
Universitas : Universitas Tarumanagara Jakarta
Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter
Bidang Pendidikan : Ilmu Kesehatan Geriatri
Periode Kepaniteraan Klinik : 17 Juli 19 Agustus 2017
Judul : Katarak, Glaukoma, dan Retinopati Diabetes
Diajukan : 22 Juli 2017
Pembimbing : dr. Suryani

TELAH DIPERIKSA DAN DISAHKAN TANGGAL: .


Pembimbing Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Panti Werda Kristen Hana
Mengetahui,

Kepala Instalasi Ilmu Geriatri Pembimbing


Panti Werda Kristen Hana

dr. Noer Saelan Tadjudi, Sp. KJ dr. Suryani Subadri

Kepaniteraan Klinik Ilmu Geriarti


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 17 Juli 19 Agustus 2017 Page 1
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan
anugerah-Nya referat berjudul Katarak ,Glaukoma, dan Retinopati Diabetes ini dapat
diselesaikan.
Adapun maksud penyusunan referat ini adalah dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan
klinik Ilmu Geriatri di Panti Werda Kristen Hana periode 15 Juli 19 Agustus 2017.
Pada kesempatan ini pula, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. dr. Suryani Subadri selaku pembimbing dalam pembuatan referat ini.
2. dr. Noer Saelan, Sp. KJ selaku Kepala SMF Ilmu Kesehatan Jiwa RSK Jiwa Dharma Graha
3. dr. Is, dr. Lina selaku dokter pengajar dan paramedis maupun staf di Panti Werda Kristen
Hana serta semua pihak yang turut serta membantu baik dalam penyusunan referat,
membimbing dan menyediakan fasilitas yang diperlukan dalam penyelesaian referat ini yang
tidak dapat saya sebutkan satu per satu.
Tim penulis menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini masih banyak terdapat
kesalahan dan kekurangan. Oleh sebab itu saran dan kritik sangat diharapkan untuk
menyempurnakan referat ini.
Akhir kata semoga referat ini berguna baik bagi kami sendiri, rekan-rekan di tingkat
klinik, pembaca, Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara, serta semua pihak yang
membutuhkan.

Jakarta, Juli 2017

Tim Penyusun

Kepaniteraan Klinik Ilmu Geriarti


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 17 Juli 19 Agustus 2017 Page 2
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ...........................................................................................................1


KATA PENGANTAR ....................................................................................................................2
DAFTAR ISI...................................................................................................................................3
BAB 1 PENDAHULUAN ..............................................................................................................5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................................6
2.1 Katarak ...................................................................................................................................6
2.1.1 Definisi ..........................................................................................................................6
2.1.2 Etiologi ..........................................................................................................................7
2.1.3 Patofisiologi ...................................................................................................................7
2.1.4 Klasifikasi ......................................................................................................................8
2.1.5 Manifestasi ..................................................................................................................12
2.1.6 Diagnosa ......................................................................................................................14
2.1.7 Komplikasi ..................................................................................................................14
2.1.8 Penatalaksanaan ...........................................................................................................14
2.1.9 Pencegahan dan Prognosis ..........................................................................................16
2.2 Glaukoma .............................................................................................................................17
2.2.1 Definisi ........................................................................................................................17
2.2.2 Klasifikasi ....................................................................................................................18
2.2.3 Etiologi ........................................................................................................................18
2.2.4 Insidensi .......................................................................................................................19
2.2.5 Patogenesis ..................................................................................................................19
2.2.6 Gejala Klinis ................................................................................................................19
2.2.7 Diagnosis .....................................................................................................................20
2.2.8 Pemeriksaan Fisik ........................................................................................................22
2.2.9 Penatalaksanaan ...........................................................................................................25
2.2.10 Prognosis .....................................................................................................................28
BAB 3 KESIMPULAN ...............................................................................................................35
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................36

Kepaniteraan Klinik Ilmu Geriarti


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 17 Juli 19 Agustus 2017 Page 3
Kepaniteraan Klinik Ilmu Geriarti
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 17 Juli 19 Agustus 2017 Page 4
BAB 1

PENDAHULUAN

Dengan semakin bertambahnya usia, terjadi proses alami yang tidak dapat dihindari. Proses
alami ditandai dengan menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan
mempertahankan fungsi normalnya. Banyak organ yang terganggu fungsinya akibat proses
penuaan ini, salah satunya adalah mata. Kelainan mata yang banyak dialami oleh orang berusia
lanjut seperti katarak, glaukoma, dan retinopati diabetes.

Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi
(penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa atau akibat kedua-duanya. Katarak terjadi
perlahan-lahan sehingga penglihatan penderita terganggu secara berangsur.

Pada tahun 2002, World Health Organization memprediksi katarak sebagai penyebab
kebutaan yang dapat disembuhkan pada 17 juta (47,8%) dari 37 juta kebutaan di seluruh dunia.
Diprediksi pada tahun 2020 mencapai 40 juta.

Selain katarak, glaukoma adalah penyakit mata yang juga sering timbul pada lansia.
Glaukoma merupukan penyebab kebutaan kedua setelah katarak. Di Indonesia, glaukoma
diderita oleh 3% dari total populasi penduduk. Umumnya, glaukoma diderita pada orang berusia
lanjut, tingkat resiko meningkat sekitar 10% pada orang usia diatas 50 tahun.

Glaukoma ditandai oleh meningkatnya tekanan intraokular yang disertai oleh pencekungan
diskus optikus dan pengecilan lapangan pandang. Penatalaksanaan glaukoma sebaiknya
dilakukan oleh ahli oftalmologi, tetapi besar masalah dan pentingnya deteksi kasus-kasus
asimtomatik mengharuskan adanya kerjasama dengan bantuan dari semua petugas kesehatan.

Pada pasien diabetes, salah satu komplikasi mikrovaskular pada mata adalah retinopati
diabetes. Kelainan ini disebabkan oleh penimbunan glukosa dan fruktosa yang merusak
pembuluh darah halus pada retina. Pada retinopati diabetes proliferatif 50% pasien biasanya buta
sesudah 5 tahun, regresi spontan dapat pula terjadi. Maka pemeriksaan funduskopi rutin
diperlukan untuk mencegah perkembangan kelainan ini.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Geriarti


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 17 Juli 19 Agustus 2017 Page 5
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Katarak

2.1.1 Definisi Katarak1,3,4


Katarak berasal dari Yunani Katarrhakies, Inggris Cataract, Latin Cataracta yang
berarti air terjun. Dalam bahasa Indonesia disebut blur dimana seperti tertutup air terjun akibat
lensa yang keruh. Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat
hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa, proses penuaan.
Kekeruhan ini menyebabkan sulitnya cahaya untuk mencapai retina, sehingga penderita
katarak mengalami gangguan penglihatan dimana objek terlihat kabur. Mereka mengidap
kelainan ini mungkin tidak menyadari telah mengalami gangguan katarak apabila kekeruhan
tidak terletak dibagian tengah lensanya.

Gambar 1. Katarak Pada Lensa


Gangguan penglihatan yang dirasakan oleh penderita katarak tidak terjadi secara instan,
melainkan terjadi berangsur-angsur, sehingga penglihatan penderita terganggu secara tetap atau
penderita mengalami kebutaan. Katarak tidak menular dari satu mata ke mata yang lain, namun
dapat terjadi pada kedua mata secara bersamaan.
Katarak biasanya berkembang lambat selama beberapa tahun dan pasen mungkin
meninggal sebelum diperlukan pembedahan. Apabila diperlukan pembedahan maka
pengangkatan lensa akan memperbaii ketajaman penglihtan pada > 90% kasus.sisanya mungkin
mengalami kerusakan retina atau mengalami penyulit pasca bedah serius misalnya glaukoma,
ablasio retina, atau infesi yang menghambat pemulihan daya pandang.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Geriarti
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 17 Juli 19 Agustus 2017 Page 6
2.1.2 Etiologi4
Sebagian besar katarak terjadi karena proses degeneratif atau bertambahnya usia
seseorang. Usia rata-rata terjadinya katarak adalah pada umur 60 tahun keatas. Akan tetapi,
katarak dapat pula terjadi pada bayi karena sang ibu terinfeksi virus pada saat hamil muda.
Penyebab katarak lainnya meliputi:
a. Faktor keturunan
b. Cacat bawaan sejak lahir
c. Masalah esehatan, misalnya diabetes
d. Pengguanaan obat tertentu, khususnya steroid
e. Gangguan pertumbuhan
f. Mata tanpa pelindung terkena sinar matahari dalam waktu yang cukup lama
g. Asap rokok
h. Operasi mata sebelumnya
i. Trauma (kecelakaan) pada mata
j. Faktor-faktor lainnya yang belum diketahui

2.1.3 Patofisiologi3,4
Terdapat 2 teori yang menyebabkan terjadinya katarak yaitu teori hidrasi dan sklerosis.
Teori hidrasi terjadi kegagalan mekanisme pompa aktif pada epitel lensa yang berada di
subkapsular anterior, sehingga air tidak dapat dikeluarkan dari lensa. Air yang banyak ini akan
menimbulkan bertambahnya tekanan osmotik yangmenyebabkan kekeruhan lensa.
Teori sklerosis lebih banyak terjadi pada lensa manula dimana serabutkolagen terus
bertambah sehingga terjadi pemadatan serabut kolagendi tengah. Makin lama serabut tersebut
semakin bertambah banyak sehingga terjadilah sklerosis nukleus lensa.
Perubahan yang terjadi pada lensa usia lanjut:
1. Kapsula
a. Menebal dan kurang elastic (1/4 dibanding anak)
b. Mulai presbiopia
c. Bentuk lamel kapsul berkurang atau kabur
d. Terlihat bahan granular

