Anda di halaman 1dari 29

CLINICAL SCIENCE SESSION

PEMBESARAN JANTUNG DENGAN EDEMA PARU

Preseptor :
Dr.Rista D Soetikno, dr., Sp.Rad (K)., M.Kes

Disusun Oleh :
VINTHA MORA
1301-1211-0662

BAGIAN ILMU RADIOLOGI


Fakultas Kedokteran UNPAD/ RSHS
BANDUNG
2012
Keterangan Umum :
Nama : Ny. T
Umur : 32 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Bandung
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Keluhan Utama : Sesak Nafas


Anamnesis Khusus
Sejak 2 hari SMRS pasien mengeluh sesak nafas yang berat setelah beraktivitas
berat. Pasien sudah mencoba mengatasi dengan obat yang biasanya di minum yaitu
Tarbutalin, Salbutamol, Pentolin namun tidak membaik. Kemudian pasien dibawa ke
klinik kemudian ke RS Pindad dan dirujuk ke RSHS. Pasien mengaku pingsan dua kali
dalam perjalanan ke RSHS.
Sejak masuk IGD RSHS pasien diberikan oksigen dan sesak nafasnya berkurang.
Sesak nafas yang dialami pasien disertai dengan batuk berdahak, dahak berwarna putih
hingga kuning. Pasien menyangkal ada demam, keringat malam, sakit tenggorokan dan
nyeri dada.
Sesak nafas sering dirasakan pada saat aktivitas berat, pada musim dingin dan apabila
terkena debu. Bangun tiba-tiba di malam hari akibat sesak nafas di sangkal pasien, tidur
dengan lebih dari 1 bantal di sangkal pasien. BAK di malam hari disangkal. Pasien
mengaku memiliki riwayat asma sejak umur 23 tahun. Pasien mengaku memiliki kista
dan sudah diangkat.
Riwayat bersin di pagi hari, ada bercak merah di wajah pada masa kecil disangkal
pasien. Riwayat alergi disangkal pasien. Riwayat keluarga memiliki alergi dan asma di
sangkal oleh pasien.

1
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis

Tanda Vital : T : 120/780 mmHg N : 96x/menit


R : 20x/menit S : 36.30 C

Kepala : Simetris
Rambut : hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut
Konjungtiva anemis
Sklera tidak ikterik
PCH (-)
POC (-)
Leher : KGB tidak teraba membesar
JVP 5 + 2 cm H2O
Trakea di tengah, kelenjar tiroid tidak tampak dan tidak teraba
membesar
retraksi suprasternal (-)
Dada : Bentuk dan gerak simetris, ICS tidak melebar
ictus tak tampak teraba di ICS V LMCS
sudut epigastrium 90o
Paru : sonor, VF kiri = kanan, VR kiri = kanan
VBS kiri=kanan, ronchi (-), wheezing (+), slem (+)
Jantung : ictus, S1 = S2 Normal
S3 S4 (-), murmur (-)
Abdomen : datar, lembut
Hepar / Lien tidak teraba
BU (+) Normal
Ekstremitas : hangat, edema -/-,
clubbing finger (-)
Cappilary refill <2

2
Pemeriksaan Penunjang :
Laboratorium :
Hematologi
Darah rutin : Hb = 13.3 gr%
Ht = 42 %
Leukosit = 13.300 sel/mm3
Trombosit = 289.000 sel/mm3
Thoraks foto
Tidak tampak TB paru aktif.
Tidak tampak pembesaran jantung.
EKG
Tidak ada kelainan.

Diagnosis Kerja :
Non Atopic Asma

Usulan Pemeriksaan :
- Spirometri

Tatalaksana :
Bed rest
O2 2lt/menit
Infus Jaga D5%
Diet lunak 1500 kkal/hari
Nebulisasi dengan combivent 1 ampul + NaCl 2cc tiap 6 jam
Injeksi Ranitidin 3x1 ampul i.v
Erithromisin 4x500 mg
Drip aminofillin 2 ampul dalam D5% 500 cc, 10-15 gtt/menit
GG 3x1
OBH 3x1 C

3
PEMBAHASAN
Penderita didiagnosa sebagai penderita asthma bronchiale partly controlled dalam
serangan sedang atas dasar :
Anamnesis
Penderita datang dengan keluhan utama sesak nafas.
Sesak nafas disertai dengan bunyi mengi dan dirasakan semakin berat sehingga
penderita tidak dapat melakukan aktivitas dan sulit untuk berbicara.
Sesak dirasakan bertambah dengan aktivitas dan berkurang bila penderita duduk.
Keluhan sesak disertai dengan rasa dada seperti ditekan benda berat.
Penderita diketahui menderita asma sejak bulan Juli 2006. Penderita berobat rutin
ke poli asma RSHS sejak 2 bulan terakhir (2 minggu sekali). Penderita diberi obat
Amoxycillin, Eritromisin, Salbutamol, Methyl Prednisolon dan Berotec.
Keluhan sesak dirasakan penderita timbul jika penderita menghirup asap,
kelelahan dan udara dingin.
Serangan sesak dirasakan penderita 2-3 kali/minggu, dan timbul terutama pada
malam menjelang dini hari.
Riwayat sering bersin-bersin, hidung berair pada pagi hari dan menghilang pada
siang hari diakui penderita.
Penderita mengakui memiliki alergi makanan (udang, ikan asin, ikan tongkol).
Riwayat keluhan serupa pada keluarga diakui yaitu nenek penderita.
Pemeriksaan Fisik
Wheezing (+)
Slem (+)
Beberapa diagnosa banding dapat disingkirkan atas dasar :
PPOK
Penderita tidak merokok dan tidak ada yang merokok di lingkungan sekitar
penderita.
Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan hipersonor dan pada inspeksi tidak
ditemukan bentuk dada khas PPOK (barrel chest).

