Anda di halaman 1dari 16

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Umur dan Jenis Kelamin

a. Umur

Umur adalah lamanya keberedaan seseorang yang diukur dalam satuan

waktu yang merupakan ukuran sifat seseorang yang dipandang dari hal usia

kronologik rata-rata individu normal yang memperlihatkan derajat kecakapan

yang sama (Dorland, 2010).

Menurut Depkes RI (2009), umur dapat dikategorikan menjadi anak-

anak, dewasa, dan tua. Umur anak-anak adalah 18 tahun, umur dewasa

adalah 19-45 tahun, dan umur tua adalah 46 tahun.

b. Jenis Kelamin

Jenis kelamin adalah konsep seseorang tentang dirinya sendiri sebagai

laki-laki atau perempuan yang biasanya berdasarkan ciri fisik, sikap dan

penghargaan orang tua, serta tekanan sosial dan psikologis yang dialami

individu tersebut (Dorland, 2010). Menurut Depkes (2009), jenis kelamin

dapat dikategorikan menjadi laki-laki dan perempuan.

Jenis kelamin mempunyai pengaruh besar terhadap kesehatan laki-laki

dan perempuan. Baik laki-laki maupun perempuan sama-sama terkena

dampak dan gender steriotipi masing-masing. Misalnya sesuai dengan pola


commit to user

5
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id6

perilaku yang diharapkan sebagai laki-laki, maka laki-laki dianggap tidak

pantas memperlihatkan rasa sakit atau mempertunjukkan kelemahan serta

keluhannya. Perempuan yang diharapkan memiliki toleransi yang tinggi,

berdampak terhadap caranya menunda-nunda pencarian pengobatan, terutama

dalam situasi sosial ekonomi yang kurang dan harus memilih prioritas, maka

biasanya perempuan dianggap wajar untuk berkorban. Keadaan ini juga dapat

berpengaruh terhadap konsekuensi kesehatan yang dihadapi laki-laki dan

perempuan. Penting sekali memahami realitas, bahwa perempuan dan laki-

laki menghadapi penyakit dan kesakitan bisa berbeda (Kementerian

Pemberdayaan Perempuan RI, 2006).

2. Nekrosis Pulpa dengan Abses Periapikal

a. Nekrosis Pulpa

Nekrosis pulpa (necrotic pulp atau non-vital pulp) merupakan jaringan

pulpa yang tidak memperoleh aliran darah dan saraf serta sudah tidak

mengandung jaringan hidup, dengan atau tanpa invasi bakteri. Hal ini dapat

dibuktikan dari hilangnya kepekaan terhadap rangsangan listrik, panas, dingin,

maupun trauma. Apabila keadaan nekrosis jaringan pulpa disebabkan oleh suatu

infeksi bakteri yang mengikuti hingga mengganggu suplai darah ke pulpa serta

memberikan gambaran stadium lanjut dari pulpitis yang tidak tertangani, maka

nekrosis seperti ini disebut gangren pulpa (Dorland, 2010).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id7

Gambar 2.1 Nekrosis Pulpa dengan Abses Periapikal (Shafer et al., 2009)

Proses terjadinya nekrosis pulpa diawali dengan plak yang menjadi

tempat tumbuh bagi bakteri. Bakteri pada gigi dan mulut akan mungubah plak

menjadi zat asam yang akan menurunkan pH. Hal tersebut akan mengawali

demineralisasi gigi, kemudian mengakibatkan pembentukan kavitas. Awalnya

akan terlihat bercak putih pada lapisan email gigi yang kemudian berangsur-

angsur berubah menjadi warna coklat (Neville et al., 2008).

