Anda di halaman 1dari 7

29

5.2 Pembahasan
5.2.1. Distribusi Proporsi Lansia Berdasarkan Usia
Menua atau menjadi tua adalah suatu proses menghilangnya secara
perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan
mempertahankan fungsi normal sehingga menyebabkan lanjut usia mudah untuk
terkena infeksi serta sulit untuk memperbaiki kerusakan yang dideritanya (Perry,
2009).

Perubahan yang wajar dalam usia lanjut dalam proses berfikir, mengingat
serta dalam proses menangkap maupun merespon sesuatu sudah mulai mengalami
penurunan secara berkala. Proses menua secara individu mengakibatkan beberapa
masalah baik masalah secara fisik, biologis, mental maupun social ekonominya.
Hal ini dapat dilihat terkait dengan masalah kesehatan yang paling banyak dialami
adalah penyakit tidak menular (Perry, 2009).

Aspek fisik dan psikososial pada proses penuaan memiliki keterkaitan yang
erat. Pada lansia menurunnya kemampuan merespon stres. Pengalaman kehilngan
berkali-kali, dan perubahan fisik normal pada penuaan menempatkan lansia pada
risiko terkena penyakit fungsional. Beberapa sterotip yang muncul adalah bahwa
lansia penuh dengan penyakit, ketidakmampuan dan fisik lansia tidak menarik.
Meskipun banyak lansia yang menderita penyakit kronis yang bisa mengganggu
aktivitas sehari-harinya, tetapi pada tahun 2004 terdapat 37,4% lansia yang
menganggap dirinya sehat. Spesialis pada bidang gerontologi menyebutkan lansia
sebagai individu dengan pandangan optimis, ingatan yang masih cukup baik,
mempunyai kontak sosial yang luas, dan mempunyai sikap toleransi terhadap
orang lain (Perry, 2009).

Faktor fisik yang kurang baik akan membuat seseorang kehilangan


kesempatan untuk mengaktualisasikan dirinya disebabkan keterbatasan fisik yang
dimiliki. Keterbatasan tersebut akan menghambat pencapaian kesejahteraan fisik,
yang pada akhirnya akan berdampak pada kualitas hidup yang rendah.
30

Munurut C.J. Bulpit, faktor usia yang mempengaruhi kejadian hipertensi


adalah usia 45 tahun ke atas. Dengan bertambahnya usia resiko terjadi hipertensi
meningkat. Hal ini disebabkan oleh perubahan alami pada jantung, berkurangnya
elastisitas pembuluh darah, dan hormon. Apabila perubahan tersebut disertai
faktpr-faktor lain maka dapat memicu terjadinya hipertensi.

5.2.2. Distribusi Proporsi Lansia Berdasarkan Jenis Kelamin

Distribusi responden paling banyak pada penelitian ini adalah responden


dengan jenis kelamin perempuan yaitu 56.9%

Penelitian Bain, dkk (2004) menemukan bahwa kualitas hidup perempuan


cenderung lebih tinggi dari pada laki-laki. Efendi (2011) mengatakan perempuan
terbukti lebih banyak melakukan olahraga dari aktifitasnya sehari-hari karena
terbiasa melakukan pekerjaan domestik sejak muda sehingga menjadikan lansia
perempuan sedikit dalam mengalami penurunan aktifitas. Lansia laki-laki
cenderung lebih banyak mengalami penurunan aktifitas fisik dimasa tuanya
karena kurangnya aktifitas olahraga dimasa mudanya. Hal ini berpengaruh pada
kualitas hidup lansia dari segi fisik.

Bila ditinjau perbandingan antara wanita dan pria, ternyata terdapat angka
yang cukup bervariasi. Hingga usia 55 tahun lebih banyak ditemukan pada pria.
Namun setelah terjadi menopause (biasanya setelah usia 50 tahun), tekanan darah
pada wanita meningkat terus, hingga usia 75 tahun tekanan darah tinggi lebih
banyak ditemukan pada wanita daripada pria. Hal ini disebabkan karena
terdapatnya hormon estrogen pada wanita. Perempuan yang belum menopouse
dilindungi oleh hormon estrogen yang berperan dalam meningkatkan kadar High
Density Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol HDL rendah dan tingginya
kolesterol LDL (Low Density Lipoprotein) mempengaruhi terjadinya proses
aterosklerosis

5.2.3. Distribusi Proporsi Lansia Berdasarkan Pendidikan Terakhir


31

Sebagian besar responden dalam penelitian ini berpendidikan SD.


Pendidikan dapat membentuk kecerdasan emosional. Seseorang yang memiliki
kecerdasan emosional tinggi akan mampu menguasai diri, mengelola emosi,
memotivasi diri dan mengarahkan dirinya untuk lebih produktif dalam berbagai
hal yang dikerjakan. Apabila kecerdasan emosionalnya rendah maka orang akan
menjadi cemas, menyendiri, sering takut, merasa tidak dicintai, merasa gugup,
sedih dan cenderung mudah terkena depresi. Stres dapat mempengaruhi tingkatan
untuk memperoleh kepuasan dalam hidup dan menjadi salah satu faktor yang ikut
berperan untuk menurunkan kualitas hidup.

