PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan negara berkembang yang berada dalam taraf halusinasi
menuju industrialisasi tentunya akan mempengaruhi peningkatan mobilisasi masyarakat
/mobilitas masyarakat yang meningkat otomatisasi terjadi peningkatan penggunaan alat-alat
transportasi atau kendaraan bermotor khususnya bagi masyarakat yang tinggal diperkotaan.
Sehingga menambah ketidakteraturan arus lalu lintas. Arus lalu lintas yang tidak teratur dapat
meningkatkan kecenderungan terjadinya kecelakaan kendaraan bermotor. Kecelakaan
tersebut sering kali menyebabkan cidera tulang atau disebut fraktur.
Menurut Smeltzer (2001) fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan
sesuai jenis dan luasnya.
Penanganan segera pada pasien yang dicurigai terjadinya fraktur adalah dengan
mengimobilisasi bagian fraktur adalah salah satu metode mobilisasi fraktur adalah fiksasi
Interna melalui operasi Orif (Smeltzer, 2001). Penanganan tersebut dilakukan untuk mencegah
terjadinya komplikasi. Komplikasi umumnya oleh akibat tiga fraktur utama yaitu penekanan
lokal, traksi yang berlebihan dan infeksi (Rasjad, 1998).
Peran perawat pada kasus fraktur meliputi sebagai pemberi asuhan keperawatan
langsung kepada pasien yang mengalami fraktur, sebagai pendidik memberikan pendidikan
kesehatan untuk mencegah komplikasi, serta sebagai peneliti yaitu dimana perawat berupaya
meneliti asuhan keperawatan kepada pasien fraktur melalui metode ilmiah.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk mendapatkan pengalaman nyata tentang asuhan keperawatan dengan fraktur
dan juga tatacara pemasangan traksi yang baik
2. Tujuan Khusus
Setelah melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien dengan fraktur terbuka Tibia
fibula, Penulis mampu :
a. Mengidentifikasi data yang menunjang masalah keperawatan pada fraktur.
b. Menentukan diagnosa keperawatan pada pasien dengan fraktur.
c. Melaksanakan tindakan pada pasien dengan fraktur yaitu salah satunya pemasangan
tarksi sesuai SOP yang tepat.
C. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari makalah ini terdiri atas manfaat teoritis dan manfaat praktis adalah
sebagai berikut :
1. Manfaat teoritis
2. Manfaat praktis
fraktur
b. Bagi penulis yaitu untuk mendapatkan pengalaman secara langsung dan menambah
FRAKTUR
A. Anatomi dan Fisiologi
1. Anatomi Tulang
Tulang terdiri dari sel-sel yang berada pada ba intra-seluler. Tulang berasal dari
embrionic hyaline cartilage yang mana melalui proses Osteogenesis menjadi tulang.
Proses ini dilakukan oleh sel-sel yang disebut Osteoblast. Proses mengerasnya tulang
Ada 206 tulang dalam tubuh manusia, Tulang dapat diklasifikasikan dalam lima
1). Tulang panjang (Femur, Humerus) terdiri dari batang tebal panjang yang disebut
diafisis dan dua ujung yang disebut epifisis. Di sebelah proksimal dari epifisis
terdapat metafisis. Di antara epifisis dan metafisis terdapat daerah tulang rawan
yang tumbuh, yang disebut lempeng epifisis atau lempeng pertumbuhan. Tulang
panjang tumbuh karena akumulasi tulang rawan di lempeng epifisis. Tulang rawan
digantikan oleh sel-sel tulang yang dihasilkan oleh osteoblas, dan tulang memanjang.
Batang dibentuk oleh jaringan tulang yang padat. Epifisis dibentuk dari spongi bone
(cancellous atau trabecular). Pada akhir tahun-tahun remaja tulang rawan habis,
bersama dengan testosteron, merangsang fusi lempeng epifisis. Batang suatu tulang
panjang memiliki rongga yang disebut kanalis medularis. Kanalis medularis berisi
sumsum tulang.
2). Tulang pendek (carpals) bentuknya tidak teratur dan inti dari cancellous (spongy)
4). Tulang yang tidak beraturan (vertebrata) sama seperti dengan tulang pendek.