Melalui kavitas yang terbentuk, bakteri akan terus masuk hingga ke

jaringan pulpa yang selanjutnya akan menjadi sumber utama inflamasi sehingga

mengakibatkan peradangan pada pulpa. Beberapa penelitian menyatakan bahwa

inflamasi pulpa yang mengakibatkan penyakit pulpa merupakan infeksi

polimikrobial, yaitu infeksi yang disebabkan oleh berbagai jenis bakteri

(Sutasmi, 2012). Menurut Fouad (2009), beberapa jenis bakteri yang menjadi

iritan mikroba pada gigi nekrosis sebagai berikut.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id8

1) Peptostreptococcus sp

Peptostreptococcus sp merupakan genus Streptococcus yang hanya

tumbuh dalam kondisi anaerob atau mikroaerofilik dan menghasilkan berbagai

hemolisin. Streptococcus ini merupakan flora normal mulut, saluran napas atas,

usus, dan traktus genitalia. Organisme ini bersama dengan spesies bakteri lain

sering menimbulkan infeksi bakteri campuran di abdomen, pelvis, paru, dan

otak.

2) Porphyromonas sp

Porphyromonas sp merupakan bakteri basil gram negatif. Bakteri jenis

ini merupakan bagian dari flora normal mulut dan terdapat juga pada organ

tubuh yang lain. Genus Porphyromonas meliputi spesies yang sebelumnya

dimasukkan ke dalam genus Bacteroides. Spesies Porphyromonas dapat

dibiakkan dari infeksi gusi dan periapikal gigi.

3) Prevotella sp

Spesies Prevotella merupakan bakteri basil gram negatif dan dapat

terlihat seperti coccobasillus. Spesies yang paling sering diisolasi adalah P.

melannognica, P. bivia, dan P.disiens. Prevotella sering dikaitkan dengan

organisme anaerob lainnya yang merupakan bagian dari flora normal terutama

Peptostreptococcus, bakteri basil anaerob gram positif, spesies Fusobacterium,

bakteri anaerob fakultatif gram positif dan gram negatif yang merupakan

bagian dari flora normal.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id9

4) Fusobacterium sp

Fusobacterium merupakan bakteri basil pleomorfik gram negatif.

Sebagian besar spesies menghasilkan asam butirat dan merubah treonin

menjadi asam propionat. Kelompok Fusobacterium meliputi beberapa spesies

yang paling sering diisolasi dari infeksi bakteri campuran yang disebabkan oleh

flora normal mukosa. Namun, spesies Fusobacterium juga dapat menjadi satu-

satunya bakteri pada sebuah infeksi.

5) Actinomyces sp

Kelompok Actinomyces meliputi beberapa spesies yang menyebabkan

aktinomikosis. Pada pewarnaan gram, bakteri ini sangat bervariasi ukurannya.

Beberapa spesies dapat bersifat aerotoleran dan tumbuh dengan adanya udara.

Spesies Actinomyces sensitif terhadap penisilin, eritromisin, dan antibiotik

lainnya.

6) Enterococcus sp

Kelompok Enterococcus merupakan bakteri kokus gram positif. Bakteri

ini bersifat nonhemolitik, katalase negatif, dan merupakan salah satu penyebab

infeksi nosokomial yang paling sering dan resisten terhadap antibiotik tertentu.

Enterococcus lebih resisten terhadap penisilin daripada Streptococcus. Banyak

isolat Enterococcus yang resisten terhadap vankomisin.

Bakteri akan memproduksi toksin yang akan berpenetrasi ke dalam pulpa

melalui tubulus dentinalis sehingga sel-sel inflamasi kronik seperti makrofag,

limfosit, dan sel plasma akan berinfiltrasi secara lokal pada jaringan pulpa. Jika

pulpa terbuka maka leukosit polimorfonuklear berinfiltrasi dan membentuk suatu


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
10

daerah nekrosis pada lokasi terbukanya pulpa. Jaringan pulpa bisa tetap

terinflamasi untuk waktu yang lama, apabila tanpa perawatan yang baik akan

menjadi nekrosis pulpa. Hal ini tergantung pada virulensi bakteri, kemampuan

mengeluarkan cairan inflamasi untuk mencegah peningkatan tekanan intra-pulpa,

ketahanan inang, jumlah sirkulasi, dan drainase limfe. Apabila sampai terjadi

peningkatan tekanan jaringan di dalam ruang pulpa, maka dapat menyebabkan

kolapsnya pembuluh darah yang menjadikan pulpa kekurangan asupan nutrisi

sehingga terjadi proses nekrosis. (Sudibyo, 2003; Neville, et al., 2008).