Kepaniteraan Klinik Ilmu Geriarti


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 17 Juli 19 Agustus 2017 Page 7
2. Epitel
a. Sel epitel (germinatif pada ekuator bertambah besar dan berat)
b. Bengkak dan vakuolisasi mitokondria yang nyata
3. Serat lensa
a. Serat irregular
b. Pada korteks jelas kerusakan serat sel
c. Brown sclerotic nucleu, sinar UV lama kelamaan merubah proteinnukelus
lensa, sedang warna coklat protein lensa nucleusmengandung histidin dan
triptofan disbanding normal.
d. Korteks tidak berwarna karenai kadar asam askorbat tinggi dan menghalangi
foto oksidasi.
Sinar tidak banyak mengubah protein pada serat muda. Perubahan fisik dan kimia dalam
lensa mengakibatkan hilangnya transparasi, akibat perubahan pada serabut halus multipel yang
memanjang dari badan siliar ke sekitar daerah di luar lensa, misalnya menyebabkan penglihatan
mengalami distorsi. Pada protein lensa menyebabkan koagulasi, sehingga mengakibatkan
pandangan dengan penghambatan jalannya cahaya ke retina.

2.1.4 Klasifikasi Katarak3,4


A. Menurut kejadian
1. Katarak Developmental
2. Katara Degeneratif
B. Menurut Umur
1. Katarak kongenital
2. katarak juvenil
3. katarak senil
C. Menurut Konsistensi
1. Katarak cair
2. Katarak lunak
3. Katarak keras
D. Menurut lokasi kekeruhannya

Kepaniteraan Klinik Ilmu Geriarti


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 17 Juli 19 Agustus 2017 Page 8
1. Katarak nukleus
2. Katarak kortikal
3. Katarak subskapular
E. Menurut warna
1. Katarak nigra ( Hitam)
2. Katarak rubra (Merah)
3. Katarak Brusnesecent (coklat)
F. Menurut bentuk kekeruhan
1. Katarak pungtata
2. Katarak stelata
3. Katarak linier

KATARAK DEGENERATIF4
Katarak degenerative (senil) adalah semua kekeruhan yang terdapat pada usia
lanjut, yaitu usia 50 tahun ke atas. Penyebabnya sampai sekarang tidak diketahui secara
pasti.

Gambar 2. Katarak Senilis


Perubahan lensa pada usia lanjut :
o Kapsul : menebal dan kurang elastis (1/4 dibanding anak), mulai presbiopia,
bentuk lamel kapsul berkurang atau kabur, terlihat bahan granular.
o Epitel: sel epitel pada equator bertambah berat dan besar, bengkak dan vakuolisasi
mitokhondria yang nyata

Kepaniteraan Klinik Ilmu Geriarti


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 17 Juli 19 Agustus 2017 Page 9
o Serat lensa : lebih iregular, pada korteks jelas kerusakan serat sel, brown slerosis
nucleus , sinar UV lama kelamaan merubah protein nukleus lensa, korteks tidak
bewarna.
Kekeruhan lensa dengan nukleus yang mengeras akibat usia lanjut yang biasanya mulai
terjadi pada usia lebih dari 60 tahun. Pada katarak senil sebaiknya disingkarkan penyakit
mata lokal dan penyakit sistemik seperti diabetes mellitus yang dapat menimbulkan
katarak komplikata.
Secara klinis katarak senilis dapat dibagi dalam 4 stadium, yaitu :
Stadium Insipien
Pada stadium ini belum menimbulkan gangguan visus. Visus pada stadium
ini bisa normal atau 6/6 6/20. Dengan koreksi, visus masih dapat 5/5 5/6.
Kekeruhan terutamaterdapat pada bagian perifer berupa bercak-bercak seperti baji
(jari-jari roda), terutama mengenai korteks anterior, sedangkan aksis masih
terlihat jernih. Gambaran ini disebut Spokes of wheel, yang nyata bila pupil
dilebarkan.

Stadium Imatur
Sebagian lensa keruhtetapi belum mengenai seluruh lapis lensa. Visus
pada stadium ini 6/60 1/60. Kekeruhan ini terutama terdapat dibagian posterior
dan bagian belakang nukleus lensa. Kalau tidak ada kekeruhan di lensa, maka
sinar dapat masuk ke dalam mata tanpa ada yang dipantulkan. Oleh karena
kekeruhan berada di posterior lensa, maka sinar oblik yang mengenai bagian yang
keruh ini, akan dipantulkan lagi, sehingga pada pemeriksaan terlihat di pupil, ada
daerah yang terang sebagai reflek pemantulan cahaya pada daerah lensa yang eruh
dan daerah yang gelap, akibat bayangan iris pada bagian lensa yang keruh.
Keadaan ini disebut shadow test (+).

Pada stadium ini mungkin terjadi hidrasi korteks yang mengakibatkan


lensa menjadi cembung, sehingga indeks refraksi berubah karena daya biasnya
bertambah dan mata menjadi miopia. Keadaan ini dinamakan intumesensi.
Dengan mencembungnya lensa iris terdorong kedepan, menyebabkan sudut bilik

Kepaniteraan Klinik Ilmu Geriarti


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 17 Juli 19 Agustus 2017 Page 10
mata depan menjadi lebih sempit, sehingga dapat menimbulkan glaukoma sebagai
penyulitnya.

Stadium Matur
Kekeruhan telah mengenai seluruh massa lensa, sehingga semua sinar
yang melalui pupil dipantulkan kembali ke permukaan anterior lensa. Kekeruhan
seluruh lensa yang bila lama akan mengakibatkan klasifikasi lensa. Visus pada
stadium ini 1/300. Bilik mata depan akan berukuran kedalaman normal kembali,
tidak terdapat bayangan iris pada lensa yang keruh, sehingga uji bayangan iris
negatif (shadow test (-) ). Di pupil tampak lensa seperti mutiara.

Stadium Hipermatur
Pada stadium hipermatur terjadi proses degenerasi lanjut yang dapat
menjadi keras atau lembek dan mencair. Massa lensa yang berdegenerasi keluar
dari kapsul lensa sehingga lensa menjadi mengecil, bewarna kuning dan kering.
Visus pada stadium ini 1/300 1/~. Pada pemeriksaan terlihat bilik mata dalam
dan lipatan kapsul lensa. Kadang-kadang pengkerutan berjalan terus sehingga
berhubungan dengan zonula zinii menjadi kendur. Bila proses kekeruhan berjalan
lanjut disertai kapsul yang tebal maka korteks yang berdegenerasi dan cair tidak
dapat keluar, maka korteks akan memperlihtkan bentuk sebagai sekantung susu
disertai dengan nukleus yang terbenam di dalam korteks lensa karena lebih berat.
Keadaan ini disebut katarak morgagni.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Geriarti


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 17 Juli 19 Agustus 2017 Page 11
Perbedaan stadium katarak senil :

Tabel 1. Stadium Maturitas pada Katarak

2.1.5 Manifestasi Klinik3,4


Katarak didiagnosis terutama dengan gejala subjektif. Biasanya,pasien
melaporkan penurunan ketajaman fungsi penglihatan, silau, dan gangguan fungsional
sampai derajat tertentu yang diakibatkan karena kehilangan penglihatan tadi, temuan
objektif biasanya meliputi pengembunan seperti mutiara keabuan pada pupil sehingga
retina tak akan tampak dengan oftalmoskop. Ketika lensa sudah menjadi opak, cahaya
akan dipendarkan dan bukannya ditransmisikan dengan tajam menjadi bayangan terfokus
pada retina. Hasilnya adalah pandangan kabur atau redup, menyilaukan yang
menjengkelkan dengan distorsi bayangan dan susah melihat di malam hari. Pupil yang
normalnya hitam, akan tampak kekuningan, abu-abu atau putih. Katarak biasanya terjadi

Kepaniteraan Klinik Ilmu Geriarti


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 17 Juli 19 Agustus 2017 Page 12
bertahap selama bertahun-tahun, dan ketika katarak sudah sangat memburuk, lensa
koreksi yang lebih kuat pun tak akan mampu memperbaiki penglihatan.
Manifestasi dari gejala yang dirasakan oleh pasien penderita katarak terjadi secara
progresif dan merupakan proses yang kronis. Gangguan penglihatan bervariasi,
tergantung pada jenis dari katarak yang diderita pasien.
Gejala pada penderita katarak adalah sebagai berikut:
1. Penurunan visus
2. Silau
3. Perubahan miopik
4. Diplopia monocular
5. Halo bewarna
6. Bintik hitam di depan mata

Gambar 3. Perbandingan penglihatan normal dan katarak

Kepaniteraan Klinik Ilmu Geriarti


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 17 Juli 19 Agustus 2017 Page 13
2.1.6 Diagnosa3,4
Diagnosa katarak senilis dapat dibuat dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan laboratorium preoperasi dilakukan untuk mendeteksi adanya penyakit-penyakit
yang menyertai, seperti DM, hipertensi, dan kelainan jantung.
Pada pasien katarak sebaiknya dilakukan pemeriksaan visus untuk mengetahui kemampuan
melihat pasien. Visus pasien dengan katarak subcapsuler posterior dapat membaik dengan
dilatasi pupil. Pemeriksaan adneksa okuler dan struktur intraokuler dapat memberikan petunjuk
terhadap penyakit pasien dan prognosis penglihatannya.
Pemeriksaan slit lamp tidak hanya difokuskan untuk evaluasi opasitas lensa tetapi dapat juga
struktur okuler lain, misalnya konjungtiva, kornea, iris, bilik mata depan. Ketebalan kornea harus
diperiksa dengan hati-hati, gambaran lensa harus dicatat dengan teliti sebelum dan sesudah
pemberian dilator pupil, posisi lensa dan intergritas dari serat zonular juga dapat diperiksa sebab
subluksasi lensa dapat mengidentifikasi adanya trauma mata sebelumnya, kelainan metabolik,
atau katarak hipermatur. Pemeriksaan shadow test dilakukan untuk menentukan stadium pada
katarak senilis. Selain itu, pemeriksaan ofthalmoskopi direk dan indirek dalam evaluasi dari
intergritas bagian belakang harus dinilai.