5). Tulang sesamoid merupakan tulang kecil, yang terletak di sekitar tulang yang
berdekatan dengan persediaan dan didukung oleh tendon dan jaringan fasial,
Tulang tersusun atas sel, matriks protein dan deposit mineral. Sel-selnya terdiri
atas tiga jenis dasar-osteoblas, osteosit dan osteoklas. Osteoblas berfungsi dalam
pembentukan tulang dengan mensekresikan matriks tulang. Matriks tersusun atas 98%
ditimbun. Osteosit adalah sel dewasa yang terlibat dalam pemeliharaan fungsi tulang
dan terletak dalam osteon (unit matriks tulang ). Osteoklas adalah sel multinuclear (
berinti banyak) yang berperan dalam penghancuran, resorpsi dan remosdeling tulang.
terdapat kapiler. Dikelilingi kapiler tersebut merupakan matriks tulang yang dinamakan
lamella. Didalam lamella terdapat osteosit, yang memperoleh nutrisi melalui prosesus
yang berlanjut kedalam kanalikuli yang halus (kanal yang menghubungkan dengan
darah, dan limfatik. Lapisan yang paling dekat dengan tulang mengandung osteoblast,
Endosteum adalah membran vaskuler tipis yang menutupi rongga sumsum tulang
panjang dan rongga-rongga dalam tulang kanselus. Osteoklast , yang melarutkan tulang
untuk memelihara rongga sumsum, terletak dekat endosteum dan dalam lacuna
endapan garam. Bahan organik disebut matriks, dan terdiri dari lebih dari 90 % serat
kolagen dan kurang dari 10 % proteoglikan (protein plus sakarida). Deposit garam terutama
adalah kalsium dan fosfat, dengan sedikit natrium, kalium karbonat, dan ion magnesium.
Garam-garam menutupi matriks dan berikatan dengan serat kolagen melalui proteoglikan.
Adanya bahan organik menyebabkan tulang memiliki kekuatan tensif (resistensi terhadap
2. Fisiologi Tulang
b. Melindungi organ tubuh (misalnya jantung, otak, dan paru-paru) dan jaringan lunak.
c. Memberikan pergerakan (otot yang berhubungan dengan kontraksi dan pergerakan).
d. Membentuk sel-sel darah merah didalam sum-sum tulang belakang (hema topoiesis).
B. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh
rudapaksa (Mansjoer et al, 2000). Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing Care
Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang
yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh
tulang.
Fraktur terbuka adalah fraktur yang disertai kerusakan kulit pada tempat fraktur
(Fragmen frakturnya menembus kulit), dimana bakteri dari luar bisa menimbulkan infeksi pada
tempat fraktur (terkontaminasi oleh benda asing)
Patah Tulang Tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar (Soedarman, 2000). Pendapat lain menyatakan bahwa patah
tulang tertutup adalah suatu fraktur yang bersih (karena kulit masih utuh atau tidak robek)
tanpa komplikasi (Handerson, M. A, 1992).
C. Etiologi
1. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur
demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau
miring.
2. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat
terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur
hantaran vektor kekerasan.
3. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.Kekuatan dapat berupa pemuntiran,
penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
D. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk
menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap
tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya
kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam
korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi
karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan
tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini
menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma
dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses
penyembuhan tulang nantinya
Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur
1. Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar,
waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
2. Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya
fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau
kekerasan tulang.
E. Patoflow
Gangguan
Mobilitas Fisik
Gangguan
Perpusi Jaringan
F. Klasifikasi Fraktur
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis , dibagi
menjadi beberapa kelompok, yaitu:
1. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
a. Faktur Terbuka (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
b. Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
2. Berdasarkan komplit atau ketidak komplitan fraktur.
a. Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui
kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
b. Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti:
1) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
2) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi
tulang spongiosa di bawahnya.
3) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang
terjadi pada tulang panjang.
3. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma.
a. Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan
akibat trauma angulasi atau langsung.
b. Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu
tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
c. Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan
trauma rotasi.
d. Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong
tulang ke arah permukaan lain.
e. Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada
insersinya pada tulang.
4. Berdasarkan jumlah garis patah.
a. Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
b. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
c. Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang
sama.
5. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
a. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen tidak
bergeser dan periosteum masih utuh.
b. Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut
lokasi fragmen, terbagi atas:
1) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan
overlapping).
2) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
3) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).
6. Berdasarkan posisi frakur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
a. 1/3 proksimal
b. 1/3 medial
c. 1/3 distal
7. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
8. Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.
Pada fraktur terbuka ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak
sekitar trauma, yaitu:
1. Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak sekitarnya.
2. Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
3. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan
pembengkakan.
4. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan ancaman
sindroma kompartement.