4
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan, yaitu :
Laboratorium darah rutin
Terdapat peningkatan leukosit.
EKG
Tidak ada kelainan.
Thoraks foto
Tidak tampak TB paru aktif.
Tidak tampak pembesaran jantung.

Usulan pemeriksaan yang diajukan, yaitu :


Spirometri

5
ASMA

DEFINISI
Asma telah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu, tetapi para ahli sampai saat ini
belum sepakat mengenai definisi penyakit tersebut. Definisi asma yang lengkap yang
menggambarkan konsep inflamasi sebagai dasar mekanisme terjadinya asma dikeluarkan
oleh GINA (Global Initiative for Asthma). Asma adalah gangguan inflamasi kronik
saluran nafas yang menyebabkan peningkatan hiperresponsif jalan nafas yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak nafas, dada terasa berat dan
batuk batuk terutama pada malam / dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan
obstruksi jalan nafas yang luas dan seringkali bersifat reversibel dengan / tanpa
pengobatan.

PREVALENSI, MORBIDITAS, MORTALITAS DAN EPIDEMIOLOGI ASMA


Asma merupakan penyakit saluran pernafasan kronik yang menyerang semua
tingkat usia mulai dari anak-anak sampai dewasa. Prevalensi asma cenderung meningkat
pada hampir setiap sebagian besar negara. Asma telah menjadi masalah kesehatan global,
tidak hanya di bidang kesehatan saja tetapi juga berdampak pada sosial ekonomi dan
produktivitas kerja seseorang. Jika pasien asma tidak terkontrol dengan baik akan dapat
mengakibatkan hal yang fatal. Memang kelihatannya biaya untuk mengontrol asma tinggi
tetapi sebenarnya biayanya menjadi lebih mahal lagi jika asmanya menjadi tidak
terkontrol.
Asma menjadi problem di seluruh dunia dengan jumlah perkiraan terdapat 300
juta pasien asma. Penelitian mengenai prevalensi asma telah banyak dilakukan dan
hasilnya telah dilaporkan dari berbagai negara. Namun umumnya kriteria penyakit asma
yang digunakan belum sama sehingga sulit untuk membandingkannya. Prevalensi asma
berkisar antara 1-18% populasi tergantung pada negaranya. Di Indonesia prevalensi asma
berkisar 5-7%. Setiap tahun diperkirakan terdapat 250.000 kasus kematian karena asma di

6
seluruh dunia. Jumlah kasus kematian karena asma ini tidak berhubungan dengan jumlah
prevalensi.
Asma merupakan penyebab utama absensi dari pekerjaan di berbagai negara
seperti Australia, Swedia, Inggris, dan Amerika Serikat. Asma juga memepengaruhi
tingkat kehadiran di sekolah. Pada penderita asma biaya perawatan di emergensi lebih
mahal dibandingkan dengan perawatan yang direncanakan untuk mengontrol asmanya.
Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia,
hal itu tergambar dari data survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai propinsi
Indonesia. Survei kesehatan rumah tangga (SKRT) 1986 menunjukkan asma menduduki
urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan bersama-sama dengan bronkitis kronik dan
emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab
kematian ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6%. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh
Indonesia sebesar 13/1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/1000 dan obstruksi paru
2/1000.
Tahun 1993 di Surabaya dilakukan penelitian di lingkungan 37 puskesmas di Jawa
Timur dengan menggunakan kuesioner modifikasi ATS yaitu Proyek Pneumobile
Indonesia dan Respiratory symptoms questioner of Institute of Respiratory Medicine,
New South Wales, dan pemeriksaan arus puncak ekspirasi (APE) menggunakan alat peak
flow meter dan uji bronkodilator. Seluruh 6662 responden usia 13-70 tahun (rata-rata
35,6 tahun) mendapatkan prevalensi asma sebesar 7,7% dengan rincian laki-laki 9,2%
dan perempuan 6,6%.

FAKTOR RESIKO
Faktor yang mempengaruhi resiko terjadinya asma dibagi atas yang menyebabkan
berkembangnya asma (faktor pejamu) dan pencetus (faktor lingkungan)
A. Faktor Penjamu (Host)
- Genetik
Data terakhir menunjukkan banyak gen yang berperan pada patogenesis asma
seperti produksi IgE antibodi (atopi), dan hiperresponsif saluran nafas.
- Obesitas

7
Obesitas menambah faktor resiko untuk asma. Mediator seperti leptin
mempengaruhi fungsi saluran nafas dan menambah resiko untuk berkembangnya
asma.
- Jenis kelamin
Sebelum usia 14 tahun : anak laki-laki kurang lebih 2 kali lebih banyak terserang
asma dibandingkan anak wanita, tetapi pada orang dewasa prevalensi asma lebih
banyak pada wanita.

