BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Diare adalah buang air besar dengan konsistensi tinja yang lembek biasanya
disertai dengan peningkatan frekuensi dan apabila diukur berat feses lebih dari 200g
perhari. Diare dinyatakan akut bila berlangsung kurang dari 14 hari, dinyatakan
persisten bila terjadi antara 14-28 hari dan kronik bila lebih dari 4 minggu (PAPDI,
2014). Pada diare, tinja dapat disertai dengan darah dan atau lendir (Kemkes RI, 2015).
Diare merupakan keluhan yang paling banyak disampaikan pasien kepada dokter
kelarga, dokter umum atau bahkan kepada dokter ahli penyakit dalam saat berobat.
Penyakit ini merupakan penyakit endemis di Indonesia dan juga penyakit potensial KLB
(Kejadian Luar Biasa) yang disertai dengan kematian. Menurut hasil Riskesdas 2007,
diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi (31,4%) dan pada balita
(25,2%), sedangkan pada golongan semua umur merupakan penyebab kematian yang
ke-empat (13,2%). Pada tahun 2012 angka kesakitan diare pada semua umur sebesar
214 per 1.000 penduduk dan angka kesakitan diare pada balita 900 per 1.000 penduduk
(Kemkes RI, 2015).
Menurut Riskesdas 2013, insiden diare berdasarkan gejala sebesar 3,5% dan
insiden diare pada balita sebesar 6,7%. Pada tahun 2013 terjadi 8 KLB yang tersebar di
6 Propinsi, 8 kabupaten dengan jumlah penderita 646 orang dengan kematian 7 orang
(CFR 1,08%). Sedangkan pada tahun 2014 terjadi 6 KLB Diare yang tersebar di 5
propinsi, 6 kabupaten/kota, dengan jumlah penderita 2.549 orang dengan kematian 29
orang (Kemkes RI, 2015).
Seiring dengan banyaknya kejadian diare, pengobatan diare pun semakin
bervariasi. Ada tiga kelompok obat diare yang digunakan saat ini yaitu kemoterapeutika,
obstipansia, dam spasmolitika. Kemoterapeutika untuk terapi kausal, yakni
memberantas bakteri penyebab diare, seperti antibiotika, sulfonamida, dan senyawa
kuinolon. Obstipansia untuk terapi simtomatis yang dapat menghentikan diare dengan
cara zat-zat penekan penekan peristaltik, adstringensia, dan adsorbensia. Spasmolitika
yaitu zat-zat yang dapat melepaskan kejang-kejang otot yang sering kali mengakibatkan
nyeri perut pada diare ( Tjay dan Rahardja, 2015).
2
Salah satu obat yang sering digunakan sebagai anti diare adalah loperamida.
Loperamida adalah zat yang berkhasiat obstipasi kuat. Loperamida memperlambat
motilitas saluran cerna dengan mempengaruhi otot sirkuler dan longitudinal usus.
Loperamida penetrasinya ke dalam otak tidak baik sehingga kemungkinan
disalahgunakannya obat ini lebih kecil dari difenoksilat karena tidak menimbulkan
euforia seperti morfin dan kelarutannya rendah (Gunawan, S., 2007).
2. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana efektivitas pemberian loperamida dalam mengatasi diare ?
3. TUJUAN PENULISAN
a. Tujuan Umum
Mengetahui efektivitas pemberian loperamida dalam mengatasi diare.
b. Tujuan Khusus
1. Mengetahui efektivitas loperamida dalam mengatasi diare akut.
2. Mengetahui efektivitas loperamide dalam mengatasi diare pada dewasa.
3. Mengetahui efektivitas loperamide dalam mengatasi diare pada anak-anak.
4. MANFAAT PENULISAN
a. Manfaat Keilmuan
Dalam segi pengembangan keilmuan, makalah ini dapat digunakan sebagai
sumber informasi lebih lanjut mengenai manfaat loperamida dalam mengatasi diare.