Selain itu tingkat pendidikan secara tidak langsung mempengaruhi kualitas


fisik pada lansia karena tingkat pendidikan berpengaruh terhadap gaya hidup
seseorang yaitu seperti kebiasaan merokok, kebiasaan mengkonsumsi alkohol,
asupan makan, dan aktivitas fisik (Anggara dan Prayitno, 2013).

Seseorang dengan pendidikan tinggi bisa lebih memahami penyakit dan


petunjuk yang diberikan dalam penggunaan obat yang diberikan. Status
pendidikan juga mempengaruhi tingkat informasi yang didapat seseorang
sehingga individu dengan pendidikan tinggi dapat memahami informasi lebih baik
dibandingkan dengan individu dengan tahap pendidikan rendah (Notoatmodjo,
2007).

Tingkat pendidikan secara tidak langsung mempengaruhi tekanan darah


pada lansia karena tingkat pendidikan berpengaruh terhadap gaya hidup seseorang
yaitu seperti kebiasaan merokok, kebiasaan mengkonsumsi alkohol, asupan
makan, dan aktivitas fisik (Anggara dan Prayitno, 2013).

5.2.4. Distribusi Proporsi Lansia Berdasarkan Status Pekerjaan

Status bekerja yang dimaksud dalam penelitian ini adalah subjek setiap
harinya melakukan aktivitas yang berkaitan dengan pekerjaan baik dari sektor
formal maupun informal.Sedangkan subjek yang setiap harinya hanya melakukan
aktivitas seperti pekerjaan rumah tangga dan olahraga dikategorikan tidak
bekerja.Pekerjaan subjek yang ditemukan dari lapangan lebih banyak pada sektor
32

informal seperti petani, dan wiraswasta, sedangkan lainnya berada di sektor


informal sebagai pegawai.

Berdasarkan status pekerjaan para lansia, didapatkan mayoritas lansia sudah


tidak bekerja. Hal ini sesuai dengan survey nasional tahun 2011 dimana dimana
sebanyak 54,6% lansia di Indonesia sudah berada pada status tidak bekerja. Dan
sebanyak 45,41% sisanya masih dalam status bekerja. Hal ini cenderung
disebabkan oleh penurunan kemampuan fisik, mental dan sosial lansia sehingga
tidak dapat beraktivitas secara penuh layaknya saat masih dalam usia produktif.
Bantuan finansial yang diterima dari anak dan cucu juga menjadi faktor rendahnya
status masih bekerja pada lansia karena kebutuhan hidup yang seharusnya mereka
cari sudah tertutupi oleh upaya generasi penerus mereka.

Pekerjaan berpengaruh kepada aktifitas fisik seseorang. Orang yang tidak


bekerja bisa jadi aktifitasnya tidak banyak sehingga dapat meningkatkan kejadian
hipertensi. Pekerjaan dengan aktivitas sedang dan berat dapat meningkatkan
kebugaran fisik dan mencegah obesitas. (Kristansti et, al).

5.2.5. Distribusi Proporsi Lansia Berdasarkan Pendapatan

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Isa dan Baiyewu (2006) dan Gautam
et al (2009), pendapatan atau sosial ekonomi yang rendah berhubungan secara
bermakna dengan kualitas hidup seseorang. Penghasilan yang rendah akan bisa
mempengaruhi kondisi sakit yang sudah ada, keterbatasan finansial akan
membatasi responden untuk mencari informasi, perawatan dan pengobatan untuk
dirinya.

Hal ini berkaitan dengan hipertensi, karena kemampuan ekonomi yang


rendah membatasi seseorang untuk melakukan kontrol hipertensinya secara teratur
dan membeli antihipertensi, sementara antihipertensi harus terus dikonsumsi
seumur hidup. Kemampuan ekonomi yang tinggi juga menjadi faktor resiko
hipertensi secara tidak langsung. Hal ini dikarenakan adanya faktor resiko
overweight dan obesitas yang banyak dialami oleh kelompok berpendapatan
tinggi.
33

5.2.6. Distribusi Lansia berdasarkan Riwayat Hipertensi

Setelah dilakukan penelitian mengenai distribusi frekuensi hipertensi


dengan menggunakan sampel penelitian masyarakat di Puskesmas Medan
Tuntungan, didapatkan kasus hipertensi sebanyak 32 kasus (44,4%) Hal ini sejalan
dengan penelitian Dewhurst pada lansia di Tanzania, dimana didapatkan
prevalensi hipertensi pada lansia cukup tinggi yaitu 69.9% dari 2223 lansia.
Penelitian Douma di Yunani juga mendapatkan prevalensi yang tinggi dari
hipertensi pada lansia yaitu 89%. Insiden hipertensi meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. Hal ini juga sejalan dengan penelitian dimana hipertensi
menempati 87% kasus pada orang yang berusia diatas 60 tahun. National Health
and Nutrition Examination Survey (NHANES) menyebutkan 65% orang diatas
usia 65 tahun menderita hipertensi.
Dengan bertambahnya usia resiko terjadi hipertensi meningkat. Hal ini
disebabkan oleh perubahan alami pada jantung, berkurangnya elastisitas
pembuluh darah, dan hormon. Apabila perubahan tersebut disertai faktpr-faktor
lain maka dapat memicu terjadinya hipertensi.
Pencegahan hipertensi dapat dilakukan dengan pencegahan, primer,
sekunder, dan tersier. Pencegahan primer yaitu upaya awal pencegahan sebelum
seseorang menderita hipertensi, dimana dilakukan penyuluhan faktor-faktor risiko
hipertensi terutama pada kelompok risiko tinggi. Tujuan pencegahan primer
adalah untuk mengurangi insidensi penyakit dengan cara mengendalikan
penyebab-penyebab penyakit dan faktor-faktor risikonya. Pencegahan sekunder
yaitu upaya pencegahan hipertensi yang sudah pernah terjadi untuk berulang atau
menjadi berat. Pencegahan ini ditujukan untuk mengobati para penderita dan
mengurangi akibat-akibat yang lebih serius dari penyakit, yaitu melalui diagnosis
dini dan pemberian pengobatan. Dalam pencegahan ini dilakukan pemeriksaan
tekanan darah secara teratur dan juga kepatuhan berobat bagi orang yang sudah
pernah menderita hipertensi.

Pencegahan tersier yaitu upaya mencegah terjadinya komplikasi yang


lebih berat atau kematian. Upaya yang dilakukan pada pencegahan tersier ini yaitu
34

menurunkan tekanan darah sampai batas yang aman dan mengobati penyakit yang
dapat memperberat hipertensi. Pencegahan tersier dapat dilakukan dengan follow
up penderita hipertensi yang mendapat terapi dan rehabilitasi. Follow up ditujukan
untuk menentukan kemungkinan dilakukannya pengurangan atau penambahan
dosis obat.

5.2.7. Distribusi Kualitas Hidup Lansia

Hipertensi merupakan penyakit kronik yang dapat menimbulkan implikasi-


implikasi tertentu. Di samping implikasi terhadap organ, hipertensi dapat
memberikan pengaruh terhadap kehidupan sosial ekonomi dan kualitas hidup
seseorang. Beberapa studi menyebutkan bahwa individu dengan hipertensi
memiliki skor yang lebih rendah di hampir semua dimensi yang diukur
berdasarkan kuesioner WHOQOL dibandingkan dengan individu yang normal.
Hal ini disebabkan karena hipertensi dapat memberikan pengaruh buruk terhadap
vitalitas, fungsi sosial, kesehatan mental, dan fungsi psikologis.

Hipertensi merupakan salah satu penyakit yang paling berpengaruh terhadap


kesehatan dan kualitas hidup lansia (Ogihara dan Rakugi, 2005). Kualitas hidup
lansia merupakan suatu kondisi yang menyatakan tingkat kepuasan secara batin,
kenyamanan dan kebahagiaan hidup lansia (Yusup, 2010) Menurut
(DegIInnocenti, 2002). Mengatakan bahwa kualitas hidup lansia dapat dinilai
melalui fungsi kognitif lansia.

Penelitian yang dilakukan oleh Soni (2011) menyimpulkan bahwa terdapat


hubungan antara hipertensi dengan kualitas hidup yang menurun, dimana dalam
penelitian tersebut disebutkan bahwa lansia dengan hipertensi 4,6 kali hidupnya
kurang berkualitas dibandingkan dengan lansia yang tidak mengalami hipertensi.

Mekanisme dari dimensi kesehatan fisik yang buruk tidak diketahui secara
pasti, tetapi diperkirakan akibat dari pengaruh komplikasi dan gejala klinis yang
ditimbulkan oleh hipertensi. Pada beberapa studi lain menyebutkan, individu
dengan hipertensi dilaporkan mengalami gejala-gejala seperti sakit kepala,
35

depresi, cemas, dan mudah lelah. Gejala-gejala ini dilaporkan dapat


mempengaruhi kualitas hidup seseorang pada berbagai dimensi terutama dimensi
kesehatan fisik. Oleh karena itu, dalam menangani individu dengan hipertensi
sangat penting untuk mengukur kualitas hidup agar dapat dilakukan manajemen
yang optimal.

Kualitas hidup yang buruk pada dimensi kesehatan fisik dapat dicegah
dengan melakukan pencegahan primer, sekunder, dan tersier. Kualitas hidup
kesehatan fisik yang baik dapat tercapai dan terpelihara jika pasien dapat
mengontrol penyakitnya secara teratur. Dengan melakukan pengobatan yang rutin
dan baik, gejala klinis dapat berkurang dan timbulnya komplikasi cenderung
menurun. Pelaksanaan program dari puskesmas untuk meningkatkan kualitas
hidup lansia di bidang kesehatan fisik juga dapat semakin digalakkan, seperti
posyandu lansia, puskesmas keliling, senam lansia dan program lainnya yang
dapat meningkatkan kualitas kesehatan para lansia.

Anda mungkin juga menyukai