B. Faktor Lingkungan
- Alergen
Alergen bisa didapat di dalam rumah dan di luar rumah, contoh :
- Dalam ruangan : Tungau, hewan berbulu (anjing, kucing, tikus), kecoa, jamur,
molds, ragi.
- Luar ruangan : Serbuk sari, jamur, molds, ragi
- Infeksi
Infeksi saluran pernafasan terutama oleh virus merupakan penyebab terbanyak
timbulnya eksaserbasi pada penderita asma.
- Bahan di lingkungan kerja
- Rokok :
- Perokok pasif
- Perokok aktif
- Polusi udara luar/dalam ruangan
Terdapat kasus peningkatan kasus eksaserbasi asma. Sehubungan dengan
peningkatan kadar polusi udara, baik di dalam maupun di luar ruangan.
- Diet
Bayi yang diberi susu sapi atau kedelai mempunyai insidensi wheezing lebih
tinggi dibandingkan yang dengan air susu ibu.

MEKANISME ASMA
A. Patogenesis Asma

8
Patogenesis asma banyak dipelajari dari autopsi pada pasien yang
meninggal karena penyakit asma yang berat. Gambaran secara umum tidak hanya
oklusi pada saluran pernafasan karena plak mukus, tetapi didapatkan juga sel-sel
radang seperti neutrofil, eosinofil, dan limfosit. Selain hal itu di atas terjadi juga
hipertrofi dan hyperplasia otot polos.
Akhir-akhir ini proses inflamasi juga telah dikonfirmasi pada biopsi
bronkial yang berasal dari pasien dengan asma serangan ringan. Walaupun sel
neutrofil tidak ditemukan secara dominan pada kasus ini, eosinofil, sel mast dan
limfosit ditemukan bervariasi pada saluran trakeobronkial. Ditemukan juga
deposisi kolagen pada membran basalis dan jejas pada sel.
Proses siklus inflamasi pada asma dimulai dengan adanya sensitisasi
karena inhalasi alergen. Sel dendritik yang merupakan antigen precenting cells
(sel penyaji antigen) akan mengolah antigen yang masuk dan selanjutnya bergerak
ke regional nodus limf dimana antigen diperkenalkan ke tempat limfosit Y dan B.
Sel B diinduksi untuk memulai membentuk IgE oleh IL-4 dan IL-13 yang
disekresi oleh sel T. IgE kemudian berikatan pada reseptor IgE mast sel pada
saluran nafas.
Pada saat paparan ulang, IgE yang berikatan dengan kompleks mast sel
dan alergen akan mengaktivasi sel. Aktivasi ini diikuti dengan dilepaskannya
histamin, leukotrien, dan sitokin yang merupakan media fisiologis untuk
mempertahankan proses inflamasi dan asma.
Di antara sitokin-sitokin yang, beberapa sitokin, terutama IL-4, IL-5,
granulocute macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) membawa
eosinofil ke paru-paru, merangsang mediator mediator seperti major basic protein
(MBP) yang dapat membuat jejas mukosa bronkus menginduksi bronkospasme,
dan mempertahankan keadaan inflamasi.
Mekanisme predisposisi pada individu tertentu untuk berkembang menjadi asma
tidak diketahui. Akhir-akhir ini terdapat bukti yang mendukung hipotesis higiene.
Teori ini mengemukakan bahwa paparan lingkungan pada masa awal-awal
kehidupan mengatur berkembangnya respons imun yang secara klinik
bermanifestasi alergi dan asma.

9
Sel-T Helper dapat dibagi menjadi sel Th-1, yang memproduksi IL-2 dan
interferon gamma yang berperan pada cell-mediated immunity, dan sel Th-2 yang
memproduksi IL-4, IL-5, IL-10 dan IL-13. Hipotesis higiene beranggapan bahwa
bayi cenderung ke fenotipe Th-2 dan membutuhkan paparan dini untuk
berkembangnya Th-1 dan menyeimbangkan respon terhadap paparan antigen yang
akan datang. Paparan awal terhadap penyakit campak (measles), hepatitis A, dan
bahkan paparan sewaktu di dalam kandungan mungkin menginduksi perubahan
Th-2 menjadi Th-1, tetapi besarnya perubahan ini dipengaruhi oleh faktor genetik.
Sel Th-1 bersifat protektif sedangkan Th-2 bersifat menimbulkan penyakit alergi,
termasuk asma.
Faktor herediter pada pasien asma sangat kompleks, dengan lebih dari 100
gen yang terlihat. Walaupun faktor atopi berperan banyak, tetapi tidak semua
pasien memperlihatkan.

B. Patofisiologi Asma
Secara klasik serangan asma akut dibagi menjadi fase awal dan fase lanjut.
Dalam waktu beberapa menit setelah paparan terhadap suatu pencetus terjadi
aktivasi reseptor pada sel mast yang menginduksi degranulasi dan pelepasan
histamine, leukotrien dan bronkokonstriktor yang lainnya.
Kontraksi otot polos dan edema mukosa menyebabkan obstruksi saluran nafas
yang bertanggung jawab terhadap gejala asma. Fase ini biasanya pulih dalam
waktu 1 jam.
Puncak gejala ke 2 dimulai setelah 1-6 jam setelah terpapar sampai 24 jam
yang merupakan respon lambat (fase lanjut). Gejala yang muncul sering lebih
berat dan sel eosinofil yang paling bertanggung jawab, tetapi sel-sel yang lain
juga terlihat.
Bronkokonstriksi akut dan edema jalur nafas, diikuti oleh formasi plak
mukus, bertanggung jawab terhadap peningkatan resisten aliran udara. Terjadi
penyempitan hampir sebagiain besar saluran nafas, terutama bronkus kecil 2-5
mm. Kapasitas residu fungsional sering meningkat karena waktu ekspirasi
memanjang. Faktor ini meningkatkan kerja otot nafas selama serangan akut.

10
Penyempitan saluran nafas ternyata tidak merata di seluruh bagian paru. Ada
daerah-daerah yang kurang mendapat ventilasi, sehingga darah kapiler yang
melalui daerah tersebut mengalami hipoksemia. Berbeda dengan pasien penyakit
paru obstruksi kronik, pasien-pasien asma melakukan kompensasi dengan cara
hiperventilasi. Jadi walaupun hipoksemia ringan sampai sedang sering ditemukan,
sebagian besar pasien-pasien ini mengalami hipokapnia selama serangan. Jika
terjadi hiperkapnia merupakan tanda ancaman respiratory arrest.
Selama perjalanan penyakitnya, penderita asma tetap mengalami proses
inflamasi pada saluran nafas walaupun pada pasien ini tidak ditemukan gejala
klinik atau asimptomatik. Proses inflamasi kronik tersebut menyebabkan desposisi
jaringan ikat dan penebalan membran basalis. Hal ini berlanjut terus sehingga
dapat terjadi obstruksi yang ireversibel.

Eksaserbasi Akut
Perburukan gejala asma yang terjadi karena paparan terhadap pencetus
seperti polusi udara, kegiatan fisik, cuaca tertentu (hujan). Perburukan yang lebih
lama biasanya terjadi karena adanya infeksi saluran nafas atau khususnya
rhinovirus dan respiratory syncytial virus (RSV) atau paparan alergen yang
meningkatkan proses inflamasi.

Nocturnal Asma
Mekanisme perburukan asma pada malam hari tidak sepenuhnya diketahui
tetapi mungkin dipengaruhi oleh ritme sirkadian hormon seperti epinefrin dan
kortisol. Terjadi peningkatan inflamasi pada malam hari yang terjadi karena
pengurangan anti inflamasi endogen.

Asma yang sulit ditangani


Sampai saat ini belum jelas diketahui mengapa beberapa pasien asma sulit
ditangani dan relatif tidak sensitif dengan pemberian steroid. Secara umum
dihubungkan dengan tingkat kepatuhan dan gangguan psikologi. Selain itu
mungkin faktor genetik berperan dalam hal ini.

11
Merokok dan Asma
Merokok membuat sama lebih sulit dikontrol, lebih sering mengalami
eksaserbasi dan perawatan rumah sakit. Fungsi paru juga lebih cepat mengalami
eksaserbasi dan perawatan rumah sakit. Fungsi paru juga lebih cepat mengalami
penurunan dan resiko kematian meningkat. Pasien-pasien asma yang merokok
memiliki inflamasi yang predominan neutrofil pada saluran nafas dan respon
terhadap steroid yang lebih buruk.

Bagan 1. Mekanisme dasar kelainan asma

Faktor faktor resiko lingkungan


(penyebab)

Inflamasi

Hiperresponsif jalan nafas Obstruksi jalan nafas

Pencetus

Gejala

12
DIAGNOSIS KLINIS
Studi epidemiologi menunjukkan asma underdiagnosed di seluruh dunia,
disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan beratnya
penyakit yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik sehingga penderita
tidak merasa perlu ke dokter. Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik,
gejala berupa batuk, sesak nafas, mengi, rasa berat di dada, dan variabiliti yang berkaitan
dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah
dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal
paru akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.

Riwayat penyakit/gejala :
1. Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
2. Gejala berupa batuk, sesak nafas, rasa berat di dada dan berdahak
3. Gejala timbul/memburuk terutama malam/dini hari
4. Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
5. Respon terhadap pemberian bronkodilator

Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :


Riwayat keluarga (atopi)
Riwayat alergi/atopi
Penyakit lain yang memberatkan
Perkembangan penyakit dan pengobatan

Pemeriksaan Fisik
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani dapat
normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah mengi pada
auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada

13
pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan nafas. Pada keadaan
serangan, kontraksi otot polos saluran nafas, edema, dan hipersekresi dapat menyumbat
saluran; maka sebagai kompensasi penderita bernafas pada volume paru yang lebih besar
untuk mengatasi menutupnya saluran nafas. Hal itu meningkatkan kerja pernafasan dan
menimbulkan tanda klinis berupa sesak nafas, mengi, dan hiperinflasi.
Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa.
Walaupun demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat
berat, tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara,
takikardi, hiperinflasi, dan penggunaan otot bantu nafas.

Faal Paru
Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi mengenai
asmanya, demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai dispnea dan mengi;
sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru antara lain untuk menyamakan
persepsi dokter dan penderita, serta sebagai parameter yang objektif untuk menilai berat
asma. Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai :
1. obstruksi jalan nafas
2. reversibiliti kelainan faal paru
3. variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperesponsif jalan nafas
Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah diterima
secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan spirometri dan arus
puncak ekspirasi (APE).

Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasitas vital
paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang standar.
Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita sehingga dibutuhkan
instruksi operator yang jelas dan kerja sama penderita. Untuk mendapatkan nilai yang
akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang reproducible dan acceptable. Obstruksi
jalan nafas diketahui dari nilai rasio VEP1/KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi.
Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :

14
Obstruksi jalan nafas diketahui dari nilai rasio VEP 1/KVP< 75% atau VEP< 80%
nilai prediksi
Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 15 % secara spontan , atau setelah inhalasi
bronkodilator (uji bronkodilator) atau setelah pemberian kortikosteroid
(inhalasi/oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat membantu diagnosis asma.
Menilai derajat berat asma

Arus Puncak Ekspirasi (APE)


Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan yang
lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter (PEF meter) yang relatif
sangat murah, mudah dibawa, terbuat dari plastik dan mungkin tersedia di berbagai
tingkat layanan kesehatan termasuk puskesmas ataupun instalasi gawat darurat. Alat PEF
meter relatif mudah digunakan penderita di rumah sehari-hari untuk memantau kondisi
asmanya. Manuver pemeriksaan APE dengan ekspirasi paksa membutuhkan tindakan
yang koperatif dari penderita dan instruksi yang jelas.

Manfaat APE dalam diagnosis asma :


1. Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE 15% setelah inhalasi bronkodilator (uji
bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau respon terapi
kortikosteroid (inhalasi/oral, 2 minggu)
2. Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti APE
harian selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat digunakan menilai derajat berat
penyakit.

Nilai APE tidak selalu berkolerasi dengan parameter pengukuran faal paru lain, di
samping itu APE juga tidak selalu berkolerasi dengan derajat berat obstruksi. Oleh
karenanya pengukuran nilai APE sebaiknya dibandingkan dengan nilai terbaik
sebelumnya, bukan nilai prediksi normal; kecuali tidak diketahui nilai terbaik penderita
yang bersangkutan.

Cara pemeriksaan variabiliti APE harian :

15
Diukur pagi hari untuk mendapatkan nilai terendah dan malam hari untuk
mendapatkan nilai tertinggi. Rata-rata APE harian dapat diperoleh melalui 2 cara :
Bila sedang menggunakan bronkodilator, diambil variasi atau perbedaan nilai
APE pagi hari sebelum bronkodilator dan nilai APE malam hari sebelumnya
sesudah bronkodilator. Perbedaan nilai pagi sebelum bronkodilator dan malam
sebelumnya sesudah bronkodilator menunjukkan persentase rata-rata nilai APE
harian. Nilai >20% dipertimbangkan sebagai asma.

Variabiliti harian = APE malam-APE pagi x 100%


(APE malam+APE pagi)

Metode lain untuk mendapatkan variabiliti APE adalah nilai terendah APE pagi
sebelum brokodilator selama pengamatan 2 minggu, dinyatakan dengan
persentase dari nilai terbaik (nilai tertinggi APE malam hari)

Pemeriksaan Lain untuk Diagnosis


Uji Provokasi Bronkus
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada penderita
dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji provokasi bronkus.
Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai sensitivitas yang tinggi tetapi spesifisitas
yang rendah, artinya hasil negatif dapat menyingkirkan diagnosis asma persisten, tetapi
hasil positif tidak selalu berarti bahwa penderita tersebut asma. Hasil positif selalu terjadi
pada penyakit lain seperti rinitis alergik, berbagai gangguan dengan penyempitan saluran
nafas seperti PPOK, bronkiektasis, dan fibrosis kistik.

Pengukuran Status Alergi


Komponen alergi pada asma dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit
atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut mempunyai nilai kecil dalam
mendiagnosis asma, tetapi membantu mengidentifikasi faktor risiko/pencetus sehingga
dapat dilaksanakan kontrol lingkungan dalam penetalaksanaan.

16
Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi, umumnya
dilakukan dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan cara yang tepat untuk
diagnosis atopi, tetapi juga dapat menghasilkan positif atau negatif palsu. Sehingga
konfirmasi terhadap pajanan alergen yang relevan dan hubungannya dengan gejala harus
selalu dilakukan. Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada keadaan uji kulit tidak dapat
dilakukan (misalnya pada dermatitis). Pemeriksaan kadar IgE total tidak mempunyai nilai
dalam diagnosis alergi/atopi.

Diagnosis Banding Asma antara lain :


Dewasa :
1. PPOK
2. Bronkitis kronik
3. Gagal jantung kongestif
4. Batuk kronik akibat lain-lain
5. Obstruksi mekanis (misal tumor)
6. Emboli paru

Anak :
1. Benda asing di saluran nafas
2. Laringotrakeomalasia
3. Pembesaran kelenjar limfe
4. Tumor
5. Stenosis trakea
6. Bronkiolitis

KLASIFIKASI
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit, dan pola
keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi
pengobatan dan perencanaan penetalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma
semakin tinggi tingkat pengobatan. Berat penyakit asma diklasifikasikan berdasarkan
gambaran klinis sebelum pengobatan dimulai (tabel 1).

17
Pada umumnya penderita sudah dalam pengobatan , dan pengobatan yang
berlangsung seringkali tidak adekuat. Dipahami pengobatan akan mengubah gambaran
klinis bahkan faal paru, oleh karena itu penilaian berat asma pada penderita dalam
pengobatan juga harus mempertimbangkan pengobatan itu sendiri. Tabel 2 menunjukkan
begaimana melakukan penilaian berat asma pada penderita yang sudah dalam
pengobatan. Bila pengobatan yang sedang dijalani sesuai dengan gambaran klinis yang
ada, maka derajat berat asma naik satu tingkat.

Tabel 1. Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis

(sebelum pengobatan)

Berat / Gejala klinis Gejala asma Fungsi paru


ringannya asma malam hari

Asma intermiten Kambuhan < 1 kali 2x sebulan APE 80%


seminggu, prediksi,
eksaserbasi hanya variabilitas APE <
sebentar, tidak ada 20%
gejala dan fungsi paru
normal diantara
kambuhan

Asma persisten Kambuhan 1 kali > 2x sebulan APE 80 %


ringan seminggu, tetapi < 1 prediksi
kali/hari. eksaserbasi
dapat mengganggu Variabilitas APE <
aktivitas dan tidur 20-30 %

Asma persisten Setiap hari sesak > 1x seminggu APE 60 - 80 %


sedang nafas / kambuh, prediksi
eksaserbasi
mengganggu aktivitas Variabilitas APE
dan tidur >30%

Asma persisten Kambuhan sering, sering APE < 60 %


berat gejala sesak terus prediksi
menerus, aktivitas

18
fisik terbatas karena Variabilitas APE
asma >30%

Tabel 2. Klasifikasi derajat berat asma pada penderita dalam pengobatan


Gejala dan faal Tahap I intermiten Tahap II persisten Tahap III persisten
paru dalam ringan sedang
pengobatan
Tahap I : intermiten intermitan Persisten ringan Persisten sedang
Gejala < 1x/mgg
Serangan singkat
Gejala malam <
2x/bln
Faal paru normal
diluar serangan
Tahap II : Persisten Persisten ringan Persisten sedang Persisten berat
ringan
Gejala 1x / mgg,
tapi <1x / hr
Gejala malam >2x /
bln, tapi < 1x / mgg
Faal paru normal
diluar serangan
Tahap III : persisten Persisten sedang Persisten berat Persisten berat
sedang
Gejala tiap hari
Serangan
mempengaruhi
aktivitas dan tidur
Gejala malam > 1x /
mgg
60%<VEP1<80%
nilai prediksi
60%<APE<80%
nilai terbaik
Tahap IV : Persisten Persisten berat Persisten berat Persisten berat
berat
Gejala terus
menerus
Serangan sering
Gejala malam sering
VEP160%nilai
prediksi
APE60% nilai

19
terbaik

Tabel 3. Kalsifikasi Tingkatan Asma yang Terkontrol


Karakteristik Terkontrol Terkontrol Tidak terkontrol
sebagian
Gejala harian Tidak ada/ > 2x/minggu 3 atau lebih
( 2x/minggu) gambaran pada
asma terkontrol
sebagian muncul
kapan saja
Pembatasan Tidak ada Beberapa 3 atau lebih
aktivitas gambaran pada
asma terkontrol
sebagian muncul
kapan saja
Gejala Nokturnal Tidak ada Beberapa 3 atau lebih
gambaran pada
asma terkontrol
sebagian muncul
kapan saja
Kebutuhan akan Tidak ada/ ( > 2 kali / minggu 3 atau lebih
pengobatan 2/minggu) gambaran pada
asma terkontrol
sebagian muncul
kapan saja
Fungsi Paru Normal <80 % nilai prediksi 3 atau lebih
(APE/VEP1) / nilai terbaik (jika gambaran pada
diketahui) asma terkontrol
sebagian muncul
kapan saja
Eksaserbasi Tidak ada 1/ tahun 1x di minggu kapan
saja

PENATALAKSANAN

20
Studi klinis telah menunjukkan bahwa asma dapat terkontrol secara efektif dengan
mengurangi proses inflamasi pada asma dan juga mengobati bronkokonstriksi serta
gejala-gejala lainnya. Intervensi awal untuk mencegah paparan terhadap faktor pencetus
dapat membantu mengontrol asma dan mengurangi penggunaan obat-obatan asma.
Tujuan dari penatalaksanaan asma adalah untuk:
- mencapai dan mempertahankan kontrol dari gejala asma
- mempertahankan kemampuan aktivitas normal, termasuk dalam latihan jasmani
- mempertahankan fungsi paru-paru sedekat mungkin dengan fungsi normalnya
- mencegah eksaserbasi asma
- menghindari efek samping yang diperoleh dari pengobatan asma
- mencegah kematian

Penatalaksanaan asma tergantung pada lima komponen berikut:


a. Kerjasama pasien-dokter
b. Mengidentifikasi dan mengurangi paparan terhadap faktor resiko
c. Penilaian, pengobatan, dan pemantauan gejala asma
d. Penanganan eksaserbasi asma
e. Pertimbangan khusus

A. Kerjasama pasien-dokter
Tujuan dari kerjasama ini adalah untuk menjadikan pasien asma
memperoleh pengetahuan, kepercayaan, dan kecakapan dalam penatalaksanaan
asma.

B. Mengidentifikasi dan mengurangi paparan terhadap faktor resiko


Pencegahan Asma
Pencegahan timbulnya asma dapat dengan cara mencegah sensitisasi oleh
alergen (faktor risiko) atau mencegah terjadinya perkembangan penyakit asma
pada orang yang telah tersensitisasi. Telah diketahui bahwa sensitisasi alergi dapat
timbul sejak masa prenatal, tetapi belum ada data mengenai dosis dan waktu

21
paparan dari alergen yang akan menimbulkan sensitisasi prenatal ini, dan belum
ada cara yang tepat untuk mencegah hal ini.
Pencegahan Gejala dan Eksaserbasi Asma
Eksaserbasi asma dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang disebut
sebagai pencetus (trigger). Pencetus dapat berupa alergen, infeksi virus, polutan,
dan obat. Mengurangi paparan pasien terhadap faktor-faktor tersebut akan
meningkatkan kontrol terhadap asma dan mengurangi kebutuhan akan
penggunaan obat asma. Pemberian obat yang tepat untuk mengontrol asma adalah
berperan penting, karena pasien akan menjadi kurang sensitif terhadap faktor
pencetus apabila gejala asmanya berada dalam kontrol yang baik.

C. Penilaian, pengobatan, dan monitor gejala asma


Penilaian, pengobatan, dan pemantauan gejala asma digunakan untuk
penatalaksanaan jangka panjang pada penderita asma.
Penilaian Kontrol Asma
Penilaian untuk kontrol pasien asma dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4. Tingkat Kontrol Dari Asma


Karakteristik Terkontrol Terkontrol Tidak Terkontrol
Sebagian
Gejala harian - ( 2x/minggu) 2x/minggu Tiga atau lebih
Keterbatasan dalam - (+) karakteristik dari
aktivitas fisik tingkat terkontrol
Gejala malam hari - (+)
Penggunaan reliever - ( 2x/minggu) 2x/minggu sebagian dapat
Fungsi paru (APE Normal < 80% prediksi/nilai (+)/minggu
atau VEP1) terbaik
Eksaserbasi - 1x/tahun 1x

Pengobatan Untuk Mengontrol Asma


Tingkat kontrol asma dari seorang pasien dan pengobatan yang didapat
sebelumnya menentukan pemilihan obat untuk mengontrol asma. Jika asma tidak
terkontrol dengan regimen pengobatan sebelumnya, maka pengobatan

22
ditingkatkan sampai asma terkontrol. Jika kontrol asma dapat dipertahankan
selama paling sedikit 3 bulan, maka pengobatan dapat diturunkan untuk mencapai
dosis serendah mungkin dalam mengontrol asma.
Monitor dan Mempertahankan Kontrol Asma
Ketika kontrol asma telah tercapai, monitoring lebih lanjut diperlukan
untuk mempertahankan kontrol dan meminimalisir biaya serta memaksimalkan
keamanan dari pengobatan. Pengobatan harus disesuaikan secara berkala, sesuai
dengan tingkat kontrol asma pasien.

D. Penanganan eksaserbasi asma


Bagan 2. Penatalaksanaan Serangan Asma di Rumah Sakit

Penilaian awal
Anamnesis dan pemeriksaan fisik (auskultasi, penggunaan otot
bantu nafas, denyut jantung, frekuensi nafas), APE atau VEP,
saturasi O2, AGD

Pengobatan awal
Oksigen untuk mencapai saturasi O2 90 %
Inhalasi agonis 2 kerja, kontinu selama satu jam
Glukokortikosteroid sistemik jika tidak ada respon, atau pasien sedang dalam
penggunaan glukokortikosteroid sistemik, atau serangan asma berat
Penggunaan sedatif merupakan kontraindikasi pada keadaan eksaserbasi

Dinilai setelah satu jam


Pemeriksaan fisik, APE, saturasi O2, dan pemeriksaan lain yang diperlukan

Kriteria episode sedang: Kriteria episode berat:


- APE 60-80% prediksi/nilai terbaik - Riwayat faktor risiko pencetus asma
- Pemeriksaan fisik: gejala serangan asma - APE <60% prediksi/nilai terbaik
sedang, penggunaan otot nafas bantu - Pemeriksaan fisik: gejala serangan
- Pengobatan: asma berat, retraksi otot dinding dada
a. oksigen - Tidak ada perbaikan setelah
b. beta-2 agonis hirup dan antikolinergik pengobatan awal
hirup setiap 60 menit
c. glukokortikosteroid oral
Lanjutkan pengobatan sampai 1-3 jam

Dinilai setelah 1-2 jam

Pulang 23 Dirawat di ICU


APE>60% Bila tidak perbaikan
prediksi/terbaik.Pengobat dalam 6-12 jam
an oral atau inhalasi
Perbaikan Tidak perbaikan
Respon baik setelah 1-2 jam: Respon inkomplit dalam 1-2 Respon buruk dalam 1-2 jam:
- respon (+) dalam 60 jam: - Faktor risiko
menit setelah - faktor risiko - Pemeriksaan fisik:
pengobatan terakhir - pemeriksaan fisik: gejala berat,
- pemeriksaan fisik: gejala ringan sedang mengantuk, gelisah
normal, tidak ada - APE <60% - APE <30%
distres - Saturasi O2 tidak - PCO2 > 45 mmHg
- APE >70% membaik - P O2 <60 mmHg
- Saturasi O2 >90%

Dirawat di RS: Dirawat di ICU:


- oksigen - oksigen
- beta-2 agonis hirup - beta-2 agonis +
antikolinergik antikolinergik
- glukokortikosteroid - glukokortikosteroid
sistemik i.v
- Mg i.v - pertimbangkan beta-
- Monitor APE, saturasi 2 agonis i.v
O2, denyut nadi - pertimbangkan
teofilin i.v
- intubasi dan
ventilasi mekanik

Penilaian ulang

Perbaikan: Kriteria pulang: Respon buruk:


- APE > 60% prediksi/nilai terbaik - masuk ICU
- Pengobatan oral/inhalasi
Pengobatan di rumah: Respon inkomplit dalam 6-12
- lanjutkan beta-2 agonis hirup jam:
- pertimbangkan, glukokortikosteroid oral - pertimbangkan untuk masuk
- pertimbangkan kombinasi tambahan: inhaler ICU bila tak ada perbaikan dalam
- edukasi pasien 6-12 jam

Ada perbaikan

24
E. Pertimbangan khusus
Pertimbangan khusus dibutuhkan untuk penanganan asma pada: kehamilan;
pembedahan; rinitis, sinusitis, dan polip nasal; asma karena pekerjaan; infeksi saluran
respiratorik; refluks esofageal; asma terinduksi aspirin; dan anafilaksis.

Berdasarkan patogenesis asma, strategi pengobatan yang diberikan dapat ditinjau


dari berbagai pendekatan, seperti:
1. Mencegah ikatan alergen-IgE
Mencegah ikatan alergen dengan cara menghindari alergen atau dengan
hiposensitisasi.
2. Mencegah pelepasan mediator
Antara lain dengan pemberian natrium kromolin, agonis beta 2, maupun teofilin.
3. Melebarkan saluran nafas dengan bronkodilator
- Simpatomimetik: obat pilihan untuk serangan asma akut adalah agonis
beta 2, dapat diberikan secara inhalasi atau nebulizer. Epinefrin subkutan
diberikan pada serangan asma berat, dianjurkan hanya untuk anak atau
dewasa muda.
- Aminofilin: digunakan pada serangan asma akut
- Kortikosteroid: bukan golongan bronkodilator, tetapi secara tidak langsung
dapat melebarkan saluran nafas. Dipakai pada serangan asma akut atau
terapi pemeliharaan.
- Antikolinergik
4. Mengurangi respon dengan jalan meredam inflamasi saluran nafas
Dapat diberikan natrium kromolin atau dengan kortikosteroid baik per oral,
parenteral atau inhalasi.

25
Berdasarkan fungsinya, obat asma dibagi menjadi:
a. Pencegah (controller)
Adalah obat yang dipakai setiap hari dalam jangka panjang untuk menjaga agar
gejala asma tetap terkendali melalui efek anti inflamasi obat. Termasuk golongan ini
antara lain Glukokortikoid inhalasi dan sistemik, leukotriene modifiers, beta 2 agonis
inhalasi kerja panjang dikombinasikan dengan Glukokortikoid, teofilin lepas lambat,
kromon, dan anti IgE. Glukokortikoid inhalasi adalah pengobatan pencegah yang paling
efektif saat ini.

b. Penghilang gejala (reliever)


Adalah obat yang dipakai sesuai kebutuhan, yaitu untuk mengurangi
bronkokonstriksi dan menghilangkan gejala-gejala asma dengan segera. Termasuk
golongan ini adalah beta 2 agonis inhalasi kerja cepat, antikolinergik inhalasi, teofilin
kerja cepat, dan beta 2 agonis oral kerja cepat.

Pengobatan Farmakologis Berdasakan Anak Tangga


Derajat Klinis Sebelum Nilai VEP1 Obat Pencegah Harian
Pengobatan
Asma - gejala intermiten >80% (var: Tidak diperlukan
Intermiten 1x <20%) Bila timbul serangan dapat
seminggu digunakan agonis beta 2 hirup,
- serangan singkat bila serangan berat timbul,
(jam- ditambahkan pemberian
hari) glukokortikoid sistemik.
- serangan malam
2x/bulan
Asma - gejala >2x 80% Glukokortikoid hirup dosis
Persisten seminggu (var: 20- rendah
Ringan (<1x per hari) 30%) Alternatif: teofilin lepas lambat,
- serangan kromolin, anti-leukotrien,
mengganggu nedokromil
aktivitas & tidur

26
- serangan malam
>2x/bulan
Asma -gejala (+) setiap hari > 60%-< Glukokortikoid dosis rendah-
Persisten -serangan 80% sedang hirup dan agonis beta-2
Sedang mengganggu aktivitas (var: >30%) hirup kerja panjang.
& tidur Alternatif: anti-leukotrien atau
-serangan malam teofilin
>1x/minggu
Asma -gejala terus menerus, 60% Glukokortikoid hirup dosis tinggi
Persisten sering mendapat (var: > 30%) dan beta-2 agonis hirup kerja
Berat serangan panjang, dan jika perlu
-aktivitas fisik ditambahkan glukokortikoid
terbatas karena gejala tabl atau sirup kerja panjang (2
asma mkg/hari, maks. 60 mg/hari).
-serangan malam
sering

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunnegoro, Hadiarto, et al. ASMA Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di


Indonesia. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. 2004.
2. Global Initiative For Asthma. Global Strategy For Asthma Management And
Prevention. MRC Vision Inc. 2006.
3. Kasper, D. L., et al. Harrison's Principles of Internal Medicine: Asthma. 16th
Edition. McGraw-Hill Professional. 2004
4. Sundaru, H., Sukamto. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Asma Bronkial. Jilid I.
Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta.
2006.

28

Anda mungkin juga menyukai