Beberapa penyebab lain nekrosis pulpa dapat berupa trauma yang hebat

akibat kecelakaan yang dapat memutuskan jaringan pulpa dengan jaringan

periapikalnya, benturan yang hebat, dislokasi gigi, dan fraktur gigi (Mansjoer,

2009; Shafer et al., 2009).

Adanya kerusakan gigi disadari setelah timbul rasa nyeri. Nyeri biasanya

timbul bila rangsangan mengenai ujung sel odontoblas pada perbatasan dentin

dengan email yang merupakan garis depan pertahanan jaringan pulpa. Apabila

rangsangan sudah mencapai pulpa, nyeri dentin dapat berlanjut menjadi nyeri

pulpa. Kemudian terjadi reaksi pada sistem aliran darah mikro dan sistem seluler

jaringan pulpa. Proses ini menyebabkan odema pada pulpa karena terganggunya

keseimbangan antara aliran darah yang masuk dengan yang keluar. Odema pada

pulpa yang terletak di dalam rongga pulpa yang sempit mengakibatkan sistem

persarafan pulpa terjepit sehingga menimbulkan rasa nyeri hebat. Persarafan pulpa

gigi adalah serat saraf cabang sensorik ganglion trigeminal dan cabang otonomik

ganglion servikal superior. Fungsi saraf sensorik (saraf aferen/sensory neuron, di


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
11

antaranya A-delta dan C-fibers) untuk mendeteksi rangsangan dan

melanjutkannya ke sistem saraf pusat. Sistem otonomik berfungsi untuk menjaga

keseimbangan jaringan pulpa dan menjaga sistem homeostatis. Sistem yang

terdapat dalam organ pulpa gigi ini yang mengatur proses pemulihan/reaksi

jaringan pulpa terhadap cedera (Rukmo, 2011).

Manifestasi klinis nekrosis pulpa dapat berupa nekrosis parsial dan

nekrosis total. Nekrosis parsial menunjukkan gejala seperti pulpitis ireversibel

dengan nyeri spontan sedangkan nekrosis total tidak menunjukkan gejala dan

tidak ada respons terhadap tes termal dan tes listrik. Pada saat inspeksi, pada

bagian depan mahkota gigi, terkadang akan terlihat bercak coklat kehitaman yang

merupakan fokus karies. Gambaran radiografik akan terlihat adanya radiolusen

pada akar gigi dan gambaran ruang pulpa menghilang. Gambaran radiografik ini

akan sangat berguna untuk menentukan penyebab nyeri yang tidak jelas di

kuadran maxilla atau mandibula (Shafer et al., 2009).

Menurut Tarigan (2006), ada 2 tipe nekrosis pulpa, yaitu tipe koagulasi

dan tipe likuifaksi. Pada nekrosis pulpa tipe koagulasi terdapat bagian jaringan

pulpa yang larut, mengendap, dan berubah menjadi bahan yang padat. Pada tipe

likuifaksi, enzim proteolitik mengubah jaringan pulpa menjadi suatu bahan yang

lunak atau cair. Pada setiap proses nekrosis pulpa selalu terbentuk hasil akhir

berupa H 2 S, amoniak, bahan-bahan yang bersifat lemak, indikan, protamain, air,

dan CO 2 . Selain itu juga dihasilkan indol, skatol, putresin, dan kadaverin yang

menyebabkan bau busuk pada nekrosis pulpa. Secara klinis pada pasien dengan

nekrosis pulpa akan ditemui bau mulut yang tajam.


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
12

Nekrosis pulpa merupakan akibat akhir dari pulpitis yang diawali karies,

tetapi juga menjadi awal dari penyakit atau kelainan periapikal ketika nekrosis

tersebut tidak mendapat perawatan (Mansjoer, 2009).

b. Abses Periapikal

Abses periapikal adalah abses pada apikal gigi yang ditandai dengan

pengeluaran pus secara intermiten melalui saluran sinus dengan onset yang

bertahap di mana jaringan yang terkena abses hanya mengalami sedikit

pembengkakan dan sedikit rasa tidak nyaman (Dorland, 2010).

