Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejarah evidence dimulai pada tahun 1970 ketika Archie Cochrane
menegaskan perlunya mengevaluasi pelayanan kesehatan berdasarkan bukti-
bukti ilmiah (scientific evidence). Sejak itu berbagai istilah digunakan terkait
dengan evidence base, diantaranya evidence base medicine (EBM), evidence
base nursing (EBN), dan evidence base practice (EBP). Evidence Based
Practice (EBP) merupakan upaya untuk mengambil keputusan klinis
berdasarkan sumber yang paling relevan dan valid. Oleh karena itu EBP
merupakan jalan untuk mentransformasikan hasil penelitian ke dalam praktek
sehingga tenaga kesehatan dapat meningkatkan quality of care terhadap
pasien. Sayangnya penggunaan bukti-bukti riset sebagai dasar dalam
pengambilan keputusan klinis seperti seorang bayi yang masih berada dalam
tahap pertumbuhan.
Evidence-Based Practice (EBP), merupakan pendekatan yang dapat
digunakan dalam praktik perawatan kesehatan, yang berdasarkan evidence atau
fakta. Merubah sikap yang sudah salah adalah sesuatu yang sangat sulit, bahkan
mungkin hal yang sia-sia. Orang tidak akan bisa merubah adat orang lain,
kecuali orang-orang di dalamnya yang merubah diri mereka sendiri. Tetapi
meningkatkan kesadaran, dan masalah kesehatan di masyarakat, akan
meningkatkan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan. Tentu
pelayanan yang paling efektif & efisien menjadi tuntutan sekaligus tantangan
besar yang harus di cari problem solving-nya.
Penggunaan evidence base dalam praktek akan menjadi dasar scientific
dalam pengambilan keputusan klinis sehingga intervensi yang diberikan dapat
dipertanggungjawabkan. Sayangnya pendekatan evidence base di Indonesia
belum berkembang termasuk penggunaan hasil riset ke dalam praktek. Tidak
dapat dipungkiri bahwa riset di Indonesia hanya untuk kebutuhan penyelesaian
studi sehingga hanya menjadi tumpukan kertas semata.
1.2 Rumusan Masalah
(1) Apakah definisi dari Evidence-Based Practice (EBP) ?
(2) Bagaimana model Implmentasi Evidence Based Practice menurut beberapa
ahli ?
(3) Bagaimana langkah-langkah dalam Evidence Based Practice ?

1.3 Tujuan
(1) Mengetahui definisi dari Evidence-Based Practice (EBP)
(2) Mengetahui tingkatan dan hierarki dalam penerapan Evidence Based
Practice
(3) Mengatahui model Implmentasi Evidence Based Practice menurut beberapa
ahli
(4) Mengetahui langkah-langkah dalam Evidence Based Practice

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Evidence Based Practice


Evidence-Based Practice (EBP) merupakan salah satu perkembangan
yang penting pada dekade ini untuk membantu sebuah profesi, termasuk
kedokteran, keperawatan, sosial, psikologi, public health, konseling dan profesi
kesehatan dan sosial lainnya (Briggs & Rzepnicki, 2004; Brownson et al.,
2002; Sackett et al., 2000).

EBP merupakan suatu pendekatan pemecahan masalah untuk


pengambilan keputusan dalam organisasi pelayanan kesehatan yang
terintegrasi di dalamnya adalah ilmu pengetahuan atau teori yang ada dengan
pengalaman dan bukti-bukti nyata yang baik (pasien dan praktisi). EBP dapat
dipengaruh oleh faktor internal dan external serta memaksa untuk berpikir
kritis dalam penerapan pelayanan secara bijaksana terhadadap pelayanan
pasien individu, kelompok atau system (newhouse, dearholt, poe, pough, &
white, 2005).
Evidence Based Practice (EBP) adalah tindakan yang teliti dan
bertanggung jawab dengan menggunakan bukti (berbasis bukti)
yang berhubungan dengan keahlian klinis dan nilai-nilai pasien untuk
menuntun pengambilan keputusan dalam proses perawatan (Titler, 2008). EBP
menyebabkan terjadinya perubahan besar pada literatur, merupakan proses
yang panjang dan merupakan aplikasi berdasarkan fakta terbaik untuk
pengembangan dan peningkatan pada praktek lapangan. Pencetus dalam
penggunaan fakta menjadi pedoman pelaksanaan praktek dalam memutuskan
untuk mengintegrasikan keahlian klinikal individu dengan fakta yang terbaik
berdasarkan penelitian sistematik.

2
2.2 Tingkatan dan Hierarki dalam penerapan Evidence Based Practice
Tingkatan evidence disebut juga dengan hierarchy evidence yang digunakan
untuk mengukur kekuatan suatu evidence dari rentang bukti terbaik
sampaidengan bukti yang paling rendah. Tingkatan evidence ini digunakan
sebagai bahan pertimbangan dalam EBP. Hirarki untuk tingkatan evidence
yang ditetapkan oleh Badan Kesehatan Penelitian dan Kualitas (AHRQ), sering
digunakan dalam keperawatan (Titler, 2010). Adapun level of
evidence tersebut adalah sebagai berikut :

Hierarki dalam penelitian ilmiah terdapat hieraraki dari tingkat


kepercayaannya yang paling rendah hingga yang paling tinggi. Dibawah ini
mulai dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi :
- Laporan fenomena atau kejadian-kejadian yang kita temuai sehari-hari
- Studi kasus
- Studi lapangan atau laporan deskriptif
- Studi percobaan tanpa penggunaan tekhnik pengambilan sampel secara acak
(random)

3
- Studi percobaan yang menggunakan setidaknya ada satu kelompok
pembanding, dan menggunakan sampel secara acak
- Systemic reviews untuk kelompok bijak bestari atau meta-analisa yaitu
pengkajian berbagai penelitian yang ada dengan tingkat kepercayaan yang
tinggi.

Hierarki dalam penerapan Evidence Based Practice

2.3 Model Implmentasi Evidence Based Practice


1) Model Settler
Merupakan seperangkat perlengkapan/media penelitian untuk
meningkatkan penerapan Evidence based. 5 langkah dalam Model Settler:
Fase 1 : Persiapan
Fase 2 : Validasi
Fase 3 : Perbandingan evaluasi dan pengambilan keputusan
Fase 4 : Translasi dan aplikasi
Fase 5 : Evaluasi
2) Model IOWA Model of Evidence Based Practice to Promote Quality Care
Model EBP IOWA dikembangkan oleh Marita G. Titler, PhD, RN,
FAAN, Model IOWA diawali dari pemicu/masalah. Pemicu/masalah ini
sebagai focus ataupun focus masalah. Jika masalah mengenai prioritas dari
suatu organisasi, tim segera dibentuk. Tim terdiri dari stakeholders, klinisian,
staf perawat, dan tenaga kesehatan lain yang dirasakan penting untuk dilibatkan

4
dalam EBP. Langkah selanjutkan adalah mensistesis EBP. Perubahan terjadi
dan dilakukan jika terdapat cukup bukti yang mendukung untuk terjadinya
perubahan . kemudian dilakukan evaluasi dan diikuti dengan diseminasi (Jones
& Bartlett, 2004; Bernadette Mazurek Melnyk, 2011).
3) Model konseptual Rosswurm & Larrabee
Model ini disebut juga dengan model Evidence Based Practice Change
yang terdiri dari 6 langkah yaitu :
Tahap 1 :mengkaji kebutuhan untuk perubahan praktis
Tahap 2 : tentukkan evidence terbaik
Tahap 3 : kritikal analisis evidence
Tahap 4 : design perubahan dalam praktek
Tahap 5 : implementasi dan evaluasi perubahan
Tahap 6 : integrasikan dan maintain perubahan dalam praktek
Model ini menjelaskan bahwa penerapan Evidence Based Nursing ke
lahan paktek harus memperhatikan latar belakang teori yang ada, kevalidan dan
kereliabilitasan metode yang digunakan, serta penggunaan nomenklatur yang
standar.

2.4 Langkah-langkah dalam Evidence Based Practice


1) Langkah 1: Ajukan pertanyaan klinis dalam format PICOT.
- BACKGROUND QUESTIONS. Ketika seorang dokter memberikan
pelayanan medis kepada pasien hampir selalu timbul pertanyaan di dalam
benaknya tentang diagnosis, kausa, prognosis, maupun terapi yang akan
diberikan kepada pasien. Sebagian dari pertanyaan itu cukup sederhana atau
merupakan pertanyaan rutin yang mudah dijawab, disebut pertanyaan latar
belakang (background questions) (Sackett et al., 2000; Hawkins, 2005). Contoh
pertanyaan klinis yang mudah dijawab/ background questions:
1. Bagaimana cara mendiagnosis tuberkulosis paru?
2. Apakah gejala dan tanda yang terbanyak dijumpai tentang malaria?
3. Bagaimana cara hiperkolesterolemia meningkatkan risiko pasien untuk
mengalami infark otot jantung?

5
4. Apakah penyebab hiperbilirubinemia?
5. Apakah kontra-indikasi pemberian kortikosteroid?

Pertanyaan latar belakang dikemukakan untuk memperoleh pengetahuan


medis yang bersifat umum yang lazim dikemukakan oleh mahasiswa
kedokteran, misalnya fisiologi dan pato-fisiologi penyakit. Bagi kebanyakan
dokter praktik, pertanyaan latar belakang mudah dijawab dengan menggunakan
pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan dokter, pengalaman praktik klinis,
mengikuti seminar, continuing medical education (CME), membuka buku teks,
ataupun membaca kajian pustaka.

- FOREGROUND QUESTIONS. Banyak pertanyaan klinis lainnya yang sulit


dijawab, yang tidak memadai untuk dijawab hanya berdasarkan pengalaman,
membaca buku teks, atau mengikuti seminar. Pertanyaan yang sulit dijawab
disebut pertanyaan latar depan (foreground questions) (Sackett et al., 2000;
Hawkins, 2005). Pertanyaan latar depan bertujuan untuk memperoleh
informasi spesifik yang dibutuhkan untuk membuat keputusan klinis. Contoh
pertanyaan klinis yang sulit dijawab/ foreground questions:
a. Apakah vaksin MMR (mumps, measles, rubella) menyebabkan autisme pada
anak, sehingga sebaiknya tidak diberikan kepada anak?
b. Apakah skrining kanker prostat, baik dengan teknik digital rectal
examination (DRE) ataupun tes darah prostate-specific antigen (PSA),
berguna untuk menurunkan mortalitas spesifik kanker prostat, menurunkan
mortalitas semua kausa, meningkatkan kualitas hidup, sehingga dibenarkan
untuk dilakukan?
c. Manakah yang lebih efektif, penisilin intramuskuler atau penisilin per oral
untuk mencegah rekurensi demam rematik dan infeksi streptokokus
tenggorok? Manakah yang lebih baik, injeksi penisilin tiap 2-3 minggu atau
tiap 4 minggu?

6
d. Manakah yang lebih akurat, magnetic resonance imaging (MRI) atau computed
tomography (CT) scan, untuk mengidentifikasi stroke kecil multipel di dalam
otak?
Agar jawaban yang benar atas pertanyaan klinis latar depan bisa diperoleh dari
database, maka pertanyaan itu perlu dirumuskan dengan spesifik, dengan
struktur terdiri atas empat komponen, Pertanyaan klinis dalam format PICOT
untuk menghasilkan evidence yang lebih baik dan relevan.
1. Populasi pasien (P),
2. Intervensi (I),
3. Perbandingan intervensi atau kelompok (C),
4. Hasil / Outcome (O),
5. Waktu / Time (T).
Format PICOT menyediakan kerangka kerja yang efisien untuk mencari
database elektronik, yang dirancang untuk mengambil hanya artikel-artikel
yang relevan dengan pertanyaan klinis.

Patient and Problem


Pertanyaan klinis perlu mendeskripsikan dengan jelas karakteristik
pasien dan masalah klinis pasien yang dihadapi pada praktik klinis.
Karakteristik pasien dan masalahnya perlu dideskripsikan dengan eksplisit agar
bukti-bukti yang dicari dari database hasil riset relevan dengan masalah pasien
dan dapat diterapkan, yaitu bukti-bukti yang berasal dari riset yang
menggunakan sampel pasien dengan karakteristik serupa dengan pasien/
populasi pasien yang datang pada praktik klinik.
Keserupaan antara karakteristik demografis, morbiditas, klinis, dari
sampel penelitian dan pasien yang datang pada praktik klinik penting untuk
diperhatikan, karena mempengaruhi kemampuan penerapan bukti-bukti
(applicability). Jika karakteristik kedua populasi berbeda, maka bukti-bukti
yang dicari tidak dapat diterapkan, atau dapat diterapkan dengan pertimbangan
yang hati-hati dan bijak (conscientious and judicious judgment).

7
Masalah klinis yang dihadapi dan perlu dijawab dengan metode EBM
perlu dirumuskan dengan jelas apakah mengenai kausa/ etiologi penyakit
pasien, akurasi tes diagnostik, manfaat terapi, kerugian (harm) dari terapi, atau
prognosis.
Intervention
Pertanyaan klinis perlu menyebutkan dengan spesifik intervensi yang
ingin diketahui manfaat klinisnya. Intervensi diagnostik mencakup tes
skrining, tes/ alat/ prosedur diagnostik, dan biomarker. Intervensi terapetik
meliputi terapi obat, vaksin, prosedur bedah, konseling, penyuluhan kesehatan,
upaya rehabilitatif, intervensi medis dan pelayanan kesehatan lainnya.
Tetapi intervensi yang dirumuskan dalam pertanyaan klinis bisa juga
merupakan paparan (exposure) suatu faktor yang diduga merupakan faktor
risiko/ etiologi/ kausa yang mempengaruhi terjadinya penyakit/ masalah
kesehataan pada pasien. Intervensi bisa juga merupakan faktor prognostik yang
mempengaruhi terjadinya akibat-akibat penyakit, seperti kematian,
komplikasi, kecacatan, dan sebagainya (bad outcome) pada pasien.
Comparison
Prinsipnya, secara metodologis untuk dapat menarik kesimpulan
tentang manfaat suatu tes diagnostik, maka akurasi tes diagnostik itu perlu
dibandingkan dengan keberadaan penyakit yang sesungguhnya, tes diagnostik
yang lebih akurat yang disebut rujukan standar (standar emas), atau tes
diagnostik lainnya. Hanya dengan melakukan perbandingan maka dapat
disimpulkan apakah tes diagnostik tersebut bermanfaat atau tidak bermanfaat
untuk dilakukan. Sebagai contoh, jika hasil tes diagnostik mendekati
keberadaan penyakit yang sesungguhnya, atau mendekati hasil tes diagnostik
standar emas, maka tes diagnostik tersebut memiliki akurasi yang baik,
sehingga bermanfaat untuk dilakukan.
Efektivitas intervensi diukur berdasarkan perubahan pada hasil klinis
(clinical outcome). Konsisten dengan triad EBM, EBM memandang penting
hasil akhir yang berorientasi pasien (patient-oriented outcome) dari sebuah
intervensi medis (Shaugnessy dan Slawson, 1997). Patient-oriented outcome

8
dapat diringkas menjadi 3D : (1) Death; (2) Disability; dan (3) Discomfort.
Intervensi medis seharusnya bertujuan untuk mencegah kematian dini,
mencegah kecacatan, dan mengurangi ketidaknyamanan.
1. Death.
Death (kematian) merupakan sebuah hasil buruk (bad outcome) jika terjadi
dini atau tidak tepat waktunya. Contoh, balita yang mati akibat dehidrasi
pasca diare, kematian mendadak (sudden death) yang dialami laki-laki usia
50 tahun pasca serangan jantung, merupakan kematian dini yang
seharusnya bisa dicegah.
2. Disability.
Disability (kecacatan) adalah ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas
sehari-hari di rumah, di tempat bekerja, melakukan aktivitas sosial, atau
melakukan rekreasi. Contoh, kebutaan karena retinopati diabetik pada
pasien diabetes melitus, hemiplegi pasca serangan stroke, merupakan
kecacatan yang seharusnya bisa dihindari. Kecacatan mempengaruhi
kualitas hidup pasien, diukur dengan QALY (quality-adjusted life year),
DALY (disability-adjusted life year), HYE (healthy years equivalent), dan
sebagainya.
3. Discomfort.
Discomfort (ketidaknyamanan) merupakan gejala-gejala seperti nyeri,
mual, sesak, gatal, telinga berdenging, cemas, paranoia, dan aneka gejala
lainnya yang mengganggu kenyamanan kehidupan normal manusia, dan
menyebabkan penderitaan fisik dan/ atau psikis manusia. Contoh, dispnea
pada pasien dengan asma atau kanker paru, merupakan ketidaknyamanan
yang menurut ekspektasi pasien penting, yang lebih penting untuk diatasi
daripada gambaran hasil laboratorium yang ditunjukkan tentang penyakit
itu sendiri. Ketidaknyamanan merupakan bagian dari kualitas hidup
pasien.

9
2) Langkah 2: Cari bukti terbaik.
Setelah merumuskan pertanyaan klinis secara terstruktur, langkah berikutnya adalah
mencari bukti-bukti untuk menjawab pertanyaan tersebut. Bukti adalah hasil dari
pengamatan dan eksperimentasi sistematis. Jadi pendekatan berbasis bukti sangat
mengandalkan riset, yaitu data yang dikumpulkan secara sistematis dan dianalisis
dengan kuat setelah perencanaan riset.
Sumber Bukti
Sumber bukti klinis dapat dibagi menjadi dua kategori: sumber primer dan sumber
sekunder. Sumber bukti primer adalah bukti dari riset asli. Sumber sekunder adalah
bukti dari ringkasan arau sintesis dari sejumlah riset asli. Haynes (2005)
mengembangkan model hirarki organisasi pelayanan informasi klinis yang disebut 4S

1. Sistem.
Dengan system dimaksudkan sistem informasi klinis berbasis komputer yang
mengintegrasikan dan meringkas semua bukti riset yang penting dan relevan
dengan masalah klinis spesifik pasien. Informasi yang tersedia dalam sistem
merupakan hasil dari proses kajian yang secara eksplisit dilakukan untuk
menyediakan bukti baru yang berasal dari artikel pada jurnal. Sistem diperbarui
jika tersedia bukti riset yang baru dan penting.
Sumber bukti system meliputi:
- BMJ Clinical Evidence (http://www.clinicalevidence. com),
- UpToDate (http://www.uptodate.com),

10
- PIER: The Physicians Information and Education Resource
(http://pier.acponline.org/index.html),
- WebMD (http://webmd.com)denan koneksi ke ACP Medicine
(www.acpmedicine.com), dan
- Bandolier (http:// www.ebandolier.com/).

2. Sinopsis.
Sinopsis (abstrak) merupakan ringkasan temuan penting dari sebuah atau
sejumlah riset asli dan kajian. Sinopsis merupakan sumber berikutnya jika tidak
tersedia system. Sinopsis disebut juga Clinically Appraised Topics
(CATs), memberikan informasi dengan topik yang dibutuhkan untuk
menjawab masalah klinis di tempat praktik. CATs merupakan ringkasan
sebuah atau sejumlah studi dan temuan-temuannya yang dapat dikaji dan
digunakan oleh klinisi di kemudian hari. Sebuah CATs terdiri atas judul artikel,
kesimpulan yang disebut Clinical Bottom Line, pertanyaan klinis, ringkasan
hasil, komentar, tanggal publikasi studi, dan sitasi yang relevan (Schranz dan
Dunn, 2007).
Sumber bukti synopsis meliputi :
- ACP [American College of Physicians] Journal Club
(http://www.acpjc.org) ,
- EBM (http://ebm. bmj.com),
- CATs (www.cebm.jr2.ox.ac.uk),
- POEMs (www.infopoems.com),
- BestBETS (www.bestbets.com).

Sinopsis tersebut berisi ringkasan dari 6 artikel yang relevan, terdiri dari
3 artikel dari Medline dan 3 artikel dari EMBASE. Enam artikel terpilih dari
hasil penelusuran ratusan artikel dari Medline, EMBASE, CINAHL, dan
Cochrane library.

11
3. Sintesis.
Sintesis merupakan ringkasan sistematis dan terinci dari hasil sejumlah riset
tunggal, sehingga disebut kajian sistematis (systematic review). Kajian
sistematis yang dinyatakan dengan ukuran kuantitatif disebut meta-analisis.
Kajian sistematis memberikan bukti bernilai paling tinggi dari 4S. Tetapi
klinisi tetap perlu melakukan penilaian kritis terhadap bukti-bukti kajian
sistematis. Karena kualitas kajian sistematis tergantung dari masing-masing
studi primer/ asli yang dikaji (Schranz dan Dunn, 2007).
Sumber bukti sintesis meliputi :
- Cochrane Library (http://www3. interscience.wiley. com/ cgi-
bin/mrwhome/106568753/HOME)
- DARE www.york.ac.uk/inst/crd/welcome.htm).
- Tetapi kajian sistematis bisa juga diperoleh melalui dabase Medline, Ovid
EBMR, Evidence-Based Medicine / ACP Journal Club, dan lain-lain.
Bagian dari Cochrane Library yang memberikan pelayanan database
kajian sistematis adalah Cochrane Reviews. Cochrane Reviews
menginvestigasi dan mengumpulkan sejumlah studi primer/ asli (sebagian
besar randomized controlled trials /RCT, clinical controlled trials, dan sebagian
kecil studi observasional). Hasil investigasi berbagai riset primer lalu disintesis
dengan membatasi bias dan kesalahan random.
Hasil kajian sistematis dari Cochrane Reviews disajikan dalam Abstract
dan Summary. Abstract terdiri atas Background, Objectives, Search strategy,
Selection criteria, Data collection and analysis, Main results, Authors
conclusions. Sedang Summary intinya mirip abstract, hanya saja dinarasikan
dalam format yang mudah dicerna.

4. Studi.
Jika semua S (sistem, sinopsis, sintesis) tidak tersedia, maka waktunya bagi
klinisi untuk menggunakan riset asli, yaitu studi. Bukti dari riset asli bisa
diakses melalui beberapa cara:
a. Database on-line;

12
b. Arsip on-line artikel teks penuh;
c. Penerbit jurnal;
d. Mesin pencari.
Sumber bukti database berisi studi yang otoritatif meliputi :
- MEDLINE/ PubMed (www.pubmed.com/),
- Embase (www.ovid.com), Trip database (www.tripdatabase.com/).
Arsip on-line artikel teks penuh meliputi:
- HighWire (http://highwire.stanford.edu/lists/ freeart.dtl),
- BMJ Journals (http://group.bmj.com/group/media/bmj-journals-
information-centre);
- Free Medical Journals (http://www.freemedicaljournals.com/), dan lain-
lain.
Website arsip on-line merupakan portal (pintu masuk) kepada sejumlah
besar jurnal yang sebagian besar menyediakan artikel teks penuh. Umumnya
artikel teks penuh bisa diunduh dengan cuma-cuma (gratis) untuk nomer
terbitan lebih dari satu atau dua tahun dan tidak lebih lama dari 1997. Bahkan
beberapa jurnal tertentu, misalnya New England Journal of Medicine,
menggratiskan nomer terbaru.
Mesin pencari (search engine) yang tepat untuk mencari informasi ilmiah
meliputi :
- SUMSearch(http://sumsearch.uthscsa.edu),
- Google(www.google.com)
- Google Scholar (http://scholar.google.co.id/schhp?hl =en&tab=ws),
- Elseviers Scirus (www.scirus.com/ srsapp/) (Giustini, 2005).
Mencari bukti untuk menginformasikan praktek klinis adalah sangat
efisien ketika pertanyaan diminta dalam format PICOT. Jika dalam skenario
respon cepat itu hanya mengetik "Apa dampak dari memiliki time respon
cepat?" ke dalam kolom pencarian dari database, hasilnya akan menjadi ratusan
abstrak, sebagian besar dari mereka tidak relevan. Menggunakan format
PICOT membantu untuk mengidentifikasi kata kunci atau frase yang ketika
masuk berturut-turut dan kemudian digabungkan, memperlancar lokasi artikel

13
yang relevan dalam database penelitian besar seperti MEDLINE atau
CINAHL. Untuk pertanyaan PICOT pada time respon cepat, frase kunci
pertama untuk dimasukkan ke dalam database akan perawatan akut, subjek
umum yang kemungkinan besar akan mengakibatkan ribuan kutipan dan
abstrak. Istilah kedua akan dicari akan rapid respon time, diikuti oleh serangan
jantung dan istilah yang tersisa dalam pertanyaan PICOT. Langkah terakhir
dari pencarian adalah untuk menggabungkan hasil pencarian untuk setiap
istilah. Metode ini mempersempit hasil untuk artikel yang berkaitan dengan
pertanyaan klinis, sering mengakibatkan kurang dari 20. Hal ini juga
membantu untuk menetapkan batas akhir pencarian, seperti "subyek manusia"
atau "English," untuk menghilangkan studi hewan atau artikel di luar negeri
bahasa.

3) Langkah 3: Kritis menilai bukti.


EBM merupakan praktik penggunaan bukti riset terbaik yang tersedia (best
available evidence). Tetapi not all evidences are created equal - tidak semua sumber
bukti memberikan kualitas bukti yang sama. Secara formal penilaian kritis (critical
appraisal) perlu dilakukan terhadap kualitas buki-bukti yang dilaporkan oleh artikel
riset pada jurnal. Intinya, penilaian kritis kualitas bukti dari artikel riset meliputi
penilaian tentang validitas (validity), kepentingan (importance), dan kemampuan
penerapan (applicability) bukti-bukti klinis tentang etiologi, diagnosis, terapi,
prognosis, pencegahan, kerugian, yang akan digunakan untuk pelayanan medis
individu pasien, disingkat VIA.
Validity
Setiap artikel laporan hasil riset perlu dinilai kritis tentang apakah
kesimpulan yang ditarik benar (valid), tidak mengandung bias. Bias adalah
kesalahan sistematis (systematic error) yang menyebabkan kesimpulan hasil
riset yang salah tentang akurasi tes diagnosis, efektivitas intervensi, akurasi
prognosis, maupun kerugian/ etiologi penyakit.
Validitas (kebenaran) bukti yang diperoleh dari sebuah riset tergantung
dari cara peneliti memilih subjek/ sampel pasien penelitian, cara mengukur
variabel, dan mengendalikan pengaruh faktor ketiga yang disebut faktor

14
perancu (confounding factor). Kesalahan sistematis yang dilakukan peneliti
dalam memilih sampel pasien sehingga sampel kelompok-kelompok yang
dibandingkan tidak sebanding dalam distribusi faktor perancu, atau sampel
yang diperoleh tidak merepresentasikan populasi sasaran penelitian, sehingga
diperoleh kesimpulan yang salah (bias, tidak valid) tentang akurasi tes
diagnostik, efek intervensi, atau kesimpulan tentang faktor risiko/ etiologi/
kausa penyakit atau akibat-akibat penyakit, disebut bias seleksi.
Kesalahan sistematis yang dilakukan peneliti pada berbagai fase
pengumpulan data penelitian, sejak mendesain instrumen, mengukur/
mengamati variabel, mencatat dan memasukkan data penelitian, menganalisis
data, sehingga diperoleh kesimpulan yang salah (bias, tidak valid) tentang
akurasi tes diagnostik, efektivitas intervensi, atau hubungan antara faktor
risiko/ etiologi/ kausa dan penyakit atau akibat penyakit, disebut bias informasi
(bias observasi, bias pengukuran).
Kegagalan peneliti dalam mengendalikan faktor ketiga yang memiliki
pengaruh independen terhadap variabel hasil yang diteliti, yang disebut faktor
perancu (confounding factor), sehingga diperoleh kesimpulan yang salah (bias,
tidak valid) tentang akurasi tes diagnostik, kefektifan intervensi, atau hubungan
antara faktor risiko/ etiologi/ kausa dan penyakit atau akibat penyakit, disebut
kerancuan (confounding). Untuk memperoleh hasi riset yang benar (valid),
maka sebuah riset perlu menggunakan desain studi yang tepat.

Importance
Bukti yang disampaikan oleh suatu artikel tentang intervensi medis perlu
dinilai tidak hanya validitas (kebenaran)nya tetapi juga apakah intervensi
tersebut memberikan informasi diagnostik ataupun terapetik yang substansial,
yang cukup penting (important), sehingga berguna untuk menegakkan
diagnosis ataupun memilih terapi yang efektif.
Suatu tes diagnostik dipandang penting jika mampu mendiskriminasi
(membedakan) pasien yang sakit dan orang yang tidak sakit dengan cukup
substansial, sebagaimana ditunjukkan oleh ukuran akurasi tes diagnostik,

15
khususnya Likelihood Ratio (LR). Suatu intervensi medis yang mampu secara
substantif dan konsisten mengurangi risiko terjadinya hasil buruk (bad
outcome), atau meningkatkan probabilitas terjadinya hasil baik (good
outcome), merupakan intervensi yang penting dan berguna untuk diberikan
kepada pasien. Suatu intervensi disebut penting hanya jika mampu
memberikan perubahan yang secara klinis maupun statistik signifikan, tidak
bisa hanya secara klinis signifikan atau hanya secara statistik signifikan.
Applicability
Bukti yang valid dan penting dari sebuah riset hanya berguna jika bisa
diterapkan pada pasien di tempat praktik klinis. Bukti terbaik dari sebuah
setting riset belum tentu bisa langsung diekstrapolasi (diperluas) kepada setting
praktik klinis dokter. Untuk memahami pernyataan itu perlu dipahami
perbedaan antara konsep efikasi (efficacy) dan efektivitas (effectiveness).
Efikasi (efficacy) adalah bukti tentang kemaknaan efek yang dihasilkan
oleh suatu intervensi, baik secara klinis maupun statistik, seperti yang
ditunjukkan pada situasi riset yang sangat terkontrol. Situasi yang sangat
terkontrol sering kali tidak sama dengan situasi praktik klinis sehari-hari. Suatu
intervensi menunjukkan efikasi jika efek intervensi itu valid secara internal
(internal validity), dengan kata lain intervensi itu memberikan efektif ketika
diterapkan pada populasi sasaran (target population)
Agar intervensi efektif ketika diterapkan pada populasi yang lebih luas,
yang tidak hanya meliputi populasi sasaran tetapi juga populasi eksternal
(external population), maka intervensi tersebut harus menunjukkan efektivitas.
Efektivitas (effectiveness) adalah bukti tentang kemaknaan efek yang
dihasilkan oleh suatu intervensi, baik secara klinis maupun statistik,
sebagaimana ditunjukkan/ diterapkan pada dunia yang nyata.
Suatu riset yang menemukan efektivitas intervensi, dengan kata lain
intervensi yang efektif ketika diterapkan pada populasi umum (populasi
eksternal), maka temuan riset itu dikatakan memiliki validitas eksternal
(external validity). Berdasarkan fakta tersebut maka dalam praktik EBM,

16
bukti efektivitas (evidence of effectiveness) lebih bernilai daripada bukti
efikasi (evidence of efficacy) (Mathew, 2010).
Penilaian kritis yang cepat menggunakan tiga pertanyaan penting untuk
mengevaluasi sebuah studi :
a. Apakah hasil penelitian valid? Ini pertanyaan validitas studi berpusat pada
apakah metode penelitian yang cukup ketat untuk membuat temuan
sedekat mungkin dengan kebenaran. Sebagai contoh, apakah para peneliti
secara acak menetapkan mata pelajaran untuk pengobatan atau kelompok
kontrol dan memastikan bahwa mereka merupakan kunci karakteristik
sebelum perawatan? Apakah instrumen yang valid dan reliabel digunakan
untuk mengukur hasil kunci?
b. Apakah hasilnya bisa dikonfirmasi? Untuk studi intervensi, pertanyaan ini
keandalan studi membahas apakah intervensi bekerja, dampaknya pada
hasil, dan kemungkinan memperoleh hasil yang sama dalam pengaturan
praktek dokter sendiri. Untuk studi kualitatif, ini meliputi penilaian apakah
pendekatan penelitian sesuai dengan tujuan penelitian, bersama dengan
mengevaluasi aspek-aspek lain dari penelitian ini seperti apakah hasilnya
bisa dikonfirmasi.
c. Akankah hasil membantu saya merawat pasien saya? Ini pertanyaan
penelitian penerapan mencakup pertimbangan klinis seperti apakah subyek
dalam penelitian ini mirip dengan pasien sendiri, apakah manfaat lebih
besar daripada risiko, kelayakan dan efektivitas biaya, dan nilai-nilai dan
preferensi pasien. Setelah menilai studi masing-masing, langkah
berikutnya adalah untuk mensintesis studi untuk menentukan apakah
mereka datang ke kesimpulan yang sama, sehingga mendukung keputusan
EBP atau perubahan.

4) Langkah 4: Menerapkan Bukti.


Langkah EBM diawali dengan merumuskan pertanyaan klinis dengan
struktur PICOT, diakhiri dengan penerapan bukti intervensi yang
memperhatikan aspek PICOT patient, intervention, comparison, outcome dan

17
time. Selain itu, penerapan bukti intervensi perlu mempertimbangkan
kelayakan (feasibility) penerapan bukti di lingkungan praktik klinis.
Patient
Tiga pertanyaan perlu dijawab tentang pasien sebelum menerapkan intervensi:
1. Apakah pasien yang digunakan dalam penelitian memiliki karakteristik
yang sama dengan pasien di tempat praktik?
2. Apakah hasil intervensi yang akan diberikan sesuai dengan keinginan
maupun kebutuhan sesungguhnya (real need) pasien?
3. Bagaimana dampak psikologis-sosial-kutural pada pasien sebelumnya
dalam menggunakan intervensi?
Prinsip EBM adalah memberikan pelayanan yang berpusat kepada pasien
(patient-centered care). Klinisi perlu memperhatikan kesesuaian karaktersistik
pasien yang digunakan dalam riset dan pasien yang dihadapi di tempat praktik
klinis.

Intervention
Tiga pertanyaan perlu dijawab terkait intervensi sebelum diberikan kepada
pasien:
1. Apakah intervensi memiliki bukti efektivitas yang valid?
2. Apakah intervensi memberikan perbaikan klinis yang signifikan?
3. Apakah intervensi memberikan hasil yang konsisten?
Efektivitas adalah kemampuan untuk menghasilkan efek yang
diinginkan. Intervensi yang rasional untuk digunakan adalah intervensi yang
efektivitasnya didukung oleh bukti yang valid, memberikan perbaikan klinis
secara substansial (clinically significant), menunjukkan konsistensi hasil
(statistically significant), dan dapat diterapkan (applicable).
Efektivitas berbeda dengan efikasi. Efektivitas lebih realistis daripada
efikasi. Intervensi yang menunjukkan efektivitas memiliki kemungkinan lebih
besar untuk bisa diterapkan pada pasien di tempat praktik klinis daripada
intervensi yang menunjukkan efikasi.

18
Comparison
Tiga pertanyaan perlu dijawab tentang aspek perbandingan untuk menerapkan
bukti:
1. Apakah terdapat kesesuaian antara pembanding/ alternatif yang
digunakan oleh peneliti dan pembanding/ alternatif yang dihadapi klinisi
pada pasien di tempat praktik?
2. Apakah manfaat intervensi lebih besar daripada mudarat yang
diakibatnya?
3. Apakah terdapat alternatif intervensi lainnya?
Pada comparation ini, pertama, penerapan intervensi perlu
memperhatikan kesesuaian antara pembanding/ alternatif yang digunakan oleh
peneliti dan pembanding/ alternatif yang dihadapi klinisi pada pasien di tempat
praktik. Kedua, pengambilan keputusan untuk menerapkan intervensi medis
perlu membandingkan manfaat dan kerugian dari melakukan intervensi.
Ketiga, pengambilan keputusan klinis hakikatnya adalah menentukan pilihan
dari berbagai alternatif intervensi. Klinisi harus memilih antara memberikan
atau tidak memberikan intervensi, atau memilih sebuah dari beberapa alternatif
intervensi

Outcome
Tiga pertanyaan perlu dijawab bertalian dengan hasil:
1. Apakah hasil intervensi yang diharapkan pasien?
2. Apakah hasil intervensi yang akan diberikan sesuai dengan keinginan
dan kebutuhan sesungguhnya (real need) pasien?
3. Apakah pasien memandang manfaat dari intervensi lebih penting
daripada kerugian yang diakibatkannya?
Prinsip EBM, hasil yang diharapkan dari suatu intervensi adalah hasil yang
berorientasi pada pasien. Pengambilan keputusan klinis harus memperhatikan
nilai-nilai dan ekspektasi pasien. Menerapkan bukti riset terbaik dengan
mengabaikan nilai-nilai dan preferensi pasien dapat menyebabkan lebih
banyak mudarat (harm) daripada manfaat (benefit, utility) kepada pasien.
Demikian pentingnya nilai-nilai dan hak pasien, sehingga pengambilan

19
keputusan bersama pasien-dokter untuk tidak menerapkan intervensi yang
terbukti efektif karena mempertimbangkan nilai-nilai pasien bisa dipandang
suatu praktik EBM yang baik.

Kelayakan
Lima pertanyaan perlu dijawab berkaitan dengan kelayakan (feasibility)
intervensi yang akan diberikan kepada pasien:
1. Apakah intervensi tersedia di lingkungan pasien/ di tempat praktik?
2. Apakah tersedia sumberdaya yang dibutuhkan untuk mengimplementasi
intervensi dengan berhasil?
3. Apakah tersedia klinisi/ tenaga kesehatan profesional yang mampu
mengimplementasikan intervensi?
4. Jika intervensi tersedia di lingkungan pasien/ di tempat praktik, apakah
intervensi terjangkau secara finansial (affordable)?
5. Apakah konteks sosial-kultural pasien menerima penggunaan intervensi
yang akan diberikan kepada pasien?
Kelayakan (feasibility) adalah the quality of being doable atau
capable of being done with means at hand and circumstances as they are.
Kelayakan menunjukkan sejauh mana intervensi bisa dilakukan dengan metode
yang ada dan pada lingkungan yang diperlukan. Meskipun sebuah intervensi
efektif, tepat (appropriate) untuk diterapkan kepada individu pasien, sesuai
dengan kebutuhan pasien, penerapan intervensi tergantung dari kelayakan,
yaitu ketersediaan sumber daya di lingkungan praktik klinis.

5) Langkah 5: Evaluasi kinerja penerapan bukti.


Kinerja penerapan EBM perlu dievaluasi, terdiri atas tiga kegiatan
sebagai berikut (Hollowing dan Jarvik, 2007). Pertama, mengevaluasi efisiensi
penerapan langkah-langkah EBM. Penerapan EBM belum berhasil jika klinisi
membutuhkan waktu terlalu lama untuk mendapatkan bukti yang dibutuhkan,
atau klinisi mendapat bukti dalam waktu cukup singkat tetapi dengan kualitas
bukti yang tidak memenuhi VIA (kebenaran, kepentingan, dan kemampuan

20
penerapan bukti). Kedua contoh tersebut menunjukkan inefisiensi
implementasi EBM.
Kedua, melakukan audit keberhasilan dalam menggunakan bukti terbaik
sebagai dasar praktik klinis. Audit klinis adalah a quality improvement
process that seeks to improve patient care and outcomes through systematic
review of care against explicit criteria and the implementation of change".
Dalam audit klinis dilakukan kajian (disebut audit) pelayanan yang telah
diberikan, untuk dievaluasi apakah terdapat kesesuaian antara pelayanan yang
sedang/ telah diberikan (being done) dengan kriteria yang sudah ditetapkan dan
harus dilakukan (should be done). Jika belum/ tidak dilakukan, maka audit
klinis memberikan saran kerangka kerja yang dibutuhkan agar bisa dilakukan
upaya perbaikan pelayanan pasien dan perbaikan klinis pasien. Ketiga,
mengidentifikasi area riset di masa mendatang. Kendala dalam penerapan
EBM merupakan masalah penelitian untuk perbaikan implementasi EBM di
masa mendatang.
Hasil evaluasi kinerja implementasi EBM berguna untuk memperbaiki
penerapan EBM, agar penerapan EBM di masa mendatang menjadi lebih baik,
efektif, dan efisien. Jadi langkah-langkah EBM sesungguhnya merupakan
fondasi bagi program perbaikan kualitas pelayanan kesehatan yang
berkelanjutan (continuous quality improvement) (Ilic, 2009).
Setelah menerapkan EBP, penting untuk memantau dan mengevaluasi
setiap perubahan hasil sehingga efek positif dapat didukung dan yang negatif
diperbaiki. Hanya karena intervensi efektif dalam uji ketat dikendalikan tidak
berarti ia akan bekerja dengan cara yang sama dalam pengaturan klinis.

2.5 Hambatan Pelaksanaan EBP


1) Berkaitan dengan penggunaan waktu.
2) Akses terhadap jurnal dan artikel.
3) Keterampilan untuk mencari.
4) Keterampilan dalam melakukan kritik riset.
5) Kurang paham atau kurang mengerti.

21
6) Kurangnya kemampuan penguasaan bahasa untuk penggunaan hasil-hasil
riset.
7) Salah pengertian tentang proses.
8) Kualitas dari fakta yang ditemukan.
9) Pentingnya pemahaman lebih lanjut tentang bagaimana untuk
menggunakan literatur hasil penemuan untuk intervensi praktek yang
terbaik untuk diterapkan pada klien.

22
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Evidence Based Practice (EBP) adalah tindakan yang teliti dan
bertanggung jawab dengan menggunakan bukti (berbasis bukti)
yang berhubungan dengan keahlian klinis dan nilai-nilai pasien untuk
menuntun pengambilan keputusan dalam proses perawatan.
Berdasarkan pembahasan konsep Evidence Based Practice di atas,
dapat disimpulkan bahwa ada 3 faktor yang seacara garis besar menenentukan
tercapainya pelaksanaan praktek yang lebih baik yaitu, penelitian yang
dilakukan berdasarkan fenomena yang terjadi di kaitkan dengan teori yang
telah ada, pengalaman klinis terhadap sustu kasus, dan pengalaman pribadi
yang bersumber dari pasien. Dengan memperhatikan factor-faktor tersebut,
maka di harapkan pelaksanaan pemeberian pelayanan kesehatan khususnya
pemberian asuhan kebidanan dapat di tingkatkan terutama dalam hal
peningkatan pelayanan kesehatan, pengurangan biaya (cost effective) dan
peningkatan kepuasan pasien atas pelayanan yang diberikan. Evidence Based
Practice (EBP) memiliki beberapa langkah :
Langkah 1: Ajukan pertanyaan klinis dalam format PICOT.
Langkah 2: Cari bukti terbaik.
Langkah 3: Kritis menilai bukti.
Langkah 4: Menerapkan Bukti.
Langkah 5: Evaluasi kinerja penerapan bukti.
Namun dalam pelaksanaan penerapan Evidence Based Practice ini
sendiri tidaklah mudah, hambatan utama dalam pelaksanaannya yaitu
kurangnya pemahaman dan kurangnya referensi yang dapat digunakan sebagai
pedoman pelaksanaan penerapan EBP itu sendiri.

23
3.2 SARAN
Dalam pemberian pelayanan kesehatan khususnya asuhan keperawatan yang
baik, serta mengambil keputusan yang bersifat klinis hendaknya mengacu pada
SPO yang dibuat berdasarkan teori-teori dan penelitian terkini. Evidence
Based Practice dapat menjadi panduan dalam menentukan atau membuat SPO
yang memiliki landasan berdasarkan teori, penelitian, serta pengalaman klinis
baik oleh petugas kesehatan maupun pasien.

24
DAFTAR PUSTAKA
Kelee. 2011. Nursing Research & Evidence-Based Practice
Murti, Bhisma. Pengantar Evidence-Based Medicine. 2010.
(//fk.uns.ac.id/static/materi/Pengantar_EBM_Prof_ Bhisma_Murti.pdf).
diakses 09 April 2017
https://www.academia.edu/15628741/Konsep_Evidence_Based_Practice_Agus_P
utradana. Diakses 09 April 2017

25

Anda mungkin juga menyukai