G. Manifestasi Klinik
1. Deformitas (perubahan bentuk)
2. Bengkak/edema
3. Echimosis (Memar)
4. Spasme otot (otot mengencang)
5. Nyeri
6. Kurang/hilang sensasi
7. Krepitasi
8. Pergerakan abnormal (gerakan tidak normal)
9. Rontgen abnormal
H. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi / luasnya fraktur trauma
b. Scan tulang, tomogram, scan CT / MRI : memperlihatkan fraktur, juga dapat digunakan
untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
d. Hitung daerah lengkap : HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun
(pendarahan sel darah putih adalah respon stress normal setelah trauma).
e. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk pasien ginjal
J. Komplikasi
Komplikasi fraktur dapat dibagi menjadi :
1. Komplikasi Dini
a. Nekrosis kulit
b. Osteomielitis
c. Kompartement sindrom
d. Emboli lemak
e. Tetanus
2. Komplikasi Lanjut
a. Kelakuan sendi
b. Penyembuhan fraktur yang abnormal : delayed union, mal union dan non union.
c. Osteomielitis kronis
d. Osteoporosis pasca trauma
e. Ruptur tendon
BAB III
PEMBAHASAN
PEMASANGAN TRAKSI
SOP TRAKSI
A. Definisi
Traksi adalah penggunaan kekuatan penarikan pada bagian tubuh. Ini dicapai dengan
memberi beban yang cukup untuk mengatasi penarikan otot.
Traksi adalah tahanan yang dipakai dengan berat atau alat lain untuk menangani
kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot.
Traksi adalah pemasangan gaya tarikan ke bagian tubuh. Traksi digunakan untuk
meminimalkan spasme otot; untuk mereduksi, menyejajarkan dan mengimbolisasi fraktur;
untuk mengurangi deformitas; dan untuk menambah ruangan di antara kedua permukaan
patahan tulang. Traksi harus diberikan dengan arah dan besaran yang diinginkan untuk
mendapatkan efek terapeutik.
B. Tujuan
Tujuan pemasangan traksi pada klien yang mengalami gangguan musculoskeletal adalah
mobilisasi tulang belakang servikal, reduksi dislokasi/subluksasi, distraksi interforamina
vertebrae, dan deformitas.
C. Indikasi
D. Jenis-Jenis Traksi
Traksi lurus atau langsung, memberikan gaya tarikan dalam satu garis lurus dengan bagian
tubuh berbaring di tempat tidur. Traksi ekstensi Buck dan traksi pelvis merupakan contoh traksi
lurus. Traksi suspensi seimbang memberi dukungan pada ekstrimitas yang sakit di atas tempat
tidur sehingga memungkinkan mobilisasi klien sampai batas tertentu tanpa terputusnya garis
tarikan. Traksi dapat dilakukan pada kulit (traksi kulit) atau langsung ke skelet tubuh (traksi
skelet). Traksi dapat dipasang dengan tangan (traksi manual), dan merupakan traksi sementara
yang bisa digunakan pada saat pemasangan gips.
1. Traksi kulit
Traksi kulit digunakan untuk mengontrol spasme kulit dan memberikan imobilisasi.
Bila dibutuhkan beban traksi yang berat dan dalam waktu yang lama, sebaiknya gunakan
traksi skelet. Traksi kulit terjadi akibat beban menarik tali, spon karet atau bahan kanvas
yang diletakkan ke kulit. Traksi pada kulit meneruskan traksi ke struktur musculoskeletal.
Beratnya beban yang dipasang sangat terbatas, tidak boleh melebihi toleransi kulit, tidak
lebih dari 2-3 kg. traksi pelvis umumnya 4,5-9 kg, tergantung berat badan klien (Smeltzer,
2002).
Menurut Sjamsuhidayat (1997), beban tarikan pada traksi kulit tidak boleh melebihi
5 kg, karena bila beban berlebih kulit dapat mengalami nekrosis akibat tarikan yang terjadi
karena iskemia kulit. Pada kulit yang tipis, beban yang diberikan lebih kecil lagi dan pada
orang tua tidak boleh dilakukan traksi kulit. Traksi kulit banyak dipasang pada anak-anak
karena traksi skelet pada anak dapat merusak cakram epifisis. Jadi beratnya beban traksi
kulit antara 2-5 kg.
Lama traksi, baik traksi kulit maupun traksi skelet bergantung pada tujuan traksi.