Peradangan yang terjadi terus-menerus pada daerah periapikal akan

mengakibatkan respons peradangan akut yang mengubah jaringan periapikal

menjadi jaringan granulomatosa dengan sel-sel inflamasi kronis dan fibroblas.

Kondisi ini tanpa gejala, tetapi disertai dengan pembentukan daerah radiolusen

sebagai akibat dari resorpsi tulang periapikal (Queiroz et al., 2010), sedangkan

pada prosedur perkusi dan palpasi hasilnya respons tidak sensitif (McClanahan et

al., 2002).

Perubahan patologis pada jaringan periapikal tersebut merupakan respons

imunitas inang terhadap produk bakteri yang dikeluarkan melalui foramen apikal

dari pulpa yang terinfeksi. Respons imunitas inang ini ditandai oleh migrasi

leukosit polimorfonuklear, monosit, limfosit, plasma, dan sel mast ke daerah yang

terinfeksi secara terus-menerus yang sebagian besar untuk mencegah invasi

bakteri ke dalam jaringan periapikal. Dalam hal ini, sel imun dan mediator

inflamasi seharusnya melindungi inang dari invasi patogen, tetapi pada kasus

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
13

abses periapikal sel imun dan mediator inflamasi justru mengakibatkan resorpsi

tulang periapikal (Queiroz et al., 2010).

Perkembangan infeksi pulpa gigi memicu respons inflamasi pada jaringan

periapikal. Sel-sel inflamasi seperti makrofag ditarik ke daerah yang mengalami

infeksi dan melepaskan mediator proinflamasinya. Salah satu mediator adalah IL-

12, yang menginduksi sel Th1 untuk memproduksi IFN-. Jalur IL-12 - IFN-

dapat menginduksi resorpsi tulang dengan produksi sitokin proinflamasi seperti

TNF- dan IL-1. Jalur ini menginduksi resorpsi tulang dengan menekan

diferensiasi dan aktivasi osteoklas yang mendukung pemeliharaan dan

pembentukan tulang sehingga terjadi ketidakseimbangan antara osteoklas dan

osteoblas. Ketidakseimbangan inilah yang mengakibatkan resorpsi tulang

periapikal (Queiroz et al., 2010).

Penyakit jaringan periapikal biasanya dimulai dengan periodontitis, tanpa

disertai gejala atau ada sedikit kepekaan terhadap perkusi dan penebalan ligamen

periodontal. Periodontitis ini pada mulanya disebabkan oleh perluasan radang

pulpa atau trauma periapikal akibat perawatan endodontik, seperti instrumentasi

berlebih atau rangsangan obat saluran akar. Selain itu adanya plak, kalkulus,

debris makanan, benda asing, dan prosedur drainase yang salah juga dapat

mengakibatkan bakteri plak pada poket periodontal menyebabkan iritasi dan

inflamasi, sehingga terjadi produk pus di dalam poket yang menyebabkan abses

periodontal (Tarigan, 2006).

Jika radang pada jaringan periapikal dibiarkan tanpa perawatan, produk

iritasi pulpa yang mati dapat menjadi rangsangan yang terus-menerus di jaringan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
14

periapikal. Dalam keadaan normal jaringan periapikal gigi tersebut akan berusaha

membendung laju rangsangan dengan cara mengadakan proliferasi jaringan

granulasi, sehingga terbentuk suatu granuloma periapikal. Jika proses iritasi

berlangsung terus, maka epitel yang terperangkap di dalam granuloma

mengadakan proliferasi. Proliferasi epitel ini diduga disebabkan oleh karena

adanya penurunan tekanan O 2 dan adanya kemampuan epitel untuk mengadakan

glikolisis anaerob. Kegagalan memperoleh nutrisi pada bagian tersebut akan

mengakibatkan degenerasi sehingga menjadi nekrotik (Rukmo, 2011).

c. Angka Kejadian Nekrosis Pulpa dengan Abses Periapikal

Angka kejadian nekrosis pulpa dengan abses periapikal dipengaruhi oleh

dua faktor yaitu umur dan jenis kelamin yang erat hubungannya dengan oral

hygiene masing-masing individu. Hal ini dikarenakan semakin rendah oral

hygiene individu, maka semakin besar risiko terkena nekrosis pulpa dengan

abses periapikal yang diawali dengan karies (Pitts et al., 2011).