Selain itu, makalah ini juga dapat dijadikan sumber penelitian lanjutan agar
pembahasan mengenai loperamida ini menjadi lebih sempurna sehingga dapat
memperkaya ilmu pengetahuan di bidang kedokteran terutama dalam
pengembangan dan penelitian obat-obat yang berperan sebagai antidiare.
b. Manfaat Aplikasi
Penulisan makalah ini dapat dimanfaatkan untuk menjadikan
loperamida sebagai obat antidiare. Dengan adanya penulisan makalah ini,
pemanfaatan loperamida sebagai obat antidiare menjadi lebih jelas karena sudah
diketahui manfaat dan efek sampingnya. Pengetahuan mengenai manfaat dan efek
samping tersebut dapat memberikan batasan-batasan tentang keamanan penggunaan
loperamida sebagai obat antidiare.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
Pada golongan ini adalah opiat dan turunannya, yang bekerja dengan
menunda perpindahan intraluminal atau meningkatkan kapasitas usus,
memperpanjang kontak dan absorbsi. Sebagian besar opiat bekerja melalui
mekanisme perifer dan sentral, kecuali loperamid hanya perifer. Loperamid
menghambat calcium-binding protein calmodulin, yang mengatur pengeluaran
klorida. Loperamid disarankan untuk mengatasi diare akut dan kronis. Jika
digunakan secara tepat, obat ini tidak menimbulkan efek samping sperti pusing
dan konstipasi. Golongan opiat yang lain adalah diphenoxylate yang dapat
menimbulkan atropinism seperti pandangan kabur, mulut kering dan retensi urin.
Kedua obat ini tidak digunakan pada pasien yang memiliki resiko bacterial
enteritis E. coli, Shigella, atau Salmonella (Spruill and Wade, 2008).
Loperamid merupakan opioid agonist sintetis yang memiliki efek antidiare
dengan menstimulasi reseptor mikro-opioid yang berada pada otot sirkular usus.
Hal ini menyebabkan melambatnya motilitas usus, meningkatkan absorbsi
elektrolit dan air melalui usus. Stimulasi pada reseptor tersebut juga menurunkan
sekresi pada saluran cerna, yang berkontribusi pada efek antidiare. Selain itu,
terdapat mekanisme lain, yaitu gangguan terhadap mekanisme kolinergik dan
nonkolinergik yang terlibat dalam regulasi peristaltik, penghambatan calmodulin
dan inhibisi voltage-dependent calcium channels. Efek terhadap calmodulin dan
5
calcium channel ini yang berkontribusi dalam efek antiskretori. Loperamid 50 kali
lipat lebih poten dibandingkan morfin dan 2-3 kali lebih poten dibandingkan
diphenoxylate dalam efeknya terhadap motilitas saluran cerna. Loperamid tidak
memiliki efek terhadap SSP karena penetrasinya kurang baik (Tan Hoan Jay et al,
2015).
b. Farmasi Umum (dosis, preparat-preparat, cara penggunaan)
TABEL II.1 : PRODUK OBAT YANG MENGANDUNG LOPERAMID (ISO Indonesia vol 44-
2009 s/d 2010)
No. Produk Dosis Preparat/BSO Cara Penggunaan
2. FARMAKODINAMIK
Mekanisme Kerja Obat
Loperamide sebagai antidiare bekerja dengan beberapa mekanisme yang
berbeda, yaitu mengurangi peristaltik dan sekresi cairan (Baker, 2007) serta
meningkatkan tonus sphincter (Hanauer, 2008), sehingga waktu transit
gastrointestinal lebih lama sehingga meningkatkan penyerapan cairan dan elektrolit
dari saluran pencernaan (Baldi et al., 2009).
Zat ini memiliki kesamaan mengenai rumus kimianya dengan opiat pethidine
(suatu analgesik opiate) dan berkhasiat obstipasi kuat dengan mengurangi peristaltik.
Berbeda dengan pethidine, loperamide tidak bekerja terhadap SSP, sehingga tidak
mengakibatkan ketergantungan. Lagi pula zat ini mampu menormalisasi
keseimbangan resorpsi-sekresi dari sel mukosa, yaitu memulihkan sel-sel yang
berada dalam keadaan hipersekresi ke keadaan resorpsi normal kembali. Maka
banyak digunakan pada diare akut dan diare wisatawan bila tidak ada demam atau
darah dalam tinja (Tan Hoan Jay et al, 2015).
Penggunaan paling sering biasanya pada diare yang non spesifik, diare kronis
yang berhubungan dengan inflammatory bowel disease, dan untuk menurunkan
volume feces setelah dilakukannya ileostomy (Wilson, et al., 2015).
3. FARMAKOKINETIK
a. Pola ADME (Absorpsi, Distribusi, Metabolisme, Ekskresi)
b. Waktu paruh (t )
Waktu paruh eliminasi Loperamide dilaporkan sekitar 7 15 jam.
c. Ikatan Protein
Ikatan Protein Loperamide bekerja dengan cara memperlambat motilitas
saluran cerna dengan mempengaruhi longitudial usus dan otot sirkuler.
Loperamide 95% berikatan dengan protein terutama albumin.
d. Bioavailability
8
Dosis Loperamide kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 4 jam
sesudah meminum obat, masa laten yang lama disebabkan oleh penghambatan
motilitas saluran cerna dank arena obat mengalami sirkulasi enterohepatik.
4. TOKSISITAS
a. Efek Samping dan Toksisitas
Obat ini tidak boleh diberikan pada anak di bawah usia 2 tahun, karena
fungsi hatinya belum berkembang dengan sempurna untuk dapat menguraikan
obat ini, begitu pula untuk pasien dengan penyakit hati disarankan tidak
menggunakan obat ini. Efek samping lainnya yang dapat terjadi pada kadar diatas
1% dari keseluruhan tubuh seperti hipersensitivitas (skin rash), demam, fatigue,
nyeri pada daerah abdomen, distensi abdomen, konstipasi, anoreksia, dan toxic
megacolon pada pasien dengan ulcerative colitis (Wilson, et al., 2015).
Gitawati, Indri Rooslamiati pada tahun 2013. Pada penelitian tersebut dikatakan
bahwa sebagian besar rumah tangga membeli obat tanpa menggunakan resep (75,9%)
termasuk di dalamnya adalah obat loperamida.
Penggunaan obat loperamida (10,7%) tanpa resep juga menyebabkan obat diare
yang tidak rasional. Hal ini sesuai dengan hasil pantauan cakupan kualitas dan tata
laksana diare tahun 2011 yang menunjukkan pemberian loperamida (walaupun tidak
dianjurkan) sekitar 12%. Seharusnya obat ini tidak diperlukan karena ketika terkena
diare, tubuh akan memberikan reaksi dengan meningkatkan motilitas usus untuk
mengeluarkan kotoran atau racun. Loperamida akan menghambat gerakan tersebut
sehingga pengeluaran kotoran dihambat (Raini, et al., 2013).
Pada diare non spesifik dapat diberikan loperamida khususnya pada dewasa.
Obat ini banyak diberikan pada pasien travellers diarrhea dengan derajat ringan
sampai sedang tetapi tidak direkomendasikan diberikan pada anak-anak karena dapat
meningkatkan keparahan penyakit khususnya pada diare invasif (Raini, et al., 2013).
Hasanah, et al., 2013 melakukan penelitian mengenai profil penggalian
informasi dan rekomendasi pelayanan swamedikasi oleh staf apotek terhadap kasus
diare anak di apotek wilayah Surabaya. Didapatkan hasil bahwa semua staf apotek
yang menggali informasi mengenai usia pasien tidak ada yang memeberikan
rekomendasi loperamida karena loperamida hanya boleh diberikan pada anak usia di
atas 4 tahun dengan disertai perhatian. Sedangkan staf apotek yang tidak menggali
informasi mengenai usia pasien sebagian besar loperamida (27,7%) karena loperamida
efektif digunakan untuk mengobati gejala diare akut yang tidak disebabkan infeksi.
Prameshwari, 2009 dalam penelitian pada skripsinya, menyebutkan bahwa
responden yang mengetahui efek samping dari obat diare termasuk loperamida hanya
6 responden dari 60 responden atau hanya 10 % persen dari dari responden
keseluruhan yang menggunakan obat diare. Responden yang tidak mengetahui efek
samping dari penggunaan obat adalah 54 responden (90 %). Hal ini menunjukan
sebagian besar responden kurang pengetahuan tentang efek samping yang dapat
timbul dari penggunaan obat diare. Jika yang digunakan obat antidiare berbahan aktif
loperamid memiliki efek samping nyeri perut, konstipasi, mual, muntah, dan
sebagainya.
10
Penelitian yang lain mengenai loperamida adalah penelitan yang dilakukan oleh
Wen Yao Mak, et al. pada tahun 2016. Wen Yao Mak melakukan studi bioekivalensi
dua loperamida hidroklorida 2 mg. Studi ini dilakukan pada sukarelawan sehat di
bawah kondisi puasa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan tingkat
dan tingkat absorpsi obat dari produk uji (Colodium 2 mg Capsule, Hovid Bhd.)
terhadap produk referensi (Imodium 2 mg Capsule, Janssen Cilag S.A.) pada dua
puluh tiga sukarelawan pria sehat dalam kondisi puasa untuk mengevaluasi
bioekivalensi. Dosis tunggal 8 mg (4 kapsul masing-masing 2 mg) dan referensi
produk diberikan kepada relawan selama dua periode penelitian masing-masing. Ada
periode washout 7 hari antara dua periode studi. Sampel darah diambil di pra-dosis
dan pada 13 kali sampai 48 jam pasca pemberian dosis. Bioekivalensi dapat
disimpulkan berdasarkan interval kepercayaan 90% untuk rasio AUC0-t, AUC0- dan
Cmax dari tes formulasi (Colodium 2 mg kapsul) melebihi formulasi referensi
(Imodium 2 mg kapsul). Dalam penelitian ini, interval kepercayaan 90% untuk rasio
AUC0-t, AUC0- dan Cmax dihitung menjadi antara 0,8730-1,0181, 0,8852-0,9891 dan
0,8023-0,9559 masing-masing. Semua nilai-nilai yang dalam persyaratan
bioekivalensi diterima 0,8000-1,2500. Penelitian ini menyimpulkan bahwa formulasi
uji (Colodium 2mg kapsul) adalah bioekuivalen untuk perumusan referensi
(Imodium 2 mg kapsul) (Wen, et al., 2016).
Focarelli, et al., 2007 melakukan penelitian mengenai loperamida yang dapat
menyebabkan pemanjangan retensi urin setelah gastroenteritis akut. Pada penelitian
ini digambarkan seorang anak perempuan 10 tahun dengan dugaan diagnosis retensi
urin setelah pengobatan dengan loperamida. Meskipun loperamida dapat
menyebabkan retensi urin, penelitian ini merupakan kasus pertama retensi
berkepanjangan yang dijelaskan pada populasi anak-anak karena loperamida. Namun,
terdapat beberapa gambaran klinis yang tidak biasa yang dicatat dalam kasus ini yaitu
penyakit terjadi dan berkembang dengan baik dalam 10 tahun pada pasien tua
(sebagian besar pasien menderita retensi urin berada di bawah 50 tahun). Retensi urin
terjadi pada seorang gadis tanpa gangguan neurologis dan sebelumnya tidak ada
infeksi saluran kencing (Focarelli, et al., 2007).
Loperamida disetujui pada penggunaan tanpa resep pada tahun 1998 dan total
kejadian sensitif opiat tidak diketahui. Dalam studi vitro dan hewan menunjukkan
11
BAB III
PEMBAHASAN
sampai sedang tetapi tidak direkomendasikan diberikan pada anak-anak karena dapat
meningkatkan keparahan penyakit khususnya pada diare invasif (Raini, et al., 2013).
Terapi yang melibatkan antibiotik dengan loperamide (Imodium) sering
membatasi gejala dalam satu hari. Loperamide memiliki efek antimotilitas dan efek
antisekresi dan diambil sebagai dua tablet 2 mg setelah buang air besar pertama,
diikuti oleh satu tablet 2 mg setelah setiap buang air besar berikutnya (maksimal 8
mg dalam 24 jam selama dua hari) pada dosis dewasa. Penggunaan loperamide pada
disentri telah menjadi kontroversi karena kekhawatiran tentang memperpanjang
penyakit, tetapi sekarang dianggap aman bila dikombinasikan dengan antibiotik
(Yates, 2005).
CNS daripada orang dewasa dan obat ini tidak dianjurkan pada bayi di bawah 24
bulan usia (Focarelli, et al., 2007).
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
15
1. KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan dan pembahasan diatas dapat
disimpulkan bahwa loperamide sebagai obat anti diare yang bekerja sebagai obstipansia
efektif untuk mengatasi diare akut pada orang dewasa namun tidak pada anak-anak.
Obat ini sesungguhnya tidak diperlukan karena ketika terkena diare, tubuh akan
memberikan reaksi dengan meningkatkan motilitas usus untuk mengeluarkan kotoran
atau racun. Loperamida akan menghambat gerakan tersebut sehingga pengeluaran
kotoran dihambat.
Loperamide memiliki efek antimotilitas dan efek antisekresi dan diambil
sebagai dua tablet 2 mg setelah buang air besar pertama, diikuti oleh satu tablet 2 mg
setelah setiap buang air besar berikutnya (maksimal 8 mg dalam 24 jam selama dua
hari) pada dosis dewasa. Efek samping yang dapat muncul pada orang dewasa seperti
gangguan pada kulit dan jaringan subkutan, sistem kekebalan tubuh, pencernaan, ginjal
dan saluran kemih, dan sistem saraf.
Sedangkan pada anak-anak dosis yang dianjurkan 0,1-0,25 mg / kg / hari,
dimana dosis berkhasiat terendah harus digunakan dahulu untuk meminimalkan risiko
overdosis loperamida. Terdapat penelitian yang menyatakan bahwa loperamida tidak
direkomendasikan dan/atau tidak disetujui untuk pengobatan bayi dan balita dengan
penyakit diare akut, karena loperamide tidak berpengaruh bahkan dapat memberikan
efek merusak. Hal tersebut karena anak-anak lebih sensitif terhadap efek CNS daripada
orang dewasa.
2. SARAN
1. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh penggunaan
obat loperamide terhadap dewasa dan anak-anak.
2. Diharapkan agar setiap orang mengetahui efek samping dari penggunaan suatu
obat sebelum mengkonsumsinya untuk menghindari efek samping yang dapat
timbul.
BAB V
CONCLUSION AND RECOMMENDATIONS
16
1. CONCLUSION
Based on the research and the above discussion it can be concluded that the
anti-diarrhea drug loperamide as working as obstipansia effective for acute diarrhea in
adults but not in children.
This medicine is not really needed because when we have diarrhea, the body
will react by increasing intestinal motility to remove dirt or toxins. Loperamida will
hamper the movement so that the elimination of wastes is inhibited.
Loperamide has antimotility and antisecretory effect, in adult dose this drug
taken as two tablets 2 mg after first diarrhea, followed by a 2 mg tablet after each
diarrhea (up to 8 mg in 24 hours over two days). The side effects that can occur in adults
as disorders of the skin and subcutaneous tissue, the immune system, digestion, kidney
and urinary tract, and the nervous system.
Whereas in children the recommended dose is 0.1-0.25 mg / kg / day, in which
the lowest efficacious dose should be used in advance to minimize the risk of overdose
loperamida. There is research that states loperamida not recommended and not approved
for the treatment of infants and toddlers with acute diarrheal disease, because
loperamide doesnt make affect and can give a damaging effect. This is because children
are more sensitive to CNS than adults.
2. RECOMMENDATIONS
1. Further research needs to be conducted to determine the effect of loperamide for
adults and children.
2. It is hoped that everyone knows the side effects of the drug before taking to
avoid adverse effects that may arise.
DAFTAR PUSTAKA
17
Tjay, T. H., Rahardja, K. Obat-Obat Penting. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta. Hal.
294-304.
Wilson, Billie Ann., Margareth T Shannon., Kelly M Shield. 2015.
Pearson Nurses Drug Guide. USA : Pearson Education.
Yates, J. 2005. Travelers diarrhea. American Family Physician. Volume 71 No. 11. Hal.
2095-2100.