Traksi sementara untuk imobilisasi biasanya hanya beberapa hari, sedangkan traksi untuk
reposisi beserta imobilisasi lamanya sesuai dengan lama terjadinya kalus fibrosa. Setelah
terjadi kalus fibrosa, ekstremitas diimobilisasi dengan gips. Traksi kulit apendikuler (hanya
pada ekstremitas) digunakan pada orang dewasa, termasuk traksi ekstensi Buck, traksi
Russel, dan traksi Dunlop.
Traksi Buck, ekstensi Buck (unilateral atau bilateral) adalah bentuk traksi kulit di
mana tarikan diberikan pada satu bidang bila hanya imobilisasi parsial atau temporer yang
diinginkan. Traksi Buck digunakan untuk memberikan rasa nyaman setelah cedera pinggul
sebelum dilakukan fiksasi bedah. Sebelumnya inspeksi kulit dari adanya abrasi dan
gangguan peredaran darah. Kulit dan peredaran darah harus salam keadaan sehat agar
dapat menoleransi traksi. Kulit harus bersih dan kering sebelum boot spon atau pita traksi
dipasang.
Traksi Russel, traksi Russel dapat digunakan untuk fraktur pada plato tibia,
menyokong lutut yang fleksi pada penggantung dan memberikan gaya tarikan horizontal
melalui pita traksi dan balutan elastis ke tungkai bawah. Bila perlu, tungkai dapat disangga
dengan bantal agar lutut benar-benar fleksi dan menghindari tekanan pada tumit.
Traksi Dunlop, adalah traksi yang digunakan pada ekstremitas atas. Traksi horizontal
diberikan pada humerus dalam posisi abduksi, dan traksi vertikal diberikan pada lengan
bawah dalam posisi fleksi. Untuk menjamin traksi kulit tetap efektif, harus dihindari
adanya lipatan dan lepasnya balutan traksi dan kontraksi harus tetap terjaga. Posisi yang
benar harus dipertahankan agar tungkai atau lengan tetap dalam posisi netral. Untuk
mencegah pergerakan fragmen tulang satu sama lain, klien dilarang memiringkan
badannya namun hanya boleh bergeser sedikit. Traksi kulit dapat menimbulkan masalah
risiko, seperti kerusakan kulit, tekanan saraf, dan kerusakan sirkulasi.
Traksi kulit dapat mengakibatkan iritasi kulit. Kulit yang sensitif dan rapuh pada
lansia harus diidentifikasi pada pengkajian awal. Reaksi kulit yang berhubungan langsung
dengan plester dan spon harus dipantau ketat. Traksi kulitt harus dipasang dengan kuat
agar kontak dengan plester dan spon tetap erat. Gaya geseran pada kulit harus dicegah.
Plester traksi harus dipalpasi setiap hari untuk mengetahui adanya nyeri tekan. Pada
ekstremitas bawah, tumit, dan tendo achilles harus diinspeksi beberapa kali sehari.
Boot spon harus diangkat untuk melakukan inspeksi tiga kali sehari. Perlu bantuan
perawat lain untuk menyangga ekstremitas selama inspeksi. Lakukan perawatan punggung
minimal tiap dua jam untuk mencegah ulkus dekubitus. Gunakan kasur udara, busa
densitas padat untuk meminimalkan terjadinya ulkus kulit.
Lakukan perawatan ekstremitas bawah untuk mencegah penekanan saraf proneus
pada titik ketika melewati sekitar leher fibula tepat di bawah lutut. Tekanan itu dapat
menyebabkan footdrop. Klien ditanya tentang sensasi perabaannya, minta klien untuk
menggerakkan jari dan kakinya. Kelemahan dorsofleksi menunjukkan fungsi saraf proneus
kommunis. Plantar fleksi menunjukkan fungsi saraf tibialis.
Bila traksi kulit dipasang di lengan, daerah di sekitar siku di mana saraf ulnaris berada
tidak boleh dibalut terlalu kuat. Fungsi saraf ulnaris dapat dikaji dengan abduksi aktif jari
kelingking dan sensasi rabaan pada sisi ulnar jari kelingking.
Selain risiko komplikasi kerusakan kulit dan tekanan saraf di atas, kerusakan sirkulasi
juga harus mendapat perhatian. Setelah traksi kulit terpasang, kaku atau tangan diisnpeksi
dari adanya gangguan peredaran darah dalam beberapa menit hingga satu sampai dua
jam. Denyut perifer dan warna, pengisian kapiler, serta suhu jari tangan atau jari kaki harus
dikaji. Kaji adanya nyeri tekan pada betis dan adanya tanda Homan positif yang merupakan
tanda adanya thrombosis vena dalam. Anjurkan klien untuk melakukan latihan tangan dan
kaki setiap jam.
2. Traksi Skelet
Metode ini sering digunakan untuk menangani fraktur femur, tibia, humerus, dan
tulang leher. Traksi dipasang langsung ke tulang dengan menggunakan pin metal atau
kawat (missal Steinmans pin, Kirchner wire) yang dimasukkan ke dalam tulang di sebelah
distal garis fraktur, menghindari saraf, pembuluh darah, otot, tendon, dan sendi. Tong
yang dipasang di kepala (missal Gardner-Wells tong) difiksasi di kepala untuk memberikan
traksi yang mengimobilisasi fraktur leher.
Traksi skelet biasanya menggunakan beban 7-12 kg untuk mencapai efek terapi.
Beban yang dipasang biasanya harus dapat melawan daya pemendekan akibat spasme
otot yang cedera. Ketika otot rileks, beban traksi dapat dikurangi untuk mencegah
terjadinya dislokasi garis fraktur dan untuk mencapai penyembuhan fraktur. Mengutip
pendapat Sjamsuhidajat (1997), bahwa beban traksi untuk reposisi tulang femur dewasa
biasanya 5-7 kg, pada dislokasi lama panggul bisa sampai 15-20 kg.
Kadang-kadang traksi skelet bersifat seimbang, yang menyokong ekstremitas
terkena, memungkinkan klien dapat bergerak sampai batas-batas tertentu, dan
memungkinkan kemandirian klien maupun asuhan keperawatan, sementara traksi yang
efektif tetap dipertahankan. Bebat Thomas dengan pengait Pearson sering digunakan
dengan traksi kulit dan aparatus suspense seimbang lainnya.
Untuk mempertahankan traksi tetap efektif, pastikan tali tetap terletak dalam alur
roda pada katrol, tali tidak rusak, pemberat tetap tergantung dengan bebas, dan simpul
pada tali terikat dengan erat. Evaluasi posisi klien, karena klien yang merosot ke bawah
dapat menyebabkan traksi tidak efektif. Beban tidak boleh diambil dari traksi skelet kecuali
jika terjadi keadaan yang membahayakan jiwa. Bila beban diambil, tujuan penggunaannya
akan hilang dan dapat terjadi cedera.
Kesejajaran tubuh klien harus diajaga agar tarikannya efektif. Kaki diposisikan
sedemikian rupa sehingga dapat dicegah terjadinya footdrop (plantar fleksi), rotasi ke
dalam (inversi). Kaki klien harus disangga dalam posisi netral dengan alat ortopedi.
Perlu dipasang pegangan di atas tempat tidur, agar klien mudah untuk berpegangan.
Alat itu sangat berguna untuk membantu klien bergerak dan defekasi di tempat tidur, serta
menaikkan pinggul dari tempat tidur untuk memudahkan perawatan punggung. Lindungi
tumit dan lakukan inspeksi, karena klien sering menggunakannya sebagai penyangga,
sehingga dapat menyebabkan cedera pada jaringan tersebut. Tempat penusukan pin (lika)
perlu dikaji. Lakukan inspeksi paling sedikit tiap delapan jam dari adanya tanda inflamasi
dan bukti adanya infeksi.
Pada klien terpasang traksi perlu melakukan latihan, berguna untuk menjaga
kekuatan dan tonus otot, serta memperbaiki peredaran darah. Latihan dilakukan sesuai
kemampuan. Latihan aktif meliputi menarik pegangan di atas tempat tidur, fleksi dan
ekstensi kaki, latihan rentang gerak, dan menahan beban bagi sendi yang sehat. Pada
ekstremitas yang diimbilisasi, lakukan latihan kuadrisep dan pengesetan gluteal.
Dorong klien untuk melakukan latihan fleksi dan ekstensi pergelangan kaki dan
kontraksi isometrik oto-otot betis, sebnayak 10 kali tiap jam saat klien terjaga, dapat
mengurangi risiko thrombosis vena dalam. Dapat juga diberikan stoking elastic, alat
kompresi, dan terapi antikoagulan untuk mencegah terbentuknya thrombus.
Pengangkatan pin dapat dilakukan setelah sinar-X menunjukkan terbentuknya
kalus. Pin dipotong sedekat mungkin dengan kulit dan diangkat oleh dokter kemudian
dipasang gips atau bidai untuk melindungi tulang yang sedang proses penyembuhan.
1. Persiapan Alat
3. Pelaksanaan prosedur
a. Mencuci tangan
b. Memakai handschoen
c. Mengatur posisi tidur pasien supinasi
d. Bila ada luka dirawat dan ditutup kassa
e. Bila banyak rambut k/p di cukur
f. Beri tanda batas pemasangan plester gips menggunakan bolpoint
g. k/p beri balsam perekat
h. Ambil skintraksi kit lalu rekatkan plester gips pada bagian medial dan lateral kaki
secara simetris dengan tetap menjaga immobilisasi fraktur
i. Pasang katrol lurus dengan kaki bagian fraktur
j. Masukkan tali pada pulley katrol
k. Sambungkan tali pada beban ( 1/7 BB = maksimal 5 kg
l. k/p pasang bantalan contertraksi atau bantal penyangga kaki
m. Atur posisi pasien nyaman dan rapikan
n. Beritahu pasien bahwa tindakan sudah selesai dan pesankan untuk manggil perawat
bila ada keluhan
o. Buka tirai/ pintu
p. Alat dikembalikan, dibersihkan dan dirapikan
q. Sarung tangan dilepas
r. Mencuci tangan
TRAKSI KULIT
TRAKSI SKELETAL
a. Cuci tangan
b. Atur posisi klien dalam posisi lurus di tempat tidur untuk mempertahankan tarikan
traksi yang optimal
c. Buka set ganti balut, cairan pembersih dan gunakan sarung tangan steril
d. Bersihkan pin serta area kulit sekitar pin, menggunakan lidi kapas dengan teknik
menjauh dari pin (dari dalam ke luar)
e. Beri salep anti bakteri jika diperlukan sesuai protokol RS
f. Tutup kassa di lokasi penusukan pin
g. Lepas sarung tangan
h. Buang alat alat yang telah dipakai ke dalam plastik khusus infeksius
i. Cuci tangan
j. Anjurkan klien menggunakan trapeze untuk membantu dalam pergerakan di tempat
tidur selama ganti alat dan membersihkan area punggung/ bokong
k. Berikan posisi yang tepat di tempat tidur
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini adalah
1. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh
rudapaksa (Mansjoer et al, 2000). Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing
Care Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas
tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap
oleh tulang.
2. Traksi adalah pemasangan gaya tarikan ke bagian tubuh. Traksi digunakan untuk
meminimalkan spasme otot; untuk mereduksi, menyejajarkan dan mengimbolisasi fraktur;
untuk mengurangi deformitas; dan untuk menambah ruangan di antara kedua permukaan
patahan tulang. Traksi harus diberikan dengan arah dan besaran yang diinginkan untuk
mendapatkan efek terapeutik.
3. Indikasi dari pemasangan traksi ialah: 1)Traksi kulit merupakan terapi pilihan pada fraktur
femur dan beberapa fraktur suprakondiler humeri anak-anak, 2) Pada reduksi tertutup
dimana manipulasi dan imobilisasi tidak dapat dilakukan,, 3) Merupakan pengobatan
sementara pada fraktur sambil menunggu terapi definitive, 4) Fraktur-fraktur yang sangat
bengkak dan tidak stabil misalnya fraktur suprakondiler humeri pada anak-anak, 5)
Untuktraksi pada spasme otot atau pada kontraktur sendi misalnya sendi lutut dari
panggul, 6) Untuk traksi pada kelainan-kelainan tulang belakang seperti hernia nukleus
pulposus (HNP) atau spasme otot-otot tulang belakang.
B. SARAN
Perawatan penderita fraktur memerlukan waktu yang cukup panjang dan sangat beresiko
terjadi komplikasi. Dengan demikian perawatan kepada penderita haruslah dilakukan dengan
cermat dan tepat, untuk mencapai hal tersebut hendaklah mempunyai perawat yang telah
berpengalaman dalam perawatan pasien fraktur.
DAFTAR PUSTAKA
Marylin E. Doenges. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Penerbit Buku Kedoketran EGC. Jakarta.
Brunner and suddart. (1996). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Vol 3. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Ns. Arif Muttaqin, S.Kep. (2005). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Pasien Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Tucker,Susan Martin (1993). Standar Perawatan Pasien, Edisi V, Vol 3. Jakarta. EGC
Smeltzer Suzanne, C (1997). Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddart. Edisi 8. Vol
3. Jakarta. EGC
Price Sylvia, A (1994), Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jilid 2 . Edisi
4. Jakarta. EGC