Angka kejadian di negara-negara Eropa, dulunya lebih tinggi

dibandingkan dengan negara lain. Hal ini berkaitan dengan tingginya konsumsi

gula per kapita. Selain itu, pada masa industri, kebiasaan tradisional masyarakat

yang mengonsumsi karbohidrat, membuat angka kejadian nekrosis pulpa

meningkat karena bakteri pada mulut cepat mengubah karbohidrat menjadi

asam. Namun, saat ini di negara maju seperti Eropa sudah terdapat perbaikan

karena tingkat kesadaran yang tinggi akan menjaga kesehatan dan kebersihan

gigi dan mulut (Shafer et al., 2009). Berbanding terbalik dengan Indonesia pada

era globalisasi saat ini di mana menurut penelitian Bagramian (2009) dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
15

Mafuvadze (2013), prevalensi karies meningkat di negara-negara berkembang.

Budaya konsumtif masyarakat yang senang mengonsumsi makanan cepat saji

dan minuman kemasan berkarbonasi sangat berdampak pada kesehatan gigi dan

mulut. Selain itu kurangnya kesadaran untuk menjaga kebersihan dan melakukan

perawatan gigi dan mulut jelas akan meningkatkan kejadian nekrosis pulpa yang

disertai abses.

Menurut Departemen Kesehatan RI (2006), penyakit gigi dan mulut pada

2004, diderita oleh 90% penduduk Indonesia dengan penyakit utama yang

diderita adalah penyakit jaringan penyangga. Hasil Riskesdas yang dilaksanakan

oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) tahun 2007

didapatkan pasien gigi dan mulut di Indonesia sebanyak 23,5%. Hasil Riskesdas

tahun 2013, di Indonesia yang mengalami penyakit gigi dan mulut sebanyak

25,9%.

3. Pengaruh Umur dan Jenis Kelamin terhadap Kejadian Nekrosis Pulpa

dengan Abses Periapikal

Angka kejadian nekrosis pulpa dengan abses periapikal dipengaruhi

oleh dua faktor yaitu umur dan jenis kelamin yang erat hubungannya dengan

oral hygiene masing-masing individu. Hal ini dikarenakan semakin rendah oral

hygiene individu, maka semakin besar risiko terkena nekrosis pulpa dengan

abses periapikal (Pitts et al., 2011).

Umur individu berpengaruh pada angka kejadian nekrosis pulpa dengan

abses periapikal. Kebanyakan individu tua dan anak-anak memiliki oral


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
16

hygiene yang rendah jika dibandingkan dengan individu dewasa yang

menyebabkan anak-anak lebih mudah mengalami karies sedangkan orang yang

sudah tua lebih mudah mengalami pulpitis hingga nekrosis. Faktor yang

memengaruhi antara lain tingkat kesadaran untuk menjaga kesehatan dan

kebersihan gigi dan mulut yang berkurang. Semakin muda ( 18 tahun) dan tua

( 46 tahun), kebiasaan menggososk gigi 2 kali sehari jarang dilakukan

sehingga rongga mulut akan menjadi tempat yang baik untuk pertumbuhan

bakteri yang merugikan (Neville et al., 2008; Chu et al., 2012; Jain et al., 2012;

Dixit et al., 2013). Perilaku orang dewasa yang lebih teratur melakukan

perwatan gigi dan mulut dan menggosok gigi 2 kali perhari sehingga angka

kejadiannya lebih sedikit (Wiener et al., 2013). Selain itu, pada individu tua

biasanya mudah ditemui penyakit-penyakit sistemik seperti penyakit

kardiovaskular, diabetes mellitus (DM), dan penyakit ginjal. Adanya penyakit

sistemik memengaruhi tingkat imunitas individu, kurangnya perfusi darah dan

oksigen ke jaringan (termasuk pulpa), memudahkan bakteri untuk masuk ke

jaringan pulpa, dan meningkatkan mediator inflamasi yang dapat

mengakibatkan reaksi berbeda pada individu terkait. Jadi, semakin banyak

penyakit sistemik yang menyerang individu, imunitas akan semakin menurun,

dan semakin mudah terserang penyakit gigi dan mulut seperti nekrosis pulpa

(Tunes et al., 2010; Martinez et al., 2011; Shetty et al., 2012).