2.1.7 Komplikasi4
Bila katarak dibiarkan maka akan terjadi komplikasi berupa glaucoma dan uveitis.
Glaukoma adalah peningkatan abnormal tekanan intraokuler yang menyebabkan atrofi saraf
optik dan kebutaan bila tidak teratasi. Uveitis adalah inflamasi salah satu struktur traktus uvea.

2.1.8 Penatalaksanaan3,4
Penatalaksanaan definitif untuk katarak senilis adalah ekstraksi lensa. Bergantung pada
integritas kapsul lensa posterior, ada 2 tipe bedah lensa yaitu intra capsuler cataract ekstraksi
(ICCE) dan ekstra capsuler cataract ekstraksi (ECCE). Berikut ini akan dideskripsikan secara
umum tentang tiga prosedur operasi pada ekstraksi katarak yang sering digunakan yaitu ICCE,
ECCE, dan phacoemulsifikasi.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Geriarti


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 17 Juli 19 Agustus 2017 Page 14
1. Intra Capsular Cataract Extraction (ICCE)
Tindakan pembedahan dengan mengeluarkan seluruh lensa bersama kapsul.
Seluruh lensa dibekukan di dalam kapsulnya dengan cryophake dan depindahkan dari
mata melalui incisi korneal superior yang lebar. Sekarang metode ini hanya dilakukan
hanya pada keadaan lensa subluksatio dan dislokasi. Pada ICCE tidak akan terjadi
katarak sekunder dan merupakan tindakan pembedahan yang sangat lama
populer.ICCE tidak boleh dilakukan atau kontraindikasi pada pasien berusia kurang
dari 40 tahun yang masih mempunyai ligamen hialoidea kapsular. Penyulit yang dapat
terjadi pada pembedahan ini astigmatisme, glukoma, uveitis, endoftalmitis, dan
perdarahan.
2. Extra Capsular Cataract Extraction ( ECCE )
Tindakan pembedahan pada lensa katarak dimana dilakukan pengeluaran isi lensa
dengan memecah atau merobek kapsul lensa anterior sehingga massa lensa dan kortek
lensa dapat keluar melalui robekan. Pembedahan ini dilakukan pada pasien katarak
muda, pasien dengan kelainan endotel, implantasi lensa intra ocular posterior,
perencanaan implantasi sekunder lensa intra ocular, kemungkinan akan dilakukan
bedah glukoma, mata dengan prediposisi untuk terjadinya prolaps badan kaca, mata
sebelahnya telah mengalami prolap badan kaca, ada riwayat mengalami ablasi retina,
mata dengan sitoid macular edema, pasca bedah ablasi, untuk mencegah penyulit pada
saat melakukan pembedahan katarak seperti prolaps badan kaca. Penyulit yang dapat
timbul pada pembedahan ini yaitu dapat terjadinya katarak sekunder.
3. Phacoemulsification
Phakoemulsifikasi (phaco) adalah teknik untuk membongkar dan memindahkan
kristal lensa. Pada teknik ini diperlukan irisan yang sangat kecil (sekitar 2-3mm) di
kornea. Getaran ultrasonic akan digunakan untuk menghancurkan katarak, selanjutnya
mesin PHACO akan menyedot massa katarak yang telah hancur sampai bersih.
Sebuah lensa Intra Okular yang dapat dilipat dimasukkan melalui irisan tersebut.
Karena incisi yang kecil maka tidak diperlukan jahitan, akan pulih dengan sendirinya,
yang memungkinkan pasien dapat dengan cepat kembali melakukan aktivitas sehari-

Kepaniteraan Klinik Ilmu Geriarti


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 17 Juli 19 Agustus 2017 Page 15
hari.Tehnik ini bermanfaat pada katarak kongenital, traumatik, dan kebanyakan
katarak senilis

Gambar 4. Mekanisme Facoemulsification

2.1.9 Pencegahan dan Prognosis


Pencegahan katarak ditujukan pada faktor risiko yang dapat dimodifikasi. Dokter harus
menggunakan steroid pada dosis terapeutik yang paling kecil dan dihentikan saat keadaan pasien
sudah memungkinkan. Pasien yang menggunakan steroid jangka panjang (topikal atau sistemik)
harus diskrining untuk katarak. Pasien disarankan untuk berhenti merokok, menghindari paparan
sinar ultraviolet dengan menggunakan kacamata saat berada diluar ruangan, dan menghindari
trauma pada mata dengan cara menggunakan kacamata atau alat pelindung mata pada pekerja
industri. Kemungkinan dari penggunaan antioksidan untuk memberikan efek proteksi terhadap
katarak telah diteliti, tetapi hasilnya tidak bersifat konklusif.
Prognosis katarak adalah baik dengan lebih dari 95% pasien mengalami perbaikan visual
setelah dilakukan operasi. Prognosis visual pada pasien anak yang mengalami katarak dan
menjalani operasi tidak sebaik pada pasien dengan katarak yang berhubungan dengan umur.
Prognosis untuk perbaikan kemampuan visual paling buruk pada katarak kongenital unilateral
yang dioperasi dan paling baik pada katarak kongenital bilateral inkomplit yang bersifat
progresif lambat. Prognosis pasien dengan katarak sekunder biasanya baik dengan laser YAG.4

Kepaniteraan Klinik Ilmu Geriarti


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 17 Juli 19 Agustus 2017 Page 16
2.2 Glaukoma
2.2.1 Definisi
Glaukoma adalah suatu penyakit dimana gambaran klinik yang lengkap ditandai oleh
peninggian tekanan intraokular dan degenerasi papil saraf optik serta dapat menimbulkan
skotoma (kehilangan lapangan pandang).2
Tekanan intraokular ditentukan oleh kecepatan pembentukan humor akueus dan tahanan
terhadap aliran keluarnya dari mata. Tekanan intraokular dianggap normal bila kurang dari 20
mmHg pada pemeriksaan dengan tonometer aplanasi yang dinyatakan dengan tekanan air raksa.2
Glaukoma sudut terbuka adalah glaukoma yang penyebabnya tidak ditemukan dan
ditandai dengan sudut bilik mata depan yang terbuka. 2,3

Gambar 5: Glaukoma

Kepaniteraan Klinik Ilmu Geriarti


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 17 Juli 19 Agustus 2017 Page 17
2.2.2 Klasifikasi
Klasifikasi Vaughen untuk glaucoma adalah sebagai berikut: 1,2
1. Glaukoma primer
- Glaukoma sudut terbuka (glaucoma simpleks)
- Glaukoma sudut sempit
2. Glaukoma kongenital
- Primer atau infantil
- Menyertai kelainan kongenital lainnya
3. Glaukoma sekunder
- Perubahan lensa
- Kelainan uvea
- Trauma
- Bedah
- Rubeosis
- Steroid dan lainnya
4. Glaukoma absolut

2.2.3 Etiologi
Penyakit yang ditandai dengan peninggian tekanan intraokular ini disebabkan:
- Bertambahnya produksi cairan mata oleh badan siliar
- Berkurangnya pengeluaran cairan mata di daerah sudut bilik mata atau dicelah
pupil (glaukoma hambatan pupil)
Glaukoma sudut terbuka etiologi tidak pasti, dimana tidak didapatkan kelainan yang
merupakan penyebab glaukoma.2,3Glaukoma ini didapatkan pada orang yang telah memiliki
bakat bawaan glaukoma, seperti:3
1. Bakat dapat berupa gangguan fasilitas pengeluaran cairan mata atau susunan anatomis
bilik mata yang menyempit.
2. Mungkin disebabkan kelainan pertumbuhan pada sudut bilik mata depan (
goniodisgenesis), berupa trabekulodisgenesis, iridodisgenesis dan korneodisgenesis dan
yang paling sering berupa trabekulodisgenesis dan goniodisgenesis.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Geriarti


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 17 Juli 19 Agustus 2017 Page 18
Glaukoma sudut terbuka sering terjadi setelah usia 40 tahun, tetapi kadang terjadi pada
anak-anak. Penyakit ini cenderung diturunkan dan paling sering ditemukan pada penderita
diabetes atau miopia. Glaukoma sudut terbuka lebih sering terjadi dan biasanya penyakit ini lebih
berat jika diderita oleh orang kulit hitam.2,3,4

2.2.4 Insidensi
Di Indonesia, glaukoma diderita oleh 3% dari total populasi penduduk. Umumnya
penderita glaukoma telah berusia lanjut. Pada usia 50 tahun, tingkat resiko menderita glaukoma
meningkat sekitar 10 %. Hampir separuh penderita glaukoma tidak menyadari bahwa mereka
menderita penyakit tersebut. 5
Glaukoma sudut terbuka adalah bentuk glaukoma yang tersering dijumpai, sekitar 0,4-
0,7% orang berusia lebih dari 40 tahun dan 2-3% orang berusia lebih dari 70 tahun diperkirakan
mengidap glaukoma sudut terbuka.1

2.2.5 Patogenesis
Sudut bilik mata dibentuk dari jaringan korneosklera dengan pangkal iris. Pada keadaan
fisiologis bagian ini terjadi pengaliran keluar cairan bilik mata. Berdekatan dengan sudut ini
didapatkan jaringan trabekulum, kanal Schlemm, garis Schwalbe dan jonjot iris. Pada sudut
filtrasi terdapat garis Schwalbe yang merupakan akhir perifer endotel dan membran desemet,
kanal schlemn yang menampung cairan mata ke salurannya.
Sudut filtrasi berbatas dengan akar iris berhubungan dengan sklera kornea dan disini
ditemukan sklera spur yang membuat cincin melingkar 360 derajat dan merupakan batas
belakang sudut filtrasi serta tempat insersi otot siliar longitudinal. Anyaman trabekula mengisi
kelengkungan sudut filtrasi yang mempunyai dua komponen yaitu badan siliar dan uvea.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Geriarti


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 17 Juli 19 Agustus 2017 Page 19
Gambar 6. Aliran akueous humor
Tekanan intraokular ditentukan oleh kecepatan terbentuknya cairan mata (akueus humor)
bola mata oleh badan siliar dan hambatan yang terjadi pada jaringan trabekular meshwork.
Akueus humor yang dihasilkan badan siliar masuk ke bilik mata belakang, kemudian melalui
pupil menuju ke bilik mata depan dan terus ke sudut bilik mata depan, tepatnya ke jaringan
trabekulum, mencapai kanal Schlemm dan melalui saluran ini keluar dari bola mata. Pada
glaukoma kronik sudut terbuka, hambatannya terletak pada jaringan trabekulum maka akan
terjadi penimbunan cairan bilik mata di dalam bola mata sehingga tekanan bola mata meninggi.
Pada glaukoma akut hambatan terjadi karena iris perifer menutup sudut bilik depan, hingga
jaringan trabekulum tidak dapat dicapai oleh akueus.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Geriarti


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 17 Juli 19 Agustus 2017 Page 20
Gambar 7. Patogenesis sumbatan pada glaukoma
2.2.6 Gejala Klinis
Glaukoma disebut sebagai pencuri penglihatan karena berkembang tanpa ditandai
dengan gejala yang nyata. Oleh karena itu, separuh dari penderita glaukoma tidak menyadari
bahwa mereka menderita penyakit tersebut. Biasanya nanti diketahui disaat penyakitnya sudah
lanjut dan telah kehilangan penglihatan.2,5,7
Glaukoma primer yang kronis dan berjalan lambat sering tidak diketahui bila mulainya,
karena keluhan pasien amat sedikit atau samar. Misalnya mata sebelah terasa berat, kepala
pening sebelah, kadang-kadang penglihatan kabur dengan anamnesa tidak khas. Pasien tidak
mengeluh adanya halo dan memerlukan kacamata koreksi untuk presbiopia lebih kuat dibanding
usianya. Kadang-kadang tajam penglihatan tetap normal sampai keadaan glaukomanya sudah
berat.3 Pada akhirnya akan terjadi penyempitan lapang pandang yang menyebabkan penderita
sulit melihat benda-benda yang terletak di sisi lain ketika penderita melihat lurus ke depan.4
Glaukoma sudut tertutup akut terjadi bila jalan keluar akuos humor tiba-tiba tertutup,
yang akan menyebabkan rasa sakit yng berat dengan tekanan bola mata yang tinggi. Hal ini
merupakan keadaan darurat yang gawat. Penglihatan berkabut dan menurun, enek dan muntah,
hal ini sekitar sinar, mata cerah dan mata terasa bengkak.2

Kepaniteraan Klinik Ilmu Geriarti


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 17 Juli 19 Agustus 2017 Page 21
2.2.7 Diagnosis
Pada anamnesa tidak khas, seperti mata sebelah terasa berat, kepala pening sebelah,
kadang-kadang penglihatan kabur. Pasien tidak mengeluh adanya halo dan memerlukan
kaca mata koreksi untuk presbiopia lebih kuat dibanding usianya.3
Pemeriksaan Tonometri6
Pemeriksaan lapang pandangan 6
Pada glaukoma yang masih dini, lapang pandangan perifer belum menunjukkan kelainan,
tetapi lapang pandangan sentral sudah menunjukkan adanya bermacam-macam skotoma.
Jika glaukomanya sudah lanjut, lapang pandangan perifer juga memberikan kelainan
berupa penyempitan yang dimulai dari bagian nasal atas.
Pemeriksaan oftalmoskopi 6
Pada glaukoma sudut terbuka, didalam saraf optik didapatkan kelainan degenerasi yang
primer, yaitu disebabkan oleh insufisiensi vaskuler.
Pemeriksaan gonioskopi 6
Pada glaukoma sudut terbuka sudutnya normal. Pada stadium yang lanjut, bila telah
timbul goniosinechiae (perlengketan pinggir iris pada kornea atau trabekula) maka sudut
dapat tertutup.
Tes provokasi 6
tes minum air kenaikan tensi 8-9 mmHg, mencurigakan, 10 mmHg pasti patologis
tes steroid kenaikan 8 mmHg menunjukkan glaukoma
pressure congestive test kenaikan 9 mmHg atau lebih, mencurigakan. Sedangkan
11 mmHg pasti patologis.
2.2.8 Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan tekanan bola mata 3,6,8
Pemeriksaan tekanan bola mata yang dilakukan dengan tanometer dinamakan tonometri.
Tindakan ini dapat dilakukan oleh dokter umum dan dokter spesialis lainnya.
Pengukuran tekanan bola mata sebaiknya dilakukan pada setiap orang berusia di atas 20
tahun pada saat pemeriksaan fisik medik secara umum. Beberapa alat tonometer seperti alat
tonometer Schiotz dan tonometer aplanasi Goldman.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Geriarti


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 17 Juli 19 Agustus 2017 Page 22
a. Tonometri Schiotz
Tonometer Schiotz merupakan alat yang praktis sederhana. Pengukuran tekanan bola
mata dinilai secara tidak langsung dengan teknik melihat daya tekan alat pada kornea karena itu
dinamakan juga tonometri indentasi Schiotz.
Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien ditidurkan dengan posisi horizontal dan mata
ditetesi dengan obat anestesi topikal atau pantokain 0,5%. Penderita diminta melihat lurus ke
suatu titik di langit-langit, atau penderita diminta melihat lurus ke salah satu jarinya, yang
diacungkan, di depan hidungnya. Pemeriksa berdiri di sebelah kanan penderita. Dengan ibu jari
tangan kiri kelopak mata digeser ke atas tanpa menekan bola mata; jari kelingking tangan kanan
yang memegang tonometer, menyuai kelopak inferior. Dengan demikian celah mata terbuka
lebar. Perlahan-lahan tonometer diletakkan di atas kornea.
Tonometer Schiotz kemudian diletakkan di atas permukaan kornea, sedang mata yang lainnya
berfiksasi pada satu titik di langit-langit kamar penderita. Jarum tonometer akan menunjuk pada
suatu angka di atas skala.

b. Tonometer Aplanasi
Cara mengukur tekanan intraokular yang lebih canggih dan lebih dapat dipercaya dan
cermat bias dikerjakan dengan Goldman/Draeger.
Pasien duduk di depan lampu celah. Pemeriksaan hanya memerlukan waktu beberapa
detik setelah diberi anestesi. Yang diukur adalah gaya yang diperlukan untuk mamapakan daerah
kornea yang sempit.
Setelah mata ditetesi dengan anestesi dan flouresein, prisma tonometer aplanasi di taruh
pada kornea. Mikrometer disetel untuk menaikkan tekanan pada mata sehingga gambar sepasang
setengah lingkaran yang simetris berpendar karena flouresein tersebut. Ini menunjukkan bahwa
di semua bagian kornea yang bersinggungan dengan alat ini sudah papak (teraplanasi). Dengan
melihat melalui mikroskop lampu celah dan dengan memutar tombol, ujung dalam kedua
setengah lingkaran yang berpendar tersebut diatur agar bertemu yang menunjukkan besarnya
tekanan intraokular. Dengan ini selesailah pemeriksaan tonometer aplanasi dan hasil
pemeriksaan dapat dibaca langsung dari skala mikrometer dalam mmHg.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Geriarti


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 17 Juli 19 Agustus 2017 Page 23
c. Tonometri Digital
Pemeriksaan ini adalah untuk menentukan tekanan bola mata dengan cepat yaitu dengan
memakai ujung jari pemeriksa tanpa memakai alat khusus (tonometer). Dengan menekan bola
mata dengan jari pemeriksa diperkirakan besarnya tekanan di dalam bola mata. Pemeriksaan
dilakukan dengan cara sebagai berikut :
Penderita disuruh melihat ke bawah
Kedua telunjuk pemeriksa diletakkan pada kulit kelopak tarsus atas penderita
Jari-jari lain bersandar pada dahi penderita
Satu telunjuk mengimbangi tekanan sedang telunjuk lain menekan bola mata.
Penilaian dilakukan dengan pengalaman sebelumnya yang dapat menyatakan tekanan
mata N+1, N+2, N+3 atau N-1, N-2, N-3 yang menyatakan tekanan lebih tinggi atau lebih rendah
daripada normal.
Cara ini sangat baik pada kelainan mata bila tonometer tidak dapat dipakai atau dinilai
seperti pada sikatrik kornea, kornea irregular dan infeksi kornea. Cara pemeriksaan ini
memerlukan pengalaman pemeriksaan karena terdapat faktor subyektif.

2.Gonioskopi 3,6,8
Gonioskopi adalah suatu cara untuk melihat langsung keadaan patologik sudut bilik mata,
juga untuk melihat hal-hal yang terdapat pada sudut bilik mata seperti benda asing. Dengan
gonioskopi dapat ditentukan klasifikasi glaukoma penderita apakah glaukoma terbuka atau
glaukoma sudut tertutup.

3.Oftalmoskopi 3,6
Oftalmoskopi, pemeriksaan ke dalam mata dengan memakai alat yang dinamakan
oftalmoskop. Dengan oftalmoskop dapat dilihat saraf optik di dalam mata dan akan dapat
ditentukan apakah tekanan bola mata telah mengganggu saraf optik. Saraf optik dapat dilihat
secara langsung. Warna serta bentuk dari mangok saraf optik pun dapat menggambarkan ada
atau tidak ada kerusakan akibat glaukoma yang sedang diderita.
Kelainan pada pemeriksaan oftalmoskopi dapat dilihat : 8
Kelainan papil saraf optik, atrofi

Kepaniteraan Klinik Ilmu Geriarti


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 17 Juli 19 Agustus 2017 Page 24
Kelainan serabut retina, serat yang pucat atau atrofi akan berwarna hijau
Tanda lainnya seperti perdarahan peripapilar.

2.2.9 Penatalaksanaan
I. Medikamentosa 6
Glaukoma primer merupakan masalah terapi pengobatan. Pemberian pengobatan
medikamentosa harus dilakukan terus-menerus, karena itu sifat obat-obatnya harus mudah
diperoleh dan mempunyai efek sampingnya sekecil-kecilnya. Harus dijelaskan kepada penderita
dan keluarga, bahwa perlu pemeriksaan dan pengobatan seumur hidup. Obat-obat ini hanya
menurunkan tekanan intraokularnya, tetapi tidak menyembuhkan penyakitnya. Minum sebaiknya
sedikit-sedikit. Tidak ada bukti bahwa tembakau dan alkohol dapat mempengaruhi glaukoma.

Obat-obat yang dipakai :


1.Parasimpatomimetik : miotikum, memperbesar outflow
a. Pilokarpin 2-4%, 3-6 dd 1 tetes sehari
b. Eserin -1/2 %, 3-6 dd 1 tetes sehari
Kalau dapat pemberiannya disesuaikan dengan variasi diurnal, yaitu diteteskan pada waktu
tekanan intraokular menaik. Eserin sebagai salep mata dapat diberikan malam hari.
Efek samping dari obat-obat ini; meskipun dengan dosis yang dianjurkan hanya sedikit yang
diabsorbsi kedalam sirkulasi sistemik, dapat terjadi mual dan nyeri abdomen. Dengan dosis yang
lebih tinggi dapat menyebabkan: keringat yang berlebihan, salivasi, tremor, bradikardi, hipotensi.

2. Simpatomimetik : mengurangi produksi humor akueus


Epinefrin 0,5%-2%, 2 dd 1 tetes sehari.
Efek samping : pingsan, menggigil, berkeringat, sakit kepala, hipertensi.

3. Beta-blocker, menghambat produksi humor akueus.


Timolol maleat 0,25-0,5% 1-2 dd tetes, sehari.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Geriarti


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 17 Juli 19 Agustus 2017 Page 25
Efek samping : hipotensi, bradikardi, sinkop, halusinasi, kambuhnya asma, payah jantung
kongestif. Nadi harus diawasi terus. Pada wanita hamil, harus dipertimbangkan dulu masak-
masak sebelum memberikannya. Pemberian pada anak belum dapat dipelajari.
Obat ini tidak atau hanya sedikit, menimbulkan perubahan pupil, gangguan visus, gangguan
produksi air mata, hiperemi. Dapat diberikan bersama dengan miotikum. Ternyata dosis yang
lebih tinggi dari 0,5% dua kali sehari satu tetes, tidak menyebabkan penurunan tekanan
intraokular yang lebih lanjut.

4. Carbon anhydrase inhibitor (penghambat karbonanhidrase), menghambat produksi humor


akueus.
Asetazolamide 250 mg, 4 dd 1 tablet ( diamox, glaupax).
Pada pemberian obat ini timbul poliuria
Efek samping : anoreksi, muntah, mengantuk, trombositopeni, granulositopeni, kelainan ginjal.
Obat-obat ini biasanya diberikan satu persatu atau kalau perlu dapat dikombinasi. Kalau tidak
berhasil, dapat dinaikkan frekuensi penetesannya atau prosentase obatnya, ditambah dengan obat
tetes yang lain atau tablet.
Monitoring semacam inilah yang mengharuskan penderita glaukoma sudut terbuka selalu
dikelola oleh dokter dan perlu pemeriksaan yang teratur.

II. Operasi 8
Prinsip operasi : fistulasi, membuat jalan baru untuk mengeluarkan humor akueus, oleh karena
jalan yang normal tak dapat dipakai lagi.
Pembedahan pada glaukoma :
1. Bedah filtrasi
Bedah filtrasi dilakukan tanpa perlu pasien dirawat dengan memberi anestesi lokal
kadang-kadang sedikit obat tidur.
Dengan memakai alat sangat halus diangkat sebagian kecil sklera sehingga terbentuk
suatu lubang. Melalui celah sclera yang dibentuk cairan mata akan keluar sehingga tekanan bola
mata berkurang, yang kemudian diserap di bawah konjungtiva. Pasca bedah pasien harus

Kepaniteraan Klinik Ilmu Geriarti


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 17 Juli 19 Agustus 2017 Page 26
memakai penutup mata dan mata yang dibedah tidak boleh kena air. Untuk sementara pasien
paska bedah glaukoma dilarang bekerja berat.

2. Trabekulektomi
Teknik bedah untuk mengalirkan cairan melalui saluran yang ada. Pada trabekulektomi
ini cairan mata tetap terbentuk normal akan tetapi pengaliran keluarnya dipercepat atau
salurannya diperluas.
Bedah trabekulektomi membuat katup sklera sehingga cairan mata keluar dan masuk di
bawah konjungtiva. Untuk mencegah jaringan parut yang terbentuk diberikan 5 fluoruracil atau
mitomisin. Dapat dibuat lubang filtrasi yang besar sehingga tekanan bola mata sangat menurun.
Pembedahan ini memakan waktu tidak lebih dari 30 menit. Setelah pembedahan perlu
diamati 4-6 minggu pertama. Untuk melihat keadaan tekanan mata setelah pembedahan.

3. Bedah filtrasi dengan implan


Saat ini dikenal operasi dengan menanam bahan penolong pengaliran.
Pada keadaan tertentu adalah tidak mungkin untuk membuat filtrasi secara umum
sehingga perlu dibuatkan saluran buatan (artificial) yang ditanamkan ke dalam mata untuk
drainase cairan keluar.

4. Siklodestruksi
Tindakan ini adalah mengurangkan produksi cairan mata oleh badan siliar yang masuk ke
dalam bola mata. Diketahui bahwa cairan mata ini dikeluarkan terutama oleh pembuluh darah di
badan siliar dalam bola mata. Pada siklodestruksi dilakukan pengrusakan sebagian badan siliar
sehingga pembentukan cairan mata berkurang. Jarang dilakukan karena biasanya tindakan bedah
utama adalah bedah filtrasi.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Geriarti


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 17 Juli 19 Agustus 2017 Page 27
2.2.10 Prognosis
Meskipun tidak ada obat yang dapat menyembuhkan glaukoma, pada kebanyakan kasus
glaukoma dapat dikendalikan. Glaukoma dapat dirawat dengan obat tetes mata, tablet, operasi
laser atau operasi mata. Menurunkan tekanan pada mata dapat mencegah kerusakan penglihatan
lebih lanjut. Oleh karena itu semakin dini deteksi glaukoma maka akan semakin besar tingkat
kesuksesan pencegahan kerusakan mata.

2.3 Retinopati diabetikum


2.3.1 Definisi
Retinopati diabetik adalah suatu mikroangiopati progresif yang ditandai oleh kerusakan dan
sumbatan pembuluh darah halus yang meliputi arteriol prekapiler retina, kapiler-kapiler dan
vena-vena. Retinopati akibat diabetes melitus lama berupa aneurismata, melebarnya vena,
perdarahan, dan eksudat lemak. Gambaran retinopati disebabkan perubahan mikrovaskular
retina. Hiperglikemia mengakibatkan kematian perisit intra mural dan penebalan membran
basalis mengakibatkan dinding pembuluh darah lemah. Penimbunan glukosa dan fruktosa
merusak pembuluh darah halus pada retina.

Gambar 2. Normal Retina dibandingkan Retinopati Diabetik


2.3.2 Epidemiologi
Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan yang paling sering di jumpai, terutama di
negara barat. Kira-kira 1 dari 900 orang berusia 25 tahun mengidap diabetes dan kira-kira 1 dari

Kepaniteraan Klinik Ilmu Geriarti


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 17 Juli 19 Agustus 2017 Page 28
25 orang berusia 60 tahun adalah penyandang diabetes. Retinopati diabetik jarang ditemukan
pada anak-anak dibawah umur 10 tahun tanpa memperhatikan lamanya diabetes. Resiko
berkembangnya retinopati meningkat setelah pubertas. Dalam urutan penyebab kebutaan secara
global, retinopathy DM menempati urutan ke-4 setelah katarak, glaukoma, dan degenerasi
makula (AMD=age-related macular degeneration).
Angka kejadian retinopati diabetik dipengaruhi tipe diabetes melitus dan durasi penyakit. Pada
DM tipe I (insulin dependent atau juvenile DM), yang disebabkan oleh kerusakan sel beta pada
pankreas, umumnya pasien berusia muda (kurang dari 30 tahun), retinopati diabetik ditemukan
pada 13 persen kasus yang sudah menderita DM selama kurang dari 5 tahun, yang meningkat
hingga 90 persen setelah DM diderita lebih dari 10 tahun.
Pada DM tipe 2 (non-insulin dependent DM), yang disebabkan oleh resistennya berbagai organ
tubuh terhadap insulin (biasanya menimpa usia 30 tahun atau lebih), retinopati diabetik
ditemukan pada 24-40 persen pasien penderita DM kurang dari 5 tahun, yang meningkat hingga
53-84 persen setelah menderita DM selama 15-20 tahun.

2.3.3 Patogenesis
Penyebab pasti retinopati diabetik belum diketahui. Tetapi diyakini bahwa lamanya terpapar
terhadap keadaan hiperglikemia dapat menyebabkan perubahan fisiologis dan biokimia yang
akhirnya menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah. Hal ini didukung oleh hasil
pengamatan bahwa tidak terjadi retinopati pada orang muda dengan diabetes tipe 1 paling sedikit
3-5 tahun setelah awitan penyakit ini. Hasil serupa telah diperoleh pada diabetes tipe 2, tetapi
pada pasien ini onset dan lama penyakit lebih sulit ditentukan secara tepat.
Perubahan abnormalitas sebagian besar anatomis, hematologi dan biokimia telah
dihubungkan dengan prevalensi dan beratnya retinopati antara lain:
Perubahan anatomis
o Capilaropathy
Degenerasi dan hilangnya sel-sel perisit
Proliferasi sel endotel
Penebalam membrane basalis
o Sumbatan microvaskuler

Kepaniteraan Klinik Ilmu Geriarti


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 17 Juli 19 Agustus 2017 Page 29
Arteriovenous shunts
Intraretinal microvascular abnormalities (IRMA)
Neovaskularisasi
Angiogenic growth factor yang menyebabkan pembentukan pembuluh
darah baru pada retina dan discus opticus (pada retinopati diabetik
proliferatif) atau pada iris (rubeosis iridis)
Perubahan hematologi:
o Peningkatan sifat agregasi trombosit dan peningkatan agregasi eritrosit yang
meningkatkan abnormalitas serum dan viskositas darah.
o Abnormalitas lipid serum
o Fibrinolisis yang tidak sempurna
o Abnormalitas dari sekresi growth hormone
Perubahan biokimia
o Jalur poliol
Hiperglikemia yang berlangsung lama akan menyebabkan produksi berlebihan
serta akumulasi dari poliol, yaitu senyawa gula dan alkohol, dalam jaringan
termasuk di lensa dan saraf optik. Salah satu sifat dari senyawa poliol adalah tidak
dapat melewati membran basalis sehingga akan tertimbun dalam jumlah banyak
didalam sel. Senyawa poliol menyebabkan peningkatan tekanan osmotik sel dan
menimbulkan gangguan morfologi maupun fungsional sel.
o Glikasi nonenzimatik
Glikasi nonenzimatik terhadap protein dan DNA yang terjadi selama hiperglikemi
dapat menghambat aktivitas enzim dan keutuhan DNA. Protein yang
teroglikosilasi membentuk radikal bebas dan akan menyebabkan perubahan fungsi
sel.
o Protein kinase C
Protein kinase C (PKC) diketahui memiliki pengaruh terhadap pemeabilitas
vascular, kontraktilitas, sintesis membrana basalis dan proliferasi sel vaskular.
Dalam kondisi hiperglikemia aktivitas PKC di retina dan sel endotel meningkat

Kepaniteraan Klinik Ilmu Geriarti


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 17 Juli 19 Agustus 2017 Page 30
akibat peningkatan sintesis de novo dari diasilgliserol, suatu regulator PKC yang
berasal dari glukosa.

Faktor lain yang terkait dengan diabetes mellitus yang dapat mempengaruhi prognosis
dari retinopati diabetik seperti;
Arteriosklerosis dan hipertensi
Hipoglikemia atau trauma yang dapat menimbulkan perdarahan mendadak
Hiperlipoproteinemi, mempengaruhi arteriosklerosis sehingga mempercapat perjalanan
penyakit
Kehamilan pada penderita diabetes juvenile yang tergantung pada insulin dapat
menimbulkan perdarahan dan proliferasi.

Frank RN mengemukakan beberapa hipotesis mengenai mekanisme patogenesis


retinopati diabetik:
Tabel 1: Hipotesis mengenai mekanisme patogenesis retinopati diabetik
Mekanisme Cara Kerja Terapi
Aldose reduktase Meningkatkan produksi sorbitol, menyebabkan Aldose reduktase
kerusakan sel inhibitor
Inflamasi Meningkatkan perlekatan leukosit pada Aspirin
endotel kapiler, hipoksia, kebocoran, edema
macula
Protein Kinase C Mengaktifkan VEGF, diaktifkan oleh DAG Inhibitor terhadap PKC
pada hiperglikemia -isoform
Reactive oxygen Menyebabkan kerusakan enzim dan komponen Antioksidan
species sel yang penting untuk survival
Advanced Mengaktifkan enzim yang merusak Aminoguanidin
glycation end-
product
Nitric oxide Meningkatkan produksi radikal bebas, Aminoguanidin

Kepaniteraan Klinik Ilmu Geriarti


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 17 Juli 19 Agustus 2017 Page 31
syntase menghambat ekspresi gen, menyebabkan
hambatan dalam metabolisme sel
Apoptosis sel Penurunan aliran darah ke retina, meingkatkan
perisit dan sel hipoksia
endotel
VEGF Meningkatkan hipoksia retina, menimbulkan Fotokoagulasi pan retinal
kebocoran, edema macula, neovaskularisasi
PEDF Menghambat vaskularisasi, menurun pada
hiperglikemia
GH dan IGF-1 Merangsang neovaskularisasi Hipofisektomi, GH-
receptor blocker,
octreotide

Growth hormone
Growth hormone diduga berperan penting pada progresifitas diabetik retinopathy.
Kejadian retinopathy DM ternyata sangat rendah pada wanita dengan perdarahan post partum
akibat nekrosis pituitari. Penemuan ini memicu dilakukannya ablatio kelenjar pituitari sebagai
tindakan pencegahan dan pengobatan pada retinopathy DM pada tahun 1950. Teknik pengobatan
tersebut sudah dilarang karena ternyata menimbulkan komplikasi sistemik dan seiring
ditemukannya teknik pengobatan laser.

Platelets dan blood viscosity


Berbagai kelainan hematologi pada DM seperti peningkatan agregasi eritrosit, penurunan
deformability eritrosit, meningkatnya agregasi trombosit dan adhesi memicu gangguan sirkulasi,
defek endotel dan oklusi kapiler fokal yang menyebabkan iskemia retina yang pada akhirnya
berkembang menjadi retinopathy DM.

Aldose reductase dan vasoproliferative factors


DM menyebabkan abnormalitas dari metabolisme glukosa akibat aktivitas atau produksi
insulin yang menurun. Meningkatnya kadar glukosa darah mempunyai dampak pada perubahan

Kepaniteraan Klinik Ilmu Geriarti


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 17 Juli 19 Agustus 2017 Page 32
anatomis dan fungsional dari kapiler retina. Pada DM terjadi persistensi kadar glukosa darah
yang tinggi menyebabkan glukosa yang berlebih dalam aldose reductase pathway terbentuk di
jaringan, yang mengubah gula menjadi alkohol (glukosa menjadi sorbitol, galaktosa menjadi
dulcitol). Perisit intramural pada kapiler retina terkena pengaruh dari peningkatan kadar gula
darah oleh karena kadar aldosteron reduktse yang tinggi memicu hilangnya fungsi utama dari
perisit dalam hal autoregulasi kapiler retina. Hilangnya fungsi dari perisit menyebabkan
kelemahan dinding kapiler sehingga terbentuk kantung pada dinding kapiler (saccular
outpouching of capillary walls) yang dikenal sebagai mikroaneurisma. Mikroaneurisma
merupakan tanda paling awal untuk deteksi retinopathy DM.

Gambar 3. Fundus pada Background Retinopathy DM dengan gambaran multipel mikroaneurisma


(Bhavsar, 2009)

Ruptur mikroaneurisma menyebabkan perdarahan retina yang dapat terjadi superfisial


(flame-shaped hemorrhages) atau pada lapisan retina yang lebih dalam (blot and dot
hemorrhages).

Kepaniteraan Klinik Ilmu Geriarti


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 17 Juli 19 Agustus 2017 Page 33
Gambar 4. Background diabetik retinopathy: blot hemorrhages (kepala panah), mikroaneurisma
(panah pendek) dan hard exudates (panah panjang) (Bhavsar, 2009)

Peningkatan permeabilitas yang terjadi menyebabkan kebocoran cairan dan material


protein yang secara klinis tampak sebagai penebalan retina dan eksudat. Apabila pembengkakan
dan eksudasi mencakup makula maka terjadi penurunan visus. Edema makula adalah penyebab
tersering penurunan visus pada pasien dengan nonproliferative diabetik retinopathy (NPDR).
Gejala tersebut tidak hanya ditemukan pada pasien denan NPDR namun juga dapat terjadi pada
pasien proliferative diabetik retinopathy (PDR).
Intraretinal microvascular abnormalities (IRMA) menandakan adanya proses
pertumbuhan pembuluh darah baru atau remodelling dari pembuluh darah sebelumnya melalui
proliferasi endotel pada jaringan retina yang berperan sebagai pintas (shunt) melalui daerah non
perfusi.

Gambar 5. Neovaskularisasi pada Permukaan Retina (Bhavsar, 2009)

Neovaskularisasi sering ditemukan pada perbatasan area perfusi dan non perfusi dan juga pada
papila nervi opticus. Neovaskularisasi tumbuh menembus permukaan retina dan ke dalam
hyaloid posterior (the scaffold of the posterior hyaloid face). Pembuluh darah baru tersebut
jarang menimbulkan gangguan visual. Pembuluh darah tersebut rapuh dan bersifat sangat
permeabel sehingga gampang pecah oleh traksi vitreus yang menyebabkan perdarahan ke dalam
vitreus dan ruang pre retina.Neovaskularisasi ini berhubungan dengan pembentukan jaringan
fibroglial. Densitas dari neovaskular meningkat begitu pula dengan jaringan fibrotik namun pada
tahapan yang lebih lanjut pembuluh darah ini mengalami regresi dan meninggalkan jaringan
fibrotik avaskuler yang melekat pada retina dan hyaloid posterior. Pada saat terjadi kontraksi

Kepaniteraan Klinik Ilmu Geriarti


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 17 Juli 19 Agustus 2017 Page 34
vitreus makan terjadi traksi pada retina melalui jaringan fibroglial yang dapat menyebabkan
edema retina, heterotropia retina dan tractional retinal detachments serta retinal tear formation.
2.3.4 Klasifikasi
Berkaitan dengan prognosis dan pengobatan, DR menurut Early Treatment Diabetik Retinopathy
Study dibagi menjadi:

Gambar 6. Stadium Retinopati Diabetik

1. Retinopati Diabetik Non Proliferatif, atau dikenal juga dengan Background Diabetik
Retinopathy. Ditandai dengan: mikroaneurisma, perdarahan retina, eksudat, IRMA, dan
kelainan vena
a. Minimal: terdapat 1 tanda berupa dilatasi vena, mikroaneurisma, perdarahan
intraretina yang kecil atau eksudat keras
b. Ringan-sedang: terdapat 1 tanda berupa dilatasi vena derajat ringan, perdarahan,
eksudat keras, cotton wool spots, IRMA
c. Berat: terdapat 1 tanda berupa perdarahan dan mikroaneurisma pada 4 kuadran
retina, dilatasi vena pada 2 quadran atau IRMA pada 1 quadran
d. Sangat berat: ditamukan 2 tanda pada derajat berat.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Geriarti
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 17 Juli 19 Agustus 2017 Page 35
2. Retinopati Diabetik Proliferatif. Ditandai dengan neovaskularisasi.
a. Ringan (tanpa resiko tinggi): bila ditemukan minimal adanya neovaskular pada
discus (NVD) yang mencakup < dari daerah diskus tanpa disertai perdarahan
preretina atau vitreus, atau neovaskularisasi dimana saja diretina (NVE) tanpa
disertai perdarahan preretina atau vitreus.
b. Berat (resiko tinggi): apabila ditemukan 3 atau 4 dari faktor resiko sebagai berikut
i. Ditemukan NVE
ii. Ditemukan NVD
iii. Pembuluh darah baru yang tergolong sedang atau berat yang mencakup >
daerah diskus
iv. Perdarahan vitreus
Adanya pembuluh darah baru yang jelas pada discus opticus atau setiap adanya
pembuluh darah baru yang disertai perdarahan, merupakan 2 gambaran yang
paling seing ditemukan pada retinopati proliferative resiko tinggi.

Airlie House Convention membagi DR menjadi 3:


1. Stadium nonproliferatif
2. Stadium preproliferatif
3. Stadium proliferatif

Pembagian stadium menurut Daniel Vaughan dkk:


Stadium I
Mikroaneurisma yang merupakan tanda khas, tampak sebagai perdarahan bulat kecil
didaerah papil dan macula
o Vena sedikit melebar
o Histologis didapatkan mikroaneurisma dikapiler bagian vena didaerah nuclear
luar
Stadium II
o Vena melebar

Kepaniteraan Klinik Ilmu Geriarti


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 17 Juli 19 Agustus 2017 Page 36
o Eksudat kecil-kecil, tampak seperti lilin, tersebar atau terkumpul seperti bunga
(rosette) yang secara histologis terletak didaerah lapisan plexiform luar
Stadium III
Stadium II dan cotton wool patches, sebagai akibat iskemia pada arteriol terminal.
Diduga bahwa cotton wool patches terdapat bila disertai retinopati hipertensif atau
arteriosklerose.
Stadium IV
Vena-vena melebar, cyanosis, tampak sebagai sosis, disertai dengan sheathing pembuluh
darah. Perdarahan nyata besar dan kecil, terdapat pada semua lapisan retina, dapat juga
preretina.
Stadium V
Perdarahan besar diretina dan preretina dan juga didalam badan kaca yang kemudian
diikuti dengan retinitis proliferans, akibat timbulnya jaringan fibrotic yang disebtai
dengan neovaskularisasi. Retinitis proliferans ini melekat pada retina yang bila
mengkerut dapat menimbulkan ablasi retina dan dapat mengakibatkan terjadinya
kebutaan total.
Klasifikasi menurut FKUI
Derajat I: terdapat mikroaneurisma dengan atau tanpa fatty exudates pada fundus okuli
Derajat II: terdapat mikroaneurisma, perdarahan bintik dan bercak dengan atau tanpa
fatty exudates pada fundus okuli
Derajat III: terdapat mikroaneurisma, perdarahan bintik dan bercak, neovaskularisasi,
proliferasi pada fundus okuli.
Jika gambaran fundus dikedua mata tidak sama, maka penderita tergolong pada derajat
berat.

2.3.5 Gejala Klinis


Gejala subjekif yang dapat ditemui berupa:
Kesulitan membaca
Penglihatan kabur
Penglihatan tiba-tiba menurun pada satu mata
Kepaniteraan Klinik Ilmu Geriarti
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 17 Juli 19 Agustus 2017 Page 37
Melihat lingkaran cahaya
Melihat bintik gelap dan kelap-kelip

Gejala objektif yang dapat ditemukan pada retina:


Mikroaneurisma, merupakan penonjololan dinding kapiler terutama daerah vena dengan
bentuk berupa bintik merah kecil yang terletak dekat pembuluh darah terutama polus
posterior
Perdarahan dapat dalam bentuk titik, daris dan becak yang biasanya terletak dekat
mikroaneurisma di polus posterior.
o Retinal nerve fiber layer haemorrhage (flame shapped). Terletak superficial,
searah dengan nerve fiber.
o Intraretinal haemorrhages. Dot-blot haemorrhage terletak pada end artery,
dilapisan tengah dan compact.
Dilatasi pembuluh darah dengan lumen yang ireguler dan berkelok-kelok
Hard exudates yang merupakam infiltrasi lipid kedalam retina. Gamabarannya kekuning-
kuningan, pada permulaan eksudat pungtata, membesar kemudian bergabung. Eksudat ini
dapat muncul dan hilang dalam beberapa minggu.
Soft exudates (cotton wool patches). Pada pemeriksaan oftalmoskopi akan terlihat becak
kuning bersifat difus dan berwarna putih. Biasanya terletak dibagian tepi daerah
nonirigasi dan dihubungkan dengan iskemia retina.
Neovaskularisasi. Terletak pada permukaan jaringan. Tampak sebagai pembuluh yang
berkelok-kelok, dalam, berkelompok, dan ireguler. Mula-mula terletak pada jaringan
retina, kemudian berkembang kearah preretinal, ke badan kaca. Jika pecah dapat
menimbulkan perdarahan retian, perdarahan subhialoid (preretinal) maupun perdarahan
badan kaca.
Edema retina dengan tanda hilangnya gambaran retina terutama daerah macula sehingga
sangat mengganggu tajam pengelihatan.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Geriarti


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 17 Juli 19 Agustus 2017 Page 38
Gambar 7.Moderate nonproliferative diabetik retinopathy dengan mikroaneurisma dan cotton-
wool spots (Ehlers, Shah, 2008)

Gambar 8.Proliferative Diabetik Retinopathy dengan neovaskularisasi dan scattered


microaneurysm (Ehlers, Shah, 2008)

Gambar 9. Proliferative Diabetik Retinopathy dengan neovaskularisasi pada diskus optikus


(Ehlers, Shah, 2008)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Geriarti


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 17 Juli 19 Agustus 2017 Page 39
Gambar 10. Nonproliferative Diabetik Retinopathy dengan edema macula signifikan
(Ehlers, Shah, 2008)

Gambar 11. Gambaran edema makula (Ehlers, Shah, 2008)

2.3.5 Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium
Glukosa puasa dan Hemoglobin A1c (HbA1c) merupakan tes laboratorium yang sangat
penting yang dilakukan untuk membantu mendiagnosis diabetes. Kadar HbA1c juga penting
pada follow-up jangka panjang perawatan pasien dengan diabetes dan retinopati diabetik.
Mengontrol diabetes dan mempertahankan level HbA1c pada range 6-7% merupakan sasaran
pada manajemen optimal diabetes dan retinopati diabetik. Jika kadar normal dipertahankan,
maka progresi dari retinopati diabetik bisa berkurang secara signifikan.

Pencitraan

Kepaniteraan Klinik Ilmu Geriarti


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 17 Juli 19 Agustus 2017 Page 40
Angiografi fluoresensi fundus (Fundus Fluorescein Angiography (FFA)) merupakan
pemeriksaan tambahan yang tidak terhingga nilainya dalam diagnosis dan manajemen
retinopathy DM :
o Mikroaneurisma akan tampak sebagai hiperfluoresensi pinpoint yang tidak
membesar tetapi agak memudar pada fase akhir tes.
o Perdarahan berupa noda dan titik bisa dibedakan dari mikroaneurisma karena
mereka tampak hipofluoresen.
o Area yang tidak mendapat perfusi tampak sebagai daerah gelap homogen yang
dikelilingi pembuluh darah yang mengalami oklusi.
o IRMA (Intra Retinal Microvascular Abnormality) tampak sebagai pembuluh
darah yang tidak bocor, biasanya ditemukan pada batas luar retina yang tidak
mendapat perfusi.

Gambar 12. Gambaran FFA pada Retinopathy DM

Tes lainnya
Tes yang lain meliputi optical coherence tomography (OCT), yang menggunakan cahaya
untuk menghasilkan bayangan cross-sectional dari retina. Uji ini digunakan untuk menentukan
ketebalan retina dan ada atau tidaknya pembengkakan di dalam retina akibat tarikan
vitreomakular. Tes ini juga digunakan untuk diagnosis dan penatalaksanaan edema makular
diabetik atau edema makular yang signifikan secara klinis.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Geriarti


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 17 Juli 19 Agustus 2017 Page 41
Gambar 13. Optical Coherence Tomography Menunjukaan Abnormalitas Ketebalan Retina

2.3.7 Penatalaksanaan
Perawatan Medis
Pengendalian glukosa: pengendalian glukosa secara intensif pada pasien dengan DM
tergantung insulin (IDDM) menurunkan insidensi dan progresi retinopathy DM. Walaupun tidak
ada uji klinis yang sama untuk pasien dengan DM tidak tergantung insulin (NIDDM), sangat
logis untuk mengasumsikan bahwa prinsip yang sama bisa diterapkan. Faktanya semua diabetes
(NIDDM dan IDDM) harus mempertahankan level hemoglobin terglikosilasi kurang dari 7%
untuk mencegah atau paling tidak meminimalkan kompilkasi jangka panjang dari DM termasuk
retinopathy DM.

Terapi Bedah
Diperkenalkannya fotokoagulasi laser pada tahun 1960an dan awal 1970an menyediakan
modalitas terapi noninvasif yang memiliki tingkat komplikasi yang relatif rendah dan derajat
kesuksesan yang signifikan. Metodenya adalah dengan mengarahkan energi cahaya dengan fokus
tinggi untuk menghasilkan respon koagulasi pada jaringan target. Pada nonproliferative diabetik
retinopathy (NPDR), terapi laser diindikasikan pada terapi CSME. Strategi untuk mengobati
edema macular tergantung dari tipe dan luasnya kebocoran pembuluh darah.
Jika edema adalah akibat dari kebocoran mikroaneurisma spesifik, pembuluh darah yang
bocor diterapi secara langsung dengan fotokoagulasi laser fokal.
Pada kasus dimana fokus kebocoran tidak spesifik, pola grid dari laser diterapkan.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Geriarti


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 17 Juli 19 Agustus 2017 Page 42
Terapi lainnya yang potensial untuk diabetik macular edema (DME) meliputi intravitreal
triamcinolone acetonide dan bevacizumab. Kedua medikasi ini bisa menyebabkan
penurunan atau resolusi macular edema.

Gambar 14. Laser Fotokoagulasi

Diet
Diet makan yang sehat dengan makanan yang seimbang penting untuk semua orang dan
terutama untuk pasien diabetes. Diet seimbang bisa membantu mencapai pengontrolan berat
badan yang lebih baik dan juga pengontrolan diabetes.

Aktivitas
Mempertahankan gaya hidup sehat dengan olah raga yang teratur penting untuk semua
individu, terutama individu dengan diabetes. Olah raga bisa membantu dengan menjaga berat
badan dan dengan absorpsi glukosa perifer. Hal ini dapat membantu meningkatkan kontrol
terhadap diabetes, dan dapat menurunkan komplikasi dari diabetes dan retinopathy DM.

Medikamentosa

Kepaniteraan Klinik Ilmu Geriarti


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 17 Juli 19 Agustus 2017 Page 43
Beberapa obat-obatan yang belum resmi digunakan untuk terapi retinopati diabetik. Obat-
obatan ini dimasukkan ke dalam mata melalui injeksi intravitreus. Intravitreal triamcinolone
digunakan dalam terapi edema makular diabetik.
Uji klinis dari Diabetik Retinopathy Clinical Research Network menunjukkan bahwa,
walaupun terjadi penurunan pada edema makular setelah triamcinolone intravitreal tetapi efek ini
tidak secepat yang dicapai dengan terapi laser fokal.Sebagai tambahan, triamcinolone intravitreal
bisa memiliki beberapa efek samping, seperti respon steroid dengan peningkatan tekanan
intraocular dan katarak.
Obat-obatan lain yang digunakan pada praktek klinis dan uji klinis meliputi bevacizumab
intravitreal dan ranibizuma. Obat-obatan ini merupakan fragmen antibodi dan antibodi VEGF.
Mereka bisa membantu mengurangi edema makular diabetik dan juga neovaskularisasi diskus
atau retina. Kombinasi dari beberapa obat-obatan ini dengan terapi laser fokal sedang
diinvestigasi dalam uji klinis.

2.3.8 Prognosis
Pasien DRNP minimal dengan hanya ditandai mikroaneurisma yang jarang memiliki
prognosis baik sehingga cukup dilakukan pemeriksaan ulang setiap 1 tahun.
Pasien yang tergolong DRNP sedang tanpa disertai oedema macula perlu dilakukan
pemeriksaan ulang setiap 6-12 bulan karena sering bersifat progresif.
Pasien DRNP derajat ringan sampai sedang dengan disertai edema macula yang secara
klinik tidak signifikan perlu dilakukan pemeriksaan ulang setiap 4-6 bulan karena dapat
berkembang menjadi clinically significant macular edema (CSME).
Untuk pasien DRNP dengan CSME harus dilakukan fotokoagulasi. Dengan terapi
fotokoagulasi, resiko kebutaan untuk grup pasien ini dapat berkurang 50%.
Pasien DRNP berat beresiko tinggi untuk menjadi DRP. Separuh dari pasien DRNP berat
akan berkembang menjadi DRP dalam 1 tahun adalah 75% dimana 45% diantaranya
tergolong DRP resiko tinggi. Oleh sebab itu pasien DRNP sangat berat perlu dilakukan
pemeriksaan ulangan tiap 3-4 bulan.
Pasien dengan DRP resiko tinggi harus segera diterapi fotokoagulasi. Teknik yang
dilakukan adalah scatter photocoagulation

Kepaniteraan Klinik Ilmu Geriarti


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 17 Juli 19 Agustus 2017 Page 44
Pasien DRP resiko tinggi yang disertai CSME terapi mula-mula menggunakan metode
focal atau panretinal (scatter). Oleh karena metode fotokoagulasi metode panretina dapat
menimbulkan eksaserbasi dari edema macula, maka untuk terapi dengan metode ini harus
dibagi menjadi 2 tahap.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Geriarti


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 17 Juli 19 Agustus 2017 Page 45
BAB 3

KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo A.W, Setiyohadi B, et al. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 5th edition. Interna
Publishing.

2. Darmajo B. 2014. Geriatri, 5th edition. Jakarta: FK UI

3. Kane RL, Ouslander JG, et al. 2009. Essentials of Clinical Geriatrics, 6th edition. McGrraw
Hill.

4. Halter J.B, Ouslander J.G, et al. 2009. Hazzards Geriatric Medicine and Gerontology, 6th
edition. USA: McGraw-Hill Company.

5. Setiabudhi T, Hardiwinoto. 1999. Panduan Gerontologi Tinjauan dari Berbagai Aspek.


Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

6. Stanley, Mickey, Patricia G.B. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik, 2th edition.

Jakarta: EGC

7. Cassel C.K, Leipzig R.M, et al. Geriatric Medicine, 4th edition. New York: Springer-Verlag

8. Tamher dan Noorkasiani. 2009. Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika

Kepaniteraan Klinik Ilmu Geriarti


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 17 Juli 19 Agustus 2017 Page 46

Anda mungkin juga menyukai