Jenis kelamin mempunyai pengaruh besar terhadap kesehatan laki-laki

dan perempuan. Baik laki-laki maupun perempuan sama-sama terkena dampak

dari stereotipe masing-masing, tetapi pola perilaku laki-laki dan perempuan


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
17

akan memberikan dampak yang berbeda terhadap kesehatannya (Kristina,

2014). Berdasarkan jenis kelamin, terbukti bahwa laki-laki lebih mudah terkena

nekrosis pulpa dengan abses periapikal daripada perempuan. Hal ini

dikarenakan kebiasaan laki-laki yang lebih banyak merokok dan mengunyah

permen karet (Kundu et al., 2011; Glazar et al., 2013). Menurut Wiener et al

(2013), terdapat perbedaan perilaku dalam menjaga kesehatan gigi berdasarkan

jenis kelamin yang menyebabkan perempuan memiliki oral hygiene yang lebih

baik daripada laki-laki. Perilaku yang diteliti meliputi menggosok gigi 2 kali

sehari, membersihkan sela-sela gigi menggunakan benang gigi, dan melakukan

perawatan gigi dan mulut secara teratur sebagai pencegahan terhadap penyakit

gigi dan mulut.

Selain itu, kebiasaan merokok pada laki-laki juga dapat meningkatkan

angka kejadian nekrosis pulpa dengan abses periapikal (Kundu et al., 2011;

Barnabe et al., 2014). Merokok dapat mengakibatkan karies melalui

peningkatan jumlah plak. Adanya kandungan tembakau seperti tar, nikotin dan

karbon monoksida dalam rokok dapat menimbulkan terbentuknya stain pada

permukaan gigi yang menyebabkan permukaan gigi menjadi kasar dan

berakibat pula mudah terbentuk plak dan kalkulus. Selain itu dalam asap rokok

terdapat eugenol (minyak cengkeh) dan derivatnya yang mempunyai efek anti

inflamasi dan topikan anestesi yang menyebabkan perokok jarang merasa sakit

gigi meskipun menderita karies (Mulyawati, 2008).

Kebiasaan laki-laki yang sering mengonsumsi permen karet juga dapat

meningkatkan angka kejadian nekrosis pulpa dengan abses. Permen karet


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
18

mengandung gula sukrosa. Sukrosa yang menaikkan indikasi karies paling

besar. Hal ini disebabkan oleh sintesa ekstra sel sukrosa lebih cepat daripada

gula lainnya seperti glukosa, fruktosa, dan laktosa sehingga cepat diubah oleh

mikroorganisme dalam rongga mulut menjadi asam (Sutasmi, 2012). Menurut

Zero et al (2011), rongga mulut yang asam akan menurunkan pH plak sehingga

mudah terbentuk lubang pada gigi yang mengawali proses karies dan apabila

tidak dilakukan perawatan gigi akan mengakibatkan nekrosis pulpa hingga

abses periapikal.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
19

B. Kerangka Pemikiran

Plak

Karies gigi

Bakteri (anaerob
pyogenik)

Umur
Peradangan pada pulpa

Nekrosis Pulpa Jenis Kelamin

Bakteri penetrasi ke
jaringan periapikal

Peradangan jaringan
periapikal

Abses periapikal

Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
20

C. Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah:

H0: Tidak terdapat pengaruh umur dan jenis kelamin dengan angka kejadian

nekrosis pulpa dengan abses periapikal.

H1: Terdapat pengaruh umur dan jenis kelamin dengan angka kejadian nekrosis

pulpa dengan abses periapikal.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai